Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH INTERAKSI OBAT

‘‘INTERAKSI OBAT DAN MAKANAN”

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 2

ANDI MONICA G70117193


INDIRA RISFARDANI G70118104
NUR AISYAH ABBAS G70118108
TIARA BELLINDA GRANDISYA G70118110
MA’RIFATUL SERIN AULIA G70119012
JUSRIANI G70119068
EKO SUPRAYITNO G70119092
ALMIRA AZZAHRIANTIKA G70119117
HABIBA ROSITA G70119129

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS TADULAKO

PALU

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan kemampuan kepada penyusun, sehingga dapat menyelesaikan
makalah ini dengan baik. Makalah ini disusun untuk memenuhi mata kuliah
Interaksi Obat. Sebelumnya, sebagai penyusun mengucapkan banyak terima kasih
kepada semua pihak, yang telah membantu penyusun dalam menyelesaikan tugas
ini.

Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari


kesempurnaan baik dari segi isi maupun penyusunannya. Oleh karena itu,
penyusun mohon adanya kritik dan saran yang sifatnya membangun demi
kesempurnaan makalah ini.

Demikian penyusunan makalah ini, atas bantuan dan dukungannya diucapkan


terima kasih.

Palu, 2 Desember 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………..
DAFTAR ISI…………………………..…………………………………………...

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang……………………………………………………………


1.2 Rumusan Masalah………………………………………………………...
1.3 Tujuan Penulisan Makalah……………………………………………….
1.4 Manfaat Penulisan Makalah……………………………………………...

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Definisi interaksi obat dan makanan ……………………………...…


2.2 Interaksi Obat dengan Makanan Fase Absorpsi ……………………………….…
2.3 Interaksi Obat dengan Makanan Fase Distribusi ………………………..
2.4 Interaksi Obat dengan Makanan Fase Metabolisme…………………….
2.5 Interaksi Obat dengan Makanan Fase Eksresi…………………………..
2.6 Efek Interaksi Obat Dan Makanan………………………………………
2.7 Contoh Interaksi Obat dan makanan …………………………………….

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan……………………………………………………………….
3.2 Saran……………………………………………………………………...

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Interaksi obat merupakan suatu faktor yang dapat mempengaruhi respon
tubuh terhadap pengobatan. Obat dapat berinteraksi dengan makanan atau
minuman, zat kimia atau dengan obat lain. Dikatakan terjadi interaksi apabila
makanan, minuman, zat kimia, dan obat lain tersebut mengubah efek dari
suatu obat yang diberikan bersamaan atau hampir bersamaan (Ganiswara,
2000). Beberapa obat sering diberikan secara bersamaan pada penulisan
resep, maka mungkin terdapat obat yang kerjanya berlawanan. Obat pertama
dapat memperkuat atau memperlemah, memperpanjang atau memperpendek
kerja obat kedua. Interaksi obat harus lebih diperhatikan, karena interaksi
obat pada terapi obat dapat menyebabkan kasus yang parah dan tingkat
kerusakan-kerusakan pada pasien, dengan demikian jumlah dan tingkat
keparahan kasus terjadinya interaksi obat dapat dikurangi (Mutschler, 1991).

Hubungan dan interaksi antara makanan, nutrien yang terkandung dalam


makanan dan obat saling mendukung dalam pelayanan kesehatan dan dunia
medis. Makanan dan nutrien spesifik dalam makanan, jika dicerna bersama
dengan beberapa obat, pasti dapat mempengaruhi seluruh ketersediaan hayati,
farmakokinetik, farmakodinamik dan efek terapi dalam pengobatan. Makanan
dapat mempengaruhi absorbsi obat sebagai hasil dari pengubahan dalam
saluran gastrointestinal atau interaksi fisika atau kimia antara partikel
komponen makanan dan molekul obat. Pengaruh tergantung pada tipe dan
tingkat interaksi sehingga absorbsi obat dapat berkurang, tertunda, tidak
terpengaruh atau meningkat oleh makanan yang masuk.

