Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Interaksi obat merupakan suatu faktor yang dapat mempengaruhi respon
tubuh terhadap pengobata n. Obat dapat berinteraksi dengan makanan atau
minuman, zat kimia atau dengan obat lain. Dikatakan terjadi interaksi apabila
makanan, minuman, zat kimia, dan obat lain tersebut mengubah efek dari suatu
obat yang diberikan bersamaan atau hampir bersamaan (Ganiswara, 2000).
Obat dapat berinteraksi dengan obat lain maupun dengan makanan atau
minuman yang dikonsumsi oleh pasien. Hal ini dapat terjadi karena dalam
kehidupan sehari-hari, tidak jarang seorang penderita mendapat obat lebih dari
satu macam obat, menggunakan obat ethical, obat bebas tertentu selain yang
diresepkan oleh dokter maupun mengkonsumsi makanan dan minuman tertentu
seperti alkohol, kafein. Perubahan efek obat akibat interaksi obat dapat bersifat
membahayakan dengan meningkatnya toksisitas obat atau berkurangnya khasiat
obat. Namun, interaksi dari beberapa obat juga dapat bersifat menguntungkan
seperti efek hipotensif diuretik bila dikombinasikan dengan beta-bloker dalam
pengobatan hipertensi (Fradgley, 2003).
Kejadian interaksi obat pada pasien rawat inap 2,2 % hingga 30 %, dan
berkisar 9,2 % - 70,3 % pada pasien di masyarakat. Diantaranya terdapat 11 %
pasien yang benar-benar mengalami gejala akibat interaksi obat. Penelitian lain
pada 691 pasien, ditemukan 68 (9,8%) pasien masuk rumah sakit karena
penggunaan obat dan 3 (0,4 %) pasien disebabkan oleh interaksi obat. Suatu
survei mengenai insiden efek samping penderita rawat inap yang menerima 0–5
macam obat adalah 3,5 %, sedangkan yang mendapat 16–20 macam obat 54 %.
Peningkatan insidens efek samping yang jauh melebihi peningkatan jumlah obat
diperkirakan akibat terjadinya interaksi obat (Setiawati, 1995).
Perubahan efek obat akibat interaksi obat sangat bervariasi diantara
individu karena dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti dosis, kadar obat dalam
darah, rute pemberian obat, metabolisme obat, durasi terapi dan karakteristik
pasien seperti umur, jenis kelamin, unsur genetik dan kondisi kesehatan pasien.
Tidak semua interaksi obat akan bermakna secara signifikan, walaupun secara
teoritis mungkin terjadi. Banyak interaksi obat yang kemungkinan besar
berbahaya terjadi hanya pada sejumlah kecil pasien. Namun demikian seorang
farmasis perlu selalu waspada terhadap kemungkinan timbulnya efek merugikan
akibat interaksi obat ini untuk mencegah timbulnya resiko morbiditas atau bahkan
mortalitas dalam pengobatan pasien (Fradgley, 2003).
Hubungan dan interaksi antara makanan, nutrien yang terkandung
dalam makanan dan obat saling mendukung dalam pelayanan kesehatan dan
dunia medis. Makanan dan nutrien spesifik dalam makanan, jika dicerna
bersama dengan beberapa obat, pasti dapat mempengaruhi seluruh ketersediaan
hayati, farmakokinetik, farmakodinamik dan efek terapi dalam pengobatan.
Makanan dapat mempengaruhi absorbsi obat sebagai hasil dari pengubahan dalam
saluran gastrointestinal atau interaksi fisika atau kimia antara partikel komponen
makanan dan molekul obat. Pengaruh tergantung pada tipe dan tingkat interaksi
sehingga absorbsi obat dapat berkurang, tertunda, tidak terpengaruh atau
meningkat oleh makanan yang masuk (Quinn and Day, 1997).
Berdasarkan latar belakang diatas maka dibuatlah makalah ini sehingga
diharapkan kejadian interaksi obat yang merugikan dapat dikurangi dan diharpkan
kepada pembaca setelah membaca makalah ini agar dapat mengetahu interaksi
obat dengan makanan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa itu interaksi obat dan kebutuhan gizi?
2. Bagaimana interaksi obat dan makanan berdasarkan fase
farmasetik, fase farmakokinetik dan fase farmakodinamik?
3. Bagaimana interaksi obat dan dan kebutuhan gizi?
4. Bagaimana contoh penerapan interaksi obat dengan makanan?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian interaksi obat dan makanan
2. Untuk mengetahui interaksi obat dan makanan yang terjadi
berdasarkan pada fase farmasetik, fase farmakokinetik dan fase
farmakodinamik.
