Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

PERCOBAAN II

METABOLISME OBAT

Disusun oleh :

Golongan 1 , Kelompok 1
Oki Lia Saputri (G1F012001)
Dina Prarika (G1F012003)
Putri Dwi Lestari (G1F012005)
Rezky Bella Putri P.N. (G1F012007)
Nilta Dizzania (G1F012009)

Tanggal Praktikum :
Dosen Pembimbing praktikum : Esti Dyah Utami , M.Sc., Apt.
Asisten Praktikum :

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2013
METABOLISME OBAT
PERCOBAAN II

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Metabolisme obat adalah mengubah obat yang nonpolar (larut lemak)
menjadi polar (larut air) agar dapat diekskresi melalui ginjal atau empedu.
Dalam proses metabolisme dapat terjadi metabolisme obat berupa induksi
atau inhibisi enzim pemetabolisme, terutama enzim sitokrom P-450.
Induksi enzim berarti peningkatan sintesis enzim metabolisme pada tingkat
transkripsi sehingga terrjadi peningkatan kecepatan metabolisme obat yang
menjadi substrat enzim yang bersangkutan (Syarif, 1995).
Metabolisme obat memiliki 2 efek penting :
1. Obat menjadi lebih hidrofilik – hal ini mempercepat ekskresi melalui
ginjal karena metabolit yang kuat larut lemak tidak mudah di
reabsorbsi dalam tubulus ginjal.
2. Umumnya kurang aktif daripada obat asalnya. Akan tetapi, kadang –
kadang metabolit sama atau lebih aktif daripada obat aslinya. Sebagai
contoh diazepam, yaitu obat yang digunakan untuk ansietas,
dimetabolisme menjadi nordiazepam dan oxazepam, keduanya sama-
sama aktif. Prodruk bersifat inaktif sampai dimetabolisme dalam
tubuh menjadi obat aktif. Sebagai contoh, levodopa, suatu obat
antiparinkinson, dimetabolisme menjadi dopamin, sementara obat
hipotensif metildopa dimetabolisme menjadi metilnorepineprin-α
(Neal,2005).
Metabolisme dapat digunakan untuk menilai atau menaksir
manfaat dan keamanan obat, merancang pengaturan dosis, menaksir
kemungkinan terjadinya resiko atau bahaya dari zat pengotor dan lain-
lain.
Oleh karena itu, metabolisme obat perlu dipelajari oleh mahasiswa
farmasi untuk mengetahui salah satu proses yang penting dalam
pembuatan dan pemberian obat beserta efek yang ditimbulkan jika suatu
obat diberikan bersama dengan obat lain.
B. Tujuan Percobaan
Mempelajari pengaruh beberapa senyawa kimia terhadap enzim
pemetabolisme obat dengan mengukur efek farmakologinya.
C. Dasar Teori

Metabolisme obat adalah proses modifikasi biokimia senyawa


obat oleh organisme hidup, pada umumnyadilakukanmelalui proses
enzimatik. Metabolisme juga bisa diartikan sebagai suatu proses kimia di
mana suatu obat diubah didalam tubuh menjadi suatu metabolitnya. Proses
metabolisme obat merupakan salah satu hal penting dalam penentuan
durasi dan intensitas khasiatfarmakologis obat. Metabolisme obat sebagian
besar terjadi di retikulum endoplasma,sel-selhati. setelah pemberian secara
oral, obat diserap oleh saluran cerna, masuk ke peredaran darah dan
kemudian ke hati melalui efek lintas pertama. aliran darah yang membawa
obat atas senyawa organik asing melewati sel-sel hati secara perlahan-
lahan dan termetabolisis menjadi senyawa yang mudah larut dalam air
kemudian diekskresikan melalui urin. Selain itu, metabolisme obat juga
terjadi di sel-sel epitel pada saluran pencernaan, paru-paru, ginjal, dan kulit
(Siswandono, 1995).
Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang nonpolar
(larut lemak) menjadi polar (larut air) agar dapat diekskresi melalui ginjal
atau empedu. Dengan perubahan ini obat aktif umumnya diubah menjadi
inaktif, tapi sebagian berubah menjadi lebih aktif, kurang aktif, atau
menjadi toksik. Kecepatan biotransformasi umumnya bertambah bila
konsentrasi obat meningkat. Hal ini berlaku sampai titik dimana
konsentrasi menjadi demikian tinggi hingga seluruh molekul enzim yang
melakukan pengubahan ditempati terus-menerus oleh molekul obat dan
tercapainya kecepatan biotransformasi yang konstan. Sebagai contoh dapat
dikemukakan natrium salisilat dan etanol bila diberikan dengan dosis yang
melebihi 5000 mg dan 20g, pada grafik konsentrasi-waktu dari etanol.
Kecepatan biotransformasi konstan ini tampak dari turunnya secara
konstan pula dari konsentrasinya dalam darah(Mardjono, 2007).
Kecepatan biotransformasi umumnya bertambah bila konsentrasi
obat meningkat. Hal ini berlaku sampai titik dimana konsentrasi menjadi
demikian tinggi hingga seluruh molekul enzim yang melakukan
pengubahan ditempati terus-menerus oleh molekul obat dan tercapainya
kecepatan biotransformasi yang konstan. Sebagai contoh dapat
dikemukakan natrium salisilat dan etanol bila diberikan dengan dosis yang
melebihi 5000mg dan 20g, pada grafik konsentrasi-waktu dari etanol.
Kecepatan biotransformasi konstan ini tampak dari turunnya secara
konstan pula dari konsentrasinya dalam darah (Mycek, 2001).

