Anda di halaman 1dari 19

BAB I PENDAHULUAN

Salah satu faktor yang mempengaruhi respon tubuh terhadap pengobatan yaitu faktor interaksi obat. Interaksi obat adalah perubahan efek suatu obat akibat pemakaian obat lain (interaksi obatobat) atau oleh makanan, obat tradisional dan senyawa kimia lain. Interaksi obat yang signifikan dapat terjadi jika dua atau lebih obat digunakan bersama-sama. Interaksi obat dan efek samping obat perlu mendapat perhatian. Sebuah studi di Amerika menunjukkan bahwa setiap tahun hampir 100.000 orang harus masuk rumah sakit atau harus tinggal di rumah sakit lebih lama dari pada seharusnya, bahkan hingga terjadi kasus kematian karena interaksi dan efek samping obat. Pasien yang dirawat di rumah sakit sering mendapat terapi dengan polifarmasi (kombinasi beberapa macam obat), sehingga sangat mungkin terjadi interaksi obat terutama yang dipengaruhi tingkat keparahan penyakit atau usia. Interaksi obat dianggap penting secara klinis apabila berakibat peningkatan toksisitas atau mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi. Jadi perlu diperhatikan terutama bila menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi yang rendah), misalnya glikosida jantung, antikoagulan dan obat-obat sitostatik. Obat-obat yang masuk ke dalam tubuh melalui tempat

pemberiannya, sebelum memberikan efek farmakologi, terlebih dahulu harus mengalami proses absorbsi yang sebagian besar terjadi di dalam

saluran pencernaan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses absorbsi, antara lain perubahan pH saluran pencernaan, kompleksasi dan adsorbsi, perubahan motilitas atau laju pengosongan lambung, pengaruh makanan, penghambatan enzim pencernaan, dan perubahan flora saluran pencernaan. Faktor perubahan motilitas atau laju pengosongan lambung akan diuraikan lebih lanjut dalam makalah ini.

BAB II ISI

II.1 Interaksi Obat Interaksi obat merupakan perubahan efek suatu obat akibat pemakaian obat lain. Interaksi obat yang signifikan dapat terjadi jika dua atau lebih obat digunakan bersama-sama. Interaksi obat secara klinis penting bila berakibat peningkatan toksisitas dan/atau pengurangan efektivitas obat sehingga perlu diperhatikan terutama bila menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi yang rendah), misalnya glikosida jantung, antikoagulan dan obat-obat sitostatik. Kejadian interaksi obat dalam klinis sukar diperkirakan. Hal ini disebabkan antara lain karena : 1. Dokumentasinya masih sangat kurang. 2. Seringkali lolos dari pengamatan, karena kurangnya pengetahuan akan mekanisme dan kemungkinan terjadi interaksi obat sehingga interaksi obat berupa peningkatan toksisitas seringkali dianggap sebagai reaksi idiosinkrasi terhadap salah satu obat sedangkan interaksi berupa penurunan efektifitas seringkali diduga akibat bertambahnya keparahan penyakit. 3. Terlalu banyak obat yang berinteraksi sehingga sulit diingat. 4. Kejadian atau keparahan interaksi dipengaruhi oleh variasi individual.

Secara garis besar, interaksi obat dibedakan atas 3 mekanisme, yaitu : 1. Interaksi Farmasetik Interaksi farmasetik adalah interaksi fisiko-kimia yang terjadi pada saat obat diformulasikan atau disiapkan sebelum digunakan oleh pasien. Contoh : a. Penurunan titik kelarutan, penurunan titik beku pada interaksi secara fisik. b. Reaksi hidrolisa saat pembuatan atau dalam penyiapan pada interaksi kimia dapat menyebabkan inkompatibilitas sediaan obat. 2. Interaksi Farmakodinamik Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada sistem reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi efek yang aditif, sinergistik atau antagonistik. a. Antagonis (1+1<2), saling menurunkan khasiat dari masing-masing obat. Efek obat pertama dikurangi atau bahkan ditiadakan sama sekali oleh obat kedua yang memiliki khasiat farmakologis yang

bertentangan, misalnya adrenalin dan histamin. b. Sinergis (1+1>2), saling meningkatkan/menguatkan khasiat dari masing-masing obat, misalnya asetosal dan kodein. 3. Interaksi Famakokinetik a. Interaksi pada proses absorpsi Interaksi dalam absorbsi di saluran cerna dapat disebabkan oleh :