3. Untuk mengetahui interaksi obat dan kebutuhan gizi.
4. Untuk mengetahui contoh penerapan interaksi obat dengan makanan
BAB II
ISI
2.1. Interaksi Obat dan Kebutuhan Gizi
Kebutuhan gizi adalah jumlah zat gizi minimal yang diperlukan seseorang
untuk hidup sehat. Banyaknya energi dan zat gizi minimal yang dibutuhkan
seseorang untuk mempertahankan hidupnya serta melakukan berbagai kegiatan
selama 24 jam untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal. Secara garis besar
yang dimaksud dengan kebutuhan gizi adalah jumlah zat gizi minimal yang
diperlukan seseorang untuk hidup sehat (Baxter, 2008).
Interaksi obat adalah kejadian di mana suatu zat mempengaruhi aktivitas
obat. Efek-efeknya bisa meningkatkan atau mengurangi aktivitas, atau
menghasilkan efek baru yang tidak dimiliki sebelumnya. Biasanya yang terpikir
oleh kita adalah antara satu obat dengan obat lain. Tetapi, interaksi bisa saja
terjadi antara obat dengan makanan, obat dengan herbal, obat dengan
mikronutrien, dan obat injeksi dengan kandungan infuse (Baxter, 2008)
Interaksi obat bisa ditimbulkan oleh berbagai proses, antara lain perubahan
dalam farmakokinetika obat tersebut, seperti absorpsi, distribusi, metabolisme,
dan eksresi (ADME) obat. Kemungkinan lain, interaksi obat merupakan hasil dari
sifat- sifat farmakodinamik obat tersebut, missal, pemberian bersamaan antara
antagonis reseptor dan agonis untuk resptor yang sama (Larry, 1982).
Interaksi antara obat dengan kebutuhan gizi dapat berdampak pada
berbagai macam hal. Misalnya penggunaan obat tertentu, maka akan mengurangi
nutrisi dalam tubuh sehingga regulasi tubuh akan menurun, atau dengan
mengkonsumsi nutrisi tertentu akan meningkatkan efek suatu obat lain sehingga
dapat timbul efek yang berbahaya (Sinergisme) (Larry, 1982).
Pemberian obat-obatan merupakan bagian dari terapi medis terhadap
pasien. Ketika dikonsumsi, obat dapat mempengaruhi status gizi seseorang
dengan mempengaruhi makanan yang masuk (drug-food interaction). Hal
sebaliknya juga dapat terjadi, makanan yang masuk juga dapat mempengaruhi
kerja beberapa obat-obatan (food-drug interaction) (Larry, 1982).
2.2 Interaksi Obat dan Makanan
a. Fase Farmasetis
Sekitar 80% obat diberikan melaui mulut; oleh karena itu, farmasetik
(disolusi) adalah fase pertama dari kerja obat. Dalam saluran gastrointestinal,
obat-obat perlu dilarutkan agar dapat diabsorsi. Obat dalam bentuk padat (tablet
atau pil) harus didisintegrasi menjadi partikelpartikel kecil supaya dapat larut ke
dalam cairan, dan proses ini dikenal sebagai disolusi (Stadler, 2002).
Tidak 100% dari sebuah tablet merupakan obat. Ada bahan pengisi dan
pelembam yang dicampurkan dalam pembuatan obat sehingga obat dapat
mempunyai ukuran tertentu dan mempercepat disolusi obat tersebut. Beberapa
tambahan dalam obat sperti ion kalium (K) dan natrium (Na) dalam kalium
penisilin dan natrium penisilin, meningkatkan penyerapan dari obat tersebut.
Penisilin sangat buruk diabsorbsi dalam saluran gastrointestinal, karena adanya
asam lambung. Dengan penambahan kalium atau natrium ke dalam penisilin,
maka obat lebih banyak diabsorbsi (Stadler, 2002).
Disintegrasi adalah pemecahan tablet atau pil menjadi partikelpartikel
yang lebih kecil, dan disolusi adalah melarutnya partikel-partikel yang lebih kecil
itu dalam cairan gastrointestinal untuk diabsorbsi. Rate limiting adalah waktu
yang dibutuhkan oleh sebuah obat untuk berdisintegrasi dan sampai menjadi siap
untuk diabsorbsi oleh tubuh. Obat-obat dalam bentuk cair lebih cepat siap diserap
oleh saluran gastrointestinal daripada obat dalam bentuk padat. Pada umumnya,
obatobat berdisintegrasi lebih cepat dan diabsorpsi lebih cepat dalam cairan asam
yang mempunyai pH 1 atau 2 daripada cairan basa. Orang muda dan tua
mempunyai keasaman lambung yang lebih rendah sehingga pada umumnya
absorpsi obat lebih lambat untuk obat-obat yang diabsorpsi terutama melalui
lambung (Stadler, 2002).