Interaksi dalam metabolisme obat berupa induksi atau inhibisi


enzim metabolisme,terutama enzim cyp. Induksi berarti peningkatan
sistem enzim metabolisme pada tingkat transkripsi sehingga terjadi
peningkatan kecepatan metabolisme obat yang menjadi substrat enzim
yang bersangkutan.Inhibisi enzim metabolisme berarti hambatan yang
terjadi secara langsung dengan akibat peningkatan kadar substrat dari
enzim yang dihambat juga terjadi secara langsung (Mycek, 2001).
faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat, antara lain:
1. Faktor genetik atau keturunan
perbedaan individu pada proses metabolisme sejumlah obat
kadang-kadang terjadi dalam sistem kehidupan. hal ini menunjukan
bahwa faktor genetik atau keturunan ikut berperan terhadap adanya
perbedaan kecepatan metabolisme obat (Mycek, 2001).
2. Perbedaan spesies dan galur
Pada proses metabolisme obat, perubahan kimia yang terjadi pada
spesies dan galur kemungkinan sama atau sedikit berbeda, tetapi
kadang-kadang ada perbedaan yang cukup besar pada reaksi
metabolismenya. pengamatan pengaruh perbedaan spesies dan galur
terhadap metabolisme obat sudah banyak dilakukan, yaitu pada tipe
reaksi metabolic atau perbedaan kualitatif dan pada kecepatan
metabolisme atau perbedaan kuantitatif (Mycek, 2001).
3. Perbedaan jenis kelamin
Pada beberapa spesies binatang menunjukan ada pengaruh jenis
kelamin terhadap kecepatan metablisme obat. banyak obat
dimetabolisis dengan kecepatan yang sama baik pada tikus betina
maupun tikus jantan. tikus betina dewasa ternyata memetabolisis
beberapa obat dengan kecepatan yang lebih rendah. Pada manusia
baru sedikit yang diketahui tentang adanya pengaruh perbedaan jenis
kelamin terhadpa proses metabolisme obat (Mycek, 2001).
4. Perbedaan umur
Bayi dalam kandungan dan bayi yang baru lahir jumlah enzim-
enzim mikrosom hati yang diperlukan untuk memetabolisis obat
relatif masih sedikit sehingga sangat peka terhadap obat (Mycek,
2001).
5. Penghambatan enzim metabolisme
Kadang-kadang pemberian terlebih dahulu atau secara bersama-
sama suatu senyawa yang menghambat kerja enzim metabolisme
dapat meningkatkan intensitas efek obat, memperpanjang masa kerja
obat dan kemungkinan juga meningkatkan k efek samping dan
toksisitas (Mycek, 2001).
5. Induksi Enzim Metabolisme
Kadang-kadang pemberian terlebih dahulu atau secara
bersama-sama suatu senyawa dapat meningkatkan kecepatan
metabolisme obat dan memperpendek masa kerja obat. Hal ini
disebabkan senyawa tersebut dapat meningkatkan aktivitas atau
jumlah enzim metabolisme dan bukan karena perubahan permeabilitas
mikrosom atau oleh adanya reaksi penghambatan. peningkatan
aktivitas enzim metabolisme obat-obat tertentu atau proses induksi
enzim mempercepat proses metabolisme dan menurunkan kadar obat
bebas dalam plasma sehingga efek farmakologis obat menurun dan
masa kerjanya menjadi lebih singkat. induksi enzim juga
mempengaruhi tosisitas beberapa obat karena dapat meningkatkan
metabolisme dan pembentukan metabolit reaktif (Mycek, 2001).
7. Faktor Lain
Faktor lain yang dapat mempengaruhi metabolisme obat adalah
diet makanan, keadaan kurang gizi, gangguan keseimbangan hormon,
kehamilan, pengikatan obat oleh protein plasma, distribusi obat dalam
jaringan dan kedaan patologis hati (Mycek, 2001).

