Anda di halaman 1dari 122

MAKALAH INTERAKSI OBAT

INTERAKSI OBAT DAN MAKANAN

Disusun Oleh :

Ulfishara Arum Dhani (12334133)

Dosen Pembimbing :
Refdanita, Dra.M.Si

PROGRAM STUDI P2K – FAKULTAS FARMASI


INSTITUT SAINS DAN TEKOLOGI NASIONAL
JAKARTA – 2016

KATA PENGANTAR

1
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “INTERAKSI OBAT DAN
MAKANAN”

Makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Interaksi Obat di program studi
Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Sains dan Teknologi Nasional
semester 7. Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita mengenai fase – fase yang terjadi pada interaksi obat pada makanan.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai
segala usaha kita. Amin.

Jakarta, Oktober 2016

Tim Penyusun

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

2
Interaksi obat merupakan suatu faktor yang dapat mempengaruhi respon tubuh terhadap
pengobatan. Obat dapat berinteraksi dengan makanan atau minuman, zat kimia atau dengan obat
lain. Dikatakan terjadi interaksi apabila makanan, minuman, zat kimia, dan obat lain tersebut
mengubah efek dari suatu obat yang diberikan bersamaan atau hampir bersamaan (Ganiswara,
2000). Beberapa obat sering diberikan secara bersamaan pada penulisan resep, maka mungkin
terdapat obat yang kerjanya berlawanan. Obat pertama dapat memperkuat atau memperlemah,
memperpanjang atau memperpendek kerja obat kedua. Interaksi obat harus lebih diperhatikan,
karena interaksi obat pada terapi obat dapat menyebabkan kasus yang parah dan tingkat
kerusakan-kerusakan pada pasien, dengan demikian jumlah dan tingkat keparahan kasus
terjadinya interaksi obat dapat dikurangi (Mutschler, 1991).

Hubungan dan interaksi antara makanan, nutrien yang terkandung dalam makanan dan
obat saling mendukung dalam pelayanan kesehatan dan dunia medis. Makanan dan nutrien
spesifik dalam makanan, jika dicerna bersama dengan beberapa obat, pasti dapat mempengaruhi
seluruh ketersediaan hayati, farmakokinetik, farmakodinamik dan efek terapi dalam pengobatan.
Makanan dapat mempengaruhi absorbsi obat sebagai hasil dari pengubahan dalam saluran
gastrointestinal atau interaksi fisika atau kimia antara partikel komponen makanan dan molekul
obat. Pengaruh tergantung pada tipe dan tingkat interaksi sehingga absorbsi obat dapat
berkurang, tertunda, tidak terpengaruh atau meningkat oleh makanan yang masuk.

Oleh karena itu sangat penting bagi kita untuk mempelajari interkasi obat, dengan
mempelajari interaksi obat diharapkan dapat meminilasir kesalahan pengobatan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Mengetahui interaksi obat dan makanan berdasarkan fase farmasetis, fase farmakokinetik,
dan fase farmakodinamik

2. Mengetahui interaksi obat dan makanan yang dapat menurunkan nafsu makan,
mengganggu pengecapan, mengganggu traktus gastrointestinal/ saluran pencernaan, dan
mempengaruhi absorbsi, metabolisme dan eksresi zat gizi

1.3 Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui interaksi obat dan makanan yang terjadi berdasar pada fase farmasetis,
fase farmakokinetik, dan fase farmakodinamik
2. Untuk mengetahui interaksi obat yang dapat menurunkan nafsu makan, mengganggu
pengecapan, mengganggu traktus gastrointestinal/ saluran pencernaan, dan
mempengaruhi absorbs, metabolism dan eksresi zat gizi

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian

4
Interaksi obat dapat didefinisikan sebagai modifikasi efek satu obat akibat obat lain yang
diberikan pada awalnya atau diberikan bersamaan, atau bila dua atau lebih obat berinteraksi
sedemikian rupa sehingga keefektifan atau toksisitas satu atau lebih akan berubah (Fradgley,
2003).

Secara ringkas dampak negatif IO akan timbul kejadian seperti :

a) Terjadinya efek samping


b) Tidak tercapainya efek terapetik

Interaksi obat adalah kejadian di mana suatu zat mempengaruhi aktivitas obat. Efek-
efeknya bisa meningkatkan atau mengurangi aktivitas, atau menghasilkan efek baru yang tidak
dimiliki sebelumnya. Biasanya yang terpikir oleh kita adalah antara satu obat dengan obat lain.
Tetapi, interaksi bisa saja terjadi antara obat dengan makanan, obat dengan herbal, obat dengan
mikronutrien, dan obat injeksi dengan kandungan infus.

Interaksi yang terjadi di dalam tubuh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu interaksi
farmakodinamik dan interaksi farmakokinetik. Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antar
obat (yang diberikan bersamaan) yang bekerja pada reseptor yang sama sehingga menimbulkan
efek sinergis atau antagonis. Interaksi farmakokinetik adalah interaksi antar 2 atau lebih obat
yang diberikan bersamaan dan saling mempengaruhi dalam proses ADME (absorpsi, distribusi,
metabolisme, dan eliminasi) sehingga dapat meningkatkan atau menurunkan salah satu kadar
obat dalam darah.

Pemberian obat-obatan merupakan bagian dari terapi medis terhadap pasien. Ketika
dikonsumsi, obat dapat mempengaruhi status gizi seseorang dengan mempengaruhi makanan
yang masuk (drug-food interaction). Hal sebaliknya juga dapat terjadi, makanan yang masuk
juga dapat mempengaruhi kerja beberapa obat-obatan (food-drug interaction).

2.2 Faktor – faktor Penunjang Interaksi Obat

Insidens interaksi obat yang penting dalam klinik sukar diperkirakan karena :

 Usia : Fisiologi tubuh, metabolisme dan eliminasi pada bayi, anak dan orang
dewasa berbeda.

5
 Bobot Badan : Perbandingan dosis obat – bobot badan menentukan konsentrasi obat
yang mencapai sasaran.
 Kehamilan : Pengosongan lambung↑, metabolisme ↑, ekskresi/filtrasi glomerolus ↑.
 Obat dalam ASI : Ampisilin, eritromisin, kanamisin, linkomisin, kloramfenikol, rifampisin,
streptomisin sulfat, tetrasiklin, dll.
 Variasi Diurenal : Hormon kortikosteroid dari korteks adrenal pada pagi hari ↑, mlm hari ↓
 Toleransi : Induksi enzim
 Suhu Tubuh : Distribusi ekskresi, ikatan, aktivitas enzim
 Kondisi Patologik : Gangguan fungsi hati, gangguan fungsi ginjal.
 Genetik : Defisiensi enzim
 Waktu Pemberian

2.3 Interaksi Obat dengan Makanan

Interaksi antara obat dan makanan dapat terjadi ketika makanan yang kita makan
mempengaruhi obat yang sedang kita gunakan, sehingga mempengaruhi efek obat tersebut.
Interaksi antara obat & makanan dapat terjadi baik untuk obat resep dokter maupun obat yang
dibeli bebas, seperti obat antasida, vitamin dll.
Makanan dan obat dapat berinteraksi dalam banyak cara yang berbeda. Sering, zat
tertentu di dalam makanan memberikan efek. Perubahan-perubahan lain dapat disebabkan oleh
jumlah protein dalam diet anda, atau bahkan cara makanan tersebut disiapkan. Salah satu cara
yang paling umum terjadi, dimana makanan mempengaruhi efek obat adalah dengan mengubah
cara obat tersebut diuraikan ( dimetabolisme ) oleh tubuh anda. Jenis protein yang disebut enzim,
memetabolisme banyak obat. Pada sebagian besar obat, metabolisme adalah proses yang terjadi
di dalam tubuh terhadap obat dimana obat yang semula aktif/ berkhasiat, diubah menjadi bentuk
tidak aktifnya sebelum dikeluarkan dari tubuh. Sebagian obat malah mengalami hal yang
sebaliknya, yakni menjadi aktif setelah dimetabolisme, dan setelah bekerja memberikan efek
terapinya, dimetabolisme lagi menjadi bentuk lain yang tidak aktif untuk selanjutnya dikeluarkan
dari tubuh. Beberapa makanan dapat membuat enzim-enzim ini bekerja lebih cepat atau lebih
lambat, baik dengan memperpendek atau memperpanjang waktu yang dilalui obat di dalam
tubuh. Jika makanan mempercepat enzim, obat akan lebih singkat berada di dalam tubuh dan
dapat menjadi kurang efekteif. Jika makanan memperlambat enzim, obat akan berada lebih lama
dalam tubuh dan dapat menyebabkan efek samping yang tidak dikehendaki.
Kadang-kadang apabila kita minum obat berbarengan dengan makanan, maka dapat
mempengaruhi efektifitas obat dibandingkan apabila diminum dalam keadaan perut kosong.
Selain itu konsumsi secara bersamaan antara vitamin atau suplemen herbal dengan obat juga
dapat menyebabkan terjadinya efek samping.

Dasar yang menentukan apakah obat diminum sebelum, selama atau setelah makan
tentunya adalah karena absorpsi, ketersediaan hayati serta efek terapeutik obat bersangkutan,
yang amat tergantung dari waktu penggunaan obat tersebut serta adanya kemungkinan interaksi

6
obat dengan makanan itu sendiri. Cukup banyak usaha-usaha yang dilakukan untuk menyelidiki
hal ini. Kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan dapat terjadinya interaksi obat dengan
makanan adalah :

• Perubahan motilitas lambung dan usus, terutama kecepatan pengosongan lambung dari saat
masuknya makanan

• Perubahan pH, sekresi asam serta produksi empedu

• Perubahan suplai darah di daerah splanchnicus dan di mukosa saluran cerna

• Dipengaruhinya absorpsi obat oleh proses adsorpsi dan pembentukan kompleks

• Dipengaruhinya proses transport aktif obat oleh makanan

• Perubahan biotransformasi dan eliminasi. (Widianto, 1989)

2.4 Faktor yang Mempengaruhi Interaksi Obat dan Makanan

Dari semua pengaruh ini, ada beberapa faktor yang mempengaruhi interaksi obat dan
makanan antara lain:

a. Pengosongan lambung

Pada kasus tertentu misalnya setelah pemberian laksansia atau penggunaan preparat retard, maka
di usus besarpun dapat terjadi absorpsi obat yang cukup besar. Karena besarnya peranan usus
halus dalam hal ini, tentu saja cepatnya makanan masuk ke dalam usus akan amat mempengaruhi
kecepatan dan jumlah obat yang diabsorpsi. Peranan jenis makanan juga berpengaruh besar di
sini. Jika makanan yang dimakan mengandung komposisi 40% karbohidrat, 40% lemak dan 20%
protein maka walaupun pengosongan lambung akan mulai terjadi setelah sekitar 10 menit. Proses
pengosongan ini baru berakhir setelah 3 sampai 4 jam. Dengan ini selama 1 sampai 1,5 jam
volume lambung tetap konstan karena adanya proses-proses sekresi.

Tidak saja komposisi makanan, suhu makanan yang dimakanpun berpengaruh pada kecepatan
pengosongan lambung ini. Sebagai contoh makanan yang amat hangat atau amat dingin akan
memperlambat pengosongan lambung. Ada pula peneliti yang menyatakan pasien yang gemuk
akan mempunyai laju pengosongan lambung yang lebih lambat daripada pasien normal. Nyeri
yang hebat misalnya migren atau rasa takut, juga obat-obat seperti antikolinergika (missal
atropin, propantelin), antidepresiva trisiklik (misal amitriptilin, imipramin) dan opioida (misal
petidin, morfin) akan memperlambat pengosongan lambung. Sedangkan percepatan pengosongan
lambung diamati setelah minum cairan dalam jumlah besar, jika tidur pada sisi kanan (berbaning
pada sisi kiri akan mempunyai efek sebaliknya,) atau pada penggunaan obat seperti
metokiopramida atau khinidin. Jelaslah di sini bahwa makanan mempengaruhi kecepatan

7
pengosongan lambung, maka adanya gangguan pada absorpsi obat karenanya tidak dapat
diabaikan.

b. Komponen makanan

Efek perubahan dalam komponen-komponen makanan :

1. Protein (daging, dan produk susu)

Sebagai contoh, dalam penggunaan Levadopa untuk mngendalikan tremor pada penderita
Parkinson. Akibatnya, kondisi yang diobati mungkin tidak terkendali dengan baik. Hindari atau
makanlah sesedikit mungkin makanan berprotein tinggi (Harknoss, 1989).

2. Lemak

Keseluruhan dari pengaruh makan lemak pada metabolisme obat adalah bahwa apa saja
yang dapat mempengaruhi jumlah atau komposisi asam lemak dari fosfatidilkolin mikrosom hati
dapat mempengaruhi kapasitas hati untuk memetabolisasi obat. Kenaikan fosfatidilkolin atau
kandungan asam lemak tidak jenuh dari fosfatidilkolin cenderung meningkatkan metabolism
obat (Gibson, 1991). Contohnya : Efek Griseofulvin dapat meningkat.interaksi yang terjadi
adalah interaksi yang menguntungkan dan grieseofluvin sebaiknya dimakan pada saat makan
makanan berlemak seperti daging sapi, mentega, kue, selada ayam, dan kentang goring
(Harkness, 1989).

3. Karbohidrat

Karbohidrat tampaknya mempunyai efek sedikit pada metabolism obat, walaupun banyak
makan glukosa, terutama sekali dapat menghambat metabolism barbiturate, dan dengan demikian
memperpanjang waktu tidur. Kelebihan glukosa ternyata juga mengakibatkan berkurangnya
kandungan sitokrom P-450 hati dan memperendah aktivitas bifenil-4-hidroksilase (Gibson,
1991). Sumber karbohidrat: roti, biscuit, kurma, jelli, dan lain-lain (Harkness, 1989).

4. Vitamin

Vitamin merupakan bagian penting dari makanan dan dibutuhkan untuk sintesis protein
dan lemak, keduanya merupakan komponen vital dari system enzim yang memetabolisasi obat.
Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa perubahan dalam level vitamin, terutama defisiensi,
menyebabkan perubahan dalam kapasitas memetabolisasi obat. Contohnya :

a. Vit A dan vit B dengan antacid, menyebabkan penyerapan vitamin berkurang.

b. Vit C dengan besi, akibatnya penyerapan besi meningkat.

c. Vit D dengan fenitoin (dilantin), akibatnya efek vit D berkurang.

d. Vit E dengan besi, akibatnya aktivitas vit E menurun. (Harkness, 1989)

8
5. Mineral

Mineral merupakan unsur logam dan bukan logam dalam makanan untuk menjaga
kesehatan yang baik. Unsur – unsure yang telah terbukti mempengaruhi metabolisme obat ialah:
besi, kalium, kalsium, magnesium, zink, tembaga, selenium, dan iodium. Makanan yang tidak
mengandung magnesium juga secara nyata mengurangi kandungan lisofosfatidilkolin, suatu efek
yang juga berhubungan dengan berkurangnya kapasitas memetabolisme hati. Besi yang berlebih
dalam makanan dapat juga menghambat metabolisme obat. Kelebihan tembaga mempunyai efek
yang sama seperti defisiensi tembaga, yakni berkurangnya kemampuan untuk memetabolisme
obat dalam beberapa hal. Jadi ada level optimum dalam tembaga yang ada pada makanan untuk
memelihara metabolism obat dalam tubuh (Gibson, 1991).

c. Ketersediaan hayati

Penggunaan obat bersama makanan tidak hanya dapat menyebabkan perlambatan absorpsi tetapi
dapat pula mempengaruhi jumlah yang diabsorpsi (ketersediaan hayati obat bersangkutan).
Penisilamin yang digunakan sebagai basis terapeutika dalam menangani reumatik, jika
digunakan segera setelah makan, ketersediaan hayatinya jauh lebih kecil dibandingkan jika tablet
tersebut digunakan dalam keadaan lambung kosong. Ini akibat adanya pengaruh laju
pengosongan lambung terhadap absorpsi obat (Gibson, 1991).

2.5 Fase – fase Interaksi Obat dan Makanan

 Fase Farmasetis

Fase farmasetis merupakan fase awal dari hancur dan terdisolusinya obat. Beberapa makanan
dan nutrisi mempengaruhi hancur dan larutnya obat. Maka dari itu, keasaman makanan dapat
mengubah efektifitas dan solubilitas obat-obat tertentu. Salah satu obat yang dipengaruhi pH
lambung adalah saquinavir, inhibitor protease pada perawatan HIV. Ketersediaan hayatinya
meningkat akibat solubilisasi yang diinduksi oleh perubahan pH lambung. Makanan dapat
meningkatkan pH lambung, disisi lain juga dapat mencegah disolusi beberapa obat seperti
isoniazid (INH).

 Fase farmakokinetik

Fase farmakokinetik adalah absorbsi, transport, distribusi, metabolisme dan


ekskresi obat. Interaksi obat dan makanan paling signifikan terlibat dalam proses
absorbsi. Usus halus, organ penyerapan primer, berperan penting dalam absorbsi obat. Fungsi
usus halus seperti motilitas atau afinitas obat untuk menahan sistem karier usus halus, dapat
mempengaruhi kecepatan dan tingkat absorbsi obat. Makanan dan nutrien dalam makanan dapat
meningkatkan atau menurunkan absorbsi obat dan mengubah ketersediaan hayati obat.
Interaksi Farmakokinetik sendiri dibagi menjadi 4 proses, yaitu:

9
1. Absorpsi

Obat-obat yang digunakan secara oral biasanya diserap dari saluran cerna ke dalam
sistem sirkulasi. Ada banyak kemungkinan terjadi interaksi selama obat melewati saluran cerna.
Absorpsi obat dapat terjadi melalui transport pasif maupun aktif, di mana sebagian besar obat
diabsorpsi secara pasif. Proses ini melibatkan difusi obat dari daerah dengan kadar tinggi ke
daerah dengan kadar obat yang lebih rendah. Pada transport aktif terjadi perpindahan obat
melawan gradien konsentrasi (contohnya ion-ion dan molekul yang larut air) dan proses ini
membutuhkan energi. Absorpsi obat secara transport aktif lebih cepat dari pada secara tansport
pasif. Obat dalam bentuk tak-terion larut lemak dan mudah berdifusi melewati membran sel,
sedangkan obat dalam bentuk terion tidak larut lemak dan tidak dapat berdifusi. Di bawah
kondisi fisiologi normal absorpsinya agak tertunda tetapi tingkat absorpsinya biasanya sempurna.

Bila kecepatan absorpsi berubah, interaksi obat secara signifikan akan lebih mudah
terjadi, terutama obat dengan waktu paro yang pendek atau bila dibutuhkan kadar puncak plasma
yang cepat untuk mendapatkan efek. Mekanisme interaksi akibat gangguan absorpsi antara lain :

a. Interaksi langsung

Interaksi secara fisik/kimiawi antar obat dalam lumen saluran cerna sebelum absorpsi dapat
mengganggu proses absorpsi. Interaksi ini dapat dihindarkan atau sangat dikuangi bila obat yang
berinteraksi diberikan dalam jangka waktu minimal 2 jam.

b. perubahan pH saluran cerna

Cairan saluran cerna yang alkalis, misalnya akibat adanya antasid, akan meningkatkan kelarutan
obat yang bersifat asam yang sukar larut dalam saluran cerna, misalnya aspirin. Dengan
demikian dipercepatnya disolusi aspirin oleh basa akan mempercepat absorpsinya. Akan tetapi,
suasana alkalis di saluran cerna akan mengurangi kelarutan beberapa obat yang bersifat basa
(misalnya tetrasiklin) dalam cairan saluran cerna, sehingga mengurangi absorpsinya.
Berkurangnya keasaman lambung oleh antasida akan mengurangi pengrusakan obat yang tidak
tahan asam sehingga meningkatkan bioavailabilitasnya.

Ketokonazol yang diminum per oral membutuhkan medium asam untuk melarutkan sejumlah
yang dibutuhkan sehingga tidak memungkinkan diberikan bersama antasida, obat antikolinergik,
penghambatan H2, atau inhibitor pompa proton (misalnya omeprazol). Jika memang dibutuhkan,
sebaiknya abat-obat ini diberikan sedikitnya 2 jam setelah pemberian ketokonazol.

c. pembentukan senyawa kompleks tak larut atau khelat, dan adsorsi

Interaksi antara antibiotik golongan fluorokinolon (siprofloksasin, enoksasin, levofloksasin,


lomefloksasin, norfloksasin, ofloksasin dan sparfloksasin) dan ion-ion divalent dan trivalent
(misalnya ion Ca2+ , Mg2+ dan Al3+ dari antasida dan obat lain) dapat menyebabkan penurunan
yang signifikan dari absorpsi saluran cerna, bioavailabilitas dan efek terapetik, karena

10
terbentuknya senyawa kompleks. Interaksi ini juga sangat menurunkan aktivitas antibiotik
fluorokuinolon. Efek interaksi ini dapat secara signifikan dikurangi dengan memberikan antasida
beberapa jam sebelum atau setelah pemberian fluorokuinolon. Jika antasida benar-benar
dibutuhkan, penyesuaian terapi, misalnya penggantian dengan obat-pbat antagonis reseptor H 2
atau inhibitor pompa proton dapat dilakukan.

Beberapa obat antidiare (yang mengandung atapulgit) menjerap obat-obat lain, sehingga
menurunkan absorpsi. Walaupun belum ada riset ilmiah, sebaiknya interval pemakaian obat ini
dengan obat lain selama mungkin.

d. obat menjadi terikat pada sekuestran asam empedu (BAS : bile acid sequestrant)

Kolestiramin dan kolestipol dapat berikatan dengan asam empedu dan mencegah reabsorpsinya,
akibatnya dapat terjadi ikatan dengan obat-obat lain terutama yang bersifat asam (misalnya
warfarin). Sebaiknya interval pemakaian kolestiramin atau kolestipol dengan obat lain selama
mungkin (minimal 4 jam).

e. perubahan fungsi saluran cerna (percepatan atau lambatnya pengosongan lambung, perubahan
vaksularitas atau permeabilitas mukosa saluran cerna, atau kerusakan mukosa dinding usus).

Obat yang Obat yang mempengaruhi Efek interaksi


dipengaruhi

Digoksin Metoklopramida Absorpsi digoksin dikurangi

Propantelin Absorpsi digoksin ditingkatkan (karena


perubahan motilitas usus)

Digoksin Kolestiramin Absorpsi dikurangi karena ikatan


dengan kolestiramin
Tiroksin

Warfarin

Ketokonazo Antasida Absorpsi ketokonazol dikurangi karena


l disolusi yang berkurang
Penghambat H2

Penisilamin Antasida yang mengandung Pembentukan khelat penisilamin yang


Al3+, Mg2+ , preparat besi, kurang larut menyebabkan berkurangnya
makanan absorpsi penislinamin

Penisilin Neomisin Kondisi malabsorpsi yang diinduksi


neomisin

Antibiotik Antasida yg mengandung Terbentuknya kompleks yang sukar

11
kuinolon Al3+,Mg2+ , Fe2+, Zn, susu terabsorpsi

Tetrasiklin Antasida yang mengandung Terbentuknya kompleks yang sukar


Al3+, Mg2+ , Fe2+, Zn, susu terabsorpsi

Contoh-contoh interaksi obat pada proses absorpsi

Di antara mekanisme di atas, yang paling signifikan adalah pembentukan kompleks tak
larut, p embentukan khelat atau bila obat terikat resin yang mengikat asam empedu. Ada juga
beberapa obat yang mengubah pH saluran cerna (misalnya antasida) yang mengakibatkan
perubahan bioavailabilitas obat yang signifikan.

2. Distribusi

Setelah obat diabsorpsi ke dalam sistem sirkulasi, obat di bawa ke tempat kerja di mana
obat akan bereaksi dengan berbagai jaringan tubuh dan atau reseptor. Selama berada di aliran
darah, obat dapat terikat pada berbagai komponen darah terutama protein albumin. Obat-obat
larut lemak mempunyai afinitas yang tinggi pada jaringan adiposa, sehingga obat-obat dapat
tersimpan di jaringan adiposa ini. Rendahnya aliran darah ke jaringan lemak mengakibatkan
jaringan ini menjadi depot untuk obat-obat larut lemak. Hal ini memperpanjang efek obat. Obat-
obat yang sangat larut lemak misalnya golongan fenotiazin, benzodiazepin dan barbiturat.

Sejumlah obat yang bersifat asam mempunyai afinitas terhadap protein darah terutama
albumin. Obat-obat yang bersifat basa mempunyai afinitas untuk berikatan dengan asam-α-
glikoprotein. Ikatan protein plasma (PPB : plasma protein binding) dinyatakan sebagai persen
yang menunjukkan persen obat yang terikat. Obat yang terikat albumin secara farmakologi tidak
aktif, sedangkan obat yang tidak terikat, biasa disebut fraksi bebas, aktif secara farmakologi. Bila
dua atau lebih obat yang sangat terikat protein digunakan bersama-sasam, terjadi kompetisi
pengikatan pada tempat yang sama, yang mengakibatkan terjadi penggeseran salah satu obat dari
ikatan dengan protein, dan akhirnya terjadi peninggatan kadar obat bebas dalam darah. Bila satu
obat tergeser dari ikatannya dengan protein oleh obat lain, akan terjadi peningkatan kadar obat
bebas yang terdistribusi melewati berbagai jaringan. Pada pasien dengan hipoalbuminemia kadar
obat bebas atau bentuk aktif akan lebih tinggi.

Asam valproat dilaporkan menggeser fenitoin dari ikatannya dengan protein dan juga
menghambat metabolisme fenitoin. Jika pasien mengkonsumsi kedua obat ini, kadar fenitoin tak
terikat akan meningkat secara signifikan, menyebabkan efek samping yang lebih besar.
Sebaliknya, fenitoin dapat menurunkan kadar plasma asam valproat. Terapi kombinasi kedua
obat ini harus dimonitor dengan ketat serta dilakukan penyesuaian dosis.

Obat-obat yang cenderung berinteraksi pada proses distribusi adalah obat-obat yang :

12
a. persen terikat protein tinggi ( lebih dari 90%)

b. terikat pada jaringan

c. mempunyai volume distribusi yang kecil

d. mempunyai rasio eksresi hepatic yang rendah

e. mempunyai rentang terapetik yang sempit

f. mempunyai onset aksi yang cepat

g. digunakan secara intravena.

Obat-obat yang mempunyai kemampuan tinggi untuk menggeser obat lain dari ikatan
dengan protein adalah asam salisilat, fenilbutazon, sulfonamid dan anti-inflamasi nonsteroid.

3. Metabolisme

Untuk menghasilkan efek sistemik dalam tubuh, obat harus mencapai reseptor, berarti
obat harus dapat melewati membran plasma. Untuk itu obat harus larut lemak. Metabolisme
dapat mengubah senyawa aktif yang larut lemak menjadi senyawa larut air yang tidak aktif, yang
nantinya akan diekskresi terutama melalui ginjal. Obat dapat melewati dua fase metabolisme,
yaitu metabolisme fase I dan II. Pada metabolisme fase I, terjadi oksidasi, demetilasi, hidrolisa,
dsb. oleh enzim mikrosomal hati yang berada di endothelium, menghasilkan metabolit obat yang
lebih larut dalam air. Pada metabolisme fase II, obat bereaksi dengan molekul yang larut air
(misalnya asam glukuronat, sulfat, dsb) menjadi metabolit yang tidak atau kurang aktif, yang
larut dalam air. Suatu senyawa dapat melewati satu atau kedua fasemetabolisme di atas hingga
tercapai bentuk yang larut dalam air. Sebagian besar interaksi obat yang signifikan secara klinis
terjadi akibat metabolisme fase I dari pada fase II.

a. Peningkatan metabolisme

Beberapa obat bisa meningkatkan aktivitas enzim hepatik yang terlibat dalam metabolisme
obat-obat lain. Misalnya fenobarbital meningkatkan metabolisme warfarin sehingga
menurunkan aktivitas antikoagulannya. Pada kasus ini dosis warfarin harus ditingkatkan, tapi
setelah pemakaian fenobarbital dihentikan dosis warfarin harus diturunkan untuk
menghindari potensi toksisitas. Sebagai alternative dapat digunakan sedative selain
barbiturate, misalnya golongan benzodiazepine. Fenobarbital juga meningkatkan
metabolisme obat-obat lain seperti hormone steroid.