Obat-obat dengan enteric-coated,EC (selaput enterik) tidak dapat
disintegrasi oleh asam lambung, sehingga disintegrasinya baru terjadi jika berada
dalam suasana basa di dalam usus halus. Tablet anti coated dapat bertahan di
dalam lambung untuk jangka waktu lama; sehingga, oleh karenanya obat-obat
demikian kurang efektif atau efek mulanya menjadi lambat (Stadler, 2002).
Makanan dalam saluran gastrointestinal dapat menggaggu pengenceran
dan absorpsi obat-obat tertentu. Beberapa obat mengiritasi mukosa lambung,
sehingga cairan atau makanan diperluan untuk mengencerkan konsentrasi obat.
b. Fase farmakokinetik
Fase farmakokinetik adalah absorbsi, transport, distribusi, metabolisme
dan ekskresi obat. Interaksi obat dan makanan paling signifikan terlibat dalam
proses absorbsi. Obat-obatan yang dikenal luas dapat mempengaruhi absorbsi zat
gizi adalah obat-obatan yang memiliki efek merusak terhadap mukosa usus.
Antineoplastik, antiretroviral, NSAID dan sejumlah antibiotik diketahui memiliki
efek tersebut (Larry, 1982).
Mekanisme penghambatan absorbsi tersebut meliputi: pengikatan antara
obat dan zat gizi (drug-nutrient binding) contohnya Fe, Mg, Zn, dapat berikatan
dengan beberapa jenis antibiotik;  mengubah keasaman lambung seperti pada
antacid dan antiulcer sehingga dapat mengganggu penyerapan B12, folat dan besi;
serta dengan cara penghambatan langsung pada metabolisme atau perpindahan
saat masuk ke dinding usus (Larry, 1982).
Menurut Larry (1982) interaksi dalam proses absorpsi dapat terjadi dengan
berbagai cara misalnya:
1. Perubahan (penurunan) motilitas gastrointestinal oleh karena obatobat
seperti morfin atau senyawa-senyawa antikolinergik dapat mengubah
absorpsi obat-obat lain.
2. Kelasi yakni pengikatan molekul obat-obat tertentu oleh senyawa logam
sehingga absorpsi akan dikurangi, oleh karena terbentuk senyawa
kompleks yang tidak diabsorpsi. Misalnya kelasi antara tetrasiklin dengan
senyawa-senyawa logam /berat akan menurunkan absorpsi tetrasiklin.
3. Makanan juga dapat mengubah absorpsi obat-obat tertentu, misalnya:
umumnya antibiotika akan menurun absorpsinya bila diberikan bersama
dengan makanan
Usus halus, organ penyerapan primer, berperan penting dalam absorbsi
obat. Fungsi usus halus seperti motilitas atau afinitas obat untuk menahan sistem
karier usus halus, dapat mempengaruhi kecepatan dan tingkat absorbsi obat.
Makanan dan nutrien dalam makanan dapat meningkatkan atau menurunkan
absorbsi obat dan mengubah ketersediaan hayati obat. Kecepatan pengosongan
lambung secara signifikan mempengaruhi komposisi makanan yang dicerna.
Kecepatan pengosongan lambung ini dapat mengubah ketersediaan hayati obat
(Larry, 1982).
Makanan yang mengandung serat dan lemak tinggi diketahui secara
normal menunda waktu pengosongan lambung. Beberapa obat seperti
nitrofurantoin dan hidralazin lebih baik diserap saat pengosongan lambung
tertunda karena tekanan pH rendah di lambung (CDER, 1999)
Obat dieliminasi dari tubuh tanpa diubah atau sebagai metabolit primer
oleh ginjal, paru-paru, atau saluran gastrointestinal melalui empedu. Ekskresi
obat juga dapat dipengaruhi oleh diet nutrien seperti protein dan serat, atau
nutrien yang mempengaruhi pH urin (CDER, 1999)
Obat-obatan dan zat gizi mendapatkan enzim yang sama ketika sampai di
usus dan hati. Akibatnya beberapa obat dapat menghambat aktifitas enzim yang
dibutuhkan untuk memetabolisme zat gizi. Sebagai contohnya penggunaan
metotrexate pada pengobatan kanker menggunakan enzim yang sama yang
dipakai untuk mengaktifkan folat. Sehingga efek samping dari penggunaan obat
ini adalah defisiensi asam folat (CDER, 1999)
Menurut CDER (1999) interaksi dalam proses metabolisme dapat terjadi
dengan dua kemungkinan, yakni :
1. Pemacuan enzim (enzyme induction) suatu obat (presipitan) dapat
memacu metabolisme obat lain (obat obyek) sehingga mempercepat
eliminasi obat tersebut. Obat-obat yang dapat memacu enzim metabolism
obat disebut sebagai enzyme inducer. Dikenal beberapa obat yang
mempunyai sifat pemacu enzim ini yakni Rifampisin; Antiepileptika:
fenitoin, karbamasepin, fenobarbital.