Klasifikasi Metabolisme Obat

Reaksi metabolisme obat terbagi menjadi 2 fase, yaitu fase 1


merupakan reaksi fungsinalisasi yaitu gugus polar baru dimasukan atau
dibentuk melalui reaksi oksidasi, reduksi, hidrolisis. beberapa metabolit
reaksi fase I bisa mempunyai aktifitas yang sama atau berbeda dengan
senyawa induk. Reaksi fase 2 menggabungkan solubilyzing moeities
( asam glukoronat, asam amino atau asam sulfat) pada obat asli (jika punya
gugus polar) atau pada metabolit fase 1 metabolisme fase 1 bisa terjadi
sebelum atau setelah fase 2. Reaksi fase II umumnya melibatkan
penggabungan ( konjugasi) molekul endogen polar kecil pada obat atau
metabolit fase I, yaitu metabolit larut air yang siap di ekskresi via urin dan
empedu. kojugat umum meliputi asam klugoronat, sulfat dan asam amino.
Metabolit I fase bisa diekskresikan tanpa mengalami reaksi metabolisme
fase 2 (Mardjono, 2007).
Secara umum fase biotransformasi fase I dan fase II adalah
inaktivasi dan detoksifikasi xenobiotik. Metabolisme juga bisa
menghasilkan metabolit toksik umumnya berasal dari xenobiotik
nonterapeutik ( polutan, bahan kimia).Reaksi konjugasi biasanya terjadi
terhadap gugus nukleofil pada obat seperti alkohol, asam karboksilat,
amina ( termasuk amin heterosiklik dan tiol). Jika gugus ini tidak ada pada
sebuah obat biasanya obat tersebut mengalami reaksi fase 1 telebih dahulu.
gugus pengkonjugasi merupakan molekul endogen yang mulanya
diaktivasi dalam bentuk koenzim untuk ditransfer ke obat. gugus tersebut
adalah OH, COOH, NH2, (Siswandono, , 1995).
Secara umum reaksi yang termasuk kedalam reaksi metabolisme
fase 1 adalah:
1. Oksidasi
2. reduksi
3. Hidrolisi
Sedangkan reaksi metabolisme fase 2 adalah:
1. glukoronidasi
2. sulfasi
3. glutation
4. hidrolisis epoksida
5. asetilasi
6. metilasi
7. esterase/amides
8. konjugasi asam amino
(Mardjono, 2007)

Monografi bahan-bahan yang digunakan :

1. Diazepam

Diazepam (C16H13ClN2O) adalah turunan dari


benzodiazepine dengan rumus molekul 7-kloro-1,3-
dihidro-1-metil-5-fenil-2H-1,4-benzodiazepin-2-on.
BM Diazepam = 284,75. Pemerian Serbuk hablur,
hampir putih sampai kuning, praktis tidak
berbau.Kelarutan praktis tidak larut dalam air,
mudah larut dalam kloroform, larut dalam etanol.
(Farmakope Indonesia IV, 1995).

Mekanisme kerja obat dari diazepam ini adalah bekerja pada sistem
GABA, yaitu dengan memperkuat fungsi hambatan neuron GABA.Reseptor
Benzodiazepin dalam seluruh sistem saraf pusat, terdapat dengan kerapatan
yang tinggi terutama dalam korteks otak frontal dan oksipital, di hipokampus
dan dalam otak kecil. Pada reseptor ini, benzodiazepin akan bekerja sebagai
agonis. Terdapat korelasi tinggi antara aktivitas farmakologi berbagai
benzodiazepin dengan afinitasnya pada tempat ikatan. Dengan adanya interaksi
benzodiazepin, afinitas GABA terhadap reseptornya akan meningkat, dan
dengan ini kerja GABA akan meningkat. Dengan aktifnya reseptor GABA,
saluran ion klorida akan terbuka sehingga ion klorida akan lebih banyak yang
mengalir masuk ke dalam sel. Meningkatnya jumlah ion klorida menyebabkan
hiperpolarisasi sel bersangkutan dan sebagai akibatnya, kemampuan sel untuk
dirangsang berkurang (Katzung, 2001).

