PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Interaksi obat merupakan suatu faktor yang dapat mempengaruhi respon
tubuh terhadap pengobata n. Obat dapat berinteraksi dengan makanan atau
minuman, zat kimia atau dengan obat lain. Dikatakan terjadi interaksi apabila
makanan, minuman, zat kimia, dan obat lain tersebut mengubah efek dari suatu
obat yang diberikan bersamaan atau hampir bersamaan (Ganiswara, 2000).
Obat dapat berinteraksi dengan obat lain maupun dengan makanan atau
minuman yang dikonsumsi oleh pasien. Hal ini dapat terjadi karena dalam
kehidupan sehari-hari, tidak jarang seorang penderita mendapat obat lebih dari
satu macam obat, menggunakan obat ethical, obat bebas tertentu selain yang
diresepkan oleh dokter maupun mengkonsumsi makanan dan minuman tertentu
seperti alkohol, kafein. Perubahan efek obat akibat interaksi obat dapat bersifat
membahayakan dengan meningkatnya toksisitas obat atau berkurangnya khasiat
obat. Namun, interaksi dari beberapa obat juga dapat bersifat menguntungkan
seperti efek hipotensif diuretik bila dikombinasikan dengan beta-bloker dalam
pengobatan hipertensi (Fradgley, 2003).
Kejadian interaksi obat pada pasien rawat inap 2,2 % hingga 30 %, dan
berkisar 9,2 % - 70,3 % pada pasien di masyarakat. Diantaranya terdapat 11 %
pasien yang benar-benar mengalami gejala akibat interaksi obat. Penelitian lain
pada 691 pasien, ditemukan 68 (9,8%) pasien masuk rumah sakit karena
penggunaan obat dan 3 (0,4 %) pasien disebabkan oleh interaksi obat. Suatu
survei mengenai insiden efek samping penderita rawat inap yang menerima 05
macam obat adalah 3,5 %, sedangkan yang mendapat 1620 macam obat 54 %.
Peningkatan insidens efek samping yang jauh melebihi peningkatan jumlah obat
diperkirakan akibat terjadinya interaksi obat (Setiawati, 1995).
Perubahan efek obat akibat interaksi obat sangat bervariasi diantara
individu karena dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti dosis, kadar obat dalam
darah, rute pemberian obat, metabolisme obat, durasi terapi dan karakteristik
pasien seperti umur, jenis kelamin, unsur genetik dan kondisi kesehatan pasien.
Tidak semua interaksi obat akan bermakna secara signifikan, walaupun secara
teoritis mungkin terjadi. Banyak interaksi obat yang kemungkinan besar
berbahaya terjadi hanya pada sejumlah kecil pasien. Namun demikian seorang
farmasis perlu selalu waspada terhadap kemungkinan timbulnya efek merugikan
akibat interaksi obat ini untuk mencegah timbulnya resiko morbiditas atau bahkan
mortalitas dalam pengobatan pasien (Fradgley, 2003).
Hubungan dan interaksi antara makanan, nutrien yang terkandung
dalam makanan dan obat saling mendukung dalam pelayanan kesehatan dan
dunia medis. Makanan dan nutrien spesifik dalam makanan, jika dicerna
bersama dengan beberapa obat, pasti dapat mempengaruhi seluruh ketersediaan
hayati, farmakokinetik, farmakodinamik dan efek terapi dalam pengobatan.
Makanan dapat mempengaruhi absorbsi obat sebagai hasil dari pengubahan dalam
saluran gastrointestinal atau interaksi fisika atau kimia antara partikel komponen
makanan dan molekul obat. Pengaruh tergantung pada tipe dan tingkat interaksi
sehingga absorbsi obat dapat berkurang, tertunda, tidak terpengaruh atau
meningkat oleh makanan yang masuk (Quinn and Day, 1997).