2. Penghambatan enzim, Obat-obat yang punya kemampuan untuk
menghambat enzim yang memetabolisir obat lain dikenal sebagai
penghambat enzim (enzyme inhibitor). Akibat dari penghambatan
metabolisme obat ini adalah meningkatnya kadar obat dalam darah
dengans egala konsekuensinya, oleh karena terhambatnya proses eliminasi
obat. Obat-obat yang dikenal dapat menghambat aktifitas enzim
metabolisme obat antara lain kloramfenikol, isoniazid, simetidin,
propanolol, eritromisin, fenilbutason, alopurinol,dan lainlain.
Obat-obatan dapat mempengaruhi dan mengganggu eksresi zat gizi dengan
mengganggu reabsorbsi pada ginjal dan menyebabkan diare atau muntah.
Sehingga jika dirangkum, efek samping pemberian obatobatan yang berhubungan
dengan gangguan GI (gastrointestinal) dapat berupa terjadinya mual, muntah,
perubahan pada pengecapan, turunnya nafsu makan, mulut kering atau inflamasi/
luka pada mulut dan saluran pencernaan, nyeri abdominal (bagian perut),
konstipasi dan diare. Efek samping seperti di atas dapat memperburuk konsumsi
makanan si pasien. Ketika pengobatan dilakukan dalam waktu yang panjang tentu
dampak signifikan yang memperngaruhi status gizi dapat terjadi (Bruyne, 2008).
c. Fase farmakodinamik
Farmakodinamik mempelajari efek obat terhadap fisiologi dan biokimia
selular dan mekanisme kerja obat. Respons obat dapat menyebabkan efek fisiologi
primer atau sekunder atau kedua-duanya. Efek primer adalah efek yang
diinginkan, dan efek sekunder bisa diinginkan atau tidak diinginkan (Bruyne,
2008).
Salah satu contoh dari obat dengan efek primer dan sekunder adalah
difenhidramin (benadryl) suatu antihistamin. Efek primer dari difenhidramin
adalah untuk mengatasi gejala-gejala alergi, dan efek sekundernya adalah
penekanan susunan saraf pusat yang menyebabkan rasa kantuk. Efek sekunder ini
tidak diinginkan jika sedang mengendarai mobil, tetapi pada saat tidur, dapat
menjadi diinginkan karena menimbulkan sedasi ringan. Penelanan tablet dengan
air yang cukup atau cairan lain penting untuk beberapa obat karena jika ditelan
tablet tersebut cenderung merusak saluran esophagus (Bruyne, 2008).
Petunjuk pada pasien untuk mencegah iritasi dan atau ulcer
pada oesophagus, tablet atau kapsul obat harus ditelan dengan segelas air oleh
pasien dengan posisi berdiri, misalnya untuk obat seperti analgesik
(contohnya aspirin), NSAID (contohnya Phenylbutazone, oxyphenbutazone,
indometacin), kloralhidrat, emepromium bromida, kalium klorida, tetracyclin
(terutama Doxycyclin) (Bruyne, 2008).
Obat diminum dengan atau tanpa makanan. Interaksi obatmakanan dalam
saluran gastrointestinal dapat bermacam-macam dan banyak alasan mengapa
makanan dapat berpengaruh pada efek obat. Contohnya obat mungkin terikat pada
komponen makanan; makanan akan mempengaruhi waktu transit obat pada usus;
obat dapat mengubah first-pass metabolism obat dalam usus dan dalam hati; dan
makanan dapat meningkatkan aliran empedu yang mampu meningkatkan absorbsi
beberapa obat yang larut lemak (Bruyne, 2008).
2.3 Interaksi Obat dengan Makanan yang Dapat Menurunkan Nafsu
Makan Perubahan Pengecapan dan Gangguan Gastrointestinal
a. Obat dan Penurunan Nafsu Makan
Efek samping obat atau pengaruh obat secara langsung, dapat
mempengaruhi nafsu makan. Kebanyakan stimulant ini dapat mengakibatkan
anoreksia. Efek samping obat yang berdampak pada gangguan ini dapat
mempengaruhi kemampuan dan keinginan untuk makan. "obat-obatan penekan
nafsu makan dapat menyebabkan terjadinya penurunan berat badan yang tidak
diinginkan dan ketidakseimbangan nutrisi.
b. Obat dan Perubahan Pengecapan/Penciuman
Banyak obat yang dapat menyebabkan perubahan terhadap kemampuan
merasakan dysgeusia, menurunkan ketajaman rasa hypodysgeusia atau membaui.