2. Fenobarbital
Fenobarbital mengandung tidak kurang dari 98,0 % dan tidak lebh
dari 101,0 % C12H12N2O3 dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Pemerian
hablur atau serbuk hablur, putih tidak berbau, rasa agak pahit. Sangat sukar
larut dalam air, larut dalam etanol (95 %), dalam eter, dalam larutanalkali
hidroksida dan dalam larutan alkali karbonat. Penyimpanan dalam wadah
tertutup baik. Khasiat penggunaan hipnotikum, sedatifum. Dosis meksimum
sekali 300 mg, sehari 600 mg (Anonim, 1979).
3. Simetidin
Simetidin mengandung tidak kurang dari 98 % dan tidak lebih dari
102,0 % C10H1 N6S, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Pemerian
serbuk hablur putih sampai hampir putih, tidak berbau.larut dalam etanol,
dalam polietilen glikol 400, mudah larut dalam metanol, agak sukar larut dalam
isporopanol, sukar larut dalam air dan dalam kloroform, praktis tidak larut
dalam eter. Penyimpanan dalam wadah tertutup rapat, tidak tembus cahaya, dan
pada suhu kamar terrendah ( Anonim,1979). Penggunaannya pada terapi dan
profilaksis tukak lambung-usus, reflux-oesphalagitis ringan sampai sedang dan
sindroma Zollinger Ellison. Efek samping jarang terjadi dan berupa diare
( sementara ), nyeri otot,pusing-pusing dan reaksi kulit ( Tjay, 2008).
4. Ciprofloxacin
Derivat siklopropil dari kelompok flourkuinolon ini berkhasiat lebih
luas dan kuat daripada nalidiksanat dan pipemidinat, juga menghasilkan kadar
darah/ jaringan dan plasma t ½ yang lebih tinggi. Penggunaan sistemisnya lebih
luas dan meliputi ISK berkompilasi, infeksi saluran napas bila disebabkan oleh
Pseudomonas aeruginosa, infeksi saluran cerna, jaringan lunak, kulit dan
gonore. Resorpsinya baik dengan B.A kurang lebih 70% dan kadar plasma
maksimal tercapai 0,5-1,5 jam setelah penggunaan oral. Efek sampingnya
secara insidentil dapat timbul kristaluria atau hematuria ( Tjay, 2008).
5. Aquades
Air suling dibuat dengan menyuling air yang dapat diminum.
Pemerian cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak mempunyai rasa.
Penyimpanan dalam wadah tertutup baik ( Anonim, 1979 ).

II. ALAT DAN BAHAN


1. Alat-alat
- Spuit injeksi (0,1-2 ml)
- Jarum sonde/ ujung tumpul/ membulat
- Labu ukur
- Stop watch
- Timbangan tikus
- Neraca analitik
- Alat-alat gelas
2. Bahan
- Aquabidest
- Diazepam
- Induktor enzim : Fenobarbital 30 mg/kg BB
- Inhibitor enzim : Simetidin dan Siprofloksasin
- Hewan coba ( tikus )
III. CARA KERJA

tikus Diazepam, Fenobarbital,


Simetidin, dan Siprofloksasin
-Ditimbang
-Dihitung konversi dosis, larutan
- Dimasukkan kedalam wadah
stok obat, jumlah obat yang
harus diambil, serta
perhitungan volume obat
yang akan diberikan.
-Ditimbang, digerus dan diambil
sesuai perhitungan
-Dilarutkan
- Dimasukkan ke dalam spuit
injeksi

Larutan obat

Diberikan kepada hewan uji ( tikus )

Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok

Diazepam fenobarbital simetidin ciprofloksasin

-Diberikan secara - Diberikan pada tikus - Diberikan secara


i.p pada tikus secara intraperitonial
intraperitonial pada tikus
- Diberikan intraperiton tikus
secara ial pada

tikus tikus tikus tikus

- Didiamkan 15 - Didiamkan 15 - Didiamkan 15 - Didiamkan 15


menit menit menit menit

Diazepam

- Diambil sesuai perhitungan masingh-masing


tikus.
- Diberikan pada masing-masing tikus secara
intraperitoneal

hasil

- Dihitung durasi dan onsetnya


- dibandingkan
data
IV. HASIL PERCOBAAN DAN PERHITUNGAN
Hasil percobaan :

No Perlakuan Onset Durasi


1 Diazepam + aquades Menit ke - 15 45 menit
2 Diazepam + Fenoftalein Menit ke - 15 15 menit
3 Diazepam + Simetidin Menit ke - 60 45 menit
4 Diazepam + siprofloksasin Menit ke - 15 15 menit

N0 Waktu Diazepam Diazepam + Diazepam + Diazepam


Perlakuan
+ aquades Feno Cimet + Cipro
1 15 menit 8x 5x 3x 12 x
2 30 menit 6x 2x 5x 2x
3 60 menit 5x 4x 6x 1x
4 90 menit 5x 0x 4x 1x

Perhitungan :
1. Kelompok 1 ( Diazepam ( I.P) dan Aquades (P.O)
) Dosis manusia : 10 mg/ 70 kg BB manusia
Dosis tablet : 2 mg
Bobot tikus : 180 gram
Bobot tablet : 116,4 mg
a. Aquades (P.O)
 Volume pemberian = BB tikus x 1 x Vmax