Oleh karena itu sangat penting bagi kita untuk mempelajari interkasi obat,
dengan mempelajari interaksi obat diharapkan dapat meminimalisir kesalahan
pengobatan.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut.

 Apa Definisi Interaksi obat dan makanan ?


 Bagaimanakah Interaksi Obat dengan Makanan Fase Absorpsi ?
 Bagaimanakah Interaksi Obat dengan Makanan Fase Distribusi ?
 Bagaimanakah Interaksi Obat dengan Makanan Fase Metabolisme?
 Bagaimanakah Interaksi Obat dengan Makanan Fase Eksresi?
 Bagaimana Efek dari Interaksi Obat Dan Makanan?
 Apa Contoh Interaksi Obat dan makanan?

1.3 Tujuan Penulisan Makalah


Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
 Untuk mengetahui Definisi interaksi obat dan makanan
 Untuk mengetahui Bagaimanakah Interaksi Obat dengan Makanan Fase
Absorpsi
 Untuk mengetahui Bagaimanakah Interaksi Obat dengan Makanan Fase
Distribusi
 Untuk mengetahui Bagaimanakah Interaksi Obat dengan Makanan Fase
Metabolisme
 Untuk mengetahui Bagaimanakah Interaksi Obat dengan Makanan Fase
Eksresi
 Untuk mengetahui Efek dari Interaksi Obat Dan Makanan.
 Untuk mengetahui Contoh Interaksi Obat dan makanan

1.4 Manfaat Makalah


Makalah ini disusun dengan harapan memberikan kegunaan, baik secara
teoritis maupun secara praktis mengenai pe njelasan Interaksi Obat dan
makanan.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Definisi interaksi obat dan makanan


Salah satu masalah yang ditimbulkan dalam pola peresepan pasien yang
dapat mempengaruhi outcome klinis pasien adalah interaksi obat. Interaksi
obat merupakan interaksi yang dapat terjadi apabila efek obat diubah oleh obat
lain, makanan, atau minuman. Interaksi obat ini dapat menyebabkan beberapa
masalah antara lain penurunan efek terapi, peningkatan toksisitas, atau efek
farmakologis yang tidak diharapkan. Mekanisme dari interaksi obat ini sendiri
dapat dibagi menjadi tiga : Interaksi farmasetik dimana interaksi ini terjadi
antara dua obat yang diberikan dalam waktu bersamaan yang biasanya terjadi
sebelum obat tersebut dikonsumsi. Interaksi farmakokinetik adalah interaksi
yang dapat terjadi ketika obat mempengaruhi proses absorpsi, distribusi,
metabolisme dan ekskresi (ADME) daripada obat lain, sehingga dampaknya
dapat meningkatkan atau mengurangi efek farmakologis salah satu dari obat
yang dikonsumsi tersebut, sedangkan interaksi farmakodinamik merupakan
interaksi yang dapat terjadi antar obat yang memiliki efek farmakologis,
antagonis, atau efek samping yang hampir sama. Interaksi obat berdasarkan
level signifikansi klinis atau tingkat keparahan dapat diklasifikasikan menjadi
tiga tingkatan yaitu minor jika interaksi mungkin terjadi tetapi bisa dianggap
tidak berbahaya, interaksi moderate dimana interaksi ini dapat terjadi sehingga
bisa meningkatkan efek samping obat. Interaksi mayor merupakan potensi
berbahaya dari interaksi obat yang dapat terjadi pada pasien sehingga cara
yang diperlukan adalah dilakukannya monitoring/intervensi. Adapun yang
dimaksud dengan potensi berbahaya adalah jika ada probabilitas tinggi dari
peristiwa yang dapat merugikan pasien dimana salah satu akibatnya dapat
menyebabkan kerusakan organ yang dapat membahayakan kehidupan pasien
( Agustin dan Fitrianingsih, 2020)

Interaksi obat dengan makanan adalah suatu kejadian dimana efek


terapi dari suatu obat dapat dipengaruhi oleh makan atau minuman.
Pengaruh interaksi obat ini berpotensi dapat meningkatkan efek dari obat yang
dipengaruhi atau sebaliknya dapat menurunkan efek dari obat yang di
pengaruhi (Alifiar I, 2016)

