PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Peristiwa interaksi obat terjadi sebagai akibat penggunaan bersama-sama dua macam obat atau
lebih. Interaksi ini dapat menghasilkan effek yang menguntungkan tetapi sebaliknya juga dapat
menimbulkan effek yang merugikan atau membahayakan.
Meningkatnya kejadian interaksi obat dengan effek yang tidak diinginkan adalah akibat makin
banyaknya dan makin seringnya penggunaan apa yang dinamakan Polypharmacy atau
Multiple Drug Therapy .
Sudah kita maklumi bersama bahwa biasanya penderita menerima resep dari dokter yang
memuat lebih dari dua macam obat. Belum lagi kebiasaan penderita yang pergi berobat ke
beberapa dokter untuk penyakit yang sama dan mendapat resep obat yang baru. Kemungkinan
lain terjadinya interaksi obat adalah akibat kebiasaan beberapa penderita untuk mengobati diri
sendiri
dengan
obat-obatan
yang
dibeli
di
toko-toko
obat
secara
bebas.
Interaksi obat yang tidak diinginkan dapat dicegah bila kita mempunyai pengetahuan
farmakologi tentang obat-obat yang dikombinasikan. Tetapi haruslah diakui bahwa pencegahan
itu tidaklah semudah yang kita sangka, mengingat jumlah interaksi yang mungkin terjadi pada
orang
penderita
yang
menerima
pengobatan
polypharmacy
cukup
banyak.
tugas
yang
diberikan
dosen
mata
kuliah
Interaksi
Obat
ibu
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
Obat obyek, yakni obat yang aksinya atau efeknya dipengatuhi atau diubah oleh obat lain.
Obat presipitan (precipitan drug), yakni obat yang mempengaruhi atau mengubah aksi
atau efek obat lain.
Obat-obat di mana perubahan sedikit saja terhadap dosis (kadar obat) sudah akan
menyebabkan perubahab besar pada efek klinik yang timbul. Secara farmakologi obat-obat
seperti ini sering dikatakan sebagai obat-obat dengan kurva dosis respons yang tajam (curam;
steep dose response curve). Perubahan, misalnya dalam hal ini pengurangan kadar sedikit saja
sudah dapat mengurangi manfaat klinik (clinical efficacy) dari obat.
b.
Obat-obat dengan rasaio toksis terapik yang rendah (low toxic:therapeutic ratio), artinya
antara dosis toksik dan dosis terapetik tersebut perbandinganya (atau perbedaanya) tidak besar.
Kenaikan sedikit saja dosis (kadar) obat sudah menyebabkan terjadinya efek toksis.
Kedua ciri obat obyek di atas, yakni apakah obat yang manfaat kliniknya mudah dikurangi atau
efek toksiknya mudah diperbesar oleh obat presipitan, akan saling berkaitan dan tidak berdiri
sendiri-sendiri. Obat-obat seperti ini juga sering dikenal dengan obat-obat dengan
lingkupterapetik yang sempit (narrow therapeutic range).
Obat-obat yang memenuhi ciri-ciri di atas dan sering menjadi obyek interaksi dalam klinik
meliputi,
3
antikoagulansia: warfarin,
antihipertensi,
antibiotika aminoglikosida,
obat-obat sitotoksik,
Obat-obat dengan ikatan protein yang kuat, oleh karena dengan demikian akan menggusur
ikatan-ikatan protein obat lain yang lebih lemah. Obat-obat yang tergusur ini (displaced)
kemudian kadar bebasnya dalam darah akan meningkat dengan segala konsekuensinya, terutama
meningkatnya efek toksik. Obat-obat yang masuk di sini misalnya aspirin, fenilbutazon, sulfa
dan lain lain.
b.
enzim yang memetabolisir obat dalam hati. Obat-obat yang punya sifat sebagai perangsang
enzim (enzyme inducer) misalnya rifampisin, karbamasepin, fenitoin, fenobarbital dan lain-lain
akan mempercepat eliminasi (metabolisme) obat-obat yang lain sehingga kadar dalam darah
lebih cepat hilang. Sedangkan obat-obat yang dapat menghambat metabolisme (enzyme
4
Obat-obat yang dapat mempengaruhi /merubah fungsi ginjal sehingga eliminasi obat-obat
lain dapat dimodifikasi. Misalnya probenesid, obat-obat golongan diuretika dan lain-lain. Ciriciri obat presipitan tersebut adalah kalau kita melihat dari segi interaksi farmakokinetika, yakni
terutama pada proses distribusi (ikatan protein), metabolisme dan ekskresi renal. Masih banyak
obat-obat lain diluar ketiga ciri ini tadi yang dapat bertindask sebagai obat presipitan dengan
mekanisme yang berbeda-beda.