100 gr 2

= 180 x 1 x 5
100 2

= 4,5 ml

b. Diazepam (I.P)
 Dosis konversi = f .konversi x dosis manusia

BB tikus standar

= 0,018 x 10 mg
200 gr BB tikus
= 0,18 mg/ 200 gr BB tikus

 Larutan stok = dosis konversi


2 x Vmax
= 0,18
2 x 5 ml
= 0,018 mg/ml
≈ 0,36 mg / ml
 ∑ obat yang diambil = larutan stok x bobot tablet
dosis tablet
= 0,36 x 116,4 mg
2
= 20, 965 mg  dimasukkan ke dalam labu

takar kemudian isi aquades hingga 20 ml


 Volume pemberian = BB tikus x 1 x Vmax
100 gr 2
= 180 x 1 x 5 ml
100 2
= 4,5 ml

2. Kelompok 2 ( Diazepam ( I.P) dan Fenobarbital (I.P)


) Dosis manusia : 30 mg/ 70 kg BB manusia
Ampul fenobarbital : 50 mg/ 2 ml
: 25 mg/ml
Bobot tikus : 160 gram

a. Fenobarbital ( I.P)
 Dosis konversi = f .konversi x dosis manusia

BB tikus standar

= 0,018 x 30 mg
200 gr BB tikus

= 0,54 mg/ 200 gr BB tikus

 Larutan stok = dosis konversi


2 x Vmax
= 0,54
2 x 5 ml
= 0,054 mg/ml
 Pengenceran
V1 . M1 = V2 . M2
V1 . 25 mg/ml = 10 ml . 0,054 mg/ml
V1 = 0,0216 ml  dimasukkan ke dalam labu takar
kemudian isi aquades hingga 10 ml

 Volume pemberian = BB tikus x 1 x Vmax


100 gr 2
= 160 x 1 x 5 ml
100 2
= 4 ml

b. Diazepam (I.P)
 Volume pemberian = BB tikus x 1 x Vmax
100 gr 2
= 160 x 1 x 5 ml
100 2
= 4 ml

3. Kelompok 3 ( Diazepam ( I.P) dan Cimetidin (P.O)


) Dosis manusia : 200 mg/ 70 kg BB manusia
Dosis tablet : 200 mg
Bobot tikus : 180 gram
Bobot tablet : 387 mg
a. Cimetidin (P.O)
 Dosis konversi = f .konversi x dosis manusia

BB tikus standar

= 0,018 x 200 mg
200 gr BB tikus

= 3,6 mg/ 200 gr BB tikus

 Larutan stok = dosis konversi


2 x Vmax
= 3,6
2 x 5 ml
= 0,36 mg/ml
 ∑ obat yang diambil = larutan stok x bobot tablet
dosis tablet
= 0,36 x 387 mg
200
= 6,966 ≈ 7 mg  dimasukkan ke dalam labu

takar kemudian isi aquades hingga 10 ml


 Volume pemberian = BB tikus x 1 x Vmax
100 gr 2
= 180 x 1 x 5 ml
100 2
= 4,5 ml
b. Diazepam (I.P)
 Volume pemberian = BB tikus x 1 x Vmax
100 gr 2
= 180 x 1 x 5 ml = 4,5 ml
100 2

4. Kelompok 4 ( Diazepam ( I.P) dan Ciprofloksasin(P.O) )


Dosis manusia : 500 mg/ 70 kg BB manusia
Dosis tablet : 500 mg
Bobot tikus : 160 gram
Bobot tablet : 702,6 mg
a. Cimetidin (P.O)
 Dosis konversi = f .konversi x dosis manusia

BB tikus standar
= 0,018 x 500 mg

200 gr BB tikus

= 9 mg/ 200 gr BB tikus

 Larutan stok = dosis konversi


2 x Vmax
=9 .
2 x 5 ml
= 9 mg/ 10 ml
 ∑ obat yang diambil = larutan stok x bobot tablet
dosis tablet
= 9 x 702,6 mg
500
= 12, 6468 ≈ 12,6 mg  dimasukkan ke dalam
labu takar kemudian isi aquades hingga 10 ml
 Volume pemberian = BB tikus x 1 x Vmax
100 gr 2
= 160 x 1 x 5 ml
100 2
= 4 ml

b. Diazepam (I.P)
 Volume pemberian = BB tikus x 1 x Vmax
100 gr 2
= 160 x 1 x 5 ml
100 2
= 4 ml
V. PEMBAHASAN