Tipe interaksi antara obat dan makanan ada dua yaitu interaksi makanan
terhadap obat dan interaksi obat terhadap makanan. Interaksi makanan dengan
obat terjadi jika makanan berada bersama dengan obat dalam saluran
pencernaan sehingga memberikan pengaruh terhadap bioavailabilitas,
farmakokinetik, farmakodinamik, serta efikasi terapi obat yang digunakan.
Keberadaan makanan mempengaruhi efikasi terapi karena kehadiran makanan
dalam saluran cerna atau peredaran darah dapat meningkatkan atau
menurunkan laju absorpsi dan metabolisme obat. Sedangkan Interaksi obat
terhadap makanan terjadi karena penggunaan obat berpengaruh secara
signifikan pada metabolisme dan bioavailabilitas makanan atau nutrisi dalam
tubuh dan mengubah persepsi rasa. Perubahan absorpsi dan metabolisme
makanan menyebabkan perubahan pada status nutrisi seseorang seperti
deplesi mineral, vitamin, atau gangguan berat badan. Nutrisi makanan
diperlukan oleh sistem enzim untuk berfungsi secara normal. Sistem enzim
yang bekerja dengan baik akan membantu metabolism obat berlangsung
dengan baik pula (Fajarwati Y, 2014).

2.2. Interaksi Obat dengan Makanan Fase Absorpsi


Obat-obat yang digunakan secara oral biasanya diserap dari saluran cerna
ke dalam sistem sirkulasi. Ada banyak kemungkinan terjadi interaksi selama
obat melewati saluran cerna. Absorpsi obat dapat terjadi melalui transport
pasif maupun aktif, di mana sebagian besar obat diabsorpsi secara pasif.
Proses ini melibatkan difusi obat dari daerah dengan kadar tinggi ke daerah
dengan kadar obat yang lebih rendah. Pada transport aktif terjadi perpindahan
obat melawan gradien konsentrasi (contohnya ion-ion dan molekul yang larut
air) dan proses ini membutuhkan energi. Absorpsi obat secara transport aktif
lebih cepat dari pada secara tansport pasif. Obat dalam bentuk tak-terion larut
lemak dan mudah berdifusi melewati membran sel, sedangkan obat dalam
bentuk terion tidak larut lemak dan tidak dapat berdifusi. Di bawah kondisi
fisiologi normal absorpsinya agak tertunda tetapi tingkat absorpsinya biasanya
sempurna.