Pada dasarnya Interaksi Obat dapat digolongkan menjadi 3 macam, yaitu :
1. INTERAKSI FARMASETIK
Interaksi ini adalah interaksi fisiko-kimia yang terjadi pada saat obat diformulasikan / disiapkan
sebelum obat digunakan oleh penderita.Misalnya interaksi antara obat dan larutan infus IV yang
dicampur bersamaan dapat menyebabkan pecahnya emulsi atau terjadi pengendapan.Bentuk
interaksi ini ada 2 macam :Interaksi secara fisik : misalnya terjadi perubahan kelarutanInteraksi
secara khemis : misalnya terjadi reaksi satu dengan yang lain atau terhidrolisisnya suatu obat
selama dalam proses pembuatan ataupun selama dalam penyimpanan.
Beberapa tindakan hati-hati (precaution) untuk menghindari interaksi farmasetik ini mencakup :
Jangan memberikan suntikan campuran obat kecuali kalau yakin betul bahwa tidak ada
interaksi antar masingmasing obat.
Selalu perhatikan petunjuk pemberian obat dari pembuatnya (manufacturer leaflet), untuk
melihat peringatanperingatan pada pencampuran dan cara pemberian obat (terutama
untuk obat-obat parenteral misalnya injeksiinfus dan lain-lain)
Sebelum memakai larutan untuk pemberian infus, intravenosa atau yang lain, perhatikan
bahwa tidak ada perubahan warna, kekeruhan, presipitasi dan lain-lain dari larutan.
5
Siapkan larutan hanya kalau diperlukan saja. Jangan menimbun terlalu lama larutan yang
sudah dicampur, kecuali untuk obat-obat yang memang sudah tersedia dalam bentuk
larutan seperti metronidazol , lidakoin dan lain-lain.
Botol ifus harus selalu diberi label tentang jenis larutannya, obat-obat yang sudah
dimasukkan, termasuk dosis dan dan waktunya.
Jika harus memberi per infus dua macam obat, berikan lewat 2 jalur infus, kecuali kalau
yakin tidak ada interaksi. Jangan ragu-ragu konsul apoteker rumah sakit.
2. INTERAKSI FARMAKOKINETIKA
Interaksi ini adalah akibat perubahan-perubahan yang terjadi pada absorbsi, metabolisme,
distribusi dan ekskresi sesuatu obat oleh obat lain. Dalam kelompok ini termasuk interaksi dalam
hal mempengaruhi absorbsi pada gastrointestinal, mengganggu ikatan dengan protein plasma,
metabolisme dihambat atau dirangsang dan ekskresi dihalangi atau dipercepat.
a. Interaksi dalam proses absorpsi
Interaksi dalam proses absorpsi dapat terjadidengan berbagai cara misalnya :
Kelasi yakni pengikatan molekul obat-obat tertentu oleh senyawa logam sehingga
absorpsi akan dikurangi, oleh karena terbentuk senyawa kompleks yang tidak diabsorpsi.
Misalnya kelasi antara tetrasiklin dengan senyawasenyawa logam berat akan menurunkan
absorpsi tetrasiklin. Makanan juga dapat mengubah absorpsi obat-obat tertentu, misalnya:
umumnya antibiotika akan menurun absorpsinya bila diberikan bersama dengan makanan
darah dengan segala konsekuensinya, terutama terjadinya peningkatan efek toksik. Sebagai
contoh, misalnya meningkatnya efek toksik dari antikoagulan warfarin atau obatobat
hipoglikemik (tolbutamid, kolrpropamid) karena pemberian bersamaan dengan fenilbutason,
sulfa atau aspirin. Hampir sama dengan interaksi ini adalah dampak pemakaian obat-obat dengan
ikatan protein yang tinggi pada keadaan malnutrisi (hipoproteinemia). Karena kadar protein
rendah, maka obat-obat dengan ikatan protein yang tinggi akan lebih banyak dalam keadaan
bebas karena kekurangan protein untuk mengikat obat sehingga dengan dosis yang sama akan
memberikan kadar obat bebas yang lebih tinggi dengan akibat meningkatnya efek toksik.