Interaksi langsung yaitu terjadi reaksi / pembentukan senyawa kompleks antar senyawa obat yang mengakibatkan salah satu atau semuanya dari macam obat mengalami penurunan kecepatan absorpsi. Contohnya interaksi tetrasiklin dengan ion Ca2+, Mg2+, Al2+ dalam antasid yang menyebabkan jumlah absorpsi keduanya turun. Perubahan pH. Interaksi dapat terjadi akibat perubahan harga pH oleh obat pertama sehingga menaikkan atau menurukan absorpsi obat kedua. Contohnya pemberian antasid bersama penisilin G dapat meningkatkan jumlah absorpsi penisilin G. Motilitas saluran cerna. Pemberian obat-obat yang dapat

mempengaruhi motilitas saluan cerna dapat mempengaruhi absorpsi obat lain yang diminum bersamaan. Contohnya antikolinergik yang diberikan bersamaan dengan parasetamol dapat memperlambat kerja parasetamol. b. Interaksi pada proses distribusi Di dalam darah senyawa obat berinteraksi dengan protein plasma. Senyawa yang bersifat asam akan berikatan dengan albumin dan yang bersifat basa akan berikatan dengan 1-glikoprotein. Jika 2 obat atau lebih diberikan, maka obat tersebut dalam darah akan bersaing untuk berikatan dengan protein plasma sehingga proses distribusi terganggu (terjadi peningkatan salah satu distribusi obat ke jaringan). Contohnya pemberian klorpropamid klorpropamid. dengan fenilbutazon, akan meningkatkan distribusi

c. Interaksi pada proses metabolisme Hambatan metabolisme. Pemberian suatu obat bersamaan dengan obat lain yang enzim metabolismenya sama dapat menimbulkan gangguan metabolisme yang dapat menaikkan kadar salah satu obat dalam plasma, sehingga meningkatkan efek atau toksisitasnya. Contohnya pemberian warfarin bersamaan dengan fenilbutazon dapat menyebabkan meningkatnya kadar pendarahan. Induktor enzim. Contohnya pemberian estradiol bersamaan dengan rifampisin akan menyebabkan kadar estradiol menurun dan efektifitas kontrasepsi oral estradiol menurun. d. Interaksi pada proses eliminasi Gangguan ekskresi ginjal akibat kerusakan ginjal oleh obat. Jika suatu obat yang ekskresinya melalui ginjal diberikan bersamaan obat-obat yang dapat merusak ginjal, maka akan terjadi akumulasi obat tersebut yang dapat menimbulkan efek toksik. Contohnya digoksin diberikan bersamaan dengan obat yang dapat merusak ginjal (aminoglikosida, siklosporin) mengakibatkan kadar digoksin naik sehingga timbul efek toksik. Kompetisi untuk sekresi aktif di tubulus ginjal. Jika di tubulus ginjal terjadi kompetisi antara obat dan metabolit obat untuk sistem transport aktif yang sama, maka dapat menyebabkan hambatan sekresi. Contohnya jika penisilin diberikan bersamaan probenesid warfarin dan terjadi

maka akan menyebabkan klirens penisilin menurun, sehingga kerja penisilin lebih panjang. Perubahan pH urin. Bila terjadi perubahan pH urin maka akan menyebabkan perubahan klirens ginjal. Jika harga pH urin naik akan meningkatkan eliminasi obat-obat yang bersifat asam lemah, sedangkan jika harga pH turun akan meningkatkan eliminasi obatobat yang bersifat basa lemah. Contohnya pemberian pseudoefedrin (obat basa lemah) diberikan bersamaan ammonium klorida maka akan meningkatkan ekskersi pseudoefedrin. Terjadi ammonium klorida akan mengasamkan urin sehingga terjadi peningkatan ionisasi pseudorfedrin dan eliminasi dari pseudoefedrin juga meningkat.