Bila kecepatan absorpsi berubah, interaksi obat secara signifikan akan


lebih mudah terjadi, terutama obat dengan waktu paro yang pendek atau bila
dibutuhkan kadar puncak plasma yang cepat untuk mendapatkan efek.
Mekanisme interaksi akibat gangguan absorpsi antara lain :
a. Interaksi langsung
Interaksi yang terjadi secara langsung sebelum obat diabsopsi contohnya
adalah interaksi antibiotic (tetrasiklin, flurokuinolon) dengan besi (Fe) dan
antasida yang mengandung Al, Ca, Mg, terbentuk senyawa chelat yang
tidak larut sehingga obat antibiotic tidak diabsorpsi. Obat-obat seperti
digoksin, siklosporin, asam valproate menjadi inaktif jika diberikan
Bersama adsorben (kaolin, charcoal) atau anionk exchange resins
(kolestiramin, kolestipol).
b. Perubahan pH saluran cerna
Terjadinya perubahan pH cairan gastrointestinal, misalnya peningkatan pH
karena adanya antasida, penghambat-H2, ataupun penghambat pompa
protonakan menurunkan absorpsi basa-basa lemah (missal, ketokonazol,
itrakenazol) dan akan meningkatkan absorpsi obat-obat asam lemah
(misal, glibenklamid, glipizide, tolbutamide). Peningkatan pH cairan
gastrointestinal akan menurunkan absorpsi antibiotic golongan
sefalosporin seperti sefuroksim aksetil dan sefposoksim proksetin.
c. Pembentukan senyawa kompleks tak larut atau khelat, dan adsorsi
Interaksi antara antibiotik golongan fluorokinolon (siprofloksasin,
enoksasin, levofloksasin, lomefloksasin, norfloksasin, ofloksasin dan
sparfloksasin) dan ion-ion divalent dan trivalent (misalnya ion Ca2+ ,
Mg2+ dan Al3+ dari antasida dan obat lain) dapat menyebabkan
penurunan yang signifikan dari absorpsi saluran cerna, bioavailabilitas dan
efek terapetik, karena terbentuknya senyawa kompleks. Interaksi ini juga
sangat menurunkan aktivitas antibiotik fluorokuinolon. Efek interaksi ini
dapat secara signifikan dikurangi dengan memberikan antasida beberapa
jam sebelum atau setelah pemberian fluorokuinolon. Jika antasida benar-
benar dibutuhkan, penyesuaian terapi, misalnya penggantian dengan obat-
pbat antagonis reseptor H2 atau inhibitor pompa proton dapat dilakukan.
Beberapa obat antidiare (yang mengandung atapulgit) menjerap obat-obat
lain, sehingga menurunkan absorpsi. Walaupun belum ada riset ilmiah,
sebaiknya interval pemakaian obat ini dengan obat lain selama mungkin.
d. obat menjadi terikat pada sekuestran asam empedu (BAS : bile acid
sequestrant)
Kolestiramin dan kolestipol dapat berikatan dengan asam empedu dan
mencegah reabsorpsinya, akibatnya dapat terjadi ikatan dengan obat-obat
lain terutama yang bersifat asam (misalnya warfarin). Sebaiknya interval
pemakaian kolestiramin atau kolestipol dengan obat lain selama mungkin
(minimal 4 jam).
e. perubahan fungsi saluran cerna (percepatan atau lambatnya pengosongan
lambung, perubahan vaksularitas atau permeabilitas mukosa saluran cerna,
atau kerusakan mukosa dinding usus).

Di antara mekanisme di atas, yang paling signifikan adalah pembentukan


kompleks tak larut, pembentukan khelat atau bila obat terikat resin yang
mengikat asam empedu. Ada juga beberapa obat yang mengubah pH saluran
cerna (misalnya antasida) yang mengakibatkan perubahan bioavailabilitas obat
yang signifikan

2.3. Interaksi Obat dengan Makanan Fase Distribusi


Setelah obat diabsorpsi ke dalam sistem sirkulasi, obat di bawa ke tempat
kerja di mana obat akan bereaksi dengan berbagai jaringan tubuh dan atau
reseptor. Selama berada di aliran darah, obat dapat terikat pada berbagai
komponen darah terutama protein albumin. Obat-obat larut lemak mempunyai
afinitas yang tinggi pada jaringan adiposa, sehingga obat-obat dapat tersimpan
di jaringan adiposa ini. Rendahnya aliran darah ke jaringan lemak
mengakibatkan jaringan ini menjadi depot untuk obat-obat larut lemak. Hal ini
memperpanjang efek obat. Obatobat yang sangat larut lemak misalnya
golongan fenotiazin, benzodiazepin dan barbiturat.
Sejumlah obat yang bersifat asam mempunyai afinitas terhadap protein
darah terutama albumin. Obat-obat yang bersifat basa mempunyai afinitas
untuk berikatan dengan asam-αglikoprotein. Ikatan protein plasma (PPB :
plasma protein binding) dinyatakan sebagai persen yang menunjukkan persen
obat yang terikat. Obat yang terikat albumin secara farmakologi tidak aktif,
sedangkan obat yang tidak terikat, biasa disebut fraksi bebas, aktif secara
farmakologi. Bila dua atau lebih obat yang sangat terikat protein digunakan
bersama-sasam, terjadi kompetisi pengikatan pada tempat yang sama, yang
mengakibatkan terjadi penggeseran salah satu obat dari ikatan dengan protein,
dan akhirnya terjadi peninggatan kadar obat bebas dalam darah. Bila satu obat
tergeser dari ikatannya dengan protein oleh obat lain, akan terjadi peningkatan
kadar obat bebas yang terdistribusi melewati berbagai jaringan. Pada pasien
dengan hipoalbuminemia kadar obat bebas atau bentuk aktif akan lebih tinggi.

