Anda di halaman 1dari 14

RESUME MATERI INTERAKSI OBAT

1. PENDAHULUAN
Di antara berbagai faktor yang mempengaruhi respons tubuh terhadap pengobatan
terdapat faktor interaksi obat. Obat dapat berinteraksi dengan makanan, zat kimia yang
masuk dari lingkungan, atau dengan obat lain. Dalam bab ini uraian dibatasi hanya
pada interaksi antar obat (obat resep maupun obat bebas). Interaksi antar obat dapat
berakibat menguntungkan atau merugikan. Interaksi yang menguntungkan, misalnya

1. penisilin dengan probenesid: probenesid menghambat sekresi penisilin di tubuli


ginjal sehingga meningkatkan kadar penisilin dalam plasma dan dengan
demikian meningkatkan efektivitasnya dalam terapi gonore
2. kombinasi obat antihipertensi meningkatkan efektivitas dan mengurangi efek
samping
3. kombinasi obat antiasma meningkatkan efektivitas
4. kombinasi obat antidiabetik: meningkatkan efektivitas
5. kombinasi antibiotik antipseudomonas: meningkatkan efektivitas
6. kombinasi obat antikanker: juga meningkatkan efektivitas
7. kombinasi obat antituberkulosis: memperlambat timbulnya resistensi kuman
terhadap obat
8. kombinasi obat anti-HIV: juga untuk memperlambat timbulnya resistensi virus
terhadap obat
9. kombinasi obat antihepatitis: untuk meningkatkan efektivitas
10. kombinaSI obat untuk H. pylori: juga untuk meningkatkan efektivitas
11. kombinasi antibiotik betalaktam dengan penghambat betalaktamase:
meningkatkan efektivitas
12. kombinasi sulfametoksazol dengan trimetoprim: meningkatkan efektivitas
13. antagonisme efek toksik obat oleh antidotnya masing-masing

Interaksi obat dianggap penting secara klinik jika berakibat meningkatkan toksisitas
atau mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi, jadi terutama jika menyangkut obat
dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi yang rendah atau slope log DEC
yang curam), misalnya glikosida jantung, antikoagulan, dan obat-obat sitostatik.
Demikian juga interaksi yang menyangkut obatobat yang biasa digunakan atau yang
sering diberikan bersama tentu lebih penting daripada obat yang jarang dipakai.

interaksi obat yang penting dalam kinik sukar diperkirakan karena :

1. dokumentasi masih sangat kurang


2. seringkali lolos dari pengamatan karena kurangnya pengetahuan para dokter
akan mekanisme dan kemungkinan terjadinya interaksi obat, sehingga interaksi
obat berupa peningkatan toksisitas seringkali dianggap sebagai reaksi
idiosinkrasi terhadap salah satu obat, sedangkan interaksi berupa penurunan
efektivitas seringkali diduga akibat bertambahnya keparahan penyakit, selain itu
terlalu banyak obat yang saling berinteraksi sehingga sulit untuk diingat
3. kejadian atau keparahan interaksi dipengaruhi oleh variasi individual (populasi
tertentu lebih peka misalnya pasien lanjut usia atau yang berpenyakit parah,
adanya perbedaan kapasitas metabolisme antar individu, termasuk polimorfisme
genetik), penyakit. tertentu (terutama gagal ginjal atau penyakit hati yang kronik,
dan penyakit yang mengurangi aliran darah ke hati atau ginjal, misalnya penyakit
jantung kongestif), dan faktor-faktor lain (dosis besar, obat ditelan bersama-
sama, penggunaan obat bebas, termasuk suplemen dan obat herbal, merokok.
4. Mekanisme interaksi obat secara garis besar dapat dibedakan atas 3
mekanisme, yaitu :
I. interaksi farmaseutik atau inkompatibilitas
II. interaksi farmakokinetik
III. interaksi farmakodinamik