II.2 Pengaruh Motilitas Lambung Terhadap Proses Absorbsi Obat II.2.1 Anatomi Fisiologi Lambung Lambung dibagi dalam tiga bagian, yaitu bagian atas (fundus), bagian tengah (corpus), dan bagian bawah (antrum) yang meliputi pelepasn lambung (pylorus). Selain otot penutup pylorus (Sfingter), di bagian atas lambung juga terdapat otot melingkar lain, yakni sfingter kerongkonganlambung. Sfingter tersebut bekerja sebagai katup dan berfungsi menyalurkan makanan ke hanya satu jurusan, yaitu ke arah usus. Dinding lambung terdiri dari tiga lapis, yaitu sel-sel utama (chieff cells) di mukosa fundus mensekresi pepsinogen, sel-sel parietal terdapat di dinding

mukosa fundus dan corpus yang memproduksi HCl, dan sel-sel G yang terdapat di mukosa antrum dan mengeluarkan gastrin. Di lokasi ini terdapat pula sel-sel mucus yang mensekresi lendir. Makanan disimpan di dalam lambung, dicampur dengan asam, mukus dan pepsin, dan dilepaskan pada kecepatan terkontrol kedalam duodenum.

Gambar 1. Sistem pencernaan

Gambar 2. Anatomi lambung

II.2.1 Fisiologi Pengosongan Lambung Bila makanan memasuki lambung, maka lambung relaksasi oleh proses refleks reseptik. Relaksasi otot lambung ini dicetuskan oleh gerakan faring dan esofagus. Ia diikuti oleh kontraksi peristaltik yang mencampur makanan dan menyemprotkan makanan ke dalam duodenum pada kecepatan terkontrol. Gelombang peristaltik normalnya

berkecepatan 3 gelombang/menit. Pengosongan lambung normal jika pylorus dipertahankan terbuka. Kontraksi Antrum diikuti oleh kontraksi daerah pylorus dan duodenum secara berturut-turut, sehingga isi lambung diteruskan sedikit demi sedikit ke dalam usus halus. Dengan kata lain, secara garis besar terdapat 4 aspek dalam motilitas lambung, yaitu :

1. Pengisian lambung (Gastric filling). Volume lambung kosong yaitu 1,5 L dan saat terisi dapat mencapai 3-4 L. Saat terisi, ia akan relaksasi oleh relaksasi reseptif. 2. Penyimpanan lambung (Gastric storage). Berlangsung di daerah korpus dimana kontraksi peristaltik lemah karena lapisan otot tipis. 3. Pencampuran makanan (Gastric mixing). Berlangsung di antrum yang berotot tebal. Hal ini menyebabkan kontraksi perustaltiknya kuat. 4. Pengosongan lambung (Gastric emptying). Laju pengosongan

lambung dipengaruhi oleh volume dan fluiditas makanan yang dicerna di lambung, gelombang peristaltik, obat yang diberikan bersamaan, dan sebagainya.

Gambar 3. Kontraksi peristaltik

Motilitas dan sekresi lambung diregulasi oleh mekanisme sistem saraf dan humoral. Komponen saraf merupakan refleks autonom lokal, yang melibatkan neuron kolinergik dan impuls dari SSP melalui nervus vagus. Rangsangan vagus meningkatkan sekresi gastrin. Serabut vagus lain melepaskan asetilkolin, yang bekerja langsung atas sel dalam kelenjar di dalam corpus dan fundus untuk meningkatkan sekresi asam pepsin. Rangsangan nervus vagus di dalam dada atau dan leher

meningkatkan sekresi asam dan pepsin. Secara garis besar, motilitas dan sekresi lambung dikontrol oleh hormon gastrin, hormon enterogastron (sekretin, CCK, GIP), serta respon vagus dan saraf intrinsik.

II.2.2 Obat-Obat yang Mempengaruhi Motilitas Lambung Usus halus merupakan tempat utama untuk absorbsi obat yang bersifat basa. Di sini absorbsi jauh lebih cepat dibandingkan dengan di dalam lambung. Oleh karena itu makin cepat obat sampai di usus makin cepat pula absorbsinya. Faktor yang mempengaruhi laju pengosongan lambung yaitu antara lain volume makanan yang dicerna, keadaan emosional pasien, dan pemakaian bersama obat. Obat yang

mempercepat pengosongan lambung atau gerak peristaltik, seperti metoklopramid, dapat mempercepat absorbsi obat lain yang diberikan secara bersamaan. Sebaliknya, obat yang memperlambat pengosongan lambung, seperti antikolinergik atau antidepresan trisiklik, beberapa

