Anda di halaman 1dari 6

INTERAKSI OBAT

Interaksi obat adalah perubahan efek suatu obat akibat pemakaian obat lain
(interaksi obat-obat) atau oleh makanan, obat tradisional dan senyawa kimia lain.
Interaksi obat yang signifikan dapat terjadi jika dua atau lebih obat digunakan
bersama-sama. Interaksi obat secara klinis penting bila berakibat peningkatan
toksisitas atau pengurangan efektivitas obat. Jadi perlu diperhatikan terutama bila
menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi yang rendah),
misalnya glikosida jantung, antikoagulan dan obat-obat sitostatik. Selain itu juga
perlu diperhatikan obat-obat yang biasa digunakan bersama-sama.

MEKANISME INTERAKSI OBAT


Interaksi diklasifikasikan berdasarkan keterlibatan dalam proses
farmakokinetik maupun farmakodinamik. Interaksi farmakokinetik ditandai dengan
perubahan kadar plasma obat, area di bawah kurva (AUC), onset aksi, dan waktu
paro. Interaksi farmakokinetik diakibatkan oleh perubahan laju atau tingkat absorpsi,
distribusi, metabolisme dan ekskresi. Interaksi farmakodinamik biasanya
dihubungkan dengan kemampuan suatu obat untuk mengubah efek obat lain tanpa
mengubah sifat-sifat farmakodinamiknya.

METABOLISME OBAT
Metabolisme obat adalah proses modifikasi biokimia senyawa obat oleh
organisme hidup, pada umumnya dilakukan melalui proses enzimatik. Proses
metabolime obat merupakan salah satu hal penting dalam penentuan durasi dan
intensitas khasiat farmakologis obat. Karena senyawa lipofil sebagian sebagian besar
di absorpsi kembali kedalam tubuli ginjal setelah filtrasi glomerulus, maka senyawa
ini dapat di ekskresi dengan lambat melalu i ginjal.
Untuk menghasilkan efek sistemik dalam tubuh, obat harus mencapai
reseptor, berarti obat harus dapat melewati membrane plasma. Untuk itu obat harus
larut lemak. Metabolisme dapat mengubah senyawa aktif yang larut lemak menjadi
senyawa larut air yang tidak aktif, yang nantinya akan di ekskresi terutama melalui
ginjal. Obat dapat melewati dua fase metabolisme, yaitu metabolisme fase I dan II.
Pada metabolisme fase I, terjadi oksidasi, demetilasi, hidrolisa. Oleh en
zim mikrosomal hati yang berada di endotheliu, menghasilkan metabolit obat yang
lebih larut dalam air. Pada metabolisme fase II, obat bereaksi dengan molekul yang
larut dalam air (misalnya asam glukuronat, sulfat) menjadi metabolit yang tidak atau
kurang aktif, yang larut dalam air. Suatu senyawa dapat melewati satu atau kedua fase
metabolisme di atas hingga tercapai bentuk yang larut dalam air. Sebagian besar
interaksi obat yang signifikan secara klinis terjadi akibat metabolisme fase I dari pada
fase II.
1. Mekanisme Metabolisme Obat
Metabolisme obat sebagian besar terjadi di reticulum endoplasma sel-sel hati.
Selain itu, metabolisme obat juga terjadi di sel-sel epitel pada saluran pencernaan,
paru-paru, ginjal, dan kulit. Terdapat 2 fase metabolisme obat, yakni fase I dan II.
Pada reaksi-reaksi ini, senyawa yang kurang polar akan dimodifikasi menjadi
senyawa metabolit yang lebih polar. Proses ini dapat menyebabkan aktivitasi atau
inaktivasi senyawa obat.
Reaksi fase I, disebut juga reaksi nonsintetik, terjadi melalui reaksi
nonsintetik, terjadi melalui reaksi-reaksi oksidasi, reduksi, hidrolisis, siklikasi, dan
desiklikasi. Reaksi oksidasi terjadi bila ada penambahan atom oksigen atau
penghilangan hidrogen secara enzimatik. Obat-obat yang dimetabolisme
menggunakan metode ini antara lain golongan fenotiazin, paracetamol, dan
steroid.
Reaksi oksidasi akan mengubah ikatan C-H menjadi C-OH, hal ini
mengakibatkan beberapa senyawa yang tidak aktif (pro drug) secara farmakologi
menjadi senyawa yang aktif juga, senyawa yang lebih toksik/beracun dapat
terbentuk melalui reaksi oksidasi ini.
Reaksi fase II, disebut pula reaksi konjugasi, biasanya merupakan reaksi
karboksil (-COOH), hidroksil (-OH), dan amino (NH2), yang terjadi melalui reaksi
metilasi, asetilasi, sulfas, dan glukoronidasi. Reaksi fase II akan meningkatkan
berat molekul senyawa obat, dan menghasilkan produk yang tidak aktif. Hal ini
merupakan kebalikan dari reaksi metabolisme obat pada fase I.

Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat antara lain :


 Faktor Genetika: proses metabolisme sangat dipengaruhi oleh genetika/ keturunan.
Contoh pada metabolisme isoniazin pada metabolisme N-asetilasi.
 Faktor perbedaan spesies : pada proses metabolisme perubahan kimia yang terjadi
pada spesies/galur kemungkinan sama, sedikit beda atau cukup besar berbeda.
Contoh fenol : pada kucing terkonjugasi dengan sulfat sedangkan pada babi
terkonjugasi dengan glukoronat karena pada kucing lebih sedikit enzim
glukoronil transferase.
 Faktor jenis kelamin : pada spesies hewan banyak terjadi perbedaan metabolisme.
Kecepatan metabolisme tikus betina lebih rendah dari tikus jantan. Pada manusia
baru sedikit informasi pengaruh perbedaan metabolisme. Contoh : nikotin dan
asetosal. Kecepatan metabolisme pada pria > wanita.
 Faktor umur : bayi dalam kandungan dan bayi yang baru lahir memiliki jumlah
enzim mikrosom hati relative sedikit sehingga sangat peka terhadap obat.
 Faktor induksi dan inhibisi enzim metabolisme : induksi enzim menaikkan
kecepatan biosintetis enzim menyebabkan meningkatnya laju metabolisme yang
umumnya deaktivasi obat, sehingga mengurangi kadarnya dalam plasma dan
memperpendek waktu paro obat. Karena itu intensitas dan durasi efek
farmakologinya berkurang. Contohnya : fenobarbital, rokok, fenitoin dan
fenilbutason.
 Faktor lainnya : diet makanan, keadaan kekurangan gizi, gangguan keseimbangan
hormon, kehamilan, pengikat obat oleh protein plasma, distribusi obat dalam
jaringan, keadaan patologis hati (kanker hati, sirosis).