Disamping itu interaksi dalam proses distribusi dapat terjadi bila terjadi perubahan kemampuan
transport atau uptake seluler suatu obat oleh karena obat-obat lain. Misalnya obat-obat
antidepresan trisiklik atau fenotiasin akan menghambat transport aktif ke akhiran saraf simpatis
dari obat-obat antihipertensif (guanetidin, debrisokuin), sehingga mengurangi/menghilangkan
efek antihipertensi.
Interaksi dalam proses metabolisme Interaksi dalam proses metabolisme dapat terjadi dengan
dua kemungkinan, yaitu :
1)
Suatu obat (presipitan) dapat memacu metabolisme obat lain (obat obyek) sehingga
mempercepat eliminasi obat tersebut. Kenaikan kecepatan eliminasi (pembuangan atau
inaktivasi) akan diikuti dengan menurunnya kadar obat dalam darah dengan segala
konsekuensinya. Obat-obat yang dapat memacu enzim metabolisme obat disebut sebagai enzyme
inducer.
Dikenal beberapa obat yang mempunyai sifat pemacu enzim ini yakni:
Rifampisin,
Dari berbagai reaksi metabolisme obat, maka reaksi oksidasi fase I yang dikatalisir oleh enzim
sitokrom P-450 dalam mikrosom hepar yang paling banyak dan paling mudah dipicu.
7
2)
Metabolisme suatu obat juga dapat dihambat oleh obat lain. Obat-obat yang punya kemampuan
untuk menghambat enzim yang memetabolisir obat lain dikenal sebagai penghambat enzim
(enzyme inhibitor). Akibat dari penghambatan metabolisme obat ini adalah meningkatnya kadar
obat dalam darah dengan segala konsekuensinya, oleh karena terhambatnya proses eliminasi
obat. Obat-obat yang dikenal dapat menghambat aktifitas enzim metabolisme obat adalah:
kloramfenikol
isoniazid
simetidin
propanolol
eritromisin
fenilbutason
alopurinol, dll.
Tergantung dari jenis obat obyek yang mengalami interaksi, yakni terutama obat dengan lingkup
terapi yang sempit, maka interaksi metabolisme dapat membawa dampak merugikan. Umumnya
secara ringkas dapat dikatakan bahwa :
Pemacuan enzim akan berakibat kegagalan terapi, karena kadar optimal tidak tercapai.
menguntungkan secara terapetik. Klinidin juga menghambat sekresi aktif digoksin dengan akibat
peningkatan kadar digoksin dalam darah, kira-kira sampai 2 kali, sehingga terjadi peningkatan
kejadian efek toksik digoksin. Salisilat menghambat sekresi aktif metotreksat. Obat-obat
diuretika menyebabkan retensi lithium karena hambatan pada proses ekskresinya. Furosemid
juga dapat meningkatkan efek toksik ginjal dari aminoglikosida,kemungkinan oleh karena
perubahan ekskresi aminoglkosida.
3. INTERAKSI FARMAKODINAMIK.
Interaksi ini terjadi bila sesuatu obat secara langsung merubah aksi molekuler atau kerja
fisiologis obat lain. Kemungkinan yang dapat terjadi :
1. Obat-obat tersebut menghasilkan kerja yang sama pada satu organ sinergisme).
2. Obat-obat tersebut kerjanya saling bertentangan ( antagonisme ).
3. Obat-obat tersebut bekerja independen pada dua tempat terpisah.
Interaksi
farmakodinamik
berbeda
dengan
interaksi
farmakokinetik.