Berdasarkan latar belakang diatas maka dibuatlah makalah ini sehingga
diharapkan kejadian interaksi obat yang merugikan dapat dikurangi dan diharpkan
kepada pembaca setelah membaca makalah ini agar dapat mengetahu interaksi
obat dengan makanan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa itu interaksi obat dan kebutuhan gizi?
2. Bagaimana interaksi obat dan makanan berdasarkan fase
farmasetik, fase farmakokinetik dan fase farmakodinamik?
3. Bagaimana interaksi obat dan dan kebutuhan gizi?
4. Bagaimana contoh penerapan interaksi obat dengan makanan?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian interaksi obat dan makanan
2. Untuk mengetahui interaksi obat dan makanan yang terjadi
berdasarkan pada fase farmasetik, fase farmakokinetik dan fase
farmakodinamik.
3. Untuk mengetahui interaksi obat dan kebutuhan gizi.
4. Untuk mengetahui contoh penerapan interaksi obat dengan makanan
BAB II
ISI
2.1. Interaksi Obat dan Kebutuhan Gizi
Kebutuhan gizi adalah jumlah zat gizi minimal yang diperlukan seseorang
untuk hidup sehat. Banyaknya energi dan zat gizi minimal yang dibutuhkan
seseorang untuk mempertahankan hidupnya serta melakukan berbagai kegiatan
selama 24 jam untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal. Secara garis besar
yang dimaksud dengan kebutuhan gizi adalah jumlah zat gizi minimal yang
diperlukan seseorang untuk hidup sehat (Baxter, 2008).
Interaksi obat adalah kejadian di mana suatu zat mempengaruhi aktivitas
obat. Efek-efeknya bisa meningkatkan atau mengurangi aktivitas, atau
menghasilkan efek baru yang tidak dimiliki sebelumnya. Biasanya yang terpikir
oleh kita adalah antara satu obat dengan obat lain. Tetapi, interaksi bisa saja
terjadi antara obat dengan makanan, obat dengan herbal, obat dengan
mikronutrien, dan obat injeksi dengan kandungan infuse (Baxter, 2008)
Interaksi obat bisa ditimbulkan oleh berbagai proses, antara lain perubahan
dalam farmakokinetika obat tersebut, seperti absorpsi, distribusi, metabolisme,
dan eksresi (ADME) obat. Kemungkinan lain, interaksi obat merupakan hasil dari
sifat- sifat farmakodinamik obat tersebut, missal, pemberian bersamaan antara
antagonis reseptor dan agonis untuk resptor yang sama (Larry, 1982).
Interaksi antara obat dengan kebutuhan gizi dapat berdampak pada
berbagai macam hal. Misalnya penggunaan obat tertentu, maka akan mengurangi
nutrisi dalam tubuh sehingga regulasi tubuh akan menurun, atau dengan
mengkonsumsi nutrisi tertentu akan meningkatkan efek suatu obat lain sehingga
dapat timbul efek yang berbahaya (Sinergisme) (Larry, 1982).
Pemberian obat-obatan merupakan bagian dari terapi medis terhadap
pasien. Ketika dikonsumsi, obat dapat mempengaruhi status gizi seseorang
dengan mempengaruhi makanan yang masuk (drug-food interaction). Hal
sebaliknya juga dapat terjadi, makanan yang masuk juga dapat mempengaruhi
kerja beberapa obat-obatan (food-drug interaction) (Larry, 1982).
2.2 Interaksi Obat dan Makanan
a. Fase Farmasetis
Sekitar 80% obat diberikan melaui mulut; oleh karena itu, farmasetik
(disolusi) adalah fase pertama dari kerja obat. Dalam saluran gastrointestinal,
obat-obat perlu dilarutkan agar dapat diabsorsi. Obat dalam bentuk padat (tablet
atau pil) harus didisintegrasi menjadi partikelpartikel kecil supaya dapat larut ke
dalam cairan, dan proses ini dikenal sebagai disolusi (Stadler, 2002).