antihistamin, antasid garam Al dan analgetik narkotik, akan memperlambat pula absorbsi obat lain yang harus diabsorbsi di dalam usus. Kecepatan pengosongan lambung biasanya hanya mempengaruhi kecepatan

absorbsi tetapi tidak mempengaruhi jumlah obat yang terabsorbsi. Hal ini berarti bahwa kecepatan pengosongan lambung hanya mengubah tinggi kadar puncak (Cpmax) dan waktu untuk mencapainya (tmax) tanpa mengubah bioavailabilitas obat, kecuali obat yang mengalami

metabolisme lintas pertama oleh enzim pencernaan pada dinding usus dan lambung, seperti levodopa dan klorpromazin. Namun demikian, jika gerak peristaltik terlampau cepat justru akan mempengaruhi atau mengurangi absorbsi obat tertentu yang sifatnya memang lambat terabsorbsi, karena membutuhkan waktu kontak yang lama dengan permukaan tempat absorbsi, seperti sediaan bersalut enterik dan sediaan lepas lambat (sustained release).

Karena fungsi utama dari lambung, konsumsi keterlambatan makanan lambung mengosongkan rate.3 Selain itu, besarnya penurunan ini APK tergantung pada volume dan jenis makanan dicerna (lihat Tabel 2.1). Tinggi lemak

makanan cenderung memperlambat laju pengosongan lambung untuk yang lebih besar dari satu kaya

karbohidrat atau asam amino. Konsumsi makanan mengangkat pH lambung dan memperlambat

motilitas longitudinal perut untuk memungkinkan penyerapan makanan di perut untuk diproses. Perubahan pH lambung yang dihasilkan dari konsumsi makanan dapat menghasilkan

signifikan efek pada penyerapan obat untuk obat tersebut yang pembubaran tergantung

pada pH rendah. Topik ini akan dibahas dalam bagian tentang Pembubaran Obat.

Dalam beberapa kasus, makanan dapat mengubah urutan tingkat penyerapan obat. Jumlah tersebut

dari riboflavin vitamin diserap telah dipelajari dalam berpuasa dan makan subjects.3 Dalam

mata pelajaran berpuasa, riboflavin diserap secara urutan nol. Dengan kata lain,

jumlah obat yang diserap sebagai fungsi waktu tidak akan berubah terlepas dari

besarnya dosis. Dengan adanya makanan, penyajian riboflavin untuk situs penyerapan diperlambat ke titik yang penyerapan terjadi pada tingkat

untuk situs penyerapan diperlambat ke titik yang penyerapan terjadi pada tingkat urutan pertama.

Penyajian riboflavin adalah cukup lambat bahwa operator transportasi adalah tidak jenuh. Dengan demikian, jumlah obat yang terserap meningkat dosis meningkat. Larutan

Konsumsi cairan tidak signifikan mengurangi APK, terutama karena cairan fisiologis memerlukan pengolahan minimal sebelum presentasi mereka ke kecil

usus. Penelitian terbaru menunjukkan, bagaimanapun, bahwa cairan memang bisa memperlambat APK sebagai

fungsi dari kalori mereka content.2-3 Teori ini didukung oleh data yang diperoleh dalam

berbagai laboratorium yang menyelidiki apakah penggunaan sebuah minuman asam, seperti

Coca-Cola atau jus jeruk, dapat menurunkan pH lambung dan dengan demikian mempromosikan

pembubaran obat basa lemah (misalnya, itrakonazol dan ketokonazol). di Selain itu, ini lebih lama waktu tinggal di perut dapat membantu dalam solvasi dari buruk larut, obat lipofilik seperti itraconazole.5-8 Gambar 2.4 menggambarkan manfaat dari

keterlambatan pengosongan lambung sebagai Cmax dan AUC itrakonazol secara dramatis

ditingkatkan dengan penurunan tingkat pengosongan lambung setelah konsumsi Coca-

Cola . Pada nilai pH yang seharusnya dipromosikan disolusi obat yang cepat dan penyerapan