Asam valproat dilaporkan menggeser fenitoin dari ikatannya dengan


protein dan juga menghambat metabolisme fenitoin. Jika pasien
mengkonsumsi kedua obat ini, kadar fenitoin tak terikat akan meningkat
secara signifikan, menyebabkan efek samping yang lebih besar. Sebaliknya,
fenitoin dapat menurunkan kadar plasma asam valproat. Terapi kombinasi
kedua obat ini harus dimonitor dengan ketat serta dilakukan penyesuaian
dosis.

Obat-obat yang cenderung berinteraksi pada proses distribusi adalah obat-obat


yang :

a. persen terikat protein tinggi ( lebih dari 90%)


b. terikat pada jaringan
c. mempunyai volume distribusi yang kecil

d. mempunyai rasio eksresi hepatic yang rendah


e. mempunyai rentang terapetik yang sempit

f. mempunyai onset aksi yang cepat g. digunakan secara intravena.

Obat-obat yang mempunyai kemampuan tinggi untuk menggeser obat lain dari
ikatan dengan protein adalah asam salisilat, fenilbutazon, sulfonamid dan anti-
inflamasi nonsteroid.

2.4. Interaksi Obat dengan Makanan Fase Metabolisme


Untuk menghasilkan efek sistemik dalam tubuh, obat harus mencapai
reseptor, berarti obat harus dapat melewati membran plasma. Untuk itu obat
harus larut lemak. Metabolisme dapat mengubah senyawa aktif yang larut
lemak menjadi senyawa larut air yang tidak aktif, yang nantinya akan
diekskresi terutama melalui ginjal. Obat dapat melewati dua fase metabolisme,
yaitu metabolisme fase I dan II. Pada metabolisme fase I, terjadi oksidasi,
demetilasi, hidrolisa, dsb. oleh enzim mikrosomal hati yang berada di
endothelium, menghasilkan metabolit obat yang lebih larut dalam air. Pada
metabolisme fase II, obat bereaksi dengan molekul yang larut air (misalnya
asam glukuronat, sulfat, dsb) menjadi metabolit yang tidak atau kurang aktif,
yang larut dalam air. Suatu senyawa dapat melewati satu atau kedua
fasemetabolisme di atas hingga tercapai bentuk yang larut dalam air. Sebagian
besar interaksi obat yang signifikan secara klinis terjadi akibat metabolisme
fase I dari pada fase II.
a. Peningkatan metabolisme
Beberapa obat bisa meningkatkan aktivitas enzim hepatik yang terlibat
dalam metabolisme obat-obat lain. Misalnya fenobarbital meningkatkan
metabolisme warfarin sehingga menurunkan aktivitas antikoagulannya.
Pada kasus ini dosis warfarin harus ditingkatkan, tapi setelah pemakaian
fenobarbital dihentikan dosis warfarin harus diturunkan untuk
menghindari potensi toksisitas. Sebagai alternative dapat digunakan
sedative selain barbiturate, misalnya golongan benzodiazepine.
Fenobarbital juga meningkatkan metabolisme obat-obat lain seperti
hormone steroid.
Barbiturat lain dan obat-obat seperti karbamazepin, fenitoin dan
rifampisin juga menyebabkan induksi enzim. Piridoksin mempercepat
dekarboksilasi levodopa menjadi metabolit aktifnya, dopamine, dalam
jaringan perifer. Tidak seperti levodopa, dopamine tidak dapat melintasi
sawar darah otak untuk memberikan efek antiparkinson. Pemberian
karbidopa (suatu penghambat dekarboksilasi) bersama dengan levodopa,
dapat mencegah gangguan aktivitas levodopa oleh piridoksin,
b. Penghambatan metabolisme
Suatu obat dapat juga menghambat metabolisme obat lain, dengan
dampak memperpanjang atau meningkatkan aksi obat yang dipengaruhi.
Sebagai contoh, alopurinol mengurangi produksi asam urat melalui
penghambatan enzim ksantin oksidase, yang memetabolisme beberapa
obat yang potensial toksis seperti merkaptopurin dan azatioprin.
Penghambatan ksantin oksidase dapat secara bermakna meningkatkan
efek obat-obat ini. Sehingga jika dipakai bersama alopurinol, dosis
merkaptopurin atau azatioprin harus dikurangi hingga 1/3 atau ¼ dosis
biasanya. Simetidin menghambat jalur metabolisme oksidatif dan dapat
meningkatkan aksi obat-obat yang dimetabolisme melalui jalur ini
(contohnya karbamazepin, fenitoin, teofilin, warfarin dan sebagian besar
benzodiazepine).