Gejala-gejala tersebut dapat mempengaruhi intake makanan. "obat-obatan yang
umum digunakan dan diketahui menyebabkan hypodysgeusia seperti ; obat
antihipertensi (captopril), antriretroviral ampenavir, antineoplastic cisplastin, dan
antikonvulsan phenytoin (Mahan, 2002).
c. Obat dan Gangguan Gastrointestinal
Obat dapat menyebabkan perubahan pada fungsi usus besar dan hal ini
dapat berdampak pada terjadinya konstipasi atau diare. Obat-obatan narcosis
seperti kodein dan morvin dapat menurunkan produktifitas tonus otot halus dari
dinding usus. Hal ini berdampak pada penurunan peristaltic yang menyebabkan
terjadinya konstipasi (Mahan, 2002).
2.4 Pengaruh Jus Buah Durian (Durio zibethinus Murr.) Terhadap Profile
Farmakokinetik Paracetamol Pada Tikus Putih (Rattus norvegicus L.) Jantan
Galur Wistar
1. Pendahuluan
Parasetamol merupakan obat analgetikantipiretik yang banyak beredar di
pasaran dan dijual dengan harga yang terjangkau sehingga sering digunakan
masyarakat untuk mengobati penyakit ringan seperti demam dan sakit kepala
(Pakarti, 2009, Tripathi, et al., 2009). Parasetamol diketahui dapat berinteraksi
dengan makanan maupun minuman yang mengandung karbohidrat dan alkohol
(Harkness, 1989).
Durian merupakan tanaman asli Indonesia, dengan pusat keragaman
tanaman durian terletak di pulau Kalimantan. Daging buah durian memiliki
memiliki kandungan gizi yang tinggi dimana pada tiap 100 gram daging buahnya
mengandung 65 gram air; 134 energi; 2,5 gram protein; 3 gram lemak; 28 gram
karbohidrat; 7,4 mg kalsium; 44 mg fosfor; 1,3 mg besi; 175 SI vitamin A dan 53
mg vitamin C (Setiadi. 2008).
Dalam penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi tentang
bagaimana pengaruh jus buah durian terhadap kinetika absorpsi dan eliminasi
parasetamol serta mengetahui dosis jus buah durian yang dapat mempengaruhi
kinetika absorpsi dan eliminasi parasetamol.
2. Metodologi
a. Bahan
Jus durian yang dibuat dari buah durian yang berasal dari Desa Pal 5,
Kecamatan Kakap, Kalimantan Barat. Aluminium foil, Kertas saring, Plastik
wrapping, Etil Asetat p.a (Merck®), Metanol p.a (Merck®), Baku Pembanding
Parasetamol (PT. Brataco®), Parasetamol generik (Kimia Farma®), Akuades dan
Tricloroasetat acid (TCA) 5%.
b. Alat
Alat gelas laboratorium (Pyrex®), Timbangan analitik (Precisa®),
Kandang hewan uji, Spuit oral 10 mL, Effendrof, Spektrofotometer UV
(Shimadzu UV-2450 PC®), Sentrifuge (Hettich®), Mikropipet (Rainin®), Hot
Plate (SJ Analytics GmbHD-55122 Mainz®), Silet, Pisau cukur (Gilette®),
Holder, Tabung darah beserta anti koagulan EDTA 3 mL (Vakuntainer®), Vortex
mixer, dan Oven (Memmert®).
3. Hasil dan Pembahasan
a. Hasil Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel buah tanaman durian spesies Durio zibethinus
Murr. dilakukan di Desa Pal, Kelurahan Pal 5, Kecamatan Kakap,
Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Menurut data Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Barat pada tahun 2013,
Kecamatan Kakap merupakan salah satu daerah yang memiliki kebun
durian yang cukup luas dan durian yang ditanam di daerah tersebut
merupakan jenis durian lokal. Buah durian yang diambil berasal dari
pohon durian Desa Pal yang sudah berumur sekitar 13 tahun, yang dipanen
pada akhir bulan Mei. Total buah durian yang digunakan pada penelitian
ini adalah sebanyak 3 buah durian.
b. Hasil Pengolahan Sampel
Sampel buah durian yang diambil berukuran diameter ± 23 cm
dengan berat daging buah keseluruhan sebesar 150 gram, digunakan dosis
terbesar daging buah durian sebesar 150 gram karena mengikuti anjuran
makan durian yang baik yaitu sebesar 100-200 gram daging buah durian
pada setiap kali makan (Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika, 2012).
Daging buah durian kemudian dihaluskan menggunakan alat blender, lalu
ditambahkan akuades untuk mempermudah proses penghalusan daging
buah durian.
c. Kurva baku paracetamol

Persamaan regresi linier dari kurva baku parasetamol penelitian ini


adalah y = 0,06468x + 0,02461 dengan nilai koefisien korelasi atau R
sebesar 0,99866. Menurut literatur nilai R > 0,9 – 1 diketahui memiliki arti
bahwa hubungan antarvariabel sangat tinggi, kuat sekali dan dapat
diandalkan13. Oleh sebab itu, persamaan garis kurva baku ini layak
digunakan untuk menentukan kadar parasetamol dalam sampel darah.
d. Hasil Uji Perlakuan dan Penetapan Kadar Parasetamol Dalam Darah

Gambar 3 menunjukkan kurva kadar parasetamol dalam darah


terhadap waktu tiap kelompok uji. Pada gambar 3 terlihat bahwa adanya
jus buah durian mempengaruhi profil kurva kadar parasetamol dalam
darah. Harga parameter farmakokinetik parasetamol tiap kelompok uji
yang dihitung dapat dilihat pada tabel 5.