Tidak 100% dari sebuah tablet merupakan obat. Ada bahan pengisi dan
pelembam yang dicampurkan dalam pembuatan obat sehingga obat dapat
mempunyai ukuran tertentu dan mempercepat disolusi obat tersebut. Beberapa
tambahan dalam obat sperti ion kalium (K) dan natrium (Na) dalam kalium
penisilin dan natrium penisilin, meningkatkan penyerapan dari obat tersebut.
Penisilin sangat buruk diabsorbsi dalam saluran gastrointestinal, karena adanya
asam lambung. Dengan penambahan kalium atau natrium ke dalam penisilin,
maka obat lebih banyak diabsorbsi (Stadler, 2002).
Disintegrasi adalah pemecahan tablet atau pil menjadi partikelpartikel
yang lebih kecil, dan disolusi adalah melarutnya partikel-partikel yang lebih kecil
itu dalam cairan gastrointestinal untuk diabsorbsi. Rate limiting adalah waktu
yang dibutuhkan oleh sebuah obat untuk berdisintegrasi dan sampai menjadi siap
untuk diabsorbsi oleh tubuh. Obat-obat dalam bentuk cair lebih cepat siap diserap
oleh saluran gastrointestinal daripada obat dalam bentuk padat. Pada umumnya,
obatobat berdisintegrasi lebih cepat dan diabsorpsi lebih cepat dalam cairan asam
yang mempunyai pH 1 atau 2 daripada cairan basa. Orang muda dan tua
mempunyai keasaman lambung yang lebih rendah sehingga pada umumnya
absorpsi obat lebih lambat untuk obat-obat yang diabsorpsi terutama melalui
lambung (Stadler, 2002).
Obat-obat dengan enteric-coated,EC (selaput enterik) tidak dapat
disintegrasi oleh asam lambung, sehingga disintegrasinya baru terjadi jika berada
dalam suasana basa di dalam usus halus. Tablet anti coated dapat bertahan di
dalam lambung untuk jangka waktu lama; sehingga, oleh karenanya obat-obat
demikian kurang efektif atau efek mulanya menjadi lambat (Stadler, 2002).
Makanan dalam saluran gastrointestinal dapat menggaggu pengenceran
dan absorpsi obat-obat tertentu. Beberapa obat mengiritasi mukosa lambung,
sehingga cairan atau makanan diperluan untuk mengencerkan konsentrasi obat.
b. Fase farmakokinetik
Fase farmakokinetik adalah absorbsi, transport, distribusi, metabolisme
dan ekskresi obat. Interaksi obat dan makanan paling signifikan terlibat dalam
proses absorbsi. Obat-obatan yang dikenal luas dapat mempengaruhi absorbsi zat
gizi adalah obat-obatan yang memiliki efek merusak terhadap mukosa usus.
Antineoplastik, antiretroviral, NSAID dan sejumlah antibiotik diketahui memiliki
efek tersebut (Larry, 1982).
Mekanisme penghambatan absorbsi tersebut meliputi: pengikatan antara
obat dan zat gizi (drug-nutrient binding) contohnya Fe, Mg, Zn, dapat berikatan
dengan beberapa jenis antibiotik; mengubah keasaman lambung seperti pada
antacid dan antiulcer sehingga dapat mengganggu penyerapan B12, folat dan besi;
serta dengan cara penghambatan langsung pada metabolisme atau perpindahan
saat masuk ke dinding usus (Larry, 1982).
Menurut Larry (1982) interaksi dalam proses absorpsi dapat terjadi dengan
berbagai cara misalnya:
1. Perubahan (penurunan) motilitas gastrointestinal oleh karena obatobat
seperti morfin atau senyawa-senyawa antikolinergik dapat mengubah
absorpsi obat-obat lain.
2. Kelasi yakni pengikatan molekul obat-obat tertentu oleh senyawa logam
sehingga absorpsi akan dikurangi, oleh karena terbentuk senyawa
kompleks yang tidak diabsorpsi. Misalnya kelasi antara tetrasiklin dengan
senyawa-senyawa logam /berat akan menurunkan absorpsi tetrasiklin.