Praktikum metabolisme obat dilakukan untuk mengetahui pengaruh


beberapa senyawa kimia terhadap enzim pemetabolisme obat menggunakan
hewan uji yaitu tikus. Percobaan ini menggunakan obat yang berperan sebagai
induktor enzim yaitu fenobarbital dan yang berperan sebagai inhibitor enzim
yaitu simetidin dan siprofloksasin.
Metabolisme atau biotransformasi adalah suatu perubahan secara
biokimia atau kimiawi suatu senyawa di dalam organisme hidup. Reaksi
metabolisme obat tersebut sebagian besar terjadi pada organ hati, paru, ginjal,
mukosa, dan sel darah merah (Nugroho, 2011). Pada proses ini molekul obat
diubah menjadi lebih polar, artinya lebih mudah larut dalam air dan kurang
larut dalam lemak sehingga lebih mudah diekresikan melalui ginjal
( Kee,1993).
Mekanisme perobaan ini yaitu kelompok 1 (kontrol) melakukan
percobaan dengan hewan uji yang diberi akuades secara p.o kemudian diberi
diazepam secara i.p, kelompok 2 melakukan percobaan dengan hewan uji yang
diberi fenobarbital secara i.p kemudian diberi diazepam secara i.p, kelompok 3
melakukan percobaan dengan hewan uji yang diberi simetidin secara p.o
kemudian diberi diazepam secara i.p, dan kelompok 4 melakukan percobaan
dengan hewan uji yang diberi siprofloksasin secara p.o kemudian diberi
diazepam secara i.p.
Sebagai kelompok 1 (kontrol), langkah pertama yang dilakukan yaitu
tikus ditimbang, dan didapatkan bobot tikus yaitu 180 gram. Setelah itu
dilakukan perhitungan dosis, larutan stok obat, jumlah obat yang harus diambil,
serta perhitungan volume akuades dan diazepam yang akan diberikan.
Volume akuades yang diberikan sebanyak 4,5 ml dan diberikan pada hewan uji
secara p.o. Sedangkan pemberian diazepam secara i.p menggunakan obat
diazepam berbentuk tablet dengan dosis 2 mg dan dengan bobot 116,4 mg.
Setelah membuat larutan stok dengan konsentrasi 0,18 mg/ml dan
penghitungan obat yang diambil, maka diperoleh jumlah volume obat
sebanyak 4,5 ml.
Pemberian akuades secara peroral dengan cara menelusurkan searah tepi langit-
langit ke arah belakang samapai esophagus, kemudian akuades disuntikkan
secara perlahan-lahan. Setelah hewan uji diberi akuades, didiamkan selama 15
menit. Setelah 15 menit, hewan uji diberi diazepam dengan volume pemberian
sesuai perhitungan. Pemberian diazepam kepada hewan uji dilakukan secara
interaperitoneal dengan cara memegang badan dan bagian paha hewan uji
sehingga bagian perut yang akan disuntikkan terasa tegang. Kemudian daerah
perut dibasahi dengan kapas beralkohol. Hal ini bertujuan untuk membersihkan
daerah yang akan disuntik. Lalu jarum suntik di tusukkan sejajar dengan salah
satu kaki hewan uji pada daerah perut, kurang lebih 1 cm diatas kelamin
kemudian zat uji dialirkan secara perlahan-lahan agar cairan obat tidak keluar.
Setelah pemberian, tempat penyuntikkan ditekan dengan kapas beralkohol
untuk mencegah terjadinya pendarahan. Ketika jarum suntik dilepas dari badan
hewan uji, pada saat itu juga stopwatch dinyalakan untuk menentukan onset
dan durasinya. Setelah itu hewan uji diletakkan diatas rotarod dan diamati
berapa kali hewan uji terjatuh dari rotarod. Pengujian ini dilakukan pada menit
ke-15, menit ke-30, menit ke-60, dan menit ke-90, dihitung dari saat pertama
kali stopwatch dinyalakan yaitu ketika jarum suntik dilepas dari badan hewan
uji.
Berdasarkan hasil pengamatan masing-masing kelompok, diperoleh
onset dan durasi yang berbeda-beda antar kelompok. Onset merupakan waktu
mulai timbulnya efek setelah pemberian obat. Durasi adalah waktu lamanya
efek sampai efek obat tersebut hilang. Dari pengamatan kelompok I,
berdasarkan onsetnya pemberian diazepam (i.p) + akuades (p.o) terjadi pada
menit ke 15 sama seperti onset pengamatan kelompok 2 pemberian diazepam +
fenobarbital juga terjadi pada menit ke 15 dan kelompok 4 pemberian
diazepam (i.p) + ciprofloksasin (p.o) onset terjadi pada menit ke 15. Sedangkan
pengamatan kelompok 3 diazepam (i.p) + cimetidin (p.o) onset terjadi pada
menit ke 60. Untuk durasinya, hasil pengamatan kelompok 1 dan 3 efek obat
yang paling cepat hilang pada menit ke 45. Untuk kelompok 2 dan 4, efek obat