Terdapat 3 macam parameter yang dapat digunakan untuk men
jelaskan profil farmakokinetika obat didalam tubuh yaitu parameter
primer, sekunder dan turunan. Parameter primer pada penelitian ini
meliputi parameter Ka, Vd dan klirens. Parameter Ka dapat menjelaskan
kinetika absorpsi dari parasetamol. Dari tabel 5 diketahui bahwa terjadi
penurunan nilai Ka pada kelompok hewan uji yang diberikan parasetamol
dan jus buah durian jika dibandingkan dengan kelompok kontrol
parasetamol. Hal ini mungkin dikarenakan salah satu kandungan nutrisi
terbesar dalam daging buah durian adalah karbohidrat. Sebagaimana
diketahui karbohidrat dapat berinteraksi dengan parasetamol dengan
menunda absorpsi parasetamol. Interaksi karbo-hidrat dan parasetamol
terjadi ketika parasetamol dikonsumsi bersama makanan yang
mengandung karbohidrat (Harkness, R. 1989).
Adanya karbohidrat akan mem-perlama waktu pengosongan
lambung, ketika lambung terisi maka-nan, isi lambung akan diangkut
secara perlahan ke usus, sebagaimana diketahui para-setamol di absorpsi
dengan baik di dalam usus, perlambatan perpindahan parasetamol dari
lambung ke usus ini menyebabkan terjadinya penundaan absorpsi
parasetamol. Penundaan atau-pun penurunan absorpsi parasetamol
menyebabkan laju absorpsi parasetamol menjadi menurun, oleh karena
itulah nilai konstanta laju absorpsi parasetamol atau Ka pada dosis 1,2 dan
3 mengalami penurunan.
Parameter volume distribusi atau Vd merupakan parameter primer
yang dapat digunakan untuk menjelaskan kinetika distribusi dan eliminasi
parasetamol pada penelitian ini. Volume distribusi dapat dianggap
sebagaivolume dimana obat terlarut (Hakim L, 2010). Parame-ter volume
distribusi obat memiliki hubungan berbanding terbalik dengan kadar obat
dalam plasma (Cp) dimana ketika suatu obat terikat oleh protein plasma
dalam jumlah besar atau berada didalam pembuluh darah, maka nilai kadar
obat dalam plasma akan semakin tinggi, yang mengakibatkan nilai Vd
menjadi lebih kecil demikian sebaliknya (Shargel, 2005).
Parameter klirens atau Cl merupakan parameter primer yang dapat
menjelaskan kinetika eliminasi dari parasetamol. Parameter klirens sangat
mempengaruhi kinetika eliminasi suatu obat dimana semakin tinggi harga
klirens, maka semakin cepat obat tersebut tereliminasi dari tubuh, de-
mikian sebaliknya (Hakim L, 2010). Proses eliminasi obat dari tubuh
dipengaruhi oleh proses metabolisme dari obat tersebut dimana semakin
cepat proses metabolisme suatu obat berlangsung maka semakin cepat pula
obat tersebut dikeluarkan dari tubuh.
Kelompok dosis 1 dan 3 yang memiliki nilai klirens terendah
menun-jukkan bahwa proses metabolisme parasetamol berlangsung lambat
se-hingga menyebabkan parasetamol be-rada lebih lama dalam tubuh dan
me-nyebabkan peningkatan nilai 𝑇1/2 para-setamol (tabel 5). Metabolisme
parase-tamol yang berlangsung lambat ini dapat disebabkan oleh adanya
proses siklus enterohepatik yang dilalui oleh parase-tamol dimana menurut
literatur parase-tamol mengalami metabolisme melalui jalur sitokrom
p450, konjugasi glukoro-nidasi dan sulfatasi(Forte, 2002). Parasetamol
dapat melalui siklus enterohepatik dikarenakan salah satu jalur meta-
bolisme parasetamol adalah melalui konjugasi glukoronidasi dimana para-
setamol dalam bentuk konjugatlah yang dapat melalui siklus enterohepatik
(watari, dkk. 1984).