13
Barbiturat lain dan obat-obat seperti karbamazepin, fenitoin dan rifampisin juga
menyebabkan induksi enzim.

Piridoksin mempercepat dekarboksilasi levodopa menjadi metabolit aktifnya, dopamine,


dalam jaringan perifer. Tidak seperti levodopa, dopamine tidak dapat melintasi sawar darah
otak untuk memberikan efek antiparkinson. Pemberian karbidopa (suatu penghambat
dekarboksilasi) bersama dengan levodopa, dapat mencegah gangguan aktivitas levodopa oleh
piridoksin,

b. Penghambatan metabolisme

Suatu obat dapat juga menghambat metabolisme obat lain, dengan dampak memperpanjang
atau meningkatkan aksi obat yang dipengaruhi. Sebagai contoh, alopurinol mengurangi
produksi asam urat melalui penghambatan enzim ksantin oksidase, yang memetabolisme
beberapa obat yang potensial toksis seperti merkaptopurin dan azatioprin. Penghambatan
ksantin oksidase dapat secara bermakna meningkatkan efek obat-obat ini. Sehingga jika
dipakai bersama alopurinol, dosis merkaptopurin atau azatioprin harus dikurangi hingga 1/3
atau ¼ dosis biasanya.

Simetidin menghambat jalur metabolisme oksidatif dan dapat meningkatkan aksi obat-obat
yang dimetabolisme melalui jalur ini (contohnya karbamazepin, fenitoin, teofilin, warfarin
dan sebagian besar benzodiazepine). Simetidin tidak mempengaruhi aksi benzodiazein
lorazepam, oksazepam dan temazepam, yang mengalami konjugasi glukuronida. Ranitidin
mempunyai efek terhadap enzim oksidatif lebih rendah dari pada simetidin, sedangkan
famotidin dan nizatidin tidak mempengaruhi jalur metabolisme oksidatif.

Eritromisin dilaporkan menghambat metabolisme hepatik beberapa obat seperti


karbamazepin dan teofilin sehingga meningkatkan efeknya. Obat golongan fluorokuinolon
seperti siprofloksasin juga meningkatkan aktivitas teofilin, diduga melalui mekanisme yang
sama.

4. Ekskresi

Kecuali obat-obat anestetik inhalasi, sebagian besar obat diekskresi lewat empedu atau
urin. Darah yang memasuki ginjal sepanjang arteri renal, mula-mula dikirim ke glomeruli
tubulus, dimana molekul-molekul kecil yang cukup melewati membran glomerular (air, garam
dan beberapa obat tertentu) disaring ke tubulus. Molekul-molekul yang besar seperti protein
plasma dan sel darah ditahan. Aliran darah kemudian melewati bagian lain dari tubulus ginjal
dimana transport aktif yang dapat memindahkan obat dan metabolitnya dari darah ke filtrat
tubulus. Sel tubulus kemudian melakukan transport aktif maupun pasif (melalui difusi) untuk

14
mereabsorpsi obat. Interaksi bis terjadi karena perubahan ekskresi aktif tubuli ginjal, perubahan
pH dan perubahan aliran darah ginjal.

a. Perubahan ekskresi aktif tubuli ginjal

b. perubahan pH urin

c. Perubahan aliran darah ginjal

 Fase farmakodinamik

Fase farmakodinamik merupakan respon fisiologis dan psikologis terhadap obat. Mekanisme
obat tergantung pada aktifitas agonis atau antagonis, yang mana akan meningkatkan atau
menghambat metabolisme normal dan fungsi fisiologis dalam tubuh manusia. Obat dapat
memproduksi efek yang diinginkan dan tidak diinginkan. Aspirin dapat menyebabkan defisiensi
folat jika diberikan dalam jangka waktu lama. Methotrexat memiliki struktur yang mirip dengan
folat vitamin B, hal ini dapat memperparah defisiensi folat.

2.5 Efek Interaksi Antara Obat dan Makanan

Interaksi antara obat dan makanan disini dapat dibagi menjadi :


 Obat dan penurunan nafsu makan

Efek samping obat atau pengaruh obat secara langsung, dapat mempengaruhi nafsu makan.
Kebanyakan stimulan CNS dapat mengakibatkan anorexia. Efek samping obat yang berdampak
pada gangguan CNS dapat mempengaruhi kemampuan dan keinginan untuk makan. Obat-obatan
penekan nafsu makan dapat menyebabkan terjadinya penurunan berat badan yang tidak
diinginkan dan ketidakseimbangan nutrisi (Mahan, 2002).

 Obat dan perubahan pengecapan atau penciuman

Banyak obat yang dapat menyebabkan perubahan terhadap kemampuan merasakan dysgeusia,
menurunkan ketajaman rasa hypodysgeusia. Gejala-gejala tersebut dapat mempengaruhi intake
makanan. Obat-obatan yang umum digunakan dan diketahui menyebabkan hypodysgeusia
seperti: obat antihipertensi (captopril), antriretroviral ampenavir, antineoplastik cisplastin, dan
antikonvulsan phenytoin (Mahan, 2002).

 Obat dan gangguan gastrointestinal

15
Obat dapat menyebabkan perubahan pada fungsi usus besar dan hal ini dapat berdampak pada
terjadinya konstipasi atau diare. Obat-obatan narkosis seperti kodein dan morfin dapat
menurunkan produktivitas tonus otot halus dari dinding usus. Hal ini berdampak pada penurunan
peristaltik yang menyebabkan terjadinya konstipasi (Lulukria, 2010).

 Absorbsi

Interaksi dalam proses absorpsi dapat terjadi dengan berbagai cara misalnya,

- Perubahan (penurunan) motilitas gastrointestinal oleh karena obat-obat seperti morfin atau
senyawa-senyawa antikolinergik dapat mengubah absorpsi obat-obat lain.

- Kelasi yakni pengikatan molekul obat-obat tertentu oleh sen/.zyawa logam sehingga absorpsi
akan dikurangi, oleh karena terbentuk senyawa kompleks yang tidak diabsorpsi. Misalnya kelasi
antara tetrasiklin dengan senyawa-senyawa logam /berat akan menurunkan absorpsi tetrasiklin.

- Makanan juga dapat mengubah absorpsi obat-obat tertentu, misalnya: umumnya antibiotika
akan menurun absorpsinya bila diberikan bersama dengan makanan (Grahame, 1985).

Obat-obatan yang dikenal luas dapat mempengaruhi absorbsi zat gizi adalah obat-obatan yang
memiliki efek merusak terhadap mukosa usus. Antineoplastik, antiretroviral, NSAID dan
sejumlah antibiotik diketahui memiliki efek tersebut. Mekanisme penghambatan absorbsi
tersebut meliputi: pengikatan antara obat dan zat gizi (drug-nutrient binding) contohnya Fe, Mg,
Zn, dapat berikatan dengan beberapa jenis antibiotik; mengubah keasaman lambung seperti pada
antacid dan antiulcer sehingga dapat mengganggu penyerapan B12, folat dan besi; serta dengan
cara penghambatan langsung pada metabolisme atau perpindahan saat masuk ke dinding usus
(Lulukria, 2010).

 Metabolisme

Interaksi dalam proses metabolisme dapat terjadi dengan dua kemungkinan, yakni

• Pemacuan enzim (enzyme induction) suatu obat (presipitan) dapat memacu metabolisme obat
lain (obat obyek) sehingga mempercepat eliminasi obat tersebut. Obat-obat yang dapat memacu
enzim metabolism obat disebut sebagai enzyme inducer. Dikenal beberapa obat yang mempunyai
sifat pemacu enzim ini yakni Rifampisin; Antiepileptika: fenitoin, karbamasepin, fenobarbital.

• Penghambatan enzim, Obat-obat yang punya kemampuan untuk menghambat enzim yang
memetabolisir obat lain dikenal sebagai penghambat enzim (enzyme inhibitor). Akibat dari
penghambatan metabolisme obat ini adalah meningkatnya kadar obat dalam darah dengans egala
konsekuensinya, oleh karena terhambatnya proses eliminasi obat. Obat-obat yang dikenal dapat
menghambat aktifitas enzim metabolisme obat antara lain kloramfenikol, isoniazid, simetidin,
propanolol, eritromisin, fenilbutason, alopurinol,dan lain-lain (Grahame, 1985).

16
Obat-obatan dan zat gizi mendapatkan enzim yang sama ketika sampai di usus dan hati.
Akibatnya beberapa obat dapat menghambat aktifitas enzim yang dibutuhkan untuk
memetabolisme zat gizi. Sebagai contohnya penggunaan metotrexate pada pengobatan kanker
menggunakan enzim yang sama yang dipakai untuk mengaktifkan folat. Sehingga efek samping
dari penggunaan obat ini adalah defisiensi asam folat (Lulukria, 2010).

 Ekskresi

Obat-obatan dapat mempengaruhi dan mengganggu eksresi zat gizi dengan mengganggu
reabsorbsi pada ginjal dan menyebabkan diare atau muntah. Sehingga jika dirangkum, efek
samping pemberian obat-obatan yang berhubungan dengan gangguan GI (gastrointestinal) dapat
berupa terjadinya mual, muntah, perubahan pada pengecapan, turunnya nafsu makan, mulut
kering atau inflamasi/ luka pada mulut dan saluran pencernaan, nyeri abdominal (bagian perut),
konstipasi dan diare. Efek samping seperti di atas dapat memperburuk konsumsi makanan si
pasien. Ketika pengobatan dilakukan dalam waktu yang panjang tentu dampak signifikan yang
memperngaruhi status gizi dapat terjadi (Bruyne, 2008).

BAB III

PEMBAHASAN

MEKANISME
N OBAT OBJEK PENANGANA
INTERAKSI EFEK AKIBAT
O PRAECIPITAN OBAT N
OBAT

17
Hindari
Membentuk konsumsi
ikatan susu dan
kompleks Penurunan makanan/
Gagal
1 Tetrasiklin Susu yang sulit di ketersediaa minuman
terapi
absorbsi n hayati berkalsium
saluran tinggi
cerna selama
terapi
Menghambat Mengurangi
Makanan Menurunka Beri selang
2 Levodopa efektivitas transpor ke
berprotein n khasiat waktu 1 jam
Levodopa otak

Makanan Membuka Kemungkin Hindari


Nafas tidak
3 Teofilin berlemak jalan di paru an konsumsi
beraturan
dan kopi – paru toksisitas kafein
Membentuk
ikatan
kompleks
Minum
yang
Lama Acetaminop
Acetaminoph Karbohidr memperlamb Memperlam
4 waktu hen 1 jam
en at at kecepatan bat absorbsi
terapi sesudah
awal
makan
absorbsi
Acetaminoph
en

Hentikan
Jantung
Makanan Efek alkali program
berderbar,
diet yang menghambat Gagal diet dan
5 Quinidin sakit kepala,
bersifat ekskresi terapi jaga pola
gangguan
alkali Quinidin makan yang
penglihatan
baik

Hindari
Menyebabka konsumsi
Air jeruk
n Penurunan makanan/
atau sari Gagal
6 Penicillin dekomposisi ketersediaa minuman
buah terapi
dari preparat n hayati asam
asam
Penicillin selama
terapi

18
Hentikan
program
Makanan Gagal
Toksisitas diet garam,
Lithum diet Meningkatka terapi
7 Lithium akan dan kontrol
Carbonat kurang n toksisitas hingga
meningkat konsumsi
garam toksisitas
garam
secukupnya

Lemah, kaku
pada leher Hentikan
Makanan Meningkatka Kemungkin
dan makan
8 Phenytoin mengandu n absorbsi an
punggung, makanan
ng MSG dari MSG toksisitas
serta ber-MSG
palpitasi

Hindari
konsumsi
susu dan
Susu dan makanan/
Mengurangi Aritmia Gagal
9 Digoxin makanan minuman
efek digoxin jantung terapi
berserat berkalsium
tinggi
selama
terapi

Peningkatan Hindari
pH yang konsumsi
menyebabka susu dan
n Penurunan makanan/
Gagal
10 Bisacodyl Susu disintegrasi ketersediaa minuman
terapi
salut/ lapisan n hayati berkalsium
enterik dari tinggi
tablet selama
Bisacodyl terapi

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

19
Interaksi antara obat dan makanan terjadi dalam tiga fase yaitu fase farmasetis, fase
farmakokinetik, fase farmakodinamik. Dengan mekanisme obat yang telah diminum akan hancur
dan obat terdisolusi (merupakan fase farmasetis), kemudian obat tersebut di absorpsi, transport,
distribusi, metabolism dan ekresi oleh tubuh (merupakan fase farmakokinetik), setelah melewati
fase farmakokinetik maka obat tersebut dapat direspon secara fisiologis dan psikologis
(merupakan fase farmakodinamik).

Efek samping pemberian obat-obatan yang berhubungan dengan gangguan GI


(gastrointestinal) dapat berupa terjadinya mual, muntah, perubahan pada pengecapan, turunnya
nafsu makan, mulut kering atau inflamasi/ luka pada mulut dan saluran pencernaan, nyeri
abdominal (bagian perut), konstipasi dan diare. Efek samping seperti di atas dapat memperburuk
konsumsi makanan si pasien. Ketika pengobatan dilakukan dalam waktu yang panjang tentu
dampak signifikan yang memperngaruhi status gizi dapat terjadi.

4.2 Saran

 Bacalah label obat dengan teliti, apabila kurang memahami dapat ditanyakan dengan dokter
yang meresepkan atau apoteker
 Baca aturan pakai, label perhatian dan peringatan interaksi obat yang tercantum dalam label
atau wadah obat. Bahkan obat yang dijual bebas juga perlu aturan pakai yang disarankan
 Sebaiknya minum obat dengan segelas air putih
 Jangan campur obat dengan makanan atau membuka kapsul kecuali atas petunjuk dokter
 Vitamin atau suplemen kesehatan sebaiknya jangan diminum bersamaan dengan obat karna
terdapat beberapa jenis vitamin dan mineral tertentu yang dapat berinteraksi dengan obat
 Jangan pernah minum obat bersamaan dengan minuman yang mengandung alkohol

DAFTAR PUSTAKA

1. Jung D. Clinical Pharmacokinetics. Moduls Yogyakarta 1985.


2. Harkness Richard, diterjemahkan oleh Goeswin Agoes dan Mathilda B.Widianto.
Interaksi obat. Bandung: Penerbit ITB, 1989.
3. Muttschler,Ernest, 1999, Dinamika Obat : Farmakologi dan Toksikologi, Penerbit ITB:
Bandung.
4. Gibson, Gordon, 1991, Pengantar Metabolisme Obat, UI Press ; Jakarta.

20
5. Grahame, Smith DG et al., 1985, Oxford Textbook of Clinical Pharmacology and Drug
Therapi, Pp.158-171, Oxford University Press, Oxford.
6. Widianto, Mathilda ., 1989, Cermin Dunia Kedokteran, PT Temprint: Jakarta.
7. Center for Drug Evaluation and Research (CDER). In Vivo Drug Metabolism/Drug
Interaction Studies – Study Design, Data Analysis, and Recommendations for Dosing and
Labeling. 1999
8. Larry K. Fry and Lewis D. Stegink Formation of Maillard Reaction Products in
Parenteral Alimentation Solutions J. Nutr. 1982 112: 1631-1637
9. Stadler RH, Blank I, Varga N, Robert F, Hau J, Guy PA, Robert MC, Riediker S.
Acrylamide from Maillard reaction products. Nature. 2002 Oct 3;419(6906):449-50.
10. http://www.drugs.com/drug_information.html
11. http://interaksiobatdanmakanan/adropofinkcanmakeamillionpeoplethink.htm
12. http://hendrahadi.wordpress.com
13. http://www.untukku.com/artikel-untukku/interaksi-obat-apa-yang-patut-anda-ketahui-
untukku.html
14. http://www.scribd.com/doc/30293958/25305010-MAKALAH-FARMASETIKA-II
15. http://pio.farmasi.ui.ac.id/interaksiobat.php
16. http://www.faikshare.com/2010/08/interaksi-obat-dan-makanan.html

21
MAKALAH

INTERAKSI OBAT PADA FASE METABOLISME

OLEH : KELOMPOK 3
ANGGOTA : ASRI NOVIATIN (F1F1 13 004)
DESI SARTINA (F1F1 13 008)
FIRASMI SANGADJI (F1F1 13 013)
GUSLINI (F1F1 13 017)
IQRA KURNIA NURRAHMAH (F1F1 13 023)
MELISA ARDIANTI (F1F1 13 031)
MUHAMMAD ERWIN (F1F1 13 032)
MUTMAINNAH (F1F1 13 035)
RAHMAT RAMADHAN (F1F1 13 043)
RESKI DWI FITRIANI (F1F1 13 046)

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2016
KATA PENGANTAR

Segala puji kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
Farmasetika Terapan yang berjudul ” Interaksi Obat Pada fase Metabolisme”.
Dan kepada Rasullah Nabi Muhammad SAW yang telah membawa dunia dari
alam jahilyahh menuju kealam terang seperti yang dirasakan sampai saat ini.
Dengan segala kerendahan hati kami mengucapkan terimah kasih yang
setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah berjasa memberikan motivasi
dalam rangka menyelesaikan makalah ini. Khususnya kepada kepada dosen
pembimbing yang telah memberikan bimbingan kepada kami, teman-teman yang
telah bekerja sama untuk memberikan motivasi dan masukan sehingga makalah
ini dapat terselesaikan dengan waktu yang telah ditentukan.
Akhir kata, kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, untuk itu segala kritik dan saran sangat kami butuhkan demi
kesempurnaan pembuatan makalah selanjutnya.

Kendari, April 2016

Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................ii
BAB 1. PENDAHULUAN....................................................................................
A. LATAR BELAKANG................................................................................
B. TUJUAN....................................................................................................
C. RUMUSAN MASALAH..........................................................................
D. MANFAAT................................................................................................
BAB II. PEMBAHASAN......................................................................................
A. PENGERTIAN INTERAKSI OBAT.........................................................
B. MEKANISME INTERAKSI OBAT.........................................................
C. METABOLISME.......................................................................................
BAB III. PENUTUP..............................................................................................
A. KESIMPULAN.........................................................................................
B. SARAN......................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Interaksi obat didefinisikan oleh Committee for Proprietary
Medicine Product (CPMP) sebagai suatu keadaan bilamana suatu obat
dipengaruhi oleh penambahan obat lain dan menimbulkan pengaruh klinis.
Biasanya, pengaruh ini terlihat sebagai suatu efek samping, tetapi
terkadang pula terjadi perubahan yang menguntungkan.Obat yang
memengaruhi disebut sebagai precipitant drug, sedangkan obat yang
dipengaruhi disebut sebagai object drug.
Interaksi obat terjadi jika suatu obat mengubah efek obat
lainnya.Kerja obat yang diubah dapat menjadi lebih atau kurang aktif.
Sebuah interaksi obat terjadi ketika farmakokinetika atau
farmakodinamika obat dalam tubuh diubah oleh kehadiran satu atau lebih
zat yang berinteraksi.Obat yang diberikan dapat bersaing satu dengan yang
lainnya, atau apa yang terjadi ketika obat hadir bersama satu dengan yang
lainnya sehingga interaksi obat menjadi penting untuk dipertimbangkan
.Interaksi obat dapat terjadi pada manusia maupun pada hewan yang
mengonsumsi obat. Karena interaksi obat pada terapi obat dapat
menyebabkan kasus yang parah dan kerusakan-kerusakan pada
pasien,maka interaksi obat harus jauh lebih diperhatikan agar dapat
meminimalisir keparahannya.
Beberapa studi menyebutkan proporsi interaksi obat dengan obat lain
(antar obat) berkisar antara 2,2% sampai 30% terjadi pada pasien rawat-
inap dan 9,2% sampai 70,3% terjadi pada pasien-pasien rawat jalan,
walaupun kadang-kadang evaluasi interaksi obat tersebut memasukkan
pula interaksi secara teoretik selain interaksi obat sesungguhnya yang
ditemukan dan terdokumentasi.Di Amerika Serikat, insidensi interaksi
obat yang mengakibatkan reaksi efek samping sebanyak 7,3% terjadi di
rumah sakit lebih dari 88% terjadi pada pasien geriatrik di rumah sakit.
Orang mengalami resiko efek samping karena interaksi obat, dan seberapa
jauh risiko efeks amping dapat dikurangi diperlukan jika akan mengganti
obat yang berinteraksi dengan obat alternatif. Dengan mengetahui
bagaimana mekanisme interaksi antar obat, dapat diperkirakan
kemungkinan efek samping yang akan terjadi dan melakukan antisipasi.
Makalah ini bermaksud menguraikan mekanisme interaksi obat pada
proses metabolisme.

B. TUJUAN
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui Interaksi
obat pada fase metabolisme.

C. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dari makalah ini adalah bagaimana interaksi obat pada
fase metabolisme?

D. MANFAAT
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah dapat mengetahui interaksi obat
pada fase metabolisme.

BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN INTERAKSI OBAT


Interaksi obat adalah perubahan efek suatu obat akibat pemakaian
obat lain (interaksi obat-obat) atau oleh makanan, obat tradisional dan
senyawa kimia lain. Interaksi obat yang signifikan dapat terjadi jika dua
atau lebih obat digunakan bersama-sama. Interaksi obat secara klinis
penting bila berakibat peningkatan toksisitas dan/atau pengurangan
efektivitas obat. Jadi perlu diperhatikan terutama bila menyangkut obat
dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi yang rendah),
misalnya glikosida jantung, antikoagulan dan obat-obat sitostatik. Selain
itu juga perlu diperhatikan obat-obat yang biasa digunakan bersama-sama.
Kejadian interaksi obat dalam klinis sukar diperkirakan karena :
 Dokumentasinya masih sangat kurang.
 Seringkali lolos dari pengamatan, karena kurangnya pengetahuan akan
mekanisme dan kemungkinan terjadi interaksi obat. Hal ini
mengakibatkan interaksi obat berupa peningkatan toksisitas dianggap
sebagai reaksi idiosinkrasi terhadap salah satu obat, sedangkan interaksi
berupa penurunakn efektivitas dianggap diakibatkan bertambah
parahnya penyakit pasien.
 Kejadian atau keparahan interaksi obat dipengaruhi oleh variasi individual,
di mana populasi tertentu lebih peka misalnya pasien geriatric atau
berpenyakit parah, dan bisa juga karena perbedaan kapasitas metabolisme
antar individu. Selain itu faktor penyakit tertentu terutama gagal ginjal
atau penyakit hati yang parah dan faktor-faktor lain (dosis besar, obat
ditelan bersama-sama, pemberian kronik).

B. MEKANISME INTERAKSI OBAT


Interaksi diklasifikasikan berdasarkan keterlibatan dalam proses
farmakokinetik maupun farmakodinamik. Interaksi farmakokinetik
ditandai dengan perubahan kadar plasma obat, area di bawah kurva
(AUC), onset aksi, waktu paro dsb. Interaksi farmakokinetik diakibatkan
oleh perubahan laju atau tingkat absorpsi, distribusi, metabolisme
dan ekskresi. Interaksi farmakodinamik biasanya dihubungkan dengan
kemampuan suatu obat untuk mengubah efek obat lain tanpa mengubah
sifat-sifat farmakokinetiknya. Interaksi farmakodinamik meliputi aditif
(efek obat A =1, efek obat B = 1, efek kombinasi keduanya = 2), potensiasi
(efek A = 0, efek B = 1, efek kombinasi A+B = 2), sinergisme (efek A = 1,
efek B = 1, efek kombinasi A+B = 3) dan antagonisme (efek A = 1, efek B
= 1, efek kombinasi A+B = 0). Mekanisme yang terlibat dalam interaksi
farmakodinamik adalah perubahan efek pada jaringan atau reseptor.

C. METABOLISME
Metabolisme obat adalah proses modifikasi biokimia
senyawa obat oleh organisme hidup, pada umumnya dilakukan melalui
proses enzimatik. Proses metabolisme obat merupakan salah satu hal
penting dalam penentuan durasi dan intensitas khasiat farmakologis obat.
Karena senyawa lipofil sebagian besar direabsorpsi kembali kedalam
tubuli ginjal setelah filtrsi glomerulus,maka senyawa ini dapat dieksresi
dengan lambat melalui ginjal. Karena itu bila senyawa itu tidak dirubah
secara kimia,mungkin berbahay karena bahan bahan demikian
menetap dalam tubuh dan terakumulasi terutama dalam jaringan
lemak. Karena itu tidak mengherankan bahwa organism memiliki
system enzim yang dapat mengubah xenobiotika lipofil menjadi bahan
yang lebih hidrofil dan lebih mudah diekskresi. Laju ekskresi bahan yang
larut dalam lemak bergantung,sebagian besar kepada berapa cepat
senyawa ini dimetabolisme menjadi senyawa senyawa yang lebih larut
dalam air dalam organism.Proses perubahan senyawa asing tersebut
dinamakan biotransformasi.
Untuk menghasilkan efek sistemik dalam tubuh, obat harus
mencapai reseptor, berarti obat harus dapat melewati membran plasma.
Untuk itu obat harus larut lemak. Metabolisme dapat mengubah senyawa
aktif yang larut lemak menjadi senyawa larut air yang tidak aktif, yang
nantinya akan diekskresi terutama melalui ginjal. Obat dapat melewati dua
fase metabolisme, yaitu metabolisme fase I dan II. Pada metabolisme fase
I, terjadi oksidasi, demetilasi, hidrolisa, dsb. oleh enzim mikrosomal hati
yang berada di endothelium, menghasilkan metabolit obat yang lebih larut
dalam air. Pada metabolisme fase II, obat bereaksi dengan molekul yang
larut air (misalnya asam glukuronat, sulfat, dsb) menjadi metabolit yang
tidak atau kurang aktif, yang larut dalam air. Suatu senyawa dapat
melewati satu atau kedua fasemetabolisme di atas hingga tercapai bentuk
yang larut dalam air. Sebagian besar interaksi obat yang signifikan secara
klinis terjadi akibat metabolisme fase I dari pada fase II.S
1. Mekanisme Metabolisme Obat
Metabolisme obat sebagian besar terjadi di retikulum endoplasma sel-sel
hati. Selain itu, metabolisme obat juga terjadi di sel-sel epitel pada saluran
pencernaan, paru-paru, ginjal, dan kulit. Terdapat 2 fase metabolisme
obat, yakni fase I dan II. Pada reaksi-reaksi ini, senyawa yang kurang
polar akan dimodifikasi menjadi senyawa metabolit yang lebih polar.
Proses ini dapat menyebabkan aktivasi atau inaktivasi senyawa obat.

Reaksi fase I, disebut juga reaksi nonsintetik, terjadi melalui reaksi-


reaksi oksidasi, reduksi, hidrolisis, siklikasi, dan desiklikasi. Reaksi
oksidasi terjadi bila ada penambahan atom oksigen atau penghilangan
hidrogen secara enzimatik. Biasanya reaksi oksidasi ini melibatkan
sitokrom P450 monooksigenase (CYP), NADPH, dan oksigen.
Obat-obat yang dimetabolisme menggunakan metode ini antara lain
golongan fenotiazin, parasetamol, dan steroid.
Reaksi oksidasi akan mengubah ikatan C-H menjadi C-OH, hal ini
mengakibatkan beberapa senyawa yang tidak aktif (pro drug) secara
farmakologi menjadi senyawa yang aktif. Juga, senyawa yang lebih
toksik/beracun dapat terbentuk melalui reaksi oksidasi ini.