2. INKOMPATIBILITAS

Inkompatibilitas ini terjadi di luar tubuh (sebelum obat diberikan) antara obat yang tidak
dapat dicampur (inkompatibel). Pencampuran obat demikian menyebabkan terjadinya
interaksi langsung secara fisik atau kimiawi, yang hasilnya mungkin terlihat sebagai
pembentukan endapan, perubahan warna dan lain-lain, atau mungkin juga tidak terlihat.
Interaksi ini biasanya berakibat inaktivasi obat. Interaksi farmaseutik yang penting
adalah interaksi antar obat suntik dan interaksi antara obat suntik dengan cairan infus,
Lebih dari 100 macam obat tidak dapat dicampur dengan cairan infus.Contohnya,
gentamisin mengalau dengan cairan infus, kecuali jika jelas diketahui alami inaktivasi
jika dicampur dengan karbenisilin, demikian juga penisilin G jika dicampur dengan
vitamin C, sedangkan amfoterisin B mengendap dalam larutan garam fisiologis atau
larutan Ringer, dan juga fenitoin mengendap dalam larutan dekstrosa 5%.

3. INTERAKSI FARMAKOKINETIK

Interaksi farmakokinetik terjadi jika salah satu obat mempengaruhi absorpsi, distribusi,
metabolisme atau ekskresi obat kedua, sehingga kadar plasma obat kedua meningkat
atau menurun. Akibatnya, terjadi peningkatan toksisitas atau penurunan efektivitas obat
tersebut. Interaksi farmakokinetik tidak dapat diekstrapolasikan ke obat lain yang
segolongan dengan obat yang berinteraksi, sekalipun struktur kimianya mirip, karena
antar obat segolongan terdapat variasi sifat-sifat fisikokimia yang menyebabkan variasi
sifat-sifat farmakokinetiknya. Misalnya simetidin tidak sama dengan H₂ bloker lainnya,
juga terfenadin atau astemizol tidak sama dengan antihistamin nonsedatif lainnya.

3.1. INTERAKSI DALAM ABSORPSI DI SALURAN CERNA

a) INTERAKSI LANGSUNG
Interaksi secara fisik/ kimiawi antar obat dalam lumen saluran cerna sebelum
absorpsi dapat mengganggu proses absorpsi. Interaksi ini dapat
dihindarkan/sangat dikurangi jika obat yang berinteraksi diberikan dengan jarak
waktu minimal 2 jam.
b) PERUBAHAN pH CAIRAN SALURAN CERNA
Cairan saluran cerna yang alkalis, misalnya akibat antasid, H₂ bloker atau
penghambat pompa proton, akan meningkatkan kelarutan obat bersifat asam
yang sukar larut dalam suasana asam, misalnya aspirin. Dalam suasana alkalis,
aspirin lebih banyak terionisasi sehingga absorpsi per satuan luas area absorpsi
lebih lambat, tetapi karena sangat luasnya area absorpsi di usus halus maka
kecepatan absorpsi secara keseluruhan masih lebih tinggi. Dengan demikian,
dipercepatnya disolusi aspirin oleh basa akan mempercepat absorpsinya. Akan
tetapi, suasana alkalis di saluran cerna akan mengurangi kelarutan beberapa
obat bersifat basa (misalnya ketokonazol) dalam cairan saluran cerna, dengan
akibat mengurangi absorpsinya. Berkurangnya keasaman lambung oleh antasid
akan mengurangi pengrusakan obat yang tidak tahan asam (misalnya penisilin
G, eritromisin) sehingga meningkatkan bioavailabilitasnya, dan mengurangi
absorpsi Fe, yang diabsorpsi paling baik jika cairan lambung sangat asam
c) PERUBAHAN WAKTU PENGOSONGAN LAMBUNG DAN WAKTU TRANSIT
DALAM USUS (MOTILITAS SALURAN CERNA)
Usus halus adalah tempat absorpsi utama untuk semua obat, termasuk obat
bersifat asam. Di sini absorpsi terjadi jauh lebih cepat daripada di lambung. Oleh
karena itu, makin cepat obat sampai di usus halus, makin cepat pula
absorpsinya. Dengan demikian, obat yang memperpendek waktu pengosongan
lambung, misalnya metoklopramid, akan mempercepat absorpsi obat lain yang
diberikan pada waktu yang sama. Sebaliknya, obat yang memperpanjang waktu
pengosongan lambung, misalnya antikolinergik, antidepresi trisiklik, beberapa
antihistamin, antasid garam Al dan analgesik narkotik, akan memperlambat
absorpsi obat lain. Kecepatan pengosongan lambung biasanya hanya
mempengaruhi kecepatan absorpsi tanpa mempengaruhi jumlah obat yang
diabsorpsi. Ini berarti, kecepatan pengosongan lambung biasanya hanya
mengubah tinggi kadar puncak dan waktu untuk mencapai kadar tersebut tanpa
mengubah bioavailabilitas obat. Sebagai kecualian adalah obat yang mengalami
metabolisme lintas pertama oleh enzim dalam dinding lambung dan usus halus
(misalnya levodopa dan klorpromazin). Karena kapasitas metabolisme dinding
usus halus lebih terbatas dibandingkan kapasitas absorpsinya, maka makin
cepat obat ini sampai di usus halus, makin tinggi bioavailabilitasnya.