3. Makanan juga dapat mengubah absorpsi obat-obat tertentu, misalnya:
umumnya antibiotika akan menurun absorpsinya bila diberikan bersama
dengan makanan
Usus halus, organ penyerapan primer, berperan penting dalam absorbsi
obat. Fungsi usus halus seperti motilitas atau afinitas obat untuk menahan sistem
karier usus halus, dapat mempengaruhi kecepatan dan tingkat absorbsi obat.
Makanan dan nutrien dalam makanan dapat meningkatkan atau menurunkan
absorbsi obat dan mengubah ketersediaan hayati obat. Kecepatan pengosongan
lambung secara signifikan mempengaruhi komposisi makanan yang dicerna.
Kecepatan pengosongan lambung ini dapat mengubah ketersediaan hayati obat
(Larry, 1982).
Makanan yang mengandung serat dan lemak tinggi diketahui secara
normal menunda waktu pengosongan lambung. Beberapa obat seperti
nitrofurantoin dan hidralazin lebih baik diserap saat pengosongan lambung
tertunda karena tekanan pH rendah di lambung (CDER, 1999)
Obat dieliminasi dari tubuh tanpa diubah atau sebagai metabolit primer
oleh ginjal, paru-paru, atau saluran gastrointestinal melalui empedu. Ekskresi
obat juga dapat dipengaruhi oleh diet nutrien seperti protein dan serat, atau
nutrien yang mempengaruhi pH urin (CDER, 1999)
Obat-obatan dan zat gizi mendapatkan enzim yang sama ketika sampai di
usus dan hati. Akibatnya beberapa obat dapat menghambat aktifitas enzim yang
dibutuhkan untuk memetabolisme zat gizi. Sebagai contohnya penggunaan
metotrexate pada pengobatan kanker menggunakan enzim yang sama yang
dipakai untuk mengaktifkan folat. Sehingga efek samping dari penggunaan obat
ini adalah defisiensi asam folat (CDER, 1999)
Menurut CDER (1999) interaksi dalam proses metabolisme dapat terjadi
dengan dua kemungkinan, yakni :
1. Pemacuan enzim (enzyme induction) suatu obat (presipitan) dapat
memacu metabolisme obat lain (obat obyek) sehingga mempercepat
eliminasi obat tersebut. Obat-obat yang dapat memacu enzim metabolism
obat disebut sebagai enzyme inducer. Dikenal beberapa obat yang
mempunyai sifat pemacu enzim ini yakni Rifampisin; Antiepileptika:
fenitoin, karbamasepin, fenobarbital.
2. Penghambatan enzim, Obat-obat yang punya kemampuan untuk
menghambat enzim yang memetabolisir obat lain dikenal sebagai
penghambat enzim (enzyme inhibitor). Akibat dari penghambatan
metabolisme obat ini adalah meningkatnya kadar obat dalam darah
dengans egala konsekuensinya, oleh karena terhambatnya proses eliminasi
obat. Obat-obat yang dikenal dapat menghambat aktifitas enzim
metabolisme obat antara lain kloramfenikol, isoniazid, simetidin,
propanolol, eritromisin, fenilbutason, alopurinol,dan lainlain.
Obat-obatan dapat mempengaruhi dan mengganggu eksresi zat gizi dengan
mengganggu reabsorbsi pada ginjal dan menyebabkan diare atau muntah.
Sehingga jika dirangkum, efek samping pemberian obatobatan yang berhubungan
dengan gangguan GI (gastrointestinal) dapat berupa terjadinya mual, muntah,
perubahan pada pengecapan, turunnya nafsu makan, mulut kering atau inflamasi/
luka pada mulut dan saluran pencernaan, nyeri abdominal (bagian perut),
konstipasi dan diare. Efek samping seperti di atas dapat memperburuk konsumsi
makanan si pasien. Ketika pengobatan dilakukan dalam waktu yang panjang tentu
dampak signifikan yang memperngaruhi status gizi dapat terjadi (Bruyne, 2008).
c. Fase farmakodinamik
Farmakodinamik mempelajari efek obat terhadap fisiologi dan biokimia
selular dan mekanisme kerja obat. Respons obat dapat menyebabkan efek fisiologi
primer atau sekunder atau kedua-duanya. Efek primer adalah efek yang
diinginkan, dan efek sekunder bisa diinginkan atau tidak diinginkan (Bruyne,
2008).