Pada
interaksi
farmakokinetik terjadi perubahan kadar obat obyek oleh karena perubahan pada proses absorpsi,
distribusi, metabolisme dan ekskresi obat. Pada interaksi farmakodinamik tidak terjadi perubahan
kadar obat obyek dalam darah. Tetapi yang terjadi adalah perubahan efek obat obyek yang
disebabkan oleh obat presipitan karena pengaruhnya pada tempat kerja obat. Interaksi
farmakodinamik dapat dibedakan menjadi, \ Interaksi langsung (direct interaction) \ Interaksi
tidak langsung (indirect interaction)
1. Interaksi langsung
Interaksi langsung terjadi apabila dua obat atau lebih bekerja pada tempat atau reseptor yang
sama, atau bekerja pada tempat yang berbeda tetapi dengan hasil efek akhir yang sama atau
hampir sama. Interaksi dua obat pada tempat yang sama dapat tampil sebagai antagonisme atau
sinergisme. Interaksi langsung ini dapat terbagi lebih lanjut sebagai berikut :
2)
Sinergisme adalah interkasi di mana efek dua obat yang bekerja pada tempat yang sama saling
memperkuat. Walaupun banyak contoh interaksi yang merugikan dengan mekanisme ini tetapi
banyak pula interaksi yang menguntungkan secara terapetik.
Contoh-contoh interaksi ini, misalnya:
Efek obat pelemas otot depolarisasi (depolarizing muscle relaxants) akan diperkuat/
diperberat oleh antibiotika aminoglikosida, kolistin dan polimiksin karena keduanya
bekerja pada tempat yang sama yakni pada motor end plate otot seran lintang.
3)
Sinergisme pada tempat yang berbeda dari efek yang sama atau hampir sama.
Obat-obat dengan efek akhir yang sama atau hampir sama, walaupun tempat kerja ata
reseptornya berlainan, kalau diberikan bersamaan akan memberikan efek yang saling
memperkuat. Misalnya :
10
Antara berbagai obat yang punya efek yang sama terhadap susunan saraf pusat, misalnya
depresi susunan saraf pusat.
Obat-obat yang menurunkan kadar kalium akan menyebabkan peningkatan efek toksik
glikosida jantung digoksin. Efek toksik glikosida jantung ini lebih besar pada keadaan
hipokalemia. Tetapi sebaliknya hipokalemia akan mengurangi efek klinik obat-obat
antiaritmia seperti lidokain, prokainamid, kinidin, dan fenitoin. Obat presipitan yang
mengurangi kadar kalium terutama adalah diuretika.
Efek diuresis obat-obat diuretika tertentu seperti furosemid akan berkurang bila diberikan
bersama dengan obat obat antiinflamasi non-steroid seperti aspirin, fenilbutason,
ibuprofen, indometasin, dll. Kemungkinan oleh karena penghambatan simtesis
prostaglandin oleh obat-obat presipitan tersebut, yang sebenarnya diperlukan untuk
menimbulkan efek diuretika furosemid.
11
Interaksi obat cukup penting untuk diperhatikan namun cenderung terlupakan karena banyak
terlalu fokus pada penyakit yang kompleks sehingga melupakan obat-obat tersebut dapat
berinteraksi satu dengan yang lain. Interaksi obat kerap terjadi akibat penggunaan banyak obat,
sehingga membahayakan nyawa pasien itu sendiri.
Interaksi yang kerap terjadi biasanya adalah interaksi farmakodinamik dan interaksi
farmakokinetik. Farmakodinamik dapat diartikan efek obat terhadap tubuh sedangkan
farmakokinetik adalah nasib obat dalam tubuh. Contoh interaksi farmakodinamik adalah
interaksi antara 2 atau lebih obat yang mengakibatkan adanya kompetensi dalam pendudukan
reseptor sehingga meniadakan salah satu efek dari obat yang digunakan.
Sedangkan contoh dari interaksi farmakokinetik adalah interaksi yang 2 obat atau lebih yang
mengakibatkan obat tertentu cepat dibuang dalam tubuh atau lambat dibuang dalam tubuh,
akibatnya waktu paruh obat menjadi berbeda dari biasanya.
Akibat dari interaksi obat :
Efek Sinergis : 1 + 1 = 10
Obat A dan obat B digunakan bersamaan sehingga memberikan efek yang berlipat ganda.
Efek Antagonis : 1 + 1 = 1
Obat A dan obat B digunakan bersamaan sehingga memberikan efek meniadakan salah
satu dari efek obat.
Efek Additif : 1 + 1 = 2
Obat A dan obat B digunakan bersamaan sehingga memberikan efek ganda.
Dalam menyikapi interaksi obat ini, hal2 yang perlu diakali adalah cara pencegahan terjadinya
interaksi dengan memainkan waktu pemberian obat, misal Obat A diberikan pada jam 8 dan
obat B diberikan pada jam 12.
