Disusun oleh :
LUJENG PO.
RIKA AGUSTINA PO.62.31.3.22.409
YETRI PO.
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan hidayahNya
kami dapat menyelesaikan tugas kelompok makalah yang berjudul “Efek Makanan
Pada Terapi Obat” dengan tepat waktu. Makalah disusun untuk memenuhi tugas mata
kuliah Imunologi Gizi. Selain ltu makalah ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan bagi kita semua baik bagi pembaca dan bagi penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Dosen mata kuliah Imunologi gizi
untuk bimbingan materinya dan ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua
anggota kelompok 4 dalam mengerjakan tugas kelompok mata kuliah Imunologi Gizi
yang telah saling bantu membantu untuk menyelesaikan tugas kelompok makalah ini.
Kami menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu
saran dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah Interaksi obat merupakan suatu faktor yang dapat mempengaruhi respon
tubuh terhadap pengobatan. Obat dapat berinteraksi dengan makanan atau minuman, zat
kimia atau dengan obat lain. Dikatakan terjadi interaksi apabila makanan, minuman, zat
kimia, dan obat lain tersebut mengubah efek dari suatu obat yang diberikan bersamaan
atau hampir bersamaan (Ganiswara, 2000). Beberapa obat sering diberikan secara
bersamaan pada penulisan resep, maka mungkin terdapat obat yang kerjanya
berlawanan. Obat pertama dapat memperkuat atau memperlemah, memperpanjang atau
memperpendek kerja obat kedua. Interaksi obat harus lebih diperhatikan, karena
interaksi obat pada terapi obat dapat menyebabkan kasus yang parah dan tingkat
kerusakan-kerusakan pada pasien, dengan demikian jumlah dan tingkat keparahan kasus
terjadinya interaksi obat dapat dikurangi (Mutschler, 1991). Kejadian interaksi obat yang
mungkin terjadi diperkirakan berkisar antara 2,2% sampai 30% dalam penelitian pasien
rawat inap di rumah sakit, dan berkisar antara 9,2% sampai 70,3% pada pasien di
masyarakat. Kemungkinan tersebut sampai 11,1% pasien yang benar-benar mengalami
gejala yang diakibatkan oleh interaksi obat (Fradgley, 2003).
Interaksi obat merupakan masalah penting yang mengakibatkan ribuan orang harus di
rumah sakit. Interaksi demikian telah menimbulkan gangguan yang serius sehingga
kadang-kadang menyebabkan kematian. Yang lebih sering terjadi adalah interaksi yang
meningkatkan toksisitas atau turunya efek terapi pengobatan sehingga pasien tidak
merasa sehat kembali atau tidak cepat sembuh sebagaimana seharusnya (Harknoss,
1989). Saat kita mendapatkan obat dari apotik, kita sering diberi tahu bahwa obat
sebaiknya diminum sebelum atau sesudah makan. Kita kadang tidak tahu, untuk apa
ii
sebenarnya hal tersebut harus dilakukan. Mengapa obat tertentu harus diminum sebelum
makan dan obat lainnya harus diminum sesudah makan. Hal itu sebenarnya berkaitan
dengan masalah interaksi obat, sebagai salah satu langkah unttuk menghindari terjadinya
interaksi dari suatu obat yang merugikan ( Lulukria, 2010). Secara singkat dikatakan
interaksi obat terjadi jika suatu obat mengubah efek obat yang lainnya. Kerja obat yang
diubah dapat menjadi lebih atau kurang efektif (Harknoss, 1989). Untuk mendapatkan
efek obat harus berinteraksi dengan reseptor tetapi adakalanya obat berinteraksi dengan
faktor lain yang dapat meningkatkan atau mengurangi efek dari obat tersebut, antara
lain: faktor lingkungan, kondisi fisiologi tubuh, metabolisme tubuh, farmakodinamik,
farmakokinetik, dan makanan.
Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi interaksi obat.
Pengaruh makanan terhadap kerja obat masih sangat kurang. Karena itu, pada banyak
bahan obat masih belum jelas bagaimana pengaruh pemberian makanan pada saat yang
sama pada kinetika obat. Pada sejumlah senyawa makanan menyebabkan peningkatan,
penundaan, dan penurunan absorbsi obat (Mutschler, 1999). Makanan dapat berikatan
dengan obat, sehingga mengakibatkan absorbsi obat berkurang atau lebih lambat. Sebuah
contoh diskusi tentang makanan yang berikatan dengan obat adalah interaksi tetrasiklin
dengan produk-produk dari susu. Akibatnya adalah penurunan konsentrasi tetrasiklin
dalam plasma. Oleh karena adanya efek pengikatan ini, maka tetrasiklin harus dimakan
satu jam sebelum atau 2 jam sesudah makan dan tidak boleh dimakan dengan susu
(Hayes et al., 1996). Jadi interaksi obat merupakan sarana bagi semua pihak. Pasien,
dokter dan farmasis harus bekerjasama, untuk upaya memaksimalisasi pemakiaan obat
demi kepentingan pasien. Di era informasi yang serba cepat dan mudah seperti sekarang
ini, masyarakat mestinya semakin menyadari untuk menjadi mitra aktif dalam menjaga
pemeliharaan kesehatannya sendiri dan keluarga (Harknoss, 1989).
