Nama : Joyce
NIM :I1A008031
A. Definisi
Interaksi obat adalah perubahan efek suatu obat akibat pemakaian obat lain
(interaksi obat-obat) atau oleh makanan, obat tradisional dan senyawa kimia lain.
Kerja obat yang diubah dapat menjadi lebih atau kurang aktif (1).
Interaksi obat didefinisikan oleh Committee for Proprietary Medicine
Product (CPMP) sebagai suatu keadaan bilamana suatu obat dipengaruhi oleh
penambahan obat lain dan menimbulkan pengaruh klinis. Biasanya, pengaruh ini
terlihat sebagai efek samping, tetapi terkadang pula terjadi perubahan yang
menguntungkan. Obat yang mempengaruhi disebut dengan precipitant drug,
sedangkan obat yang dipengaruhi disebut sebagai object drug. Pada beberapa
kasus, interaksi ini terkadang dapat menimbulkan perubahan efek padxa kedua
obat, sehingga obat mana yang mempengaruhi dan obat yang dipengaruhi menjadi
tidak jelas. Diperkirakan insidensi terjadinya interaksi obat sekitar 7% dari semua
efek samping obat dan kematian akibat interaksi obat sekitar 4% (2).
B. Faktor- Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Interaksi Obat
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap interaksi obat:
1. Faktor penderita
a. Umur penderita.
Bayi dan balita : proses metabolik belum sempurna sehingga dapat
mempengaruhi efek obat
Banyak laporan interaksi obat dari orang lanjut usia karena orang lanjut usia
relatif lebih sering berobat, lebih sering menderita penyakit kronis seperti
hipertensi, kardiovaskuler, diabetes, arthritis. Orang lanjut usia seringkali
mengalami penurunan fungsi ginjal dan fungsi hepar sehingga terganggunya
jam (4).
Perubahan pH cairan saluran cerna
Cairan lambung yang sangat alkalis misalnya karena pemberian antacid,
H2 bloker atau penghambat pompa proton, akan mengurangi pengrusakan
obat yang tidak tahan asam (misalnya penisilin G, eritromisin) dan akan
meningkatkan kelarutan obat yang bersifat asam (misalnya aspirin). Akan
tetapi suasana alkalis di saluran cerna akan mengurangi kelarutan beberapa
ketokonazol) (4).
Perubahan waktu pengosongan lambung dan waktu transit dalam usus
(motilitas saluran cerna)
Usus halus merupakan tempat absorpsi utama semua obat terutama yang
bersifat asam dimana absorpsi terjadi jauh kebih cepat daripada di
lambung. Semakin cepat obat sampai di usus halus maka makin cepat pula
absorpsinya sehingga obat yang mempercepat pengosongan lambung
(misalnya metoklopramid) akan mempercepat absorpsi obat lain dan
sebaliknya obat yang memperpanjang waktu pengosongan lambung
(misalnya antikolinergik, antidepresi trisiklik) akan memperlambat
absorpsi obat lain. Kecepatan pengosongan lambung biasanya hanya
mempengaruhi kecepatan absorpsi tanpa mempengaruhi jumlah obat yang
diabsorpsi artinya hanya mengubah tinggi kadar puncak dan waktu untuk
mencapai kadar tersebut tanpa mengubah bioavabilitas obat (kecuali obat
yang mengalami metabolism lintas pertama oleh enzim lambung dan usus
halus seperti levodopa dan klorpromazin akan meningkat bioavabilitasnya)
(4).
Waktu transit dalam usus biasanya tidak mempengaruhi absorpsi obat
kecuali untuk obat yang sukar larut dalam cairan saluran cerna (digoksin
dan kortikosteroid), sukar diabsorpsi (dikumarol), dan obat yang hanya
diabsorpsi secara aktif di satu bagian segmen usus halus (Fe dan riboflavin
di usus halus bagian atas, vitamin B12 di ileum) sehingga obat yang
memperpendek waktu transit di usus akan mengurangi absorpsinya dan
dihilangkan (5).