Salah satu contoh dari obat dengan efek primer dan sekunder adalah
difenhidramin (benadryl) suatu antihistamin. Efek primer dari difenhidramin
adalah untuk mengatasi gejala-gejala alergi, dan efek sekundernya adalah
penekanan susunan saraf pusat yang menyebabkan rasa kantuk. Efek sekunder ini
tidak diinginkan jika sedang mengendarai mobil, tetapi pada saat tidur, dapat
menjadi diinginkan karena menimbulkan sedasi ringan. Penelanan tablet dengan
air yang cukup atau cairan lain penting untuk beberapa obat karena jika ditelan
tablet tersebut cenderung merusak saluran esophagus (Bruyne, 2008).
Petunjuk pada pasien untuk mencegah iritasi dan atau ulcer
pada oesophagus, tablet atau kapsul obat harus ditelan dengan segelas air oleh
pasien dengan posisi berdiri, misalnya untuk obat seperti analgesik
(contohnya aspirin), NSAID (contohnya Phenylbutazone, oxyphenbutazone,
indometacin), kloralhidrat, emepromium bromida, kalium klorida, tetracyclin
(terutama Doxycyclin) (Bruyne, 2008).
Obat diminum dengan atau tanpa makanan. Interaksi obatmakanan dalam
saluran gastrointestinal dapat bermacam-macam dan banyak alasan mengapa
makanan dapat berpengaruh pada efek obat. Contohnya obat mungkin terikat pada
komponen makanan; makanan akan mempengaruhi waktu transit obat pada usus;
obat dapat mengubah first-pass metabolism obat dalam usus dan dalam hati; dan
makanan dapat meningkatkan aliran empedu yang mampu meningkatkan absorbsi
beberapa obat yang larut lemak (Bruyne, 2008).
2.3 Interaksi Obat dengan Makanan yang Dapat Menurunkan Nafsu
Makan Perubahan Pengecapan dan Gangguan Gastrointestinal
a. Obat dan Penurunan Nafsu Makan
Efek samping obat atau pengaruh obat secara langsung, dapat
mempengaruhi nafsu makan. Kebanyakan stimulant ini dapat mengakibatkan
anoreksia. Efek samping obat yang berdampak pada gangguan ini dapat
mempengaruhi kemampuan dan keinginan untuk makan. "obat-obatan penekan
nafsu makan dapat menyebabkan terjadinya penurunan berat badan yang tidak
diinginkan dan ketidakseimbangan nutrisi.
b. Obat dan Perubahan Pengecapan/Penciuman
Banyak obat yang dapat menyebabkan perubahan terhadap kemampuan
merasakan dysgeusia, menurunkan ketajaman rasa hypodysgeusia atau membaui.
Gejala-gejala tersebut dapat mempengaruhi intake makanan. "obat-obatan yang
umum digunakan dan diketahui menyebabkan hypodysgeusia seperti ; obat
antihipertensi (captopril), antriretroviral ampenavir, antineoplastic cisplastin, dan
antikonvulsan phenytoin (Mahan, 2002).
c. Obat dan Gangguan Gastrointestinal
Obat dapat menyebabkan perubahan pada fungsi usus besar dan hal ini
dapat berdampak pada terjadinya konstipasi atau diare. Obat-obatan narcosis
seperti kodein dan morvin dapat menurunkan produktifitas tonus otot halus dari
dinding usus. Hal ini berdampak pada penurunan peristaltic yang menyebabkan
terjadinya konstipasi (Mahan, 2002).