Kelompok dosis 2 diketahui memiliki nilai klirens lebih tinggi
dibanding dosis 1 dan 3, hal ini menunjukkan bahwa proses meta-bolisme
parasetamol berlangsung cepat sehingga menyebabkan parasetamol lebih
cepat dikeluarkan dari tubuh dimana dari hasil penelitian diketahui bahwa
nilai 𝑇1/2 parasetamol terbesar dimiliki oleh dosis 2 (tabel 5). Peningkatan
laju metabolisme para-setamol pada kelompok dosis 2 ke-mungkinan
dapat disebabkan oleh pengaruh senyawa lain yang terkandung di dalam
buah durian yaitu senyawa alkohol (Baldry, dkk. 1972). Alkohol diketahui
dapat menginduksi enzim sitokrom p450 yang merupakan enzim
pemetabolisme para-setamol sehingga menyebabkan metabolisme
parasetamol berlangsung lebih cepat (Prescot, 2000).
Kinetika absorpsi parasetamol pada penelitian ini juga dapat dikaji
dari parameter sekunder 𝑇maks dan 𝐶𝑝maks. Menurut literatur Parameter Ka
suatu obat sangat mempengaruhi nilai 𝑇maks dari obat tersebut, semakin
kecil nilai Ka maka semakin besar nilai Tmaks nya demikian sebaliknya
(Hakim L, 2010). Penurunan nilai Ka menujukkan bahwa obat diabsorpsi
secara lambat oleh tubuh, hal inilah yang menyebabkan penurunan nilai
Tmaks dan 𝐶𝑝maks parasetamol pada dosis 3, namun 𝐶𝑝maks dosis 1 dan 2
mengalami peningkatan, hal ini disebabkan oleh terjadinya penurunan
nilai volume distribusi pada dosis 1 dan 2. Selain itu, peningkatan nilai
𝐶𝑝maks ini ke-mungkinan juga dapat disebabkan oleh adanya siklus
enterohepatik parasetamol dalam tubuh, adanya parasetamol yang
memasuki siklus enterohepatik menye-babkan parasetamol terabsorpsi
secara signifikan sehingga meningkatkan kadar parasetamol dalam plasma.
Kinetika eliminasi parasetamol pada penelitian ini selain dapat dikaji dari
nilai parameter Vd dan klirens juga dapat dikaji dari parameter sekunder
Ke, 𝑇1/2, dan parameter turunan AUC. Parameter klirens sangat
mempengaruhi nilai parameter Ke dan 𝑇1/2, dimana semakin tinggi klirens
maka semakin tinggi pula harga Ke sehingga obat cepat tereliminasi dari
tubuh (𝑇1/2 rendah). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dimana
kelompok dosis 2 yang memiliki nilai klirens yang tinggi memiliki nilai
Ke yang tinggi pula sehingga memiliki nilai 𝑇1/2 terendah. Demikian
sebaliknya, kelompok 1 dan 3 yang memiliki nilai klirens terendah
memiliki nilai Ke yang rendah sehingga memiliki nilai 𝑇1/2 tertinggi.
Parameter AUC merupakan parameter yang mencerminkan jumlah
total obat aktif yang mencapai siklus sistemik. Nilai parameter AUC
sangat berkaitan erat dengan parameter volume distribusi (Vd), semakin
besar harga Vd suatu obat maka semakin kecil harga AUC obat tersebut
(Hakim L, 2010). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang me-
nunjukkan bahwa nilai Vd masing-masing kelompok uji berbanding
terbalik dengan nilai AUC nya, dimana dari tabel 1, dapat dilihat bahwa
kelompok kontrol PCT yang memiliki nilai AUC terkecil, memiliki nilai
Vd yang terbesar demikian sebaliknya.
3. Kesimpulan
Dari hasil diatas dapat disimpulkan bahwa jus buah durian dengan dosis 1,
2 dan 3 dapat mempengaruhi kinetika absorpsi dan eliminasi parasetamol yang
meliputi nilai pa-rameter Ka, 𝐶𝑝𝑚𝑎𝑘𝑠, 𝑇𝑚𝑎𝑘𝑠, Vd, Ke, AUC, 𝑇1/2, dan klirens
pada tikus putih (Rattus norvegicus L.) jantan galur wistar.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
1. Interaksi obat adalah kejadian di mana suatu zat mempengaruhi aktivitas
obat. Efek-efeknya bisa meningkatkan atau mengurangi aktivitas, atau
menghasilkan efek baru yang tidak dimiliki sebelumnya. Biasanya yang
terpikir oleh kita adalah antara satu obat dengan obat lain. Tetapi, interaksi
bisa saja terjadi antara obat dengan makanan, obat dengan herbal, obat
dengan mikronutrien, dan obat injeksi dengan kandungan infuse (Baxter,
2008)
2. Interaksi obat dan makanan berdasarkan fase farmasetis, yaitu Sekitar 80%
obat diberikan melaui mulut; oleh karena itu, farmasetik (disolusi) adalah
fase pertama dari kerja obat. Dalam saluran gastrointestinal, obat-obat
perlu dilarutkan agar dapat diabsorsi. Obat dalam bentuk padat (tablet atau
pil) harus didisintegrasi menjadi partikelpartikel kecil supaya dapat larut
ke dalam cairan, dan proses ini dikenal sebagai disolusi (Stadler, 2002).