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun masalah yang akan di bahas dalam makalah ini sebagai berikut :
a. Pengertian Interaksi Obat
b. Pengertian Makanan
c. Bagaimana proses Interaksi obat dengan makanan
d. Farmakologi interaksi obat dan makanan
C. TUJUAN MASALAH
ii
a. Untuk mengetahui tentang interaksi obat
b. Untuk mengetahui tentang makanan
c. Untuk mengetahui Interaksi obat dengan makanan
d. Untuk mengetahui Farmakologi obat dan makanan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
ii
3. Interaksi obat dengan Makanan
Pemberian obat-obatan merupakan bagian dari terapi medis terhadap pasien.
Ketika dikonsumsi, obat dapat mempengaruhi status gizi seseorang dengan
mempengaruhi makanan yang masuk (drug-food interaction). Hal sebaliknya juga
dapat terjadi, makanan yang masuk juga dapat mempengaruhi kerja beberapa obat-
obatan (food-drug interaction). Interaksi antara obat dan makanan disini dapat dibagi
menjadi :
a. Obat-obatan yang dapat menurunkan nafsu makan, mengganggu pengecapan dan
mengganggu traktus gastrointestinal/ saluran pencernaan.
b. Obat-obatan yang dapat mempengaruhi absorbsi, metabolisme dan eksresi zat
gizi.
Adapun Interaksi obat dan makanan terbagi 3:
1. fase farmasetis Fase farmasetis merupakan fase awal dari hancur dan
terdisolusinya obat. Beberapa makanan dan nutrisi mempengaruhi hancur dan
larutnya obat. maka dari itu, keasaman makanan dapat mengubah efektifitas dan
solubilitas obatobat tertentu. Salah satu obat yang dipengaruhi pH lambung
adalah saquinavir, inhibitor protease pada perawatan HIV.
2. Fase farmakokinetik Fase farmakokinetik adalah absorbsi, transport, distribusi,
metabolisme dan ekskresi obat. Interaksi obat dan makanan paling signifikan
terlibat dalam proses absorbsi. Usus halus, organ penyerapan primer, berperan
penting dalam absorbsi obat. Fungsi usus halus seperti motilitas atau afinitas
obat untuk menahan sistem karier usus halus, dapat mempengaruhi kecepatan
dan tingkat absorbsi obat. Makanan dan nutrien dalam makanan dapat
meningkatkan atau menurunkan absorbsi obat dan mengubah ketersediaan hayati
obat.Makanan yang mempengaruhi tingkat ionisasi dan solubilitas atau reaksi
pembentukan khelat, dapat mengubah absorbsi obat secara signifikan. Misalnya
pada reaksi pembentukan khelat pada :
Kombinasi tetracyclin dengan mineral divalen seperti Ca dalam susu atau
antasida. Kalsium akan mempengaruhi absorbsi dari quinolon.
Reaksi antara besi (ferro atau ferri) dengan tetracyclin, antibiotik
fluoroquinolon, ciprofloxacin, ofloxacin, lomeflox dan enoxacin. Maka dari
itu, ketersediaan hayati ciprofloxacin dan ofloxacin turun masing-masing 52
dan 64 % akibat adanya besi.
ii
Zink dan fluoroquinolon akan menghasilkan senyawa inaktif sehingga
menurunkan absorbsi obat
3. Fase farmakodinamik Fase farmakodinamik merupakan respon fisiologis dan
psikologis terhadap obat. Mekanisme obat tergantung pada aktifitas agonis atau
antagonis, yang mana akan meningkatkan atau menghambat metabolisme normal
dan fungsi fisiologis dalam tubuh manusia. Obat dapat memproduksi efek yang
diinginkan dan tidak diinginkan. Aspirin dapat menyebabkan defisiensi folat jika
diberikan dalam jangka waktu lama. Methotrexat memiliki struktur yang mirip
dengan folat vitamin B, hal ini dapat memperparah defisiensi folat.
a) Obat dan penurunan nafsu makan Efek samping obat atau pengaruh obat
secara langsung, dapat mempengaruhi nafsu makan. Kebanyakan stimulan
CNS dapat mengakibatkan anorexia. Efek samping obat yang berdampak
pada gangguan CNS dapat mempengaruhi kemampuan dan keinginan untuk
makan. Obat-obatan penekan nafsu makan dapat menyebabkan terjadinya
penurunan berat badan yang tidak diinginkan dan ketidakseimbangan nutrisi.
b) Obat dan perubahan pengecapan/ penciuman Banyak obat yang dapat
menyebabkan perubahan terhadap kemampuan merasakan/ dysgeusia,
menurunkan ketajaman rasa/ hypodysgeusia atau membaui. Gejala-gejala
tersebut dapat mempengaruhi intake makanan. Obatobatan yang umum
digunakan dan diketahui menyabapkan hypodysgeusia seperti: obat
antihipertensi (captopril), antriretrovira ampenavir, antineoplastik cisplastin,
dan antikonvulsan phenytoin.