Reaksi fase II, disebut pula reaksi konjugasi, biasanya merupakan


reaksi detoksikasi dan melibatkan gugus fungsional polar metabolit fase I,
yakni gugus karboksil (-COOH), hidroksil (- OH), dan amino (NH2), yang
terjadi melalui reaksi metilasi, asetilasi, sulfasi, dan glukoronidasi. Reaksi
fase II akan meningkatkan berat molekul senyawa obat, dan menghasilkan
produk yang tidak aktif. Hal ini merupakan kebalikan dari reaksi
metabolisme obat pada fase I.
Metabolisme obat dipengaruhi oleh fa ktor-faktor antara lain
faktor fisiologis (usia, genetika, nutrisi, jenis kelamin), serta
penghambatan dan juga induksi enzim yang terlibat dalam proses
metabolisme obat. Selain itu, faktor patologis (penyakit pada hati atau
ginjal) juga berperan dalam menentukan laju metabolisme obat.
 Induksi dan Inhibisi Enzim
Induksi enzim : menaikkan kecepatan biosintesis enzim menyebabkan
meningkatnya laju metabolisme yang umumnya deaktivasi obat, sehingga
mengurangi kadarnya dalam plasma dan memperpendek waktu paro obat.
Karena itu intensitas dan durasi efek farmakologinya berkurang.

Contoh :
2. Interaksi Pada Proses Metabolisme
a. Peningkatan metabolisme
Beberapa obat bisa meningkatkan aktivitas enzim hepatik yang
terlibat dalam metabolisme obat-obat lain. Misalnya fenobarbital
meningkatkan metabolisme warfarin sehingga menurunkan
aktivitas antikoagulannya. Pada kasus ini dosis warfarin harus
ditingkatkan, tapi setelah pemakaian fenobarbital dihentikan
dosis warfarin harus diturunkan untuk menghindari potensi
toksisitas. Sebagai alternative dapat digunakan sedative selain
barbiturate, misalnya golongan benzodiazepine. Fenobarbital
juga meningkatkan metabolisme obat-obat lain seperti hormone
steroid.
Barbiturat lain dan obat-obat seperti karbamazepin,
fenitoin dan rifampisin juga menyebabkan induksi enzim.
Piridoksin mempercepat dekarboksilasi levodopa menjadi
metabolit aktifnya, dopamine, dalam jaringan perifer. Tidak seperti
levodopa, dopamine tidak dapat melintasi sawar darah otak untuk
memberikan efek antiparkinson. Pemberian karbidopa (suatu
penghambat dekarboksilasi) bersama dengan levodopa, dapat
mencegah gangguan aktivitas levodopa oleh piridoksin.

b. Penghambatan metabolisme
Suatu obat dapat juga menghambat metabolisme obat lain, dengan
dampak memperpanjang atau meningkatkan aksi obat yang
dipengaruhi. Sebagai contoh, alopurinol mengurangi produksi asam
urat melalui penghambatan enzim ksantin oksidase, yang
memetabolisme beberapa obat yang potensial toksis seperti
merkaptopurin dan azatioprin. Penghambatan ksantin oksidase dapat
secara bermakna meningkatkan efek obat-obat ini. Sehingga jika
dipakai bersama alopurinol, dosis merkaptopurin atau azatioprin harus
dikurangi hingga 1/3 atau ¼ dosis biasanya. Pemberian suatu obat
bersamaan dengan obat lain yang enzim pemetabolismenya sama dapat
terjadi gangguan metabolisme yang dapat menaikkan kadar salah satu
obat dalam plasma, sehingga meningkatkan efeknya atau toksisitasnya.
Contoh: pemberian S-warfarin bersamaan dengan fenilbutazon
dapat menyebabkan mengkitnya kadar Swarfarin dan terjadi
pendarahan.
Simetidin menghambat jalur metabolisme oksidatif dan dapat
meningkatkan aksi obat-obat yang dimetabolisme melalui jalur ini
(contohnya karbamazepin, fenitoin, teofilin, warfarin dan sebagian
besar benzodiazepine). Simetidin tidak mempengaruhi aksi
benzodiazein lorazepam, oksazepam dan temazepam, yang mengalami
konjugasi glukuronida. Ranitidin mempunyai efek terhadap enzim
oksidatif lebih rendah dari pada simetidin, sedangkan famotidin dan
nizatidin tidak mempengaruhi jalur metabolisme oksidatif. Eritromisin
dilaporkan menghambat metabolisme hepatik beberapa obat
seperti karbamazepin dan teofilin sehingga meningkatkan efeknya. Obat
golongan fluorokuinolon seperti siprofloksasin juga meningkatkan
aktivitas teofilin, diduga melalui mekanisme yang sama.
c. Induktor enzim
Pemberian suatu obat bersamaan dengan obat lain yang enzim
pemetabolismenya sama dapat terjadi gangguan metabolisme yang
dapat menurunkan kadar obat dalam plasma, sehingga menurunkan
efeknya atau toksisitasnya. Contoh: pemberian estradiol bersamaan
denagn rifampisin akan menyebabkan kadar estradiol menurun dan
efektifitas kontrasepsi oral estradiol menurun.

Interaksi pada proses metabolisme merupakan kasus yang paling


banyak terjadi, dimana sekitar 50-60% obat yang digunakan dalam
terapi dapat slaing berinteraksi pada enzim yang sama. Diantara enzim
metabolisme yang lebih banyak terlibat adalah enzim-enzim
mikrosomal pada fase-1, yaitu yang melakukan proses oksidasi,
reduksi, dan hidroksilasi obat khususnya isoform CYP3A. enzim CYP
lainnya juga terlibat dalam interaksi obat, namun presentasinya lebih
kecil dibandingkan keterlibatan CYP3A. ada dua mekanisme interaksi
pada enzim metabolisme-inhibisi dan induksi enzim, dan hal ini dapat
terjadi di saluran usus dan hati sebagai organorgan utama metabolisme
obat. Efek inhibisi atau induksi enzim terhadap obat lain akan
bermakna klinik.
 Jika inhibitor atau induser diberikan dalam waktu yang cukup
misalnya beberapa hari untuk inhibitor, dan lebih dari satu minggu
untuk inducer untuk menampakkan aksinya. Normalisasi enzim ke
keadaan semula setelah penghentian inhibitor atau inducer
memerlukan waktu yang relative lebih cepat untuk inhibitor, dan
lebih lama untuk induser enzim-tergantung beberapa lama induksi
enzim berlangsung.
 Jika inhibitor atau induser diberikan dengan dosis besar (refaltif
terhadap jumlah enzim), akan mempengaruhi aktivitas enzim
memetabolismee secara signifikan.
 Tergantung beberapa jenis enzim yang terlibat dalam metabolisme
obat . jika suatu obat (substrat) hanya dimetabolismee oleh satu jenis
enzim saja, maka inhibisi atau induksi enzim tersebut akan
memberikan efek yang signifikan terhadap obat. Misalnya
atorvastatin dimetabolismee oleh CYP3A, dan inhibisi enzim oleh
itrakonazol menyebabkan AUC atorvastatin meningkat 3-4 kali lipat.
 Penyesuaian kembali dosis obat, setelah diubah ketika proses inhibisi
dan induksi berlangsung, amat diperlukan untuk mencegah
kegagalan terapi.
 Efek inhibisi atau induksi enzim metabolisme terhadap hasil terapi
sulit diperkirakan jika terjadi pada pemetabolismee lambat, cepat,
atau ultra cepat (poor, extensive, dan ultra rapid metabolizer). Selain
itu, karena kapasitas metabolisme dipengaruhi berbagai variabel
(usia, jenis kelamin, kehamilan, genetic, jenis, dan intensitas
patologi) maka manifestasi klinik juga akan tergantung seberapa
besar pengaruh variabel-variabel tersebut terhadap enzim
metabolisme.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

Interaksi obat adalah perubahan efek suatu obat akibat pemakaian


obat lain (interaksi obat-obat) atau oleh makanan, obat tradisional dan
senyawa kimia lain. Metabolisme obat adalah proses modifikasi biokimia
senyawa obat oleh organisme hidup, pada umumnya dilakukan melalui
proses enzimatik. Terdapat 2 fase metabolisme obat, yakni fase I dan II.
Pada reaksi-reaksi ini, senyawa yang kurang polar akan dimodifikasi
menjadi senyawa metabolit yang lebih polar. Proses ini dapat
menyebabkan aktivasi atau inaktivasi senyawa obat. Interaksi pada proses
metabolisme terdiri dari Peningkatan metabolisme, hambatan metabolisme
dan Inductor enzim.

B. SARAN
Saran yang dapat diberikan oleh penulis pada para pembaca Interaksi
obat yaitu dalam memilih obat harus diperhatikan betul interaksinya baik-
baik. Dengan memperhatikan interaksi obat yang akan terjadi jika
digunakan, ini dapat dilihat dari indikasi dan kontraindikasi karena cara ini
cukup mudah dan bisa digunakan di lapangan. Tidak bisa di pungkiri
dalam mengunakan obat pasti akan terjadi interaksi obat, tapi hal ini tidak
boleh membuat kita takut. dengan adanya interaksi obat ini maka kita
dapat merancang/memformulisasikan obat agar di dapatkan manfaat yang
maksimal(khasiat). Intinya dengan adanya interaksi obat ini kita jangan
takut malah ini bisa digunakan untuk penyembuhan.

DAFTAR PUSTAKA

Jung D. 1985. Clinical Pharmacokinetics. Moduls Yogyakarta


Melader A, Dabielson K, Schereten B, et al. Enhancement by food of Canrenone
biovailability form spironolactone. Clin Pharmacol Ther 199; 22:100-103.
Mutschler, E., 1985, Dinamika Obat Farmakologi dan Toksikologi, 88-93,
Penerbit ITB,Bandung
Sulistia, dkk, 2007, Famakologi dan Terapi, 862-872, UI Press, Jakarta
Makalah

Interaksi Obat pada Obat Tradisional (Obat Herbal)

Oleh :

Kelompok II

Syamdiwarna N21111681
Yuliana Ruslan N21111
Dwi Puspa Rini N21111713
Isnaini Fitri Wahyuni N21111710
Arfiani Arifin N21111761
Ansir Mustawa N21111648
Abd. Malik Mahading N21111707
Musriani N21111661
Nina Elyana N21111699
Aisyah M Rizal N21111709
Lufita Purnama Sari N21111
Ida Fitriyani N21111
Jumarni Samandi N21111705

PROGRAM PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2012
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar belakang

Setiap manusia pada hakekatnya mendambakan hidup sehat dan


sejahtera lahir dan batin. Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar
manusia, disamping kebutuhan akan sandang, pangan, papan dan
pendidikan, karena hanya dengan kondisi kesehatan yang baik serta tubuh
yang prima manusia dapat melaksanakan proses kehidupan untuk tumbuh
dan berkembang menjalankan segala aktivitas hidupnya. Maka tidak terlalu
berlebihan, jika ada selogan “Kesehatan memang bukan segala-galanya,
tetapi tanpa kesehatan anda tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan segala-
galanya itu mungkin akan sirna”.
Bertolak dari hal itu maka upaya kesehatan terpadu (sehat jasmani,
rokhani dan sosial) mutlak diperlukan baik secara pribadi maupun kelompok
masyarakat untuk mewujudkan Indonesia sehat 2010. Keterpaduan upaya
kesehatan tersebut meliputi pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan
(kuratif), pemulihan kesehatan (rehabilitatif) serta peningkatan kesehatan
(promotif). Berbagai cara bisa dilakukan dalam rangka memperoleh derajat
kesehatan yang optimal, salah satunya dengan memanfaatkan tanaman obat
yang dikemas dalam bentuk jamu atau obat tradisional.
Adapun yang dimaksud dengan obat tradisional adalah obat jadi atau
ramuan bahan alam yang berasal dari tumbuhan, hewan, mineral, sediaan
galenik atau campuran bahan-bahan tersebut yang secara tradisional telah
digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Pada kenyataannya
bahan obat alam yang berasal dari tumbuhan porsinya lebih besar
dibandingkan yang berasal dari hewan atau mineral, sehingga sebutan obat
tradisional (OT) hampir selalu identik dengan tanaman obat (TO) karena
sebagian besar OT berasal dari TO. Obat tradisional ini (baik berupa jamu
maupun TO) masih banyak digunakan oleh masyarakat, terutama dari
kalangan menengah kebawah. Bahkan dari masa ke masa OT mengalami
perkembangan yang semakin meningkat, baik dalam bentuk sediaannya serta
cara pengolahannya ( herbal terstandar dan fitofarmaka ), terlebih dengan
munculnya isu kembali ke alam (back to nature) serta krisis yang
berkepanjangan. Namun demikian dalam perkembangannya sering dijumpai
ketidak tepatan penggunaan OT karena kesalahan informasi maupun
anggapan keliru terhadap OT dan cara penggunaannya. Selain itu, kadang
kala obat tradisional digunakan secara bersamaan dengan obat modern (obat
sintetik) oleh masyarakat awam dengan harapan efek terapi atau proses
penyembuhan lebih cepat tercapai. Persepsi seperti itu harus diluruskan agar
tidak terjadi kesalahan dalam pengobatan (medication error). Fakta
dilapangan membuktikan bahwa penggunaan obat tradisional dengan obat
sintetik secara bersamaan dapat menyebabkan dampak negatif pada pasien
dan dapat berkibat fatal jika tidak ditanggulangi secara benar. Oleh karena
itu, peninjauan lebih lanjut mengenai interaksi obat pada penggunaan obat
tradisional dengan obat sintetik perlu dikaji untuk mencegah dampak buruk
maupun memanfaatkan dampak positif dari penggunaan bersamaan kedua
jenis obat ini.
Dewasa ini, penggunaan obat bahan alam atau obat herbal semakin
marak di masyarakat kita. Anggapan bahwa obat bahan alam lebih aman dari
obat kimia atau penggunaan yang bersamaan antara obat bahan alam dan obat
kimia tidak memberikan reaksi yang merugikan, tampaknya perlu dicermati
kembali kebenarannya. Buletin WHO Drug Information telah secara khusus
mencantumkan adanya banyak laporan mengenai reaksi yang merugikan pada
penggunaan yang bersamaan antara obat herbal dan obat kimia. Badan
Regulasi Produk Obat Herbal di Kanada sejak Januari 2004 telah menetapkan
aturan yang diberlakukan secara bertahap selama 6 tahun, yaitu mewajibkan
pelaporan efek samping obat bahan alam oleh semua industri. Profesional
kesehatan dan konsumen juga disarankan untuk lebih waspada terhadap
kejadian efek samping akibat penggunaan obat bahan alam dan ikut berperan
dalam memberikan laporannya ke badan regulasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Sifat interaksi obat herbal

Sebagian besar produk alami, tidak seperti obat sintetik, adalah


campuran kompleks kandungan kimia. Seringkali karakterisasi senyawa
bioaktif lengkap dari tumbuh-tumbuhan tidak diketahui. Selain itu, komposisi
kimia produk alami bervariasi tergantung pada bagian tanaman yang
digunakan (kulit kayu, batang, daun, akar, rimpang), iklim, kondisi tumbuh,
panen, dan kondisi penyimpanan. Kombinasi produk yang terdiri dari produk
alami memperumit beberapa masalah lebih lanjut.
Tidak hanya sifat produk alami yang kompleks menyulitkan
penentuan interaksi herbal-obat, tetapi juga proses produksi (misalnya,
metode pengeringan dan ekstraksi) berkontribusi kompleksitas keseluruhan.
Seperti disebutkan sebelumnya, karena produk herbal tidak diatur oleh FDA,
tidak ada standar untuk produk herbal. Produk herbal yang ditemukan
disalahartikan dan / atau diubah atau dicampur dengan produk sintetik lain
atau senyawa lain yang tidak diinginkan. Baru-baru ini, FDA mengeluarkan
surat perintah untuk penyitaan ginseng impor yang digunakan untuk
pembuatan suplemen makanan karena kontaminasi oleh pestisida.
Identifikasi kesalahan dapat terjadi jika pemanen berpengalaman
memilih pabrik yang salah. Misalnya, sejumlah perempuan Eropa
mendapatkan nefrotoksisitas parah setelah mengkonsumsi produk penurunan
berat badan Cina yang mengandung Aristolochia fangchi, yang mungkin tidak
persis digantikan oleh Tetranda stephania. Kesalahan diantisipasi mungkin
terjadi karena kebingungan dengan nama-nama Cina untuk 2 tanaman (Guang
ji ji taring taring dan Han, masing-masing) .FDA menanggapi dengan
mengeluarkan peringatan dan penarikan semua suplemen yang mengandung
asam aristolochic.
Faktor lain yang membatasi penting dari interaksi-obat herbal adalah
keandalan bukti yang ada. Sebuah survei terhadap 44 dari produsen suplemen
makanan terkemuka mengungkapkan bahwa hanya 10 dari 15 responden
menganggap interaksi menjadi isu penting, dan hanya 2 produsen yang
mengalokasikan dana untuk mempelajari interaksi obat-obatan herbal.
Peninjauan secara sistematis terhadap laporan kasus yang dipublikasikan, seri
kasus, atau uji klinis interaksi obat herbal-menemukan bahwa hanya 13% yang
terdokumentasi dengan baik menggunakan 10-poin sistem penilaian yang
dinilai kemungkinan interaksi yang dikembangkan oleh Fugh-Berman dan
Ernst.
Kemanjuran, keamanan, dan kualitas suplemen diet telah menjadi
perhatian beberapa organisasi. Farmakope Amerika dan formularium Nasional
(USP-NF) telah mengembangkan monograf pejabat publik untuk suplemen
gizi dan diet, dan juga meluncurkan Program Verifikasi Tambahan Diet
(DSVP). Dalam DSVP, suplemen diet dievaluasi oleh USP sesuai dengan
ketat manufaktur praktek. Jika produk memenuhi standar DSVP, maka akan
diberikan tanda sertifikasi DSVP. tanda sertifikasi DSVP menandakan produk
tersebut mengandung materi yang tercantum pada label dalam jumlah yang
ditetapkan dan kekuatan, bahwa produk yang dibuat di bawah GMPs menurut
USP-NF, bahwa produk tersebut memenuhi standar kemurnian ketat, dan
bahwa produk tersebut memenuhi kontaminan tertentu batas. DSVP tanda
sertifikasi ini tidak dimaksudkan untuk menyatakan keselamatan atau
kemanjuran bahan suplemen makanan, tetapi harus membantu untuk
menjamin konsumen, profesional kesehatan, dan pengecer produk suplemen
dibuat di bawah GMPs untuk kemurnian dan telah diuji untuk kontaminan
potensial dan bahan presisi labeling. Daftar USP - Verified Suplemen Diet
tersedia di situs Web USP.
Meskipun banyak interaksi obat sintetik-obat tradisional (obat herbal)
cenderung negatif di alam, adalah penting untuk menyadari bahwa beberapa
interaksi mungkin memiliki efek bermanfaat pada terapi obat. Misalnya,
"statin" obat mengurangi biosintesis endogen koenzim Q10, dan efek samping
akibat terapi statin mungkin sekunder terhadap penurunan tingkat jaringan dari
koenzim Q10. Dengan demikian, suplementasi dengan koenzim Q10, pasien
pada terapi statin mungkin membantu mencegah efek samping. Contoh lain
adalah penggunaan silymarin (susu thistleextract) untuk pencegahan obat-
hepatotoksisitas yang diinduksi. Para peneliti telah menemukan bahwa
silymarin 800 mg per hari dikaitkan dengan penurunan yang signifikan dalam
malondialdehid (produk-produk asam lemak tak jenuh oksidasi ganda) dan tes
fungsi hati meningkat pada wanita yang menerima fenotiazin jangka panjang
atau terapi buyrophenone. Suplemen diet yang meningkatkan khasiat obat atau
mengurangi efek samping tidak selalu diprediksi dan, karenanya, hanya dalam
kasus yang jarang dapat menggunakan jenis kombinasi dianjurkan.
II.2 Bukti interaksi obat herbal
Data dari NHIS didasarkan pada 31.044 orang dewasa AS selama 18
tahun, menemukan bahwa penggunaan 19% produk alami pada tahun 2002,
Suplemen makanan untuk digunakan pada tahun 2002 disajikan pada Tabel 2.
Ada beberapa studi klinis tentang interaksi herbal-obat dengan suplemen
makanan. Bukti interaksi antara seperti suplemen diet yang umum digunakan
sering didasarkan pada aktivitas farmakologis yang diharapkan, data yang
diperoleh dari studi in vitro atau hewan, atau anekdot laporan kasus tunggal
dan kasus seri. Oleh karena itu, ada informasi terbatas untuk memandu
pengambilan keputusan klinis dan untuk menginformasikan isu-isu
keselamatan pasien yang berhubungan dengan interaksi herbal-obat sintetik.
II.3 Mekanisme interaksi obat herbal
Interaksi antara jamu dan obat sintetik dapat disebabkan oleh salah
satu mekanisme farmakodinamik atau farmakokinetik. Interaksi
farmakodinamik dapat terjadi ketika produk herbal menghasilkan aktivitas
tambahan, sinergis, atau antagonis dalam kaitannya dengan kedokteran
konvensional dengan tidak mengubah baik konsentrasi plasma atau produk
obat herbal. Interaksi farmakodinamik yang terkait dengan aktivitas
farmakologis agen berinteraksi dan dapat mempengaruhi sistem organ, situs
reseptor , atau enzim. Sebuah interaksi farmakodinamik dapat terjadi ketika
tumbuhan yang memiliki aktivitas antiplatelet dikelola dengan antiplatelet /
pengobatan antikoagulan, sehingga meningkatkan risiko perdarahan. Contoh
lain adalah ketika bumbu yang menekan sistem saraf pusat (SSP), seperti
kava, yang diberikan dengan obat depresan SSP atau ketika tumbuhan yang
dapat menurunkan glukosa darah diberikan dengan obat antidiabetes. Contoh
interaksi antagonis adalah ketika ramuan dengan kadar kafein tinggi, seperti
guarana, dilengkapi dengan sedatif-hipnotik. Selain itu, tumbuh-tumbuhan
dengan potensi untuk menyebabkan toksisitas organ dapat menyebabkan
risiko lebih lanjut toksisitas ketika obat dengan toksisitas yang sama diberikan
bersamaan, seperti comfrey herbal hepatotoksik ketika diberikan dengan dosis
besar dan berkepanjangan acetaminophen interaksi farmakokinetik terjadi
ketika perubahan penyerapan herbal, distribusi, metabolisme, protein yang
mengikat, atau ekskresi obat yang berakibat pada perubahan di tingkat obat
atau metabolit. Sebagian besar bukti sebagai interaksi obat farmakokinetik
melibatkan enzim metabolisme obat dan interaksi obat transporters.20
Walaupun mungkin melibatkan enzim seperti glutathione-transferases S dan
uridin transfereases diphosphoglucuronyl (UGTs), sebagian besar interaksi
obat herbal yang berhubungan dengan metabolisme oksidatif oleh sitokrom P-
450 sistem (CYP) atau dengan efek pada obat herbal transporter penghabisan
P-glycoprotein sistem CYP adalah sebuah keluarga enzim monooxygenase
terutama ditemukan dalam sel-sel usus dan hati dan mengkatalisis beberapa
Tahap I proses metabolisme, termasuk oksidasi, hidroksilasi, S-dan O-
demethylation, dan deaminasi oksidatif lebih dari 70% dari obat resep. 22
CYP isoenzim, yang telah ditemukan untuk terlibat dalam reaksi
farmakokinetik signifikan pada manusia, termasuk CYP1A2, CYP2C9,
CYP2C19, CYP2D6, CYP2E1, dan CYP3A4. Lebih dari separuh dari semua
metabolisme obat oleh CYP3A4. Karena beberapa jamu dan obat-obatan
mungkin berbagai substrat dari isoenzyme CYP yang sama, produk baik dapat
menghambat atau menginduksi aktivitas CYP isoenzyme ketika ditelan secara
bersamaan.
Obat transporter P-glikoprotein adalah glikoprotein dikode oleh gen
MDR1 dan berfungsi sebagai transporter penghabisan transmembran bahwa
pompa obat keluar dari glikoprotein cells.24-P banyak ditemukan dalam
jaringan dan terutama di organ yang bertanggung jawab untuk penyerapan
obat atau penghapusan, seperti hati, usus, dan ginjal. Dalam saluran usus,
molekul obat mencoba untuk lulus dari lumen melalui dinding usus ke dalam
sistem darah portal, P-glikoprotein bisa mengangkut molekul kembali ke
dalam lumen dan enzim CYP lokal. Obat kemudian dapat dieliminasi dari
tubuh. Jadi, obat penghabisan-dimediasi P-glikoprotein memiliki efek
membatasi laju dan tingkat penyerapan obat dari saluran usus. Obat sering
mempengaruhi substrat CYP3A4-glikoprotein P juga.
Penyerapan obat bisa terganggu ketika herbal yang mengandung serat
hydrocolloidal, gusi, dan lendir yang diambil bersama. herbal ini termasuk gel
lidah buaya, biji rami, marshmallow, psyllium, dan dapat mengikat rhubarb.
Obat herbal yang dapat mencegah penyerapan dan, kemudian, mengurangi
ketersediaan sistemik. Sebagai contoh, psyllium dapat menghambat
penyerapan lithium, dan tidak ada kasus yang dilaporkan konsentrasi serum
lithium berkurang ketika diambil dalam kaitan dengan lithium psyllium.
Demikian juga, pencahar herbal seperti lateks aloe, buckthorn, Cascara
Sagrada, rhubarb, dan senna kemungkinan dapat menyebabkan kehilangan
cairan dan kalium dan berpotensi dapat meningkatkan risiko toksisitas dengan
digoksin
Potensi interaksi farmakokinetik dapat terjadi dengan perpindahan obat
dari tempat protein pengikat. Perpindahan obat yang terikat dengan protein,
senyawa lain dapat mengakibatkan perpindahan aktivitas obat meningkat.
Meskipun perpindahan obat-terikat protein telah digambarkan sebagai sumber
untuk interaksi obat yang potensial, tidak ada laporan didokumentasikan obat
herbal-obat sintetik, interaksi obat yang timbul dari perpindahan tempat
pengikatan protein.
Perubahan mekanisme clearance ginjal obat lain potensial untuk
menghasilkan interaksi herbal-obat. Herbal yang dapat menghambat
penyerapan tubular atau cara lain yang dapat merusak ginjal clearance obat
harus dipertimbangkan memiliki potensi untuk menghasilkan interaksi
farmakokinetik obat-obatan herbal
Membuat keputusan tentang apakah interaksi obat herbal terjadi
berdasarkan data dari in vitro atau hewan uji model tidak memadai. Hasil dari
model ini harus dievaluasi lebih lanjut menggunakan uji klinis juga dilakukan
untuk memvalidasi signifikansi klinis. Bahkan masih, keandalan studi klinis
juga harus dinilai. Para peneliti memeriksa sejauh mana diterbitkan, uji coba
terkontrol secara acak dinilai isi suplemen herbal yang digunakan dalam
penelitian. Mereka menemukan bahwa hanya 12 (15%) dari 81 studi yang
dilaporkan melakukan tes untuk mengukur kandungan yang sebenarnya. Hasil
uji coba terkontrol mungkin banyak memiliki nilai yang kecil kerena
kemurnian identitas, kekuatan, kualitas, dan komposisi suplemen tidak
dikonfirmasi

II.4 Risiko interaksi obat herbal


Membuat keputusan tentang apakah interaksi obat herbal berdasarkan
data dari in vitro atau uji pada hewan percobaan biasa tidak memadai. Hasil
pelaporan dari model tersebut harus dievaluasi lebih lanjut menggunakan uji
klinis lebih lanjut juga dilakukan untuk memvalidasi signifikansi klinis. Masih
Bahkan, keandalan studi klinis juga harus dinilai. Para peneliti memeriksa
tingkat diterbitkan, uji coba terkontrol secara acak dinilai isi peralatan
suplemen herbal. Pada penelitian Yang Kesawan, mereka menemukan bahwa
hanya 12 (15%) dari 81 studi yang dilaporkan dalam ujian untuk mengukur
konten yang sebenarnya. hasil uji coba terkontrol mungkin memiliki banyak
nilai kecil karena Identitas kemurnian, kekuatan, kualitas, dan komposisi
suplemen biasa tidak dikonfirmasi menjalani prosedur bedah, pasien dengan
hati atau penyakit ginjal, dan pasien yang menerima obat yang banyak
BAB III
PEMBAHASAN

1. Lidah Buaya (Aloe vera L.)

Klasifikasi
Kingdom: Plantae
Subkingdom: Tracheobionta
Super Divisi: Spermatophyta
Divisi: Magnoliophyta
Kelas: Liliopsida
Ordo: Asparagales
Famili: Asphodelaceae
Genus: Aloe
Spesies: Aloe vera L

Kandungan kimia
Anthranoids , Chromones, Konstituen utama adalah aloesin (2-
acetonyl-5-metil-8-glucosyl chromone) dan aloeresin E, fenil
pyrones, Glikosida termasuk aloenin dan aloenin B. Asam sinamat
dan 1-methyltetralin.