2.4 Pengaruh Jus Buah Durian (Durio zibethinus Murr.) Terhadap Profile
Farmakokinetik Paracetamol Pada Tikus Putih (Rattus norvegicus L.) Jantan
Galur Wistar
1. Pendahuluan
Parasetamol merupakan obat analgetikantipiretik yang banyak beredar di
pasaran dan dijual dengan harga yang terjangkau sehingga sering digunakan
masyarakat untuk mengobati penyakit ringan seperti demam dan sakit kepala
(Pakarti, 2009, Tripathi, et al., 2009). Parasetamol diketahui dapat berinteraksi
dengan makanan maupun minuman yang mengandung karbohidrat dan alkohol
(Harkness, 1989).
Durian merupakan tanaman asli Indonesia, dengan pusat keragaman
tanaman durian terletak di pulau Kalimantan. Daging buah durian memiliki
memiliki kandungan gizi yang tinggi dimana pada tiap 100 gram daging buahnya
mengandung 65 gram air; 134 energi; 2,5 gram protein; 3 gram lemak; 28 gram
karbohidrat; 7,4 mg kalsium; 44 mg fosfor; 1,3 mg besi; 175 SI vitamin A dan 53
mg vitamin C (Setiadi. 2008).
Dalam penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi tentang
bagaimana pengaruh jus buah durian terhadap kinetika absorpsi dan eliminasi
parasetamol serta mengetahui dosis jus buah durian yang dapat mempengaruhi
kinetika absorpsi dan eliminasi parasetamol.
2. Metodologi
a. Bahan
Jus durian yang dibuat dari buah durian yang berasal dari Desa Pal 5,
Kecamatan Kakap, Kalimantan Barat. Aluminium foil, Kertas saring, Plastik
wrapping, Etil Asetat p.a (Merck®), Metanol p.a (Merck®), Baku Pembanding
Parasetamol (PT. Brataco®), Parasetamol generik (Kimia Farma®), Akuades dan
Tricloroasetat acid (TCA) 5%.
b. Alat
Alat gelas laboratorium (Pyrex®), Timbangan analitik (Precisa®),
Kandang hewan uji, Spuit oral 10 mL, Effendrof, Spektrofotometer UV
(Shimadzu UV-2450 PC®), Sentrifuge (Hettich®), Mikropipet (Rainin®), Hot
Plate (SJ Analytics GmbHD-55122 Mainz®), Silet, Pisau cukur (Gilette®),
Holder, Tabung darah beserta anti koagulan EDTA 3 mL (Vakuntainer®), Vortex
mixer, dan Oven (Memmert®).
3. Hasil dan Pembahasan
a. Hasil Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel buah tanaman durian spesies Durio zibethinus
Murr. dilakukan di Desa Pal, Kelurahan Pal 5, Kecamatan Kakap,
Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Menurut data Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Barat pada tahun 2013,
Kecamatan Kakap merupakan salah satu daerah yang memiliki kebun
durian yang cukup luas dan durian yang ditanam di daerah tersebut
merupakan jenis durian lokal. Buah durian yang diambil berasal dari
pohon durian Desa Pal yang sudah berumur sekitar 13 tahun, yang dipanen
pada akhir bulan Mei. Total buah durian yang digunakan pada penelitian
ini adalah sebanyak 3 buah durian.
b. Hasil Pengolahan Sampel
Sampel buah durian yang diambil berukuran diameter ± 23 cm
dengan berat daging buah keseluruhan sebesar 150 gram, digunakan dosis
terbesar daging buah durian sebesar 150 gram karena mengikuti anjuran
makan durian yang baik yaitu sebesar 100-200 gram daging buah durian
pada setiap kali makan (Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika, 2012).
Daging buah durian kemudian dihaluskan menggunakan alat blender, lalu
ditambahkan akuades untuk mempermudah proses penghalusan daging
buah durian.
c. Kurva baku paracetamol