yang paling cepat hilang pada menit ke 15. Berdasarkan jumlah jatuhnya tikus
dari rotarod diperoleh data yaitu, pada menit ke-15 tikus dari kelompok I jatuh
sebanyak 8 x, tikus dari kelompok II sebanyak 5x , tikus dari kelompok III
sebanyak 3, dan tikus dari kelompok IV sebanyak 12x. Pada menit ke-30 tikus
dari kelompok I jatuh sebanyak 6 x, tikus dari kelompok II sebanyak 2 x ,
tikus dari kelompok III sebanyak 5 x , dan tikus dari kelompok IV sebanyak 2
x. pada menit ke-60 tikus dari kelompok I jatuh sebanyak 5 x, tikus dari
kelompok II sebanyak 4 x , tikus dari kelompok III sebanyak 6 x , dan tikus
dari kelompok IV sebanyak 1 x. Pada menit ke-90 tikus dari kelompok I jatuh
sebanyak 5 x, tikus dari kelompok II sebanyak 0 x , tikus dari kelompok III
sebanyak 4 x , dan tikus dari kelompok IV sebanyak 1 x.
Perbandingan berbagai onset dan durasi masing-masing kelompok yaitu:
 Kelompok I (Diazepam dan akuades)
Pemberian diazepam dan akuades berperan sebagai kontrol, yaitu
tidak adanya induktor dan inhibitor enzim. Diharapkan onset dan durasi
pada pemberian ini dapat menjadi tolak ukur untuk perlakuan-perlakuan
yang lain yaitu pemberian diazepam dengan induktor maupun inhibitor
enzim. Onset pada pemberian diazepam dan akuades yaitu pada menit ke-
15 dan durasinya yaitu 45 menit yang lebih lama dibanding dengan
pemberian fenobarbital dengan diazepam dan diazepam dengan
ciprofloxacin serta lebih cepat jika dibanding dengan pemberian diazepam
dengan simetidin. Ada beberapa yang telah sesuai dengan teoritis dan ada
pula beberapa yang belum sesuai. Durasi pemberian diazepam dan akuades
lebih lama jika dibandingkan dengan pemberian diazepam dan
fenobarbital, hal ini telah sesuai dengan teoritis tetapi onsetnya kurang
sesuai dengan teoritis karena onsetnya sama-sama menit ke-15. Jika
dibandingkan dengan kelompok III (pemberian diazepam dengan
simetidin) maka hasilnya telah sesuai karena onset dan durasinya lebih
cepat. Sedangkan jika dibandingkan dengan kelompok IV (pemberian
diazepam dan ciprofloxacin) maka hasilnya tidak sesuai dengan teoritis
karena onsetnya sama-sama pada menit ke-15 dan durasinya lebih lama
dibanding dengan pemberian diazepam dengan ciprofloxacin. Ketika
diazepam diberikan obat akan dimetabolisme seperti umumnya sehingga
memerlukan waktu yang lebih lama dibanding dengan pemberian pada
kelompok II yaitu diazepam dan fenobarbital dan lebih cepat dibanding
dengan pemberian kelompok III dan IV yaitu diazepam dengan simetidin
serta diazepam dengan ciprofloxacin.
 Kelompok II (Diazepam dan Fenobarbital)
Fenobarbital merupakan induktor enzim yang dapat
memperpendek efek obat yang diberikan selanjutnya. Diharapkan dengan
pemberian fenobarbital dapat memberikan durasi yang cepat dibanding
kelompok I, III, dan IV. Pemberian diazepam dan fenobarbital didapatkan
onset yaitu pada menit ke-15 dan durasi selama 15 menit. Telah dijelaskan
di atas bahwa fenobarbital merupakan induktor enzim sehingga jika ada
obat lain yang masuk obat tersebut akan langsung dimetabolisme dan
diekskresikan sehingga diperoleh durasi obat yang pendek. Jika
dibandingkan dengan hasil durasi pada kelompok 1 maka telah sesuai
dengan teoritis yaitu diperoleh durasi yang lebih cepat, tetapi onsetnya
kurang sesuai karena sama-sam pada menit ke-15. Jika dibandingkan
dengan kelompok III (pemberian diazepam dengan simetidin ) maka
hasilnya telah sesuai karena onset dan durasinya lebih cepat pada
pemberian diazepam dengan fenobarbital. Tetapi jika dibandingkan dengan
kelompok IV (pemberian diazepam dengan ciprofloxacin) maka hasilnya
tidak sesuai karena onset dan durasinya sama dengan pemberian diazepam
dengan ciprofloxacin. Fenobarbital bekerja dengan merangsang
pengeluaran enzim CYP berlebih, sehingga ketika ada obat lain diberikan
obat tersebut langsung dimetabolisme dan diekskresikan sehingga
diperoleh durasi obat yang pendek. Durasi obat yang pendek berarti efek
terapi yang diberikan obat tersebut pun tidak optimal dan belum sampai
mencapai efek terapi maksimal (Egga, 2012).