Khasiat
Sebagai pencahar. Efek aloe vera dapat dikaitkan dengan
kandungan glikosida anthranoid. Glikosida yang dimetabolisme
oleh glycosidases dalam flora usus akan membentuk anthrone
aktif. Tindakan pencahar ini disebabkan peningkatan motilitas usus
besar dengan menghambat pompa Na + / K + dan saluran ion
klorida, sekresi cairan ditingkatkan karena stimulasi sekresi lendir
dan ion klorida.

Interaksi
Hipokalemia dapat terjadi jika digunakan bersama glikosida jantung
dan dengan obat antiaritmika, misalnya quinidine.
Penggunaan secara bersama dengan diuretik thiazide,
adrenocorticosteroids dan akar manis akan menyebabkan
ketidakseimbangan elektrolit.

2. Kava (Piper methysticum)

Kingdom : Plantae
(Unranked) : Angiosperma
(Unranked) : Magnoliids
Order : Piperales
Keluarga : Piperaceae
Genus: : Piperaceae
Spesies : P. methysticum

Kandungan kimia
Kavalactones, Alkaloid , Chalcones, Flavonoid Pinostrobin, 5,7-
dimethoxyflavanone. Steroid, Sitosterol, stigmasterol,
stigmastanol. Ester Bornyl sinamat dan bornyl 3,4
methylenedioxycinnamate. Alifatik alcohol,
Cinnamylideneacetone.

Khasiat
Kava telah diteliti sebagian besar untuk efek ansiolitik, meskipun
juga mempunyai efek sistem saraf pusat, seperti sifat
antikonvulsan dan analgesik. Kavalactones diyakini konstituen
aktif utama kava.

Interaksi
Kandungan kavalactones dari Kava diteliti secara invitro
merupakan penghambat enzim sitokrom P450 CYP3A4. Oleh
karen itu harus diperhatikan penggunaan kava bersamaan dengan
obat yang dimetabilosme oleh enzim sitokrom P450 CYP3A4.
Struktur kavalactones

3. Kecubung ( Datura methel L. )


Kerajaan :Plantae

Ordo : Solanales

Famili : Solanaceae

Genus : Datura

Spesies : D. metel

Kandungan Kimia :
Alkaloid turunan tropane, hiosiamin dan skopolamin yang besifat
antikholinergik.
Khasiat :
Alkaloid turunan tropane dapat melebarkan kembali saluran
pernapasan yang menyempit akibat serangan asma. Lalu, skopolamin juga
mempunyai aktivitas depresan untuk susunan saraf pusat, sehingga kerap
digunakan sebagai obat antimabuk. Senyawa alkaloid ini terdapat di semua
bagian tumbuhan kecubung, mulai dari akar, tangkai, daun, bunga, buah,
hingga bijinya. Namun, kandungan terbesar terdapat pada akar dan biji.
Interaksi :
Berdasarkan beberapa penelitian dalam daun kecubung mengandung senyawa
alkaloid skopolamina, meteloidina, hiosiamina, norhiosiamina, dan
kuskohirgia. Alkaloid-alkaloid tersebut berkhasiat sebagai obat pereda kejang
(spasmolitikum), dengan demikian efek sinergisme dapat diperoleh jika
dikombinasi dengan obat antikolonergik atau simpatomimetik ( atropine
sulfat, nicotine, dll) Efek antagonis dapat diperoleh jika dikombinasikan
dengan obat kolinergik (pilokarpine) atau antiadrenergik ( alfa boker, beta
bloker, dll ).

Skopolamin

4. Seledri (Apium graviolens)


Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Divisi : Magnoliophyta
Super Divisi : Spermatophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub Kelas : Rosidae
Ordo : Apiales
Famili : Apiaceae
Genus : Apium
Spesies : Apium graveolens L.
Kandungan kimia :
Herba seledri mengandung flavonoid, saponin, tannin 1%, minyak atsiri
0,033%, flavo-glikosida (apiin), apigenin, kolin, lipase, asparagines, zat pahit,
vitamin (A,B dan C).

Khasiat :
Apigen memiliki efek pelebaran pembuluh darah perifer dan apigenin yaitu
senyawa aktif yang dapat menurunkan tekanan darah (berfungsi sebagai
calcium antagonis).

Interaksi :
Pemberian per-oral dan intravena cairan segar seluruh bagian tanaman dapat
menurunkan tekanan darah anjing sampai sebesar 50%. Efek penurunan
tekanan darah tersebut disebabkan karena terjadinya stimulasi pada reseptor
kimia (chemoreceptor) pada "carotid body" dan "aorticarch". Dan efek ini ada
kaitannya dengan sistem penghambatan saraf simpatik. Oleh karena itu,
tanaman ini bersifat sinergis jika diberikan bersamaan dengan agen kolinergik
( pilokarpine, fisostigmin ) atau antagonis adrenergic ( alfa bloker dan beta
bloker ). Efek antagonis dapat ditemukan jika dikombinasi dengan
antikolinergik ( atropine sulfat ) atau agonis adrenergic (
Epinefrin/Norepinefrin )

Apigen
5. Kayu Manis (Cinnamomum cassia)

Kingdom :Plantae
Subkingdom :Tracheobionta
Super Divis i: Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub Kelas : Magnoliidae
Ordo : Laurales
Famili : Lauraceae
Genus : Cinnamomum
Spesies: Cinnamomum burmannii
Kandungan kimia:
Kayu manis atau cinnamon memiliki kandungan berbagai senyawa kimia,
yaitu minyak atsiri eugenol, safrole, juga kandungan sinamaldehyde, tanin,
kalsium oksalat, damar, dan penyamak.
Khasiat :
Kayu manis juga mengandung senyawa kimia yang disebut PTP1B yang
bekerja mengaktifkan senyawa di pankreas dengan cara mengaktifkan sel beta
yang berfungsi menghasilkan insulin.

Interaksi obat:
 Obat-obatan hepatotoksik
Penggunaan dosis besar dari kayu manis mungkin dapat membahayakan
hati, terutama pada orang dengan gangguan pada hati. Penggunaan
bersamaan dengan obat-obatan hepatotoksik dapat meningkatkan resiko
terjadinya kerusakan hati. Beberapa obat yang dapat membahayakan hati
mengandung acetaminophen (Tylenol dan lain-lain), amiodarone
(Cordarone), carbamazepine (Tegretol), isoniazid (INH), metotreksat
(Rheumatrex), methyldopa (Aldomet), flukonazol (Diflucan), itraconazole
(Sporanox), eritromisin (Erythrocin, Ilosone, lain-lain), phenytoin
(Dilantin), lovastatin (Mevacor), pravastatin (Pravachol), simvastatin
(Zocor), dan banyak lainnya.

 Obat antidiabetes
Kayu manis dapat menurunkan kadar gula darah, sementara obat diabetes
juga digunakan untuk menurunkan kadar gula darah. Penggunaan
bersamaan menyebabkan kadar gula darah turun terlalu rendah sehingga
perlu dilakukan monitor secara teratur. Mungkin juga perlu dilakukan
penurunan dosis obat diabetes. Beberapa obat yang digunakan untuk
diabetes termasuk glimepiride, glyburide, insulin, metformin, pioglitazon,
rosiglitazon, klorpropamid, glipizide, tolbutamid, dll. Dosis yang tepat
untuk kayu manis tergantung pada beberapa faktor seperti usia, kondisi
kesehatan dll. Saat ini belum ada informasi ilmiah yang cukup dalam
penentuan dosis yang tepat.

PTB 1B
6. Buah Pare (Momordica charantia)

Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Super Divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub Kelas : Magnoliidae
Ordo : Magnoliales
Famili : Annonaceae
Genus : Annona
Spesies : Annona reticulata L.

Kandungan kimia:
Daun pare mengandung momordisin, momordin, asam trikosanik, resin, asam
resinat, saponin, vitamin A dan C serta minyak lemak terdiri dari asam oleat,
asam linoleat, asam stearat. Buah pare mengandung alkaloid, momordisin,
karoten, glikosida, saponin, terpenoid. Biji Pare mengandung momordisin,
saponin, alkaloid, triterpenoid, asam momordial, kukurbitasin, momorkurin,
kukurbitin, kukurbitan. Akarnya mengandung asam momordial dan asam
oleanolat.
Khasiat :
Pare (juga dikenal sebagai bitter melon, bitter gourd, balsam pear,
cundeamor) adalah buah Momordica charantia yang berasal dari Asia dan
Amerika selatan. Efek penurunan glukosa darah dari pare mungkin karena
kandungan dari polipeptida P, suatu peptida penurun glukosa darah, juga
dikenal sebagai insulin sayuran (v-insulin). Zat ini efektif jika diberikan
subkutan. Tetapi aktivitas oralnya belum pasti. Senyawa penurun glukosa
darah lainnya yang telah diisolasi dari karela termasuk charantin (glukosida
sterol campuran pada buah) dan suatu vicine pirimidin nukleosida ditemukan
pada biji. Buah pare mungkin memiliki kedua efek, insulin-like effect dan
perangsangan pengeluaran insulin.
Efek hipoglikemik meningkat bila digunakan bersama dengan obat
hipoglikemik karena efek yang diamati dalam studi hewan. Namun, laporan
kasus masih kurang. Sedikit efek pada enzim sitokrom P450 dan glutathione
S-transferase diamati pada 1 percobaan.

Interaksi obat:
 Insulin dan obat-obatan hipoglikemia
Penggunaan bersama dapat menyebabkan interaksi aditif

Momordine
7. Bawang Putih (Allium sativum)
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Divisi : Magnoliophyta
Sub Divisi : Spermatophyta
Kelas : Liliopsida
Sub Kelas : Liliidae
Ordo : Liliales
Famili : Liliaceae
Genus : Allium
Spesies : Allium sativum L.
Kandungan kimia :
Minyak atsiri, alisin
Khasiat :
Alisin mempunyai spektrum luas, artinya disamping membunuh kuman
penyakit juga bisa melicinkan, mencairkan dan memperlancar bekuan darah.
Keluhan hipertensi, kolesterol, migrain, stroke, bisa disembuhkan dengan
bawang putih tunggal. Scordinin dalam bawang putih tunggal meningkatkan
kekebalan dan stamina tubuh.

Interaksi Obat :
Alisin telah dilaporkan berinteraksi dengan warfarin yang menyebabkan
efikasi dari warfarin menurun ( antagonis ). Kasus di salah satu rumah sakit
Amerika menyatakan bahwa pasien yang mengkonsumsi warfarin bersama
dengan noni jus terjadi penurunan INR (internasional normalized ratio) yakni
indicator untuk anticoagulant dalam darah.
8. American ginseng (Panax quinquefolius)

Kandungan kimia:
Ginseng Amerika mengandung ginsenosides jenis dammarane sebagai
senyawa aktif biologis utama. ginsenosides tipe Dammarane meliputi 2
klasifikasi: 20 (S)-protopanaxadiol [ppd] dan 20 (S)-protopanaxatriol [ppt]
klasifikasi. Ginseng Amerika mengandung tingkat tinggi Rb1, Rd (klasifikasi
ppd) dan Re (klasifikasi ppt) ginsenosides - lebih tinggi dari ginseng P. dalam
satu penelitian.
Khasiat:
American ginseng mengandung komponen steroid ginsenoside memiliki
khasiat sebagai antiplatelet. Ginsenosides ini memiliki sifat menghambat CYP
2C9 dan CYP 3A4.
Interaksi obat:
 Obat antidiabetes + American ginseng
Terjadi penurunan kadar gula darah sehingga mengganggu efektivitas
obat antidiabetes termasuk insulin dan agen hipoglikemik oral
 Blood thinning medication + American ginseng
Beberapa laporan menunjukkan bahwa ginsenosides mungkin dapat
menurunkan efektivitas warfarin
 Ada pula penelitian yang dipublikasikan pada journal Annals of Internal
Medicine Juli 2004 yang menyebutkan bahwa ginseng Amerika dapat
menurunkan efek antikoagulan dari warfarin. Penelitian ini merupakan
penelitian dengan desain “randomized, double blind, placebo-control
trial” dan dilakukan selama 4 minggu serta melibatkan 20 orang sehat
yang diberi warfarin selama 3 hari pada minggu pertama dan keempat.
Pada awal minggu kedua, pasien diberi ginseng Amerika atau placebo.
Kemudian INR (International Normalized Ratio) dan kadar warfarin
dalam plasma diukur. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa INR
pasien menurun secara signifikan setelah pemberian ginseng selama 2
minggu dibandingkan dengan placebo. (Perbedaan antara kelompok
ginseng da placebo, -0,19 (CI 95%, Deviasi - 0,36 s/d -0,07, P= 0,0012).
Begitu pula dengan kadar warfarin dalam plasma juga menurun secara
signifikan di kelompok ginseng, dibanding dengan kelompok placebo.
INR dan kadar warfarin dalam plasma berbanding lurus. Penelitian
dilakukan di General Clinical Research Center, University of Chicago,
Chicago - Illinois. Walaupun penelitian ini dilakukan pada orang sehat,
namun hasil penelitian ini dapat menjadi peringatan bagi para tenaga
kesehatan seperti dokter dan apoteker agar menginformasikan
kemungkinan terjadinya interaksi antara ginseng dan warfarin kepada
pasien yang harus minum warfarin. Pada publikasi Lancet tahun 2000,
telah disebutkan pula bahwa kasus perdarahan selain disebabkan oleh
penggunaan yang bersamaan antara ginkgo dan warfarin, dapat pula
akibat penggunaan yang bersamaan antara warfarin dengan garlic (Allium
sativum), dong quai (Angelica sinensis) atau danshen (Salvia
miltiorrhiza).

Ginsenosides
9. Asian ginseng (Panax ginseng)

Kerajaan: Plantae
Divisi: Magnoliophyta
Kelas: Magnoliopsida
Ordo: Apiales
Famili: Araliaceae
Upafamili: Aralioideae
Genus: Panax
L.
Kandungan kimia:
Lebih dari 25 glikosida saponin triterpenoid yang disebut Ginsenosida
(meningkatkan aktivitas protein dan neurotransmitter pada otak). Aksi
glikosida pada kelenjar adrenal dapat mencegah hipertropo adrenal.
Flavonoid, glycans (panaxans), maltol, peptides, polysaccharide fraction DPG-
3-2, vitamins A, vitamins B6 and other B vitamins, volatile oil, Zinc
Khasiat:
American ginseng mengandung komponen steroid ginsenoside memiliki
khasiat sebagai antiplatelet. Ginsenosides ini memiliki sifat menghambat CYP
2C9 dan CYP 3A4.
Interaksi obat:
 Pengobatan jantung + Asian ginseng
Terjadi perubahan efek dari obat-obatan tekanan darah termasuk calcium
chanel bloker
 Blood thinning medications + Asian ginseng
Terjadi penurunan efektifitas walfarin, selain itu ginseng dapat
menghambat aktivitas trombosit. Untuk alasan ini, sebaiknya juga tidak
digunakan bersama aspirin.
 Kafein + Asian ginseng
Kafein dapat merangsang sistem saraf pusat, penggunaan bersama ginseng
dapat menambah efek depresen SSP sehingga menyebabkan kegelisahan,
berkeringat, insomnia, atau denyut jantung tidak teratur.
 Psychiatric medication + Asian ginseng
Penggunaan bersama akan meningkatkan efek dari obat antipsikotik. Ada
laporan tentang kemungkinan interaksi antara ginseng Asia dan obat
antidepressan, phenelzine (yang termasuk kelas yang dikenal sebagai
inhibitor monoamine oxidase), sehingga gejala mulai dari episode manik-
seperti sakit kepala dan tremulousness.
 Morfin + Asian ginseng
Asian ginseng dapat memblok efek penghilang rasa sakit dari morfin.
Ginsenosides

10. St. John’s Wort (Hypericum perforatum)

Kingdom: Plantae

Ordo: Malpighiales

Family: Hypericaceae

Genus: Hypericum

Species: H. perforatum
Kandungan kimia :
Phloroglucinols (hyperforin), Naphtodianthones, xanthones. Hyperforin
berkhasiat sebagai antidepresan dengan mekanisme menghambat ambilan
kembali serotonin dan memacu saraf dopaminergik, serta meningkatkan
sensitivitas reseptor GABA
Khasiat :
Hyperforin berkhasiat sebagai antidepresan dengan mekanisme menghambat
ambilan kembali serotonin dan memacu saraf dopaminergik, serta
meningkatkan sensitivitas reseptor GABA. Hyperforine menginduksi CYP
A12, CYP 2C9, CYP C19, CYP 3A4.
Interaksi Obat :
Pada kasus penggunaan tanaman obat St. John‟s wort, penggunaan bersamaan
dari obat-obat yang merupakan zat CYP3A4 dengan tanaman ini akan
menyebabkan penurunan kadar obat-obat ini dalam plasma karena tanaman St.
John‟s wort merupakan penginduksi sitokrom P450 yang sangat kuat.
Penurunan kadar dalam plasma dari obat - obat tersebut menyebabkan
perlunya dilakukan penyesuaian dosis bila digunakan bersamaan dengan St.
John‟s wort. Selain dari itu, tanaman ini dapat menginduksi sindrom serotonin,
yang mengakibatkan peningkatan penghambatan „reuptake‟ serotonin (5-HT),
jika diberikan bersama-sama dengan obatobat inhibitor 5-HT „reuptake‟
Terdapat 45 laporan reaksi obat yang tidak diinginkan yang diduga akibat
penggunaan dari St. John‟s wort. Reaksi-reaksi yang umum terjadi adalah
reaksi yang gangguan sistem saraf pusat dan perifer dan gangguan kejiwaan.
Dua kasus merupakan sindroma serotonin akibat penggunaan yang bersamaan
dengan sertralin (inhibitor 5-HT „reuptake‟) dan interaksi dengan venlafaksin.
Terdapat dua kasus lainnya yang merupakan kasus mania, akibat interaksi St.
John‟s wort dengan lithium pada satu kasus dan interaksi dengan bupropion
pada kasus lainnya. Efek sinergisme pada obat antidepresan, agonis adrenergik
(menyebabkan tremor, sakit kepala, gelisah). Menurunkan kadar digoxin jika
diberikan bersamaan dengan St. John Wort. Terjadi penolakan pd proses
transplantasi jantung jika diberikan bersamaan dengan cyclosporine
(Imunosupresive)
1. Warfarin, ciclosporin, digoksin, teofilin dan antikonvulsan
(carbamazepine, fenobarbital dan fenitoin)
Ada risiko efek terapi berkurang, misalnya risiko penolakan
transplantasi, kejang dan hilangnya kontrol asma. Disarankan
untuk memeriksa konsentrasi obat dalam dan menghentikan terapi
St John wort. Selain itu, penyesuaian dosis mungkin juga
diperlukan.
2. HIV protease inhibitor (indinavir, nelfinavir, ritonavir dan
saquinavir) dan non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor
HIV (efavirenz dan nevirapine)
Ada risiko konsentrasi darah berkurang dengan
kemungkinan kehilangan penekanan HIV. Saran adalah untuk
mengukur load HIV RNA virus dan untuk menghentikan wort St
John.
3. Oral kontrasepsi
Ada risiko konsentrasi darah yang berkurang, perdarahan
terobosan dan kehamilan yang tidak diinginkan. Saran adalah
untuk menghentikan wort St John.
4. Triptans (sumatriptan, naratriptan, rizatriptan dan zolmitriptan)
dan selective serotonin reuptake inhibitor (citalopram, fluoxetine,
fluvoxamine, paroxetine dan sertraline)
Ada risiko efek serotonergik meningkat dengan kemungkinan
peningkatan risiko efek samping. Disarankan untuk
menghentikan wort St John.
Hiperforin

11. Buah Mengkudu ( Morinda cirifilia )


Kingdom : Plantae
Subkingdom: Tracheobionta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub Kelas: Asteridae
Ordo : Rubiales
Famili : Rubiaceae
Genus : Morinda
Spesies : Morinda citrifolia L.

Kandungan kimia :

Batang: Saponin,tanin, glucoside, calsium oksalat, sulfur, asam format,


peroksidase. Daun: Tanin, sulfur, asam format, peroksidase, calsium oksalat,
kalium sitrat, Vitamin K.

Khasiat :
Buah Noni mengandung sejenis fitonutrien, yaitu scopoletin yang berfungsi
untuk memperlebar saluran pembuluh darah yang mengalami penyempitan
serta membersihkan endapan penyebab arteroklerosis dalam pembuluh darah
(penyempitan/penyumbatan pembuluh darah). Kandungan vitamin K yang
tinggi juga bermanfaat sebagai factor pembekuan darah.
Interaksi Obat :
Kandungan vitamin K pada buah mengkudu (noni jus) telah dilaporkan
berinteraksi dengan warfarin yang menyebabkan efikasi dari warfarin
menurun ( antagonis ). Kasus di salah satu rumah sakit Amerika menyatakan
bahwa pasien yang mengkonsumsi warfarin bersama dengan noni jus terjadi
penurunan INR (internasional normalized ratio) yakni indicator untuk
anticoagulant dalam darah.
12. Ginkgo Biloba
Kerajaan : Plantae
Divisi : Ginkgophyta
Kelas : Ginkgoopsida
Ordo : Ginkgoales
Famili : Ginkgoaceae
Genus : Ginkgo
Spesies : Ginkgo biloba L.

Kandungan Kimia :
Tiklopidin
Khasiat :
Untuk meningkatkan memori dan untuk mengobati gangguan peredaran
darah
Interaksi Obat :
Terdapat 21 laporan yang merupakan laporan kasus reaksi yang tidak
diinginkan dari penggunaan ginkgo biloba. Sebagian besar merupakan reaksi
gangguan pembekuan darah, perdarahan dan platelet. Hal ini sesuai dengan
kemampuan ginkgo untuk menghambat faktor pengaktifan platelet. Satu
laporan kasus fatal merupakan kasus perdarahan saluran cerna, dimana
produk yang diduga menjadi penyebabnya adalah tiklopidin dan ginkgo.
Keduanya diminum selama 2 tahun, bersama-sama juga dengan obat-obat
lain. Ada juga laporan kejadian stroke pada pasien yang mengkonsumsi
klopidogrel, asetosal bersamasama dengan ginkgo. Oleh sebab itu, harus
menjadi perhatian yang khusus bila ginkgo digunakan bersamaan dengan
obat-obat yang berpengaruh terhadap agregasi platelet, seperti misalnya
warfarin, asetosal, OAINS, tiklopidin dan klopidogrel. Pasien juga perlu
diberi informasi bahwa penggunan ginkgo harus dihentikan sekurang-
kurangnya 36 jam sebelum dilakukan tindakan operasi.
Tiklopidin
DAFTAR PUSTAKA

1. Williamson Elizabeth. Stockley's Herbal Medicines Interactions


1st Edition. Pharmaceutical Press, London 2009
2. HERBAL DRUG INTERACTION.
3. Merrily A. Kuhn. Herbal Remedies: Drug-Herb Interactions. American
Association of Critical-Care Nurses. 2002
4. Mary L. Chavez, Pharm.D. Herbal-Drug Interactions. Department of
Pharmacy Practice Midwestern University College of Pharmacy-
Glendale Glendale, Arizona.
5. Badan Pengawas Obat dan Obat Tradisional & Suplemen Makanan dengan
Efek Mirip Hormon Volume 10 No 1. Makanan Republik Indonesia.
Jakarta Pusat 2009.
6. http://www.plantamor.com
Lampiran

Tabel 1. Data Interaksi Obat Herbal

HERBAL OBAT INTERAKSI


Pinang (Areca catechu) Procyclidine ↓ efek obat
Boldo (Peumus boldus) (dalam
Warfarin ↑ risiko perdarahan
kombinasi dengan fenugreek)
Capsicum (Capsicum annuum) ACE inhibitor ↑ toksisitas obat
Danshen (Salvia miltorrhiza) Warfarin ↑ efek obat
Dong quai (Angelica sinensis) Warfarin ↑ efek obat
Fenugreek (Trigonella jenis) yang
Warfarin ↑ risiko perdarahan
dikombinasikan dengan boldo
Fiddlehead Warfarin ↓ efek obat
Warfarin ↑ efek obat
Bawang putih (Allium sativum)
Saquinavir ↓ efek obat
Jahe (Zingiber officinale) Phenprocoumon ↑ risiko perdarahan
Aspirin ↑ risiko perdarahan
Haloperidol ↓ toksisitas obat
Ibuprofen ↑ risiko perdarahan
Ginkgo (Ginkgo biloba)
Omeprazole ↓ efek obat
Trazodone ↑ efek obat
Valproik asam ↑ toksisitas obat
Ginseng, Amerika (Panax
Warfarin ↓ efek obat
quinquefolius)
Ginseng Asia (Panax ginseng) Phenelzine ↑ toksisitas obat
Ginseng, Siberian (Eleutherococcus
Digoxin Tidak ada efek
senticosus)
Teh hijau (Camellia sinensis) Warfarin ↓ efek obat
Alprazolam ↑ efek obat
Kava (Piper methysticum)
Levodopa ↓ efek obat
Lycium (Lycium barbarum) Warfarin ↑ risiko perdarahan
Juice noni (Morinda citrifolia) Warfarin ↓ efek obat
Pepaya Warfarin ↑ efek obat
Minyak peppermint (Mentha piperita) Nifedipin ↑ efek obat
Carbamzepine ↓ efek obat
Psyllium (Plantago spesies)
Lithium ↓ efek obat