Penghambatan metabolisme umumnya terjadi lebih cepat daripada induksi
enzim dan mungkin dimulai segera setelah konsentrasi penghambat hati
yang cukup telah dicapai. Obat-obat yang menghambat metabolisme obat
lain di mikrosomal hati adalah alopurinol, kloramfenikol, simetidin,
siprofloksasin, flukonazol, isoniazid, mikonazol, omeprazol, metronidazol,
farmakologik/
farmakodinamik
ditinjau
dari
efek
b. Interaksi fisiologik
Interaksi pada sistem fisiologik yang sama dapat menghasilkan peningkatan
atau penurunan respon (potensiasi atau antagonis) (4)
c. Perubahan dalam kesetimbangan cairan dan elektrolit
Perubahan ini dapat mengubah efek obat terutama yang bekerja pada
jantung, neuromuscular dan ginjal (4).
d. Gangguan mekanisme ambilan amin di ujung saraf adrenergik
Penghambat saraf adrenergik diambil oleh ujung saraf adrenergik dengan
mekanisme aktif untuk norepinefrin agar obat dapat bekerja sebagai
antihipertensi. Mekanisme dapat dihambat oleh amin simpatomimetik (efedrin,
pseudoefedrin,fenilefrin, amfetamin), antidepresi trisiklik, kokain, dan fenotiazin
(4).
e. Interaksi dengan penghambat monoamine oksidase (penghambat MAO)
efedrin,
psuedoefedrin,
amfetamin
atau
tiramin)
makan, obat yang menyebabkan mual muntah, gangguan intestinal, diare dan
konstipasi (3).
4. Interaksi obat-tembakau/rokok
Mekanisme utama dari interaksi ini adalah biotransformasi obat dipercepat
karena terjadi induksi dari mikrosomal enzim di hepar yang disebabkan zat-zat
yang ada pada asap rokok yang menyebabkan penurunan kadar obat dalam plasma
(3).
5. Interaksi obat- alkohol
Bila obat pendepresi SSP diminum bersamaan dengan alkohol atau minuman
yang mengandung alkohol maka efek depresi SSP meningkat secara aditif/sumatif
bahkan lebih sering terjadi secara potensiasi/sinergistik (3).
Peminum alkohol kronik akan mengakibatkan peningkatan klirens obat
dengan cara induksi metabolism-oksidatif tetapi peminum alkohol jangka pendek
akan menyebabkan penurunan klirens obat (3).
E. Kasus
Pro :Tn Rahmat, 20 tahun
Keluhan :Sakit diderita 2 hari yang lalu dan muncul bintil kecil yang
sekarang jadi membesar dan berair. Ada sebagian bintil yang pecah. Sebelumnya
sakit kepala, badan demam, dan sakit-sakit di otak tetapi lebih enak setelah
minum parasetamol. Pada pemeriksaan thorax tampak vesikel-vesikel berisi cairan
di regio lateralis dextra, sebagian ada yang menyatu menjadi bula nampak
eritematosus.
Diagnosa : Herpes Zoster Thorakalis
Terapi Pilihan : Valasiklovir tablet, Parasetamol tablet, Bedak Asidum
salisilikum
F. Interaksi Obat-Obat
Pada kasus herpes zoster thorakalis di atas, obat yang dipilih ada 3 yaitu
valasiklovir per oral, parasetamol per oral, dan asidum salisikum topical. Dari
ketiga obat tersebut tidak ditemukan interaksi satu sama lain. Namun, masingmasing obat memiliki interaksi dengan obat lain kecuali bedak asidum salisikum
topikal yang tidak ditemukan interaksi dengan obat lain, diantaranya:
1. Interaksi Valasiklovir-Simetidin
Interaksi valasiklovir dengan simetidin merupakan interaksi farmakokinetik
yaitu pada fase sekresi di ginjal. Hal ini terjadi karena terjadi kompetisi antara
valasiklovir dan simetidin untuk disekresi oleh tubulus ginjal sehingga terjadi
peningkatan Area Under Curva (AUC) valasiklovir.
Ketika pobenesid
sekresi tubulus dan kemudian mungkin terjadi peningkatan konsentrasi kedua obat
(7).
Beberapa data mununjukkan terjadi potensiasi valasiklovir ketika diberikan
bersama mikofenolat yang mungkin berguna dalam terapi. Tetapi ada penelitian
yang menunjukkan terjadinya neutropenia pada penderita dengan transplantasi
ginjal ketika diberi kombinasi mikofenolat dengan valasiklovir. Hal ini mungkin
terjadi karena mikofenolat meningkatkan efek hematotoksik valasiklovir terutama
dosis tinggi yang jarang timbul dengan pemberian tunggal valasiklovir. Sehingga
dalam pemakaian kombinasi kedua obat ini harus dipertimbangkan faktor individu
penderita (7).
3. Interaksi Valasiklovir-Basitrasin
Penggunaan bersamaan valasiklovir dan basitrasin akan meningkatkan
kemungkinan terjadinya nefrotoksik dan/atau ototoksik yang sangat berbahaya.