Waktu transit dalam usus biasanya tidak mempengaruhi absorpsi obat, kecuali untuk :

(1) obat yang sukar larut dalam cairan saluran cerna misalnya digoksin dan
kortikosteroid, atau sukar diabsorpsi misalnya dikumarol, sehingga memerlukan waktu
untuk melarut dan diabsorpsi

(2) obat yang diabsorpsi secara aktif hanya di satu segmen usus halus, misalnya Fe
dan riboflavin di usus halus bagian atas, vitamin B12 di ileum. Obat yang
memperpendek waktu transit dalam usus (misalnya metoklopramid, laksans, antasid
garam Mg) akan mengurangi jumlah absorpsi obat-obat (1) dan (2). Sebaliknya, obat
yang memperpanjang waktu transit usus (sama dengan obat yang memperpanjang
waktu pengosongan lambung) akan meningkatkan bioavailabilitas obat-obat tersebut.

d) KOMPETISI UNTUK TRANSPORTER MEMBRÁN DI SALURAN CERNA


Obat yang merupakan analog dari zat makanan, misalnya levodopa, metildopa
dan 6-merkaptopurin, diabsorpsi melalui mekanisme transporter membran yang
sama dengan transporter untuk zat makanan tersebut: Oleh karena itu, absorpsi
obat tersebut dapat dihambat secara kompetitif oleh zat makanan yang
bersangkutan. Misalnya, absorpsi levodopa dihambat oleh fenilalanin yang
berasal dari dari diet tinggi protein (2 g/ kg/hari). Sebaliknya, diet rendah protein
(0,5 g/kg/ hari) akan meningkatkan absorpsi levodopa. Kompetisi untuk
transporter uptake obat. Feksofenadin merupakan substrat dari OATP (organic
anion transporting polypeptide), sedangkan jus buah mengandung flavonoid
yang menghambat OATP di usus halus. Pemberian feksofenadin bersama jus
grapefruit, jus jeruk atau jus apel menurunkan bioavailabilitas feksofenadin
sampai tinggal 1/3 sampai 1/4-nya dibandingkan jika feksofenadin diminum
bersama air putih. Kompetisi untuk transporter efflux obat. Digoksin adalah
substrat dari P-gp (P-glikoprotein), sedangkan kuinidin atau verapamil adalah
penghambat P-gp. Pemberian digoksin bersama kuinidin atau verapamil
meningkatkan kadar plasma digoksin sebanyak 60-80% karena hambatan P-gp
di usus halus (meningkatkan absorpsi digoksin), dan di tubulus ginjal proksimal
(menurunkan sekresi digoksin). Sebaliknya, pemberian digoksin bersama
rifampisin akan menurunkan kadar plasma digoksin karena rifampisin akan
menginduksi P-gp di usus halus.
e) PERUBAHAN FLORA USUS
Flora normal usus berperan antara lain dalam:
(1) sintesis vitamin K dan merupakan sumber vitamin K yang penting (di samping
dari diet)
(2) memecah sulfasalazin menjadi bagian-bagiannya yang aktif
(3) sebagian metabolisme obat (misalnya levodopa)
(4) hidrolisis glukuronid yang diekskresi melalui empedu menjadi bentuk obat
awal (parent compound) yang mudah direabsorpsi sehingga meningkatkan
sirkulasi enterohepatik yang memperpanjang kerja obat (misalnya kontrasepsi
oral).
Pemberian antibakteri berspektrum lebar (misalnya tetrasiklin, kloramfenikol,
ampisilin, sulfonamid) akan mensupresi flora normal usus, dengan akibat:
meningkatkan efektivitas antikoagulan oral (antagonis vitamin K) yang diberikan
bersama, mengurangi efektivitas sulfasalazin, meningkatkan bioavailabilitas
levodopa, dan potensial dapat mengurangi efektivitas kontrasepsi oral.
f) EFEK TOKSIK PADA SALURAN CERNA
Terapi dengan asam mefenamat, neomisin dan kolkisin menimbulkan sindrom
malabsorpsi yang menyebabkan absorpsi obat lain terganggu
g) MEKANISME TIDAK DIKETAHUI. Beberapa obat mengurangi jumlah absorpsi
obat lain dengan mekanisme yang tidak diketahui