Kedelai (Glycine max) Warfarin ↓ efek obat


Alprazolam ↓ efek obat
Amitriptyline ↓ efek obat
Buspirone ↑ toksisitas obat
Chlorzoxazone ↓ efek obat
Siklosporin ↓ efek obat
Digoxin ↓ efek obat
Fenoxfenadine ↓ efek obat
Generalanesthetic
agen (fentanyl,
↑ toksisitas obat
propofol,
sevoflurance)s
Imatinib ↓ efek obat
Indinavir ↓ efek obat
Irinotecan ↓ efek obat
Loperamide ↑ toksisitas obat
Mephytoin ↓ efek obat
Metadon ↑ toksisitas obat
Midazolam ↓ toksisitas obat
Nefazodone ↑ toksisitas obat
Nevirapine ↓ efek obat
St John's Wort (Hypericum perforatum) Omeprazole ↓ efek obat
Oral kontrsasepsi ↓ efek obat
Paroxetine ↑ toksisitas obat
Phenprocoumon ↓ efek obat
Rosiglitazone ↓ efek obat
Sertraline ↑ toksisitas obat
Simvastatin ↓ efek obat
Tacrolimus ↓ efek obat
Teofilin ↓ efek obat
Trazodone ↑ toksisitas obat
Venlafaxine ↓ efek obat
Verapamil ↓ efek obat
Vorikonazol ↓ efek obat
Warfarin ↓ efek obat
MAKALAH INTERAKSI OBAT

“HERBAL”

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 6

NAMA ANGGOTA :

1. ADITYA SEKAR WANGI (1012016001)


2. ARINDA GINEUNG (1012016002)
3. LUTVI ANGGRAENI (1012016003)
4. ELITA DEVI (1012016004)
5. RIZKY NUR AIDA (1012016006)
6. LUTFI ZULKURNAIN (1012017)

Program Studi S1 Farmasi

STIKES HARAPAN BANGSA

JEMBER

2018

DAFTAR ISI

i
Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................................I
DAFTAR ISI .....................................................................................................II
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang....................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Simplisia .......................................................................................................3
2.1.1 Definisi Simplisia..................................................................................3
2.1.2 Penggolongan Simplisia........................................................................3
2.2 Herbal............................................................................................................4
2.3 Jamu..............................................................................................................4
2.4 Metabolit Sekunder.......................................................................................4
2.5 Interaksi Obat................................................................................................4
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Interaksi Herbal.............................................................................................5
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan ..................................................................................................31
Daftar Pustaka ..................................................................................................32

ii
BAB I

LATAR BELAKANG

Herbal atau simplisia adalah bahan alam yang telah dikeringkan yang
digunakan untuk pengobatan dan belum mengalami pengolahan. Kecuali
dinyatakan lain suhu pengeringan simplisia tidak lebih dari 60 (Farmakope
Herbal Indonesia, 2008). Di bumi diperkirakan terdapat sekitar 40.000 spesies
tumbuhan, dimana 30.000 tumbuhan hidup di Indonesia. Diketahui pula sekurang-
kurangnya 9.600 spesies tumbuhan berkhasiat sebagai obat dan kurang lebih 300
spesies tumbuhan telah digunakan sebagai bahan obat tradisional oleh industri
obat tradisional (KEPMENKES Kebijakan Obat Tradisional Nasional, 2007).
WHO menyebutkan sebanyak 65% dari penduduk negara maju dan 80% dari
penduduk negara berkembang menggunakan obat tradisional atau herbal
(KEPMENKES Kebijakan Obat Tradisional Nasional, 2007). Pada tahun 1997,
hasil survei nasional di Amerika Serikat menunjukkan bahwa sekitar 12%
responden dewasa telah menggunakan obat herbal dimana data ini menunjukkan
peningkatan sebesar 380% dari tahun 1990. Hampir 1 dari 5 orang yang
menggunakan obat resep juga menggunakan suplemen herbal atau vitamin. Pada
tahun 1998 dan 1999, survei terhadap lebih dari 2500 orang dewasa
memperkirakan bahwa 14% dari populasi umum secara teratur menggunakan
produk herbal. Pada pasien yang memakai obat resep, 16% juga menggunakan
suplemen herbal. Data yang diperoleh dari survei 1999 terpisah memperkirakan
bahwa 9,6% orang dewasa AS menggunakan obat-obatan herbal, dimana hasil ini
lebih rendah daripada penelitian sebelumnya. Hal ini menggambarkan masalah
menilai perilaku konsumen secara akurat, tetapi hasil penelitan keseluruhan dapat
menggambarkan peningkatan yang signifikan dari tahun 1990. Pada tahun 2002,
angka menunjukkan bahwa penggunaan tahunan suplemen makanan telah
meningkat menjadi 18,8% (Stockley’s Herbal Medicines Interactions, 2009).
Dua obat atau lebih yang diberikan pada waktu bersamaan dapat berubah
efeknya secara tidak langsung atau dapat berinteraksi. Interaksi yang terjadi dapat

1
bersifat potesiasi atau antagonis efek satu obat dengan obat lainnya (BNF 58,
2009). Suatu interaksi terjadi ketika efek suatu obat diubah oleh kehadiran obat
lain, obat herbal, makanan, minuman, atau agen kimia lainnya dalam
lingkungannya (Stockley’s Drugs Interactions, 2010)
Insiden interaksi antara obat herbal dengan obat konvensional belum
sepenuhnya diketahui, dan tidak ada informasi yang andal saat ini tersedia untuk
digunakan ketika menilai skala masalah yang mungkin, atau memprediksi hasil
klinis. Signifikansi klinis dari beberapa kasus yang dilaporkan tidak dapat
dievaluasi secara akurat karena variasi sifat ramuan itu sendiri. Secara umum,
kurangnya bukti mungkin terjadi karena kurangnya pelaporan atau interaksi yang
tidak dikenali, tetapi ada juga kemungkinan bahwa banyak obat herbal memiliki
profil yang umumnya aman dan tidak berinteraksi secara signifikan dengan obat-
obatan. Mengingat terbatasnya informasi yang tersedia, sulit untuk menempatkan
masalah dalam perspektif dan tanpa bukti yang baik. Interaksi herbal-obat banyak
dilaporkan dalam studi yang tidak terkontrol atau data hanya berdasarkan pada
penelitian pada hewan. Hal ini harus dievaluasi dengan sangat hati-hati sebelum
memberi saran kepada pasien mengenai keamanan penggunaan obat herbal
dengan obat konvensional secara bersamaan. Namun, di sisi lain juga berisiko
bahaya pada pasien yang telah menggunakan herbal dan obat konvesional
bersamaan tanpa mengetahui informasi tentang efek buruk akibat interaksi yang
ditimbulkan. (Stockley’s Herbal Medicines Interactions, 2009). Oleh karena itu,
dalam makalah ini kamu akan membahas tentang informasi interaksi obat herbal
dengan mereview literatur.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Simplisia
2.1.1 Definisi Simplisia
Istilah simplisia dipakai untuk menyebut bahan-bahan obat alam yang
masi berada dalam wujud aslinya atau belum mengalami perubahan bentuk
(Gunawan, 2010). Simplisia atau herbal adalah bahan alam yang telah dikeringkan
yang digunakan untuk pengobatan dan belum mengalami pengolahan, kecuali
dinyatakan lain suhu pengeringan simplisia tidak lebih dari 60˚C (Farmakope
Herbal Indonesia, 2008). Simplisia merupakan bahan awal pembuatan sediaan
herbal. Mutu sediaan herbal sangat dipengaruhi oleh mutu simplisia yang
digunakan. Oleh karena itu, sumber simplisia, cara pengolahan, dan penyimpanan
harus dapat dilakukan dengan cara yang baik. Simplisia adalah bahan alam yang
digunakan sebagai bahan sediaan herbal yang belum mengalami pengolahan
apapun dan kecuali dinyatakan lain simplisia merupakan bahan yang telah
dikeringkan (Ditjen POM, 2005).
2.1.2 Penggolongan Simplisia
a. Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tumbuhan utuh, bagian tumbuhan
atau eksudat tumbuhan. Eksudat tumbuhan ialah isi sel yang secara spontan keluar
dari tumbuhan atau isi sel yang dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya atau
senyawa nabati lainnya yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tumbuhannya
dan belum berupa senyawa kimia murni (Depkes RI, 2000).
b. Simplisia hewani Simplisia hewani adalah simplisia berupa hewan utuh atau
zat-zat berguna yang dihasilkan oleh hewan. Contohnya adalah minyak ikan dan
madu (Gunawan, 2010).
c. Simplisia pelikan atau mineral Simplisia pelikan atau mineral adalah simplisia
berupa bahan pelikan atau mineral yang belum diolah atau telah diolah dengan
cara sederhana. Contohnya serbuk seng dan serbuk tembaga (Gunawan, 2010).
2.2 Herbal
Jamu yang dikategorikan sebagai obat herbal terstandar ini ialah obat yang
dibuat dari ekstrak bahan alam, seperti tanaman obat, hewan, atau mineral.
Pembuatan obat herbal ini memerlukan peralatan yang lebih kompleks dan

3
tentunya canggih serta tenaga kerja yang terlatih dalam pembuatan ekstrak (100
Plus Herbal Indonesia, 2013).
2.3 Jamu
Jamu sebagai obat tradisional yang telah dibuat secara tradisional ini
memang telah digunakan sejak turun-menurun. Hal ini disebabkan karena
racikannya berisikan bahan-bahan tanaman yang berkhasiat dan higienis.
Pada dasarnya pengolahan jamu ini dibuat berdasarkan resep turun-temurun dari
nenek moyang. Hal tersebut tidak memerlukan adanya bukti secara ilmiah dan
klinis, hanya dengan bukti secara empiris saja (100 Plus Herbal Indonesia, 2013).
2.4 Metabolit Sekunder
Metabolit sekunder adalah senyawa metabolit yang tidak esensial bagi
pertumbuhan organisme dan ditemukan dalam bentuk yang unik atau berbeda-
beda antar spesies. Produk-produk metabolisme sekunder ini disebut metabolit
sekunder, misalnya senyawa terpen, alkaloid, senyawa fenolik dan lain-lain.
Meskipun tidak sangat penting bagi eksistensi suatu individu, metabolit sekunder
sering berperan pada kelangsungan hidup suatu spesies dalam perjuangan
menghadapi spesies-spesies lain, misalnya sebagai zat pertahanan dan zat penarik
bagi lawan jenisnya (Farmakognosi dan Fitokimia, 2016)
2.5 Interaksi Obat
Suatu interaksi dikatakan terjadi ketika efek dari satu obat diubah oleh
kehadiran zat lain, termasuk obat-obatan herbal. Definisi ini jelas benar untuk
konvensional obat-obatan seperti halnya untuk obat-obatan herbal. Hasilnya bisa
berbahaya jika interaksi menyebabkan peningkatan toksisitas obat (Stockley’s
Herbal Medicines Interactions, 2009).

4
BAB III

PEMBAHASAN

Interaksi obat adalah modifikasi efek suatu obat akibat obat lain yang
diberikan pada sebelumnya atau diberikan bersamaan sehingga keefektifan atau
toksisitas satu obat atau lebih berubah. Efeknya bisa meningkatkan atau
mengurangi aktivitas atau menghasilkan efek baru yang tidak dimiliki
sebelumnya. Jika jumlah obat-obatan yang digunakan pasien semakin tinggi,
maka potensi interaksi obat semakin tinggi. Namun, hasilnya bisa berbahaya jika
interaksi tersebut menyebabkan peningkatan toksisitas obat. Suatu interaksi terjadi
ketika efek suatu obat diubah oleh kehadiran obat lain, obat herbal, makanan,
minuman, atau agen kimia lainnya dalam lingkungannya. Obat herbal dapat
berinteraksi dengan obat konvensional atau sintetik melalui interaksi
farmakokinetik dan atau farmakodinamik. Interaksi farmakokinetik
mengakibatkan perubahan absorpsi, distribusi, metabolisme atau ekskresi dari
obat sintetik atau obat herbal sehingga dapat mempengaruhi kerja obat secara
kuantitatif. Interaksi farmakodinamik mempengaruhi aksi obat secara kualitatif,
baik melalui efek meningkatkan (aksi sinergis atau aditif) atau efek antagonis.
Suatu herbal dapat memberikan efek yang menyerupai, memperkuat atau
melawan efek yang ditimbulkan obat. Interaksi obat dengan herbal dapat
menyebabkan perubahan ketersediaan hayati bioavailabilitas dan efektifitas obat.
Penggunaan obat herbal secara sering dapat menjadi penyebab terjadinya efek
toksik yang tidak diketahui penyebabnya atau berkurangnya efektifitas obat
konvensional atau sintetik yang digunakan. Banyaknya senyawa aktif dalam obat
herbal, berkemungkinan meningkatkan interaksi yang terjadi. Secara teoritis
interaksi obat herbal dengan obat sintetik lebih tinggi daripada interaksi dua obat
sintetik karena obat sintetik biasanya hanya berisi senyawa kimia atau zat aktif
tunggal. Penggunaan obat herbal bersamaan dengan obat sintetik umumnya tidak
terawasi oleh dokter, apoteker, atau praktisi pengobatan herbal, hal tersebut dapat
mengakibatkan kerugian bagi pasien, jika obat herbal yang digunakan dan obat

5
sintetiknya memiliki interaksi potensial. Berikut kami akan memberikan
penjelasan beberapa contoh interaksi obat herbal dan obat sintetik :
a. Bawang putih
Allium sativum L. (Alliaceae)
 Konstituen
Produk bawang putih biasanya distandarisasi isinya terdiri dari senyawa yang
mengandung sulfur, alliin, allicin (diproduksi oleh aksi enzim alliinase pada alliin)
dan / atau γ-glutamyl- (S) -allyl-L-sistein. Senyawa sulfur lainnya seperti
allylmethyltrisulfide, allylpropyldisulfide, diallyldisulfide, diallyltrisulfide, ajoene
dan vinyldithiines, dan mercaptan. Bawang putih juga mengandung berbagai
glikosida, monoterpenoid, enzim, vitamin, mineral dan flavonoid (kaempferol dan
quercetin).
 Penggunaan dan Indikasi
Bawang putih telah digunakan untuk mengobati infeksi saluran pernafasan
(seperti pilek, flu, bronkitis kronis, dan radang selaput lendir hidung dan
tenggorokan) dan gangguan kardiovaskular. Dipercaya memiliki khasiat
antihipertensi, antithrombotic, fibrinolytic, antimikroba, antikanker, ekspektoran,
antidiabetik dan antikolesterol
 Farmakokinetik
Ada banyak konstituen aktif dalam bawang putih dan peran mereka belum
sepenuhnya dijelaskan. Allicin diketahui merupakan senyawa yang melakukan
first pass effect dan melewati hati sehingga tidak dimetabolisme tetapi hal ini
terjadi hanya pada konsentrasi tinggi. Sedangkan untuk seperti dengan ajoene,
vinyldithiins dan diallylsulfide merupakan senyawa tidak stabil dan tidak
ditemukan dalam darah atau urin setelah dikonsumsi.
Ada beberapa studi eksperimental yang dilakukan untuk menilai efek bawang
putih dan konstituennya sitokrom P450 isoenzim. Studi in vitro menunjukkan itu
bawang putih menghambat, untuk berbagai tingkat: CYP2C9,CYP2C19,subfamili
isoenzim CYP3A, CYP2A6,CYP1A2, CYP2D64 dan CYP2E1. Studi pada tikus
menunjukkan bahwa bawang putih menghambat CYP2E1, dan menginduksi
CYP2C9.
1. Bawang Putih + ACE inhibitor

6
Dalam satu laporan, pasien mengkonsumsi lisinopril mengalami hipotensi dan
penglihatan menjadi samar atau berkunang-kunang saat pasien mengkonsumsi
kapsul bawang putih.
Bukti dan Mekanisme :Seorang pria yang tekanan darah 135 / 90mmHg saat
mengkonsumsi lisinopril 15mg setiap hari dan mulai mengkonsumsi 4 mg bawang
putih setiap hari. Setelah 3 hari pasien mengalami berkunang-kunang pada saat
berdiri dan ditemukan memiliki tekanan darah 90 / 60mmHg. Ketika konsumsi
kapsul bawang putih dihentikan tekanan darahnya 135 / 90mmHg dalam waktu
seminggu. Bawang putih sendiri tidak menurunkan tekanan darahnya. Alasan
untuk interaksi ini tidak diketahui, meskipun bawang putih telah dilaporkan
menyebabkan vasodilatasi dan penurunan tekanan darah.
2. Bawang Putih + obat Antiplatelet
Bawang putih mungkin memiliki sifat antiplatelet. Karena itu diharapkan dapat
meningkatkan efektifitas obat antiplatelet, namun disisi lain juga dikhawatirkan
meningkatkan risiko perdarahan.
Bukti klinis :Dalam sebuah penelitian di 23 subjek sehat, ekstrak bawang putih
cair 5 mL (Kyolic), diberikan setiap hari selama 13 minggu, menghambat tingkat
trombosit agregasi dan agregasi trombosit total. Efek serupa adalah ditemukan
dalam penelitian lain di 28 subyek sehat yang diberikan bawang putih ekstrak
kapsul 2,4 g, 4,8 g dan 7,2 g. Setiap dosis diberikan setiap hari untuk periode 6
minggu.
Bukti eksperimental :Ajoene, senyawa belerang yang berasal dari bawang putih
dengan antiplatelet dan antitrombotik, ditemukan berpotensi sinergis tindakan
antiplatelet dari dipyridamole, epoprostenol dan indometasin secara in vitro.
Mekanisme :Tidak pasti. Para penulis dari studi eksperimental menunjukkan
bahwa Ajoene menghambat pengikatan fibrinogen ke reseptor fibrinogen, yang
terjadi pada langkah akhir dari jalur agregasi trombosit.
3. Bawang Putih + Herbal; Minyak ikan
Suplemen bawang putih dan minyak ikan mungkin memiliki efek menguntungkan
pada lipid darah.
Bukti klinis :Dalam studi terkontrol plasebo di 46 subyek dengan moderat,
hiperkolesterolemia tidak diobati, dikombinasikan penggunaan pil bawang putih
300mg tiga kali sehari (Kwai) dan kapsul minyak ikan 4g tiga kali sehari selama
12 minggu dibandingkan dengan minyak ikan+bawang putih atau terapi tunggal.

7
Bawang putih mengurangi kolesterol total, dan minyak ikan tidak mengubah efek
ini. Minyak ikan mengurangi tingkat triasilgliserol, dan bawang putih tidak
mengubah efek ini. Bawang putih saja mengurangi kolesterol LDL, dan
dikombinasikan dengan minyak ikan menghasilkan pengurangan sama dengan
yang terlihat dengan bawang putih saja. Penurunan tekanan darah juga dilaporkan
dengan semua perawatan.
Bukti eksperimental :Minyak bawang putih telah ditemukan untuk
meningkatkan efek antioksidan dari minyak ikan pada tikus.
Mekanisme :Dalam studi eksperimental, minyak bawang putih sinergis
meningkatkan induksi superoksida dismutase antioksidan dengan minyak ikan,
dan kombinasi additively meningkatkan kadar protein CYP1A1, CYP2E1 dan
CYP3A1.
4. Bawang Putih + Isoniazid
Bukti eksperimental :Dalam sebuah studi pada kelinci, ekstrak bawang putih
(dosis yang tepat tidak diketahui) diberikan secara oral selama 14 hari,
mengurangi AUC dan tingkat serum maksimum dari 30-mg / kg dosis tunggal
isoniazid sekitar 55% dan 65% jika dibandingkan dengan tingkat dicapai setelah
30-mg / kg dosis tunggal isoniazid 7 hari yang diberikan sebelum dikonsumsi
bersama ekstrak bawang putih.
Mekanisme :Bawang putih dapat meningkatkan kadar isoniazid dengan
menghambat sitokrom P450 isoenzim CYP2E1, tapi penurunan kadar terjadi pada
ekperimen. Sedangkan penulis berspekulasi bahwa ekstrak bawang putih dapat
menginduksi enzim di mukosa usus, yang mengganggu penyerapan isoniazid
sehingga terjadi penurunan kadar isoniazid dalam serum.
5. Bawang putih + Protease inhibitor
Suplemen bawang putih mengurangi kadar saquinavir dalam satu penelitian, tetapi
memiliki sedikit efek pada yang lain. Suplemen bawang putih tidak secara
signifikan mempengaruhi farmakokinetik dari ritonavir dosis tunggal.
Bukti klinis :Dalam sebuah penelitian di 9 subjek pasien sehat bawang putih
mengurangi AUC dan kadar plasma saquinavir sekitar 50%. Bawang putih
dikonsumsi dalam bentuk suplemen makanan dua kali sehari selama 20 hari.
Saquinavir 1,2g tiga kali sehari diberikan untuk periode 4 hari sebelum, selama
dan setelah suplemen bawang putih. Empat belas hari setelah suplemen bawang
putih dihentikan, farmakokinetik saquinavir masih belum kembali ke nilai dasar.

8
Dari 9 subjek, 6 subjek mengalami penurunan substansial dalam AUC saquinavir
saat mengkonsumsi bawang putih, kemudian meningkat ketika bawang putih
dihentikan. 3 sisanya tidak mengalami perubahan dalam AUC saquinavir saat
mengkonsumsi bawang putih, tetapi mengalami penurunan ketika bawang putih
dihentikan. Namun, dalam penelitian lain, ekstrak bawang putih (Garlipure) +
1,2g setiap hari selama 3 minggu tidak memiliki efek yang signifikan pada
farmakokinetik dari dosis 1,2 g saquinavir tunggal (sedikit penurunan AUC dalam
7 subjek dan megalami peningkatan pada nilai 3). Dalam penelitian pada 10
subjek sehat, penggunaan ekstrak bawang putih (10 mg, setara dengan 1g bawang
putih segar) dua kali sehari untuk 4 hari tidak secara signifikan mempengaruhi
farmakokinetik dari ritonavir 400mg dosis tunggal. Ada penurunan 17% yang
tidak signifikan pada AUC ritonavir. Bawang putih diberikan dalam bentuk kapsul
(Natural Source Odorless Garlic Life Brand). Toksisitas gastrointestinal tercatat
pada 2 pasien yang mengkonsumsi suplemen bawang putih ketika mereka mulai
menggunakan rejimen yang mengandung ritonavir.
Bukti eksperimental :Dalam sebuah penelitian eksperimental menggunakan jalur
sel, allicin dalam bawang putih secara signifikan menurunkan pembersihan (eflux)
ritonavir dari sel dengan cara yang tergantung dosis.
Mekanisme :Diperkirakan bahwa bawang putih mengurangi bioavailabilitas
saquinavir dengan meningkatkan metabolisme dalam usus. Mengapa ada
perbedaan efek bawang putih pada saquinavir antara pasien tidak jelas. Allicin
diduga telah menghambat aktivitas P-glikoprotein in vitro, yang menyebabkan
penumpukan ritonavir dalam sel.
6. Bawang Putih + Warfarin dan obat-obatan terkait
Sebuah laporan yang terpisah menggambarkan peningkatan antikoagulan efek
warfarin pada dua pasien yang mengkonsumsi suplemen bawang putih. Laporan
lain menggambarkan penurunan efek antikoagulan dari fluindione pada pasien
yang mengkonsumsi tablet bawang putih. Suplemen bawang putih sendiri juga
jarang dikaitkan dengan perdarahan. Namun, dalam satu penelitian, ekstrak
bawang putih tua tidak meningkatkan INR atau risiko pendarahan pada pasien
yang menggunakan warfarin.
Bukti klinis :

9
(a) Fluindione
Pada pria berusia 82 tahun stabil pada fluindione 5 mg (dosis) frekuensi tidak
disebutkan) untuk fibrilasi atrium kronis, INR menurun hingga di bawah kisaran
biasanya (2 hingga 3) ketika tablet bawang putih 600 mg setiap hari dikonsumsi,
dan tetap di bawah 2 selama 12 hari berturut-turut dengan peningkatan dosis
fluindione menjadi 10 mg. INR kembali ke normal, dengan pengurangan dosis
fluindione serta konsumsi tablet bawang putih dihentikan. Ia juga mengambil
enalapril 20 mg, furosemid 40 mg dan pravastatin 20 mg (frekuensi dosis tidak
menyatakan) .
(b) Warfarin
INR seorang pasien stabil pada dosis warfarin lebih dari dua kali dan hematuria
terjadi 8 minggu setelah pasien mulai mengkonsumsi tiga bawang putih setiap
hari. Situasi teratasi saat bawang putih telah berhenti. INR meningkat pada
kesempatan berikutnya ketika pasien mengkonsumsi dua tablet bawang putih
Kwai setiap hari. INR pasien lain adalah juga lebih dari dua kali lipat oleh enam
tablet bawang putih Kwai setiap hari. Sebaliknya, dalam penelitian terkontrol
plasebo pada 48 pasien stabil pada warfarin, tidak ada perubahan dalam INR atau
bukti peningkatan pendarahan pada mereka yang mengkonsumsi 5 mL ekstrak
bawang putih tua (Kyolic) dua kali sehari selama 12 minggu. Demikian pula,
dalam laporan awal dari penggunaan obat-obatan alternatif dan komplementer
pada 156 pasien yang mengkonsumsi warfarin, tidak ada peningkatan risiko atau
perdarahan yang nyata atau menaikkan INR pada 57 pasien yang mengkonsumsi
suplemen tambahan yang berpotensi berinteraksinya obat-obatan (bawang putih
dalam 10%), dibandingkan dengan 84 yang tidak.
Mekanisme :Bawang putih dikaitkan dengan agregasi trombosit yang menurun.
Oleh karena itu, efeknya dapat meningkatkan risiko pendarahan dengan
antikoagulan. Namun, ini tidak akan menyebabkan peningkatan INR, dan
mekanisme untuk efek ini dalam kasus yang terlihat tidak diketahui.
b. Ginkgo
Ginkgo biloba L. (Ginkgoaceae)
 Konstituen
Ginkgo daun mengandung banyak flavonoid termasuk glikosida biflavone seperti
ginkgetin, isoginkgetin, bilobetin, sciadopitysin, dan juga beberapa quercetin dan
turunannya kaempferol. Lakton terpene merupakan komponen utama lainnya, dan

10
ini termasuk ginkgolides A, B dan C, dan bilobalide, ekstrak Ginkgo dapat
distandarisasi mengandung antara 22 dan 27% flavonoid (flavon glikosida) dan
antara 5 dan 12% lakton terpene, baik pada secara kering. Daunnya mengandung
hanya sejumlah kecil asam ginkgolic. Bijinya mengandung Ginkgotoxin (4-O-
methylpyridoxine) dan asam ginkgolic.
 Penggunaan dan Indikasi
Daun ginkgo adalah bagian yang umumnya digunakan. Ginkgo sering digunakan
untuk meningkatkan fungsi kognitif pada kasus demensia dan kehilangan memori,
dan telah diteliti untuk digunakan dalam pengobatan penyakit Alzheimer.
Ginkgolides dianggap memiliki antiplatelet dan sifat antiinflamasi dan telah
digunakan untuk serebrovaskular dan gangguan pembuluh darah perifer, tinnitus,
asma dan untuk meringankan gejala altitude sickness. biji ginkgo mengandung
beberapa unsur beracun; Namun demikian, mereka digunakan di Cina dan Jepang,
termasuk sebagai makanan.
 Farmakokinetik
Dua komponen aktif utama ginkgo adalah flavonoid dan terpene lactones.
Berbeda dengan flavonoid, bioavailabilitas ginkgolide A dan B (tapi tidak C) dan
bilobalide relatif tinggi dan sebagian besar dosisnya diekskresikan tidak berubah
dalam urine. Efek dari ginkgo pada sitokrom isoenzim P450 tampaknya telah
dipelajari relatif baik. Fraksi flavonoid ginkgo lebih berefek pada isoenzim
sitokrom P450 dari lakton terpene, dan efek pada enzim ini dapat dihentikan
relatif cepat ketika penggunaan ginkgo dihentikan.
Secara In vitro dan penelitian pada tikus telah menemukan bahwa ginkgo
mungkin memiliki beberapa efek sederhana pada CYP1A2 saat berinteraksi
dengan teofilin. Namun, bukti studi klinis menggunakan kafein menunjukkan
bahwa ini tidak relevan secara klinis dengan dosis terapi ginkgo. Demikian pula,
secara in vitro dan penelitian pada tikus telah menyarankan bahwa ginkgo
mempengaruhi CYP2C9, CYP2D6 dan CYP1E2. Namun studi klinis
menggunakan spesifik substrat penyelidikan tolbutamid untuk CYP2C9,
dekstrometorfan untuk CYP2D6, dan chlorzoxazone untuk CYP1E2 telah
menemukan efek tidak relevan secara klinis. Sebaliknya, dalam temuan vitro
menunjukkan ginkgo yang dapat mempengaruhi CYP3A4 dan menginduksi

11
CYP2C9 didukung oleh studi klinis dengan midazolam dan omeprazole. Namun,
efek ginkgo pada CYP3A4 tidak jelas (induksi dan inhibisi dilaporkan), tapi efek
muncul sederhana. In vitro dan penelitian pada tikus juga menunjukkan bahwa
ginkgo dapat mempengaruhi CYP2B6 dan CYP2C8, tetapi relevansi klinis ini
perlu penelitian lebih lanjut. Ginkgo tidak mungkin untuk mempengaruhi aktivitas
P-glikoprotein sampai batas klinis yang relevan.
Ginkgo mengurangi konsentrasi omeprazole dan dimungkinkan inhibitor pompa
proton lainnya juga akan terpengaruh. Beberapa bukti menunjukkan bahwa
konsentrasi diltiazem dan nifedipine ditingkatkan oleh ginkgo, meskipun
konsentrasi nicardipine dapat berkurang. Kasus perdarahan terjadi ketika ginkgo
digunakan dengan obat antiplatelet, antikoagulan dan NSAID, dan beberapa kasus
telah terjadi dengan ginkgo saja. Meskipun efek antiplatelet klinis yang relevan
untuk ginkgo saja tidak ditemukan. Laporan kasus juga menunjukkan bahwa
ginkgo dapat menyebabkan kejang pada pasien yang memakai fenitoin dan / atau
valproate dan satu kasus melaporkan telah terjadi penuruna konsentrasi fenitoin
dan valproate. Sedangkan fenobarbital tidak muncul akan terpengaruh, meskipun
ini didasarkan pada data eksperimen saja. Sebuah kasus juga menggambarkan
koma pada pasien yang menggunakan trazodon dengan ginkgo, priapism pada
pasien mengambil ginkgo dengan risperidone, dan depresi SSP pada pasien
menggunakan ginkgo dengan valerian, tetapi hal ini simpang siur dengan
konsumsi alkohol. Ada beberapa data hewan menunjukkan bahwa kadar
siklosporin mungkin berkurang dengan ginkgo, dan telah menyarankan bahwa
efek samping ekstrapiramidal dari haloperidol dan efek ototoksik dari amikasin
dapat meningkat dengan ginkgo. Ginkgo tampaknya tidak mempengaruhi
farmakokinetik/metabolisme alprazolam, kafein, chlorzoxazone, dekstrometorfan,
diklofenak, digoxin, donepezil, fexofenadine, flurbiprofen, lopinavir/ritonavir,
midazolam, propranolol, teofilin, atau tolbutamid sampai batas klinis yang
relevan.
1. Ginkgo + antiepileptics
Laporan kasus menggambarkan kejang pada tiga pasien yang memakai valproate,
atau valproate dan fenitoin, ketika ginkgo juga digunakan.