Ada juga teknik-teknik lain dalam mengakali adalah meningkatkan / menurunkan dosis
pemberian obat ketika waktu pemberian obat tidak dapat diubah. Misal dosis obat A karena dapat
dinetralkan oleh obat B maka dosis obat A diberikan berlebih.
12
BAB III
PEMBAHASAN
III.1. Interaksi Obat Gastrointestinal
Interaksi gastrointestinal adalah interaksi dua/lebih obat yang diberikan secara bersamaan yang
terjadi di dalam saluran pencernaan. Interaksi gastrointestinal umumnya mempengaruhi proses
absorpsi obat, sehingga dapat digolongkan dalam interaksi absorpsi yang merupakan bagian dari
interaksi farmakokenetik. Seperti halnya interaksi obat lainnya, interaksi gastrointestinal juga
ada yang menguntungkan dan ada yang membahayakan.
Secara garis besar interaksi ini dapat menjadi menjadi 2 golongan yaitu:
13
3. Perubahan waktu pengosongan lambung dan waktu transit dalam usus (motilitas saluran
cerna)
Umumnya obat diabsorpsi di dalam usus, dimana absorpsi di usus jauh lebih cepat dibandinkan
di lambung. Oelh karena itu makin cepat obat sampai ke usus makamakin cepat juga diabsorpsi.
Obat-obat yang memperpendek waktu pengosongan lambung akan mempercepat absorpsi obat
lain yang diberikan secara bersamaan dan begitu juga sebaliknya obat yang memperpanjang
waktu pengosongan lambung akan memperlambat absorpsi obat lain.
Contoh : Metoklopramid yang akan mempercepat absorpsi parasetamol, diazepam dan propanolo
dan obat antikolinergik, antidepresi trisiklik, beberapa antihistamin antacid gram Al dan
analgetik narkotik akan memperlambat absorpsi obat lain.
4. Perubahan Flora usus.
Secara normal flora usus berfungsi sebagai sebagai:
Pemberian
antibiotic
spectrum
luas
(seperti
tetrasiklin,
kloranfenikol,
1. Selain menghambat absorpsi obat, ada juga obat-obat yang tertentu yang absorpsinya
lebih cepat dan sempurna jika diberikan bersama makanan, Misal: spironolakton atau
feniton absorpsinya lebih cepat diberikan bersama makanan dan absorpsi griseofulvin
(bersiafat lipofil) akan mengikat jika diberikan bersama makanan yang banyak
mengandung lemak.
III.3. Cara mengatasi Interaksi Gastrointestinal.
Interaksi obat dapat diatasi jika mengetahui farmakologi dari obat tersebut, baik secara
farmakokinetik maupun secara farmakodinamik. Secara farmakokinetik: seperti bagaimana dan
dimana obat diabsorpsi, didistribusikan, dimetabolisme, dan diseksresikan. Sedangkan secara
farmakodinamik: kita harus tahu mekanisme kerja dari obat serta reseptor yang akan berikatan
dengan obat tersebut. Jika kita sudah memahami tersebut, maka kita dapat mengasumsikan nama
obat yang boleh diberikan secara bersamaan dan mana yang tidak.
Untuk interaksi yang terjadi dalam gastrointestinal dapat diatasi dengan pemberian obat secara
selang waktu tergantung mana yang lebih dibutuhkan oelh pasien. Misalnya seorang pasien
mendapat resep dari dokter yang isisnya antasida dan digoksin, maka kita lihat bahwa pasien
lebih membetuhkan digoksin dibandingkan antacid. Untuk menghidari terjadinya interaksi antara
antacid dengan digoksin mana digoksin diminum terlebih dahulu, 1-2 jam berselang baru
antacid.
BAB IV
16
PENUTUP
IV.1. Kesimpulan
Interaski obat/ drugs interaction adalah peristiwa di mana aksi suatu obat diubah atau
dipengaruhi oleh obat lain diberikan bersamaan. Atau dapat juga didefinisikan sebagai
modifikasi efek satu obat akibat obat lain yang diberikan bersamaan: atau apabila dua atau lebih
obat berinteraksi sedemikian rupa sehingga efektivitas atau toksisitas satu obat/lebih berubah.
Berdasarkan mekanismenya interaksi dibagi menjadi 3 tipe ; yatiu interaksi farmasetik, interaksi
farmakokinetik dan interaksi farmakodinamik. Interaksi gastrointestinal termasuk ke dalam
interaksi farmakokinetik yang mempengaruhi kecepatan absopsi dari suatu obat interaksi ini
dapat terjadi antara obat dengan obat lain atau obat dengan makanan.