Simetidin tidak mempengaruhi aksi benzodiazein lorazepam, oksazepam


dan temazepam, yang mengalami konjugasi glukuronida. Ranitidin
mempunyai efek terhadap enzim oksidatif lebih rendah dari pada
simetidin, sedangkan famotidin dan nizatidin tidak mempengaruhi jalur
metabolisme oksidatif. Eritromisin dilaporkan menghambat metabolisme
hepatik beberapa obat seperti karbamazepin dan teofilin sehingga
meningkatkan efeknya. Obat golongan fluorokuinolon seperti
siprofloksasin juga meningkatkan aktivitas teofilin, diduga melalui
mekanisme yang sama.
2.5. Interaksi Obat dengan Makanan Fase Ekskresi
Kecuali obat-obat anestetik inhalasi, sebagian besar obat diekskresi lewat
empedu atau urin. Darah yang memasuki ginjal sepanjang arteri renal, mula-
mula dikirim ke glomeruli tubulus, dimana molekul-molekul kecil yang cukup
melewati membran glomerular (air, garam dan beberapa obat tertentu)
disaring ke tubulus. Molekul-molekul yang besar seperti protein plasma dan
sel darah ditahan. Aliran darah kemudian melewati bagian lain dari tubulus
ginjal dimana transport aktif yang dapat memindahkan obat dan metabolitnya
dari darah ke filtrat tubulus. Sel tubulus kemudian melakukan transport aktif
maupun pasif (melalui difusi) untuk mereabsorpsi obat. Interaksi bis terjadi
karena perubahan ekskresi aktif tubuli ginjal,

perubahan pH dan perubahan aliran darah ginjal.


a. Perubahan ekskresi aktif tubuli ginjal
b. perubahan pH urin
c. Perubahan aliran darah ginjal