12
Bukti klinis :Seorang pria 55 tahun menggunakan valproate dan fenitoin untuk
gangguan kejang yang berkembang setelah operasi bypass arteri koroner
mengalami kejang fatal saat berenang setahun kemudian. Analisis riwayat medis
menunjukkan bahwa ia memiliki kadar serum subterapeutik yang tidak dapat
dijelaskan valproate dan fenitoin pada tiga pemeriksaan tahun sebelumnya.
Kemudian ditemukan bahwa pasien juga telah menggunakan berbagai vitamin,
suplemen dan obat-obatan herbal tanpa sepengetahuan dokter nya, yaitu ekstrak
ginkgo. Obat herbal lain yang disebutkan dalam laporan itu juga terdapat ginseng
dan saw palmetto. Dalam kasus lain, seorang pria 78 tahun, yang serangan
epilepsi telah dikendalikan dengan baik oleh valproate 1.2g per hari selama 7
tahun, menderita cluster kejang setelah menggunakan ekstrak ginkgo 120 mg
setiap hari selama 2 minggu untuk pengelolaan penurunan kognitif ringan.
Penggunaan ginkgo dihentikan dan pasien dilaporkan bebas kejang 8 bulan
kemudian. Semua obat lain yang digunakan oleh pasien tetap. Seorang wanita
epilepsi 84 tahun dengan demensia berat menggunakan valproate 1.2g perhari
telah bebas kejang selama 2 tahun. Setelah menggunakan ekstrak ginkgo 120 mg
setiap hari selama 12 hari dengan ditentukan oleh psikiater, dia menderita cluster
kejang, yang diobati dengan diazepam intravena. Penggunaan ekstrak ginkgo
dihentikan dan pasien bebas kejang 4 bulan kemudian.
Mekanisme :biji ginkgo (kacang-kacangan) mengandung neurotoxin 4-
Omethoxypyridoxine (Ginkgotoxin), yang secara tidak langsung menghambat
aktivitas glutamat dekarboksilase, yang kemudian menginduksi kejang dengan
menurunkan kadar asam γ-aminobutyric (GABA). Sebuah jumlah besar kacang
ginkgo (sekitar 70 hingga 80) sendiri telah dilaporkan menjadi penyebab kejang
dalam perempuan 36 tahun yang sehat. Mekanisme lain yang mungkin terjadi
adalah induksi sitokrom P450 isoenzim CYP2C19 oleh ginkgo. Fenitoin
merupakan substrat dari CYP2C19 dan oleh karena itu, dalam teori, ginkgo dapat
meningkatkan metabolisme fenitoin dan dengan demikian mengurangi
konsentrasinya. Ginkgo menginduksi CYP2C19 dalam studi klinis.
2. Obat Ginkgo + antiplatelet

13
Ginkgo biloba telah dikaitkan dengan trombosit, perdarahan dan pembekuan
gangguan, dan ada laporan reaksi efek samping yang serius setelah digunakan
bersamaan dengan obat antiplatelet seperti aspirin, clopidogrel dan ticlopidine.
Bukti klinis :Sebuah studi pada 10 subjek sehat tidak ditemukan peningkatan
yang signifikan dalam efek antiplatelet dosis tunggal clopidogrel 75mg atau
cilostazol 100mg ketika dosis tunggal ginkgo 120 mg ditambahkan. Namun,
waktu perdarahan meningkat secara signifikan ketika cilostazol dikombinasikan
dengan ginkgo, meskipun tidak ada studi yang dikembangkan pada efek ini. Studi
lain yang melaporkan tentang efek yang merugikan secara signifikan terjadi pada
8 subjek sehat yang menggunakan ginkgo 40mg tiga kali sehari tidak memimilki
pengaruh yang signifikan terhadap farmakokinetika saat dikonsumsi dengan
tiklopidin 250-mg dosis selama 4 hari. Sebuah penelitian random double-blind
meneliti 55 pasien dengan peripheral artery disease (PAD), atau dengan faktor
risiko untuk mengembangkan PAD, menemukan bahwa penambahan ginkgo
300mg dalam dosis terbagi untuk aspirin 325mg setiap hari tidak memiliki
pengaruh yang signifikan pada agregasi platelet. Lima dari pasien yang memakai
terapi kombinasi dilaporkan mimisan atau pendarahan kecil; Namun, 4 pasien dari
kelompok aspirin-satunya juga melaporkan bleeding. Demikian pula, sebuah
penelitian di 41 subjek sehat menemukan bahwa 120-mg ginkgocoated tablet dua
kali sehari tidak berpengaruh pada aktivitas antiplatelet aspirin 500mg setiap hari
yang diberikan untuk 7 hari. pendarahan kecil terlihat dalam beberapa studi tapi
ini dikaitkan dengan penggunaan aspirin. Dalam sebuah analisis dari penggunaan
suplemen, 23% dari 123 pasien saat ini sedang menggunakan suplemen, dan 4
pasien ditemukan menggunakan ginkgo dan aspirin. Namun, tidak ada masalah
dari penggunaan ini. Namun demikian, sejumlah kasus perdarahan yang
signifikan secara klinis telah dilaporkan. Seorang pria 70 tahun mengalami
perdarahan spontan dari iris ke dalam ruang anterior matanya satu minggu setelah
mulai menggunakan ginkgo suplemen (Ginkoba) tablet dua kali sehari. Ia
mengalami episode berulang dari penglihatan kabur pada satu mata berlangsung
sekitar 15 menit, dimana ia bisa melihat perubahan warna merah melalui kornea
nya. Tiap tablet mengandung 40mg terkonsentrasi (50:1) ekstrak ginkgo. Dia juga

14
menggunakan aspirin 325mg setiap hari selama 3 tahun karena memiliki riwayat
operasi bypass koroner. Dia berhenti menggunakan ginkgo tetapi penggunaan
aspirin tetap dilakukan, 3 bulan kemudian pasien tidak mengalami pendarahan
lagi. Kasus lain melaporkan pasca operasi pendarahan persisten dari luka pinggul
artroplasti, yang berlanjut meskipun penggunaan aspirin telah dihentikan, tetapi
pasien saat itu mengkonsumsi ginkgo ekstrak 120mg setiap hari pasca operasi.
Pendarahan secara bertahap berkurang ketika penggunaan ginkgo dihentikan.
Sebuah pencarian database di Kanada tentang reaksi merugikan spontan untuk
periode Januari 1999 sampai Juni 2003 menemukan ada 21 laporan efek samping
yang diduga terkait dengan ginkgo. Sebagian besar yang terlibat trombosit,
perdarahan dan gangguan pembekuan. Satu laporan dari perdarahan
gastrointestinal yang fatal dikaitkan dengan tiklopidin dan ginkgo yang
dikonsumsi selama 2 tahun bersama dengan obat lain. Laporan lain adalah stroke
pada pasien yang mengkonsumsi clopidogrel, aspirin dan ginkgo secara
bersamaan, dimana saat konsumsi ginkgo dihentikan makan pendarahan akan
berkurang secara perlahan.
Bukti eksperimental :Ginkgo (EGB 761) 40mg / kg sehari tidak berpengaruh
pada aktivitas antiplatelet tiklopidin 50mg / kg setiap hari ketika diberikan kepada
tikus selama 3 hari. Namun, ketika keduanya diberikan selama 5 hari,
penghambatan agregasi platelet terjadi dua kali lipat dari tiklopidin diberikan
secara tunggal dan waktu perdarahan meningkat sekitar 60%. Ketika diberikan
selama 9 hari, kombinasi itu dua kali lebih efektif menghambat pembentukan
trombus bila dibandingkan dengan dosis yang sama dari tiklopidin pemberian
tunggal.
Mekanisme :Alasan untuk perdarahan tidak diketahui, tetapi ekstrak ginkgo
mengandung ginkgolide B, yang merupakan inhibitor poten faktor platelet
activating yang diperlukan untuk arachidonate-independent platelet aggregation.
Namun, dalam satu studi terkontrol pada subjek sehat, penggunaan ginkgo sendiri
selama 2 minggu tidak berpengaruh pada fungsi platelet. Namun demikian, ada
laporan kasus suplemen ginkgo sendiri terkait dengan waktu perdarahan
berkepanjangan pada bilateral kiri hematoma subdural, hematoma kanan parietal,
pendarahan retrobulbar, post laparoscopic kolesistektomi bleeding dan

15
pendarahan subarachnoid. Efek dari ginkgo dan obat antiplatelet konvensional
dapat aditif, yang mengarah ke komplikasi perdarahan.
3. Ginkgo + Donepezil
Ginkgo tidak muncul untuk mengubah farmakokinetik atau efek dari donepezil.
Bukti dan mekanisme :Dalam studi farmakokinetik, 14 pasien usia lanjut dengan
penyakit Alzheimer diberi donepezil 5 mg setiap hari selama setidaknya 20
minggu, setelah itu ekstrak ginkgo 90mg diberikan selama 30 hari. Penggunaan
bersamaan tidak mempengaruhi farmakokinetik atau mempengaruhi
cholinesterase donepezil, dan fungsi kognitif tampaknya tidak berubah. Oleh
karena itu, selama 30 hari, penggunaan bersamaan tidak menampakkan hasil
menguntungkan atau merugikan.
4. Ginkgo + Haloperidol
Penelitian pada hewan menunjukkan bahwa ginkgo dapat meningkatkan efek
ekstrapiramidal dari haloperidol, tetapi studi klinis tidak tampak telah melaporkan
efek ini.
Bukti klinis :Ginkgo telah dicoba pada skizofrenia sebagai tambahan antipsikotik
standar seperti haloperidol. Misalnya, dalam satu studi klinis, peningkatan gejala
positif terlihat pada 43 pasien skizofrenia ynag diberi ginkgo ekstrak 360mg
setiap hari dengan 250micrograms haloperidol / kg sehari selama 12 minggu.
Studi ini tidak melaporkan setiap kejadian buruk.
Bukti eksperimental :dosis tinggi ginkgo ekstrak 80mg / kg setiap hari selama 5
hari, secara signifikan potensial efek samping berhubung dgn katalepsia dari
haloperidol 2mg / kg yang diberikan kepada tikus pada hari pertama dan terakhir.
Respon katalepsia untuk haloperidol adalah digunakan sebagai model percobaan
pada hewan yang menunjukkan bagaimana efek samping ekstrapiramidal.
Mekanisme :Haloperidol merupakan antagonis dopamin D2-reseptor. Haloperidol
berpikir bahwa ginkgo dapat mengganggu dopamin neurotransmisi dengan
pembilasan oksida nitrat, yang pada gilirannya mengurangi aktivitas locomotor.
5. Ginkgo + NSAID
Kasus yang terisolasi menggambarkan pendarahan intraserebral yang fatal pada
pasien menggunakan ginkgo dengan ibuprofen, dan kasus lain menggambarkan
perdarahan berkepanjangan dan hematoma subdural pada pasien lain yang
menggunakan gingko dan rofecoxib. Studi dengan diklofenak dan flurbiprofen
menunjukkan bahwa ginkgo tidak berpengaruh terhadap farmakokinetika obat ini.

16
Bukti klinis :Sebuah kasus perdarahan intraserebral yang fatal telah dilaporkan
pada pasien 71 tahun yang menggunakan suplemen ginkgo selama 4 minggu
setelah ia mulai menggunakan ibuprofen 600mg per hari. Seorang pria 69 tahun
menggunakan suplemen ginkgo dan rofecoxib mengalami hematoma subdural
setelah cedera kepala dengan waktu perdarahan berkepanjangan yang kembali
normal 1 minggu setelah menghentikan penggunaan suplemen ginkgo dan
rofecoxib, dan tetap normal setelah penggunaan ulang dosis rendah rofecoxib.
Sebuah studi terkontrol plasebo di 11 subyek sehat yang diberi daun ginkgo
120mg dua kali sehari selama tiga dosis, diikuti dengan dosis 100 mg tunggal
flurbiprofen, menemukan bahwa farmakokinetik flurbiprofen tidak berubah.
Mekanisme :Alasan untuk perdarahan tidak diketahui, tetapi ekstrak ginkgo
mengandung ginkgolide B, yang merupakan inhibitor poten dari plateletactivating
faktor in vitro, yang diperlukan untuk agregasi platelet arachidonateindependent.
Sub arachnoid Ibuprofen adalah inhibitor agregasi platelet, tapi inhibitor selektif
COX-2 seperti rofecoxib tidak berpengaruh pada trombosit dan tidak akan
diharapkan untuk mempotensiasi efek pendarahan ginkgo. Studi farmakokinetik
yang melibatkan diklofenak dan flurbiprofen dirancang untuk mengidentifikasi
apakah ginkgo diberikan efek penghambatan pada sitokrom P450 isoenzim
CYP2C9, dan mengkonfirmasi bahwa ginkgo tidak berpengaruh pada isoenzim
ini.
6. Ginkgo + Phenobarbital
Bukti eksperimental :Dalam sebuah studi eksperimental pada tikus, ginkgo
ekstrak 0,5% setiap hari (setara dengan sekitar 1.3g / kg) selama 2 minggu
mengurangi kadar serum maksimum 90 mg / kg dosis tunggal fenobarbital sekitar
35%, dan mengurangi AUC sekitar 18% (tidak signifikan secara statistik).
Mekanisme :Ginkgo dapat menginduksi sitokrom P450 isoenzim CYP2B
subfamili, yang akan meningkatkan metabolisme fenobarbital dengan substrat
CYP2B6, dan mengurangi konsentrasinya
7. Ginkgo + Proton Pump Inhibitor
Ginkgo menginduksi metabolisme omeprazole. Kebanyakan inhibitor pompa
proton lainnya kemungkinan akan sama terpengaruh.
Bukti klinis :Dalam satu studi, subyek 18 warga cina sehat diberi dosis 40 mg
omeprazole 12 hari sebelum dan sesudah diterapi ekstrak standar ginkgo 140mg

17
dua kali sehari. Subyek dibagi menjadi tiga kelompok: homozigot dengan
metabolisme CYP2C19 yang luas (6 subjek), heterozigot yang luas dengan
metabolisme CYP2C19 (5) dan dengan metabolisme sedikit CYP2C19 (7). AUC
omeprazol itu sederhana menurun 42%, 27% dan 40%, masing-masing, dan kadar
plasma dari metabolit tidak aktif, hydroxyomeprazole, meningkat sebesar 38%,
100% dan 232% dalam tiga kelompok, masing-masing. Ekskresi melalui ginjal
terhadap hydroxyomeprazole juga berkurang oleh ginkgo.
Mekanisme :Disimpulkan bahwa ginkgo meningkatkan metabolisme
(hidroksilasi) omeprazol dengan menginduksi CYP2C19 sitokrom P450 isoenzim.
8. Ginkgo + Warfarin dan obat-obatan terkait
Bukti dari studi farmakologi pada pasien dan subyek sehat menunjukkan bahwa
ginkgo biasanya tidak berinteraksi dengan warfarin. Namun, laporan terisolasi
menggambarkan perdarahan intraserebral terkait dengan penggunaan ginkgo dan
warfarin, dan ada beberapa laporan dari perdarahan yang berhubungan dengan
penggunaan ginkgo sendiri.
Bukti klinis :Studi pada 21 pasien pengguna warfarin, diberi ekstrak ginkgo
100mg setiap hari selama 4 minggu tidak mengubah INR atau dosis yang
diperlukan warfarin, bila dibandingkan dengan placebo. Demikian pula, dalam
studi lain di subyek sehat, 2 Tavonin (mengandung standar ekstrak kering ginkgo
setara dengan 2g daun) dua tablet tiga kali sehari selama 2 minggu tidak
mempengaruhi baik farmakokinetik atau farmakodinamik (INR) dari dosis
tunggal warfarin diberikan pada hari ke 7. Selain itu, review retrospektif dari 21
kasus klinis yang melibatkan penggunaan ginkgo dan warfarin bersamaan juga
tidak menemukan bukti terhadap INR berubah. Sebaliknya, laporan menjelaskan
perdarahan intraserebral, yang terjadi di seorang wanita tua dalam 2 bulan setelah
dia mulai menggunakan ginkgo. Ditemukan bahwa prothrombin time 16.9seconds
dan partial thromboplastin time 35.5seconds. Dia telah menggunakan warfarin
secara tidak teratur selama 5 tahun. Penulis laporan berspekulasi bahwa ginkgo
mungkin telah berkontribusi terhadap perdarahan.
Bukti eksperimental :Dalam penelitian hewan ditemukan bahwa AUC warfarin
mengalami penurunan sebesar 23,4% ketika ginkgo ekstrak diberikan, dan
prothrombin time juga berkurang menunjukkan bahwa ginkgo mengurangi efek
warfarin.

18
Mekanisme :Dalam studi farmakologi, ekstrak ginkgo sendiri tidak mengubah
parameter koagulasi atau platelet aggregation. Selain itu, studi eksperimental
menunjukkan bahwa ginkgo dapat mengurangi efek warfarin. Ekstrak ginkgo juga
tidak mempengaruhi metabolisme sejumlah substrat dari sitokrom P450 isoenzim
CYP2C9.
9. Ginkgo + Tolbutamide
Ginkgo tampaknya tidak memiliki efek yang relevan secara klinis pada
metabolisme atau efek-efek menurunkan glukosa dari tolbutamide.
Bukti klinis :Pada subyek sehat, ekstrak ginkgo (Ginkgold) 120mg dua kali
sehari selama 7 hari tidak memiliki efek pada rasio metabolik urin tolbutamide.
Dalam studi lain pada 10 subjek sehat, ginkgo 360mg setiap hari selama 28 hari
sedikit mengurangi AUC dari 125 tunggal mg dosis oral tolbutamide sekitar 16%,
tanpa perubahan signifikan dalam parameter farmakokinetik lainnya. Produk
ginkgo yang digunakan adalah Ginkgold, yang mengandung 24% flavon glikosida
dan 6% terpena lakton. Farmakodinamik dari tolbutamide tidak berubah secara
signifikan meskipun ada kecenderungan terhadap atenuasi efek hipoglikemiknya
oleh ginkgo (pengurangan 14%).
Bukti eksperimental :Dalam sebuah penelitian eksperimental, ginkgo 32mg / kg
diberikan setiap hari selama 5 hari sebelum dosis tunggal 40 mg / kg tolbutamide
secara signifikan mengurangi efek penurunan glukosa darah pada tikus tua.
Namun, ketika satu dosis ginkgo 100 mg / kg diberikan dengan dosis tunggal 40
mg / kg tolbutamide, kadar glukosa darah secara signifikan lebih rendah, bila
dibandingkan dengan tolbutamide saja, menunjukkan bahwa ginkgo
mempotensiasi glukosa darah.
Mekanisme :Disarankan bahwa ginkgo mungkin menginduksi sitokrom P450
isoenzim CYP2C9, dimana tolbutamide dimetabolisme. Namun, studi klinis
menunjukkan bahwa ginkgo memiliki sedikit atau tidak ada efek yang relevan
secara klinis pada CYP2C9. Efek yang berbeda antara administrasi dosis tunggal
dan ganda dalam penelitian hewan tidak dipahami.
10. Ginkgo + Trazodone
Koma pada pasien usia lanjut dengan penyakit Alzheimer setelah ia mengambil
trazodone dan ginkgo.

19
Bukti klinis :Seorang wanita 80 tahun dengan penyakit Alzheimer menjadi koma
beberapa hari setelah mulai mengambil trazodone dosis rendah 20mg dua kali
sehari.
dan ginkgo. Pasien terbangun segera setelah diberikan flumazenil 1mg secara
intravena
Mekanisme :Disarankan bahwa flavonoid dalam ginkgo memiliki efek langsung
subklinis pada reseptor benzodiazepine. Selain itu, disarankan bahwa ginkgo
meningkatkan metabolisme trazodone ke metabolit aktifnya, 1- (m-chlorophenyl)
piperazine (mCPP) oleh sitokrom P450 isoenzim CYP3A4. Peningkatan kadar
metabolit dianggap telah meningkatkan pelepasan GABA (γ-aminobutyric acid).
Flumazenil mungkin telah memblokir efek langsung dari flavonoid, sehingga
menyebabkan aktivitas GABA jatuh di bawah tingkat yang diperlukan untuk
memiliki efek klinis. Namun, perhatikan bahwa induksi CYP3A4 yang relevan
secara klinis belum terlihat dengan midazolam substrat CYP3A4 konvensional.
c. Jahe
Zingiber officinale Roscoe (Zingiberaceae)
 Konstituen
Umumnya, rimpang jahe mengandung minyak atsiri yang zingiberene dan
bisabolene adalah komponen utama. Sedangkan zingerone, zingiberol,
zingiberenol, curcumene, camphene dan linalool adalah komponen minor.
Rimpang juga mengandung gingerol dan turunannya, gingerdiols, gingerdiones
dan dihydrogingerdiones. Shogaols terbentuk dari gingerol selama pengeringan.
Ekstrak jahe telah distandarkan mengandung minimal 15ml / kg minyak esensial
dengan mengacu pada obat kering.
 Penggunakan dan Indikasi
Jahe dianggap memiliki khasiat sebagai karminatif, anti-muntah, antiinflamasi,
antispasmodic dan sifat antiplatelet. Jahe segar dan kering banyak digunakan
untuk meringankan mabuk perjalanan dan untuk meringankan morning sickness.
Jahe juga telah digunakan dalam pengobatan osteoarthritis dan rheumatoid
arthritis, dan untuk migrain. Khasiat jahe juga telah dimanfaatkan untuk
digunakan dalam kosmetik dan sabun. Jahe merupakan konstituen dari trikatu,
obat yang digunakan dalam pengobatan Ayurveda dalam rasio 1: 1: 1 dengan
Piper nigrum dan Piper longum.