c) Obat dan gangguan gastrointestinal Obat dapat menyebabkan perubahan pada
fungsi usus besar dan hal ini dapat berdampak pada terjadinya konstipasi atau
diare. Obat-obatan narkosis seperti kodein dan morfin dapat menurunkan
produktivitas tonus otot halus dari dinding usus. Hal ini berdampak pada
penurunan peristaltik yang menyebabkan terjadinya konstipasi (Lulukria,
2010). Absorbsi Interaksi dalam proses absorpsi dapat terjadi dengan berbagai
cara misalnya :
Perubahan (penurunan) motilitas gastrointestinal oleh karena obat-obat
seperti morfin atau senyawa-senyawa antikolinergik dapat mengubah
absorpsi obat-obat lain.
Kelasi yakni pengikatan molekul obat-obat tertentu oleh sen/.zyawa logam
sehingga absorpsi akan dikurangi, oleh karena terbentuk senyawa
ii
kompleks yang tidak diabsorpsi. Misalnya kelasi antara tetrasiklin dengan
senyawa-senyawa logam /berat akan menurunkan absorpsi tetrasiklin.
ii
Ekskresi Obat-obatan dapat mempengaruhi dan mengganggu eksresi zat gizi
dengan mengganggu reabsorbsi pada ginjal dan menyebabkan diare atau muntah.
Sehingga jika dirangkum, efek samping pemberian obat-obatan yang berhubungan
dengan gangguan GI (gastrointestinal) dapat berupa terjadinya mual, muntah,
perubahan pada pengecapan, turunnya nafsu makan, mulut kering atau inflamasi/
luka pada mulut dan saluran pencernaan, nyeri abdominal (bagian perut), konstipasi
dan diare. Efek samping seperti di atas dapat memperburuk konsumsi makanan si
pasien. Ketika pengobatan dilakukan dalam waktu yang panjang tentu dampak
signifikan yang memperngaruhi status gizi dapat terjadi (Bruyne, 2008).
ii
i. Sate sapi atau hamburger obat asma turunan teofilin Efek obat asama dapat
berkurang obat asama membuka jalan udara di paru-paru dan mempermudah
pernapasan penderita asma akibatya : asma mungkin tidak terkendali dengan baik.
j. Makanan berlemak – Griseofulvin (Fluvicin P/G, Fluficin U/F, Griseofulvin Efek
griseofulvin dapat meningkat griseofulvin diberikan secara oral untuk mengobati
infeksi jamur pada rambut, kulit, kuku tangan, dan kuku kaki. Interaksi yang
terjadi adalah interaksi yang menguntungkan dan griseofulvin sebaikanya ditelan
pada saat makan makanan berlemak seperti : Alpukat, daging sapi, mentega, kue,
kelapa susu, selada ayam, kentang goring, ayam goreng.
k. Makanan berserat banyak digoksin Efek digoksin digunakan untuk mengobati
layu jantung dan untuk menormalkan kembali denyut jantung yang tak beraturan
akibatya kondisi yang diobati mungkin tidak terkendali dengan baik. Gunakan
digoksin satu jam sebelum atau sesudah makan yang berserat seperti : Sari buah
prem, seralia beras, makanan dari gandum, biji-bijian, sayuran mentah, sayuran
berdaun.
5. Contoh Interaksi Makanan dengan Terapi Obat
a. Interaksi Makanan yang dapat Meningkatkan Absorbsi Obat
ii
c. Contoh Makanan terhadap Terapi Obat
ii
d.
ii
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Berdasarkan pembahasan tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa :
interaksi antara obat dan makanan terjadi dalam tiga fase yaitu fase farmasetis,
fase farmakokinetik, fase farmakodinamik. Dengan mekanisme obat yang telah
diminum akan hancur dan obat terdisolusi (merupakan fase farmasetis),
kemudian obat tersebut di absorpsi, transport, distribusi, metabolism dan ekresi
oleh tubuh (merupakan fase farmakokinetik), setelah melewati fase
farmakokinetik maka obat tersebut dapat direspon secara fisiologis dan
psikologis (merupakan fase farmakodinamik).
2. Efek samping pemberian obat-obatan yang berhubungan dengan gangguan GI
(gastrointestinal) dapat berupa terjadinya mual, muntah, perubahan pada
pengecapan, turunnya nafsu makan, mulut kering atau inflamasi/ luka pada
mulut dan saluran pencernaan, nyeri abdominal (bagian perut), konstipasi dan
diare. Efek samping seperti di atas dapat memperburuk konsumsi makanan si
pasien. Ketika pengobatan dilakukan dalam waktu yang panjang tentu dampak
signifikan yang memperngaruhi status gizi dapat terjadi.
B. SARAN
2. Bagi Kampus melalui makalah ini kami sebagai penulis juga menyadari bahwa
makalah ini jauh dari sempurna, oleh karena itu kiranya mendapat koreksi lebih
lanjut dari Dosen.
ii
DAFTAR PUSTAKA
ii