3.2. INTERAKSI DALAM DISTRIBUSI

a) INTERAKSI DALAM IKATAN PROTEIN PLASMA. Banyak obat terikat pada


protein plasma, obat yang bersifat asam terutama pada albumin, sedangkan obat
yang bersifat basa pada asam αglikoprotein. Oleh karena jumlah protein plasma
terbatas, maka terjadi kompetisi antara obat-obat yang bersifat asam maupun
antara obat-obat yang bersifat basa untuk berikatan dengan protein yang sama.
Tergantung dari kadar obat dan afinitasnya terhadap protein plasma, maka suatu
obat dapat digeser dari ikatannya dengan protein plasma oleh obat lain, dan
peningkatan kadar obat bebas menimbulkan peningkatan efek farmakologiknya.
Akan tetapi keadaan ini hanya berlangsung sementara karena peningkatan
kadar obat bebas juga meningkatkan eliminasinya sehingga akhirnya tercapai
keadaan mantap yang baru di mana kadar obat total menurun tetapi kadar obat
bebas kembali seperti sebelumnya (mekanisme kompensasi). Interaksi dalam
ikatan protein ini, meskipun banyak terjadi, tetapi yang menimbulkan masalah
dalam klinik hanyalah yang menyangkut obat dengan sifat berikut untuk obat
yang digeser :
I. mempunyai ikatan yang kuat dengan protein plasma (minimal 85%) dan
volume distribusi yang kecil (≤ 0,15 L/kg) sehingga pergeseran sedikit saja
akan meningkatkan kadar obat bebas secara bermakna; ini berlaku
terutama untuk obat bersifat asam, karena kebanyakan obat bersifat basa
volume distribusinya sangat luas
II. mempunyai batas keamanan yang sempit, sehingga peningkatan kadar
obat bebas tersebut dapat mencapai kadar toksik
III. efek toksik yang serius telah terjadi sebelum kompensasi tersebut di atas
terjadi, misalnya terjadinya perdarahan pada antikoagulan oral,
hipoglikemia pada antidiabetik oral
IV. eliminasinya mengalami kejenuhan, misalnya fenitoin, salisilat dan
dikumarol, sehingga peningkatan kadar obat bebas tidak segera disertai
dengan peningkatan kecepatan eliminasinya. Interaksi ini lebih nyata pada
pasien dengan hipoalbuminemia, gagal ginjal atau penyakit hati yang
berat akibat berkurangnya jumlah albumin plasrna, ikatan obat bersifat
asam dengan albumin, serta menurunnya eliminasi obat

Bagi obat penggeser, yang dapat menimbulkan interaksi pergeseran protein


yang bermakna adalah yang bersifat sebagai berikut:

I. berikatan dengan albumin di tempat ikatan yang sama dengan obat


yang digeser (site I atau site II) dengan ikatan yang kuat
II. pada dosis terapi kadarnya cukup tinggi untuk mulai menjenuhkan
tempat ikatannya pada albumin. Sebagai contoh, fenilbutazon akan
menggeser warfarin (ikatan protein 99%, Vd = 0,14 L/kg) dan
tolbutamid (ikatan protein 96%, Vd = 0,12 L/kg).
b) KOMPETISI UNTUK TRANSPORTER MEMBRAN DI SAWAR DARAH OTAK
DAN SAWAR DARAH DENGAN CAIRAN SEREBROSPINAL. Loperamid adalah
substrat dari P-glikoprotein, sedangkan kuinidin adalah substrat dan penghambat
P-gp di sawar darah otak, maka pemberian loperamid bersama kuinidin akan
menyebabkan hambatan P-gp sehingga loperamid dapat menembus sawar
darah otak dan menyebabkan efek samping sentral. Ritonavir dan penghambat
protease HIV lainnya adalah substrat dan penghambat P-gp, sedangkan
ketokonazol adalah penghambat P-gp di sawar darah otak dan sawar darah
dengan cairan serebrospinal, maka pemberian ritonavir bersama ketokonazol
menyebabkan hambatan P-gp sehingga ritonavir dapat masuk ke dalam otak
dan cairan serebrospinal.

3.3. INTERAKSI DALAM METABOLISME

a) HAMBATAN METABOLISME OBAT


Hambatan metabolisme terutama menyangkut obat-obat yang merupakan
substrat enzim metabolisme sitokrom P450 (CYP) dalam mikrosom hati. Tiap
isoenzim tersebut mempunyai substrat dan penghambatnya masing-masing.
Pemberian bersama salah satu substrat dengan salah satu penghambat dari
enzim yang sama akan meningkatkan kadar plasma substrat sehingga
meningkatkan efek atau toksisitasnya. Oleh karena CYP 3A4/5 memetabolisme
sekitar 50% obat untuk manusia, maka penghambat isoenzim ini menjadi penting
karena akan berinteraksi dengan banyak obat, terutama penghambat yang
poten, yakni ketokonazol, itrakonazol, eritromisin, dan klaritromisin. Jika substrat
isoenzim CYP merupakan obat dengan margin of safety yang sempit, maka
hambatan metabolismenya akan menimbulkan efek toksik sehingga dosis
substrat harus diturunkan jika hendak diberikan bersama penghambatnya atau
bahkan tidak boleh diberikan bersama penghambatnya (kontraindikasi) jika
akumulasi obat substrat berakibat membahayakan. Suatu obat yang
dimetabolisme oleh beberapa isoenzim CYP, hambatan pada salah satu CYP
dampaknya tidak begitu besar, karena obat tersebut masih dapat dimetabolisme
oleh CYP yang lain. Efek hambatan metabolisme ini menjadi lebih nyata jika
menyangkut obat yang metabolismenya mengalami kejenuhan, seperti fenitoin,
atau pada pasien dengan penyakit hati yang berat, status gizi yang buruk, usia
ekstrim, atau kelainan genetik, yang mempunyai aktivitas enzim metabolisme
yang rendah
b) INDUKSI METABOLISME OBAT. Banyak obat yang larut dalam lemak dapat
menginduksi sintesis enzim metabolisme di hati dan mukosa saluran cerna,
misalnya fenobarbital, fenitoin, karbamazepin, rifampisin, etanol, DDT, lindan,
dan lain-lain. Tergantung dosis dan obatnya, induksi terjadi setelah 1-4 minggu.
Waktu yang sama diperlukan untuk hilangnya efek induksi setelah obat
penginduksi dihentikan. Zat penginduksi seperti DDT dan lindan bertahan lebih
lama karena zat ini disimpan dalam lemak tubuh dan mempunyai waktu paruh
biologik yang sangat panjang. Merokok dan makanan panggang arang
menghasilkan hidrokarbon polisiklik yang juga merupakan zat penginduksi enzim
metabolisme (CYP1A2). Tergantung dari jenis enzim yang diinduksinya, suatu
zat penginduksi dapat mempercepat metabolisme beberapa obat tetapi tidak
mempengaruhi metabolisme obat-obat yang lain. Akan tetapi, ada beberapa zat
penginduksi yang dapat menginduksi hampir semua isoenzim CYP, misalnya
rifampisin, fenobarbital, fenitoin dan karbamazepin. Jika metabolit hanya sedikit
atau tidak mempunyai efek farmakologik, maka zat penginduksi mengurangi efek
obat, sehingga dosis obat perlu ditingkatkan (terjadi toleransi farmakokinetik).
Sebaliknya, jika metabolit lebih aktif atau merupakan zat yang toksik, maka zat
penginduksi meningkatkan efek atau toksisitas obat. Dipercepatnya metabolisme
S-warfarin oleh fenobarbital atau rifampisin menyebabkan dosis warfarin perlu
ditingkatkan antara 2-10 kali lipat (dalam waktu 1-4 minggu) untuk
mengembalikan efektivitasnya. Kemudian, sewaktu obat penginduksi tersebut
dihentikan, dosis warfarin harus diturunkan kembali (secara bertahap dalam
waktu 1-4 minggu) untuk mencegah terjadinya perdarahan Pemberian rifampisin
atau zat penginduksi lain pada akseptor kontrasepsi oral dapat menyebabkan
terjadinya kehamilan. Pada pasien cangkok ginjal yang mendapat siklosporin
sebagai imunosupresi, pemberian rifampisin atau zat penginduksi lain dapat
menyebabkan terjadinya penolakan cangkok ginjal tersebut (melalui induksi
CYP3A4 dan P-gp). Hepatotoksisitas parasetamol meningkat pada pasien yang
mendapat fenobarbital atau pada alkoholik yang kronik
c) PERUBAHAN ALIR DARAH HEPAR (=Q). Untuk obat yang dimetabolisme oleh
hepar dengan kapasitas tinggi (mempunyai rasio ekstraksi hepar = E yang
tinggi), klirens heparnya sangat dipengaruhi oleh perubahan Q₁
d) GANGGUAN EKSKRESI EMPEDU DAN SIRKULASI ENTEROHEPATIK.
Gangguan dalam ekskresi melalui empedu terjadi akibat kompetisi antara obat
dan metabolit obat untuk sistem transport (sekresi aktif ke dalam empedu) yang
sama. Sedangkan sirkulasi enterohepatik dapat dikurangi dengan mensupresi
bakteri usus yang menghidrolisis konyugat obat sehingga mengurangi
reabsorpsi, atau dengan mengikat obat yang dibebaskan sehingga tidak dapat
direabsorpsi