20
 Farmakokinetik
Gingerol merupakan substrat dari beberapa UDP-glucuronosyltransferases, yang
enzim fase 2 metabolik utama yang bertanggung jawab untuk metabolisme
beberapa obat.
Terdapat Interaksi dimana jahe meningkatkan respon untuk antikoagulan
pengobatan dengan warfarin dan obat terkait, tetapi studi terkontrol tidak
mengkonfirmasi interaksi. Sebuah penelitian kecil menunjukkan efek antiplatelet
untuk jahe yang sinergis dengan nifedipine.
1. Jahe + Nifedipine
Sebuah penelitian kecil menemukan bahwa efek antiplatelet untuk jahe yang
sinergis dengan nifedipine, tapi efek apapun perlu konfirmasi.
Bukti dan Mekanisme :Dalam sebuah penelitian kecil 10 pasien hipertensi dan
10 subjek sehat, diberi jahe 1g setiap hari selama 7 hari dengan 10mg nifedipin
dua kali sehari selama 7 hari didapat hasil yang menunjukkan penghambatan
agregasi platelet hingga tiga kali dari pada penggunaan nifedipin secara tunggal.
Dalam studi ini, jahe saja memiliki efek antiplatelet mirip dengan aspirin 75mg
(digunakan sebagai kontrol), baik sendiri, atau diberikan dengan nifedipine.
Nifedipine sendiri juga memiliki efek antiplatelet, tetapi ini tidak begitu besar
seperti aspirin 75mg.
d. Kunyit atau Tumeric
Curcuma longa L. (Zingiberaceae)
 Konstituen
Konstituen yang aktif adalah kurkuminoid, dan termasuk campuran yang dikenal
sebagai kurkumin yang mengandung diferuloilmethane (kadang-kadang disebut
sebagai kurkumin atau kurkumin I), desmethoxycurcumin (kurkumin II),
bisdesmethoxycurcu- min (curcumin III) dan cyclocurcumin (kurkumin IV).
Sebagian besar persiapan yang tersedia secara komersial dari 'curcumin' tidak
murni, tetapi juga mengandung desmethoxycurcumin dan bisdes-
methoxycurcumin. Spesies yang terkait Curcuma aromatica dan Curcuma
xanthorrhiza juga mengandung kurkuminoid. Minyak esensial mengandung
terutama turmer, termasuk zingiberene.
 Penggunaan dan indikasi
Kunyit memiliki banyak aktivitas biologis, yang terutama dikaitkan dengan
kurkuminoid yang dikandungnya. Ini secara luas digunakan sebagai agen anti-

21
inflamasi dan melindungi hati, dan efek chemopreventive untuk kanker
(penghambatan pembentukan tumor, promosi, perkembangan dan diseminasi
dalam banyak model hewan) adalah subyek dari banyak penelitian. Kunyit juga
digunakan untuk gangguan yang berkaitan dengan proses penuaan. Curcumin
memiliki aktivitas anti-oksidan dan anti-inflamasi, dan telah diusulkan sebagai
pengobatan untuk banyak penyakit degeneratif dengan peradangan atau oksidatif
seperti penyakit kardiovaskular, diabetes tipe 2, arthrosis dan arthritis.
 Farmakokinetik
Sebuah studi in vitro menyatakan bahwa ekstrak yang mengandung kurkumin dari
Curcuma longa dapat menghambat CYP3A4. Temuan ini didukung oleh penelitian
pada tikus yang diberi curcumin (5 g / kg) tidak mengubah aktivitas hati sitokrom
P450 isoenzim. Beberapa penelitian in vitro telah menyatakan bahwa curcumin
menghambat atau mengubah efek P-glikoprotein. Studi lebih lanjut unsur
kurkumin yang diekstraksi dari bubuk kunyit menemukan bahwa kurkumin I
memiliki aksi penghambatan yang lebih besar pada P-glikoprotein daripada
kurkumin II atau kurkurmin III, meskipun kurkumin III telah terbukti memiliki
pengaruh lebih besar pada gen resistensi multi-obat.
Gambaran interaksi :Kunyit atau kurkumin penyusunnya mempengaruhi
penyerapan beberapa beta blocker, meningkatkan penyerapan midazolam,
sedangkan bila berinteraksi dengan zat besi mempengaruhi penyerapan zat besi.
1. Kunyit + Beta blocker
Dalam sebuah studi klinis, kurkumin konstituen utama kunyit, menurunkan
penyerapan talinolol, substrat P-glikoprotein. Curcumin meningkatkan
penyerapan celiprolol, substrat P-glikoprotein lainnya, pada tikus.
Bukti klinis :Dalam sebuah penelitian secara acak, 12 subjek yang sehat diberi
satu dosis talinolol 50 mg setelah mengambil kurkumin, sebuah konstituen utama
kunyit, 300mg setiap hari selama 6 hari. Kurkumin ditemukan untuk mengurangi
AUC dan kadar talinolol plasma maksimum sebesar 33% dan 28%, masing-
masing, tetapi tidak ada perubahan signifikan secara klinis pada denyut jantung
atau tekanan darah.
Bukti eksperimental :Dalam sebuah penelitian, tikus diberi kurkumin 60mg / kg
setiap hari selama 5 hari. Tiga puluh menit setelah dosis terakhir kurkumin,
diberikan satu dosis tunggal 30 mg / kg celiprolol. Curcumin meningkatkan AUC

22
dan konsentrasi plasma maksimum celiprolol masing-masing 30% dan 90%.
Dalam studi dosis tunggal paralel pada tikus kurkumin 60mg / kg, diberikan 30
menit sebelum dosis tunggal 30 mg / kg celiprolol, tidak berpengaruh pada
farmakokinetik celiprolol.
Mekanisme :Diperkirakan kurkumin menghambat P-glikoprotein dan karenanya
meningkatkan penyerapan substrat P-glikoprotein seperti talinolol. Hal ini
tampaknya menjadi kasus dalam penelitian tikus, di mana kurkumin memiliki
efek yang serupa dengan (tetapi lebih lemah dari) inhibitor P-glikoprotein yang
dikenal dan relevan secara klinis lainnya, yaitu meningkatkan penyerapan
celiprolol, substrat P-glikoprotein lainnya. Namun, dalam studi klinis penyerapan
talinolol secara tak terduga menurun oleh kurkumin, meskipun, secara klinis,
inhibitor verapamil P-glikoprotein yang diketahui juga menurunkan penyerapan
talinolol. Ini menunjukkan bahwa mungkin ada mekanisme lain yang terlibat
dalam penyerapan talinolol. Efek diferensial pada P-glikoprotein hepatik dan
intestinal mungkin juga memiliki relevansi.
2. Kunyit + Midazolam
Interaksi antara kurkumin, konstituen utama kunyit, dan midazolam hanya
berdasarkan pada bukti eksperimental.
Bukti eksperimental :Dalam sebuah penelitian, tikus diberi kurkumin, konstituen
utama kunyit, 60mg / kg sehari selama 5 hari. Tiga puluh menit setelah dosis
terakhir kurkumin, diberikan satu dosis midazolam 20 mg / kg. Curcumin
meningkatkan AUC midazolam 3,8 kali lipat dan, meskipun kadar plasma
maksimum sekitar dua kali lipat, ini tidak signifikan secara statistik.
Mekanisme :Midazolam adalah substrat dari sitoprom P450 subfamili CYP3A
(khususnya isoenzim CYP3A4). Para penulis studi menunjukkan bahwa curcumin
menghambat CYP3A usus, sehingga penurunan metabolisme midazolam oleh rute
ini, yang menyebabkan peningkatan bioavailabilitasnya.
3. Kunyit + Senyawa besi
Kunyit tampaknya tidak mempengaruhi bioavailabilitas kadar zat besi.
Bukti klinis :Dalam penelitian acak, studi silang, 30 wanita sehat diberi makanan
standar Thailand (diperkaya dengan sekitar 4mg dari besi sulfat yang diberi label
isotop), dengan beras, yang 500mg bubuk kunyit telah ditambahkan. Kunyit
ditemukan tidak berpengaruh pada penyerapan zat besi.

23
Mekanisme :Diperkirakan bahwa polifenol dalam kunyit dapat menghambat
penyerapan zat besi.
e. Liquorice (Akar Manis)
 Konstituen
Liquorice memiliki sejumlah besar senyawa aktif kelas berbeda yang bertindak
dengan cara yang berbeda. Yang paling konstituen penting biasanya dianggap
sebagai triterpen tipe oleanane, terutama glycyrrhizin (glycyrrhizic atau asam
glycyrrhizinic), dan asam aglikone glycyrrhetinic. Ada juga fenolik dan flavonoid
dari tipe chalcone dan isoflavone, dan banyak coumarin alami seperti liqcoumarin,
umbelliferone, glabrocoumarones A dan B, herniarin dan glycyrin. Ini juga
mengandung polisakarida seperti glycyrhizan GA, dan sedikit minyak atsiri.
 Penggunaan dan Indikasi
Akar kering dan stolon dari akar manis digunakan sebagai ekspektoran,
antispasmodic dan anti-inflamasi, dan untuk mengobati tukak lambung dan
duodenum. Liquorice banyak digunakan disistem pengobatan oriental tradisional,
dan sebagai penyedap bahan dalam makanan. Ini memiliki mineralokortikoid dan
estrogenik aktivitas dalam dosis besar, sebagai hasil dari asam glycyrrhetinic, dan
memiliki banyak efek farmakologis terkenal lainnya.
 Farmakokinetik
Asupan dosis ekstrak akar manis dosis tinggi, atau konstituen glycyrrhizin, pada
probe sitokrom P450 iso-substrat enzim diselidiki dalam tikus. Dengan terapi
berulang, baik ekstrak akar manis dan glycyrrhizin signifi-CYP3A diinduksi dan
mengurangi kerja CYP1A2. Dalam satu studi dosis dalam 2 subyek sehat, kadar
plasma asam glycyrrhetic jauh lebih rendah setelah pemberian ekstrak akar
minuman keras berair 21 g (mengandung 1600 mg glycyrrhizin) daripada setelah
dosis murni 1600-mg yang sama glycyrrhizin. Ini menunjukkan bahwa aktivitas
biologis dosis yang diberikan glycyrrhizin mungkin lebih besar jika diambil
sebagai bentuk murni. Penemuan ini juga menunjukkan bahwa efek dari akar
manis mungkin kurang dibandingkan dengan glycyrrhizin murni dengan dosis
yang sama.
Ringkasan interaksi
Liquorice tampaknya mengurangi efek antihipentesi dan mungkin memiliki efek
aditif pada penipisan kalium jika diberikan dalam jumlah besar dengan obat

24
pencahar dan kortikosteroid. Penyerapan besi dapat dikurangi oleh akar manis,
sedangkan antibakteri dapat mengurangi efek dari akar manis. Sebuah kasus
laporan menggambarkan peningkatan level digoxin dan toksisitas pada pasien
pengguna akar manis. Meskipun sudah disarankan demikian akar manis dapat
meningkatkan efek warfarin.
1. Liquorice + Antihipertensi
Liquorice dapat menyebabkan retensi cairan dan oleh karena itu mengurangi efek
antihipertensi. Aditif hipokalemi mungkin juga terjadi dengan loop dan diuretik
tiazid.
Bukti klinis :Pada 11 pasien dengan hipertensi yang diobati, akar manis 100 g per
sehari selama 4 minggu (setara dengan asam glycyrrhetinic 150 mg setiap hari)
meningkat tekanan darah rata-rata sebesar 15,3 / 9,3 mmHg. Kenaikan kecil (3,5 /
3,6 mmHg) terlihat pada 25 subyek normotensif yang mengambil yang sama dosis
akar manis. Dalam studi lain dalam subyek sehat akar manis 50-200 mg setiap
hari selama 2 hingga 4 minggu (setara dengan asam glycyrrhetinic 75-540 mg
setiap hari) peningkatan tekanan darah sistolik 3,1 menjadi 14,4 mmHg.
Kelompok pengguna akar manis dalam jumlah terbesar mengalami peningkatan
terbesar dalam tekanan darah sistolik, dan memiliki peningkatan yang signifikan
secara statistik dalam darah diastolik tekanan.
Mekanisme :Penggunaan akar manis menghambat 11β-hidroksisteroid
dehidrogenase tipe 2, dengan demikian mencegah inaktivasi kortisol menjadi
kortison dan menghasilkan efek mineralokortikoid termasuk natrium dan air
retensi (menyebabkan hipertensi) dan hipokalemia. Efek ini akan berlawanan
dengan efek obat yang digunakan untuk menurunkan tekanan darah. Selain itu,
efek kalium-depleting dari akar manis akan menjadi aditif dengan loop dan
diuretik tiazid. Efek mineralokortikoid dari akar manis terjadi karena mengandung
asam glycyrrhetinic (metabolit asam glycyrrhizic).
2. Liquorice + Corticosteroids
Liquorice, jika diberikan dalam jumlah besar dengan kortikosteroid, dapat
menyebabkan hipokalemi aditif.
Bukti klinis
(a) Dexamethasone
Dalam studi kelompok paralel, 6 pasien diberikan glycyrrhizin 225 mg setiap hari
selama 7 hari, dan 6 pasien diberi dosis yang sama glycyrrhizin dan

25
dexamethasone 1,5 mg setiap hari selama 7 hari. Efek mineralokortikoid dari
glycyrrhizin berkurang secara signifikan oleh deksametason; konsentrasi plasma
kortisol dan kemih ekskresi berkurang hingga 70%.
(b) Hidrokortison
Glycyrrhizin sedikit meningkatkan AUC dari kortisol sebesar 13,6% dalam 4
pasien dengan insufisiensi adrenocorticol mengambil hidrokortison oral 20-40 mg
setiap hari. Perhatikan bahwa glycyrrhizin tidak berpengaruh kadar kortisol
endogen dalam 7 subjek kontrol tanpa adrenal ketidakcukupan. Dalam sebuah
penelitian di 23 subyek sehat, penggunaan asam glycyrrhetinic secara topikal
berpotensi berinteraski dengan hidrokortison topikal dan menimbulkan efek
vasokonstriktor kulit.
(c) Prednisolon
Sebuah penelitian pada 6 subjek yang sehat menemukan bahwa, setelah
mengonsumsi glycyrrhizin empat kali dengan dosis 50 mg oral dengan interval 8
jam sekali, diikuti oleh bolus injeksi prednisolon hemisuccinat 96 mikrogram / kg,
AUC total prednisolon meningkat sebesar 50% dan AUC bebas prednisolon
meningkat sebesar 55%. Ini menegaskan temuan sebelumnya dimana glycyrrhizin
200 mg diberikan secara intravena infusi. Glycyrrhizin sedikit meningkatkan AUC
dari prednisolon oleh sekitar 16 hingga 20% pada 12 pasien yang telah
menggunkan oral prednisolon 10-30 mg setiap hari selama minimal 3 bulan.
Bukti eksperimental :Beberapa studi eksperimental telah menemukan bahwa
glycyrrhizin dan asam glycyrrhetinic (dari akar manis) menghambat konversi
kortisol ke kortison steroid yang tidak aktif oleh 11β-hydroxysteroid
dehydrogenase, sehingga memiliki efek mineralokortikoid. Secara In vitro, asam
glycyrrhetinic (aglycone of glycyrrhizin), menghambat dehidrogenase 20-
hydroxysteroid, yang mengurangi konversi prednisolon ke metabolitnya 20-
dihydroprednisolone.
Mekanisme :Penghambatan 11β-hidroksysteroid dehidrogenase oleh asam
Glycyrrhetinic mungkin sedikit menunda ekskresi hidrokortison dan prednisolon
dan dengan demikian meningkatkan efeknya. Namun, perhatikan itu apakah
mineralokortikoid atau glukokortikoid adalah substrat untuk ini sistem enzim
tergantung pada struktur kimianya. Karena itu, itu tidak dapat diasumsikan bahwa
akar manis akan menghambat inaktivasi semua kortikosteroid.

26
Dexamethasone tampaknya melemahkan efek mineralokortikoid glycyrrhizin
karena menekan sekresi kortisol endogen (menyebabkan supresi adrenal).
Kortikosteroid lainnya juga berinteraksi jika diberikan dalam dosis adrenal-
suppressant.
f. Sambiloto
Andrographis paniculata Nees (Acanthaceae)
 Konstituen
Seluruh tanaman mengandung glikosida lakton diterpene, secara kolektif disebut
andrografolides, yang didasarkan pada aglikon andrografolida dan turunannya
seperti neoandrographolide, deoxyandrographolide, andrographiside,
andropaniside dan lain-lain.
 Penggunaan dan indikasi
Digunakan dalam pengobatan Ayurvedic khususnya untuk penyakit kuning
sebagai tonik umum hati dan sistem pencernaan, dan sebagai stimulan sistem
kekebalan tubuh untuk pengobatan dan pencegahan infeksi. Ini juga digunakan
sebagai anti-inflamasi dan antimalaria, dan untuk gangguan kardiovaskular dan
diabetes. Ketika digunakan untuk flu biasa, umumnya dikombinasikan dengan
Eleutherococcus senticosus (Siberia ginseng), atau echinacea.
 Farmakokinetik
Bukti dari penelitian pada hewan menunjukkan bahwa ekstrak kasar andrographis
dapat menginduksi sitokrom P450 isoenzim CYP1A dan CYP2B, dan mungkin
cukup menghambat P-glikoprotein. Namun, tidak ada kepastian bahwa bukti ini
dapat diekstrapolasi untuk penggunaan klinis, dan studi lebih lanjut diperlukan
untuk menilai aplikasi klinisnya.
 Gambaran interaksi
Andrographis mungkin memiliki efek antidiabetes dan antihipertensi, dan bukti
yang terbatas menunjukkan bahwa ia dapat berinteraksi dengan obat-obatan
konvensional dengan sifat-sifat ini. Andrographis mungkin juga memiliki efek
antiplatelet, dan sehingga dapat berinteraksi dengan obat antiplatelet konvensional
dan antikoagulan, meskipun bukti jarang ditemukan.
1. Andrographis + Antikoagulan

27
Interaksi antara andrographis dan warfarin hanya berdasarkan pada bukti
eksperimental.
Bukti eksperimental : Kan Jang kombinasi tetap standar ekstrak dari
Andrographis paniculata dan Eleutherococcus senticosus (Siberia ginseng),
menyebabkan peningkatan moderat dalam paparan warfarin, tetapi tidak
mengubah efek warfarin pada waktu prothrombin, dalam sebuah penelitian pada
tikus. Satu kelompok hewan diberi larutan Kan Jang secara oral selama 5 hari,
dengan dosis 17mg / kg setiap hari dari prinsip aktif andrografolida (dosis sekitar
17 kali lipat lebih tinggi daripada yang disarankan untuk manusia). Kelompok
kontrol hanya menerima volume air yang sama. Enam puluh menit setelah dosis
harian terakhir dari Kan Jang atau air, larutan warfarin berair diberikan secara
oral, dengan dosis 2mg/kg. AUC of warfarin meningkat sebesar 67%, dan
pembukaannya menurun sebesar 45%, tetapi parameter farmakokinetik lainnya
adalah serupa.
Mekanisme: Bukti yang tersedia menunjukkan bahwa andrographis mungkin
memiliki efek antiplatelet, yang diharapkan akan memperpanjang waktu
perdarahan. Ini dapat meningkatkan risiko atau keparahan perdarahan jika over-
antikoagulasi dengan warfarin terjadi. Tidak jelas mengapa dosis tinggi
andrographis meningkatkan paparan warfarin.
2. Andrographis + Antidiabetik
Interaksi antara andrographis dan antidiabetik didasarkan pada bukti
eksperimental saja.
Bukti eksperimental :Andrographolide dan andrographis decoction menurunkan
level bloodglucose pada model hewan diabetes. Dalam satu penelitian, efeknya
mirip dengan Karela (Momordica charantia), yang memiliki efek antidiabetik.
Mekanisme :Efek farmakologis yang berpotensi aditif.
3. Andrographis + Antihipertensi
Bukti terbatas menunjukkan bahwa andrographis mungkin memiliki sifat
hipotensi yang mungkin aditif jika diberikan dengan antihipertensi konvensional.
Bukti klinis: Bukti anekdotal menunjukkan bahwa beberapa pasien telah
mengalami efek hipotensi saat menggunakan andrographis.
Bukti eksperimental: In vitro dan penelitian pada hewan menemukan bahwa
ekstrak andrographis, dan berbagai konstituen diterpenoid individu memiliki efek
hipotensif.

28
Mekanisme:Tidak diketahui. Andrographis mungkin memiliki efek antihipertensi,
dan sedikit pengurangan aditif dalam tekanan darah adalah mungkin jika
diberikan dengan antihipertensi konvensional.
4. Andrographis + Obat antiplatelet
Interaksi antara andrographis dan obat antiplatelet hanya berdasarkan pada bukti
eksperimental.
Bukti eksperimental :Dalam sebuah studi in vitro, ekstrak andrographis berair
mengandung diterpenoid (semua andrografolides), menghambat agregasi
trombosit yang diinduksi thrombin. Dalam penelitian lain, persiapan flavon
diekstrak dari akar andrographis, diberikan secara intravena, menghambat
agregasi trombosit dan pembentukan trombus dalam model eksperimental
produksi trombus pada anjing.
Mekanisme :Efek farmakologis yang berpotensi aditif.

29
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Suatu interaksi obat terjadi ketika efek suatu obat diubah oleh kehadiran obat
lain, obat herbal, makanan, minuman, atau agen kimia lainnya dalam
lingkungannya. Suatu herbal dapat memberikan efek yang menyerupai,
memperkuat atau melawan efek yang ditimbulkan obat. Interaksi obat dengan
herbal dapat menyebabkan perubahan ketersediaan hayati bioavailabilitas dan
efektifitas obat. Beberapa interaksi dapat bersifat fatal merupakan kekhawatiran
keamanan utama terhadap potensi interaksi produk herbal dengan obat yang
diresepkan. Masalah ini sangat penting karena indeks terapeutik yang sempit. Hal
ini menyebabkan efek samping yang kadang-kadang mengancam jiwa.
Identifikasi obat dengan herbal memiliki peran penting dalam pengembangan
obat.

4.2 Saran

Mengingat terbatasnya informasi yang tersedia, sulit untuk menempatkan masalah


dalam perspektif dan tanpa bukti yang baik. Interaksi herbal-obat banyak
dilaporkan dalam studi yang tidak terkontrol atau data hanya berdasarkan pada
penelitian pada hewan. Hal ini harus dievaluasi dengan sangat hati-hati sebelum
memberi saran kepada pasien mengenai keamanan penggunaan obat herbal
dengan obat konvensional secara bersamaan.

30
Daftar Pustaka

BNF, 2009, British National Formulary 58th Edition, BMJ Publishing Group,
London.
Bambang Ismawan., 2013 100 Plus Herbal Indonesia Bukti Ilmiah  Racikan,PT.
Trobus Swadaya, Depok.
Depkes RI. (2000) Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jendral Pengawasan obat
dan Makanan, Direktorat Pengawasan Obat Tradisional, Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. (2008).Farmakope Herbal Indonesia,Edisi I. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI.
Direktorat jendral POM, 2005, Standarisasi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia,
Salah Satu Tahapan Penting Dalam Pengembangan Obat Asli Indonesia, InfoPOM
Gohil, and Patel, 2007, Herb-Drug Interactions, Indian Journal of Pharmacology
Gunawan, D. d, M., S. (2010). Ilmu Obat Alam (Farmakognosi). Penebar
Swadaya, Jakarta
Lully Hanni Endarini., 2016 Farmakognosi Dan Fitokimia, Jakarta.
Kementrian Kesehatan, 2007, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
tentang Kebijakan Obat Tradisional Nasional, Jakarta.
Stockley., Baxter, K., 2010. Stockley’s Drug Interactions: 9th Edition.
Pharmaceutical Pr, London.
Williamson, E., Driver, S., Baxter, K., 2009, Stockley’s Herbal Medicines
Interactions. Pharmaceutical Press, USA.

31
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang

Interaksi obat terjadi jika efek suatu obat berubah akibat adanya obat lain, makanan,
atau minuman. Interaksi obat dapat menghasilkan efek yang memang dikehendaki atau efek
yang tidak dikehendaki yang lazimnya menyebabkan efek samping obat atau toksisitas
karena meningkatnya kadar obat di dalam plasma, atau sebaliknya menurunnya kadar obat
dalam plasma yang menyebabkan hasil terapi menjadi tidak optimal. Sejumlah besar obat
baru yang dilepas di pasaran setiap tahunnya menyebabkan munculnya interaksi baru antar
obat akan semakin sering terjadi.
Interaksi obat dianggap penting karena dapat menguntungkan dan merugikan. Salah
satu dari interaksi obat adalah interaksi obat itu sendiri dengan makanan. Interaksi antara obat
dan makanan dapat terjadi ketika makanan yang kita makan mempengaruhi obat yang sedang
kita gunakan, sehingga mempengaruhi efek obat tersebut. Interaksi anatara obat dan makanan
dapat terjadi baik untuk obat dan makanan dapat terjadi baik untuk resep dokter maupun obat
yang dibeli bebas, seperti obat antasida, vitamin, dll.
Kadang-kadang apabila kita minum obat bersamaan dengan makanan, maka dapat
mempengaruhi efektivitas obat dibandingkan apabila diminum dalam keadaan perut kosong,
selain itu konsumsi secara bersamaan antara vitamin atau sumplemen herbal dengan obat juga
dapat menyebabkan terjadinya efek samping. Contoh reaksi yang dapat timbul apabila terjadi
interaksi antara obat dan makanan, diantaranya : Makanan dapat mempercepat atau
memperlambat efek dari obat, beberapa obat tertentu dapat menyebabkan vitamin dan
mineral tidak bekerja secara tepat ditubuh, menyebabkan hilangnya atau bertambahnya nafsu
makan, obat dapat mempengaruhi nutrisi tubuh, Obat herbal dapat berinteraki dengan obat
modern.
Selain itu, besar kecilnya efek interaksi obat dengan makanan antara tiap orang dapat
berbeda, hal ini dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu seperti besarnya dosis obat yang
diminum, usia, kondisi tubuh dan kondisi kesehatan pasien, waktu konsumsi makan dan
waktu konsumsi obat. Untuk menghindari terjadinya interaksi obat dan makanan, bukan
berarti menghindari untuk mengkonsumsi obat atau makanan tersebut. Yang sebaiknya
dilakukan adalah pengaturan waktu antara obat dan makanan untuk dikonsumsi dalam waktu
yang berbeda. Dengan mempunyai informasi yang cukup mengenai obat yang digunakan

1
serta kapan waktu yang tepat untuk mengkonsumsinya, maka kita dapat menghindari
terjadinya interaksi antara obat dengan makanan.

I.2 Permasalahan

A. Bagaimana pengertian interaksi obat sera mekanisme interaksi obat?


B. Bagaimana mekanisme obat yang dapat berinteraksi dengan makanan?
C. Bagaimana faktor yang mempengaruhi interaksi obat dengan makanan?
D. Bagaimana interaksi obat dan makanan yang dapat menurunkan kinerja sistem
pencernaan ?
E. Bagaimana cara menghindari interaksi obat dengan makanan?

I.3 Tujuan

Adapun tujuan dari makalah ini yaitu untuk dapat mengetahui pengertian interaksi
obat beserta mekanismenya, mengetahui bagaimana obat berinteraksi dengan makanan.
mengetahui faktor apa saja yang dapat terjadi dalam interaksi obat dengan makanan,
mengetahui bagaimana interaksi obat dengan makanan yang dapat menurunkan kinerja sistem
pencernaan dan cara menghindar interaksi obat tersebut dengan makanan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2
2.1 Pengertian interaksi obat
Interaksi obat adalah perubahan efek suatu obat akibat pemakaian obat lain (interaksi
obat-obat) atau oleh makanan, obat tradisional dan senyawa kimia lain. Interaksi obat yang
signifikan dapat terjadi jika dua atau lebih obat digunakan bersama-sama.
Interaksi obat dan efek samping obat perlu mendapat perhatian. Sebuah studi di
Amerika menunjukkan bahwa setiap tahun hampir 100.000 orang harus masuk rumah sakit
atau harus tinggal di rumah sakit lebih lama dari pada seharusnya, bahkan hingga terjadi
kasus kematian karena interaksi atau efek samping obat. Pasien yang dirawat di rumah sakit
sering mendapat terapi dengan polifarmasi (6-10 macam obat) karena sebagai subjek untuk
lebih dari satu dokter, sehingga sangat mungkin terjadi interaksi obat terutama yang
dipengaruhi tingkat keparahan penyakit atau usia.
Interaksi obat secara klinis penting bila berakibat peningkatan toksisitas atau
pengurangan efektivitas obat. Jadi perlu diperhatikan terutama bila menyangkut obat dengan
batas keamanan yang sempit (indeks terapi yang rendah), misalnya glikosida jantung,
antikoagulan dan obat-obat sitostatik. Selain itu juga perlu diperhatikan obat-obat yang biasa
digunakan bersama-sama.
Kejadian interaksi obat dalam klinis sukar diperkirakan karena :
a. Dokumentasinya masih sangat kurang
b. Seringkali lolos dari pengamatan, karena kurangnya pengetahuan akan mekanisme
dan kemungkinan terjadi interaksi obat. Hal ini mengakibatkan interaksi obat berupa
peningkatan toksisitas dianggap sebagai reaksi idiosinkrasi terhadap salah satu obat,
sedangkan interaksi berupa penurunakn efektivitas dianggap diakibatkan bertambah
parahnya penyakit pasien
c. Kejadian atau keparahan interaksi obat dipengaruhi oleh variasi individual, di mana
populasi tertentu lebih peka misalnya pasien geriatric atau berpenyakit parah, dan bisa
juga karena perbedaan kapasitas metabolisme antar individu. Selain itu faktor
penyakit tertentu terutama gagal ginjal atau penyakit hati yang parah dan faktor-faktor
lain (dosis besar, obat ditelan bersama-sama, pemberian kronik).