2. Interaksi Pada Proses Metabolisme


a. Peningkatan metabolisme
Beberapa obat biasa meningkatkan aktivitas enzim hepatik yang terlibat
dalam metablisme obat-obat lain. Misalnya fenobarbital meningkatkan
metabolisme warfarin sehingga menurunkan aktivits antikoagulannya. Pada
kasus ini dosis warfarin harus ditingkatkan, tapi setelah pemakaian
fenobarbital dihentikan dosis warfarin harus diturunkan untuk menghindari
potensi toksitas. Sebagai alternative dapat digunakan sedative selain
barbiturate, misalnya golongan benzodiazepine, fenobarbital juga
meningkatkan metabolisme obat-obat lain seperti hormone steroid.
b. Penghambatan Metabolisme
Suatu obat dapat juga menghambat metabolisme obat lain, dengan dampak
memperpanjang atau meningkatkan aksi obat yang dipengaruhi. Sebagai
contoh, allopurinol mengurangi produksi asam urat melalui penghambatan
enzim, yang metabolisme ksantin oksidase, yang memetabolisme beberapa
obat yang potensial toksis seperti merkaptoturin azatioprin. Penghambatan
ksantin oksidase dapat secara bermakna meningkatkan efek obat-obat ini.
Sehingga jika dipakai bersama allopurinol, dosis merkaptorin atau azatioprin
harus dikurangi hingga 1/3 atau ¼ dosis biasanya. Pemberian suatu obat
bersamaan dengan obat lain yang enzim pemetabolismenya sama dapat terjadi
gangguan metabolisme yang dapat menaikkan kadar salah satu obat dalam
plasma , sehingga meningkatkan efeknya atau toksisitasnya.
Contoh : pemberian S-warfarin bersamaan dengan fenilbutazon dapat
menyebabkan meningkatnya kadar S-warfrin dan terjadi pendarahan.
c. Induktor enzim
Pemberian suatu obat bersamaan dengan obat lain yang enzim
pemetabolismenya sama dapat terjadi gangguang metabolisme yang dapat
menurunkan kadar obat dalam plasma, sehingga menurunkan efeknya atau
toksisitasnya. Contoh : pemberian estradiol bersamaan dengan rifampisin akan
menyebabkan kadar estradiol menurun dan efektifitas kontrasepsi oral estradiol
menurun

Interaksi pada proses metabolisme merupakan kasus yang paling banyak


terjadi, dimana sekitar 50-60% obat yang digunakan dalam terapi dapat saling
berinteraksi pada enzim yang sama. Diantara enzim metabolisme yang lebih banyak
terlibat adalah enzim-enzim mikrosomal pada fase-1, yaitu yang melakukan proses
oksidasi, reduksi, dan hidroksilasi obat khususnya isoform CYP3A. ensim CYP
lainnya juga terlibat dalam interaksi obat, namun presentasinya lebih kecil
dibandingkan keterlibatan CYP3A. ada dua mekanisme interaksi pada enzim
metabolisme inhibisi dan induksi enzim, dan hal ini dapat terjadi di saluran usus dan
hati sebagai organ-organ utama metabolisme obat.
Efek inhibisi atau induksi enzim terhadap obat lain akan bermakna klinik :
 Jika inhibitor atau induser diberikan dalam waktu yang cukup misalnya beberapa
hari untuk inhibitor, dan lebih dari satu minggu untuk inducer untuk
menampakkan aksinya. Normalisasi enzim kekeadaan semula setelah penghentian
inhibitor atau inducer memerlukan waktu yang relative lebih cepat untuk
inhibitor, dan lebih lama untuk induser enzim-tergantung beberapa lama induksi
enzim berlansung.
 Jika inhibitor atau induser diberikan dengan dosis besar (refaltif terhadap jumlah
enzim), akan mempengaruhi aktivitas enzim metabolime secara signifikan.
 Tergantung beberapa jenis enzim yang terlihat dalam metabolisme obat. Jika
suatu obat (substrat) hanya dimetabolisme oleh satu jenis enzim saja, maka
inhibisi atau induksi enzim tersebut akan memberikan efek yang signifikan
terhadap obat. Misalnya atorvastatin dimetabolisme oleh CYP3A, dan inhibisi
enzim oleh itrakonazol menyebabkan AUC atorvastatin meningkat 3-4 kali lipat.
 Penyesuaian kembali dosis obat, setelah diubah ketika proses inhibisi dan induksi
berlangsung,sangat diperlukan untuk mencegah kegagalan terapi.
 Efek inhibisi atau induksi enzim metabolisme terhadap hasil terapi sulit
diperkirakan jika terjadi pada pemetabolisme lambat, cepat, atau ultra cepat.
Selain itu, karena kapasitas metabolisme dipengaruhi berbagai variabel (usia,
jenis kelamin, kehamilan, genetic, jenis dan intensitas patologi) maka manifestasi
klinik juga akan tergantung seberapa besar pengaruh variabel-variabel tersebut
terhadap enzim metabolisme.

Anda mungkin juga menyukai