Sedangkan berdasarkan Fase farmakokinetik adalah absorbsi, transport,
distribusi, metabolisme dan ekskresi obat. Interaksi obat dan makanan
paling signifikan terlibat dalam proses absorbsi. Obat-obatan yang dikenal
luas dapat mempengaruhi absorbsi zat gizi adalah obat-obatan yang
memiliki efek merusak terhadap mukosa usus. Antineoplastik,
antiretroviral, NSAID dan sejumlah antibiotik diketahui memiliki efek
tersebut (Larry, 1982). Dan Fase farmakodinamik mempelajari efek obat
terhadap fisiologi dan biokimia selular dan mekanisme kerja obat. Respons
obat dapat menyebabkan efek fisiologi primer atau sekunder atau kedua-
duanya. Efek primer adalah efek yang diinginkan, dan efek sekunder bisa
diinginkan atau tidak diinginkan (Bruyne, 2008).
3. Interaksi antara obat dengan kebutuhan gizi dapat berdampak pada
berbagai macam hal. Misalnya penggunaan obat tertentu, maka akan
mengurangi nutrisi dalam tubuh sehingga regulasi tubuh akan menurun,
atau dengan mengkonsumsi nutrisi tertentu akan meningkatkan efek suatu
obat lain sehingga dapat timbul efek yang berbahaya (Sinergisme) (Larry,
1982).
4. Berdasarkan hasil jurnal yang kami review yaitu Interaksi Obat dan
Makanan disimpulkan bahwa jus buah durian dengan dosis 1, 2 dan 3
dapat mempengaruhi kinetika absorpsi dan eliminasi parasetamol yang
meliputi nilai pa-rameter Ka, 𝐶𝑝𝑚𝑎𝑘𝑠, 𝑇𝑚𝑎𝑘𝑠, Vd, Ke, AUC, 𝑇1/2, dan
klirens pada tikus putih (Rattus norvegicus L.) jantan galur wistar.
3.2 Saran
Penulis mengharapkan makalah ini dapat menjadi salah sumber pengetahuan bagi
pembaca. Meskipun penulis menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan
makalah ini tetapi kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu penulis
perbaiki. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca
sangat penulis harapkan untuk perbaikan ke depannya.
Daftar Pustaka
De Bruyne Lk et all, 2008. Nutrition & Diet Theraphy
Center for Drug Evaluation and Research (CDER). 1999. In Vivo Drug
Metabolism/Drug Interaction Studies – Study Design, Data Analysis,
and Recommendations for Dosing and Labeling.
Larry K. Fry and Lewis D. Stegink Formation of Maillard Reaction Products in
Parenteral Alimentation Solutions. 1982. J. Nutr. 112: 1631-1637
Mahan LK, Escott-Stump S, editor. 2002. Krause’s Food, Nutrition & Diet
Therapy 12th ed. USA: Elsevier.
Stadler RH, Blank I, Varga N, Robert F, Hau J, Guy PA, Robert MC, Riediker S.
Acrylamide from Maillard reaction products. Nature. 2002 Oct
3;419(6906):449-50.
Harkness, R. 1989. Interaksi Obat. Bandung: Institut Teknologi Bandung,
Halaman 254, 287.
Hakim, L. 2010. Farmakokinetik. Yogyakarta: Bursa Ilmu, Halaman 12, 21-29,
34-39, 48, 69, 81, 85, 162, 164-165, 170, 362.
Shargel, L dan Yu, A. 2005. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan
Cetakan Kedua. Surabaya: Airlangga University Press, Halaman 21-
26, 31, 35-41, 45-49, 65, 107, 137-139, 147, 293, 295.
Forte, J. S. 2002. Paracetamol: Safety versus Toxicity. The Chronic Ill No. 6: 14.
Prescott, L. F. 2000. Paracetamol, Alcohol and the Liver. Br J Clin Pharmacol
49(4): 291.
Watari, N., Hanawa, M., Iwai, M dan Kaneniwa, N. 1984. Pharmacokinetics
Study of The Enterohepatic Circulation of Acetaminophen
Glucoronide in Rats. J Pharmacobiodyn 7(11): 811.
Baldry, J., Dougan, J dan Howard, G. E. 1972. Volatile Flavouring Constituents
of Durian. Phytochemistry Vol. 11: 2083.
Setiadi. 2008. Bertanam Durian Cetakan ke-XXV. Jakarta: Penebar Swadaya,
Halaman 4-7.
Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika, 2012. 1001 Manfaat Durian Untuk
Kesehatan.Universitas Tanjungpura: Pontianak.

Anda mungkin juga menyukai