2.2 Mekanisme Interaksi Obat

3
Interaksi obat menurut jenis mekanisme kerja dibagi menjadi 2 yaitu interaksi
farmakodinamika dan interaksi farmakokinetika.

a. Interaksi farmakodinamika
Interaksi farmakodinamik biasanya dihubungkan dengan kemampuan suatu
obat untuk mengubah efek obat lain tanpa mengubah sifat-sifat farmakokinetiknya.
Interaksi farmakodinamik meliputi aditif (efek obat A =1, efek obat B = 1, efek
kombinasi keduanya = 2), potensiasi (efek A = 0, efek B = 1, efek kombinasi A+B =
2), sinergisme (efek A = 1, efek B = 1, efek kombinasi A+B = 3) dan antagonisme
(efek A = 1, efek B = 1, efek kombinasi A+B = 0).
Meliputi sinergisme kerja obat, antagonisme kerja obat, efek reseptor tidak
langsung, gangguan cairan dan elektrolit.
Pasien yang rentan terhadap interaksi obat :
a. Individu usia lanjut
b. Minum lebih dari 1 macam obat
c. Mempunyai gangguan fungsi ginjal dan hati
d. Mempunyai penyakit akut
e. Mempunyai penyakit yang tidak stabil
f. Memiliki karakteristik genetik tertentu
g. Ditangani lebih dari 1 dokter.

b. Interaksi farmakokinetika

Interaksi farmakokinetika dapat terjadi selama fasa farmakokinetika obat secara


menyeluruh juga pada absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi. Interaksi
farmakokinetik ditandai dengan perubahan kadar plasma obat, area di bawah kurva
(AUC), onset aksi, waktu paro dsb.
Dapat terjadi pada berbagai tahap meliputi absorbsi, distribusi, metabolisme, atau
ekskresi.
a. Absorbsi saluran pencernaan meliputi kecepatan dan jumlah.
Dipengaruhi oleh formulasi farmasetik termasuk bentuk sediaan, pKa dan
kelarutan obat dalam lemak disamping pH, flora bakteri, dan aliran darah dalam
organ pencernaan (meliputi usus besar, usus halus, usus 12 jari dan lambung).
Setelah obat bebas masuk ke peredaran darah, kemungkinan mengalami proses –
proses sebagai berikut :
1. Obat disimpan dalam depo jaringan.
2. Obat terikat oleh protein plasma terutama albumin.
3. Obat aktif yang dalam bentuk bebas berinteraksi dengan reseptor sel khas
dan menimbulkan respon biologis.

4
4. Obat mengalami metabolisme dengan beberapa jalur kemungkinan yaitu :
a. Obat yang mula-mula tidak aktif, setelah mengalami metabolisme akan
menghasilkan senyawa aktif, kemudian berinteraksi dengan reseptor dan
menimbulkan respon biologis ( bioaktivasi).
b. Obat aktif akan dimetabolisis menjadi metabolit yang lebih polar dan
tidak aktif, kemudian diekskresikan (bioinaktivasi).
c. Obat aktif akan dimetabolisis menghasilkan metabolit yang bersifat
toksik (biotoksifikasi).
5. Obat dalam bentuk bebas langsung diekskresikan.
d. Ikatan obat protein (pendesakan obat) meliputi obat bebas atau aktif dan obat
terikat atau tidak aktif.
e. Metabolisme hepatik meliputi induksi enzim (penurunan konsentrasi obat) dan
inhibisi enzim (peningkatan konsentrasi obat).
f. Klirens ginjal meliputi peningkatan ekskresi (penurunan konsentrasi obat) dan
penurunan ekskresi (peningkatan konsentrasi obat).
Reseptor obat adalah suatu makromolekul jaringan sel hidup mengandung gugus
fungsional atau atom atom terorganisasi, reaktif secara kimia dan bersifat khas, yang
dapat berinteraksi secara terpulihkan dengan molekul obat yang mengandung gugus
fungsional khas, menghasilkan respon biologis tertentu.

2.3 Interaksi Obat Dengan Makanan


Ketika suatu makanan atau minuman mengubah efek suatu obat, perubahan tersebut
dianggap sebagai interaksi obat-makanan. Interaksi seperti itu bisa terjadi. Tetapi tidak semua
obat dipengaruhi oleh makanan, dan beberapa obat hanya dipengaruhi oleh makanan-
makanan tertentu. Interaksi obat-makanan dapat terjadi dengan obat-obat yang diresepkan,
obat yang dibeli bebas, produk herbal, dan suplemen. Meskipun beberapa interaksi mungkin
berbahaya atau bahkan fatal pada kasus yang langka, interaksi yang lain bisa bermanfaat dan
umumnya tidak akan menyebabkan perubahan yang berarti terhadap kesehatan tubuh.
Makanan dan obat dapat berinteraksi dalam banyak cara yang berbeda. Sering, zat
tertentu di dalam makanan memberikan efek. Perubahan-perubahan lain dapat disebabkan
oleh jumlah protein dalam diet anda, atau bahkan cara makanan tersebut disiapkan. Salah satu
cara yang paling umum makanan mempengaruhi efek obat adalah dengan mengubah cara
obat-obat tersebut diuraikan ( dimetabolisme ) oleh tubuh. Jenis protein yang disebut enzim,
memetabolisme banyak obat. Beberapa makanan dapat membuat enzim-enzim ini bekerja

5
lebih cepat atau lebih lambat, baik dengan memperpendek atau memperpanjang waktu yang
dilalui obat di dalam tubuh. Jika makanan mempercepat enzim, obat akan lebih singkat
berada di dalam tubuh dan dapat menjadi kurang efekteif. Jika makanan memperlambat
enzim, obat akan berada lebih lama dalam tubuh dan dapat menyebabkan efek samping yang
tidak dikehendaki.
Kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan dapat terjadinya interaksi obat
dengan makanan adalah :
1. Perubahan motilitas lambung dan usus, terutama kecepatan pengosongan lambung dari
saat masuknya makanan

2. Perubahan pH, sekresi asam serta produksi empedu

3. Perubahan suplai darah di daerah splanchnicus dan di mukosa saluran cerna

4. Dipengaruhinya absorpsi obat oleh proses adsorpsi dan pembentukan kompleks

5. Dipengaruhinya proses transport aktif obat oleh makanan

6. Perubahan biotransformasi dan eliminasi. (Widianto, 1989)

2.4 Faktor yang Mempengaruhi Interaksi Obat dengan Makanan.


Ada beberapa factor yang mempengaruhi interaksi obat dan makanan antara lain:
a. Pengosongan lambung
Pada kasus tertentu misalnya setelah pemberian laksansia atau penggunaan
preparat retard, maka di usus besarpun dapat terjadi absorpsi obat yang cukup besar.
Karena besarnya peranan usus halus dalam hal ini, tentu saja cepatnya makanan
masuk ke dalam usus akan amat mempengaruhi kecepatan dan jumlah obat yang
diabsorpsi. Peranan jenis makanan juga berpengaruh besar di sini. Jika makanan yang
dimakan mengandung komposisi 40% karbohidrat, 40% lemak dan 20% protein maka
walaupun pengosongan lambung akan mulai terjadi setelah sekitar 10 menit. Proses
pengosongan ini baru berakhir setelah 3 sampai 4 jam. Dengan ini selama 1 sampai
1,5 jam volume lambung tetap konstan karena adanya proses-proses sekresi.
Tidak saja komposisi makanan, suhu makanan yang dimakanpun berpengaruh
pada kecepatan pengosongan lambung ini. Sebagai contoh makanan yang amat hangat
atau amat dingin akan memperlambat pengosongan lambung. Ada pula peneliti yang
menyatakan pasien yang gemuk akan mempunyai laju pengosongan lambung yang

6
lebih lambat daripada pasien normal. Nyeri yang hebat misalnya migren atau rasa
takut, juga obat-obat seperti antikolinergika (missal atropin, propantelin),
antidepresiva trisiklik (misal amitriptilin, imipramin) dan opioida (misal petidin,
morfin) akan memperlambat pengosongan lambung. Sedangkan percepatan
pengosongan lambung diamati setelah minum cairan dalam jumlah besar, jika tidur
pada sisi kanan (berbaning pada sisi kiri akan mempunyai efek sebaliknya,) atau pada
penggunaan obat seperti metokiopramida atau khinidin. Jelaslah di sini bahwa
makanan mempengaruhi kecepatan pengosongan lambung, maka adanya gangguan
pada absorpsi obat karenanya tidak dapat diabaikan.
b. Komponen makanan
Efek perubahan dalam komponen-komponen makanan :
1. Protein (daging, dan produk susu)
Sebagai contoh, dalam penggunaan Levadopa untuk mngendalikan tremor pada
penderita Parkinson. Akibatnya, kondisi yang diobati mungkin tidak terkendali
dengan baik. Hindari atau makanlah sesedikit mungkin makanan berprotein tinggi
(Harknoss, 1989).
2. Lemak
Keseluruhan dari pengaruh makan lemak pada metabolisme obat adalah bahwa
apa saja yang dapat mempengaruhi jumlah atau komposisi asam lemak dari
fosfatidilkolin mikrosom hati dapat mempengaruhi kapasitas hati untuk
memetabolisasi obat. Kenaikan fosfatidilkolin atau kandungan asam lemak tidak
jenuh dari fosfatidilkolin cenderung meningkatkan metabolism obat (Gibson,
1991). Contohnya : Efek Griseofulvin dapat meningkat.interaksi yang terjadi
adalah interaksi yang menguntungkan dan grieseofluvin sebaiknya dimakan pada
saat makan makanan berlemak seperti daging sapi, mentega, kue, selada ayam,
dan kentang goreng (Harkness, 1989).
3. Karbohidrat
Karbohidrat tampaknya mempunyai efek sedikit pada metabolism obat, walaupun
banyak makan glukosa, terutama sekali dapat menghambat metabolism
barbiturate, dan dengan demikian memperpanjang waktu tidur. Kelebihan glukosa
ternyata juga mengakibatkan berkurangnya kandungan sitokrom P-450 hati dan
memperendah aktivitas bifenil-4-hidroksilase (Gibson, 1991). Sumber
karbohidrat: roti, biscuit, kurma, jelli, dan lain-lain (Harkness, 1989).
4. Vitamin

7
Vitamin merupakan bagian penting dari makanan dan dibutuhkan untuk sintesis
protein dan lemak, keduanya merupakan komponen vital dari system enzim yang
memetabolisasi obat. Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa perubahan
dalam level vitamin, terutama defisiensi, menyebabkan perubahan dalam
kapasitas memetabolisasi obat. Contohnya :
a. Vit A dan vit B dengan antacid, menyebabkan penyerapan vitamin berkurang.
b. Vit C dengan besi, akibatnya penyerapan besi meningkat.
c. Vit D dengan fenitoin (dilantin), akibatnya efek vit D berkurang.
d. Vit E dengan besi, akibatnya aktivitas vit E menurun.(Harkness, 1989)
5. Mineral
Mineral merupakan unsur logam dan bukan logam dalam makanan untuk
menjaga kesehatan yang baik. Unsur – unsure yang telah terbukti mempengaruhi
metabolisme obat ialah: besi, kalium, kalsium, magnesium, zink, tembaga,
selenium, dan iodium. Makanan yang tidak mengandung magnesium juga secara
nyata mengurangi kandungan lisofosfatidilkolin, suatu efek yang juga
berhubungan dengan berkurangnya kapasitas memetabolisme hati. Besi yang
berlebih dalam makanan dapat juga menghambat metabolisme obat. Kelebihan
tembaga mempunyai efek yang sama seperti defisiensi tembaga, yakni
berkurangnya kemampuan untuk memetabolisme obat dalam beberapa hal. Jadi
ada level optimum dalam tembaga yang ada pada makanan untuk memelihara
metabolism obat dalam tubuh (Gibson, 1991).
c. Ketersediaan hayati
Penggunaan obat bersama makanan tidak hanya dapat menyebabkan perlambatan
absorpsi tetapi dapat pula mempengaruhi jumlah yang diabsorpsi (ketersediaan hayati
obat bersangkutan). Penisilamin yang digunakan sebagai basis terapeutika dalam
menangani reumatik, jika digunakan segera setelah makan, ketersediaan hayatinya
jauh lebih kecil dibandingkan jika tablet tersebut digunakan dalam keadaan lambung
kosong. Ini akibat adanya pengaruh laju pengosongan lambung terhadap absorpsi obat
(Gibson, 1991).

2.5 Interaksi Obat dan Makanan yang Dapat Menurunkan Kinerja Sistem Pencernaan.
Interaksi obat dan makanan yang dapat menurunkan kinerja sistem pencernaan dapat
meliputi interaksi obat yang menurunkan nafsu makan, mengganggu pengecapan dan
mengganggu traktus gastrointestinal/ saluran pencernaan.

8
A. Obat dan penurunan nafsu makan
Efek samping obat atau pengaruh obat secara langsung, dapat mempengaruhi nafsu
makan. Kebanyakan stimulan CNS dapat mengakibatkan anorexia. Efek samping obat
yang berdampak pada gangguan CNS dapat mempengaruhi kemampuan dan
keinginan untuk makan. Obat-obatan penekan nafsu makan dapat menyebabkan
terjadinya penurunan berat badan yang tidak diinginkan dan ketidakseimbangan
nutrisi.
B. Obat dan perubahan pengecapan atau penciuman
Banyak obat yang dapat menyebabkan perubahan terhadap kemampuan merasakan/
dysgeusia, menurunkan ketajaman rasa atau hypodysgeusia atau membaui. Gejala-
gejala tersebut dapat mempengaruhi intake makanan. Obat-obatan yang umum
digunakan dan diketahui menyabapkan hypodysgeusia seperti: obat antihipertensi
(captopril), antriretroviral ampenavir, antineoplastik cisplastin, dan antikonvulsan
phenytoin.
C. Obat dan gangguan gastrointestinal
Obat dapat menyebabkan perubahan pada fungsi usus besar dan hal ini dapat
berdampak pada terjadinya konstipasi atau diare. Obat-obatan narkosis seperti kodein
dan morfin dapat menurunkan produktivitas tonus otot halus dari dinding usus. Hal ini
berdampak pada penurunan peristaltik yang menyebabkan terjadinya konstipasi.
D. Absorbsi
Obat-obatan yang dikenal luas dapat mempengaruhi absorbsi zat gizi adalah obat-
obatan yang memiliki efek merusak terhadap mukosa usus. Antineoplastik,
antiretroviral, NSAID dan sejumlah antibiotik diketahui memiliki efek tersebut.
Mekanisme penghambatan absorbsi tersebut meliputi: pengikatan antara obat dan zat
gizi (drug-nutrient binding) contohnya Fe, Mg, Zn, dapat berikatan dengan beberapa
jenis antibiotik; mengubah keasaman lambung seperti pada antacid dan antiulcer
sehingga dapat mengganggu penyerapan B12, folat dan besi; serta dengan cara
penghambatan langsung pada metabolisme atau perpindahan saat masuk ke dinding
usus.
E. Metabolisme
Obat-obatan dan zat gizi mendapatkan enzim yang sama ketika sampai di usus dan
hati. Akibatnya beberapa obat dapat menghambat aktifitas enzim yang dibutuhkan
untuk memetabolisme zat gizi. Sebagai contohnya penggunaan metotrexate pada

9
pengobatan kanker menggunakan enzim yang sama yang dipakai untuk mengaktifkan
folat. Sehingga efek samping dari penggunaan obat ini adalah defisiensi asam folat.
F. Ekskresi
Obat-obatan dapat mempengaruhi dan mengganggu eksresi zat gizi dengan
mengganggu reabsorbsi pada ginjal dan menyebabkan diare atau muntah.

2.6 Cara Menghindari Interaksi Obat dengan Makanan


Meskipun tidak semua obat dipengaruhi oleh makanan atau dapat berinteraksi
dengan makanan. Akan tetapi, lebih baik untuk memperhatikan aturan minum dari
setiap obat yang di konsumsi. Oleh karena itu, untuk menghindari terjadinya interaksi
antara obat dengan makanan, sebaiknya lakukan beberapa hal berikut :
a. Bacalah label obat dengan teliti, apabila kurang memahami dapat ditanyakan
dengan dokter yang meresepkan atau apoteker;
b. Baca aturan pakai, label perhatian dan peringatan interaksi obat yang
tercantum dalam label atau wadah obat. Bahkan obat yang dijual bebas juga
perlu aturan pakai yang disarankan;
c. Sebaiknya minum obat dengan segelas air putih;
d. Jangan campur obat dengan makanan atau membuka kapsul kecuali atas
petunjuk dokter;
e. Vitamin atau suplemen kesehatan sebaiknya jangan diminum berbarengan
dengan obat karena terdapat beberapa jenis vitamin dan mineral tertentu yang
dapat berinteraksi dengan obat;
f. Jangan minum obat bersamaan dengan minuman yang mengandung alkohol.

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Tabel Interaksi Obat dengan Makanan

No Obat / Obat / Mekanisme Akibat Efek yang Penanganan


makanan makanan Interaksi ditimbulkan Interaksi
sebagai sebagai

10
obyek praesipitant
1 Inhibitor Makanan yang MAO dapat Tekanan darah Harus
MAO mengandung menghambat melepaskan meningkat menghindari
(Tranilsiprom tiramin (keju, penguraian NE dari secara ekstrim konsumsi
in) daging asap, bir, tiramin. neuron makanan yang
alpukat, adrenergik → mengandung
yoghurt) vasokonstriksi tiramin jika
sedang
mengkonsumsi
MAO
2 Levodopa Makanan kaya Obat Absorpsi Efek levodopa Hindari konsumsi
protein (daging, berkompetisi levodopa menurun levodopa dengan
produk susu, dll) dgn asam menurun makanan kaya
amino dari protein
makanan tsb
dalam
mekanisme
transport
absorpsi
3 Digoxin Serat oatmeal & Serat tinggi, Menurunkan Meningkatkan Diminum 1 jam
sereal berserat kadar pektin absorpsi terbuangnya sesudah / sebelum
tinggi & susu tinggi pd digoxin vitamin K makan
makanan
meningkat
digoksin
4 Tetrasiklin Susu / makanan Terbentuknya Membentuk Absorpsi Diminum 1 jam
yang ikatan dengan khelat yang tetrasiklin sebelum makan /
mengandung ion ion kalsium / tidak larut berkurang → 2 jam setelah
kalsium & garam besi efek tetrasiklin makan
garam besi menurun /
hilang
5 Paracetamol Makanan Pektin dapat Absorpsi Menurunkan Jangan
dengan kadar bertindak paracetamol → efektifitas dikonsumsi
pektin tinggi sebagai menurunkan paracetamol bersamaan /
adsorbent dari efektifitas diminum saat

11
paracetamol paracetamol perut kosong
6 Obat Makanan yang Antikoagulan Jika asupan vit Penurunan Tingkatkan dosis
antikoagulan kaya vit K oral K tinggi → antikoagulan antikoagulan atau
(dikumarol) (brokoli, kubis, berkompetisi sintesis faktor dari kumarol kurangi asupan
kacang hijau, dengan suplai pembekuan vit K
selada) normal vit K darah
untuk
mengurangi
sintesis faktor
pembekuan
darah oleh
hati.
7 INH Makanan seperti Makanan INH Resiko Jangan
keju & berbagai tersebut kaya menghambat toksisitas dikonsumsi
jenis ikan (tuna, akan histidin, penguraian histamin (sakit bersamaan /
makarel, salmon pada histamin → kepala hebat, diminum saat
) yang tidak penyimpanan kadar histamin gatal & perut kosong
segar diubah menadi meningkat kemerahan
histamin oleh pada kulit,
bakteri. nyeri
abdomen,
sesak nafas,
diare, muntah)
8 Kontrasepsi Makanan Ocs Menurunkan Terjadi Meningkatkan
oral (Ocs) mengandung meningkatkan absorpsi asam defisiensi asam supan makanan
garam, makanan retensi cairan folat, vit B6 & folat, vit B6 tersebut → tidak
mengandung nutrien lain terjadi defisiensi
asam folat, vit
B6, nutrien lain
9 Griseofulvin Makanan yang Makanan Bioavaibilitas Efek obat Griseofulvin
mengandung berlemak dapat griseofulvin meningkat diberikan
lemak meningkatkan meningkat bersamaan
absorpsi dengan yang
griseofulvin berlemak
(obat lipofil)

12
10 Simetidin, Makanan kaya Makanan Mempengaruhi Efek obat tsb Diminum 1 jam
famotidin, protein, kafein tersebut absorpsi obat menurun sebelum makan
sukralfat meningkakan
keasaman
lambung

3.2 Pembahasaan Dari Tabel Interaksi Obat dengan Makanan

Pemberiaan obat Inhibitor MAO (Tranilsipromin) secara bersamaan dengan makanan


yang mengandung tiramin (keju, daging asap, bir, alpukat, yoghurt) harus menghindari
konsumsi makanan yang mengandung tiramin jika sedang mengkonsumsi MAO. Obat
tranilsipromin akan membuat tekanan darah meningkat secara ekstrim. Akibatnya dapat
melepaskan NE dari neuron adrenergik → vasokonstriksi. Karena MAO akan menghambat
penguraian tiramin.

Pemberian obat levodopa secara bersamaan dengan makanan kaya protein (daging,
produk susu, dll) digunakan untuk mengendalikan tremor karena penyakit parkisno,
akibatnya absorpsi levodopa akan menurun kondisi mungkin tidak terkendali dan harus
menghindari dari konsumsi levodopa dengan makanan kaya protein jika sedang mengosumsi
obat levodopa, akan menghambat obat berkompetisi dengan asam amino dari makanan
tersebut dalam mekanisme transport absorpsi.

Pada pemberian obat digoxin yang digunakan untuk mengobati layu jantung dan
untuk menormalkan denyut jantung yang tidak beraturan jika dikosumsi dengan makanan
yang bersamaan dengan serat oatmeal & sereal berserat tinggi & susu, akibat nya kondisi
yang diobati mungkin tidak terkendali dengan baik , yang akan menurunkan absorpsi
digoxin yang akan meningkatkan terbuangnya vitamin K jika serat dan kadar pektin tinggi
pada makanan akan meningkat, sehingga perlu diminum 1 jam sesudah / sebelum makan.

Pemberian obat tetrasiklin yang sebagai antibiotika yang digunakan sebagai melawan
infeksi dengan susu atau makanan yang mengandung ion kalsium & garam besi. Akan
terbentuknya ikatan dengan ion kalsium / garam besi akibatnya absorpsi tetrasiklin berkurang
→ efek tetrasiklin menurun / hilang sehingga untuk mencegah interaksi yang membentuk
khelat yang tidak larut gunakan tetrasiklin diminum 1 jam sebelum makan / 2 jam setelah
makan.

13
Obat paracetamol jenis obat yang termasuk kelompok analgesik sebagai pereda rasa
sakit jika obat tersebut dikosumsi secara bersamaan dengan makanan dengan kadar pektin
tinggi. Absorpsi paracetamol → akan menurunkan efektifitas paracetamol karena pektin
dapat bertindak sebagai adsorbent dari paracetamol sehingga akan mengkibatkan penurun
efektifitas paracetamol, obat tersebut jangan dikonsumsi bersamaan / diminum saat perut
kosong, karena suhu makanan yang dimakanpun berpengaruh pada kecepatan pengosongan
lambung.

Obat antikoagulan (dikumarol) adalah golongan obat yang dipakai untuk menghambat
pembekuan darah jika di kosumsi bersamaan dengan makanan yang kaya vit k (brokoli,
kubis, kacang hijau, selada) maka antikoagulan oral berkompetisi dengan suplai normal vit k
akan mengurangi sintesis faktor pembekuan darah oleh hati. asupan vit k tinggi → sintesis
faktor pembekuan darah penurunan antikoagulan dari kumarol maka dikosumsi tingkatkan
dosis antikoagulan atau kurangi asupan vit k.

Obat INH jika dikosumsi dengan makanan seperti keju & berbagai jenis ikan (tuna,
makarel, salmon ) akan menghambat penguraian histamin → kadar histamin meningkat
Resiko toksisitas histamin (sakit kepala hebat, gatal & kemerahan pada kulit, nyeri abdomen,
sesak nafas, diare, muntah) yang tidak segar. Makanan tersebut kaya akan histidin, pada
penyimpanan diubah menadi histamin oleh bakteri. penanganan obat ini jangan dikonsumsi
bersamaan / diminum saat perut kosong.

Kontrasepsi oral (Ocs) jika dikosumsi bersamaan dengan makanan mengandung


garam, makanan mengandung asam folat, vit B6, nutrien lain Ocs maka akan menurunkan
absorpsi asam folat, vit B6 & nutrien lain jika terjadi defisiensi asam folat, akan
meningkatkan retensi cairan vit B6 dan dikosumsi pada saat peningkatkan supan makanan
tersebut → tidak terjadi defisiensi.

Pemberian obat griseofulvin secara bersamaan dengan makanan yang mengandung


lemak makanan berlemak dapat meningkatkan absorpsi griseofulvin (obat lipofil)
bioavaibilitas griseofulvin meningkat efek obat meningkat griseofulvin sehingga dikosumsi
pada saat diberikan bersamaan dengan yang berlemak.

Obat Simetidin, famotidin, yang di kosumsi secara bersamaan dengan sukralfat


Makanan kaya protein, akan mengakibatkan kafein makanan tersebut meningkakan keasaman

14
lambung yang dapat mempengaruhi absorpsi obat Efek obat tersebut menurun penanganan
obat tersebut diminum 1 jam sebelum makan.

BAB IV
KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan
1. Interaksi obat dengan makanan dan minuman dapat mempengaruhi efek terapi
yang di hasilkan terhadap tubuh. Efek tersebut dapat berupa peningkatan atau
penurunan, hal tersebut terjadi karena sifat fisiko kimia antar molekul obat
maupun makanan yang saling berinteraksi.
2. Untuk mengoptimalkan efek terapi pada masa pengobatan, sebaiknya dilakukan
penyesuaian terhadap jenis makanan yang baik untuk dikonsumsi, agar interaksi
yang terjadi bersifat menguntungkan antara obat dan makanan.

15
4.2 Saran
Penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat
membangun agar pembuatan makalah selanjutnya lebih baik. Dan mencari informasi
yang lebih banyak dan akurat untuk mendukung penulisan makalah ini agar
mencapai kesempurnaan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Erza,Febri Laila.2 November 2011.Interaksi Obat dan Makanan.Google.


http://erzafebri.blogspot.com/2011/11/interaksi-obat-makanan.html diakses tanggal 2
Juni 2013.
2. Harkness Richard, diterjemahkan oleh Goeswin Agoes dan Mathilda B.Widianto.
(1989.).Interaksi obat. Bandung: Penerbit ITB.
3. http://afdalgizi1c.blogspot.com/2013/01/interaksi-obat-dan-makanan.html diakses
tanggal 2 Juni 2013.
4. http://interaksiobatdanmakanan/adropofinkcanmakeamillionpeoplethink.html diakses
tanggal 2 Juni 2013.
5. http://kamuskesehatan.com/arti/interaksi-obat/ diakses pada tanggal 2 Juni 2013.
6. http://materikuliahprofesiapoteker.blogspot.com/2011/12/interaksi-obat.html diakses
tanggal 7 April 2013.

16
7. http://medicafarma.blogspot.com/2010/11/interaksi-obat.html diakses tanggal 7 April
2013.
8. http://puskesmastulakanpacitan.wordpress.com/interaksi-obat-makanan/ diakses
tanggal 7 April 2013.
9. http://www.drugs.com/drug_information.html diakses tanggal 2 Juni 2013.
10. Muttschler,Ernest, 1999, Dinamika Obat : Farmakologi dan Toksikologi, Penerbit
ITB: Bandung.
11. Wanamaker ,Boyce P., Kathy, Lockett Massey. (2009). Applied Pharmacology for
Veterinary Technicians, 4th Edition. Canada,USA: Saunders Elsevier.
12. Richard Harkness, interaksi obat, penerbit ITB, bandung
13. Mutschler, E., 1985, Dinamika Obat Farmakologi dan Toksikologi, 88-93, Penerbit
ITB, Bandu

17
Scanned by TapScanner

Anda mungkin juga menyukai