Pada interaksi gastrointestinal ada beberapa factor dan mekanisme kerja terjadinya interaksi
obat; yaitu:
Terjadinya interaksinya langsung antara obat yang satu dengan yang lain, seperti :
terbentuknya kompleks, teradsorpsinya obat yang satu oleh obat lain, dll Contoh :
tetrasiklin dengan antasida
Terjadinya perubahan flora usus, dimana obat tertentu dapat merubah fungsi normal dari
flora usus. Contoh : antibiotic spectrum luas dengan antikoagulan oral yang
meningkatkan penfdarahan.
Obat precipitant
(A)
Antasid,sediaan FE, Supplement.
Kolestiramin,Kortikosteroid,tiroksin
NaHCO3
NaHCO3
Abtasid
Vitamin C
Obat object
Mekanisme
(B)
interaksi
Tetrasiklin
Interaksi langsung,
terjadi
pembentukan
kompleks/ khelat
Digoksin,
Reaksi
digitoksin
lansung:obat objek
diikat oleh obat
precipitant.
Digoksin,
Interaksi
Linkomosin langsung:objek
diadsorpsi oleh
obat precipitant.
Rifampisin
Interaksi langsung;
obat objek
diadsorpsi oleh
obat precipitant
Aspirin
Perubahan Ph
cairan saluran
cerna
Tetrasiklin
Perubahan Ph
Cairan saluran
cerna
Penisilin G, Perubahan Ph
eritromisin
Cairan saluran
cerna
Idem
Fe
Idem
18
Solusi
Pemberian obat B
didahulukan di bandingkan
obat A, agar obat B tidak
mengikuti obat B
Idem
Idem
kelarutan tetrasiklin ,
absorpsi nya ,
Ph Lambung , peng-rusakan
obat objek, absorpsinya
Ph lambung , absorpsi Fe
Pemberian obat B di
dahulukan dan di berkan
10
Analgesic narkotik
11
12
13
Lithium
14
15
16
Antikolinergik
Antidepresi trisiklik
Metoklopramid
17
Mg (OH)2
Parasetamol
, diazepam
propranolol,
fenibutazon
Parasetamol
Perubahan waktu
pengososngan
lambung dan
transit usus
Idem
Levodopa
Isoniazid,
klorpromazi
n
Klorpromazi
ne
Digoksin
Dikumarol
Parasetamol
diazepam
Propranolol
Idem
Idem
Obat A memperpanjang
pengosongan lambung,
memperlambat absorpsi obat B
Idem
Idem
Idem
Idem
Idem
Idem
Idem
Idem
Idem
Idem
Idem
Obat B di berikan lebih
dahulu
Levodopa
Digoksin
Digoksin,
prednisone,
dikumarol
jarak waktu
Idem
Idem
Idem
Idem
Idem
18
Kolksin (Kronik)
Vitamin
B12
19
Neomisin
Idem
Idem
20
Al (OH)3
Penisilin
digoksin
Kolesterol
asam
empedu,
vitramin A
Propranolol,
indometasin
Mekanisme tidak
diketahui
21
Sulfasalazin
Digoksin
Idem
Obat A mengganngu
pembentukan misel, absorpsi
obat B dihambat
Idem
20
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Ganiswara G. sulistia, et al., 1995. Farmakologi dan Terapi, edisi 4, cetak ulang 2005,
fakultas kedokteran universitas Indonesia, Jakarta. Hal 800 810.
2. Mutschler E.1991. Dinamika Obat, farmakologi dan toksikologi, edisi 5, penerbit ITB
Bandung. Hal 88-93.
3. Iwan darmansjah, 1997. Interaksi Obat yang Klinis Penting, jurnal seminar interaksi obat
di Pontianak dan PUKO, pusat Uji Klinik Obat FKUI. RSUPN CM.
4. Rusjdi djamal, dkk., 1983. Interaksi Obat dari resep resep pasien di Sumatera Barat.
Fakultas Matematika dan Pengetahuan Alam, Universitas Andalas , Padang.
5. Dr.R. Soetiono Gapar, 2003. Interaksi Obat Beta Blocker dengan Obat Obat lain,
jurnal penelitian, bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara.
Medan.
22