(misalnya, pH 1-3), tingkat penyerapan obat ini, sebagaimana tercermin dalam nilai-nilai tmax,

tidak ditingkatkan oleh asam beverage.8 Untuk lebih menekankan titik, Carver dan rekan menurunkan pH lambung menggunakan asam glutamat dan menunjukkan bahwa

yang tmax dari itrakonazol adalah unchanged.5 Oleh karena itu, isi kalori dari cairan

mungkin merupakan faktor penentu dalam besarnya pengurangan APK. Volume cairan juga memainkan peran dalam tingkat penyerapan. Hal ini ditunjukkan

dalam penelitian dengan beberapa antibiotik diambil dengan volume kecil air (misalnya,

20-25 mL) atau volume besar air (misalnya, 250-500 mL). Drama perbedaan diamati dalam profil konsentrasi obat terhadap waktu untuk obat-obatan hanya sebagai

fungsi dari volume cairan tertelan (Gambar 2.5). Dengan demikian, pasien yang mengambil

obat dengan volume besar air dibandingkan dengan volume kecil air mungkin menunjukkan onset sangat berbeda, durasi, dan intensitas kerja obat. tidak

semua obat akan menunjukkan perubahan-perubahan substansial dalam disposisi mereka sebagai fungsi dari

jenis dan volume cairan dicerna, tetapi adalah bijaksana untuk menginstruksikan dalam metode pasien pilihan mereka untuk menelan konsisten obat.

Seperti yang disebutkan sebelumnya, pH perut mungkin memainkan peran dalam tingkat

penyerapan obat. Secara umum, basa lemah obat, seperti antihistamin dan hidung. dekongestan, larutkan dengan cepat ke dalam lingkungan pH rendah dari lambung karena

profil menguntungkan ionisasi. Sebaliknya, asam lemah obat, seperti yang paling obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID), yang kurang larut dalam perut karena molekul asam cenderung tetap serikat dalam lingkungan asam tinggi. Salah satu langkah mendasar dalam proses penyerapan adalah pembubaran (atau solvasi)

dari molekul obat ke dalam cairan perut dari bentuk sediaan diberikan. Jika obat adalah kurang larut dalam perut dan, sebagai hasilnya, pembubaran molekul obat lambat, maka tingkat penyerapan obat akan berkurang. Paradoksnya, obat dilarutkan dalam keadaan terionisasi dianggap buruk diserap. Obat harus deionisasi untuk menyeberangi membran biologis lipofilik, kecuali

mekanisme transportasi spesifik aktif ada untuk memudahkan gerakannya melintasi membran.

Idealnya, sebuah molekul obat harus terionisasi untuk memfasilitasi pembubaran dan kemudian

serikat untuk diserap. Pada kenyataannya, bahkan molekul obat terionisasi diserap dengan baik

di usus kecil karena luas permukaan yang luar biasa dan waktu tinggal yang panjang.

Tabel 2.3 menampilkan nilai pH dan waktu tinggal dari berbagai bagian yang selama kondisi berpuasa. GIT

edangkan APK sensitif terhadap padatan dan cairan tertelan, pengosongan usus

rate adalah hampir independen dari makanan atau cairan obat ingestion.9 Banyak,

Namun, dapat mempengaruhi nada usus dan motilitas. Pencahar stimulan meningkatkan pergerakan bahan dari usus halus distal, dan ini gangguan dalam homeostasis dengan mudah dapat mempengaruhi tingkat absorpsi obat. Atau, antidiarrheals, seperti loperamide serta analgesik narkotika, secara signifikan usus

memperlambat

motilitas, dan ini dapat mengubah tingkat absorpsi obat. bersamaan diberikan obat yang mempengaruhi nada usus juga mempengaruhi transit di usus menjadi derajat dari konsumsi makanan. lebih besar

Table.. handbook of drug interaction

domperidone dapat menurunkan tingkat penyerapan buruk obat larut atau obat yang diserap di lahan terbatas dari usus

II.2.3 Pengaruh Makanan

1. Piscitelli SC, & Rodvold KA. 2005. Drug Interactions in Infections Diseases. 2nd edition. Humana Press Totowa. New Jersey. 2. Ganong WF. 1995. Fisiologi Kedokteran. Edisi 14. EGC Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta. 3. Tjay TH, & Rahardja K. 2002. Obat-Obat Penting. Edisi V. Elex Media Computindo. Jakarta. 4. Ganiswara SG. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Bagian Farmakologi Universitas Indonesia. Jakarta. 5. Harkness R. 1989. Interaksi Obat. Penerbit ITB. Bandung. 6.

Anda mungkin juga menyukai