Karena hal ini, gunakan obat alternative jika memungkinkan dan hindari
pemakaian basitrasin dengan obat nefrotoksik lainnya (7).
4. Interaksi Valasiklovir-Tenovir
Interaksi valasiklovir dengan tenovir merupakan interaksi farmakokinetik
pada fase sekresi di ginjal dimana valasiklovir menurunkan klirens ginjal dan
berkompetisi dalam sekresi aktif tubulus sehingga meningkatkan kadar tenovir.
Interaksi ini sangat mungkin terjadi sehingga monitor pasien secara ketat (7).
5. Interaksi Valasiklovir-Emtrisitabin
Interaksi
valasiklovir
dengan
emitrisitabin
merupakan
interaksi
valasiklovir
dengan
probenesid
merupakan
interaksi
farmakokinetik yaitu pada fase sekresi di ginjal. Hal ini terjadi karena probenesid
menurunkan eksresi ginjal dan mungkin berkompetisi dalam sekresi oleh tubulus
ginjal sehingga terjadi peningkatan Area Under Curva (AUC) valasiklovir. Ketika
pobenesid (kompetitor skresi tubulus ginjal) diberikan bersamaan dengan
simetidin maka efek pada valasiklovir lebih besar daripada diberikan satu per satu
(7).
Walaupun interaksi antara valasiklovir dan probenosid telah diketahui, tetapi
para peneliti berpendapat bahwa interaksi ini tidak terlalu bermakna klinis karena
valasiklovir mempunyai indeks terapi yang lebar sehingga tidak perlu perubahan
dosis valasiklovir pada penderita dengan fungsi ginjal yang baik. Namun, di
Inggris merekomendasikan penggunaan obat alternatif probenesid dalam terapi
dosis besar valasiklovir (7).
7. Interaksi Valasiklovir-Sefaleksin
Interaksi valasiklovir dengan sefaleksin merupakan interaksi farmakokinetik
pada fase absorpsi dimana keduanya merupakan substrat untuk Human Peptide
Transperter 1 (hPEPT1). Berdasarkan penelitian in vitro dan pada hewan
menunjukkan sefaleksim mengurangi absorpsi valasiklovir sehingga terjadi
penurunan AUC valasiklovir. Namun, penelitian klinis menunjukkan interaksi
yang minimal sehingga tidak perlu perhatian khusus dalam penggunaan bersama
kedua obat ini (7).
8. Interaksi Valasiklovir-Zidovudin
maupun
perburukan fungsi ginjal. Namun, pada kasus yang sangat jarang penggunaan
bersama dapat terjadi nefrotoksik dan peningkatan kadar siklosporin . sehingga
perlu pemantauan fungsi ginjal pada penggunaan bersama valasiklovir dosis
tinggi (>4 g per hari) dengan obat yang mengganggu fungsi ginjal seperti
siklosporin (7).
10. Interaksi Parasetamol-Antiemetik
Interaksi parasetamol
dengan
menguntungkan
yang
terjadi
pada
antiemetik
fase
absorpsi
merupakan
obat.
interaksi
Domperidon,
kronik
alkohol
mempunyai
efek
yang
berlawanan.
Parasetamol
dimetabolisme paling banyak di hati menjadi sulfat non toksik dan konjugat
glukoronida. Meminum alkohol persisten nampaknya secara normal akan memicu
jalur biokimia minor yang menyertakan sitokrom P450 isoenzim CYP2E1 yang
memungkinkan produksi metabolit hepatotoksik dalam jumlah banyak melalui
proses oksidasi dan hal ini tidak diimbangi dengan glutationin yang akan
menetralkan metabolit hepatotoksik sehingga terjadi kerusakan sel hepar.
Konsumsi alkohol akut oleh bukan peminum mungkin dapat melindungi hepar
dari kerusakan karena jalur biokimiapengrusak dihambat (7).
Untuk menghindari efek hepatotoksik pada peminum berat maka FDA
mewajibkan semua obat parasetamol mencantumkan peringatan agar peminum
alkohol 3 gelas dalam sehari agar menghubungi dokter untuk mengetahui dosis
parasetamol yang boleh dikonsumsi (7).
3. Interaksi Parasetamol-Tembakau
Interaksi parasetamol dan rokok terjadi pada perokok berat yang akan
meningkatkan metabolisme parasetamol. Mekanisme rokok meningkatkan
metabolisme parasetamol melalui menginduksi metabolisme fenacetin melalui
sitokrom P450 isoenzim CYP2E1 dan juga dengan memicu jalur minor oksidasi
DAFTAR PUSTAKA