3.4. INTERAKSI DALAM EKSKRESI GINJAL

a) GANGGUAN EKSKRESI GINJAL AKIBAT KERUSAKAN GINJAL OLEH OBAT.


Obat-obat yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal adalah aminoglikosida,
siklosporin, dan amfoterisin B. Jika obat-obat ini diberikan bersama obat-obat
lain yang eliminasinya terutama melalui ginjal maka akan terjadi akumulasi obat-
obat lain tersebut sehingga menimbulkan efek toksik
b) KOMPETISI UNTUK SEKRESI AKTIF DI TUBULUS GINJAL. Hambatan sekresi
aktif di tubulus ginjal terjadi akibat kompetisi antara obat dan metabolit obat
untuk sistem transpor aktif yang sama, yakni P-glikoprotein untuk kation organik
dan zat netral, dan Multidrug Resistance Protein (MRP) untuk anion organik dan
konjugat
c) PERUBAHAN pH URIN. Perubahan ini akan menghasilkan perubahan klirens
ginjal (melalui perubahan jumlah reabsorpsi pasif di tubuli ginjal) yang berarti
secara klinik hanya jika: (1) fraksi obat yang diekskresi utuh oleh ginjal cukup
besar (lebih dari 30%), dan (2) obat berupa basa lemah dengan pka 6,0-12,0
atau asam lemah dengan pka 3,07,5
d) PERUBAHAN KESETIMBANGAN NATRIUM TUBUH TOTAL. Diuretik (tiazid
dan diuretik kuat) menyebabkan kehilangan natrium, maka akan terjadi
reabsorpsi natrium di tubulus proksimal ginjal sebagai mekanisme kompensasi.
Jika diberi litium, maka litium juga akan direabsorpsi seperti natrium, dengan
akibat terjadi keracunan litium. Demikian juga AINS yang menyebabkan retensi
natrium, juga akan meretensi litium, jika diberikan bersama.
Contoh Interaksi Farmakokinetik