2.6. Efek Interaksi Obat Dan Makanan


Interaksi antara obat dan makanan disini dapat dibagi menjadi :
1. Obat dan penurunan nafsu makan
Efek samping obat atau pengaruh obat secara langsung, dapat
mempengaruhi nafsu makan. Kebanyakan stimulan CNS dapat
mengakibatkan anorexia. Efek samping obat yang berdampak pada
gangguan CNS dapat mempengaruhi kemampuan dan keinginan untuk
makan. Obat-obatan penekan nafsu makan dapat menyebabkan terjadinya
penurunan berat badan yang tidak diinginkan dan ketidakseimbangan
nutrisi (Mahan, 2002).
2. Obat dan perubahan pengecapan atau penciuman
Banyak obat yang dapat menyebabkan perubahan terhadap kemampuan
merasakan dysgeusia, menurunkan ketajaman rasa hypodysgeusia. Gejala-
gejala tersebut dapat mempengaruhi intake makanan. Obat-obatan yang
umum digunakan dan diketahui menyebabkan hypodysgeusia seperti: obat
antihipertensi (captopril), antriretroviral ampenavir, antineoplastik
cisplastin, dan antikonvulsan phenytoin (Mahan, 2002).
3. Obat dan gangguan gastrointestinal
Obat dapat menyebabkan perubahan pada fungsi usus besar dan hal ini
dapat berdampak pada terjadinya konstipasi atau diare. Obat-obatan
narkosis seperti kodein dan morfin dapat menurunkan produktivitas tonus
otot halus dari dinding usus. Hal ini berdampak pada penurunan peristaltik
yang menyebabkan terjadinya konstipasi (Lulukria, 2010).
4. Absorbsi
Obat-obatan yang dikenal luas dapat mempengaruhi absorbsi zat gizi
adalah obat-obatan yang memiliki efek merusak terhadap mukosa
usus. Antineoplastik, antiretroviral, NSAID dan sejumlah antibiotik
diketahui memiliki efek tersebut. Mekanisme penghambatan absorbsi
tersebut meliputi: pengikatan antara obat dan zat gizi (drug-nutrient
binding) contohnya Fe, Mg, Zn, dapat berikatan dengan beberapa jenis
antibiotik; mengubah keasaman lambung seperti pada antacid dan
antiulcer sehingga dapat mengganggu penyerapan B12, folat dan besi;
serta dengan cara penghambatan langsung pada metabolisme atau
perpindahan saat masuk ke dinding usus (Lulukria, 2010).
5. Metabolisme
Obat-obatan dan zat gizi mendapatkan enzim yang sama ketika sampai
di usus dan hati. Akibatnya beberapa obat dapat menghambat aktifitas
enzim yang dibutuhkan untuk memetabolisme zat gizi. Sebagai
contohnya penggunaan metotrexate pada pengobatan kanker
menggunakan enzim yang sama yang dipakai untuk mengaktifkan
folat. Sehingga efek samping dari penggunaan obat ini adalah
defisiensi asam folat (Lulukria, 2010).
6. Ekskresi
Obat-obatan dapat mempengaruhi dan mengganggu eksresi zat gizi
dengan mengganggu reabsorbsi pada ginjal dan menyebabkan diare
atau muntah. Sehingga jika dirangkum, efek samping pemberian obat-
obatan yang berhubungan dengan gangguan GI (gastrointestinal) dapat
berupa terjadinya mual, muntah, perubahan pada pengecapan, turunnya
nafsu makan, mulut kering atau inflamasi/ luka pada mulut dan saluran
pencernaan, nyeri abdominal (bagian perut), konstipasi dan diare. Efek
samping seperti di atas dapat memperburuk konsumsi makanan si
pasien. Ketika pengobatan dilakukan dalam waktu yang panjang tentu
dampak signifikan yang memperngaruhi status gizi dapat terjadi
(Bruyne, 2008).

2.4. Contoh Interaksi Obat dan makanan


No OBAT OBJEK MEKANISME EFEK AKIBAT PENANGANAN
PRAECIPITA OBAT INTERAKSI
N OBAT
1. Tetrasiklin Susu Membentuk Penurunan Gagal Hindari konsumsi
ikatan kompleks ketersediaan terapi susu dan
yang sulit di hayati makanan/
absorbsi saluran minuman
cerna berkalsium tinggi
selama terapi
2. Levodopa Makanan Menghambat Mengurangi Menurunk Beri selang waktu
berprotein efektivitas transpor ke an khasiat 1 jam
Levodopa otak
3. Teofilin Makanan Membuka jalan Nafas tidak Kemungki Hindari konsumsi
berlemak di paru – paru beraturan nan kafein
dan kopi toksisitas
4. Acetaminophen Karbohidr Membentuk Memperlam Lama Minum
at ikatan kompleks bat absorbsi waktu Acetaminophen 1
yang terapi jam sesudah
memperlambat makan
kecepatan awal
absorbsi
Acetaminophen
5. Quinidin Makanan Efek alkali Jantung Gagal Hentikan
diet yang menghambat berderbar, terapi program diet dan
bersifat ekskresi sakit kepala, jaga pola makan
alkali Quinidin gangguan yang baik
penglihatan
6. Penicillin Air jeruk Menyebabkan Penurunan Gagal Hindari konsumsi
atau sari dekomposisi ketersediaan terapi makanan/
buah asam dari preparat hayati minuman asam
Penicillin selama terapi
7. Lithum Carbonat Makanan Toksisitas Meningkatka Gagal Hentikan
diet kurang Lithium akan n toksisitas terapi program diet
garam meningkat hingga garam, dan
toksisitas kontrol konsumsi
garam
secukupnya
8. Phenytoin Makanan Meningkatkan Lemah, kaku Kemungki Hentikan makan
mengandu absorbsi dari pada leher nan makanan ber-
ng MSG MSG dan toksisitas MSG
punggung,
serta palpitasi
9. Digoxin Susu dan Mengurangi Aritmia Gagal Hindari konsumsi
makanan efek digoxin jantung terapi susu dan
berserat makanan/
minuman
berkalsium tinggi
selama terapi
10. Bisacodyl Susu Peningkatan pH Penurunan Gagal Hindari konsumsi
yang ketersediaan terapi susu dan
menyebabkan hayati makanan/
disintegrasi minuman
salut/ lapisan berkalsium tinggi
enterik dari selama terapi
tablet Bisacodyl
BAB III