Obat A Obat B Efek

A. Interaksi Langsung

Tetrasiklin, Fluorokuinolon Kation Multivalen (Ca2+, Terbentuk Kelat yang tidak


Mg2+, Al3+ dalam anatsid, diabsorpsi → jumlah
Ca2+ dalam susu, Fe2+ absorpsi obat A dan Fe2+ ↓
dalam sediaan besi)

Digoksin, digitoksin Adsorben (kaolin, arang aktif) Obat A diadsorpsi


oleh obat B →
jumlah absorpsi
obat A ↓

Warfarin, digoksin, Resin penukar anion Obat A diabsoprsi oleh


siklosporin, asam valproat (kolestiramin, kolestipol) obat B → jumlah
absorpsi obat A

Bifosfonat (misalnya Kalsium Kompleks yang tidak


alendronat) larut → jumlah
absorpsi obat A

B. Perubahan pH cairan saluran cerna

Antasida, H2 bloker, Aspirin, glibenklamid, Kelarutan obat B


penghambat pompa glipizid,tolbutamid (obat-obat asam) ↑
Proton → absorpsi obat B ↑

Idem Ketokonazol, .itrakonazol Kelarutan obat B


(flukonazol tidak (obat-obatbasa) ↓
dipengaruhi) →jumlah absorpsi obat
B↓
Antasid Penisilin G, erttromisin pH lambung
↑→
pengrusakan obat B↓
→ jumlah absorpsi
obat B ↑

Antasid Fe pH lambung ↑ →
jumlah absorpsi obat B ↓

Vitamin C Fe pH lambung ↓→ jumlah


abSorpsi obat B ↑

C. Perubahan waktu pengosongan lambung dan transit usus

Antikolinergik, antidepresi Parasetamol, diazepam, Obat A memperpanjang waktu


trisiklik, analgesik narkotik, pengosongan lambung →
Al(OH)3 dalam antasida propranolol, fenilbutazon
memperlambat absorpsi obat B

Idem Levodopa Obat A memperpanjang waktu


pengosongan lambung →
bioavailabilitas obat B ↓
(karena ↑ pembentukan
dopamin oleh enzim dopa
dekarboksilase di mukosa
saluran cerna )

Idem Klorpromazin Obat A memperpanjang waktu


pengosongan lambung →
bioavailabilitas obat B↓(karena
↑ metabolisme oleh enzim
dimukosa saluran cerna)

Idem Digoksin, kortikosteroid Obat A memperpanjang waktu


transit usus → bioavaiabiitas
obat B ↑ (karena obat sukar
larut dalam air sehingga
memerlukan waktu untuk
melarut dalam cairan saluran
cerna)
Idem Dikumarol Idem (karena obat B
sukar
diabsorpsi)

Metoklopramid, laksans, Parasetamol, diazepam, Obat A memperpendek waktu


Mg(OH)2 dalam antasid propranolo pengosonganlambung →
mempercepat absorpsi obat B

Idem levodopa Obat A memperpek waktu


pengosongan lambung →
bioavailabilitas obat B ↑

Idem Digoksin, Obat A memperpendek waktu


prednison, dikumarol transit usus→ bioavailabilitas
obat B↓

D. Efek toksik pada saluran cerna

Klokisin Vitamin B12 Obat A mengandung absorpsi


obat B di ileum sehingga dapat
menyebabkan anemia
mehaloblastik

Neomisin Penisilin V,digoksin, Obat A mengandung absorpsi


Vitamin B12 obat B

Neomisin Kolesterol, asam-asam Obat A menggangu


Empedu, Vitamin A pemebntukan
misel →
menghambat absorpsi
obat B

E. Mekanisme tidak diketahui

Al (OH)3 Propanolol, INH Obat A mengandung absorpsi


Indometasin obat B
Antasida Fenitoin, Simetidin Idem
Ranitidin, Klorpromazin

Furosemide Fenitoin Idem

Sulfasalazin Digoksin Idem

Anda mungkin juga menyukai