PENUTUP

3.1. KESIMPULAN

Interaksi obat dengan makanan adalah suatu kejadian dimana efek terapi
dari suatu obat dapat dipengaruhi oleh makan atau minuman. Pengaruh
interaksi obat ini berpotensi dapat meningkatkan efek dari obat yang
dipengaruhi atau sebaliknya dapat menurunkan efek dari obat yang di
pengaruhi.

Tipe interaksi antara obat dan makanan ada dua yaitu interaksi makanan
terhadap obat dan interaksi obat terhadap makanan. Interaksi makanan
dengan obat terjadi jika makanan berada bersama dengan obat dalam saluran
pencernaan sehingga memberikan pengaruh terhadap bioavailabilitas,
farmakokinetik, farmakodinamik, serta efikasi terapi obat yang digunakan.

3.2. SARAN

selesainya makalah ini tidak lepasnya dari banyaknya kekurangan-


kekurangan pembahasanya dikarenakan oleh pengetahuan kami yang
terbatas, oleh karena itu untuk kesempurnaan makalah ini kami sangat
membutuhkan saran-saran dan masukan yang bersifat membangun kepada
semua pembaca. Sebaiknya gunakanlah obat sesuai anjuran dokter, dan
pergunakanlah obat tersebut sesuai dengan penyakit yang diderita jangan
menggunakan obat kurang atau melebihi batasnya.
DAFTAR PUSTAKA

Alifiar I. (2016). Gambaran Potensi Interaksi Obat Dengan Makanan Pada


Pasien Hepar yang di Rawat di Sebuah Rumah Sakit di Kota
Tasikmalaya. Tasikmalaya : Jurnal Surya Medika, Volume 2, Nomor 1.

Agustin dan Fitrianingsih. (2020). Kajian Interaksi Obat Berdasarkan Kategori


Signifikasi Klinis Terhadap Pola Peresepan Pasien Rawat Jalan di
Apotek X Jambi. Jambi : e-SEHAD volume 1, Nomor 1.

Bruyne, L. K., et al., (2008). Nutrition and Diet Therapy. USA: Thompson

Boullata, Joseph I, Armenti, Vincent T.(Eds 10) Handbook Of Drug Nutrient


Interaction. Humana Press, Totowa

Fajarwati Y. (2014). Interaksi Obat Dengan Makanan. Sumedang : UNPAD


Respiratory.

Muttschler,Ernest, (1999). Dinamika Obat : Farmakologi dan Toksikologi.


Penerbit ITB: Bandung.

Mahan K. dan Escott-Stump. (2008). Food, Nutrition, and Diet Therapy. USA:
W.B Saunders Company.

Retno. G. (2008). Interaksi obat dan beberapa implikasinya. Media litbang


Kesehatan volume XVIII nomor 4.

Anda mungkin juga menyukai