 Kelompok II (Diazepam dan Simetidin)


Simetidin merupakan inhibitor enzim yang dapat memperlama
efek obat yang diberikan selanjutnya. Diharapkan dengan pemberian
simetidin dapat memberikan durasi yang lama dibanding kelompok I dan
II. Pemberian diazepam dan simetidin didapatkan onset yaitu pada menit
ke-60 dan durasi selama 45 menit. Jika dibandingkan dengan hasil durasi
pada kelompok I dan II maka telah sesuai dengan teoritis yaitu diperoleh
durasi yang lebih lama, dan onsetnya pun telah sesuai karena lebih lama.
Hal ini telah sesuai dengan teoritisnya bahwa penggunaan inhibitor dapat
memperpanjang onset dan durasi diazepam. Interaksi antara diazepam dan
simetidin cenderung terjadi lebih cepat daripada yang melibatkan induksi
enzim karena interaksi ini terjadi segera setelah obat yang dihambat
mencapai konsentrasi yang cukup tinggi untuk berkompetisi dengan obat
yang dipengaruhi. Obat bisa menghambat berbagai bentuk sitokrom P-450
sehingga hanya mempengaruhi metabolisme obat yang dimetabolisme oleh
isoenzim tertentu (Neal, 2005). Simetidin berperan sebagai inhibitor non
kompetitif karena enzim pemetabolisme natiopental dihambat sehingga
reaksi bioinaktivasi akan turun. Penurunan bioinaktivasi, atau metabolisme
akan mengakibatkan metabolit inaktif hasil metabolisme obat menjadi
berkurang. Akibatnya kadar obat dalam plasma darah akan bertambah
sehingga durasi kerja obat akan lebih panjang. Secara teoritis, simetidin
sebagai inhibitor enzim pemetabolisme obat akan menghasilkan durasi
yang paling lama dari perlakuan perlakuan yang lain. Simetidin selain
sebagai inhibitor juga dapat menurunkan absorbsi dari berbagai senyawa
(Egga, 2012).
 Kelompok IV (Diazepam dan Ciprofolxacin)
Ciprofloxacin juga merupakan inhibitor enzim yang dapat
memperlama efek obat yang diberikan selanjutnya. Diharapkan dengan
pemberian ciprofloxacin dapat memberikan durasi yang lama dibanding
kelompok I dan II. Pemberian diazepam dan ciprofloxacin didapatkan
onset yaitu pada menit ke-15 dan durasi selama 15 menit. Jika
dibandingkan dengan hasil onset dan durasi pada kelompok I dan II maka
tidak sesuai dengan teoritis yaitu diperoleh onset dan durasi yang lebih
cepat. Hal ini tidak sesuai dengan teoritisnya karena penggunaan inhibitor
seharusnya dapat memperpanjang onset dan durasi diazepam. Secara
teoritis, ciprofloxacin sebagai inhibitor enzim pemetabolisme obat akan
menghasilkan durasi yang paling lama dari perlakuan perlakuan yang lain.
Ciprofloxacin selain sebagai inhibitor juga dapat menurunkan absorbsi dari
berbagai senyawa (Egga, 2012).
Berdasarkan pada pemberian Diazepam dan Akuades diperoleh rata-rata
jatuhnya tikus dari rotarod yaitu 6 x. Jika dibandingkan dengan kelompok II
yang rata-ratanya 2,75, maka rata-ratanya lebih besar, hal ini telah sesuai dengan
teoritis karena tidak adanya induktor enzim pada pemberian sehingga kerja
obatnya lebih efektif dan mengakibatkan jumlah jatuhnya tikus lebih banyak
dibandingkan kelompok II. Jika dibandingkan dengan kelompok III dan IV yang
rata-ratanya masing-masing 4,5 dan 3,5 maka rata-ratanya juga lebih besar, hal
ini tidak sesuai dengan teoritis karena seharusnya pemberian inhibitor enzim
pada kelompok III dan IV akan memberikan kerja obat yang lebih efektif
daripada kelompok I yang tidak ada inhibitor enzim.
Mekanisme induktor dan inhibitor masing-masing obat yaitu:
 Fenobarbital
Fenobarbital merupakan induktor enzim. Fenobarbital
meningkatkan metabolisme penghambat reseptor beta, kebanyakan dari
antipsikotik, dan teofilin. Metabolisme yang meningkat mempercepat
eliminasi obat dan menurunkan konsentrasi obat di dalam plasma.
Akibatnya adalah penurunan kerja obat. Kadang-kadang enzim-enzim hati
mengubah obat menjadi metabolit aktif atau pasif. Metabolit obat dapat
diekskresi atau dapat menghasilkan respons farmakologis aktif (Joyce,
1993). Kerja induktor enzim yaitu dengan merangsang sintesa enzim CYP
untuk dihasilkan dalam jumlah berlebih sehingga ketika ada obat yang
masuk langsung dimetabolisme dan diekskresikan. Fenobarbital bekerja
dengan merangsang pengeluaran enzim CYP berlebih, sehingga ketika ada
obat lain diberikan obat tersebut langsung dimetabolisme dan
diekskresikan sehingga diperoleh durasi obat yang pendek. Durasi obat
yang pendek berarti efek terapi yang diberikan obat tersebut pun
tidak optimal dan belum sampai mencapai efek terapi maksimal.
Penggunaan fenobarbital menyebabkan diazepam tidak mencapai batas
KEM dan mempunyai durasi obat yang pendek (Egga, 2012).

 Simetidin
Berperan sebagai inhibitor non kompetitif karena enzim
pemetabolisme natiopental dihambat sehingga reaksi bioinaktivasi akan
turun. Mekanisme penghambatan simetidin yaitu dengan mengikat besi
heme dari sitokromP450 dan menurunkan aktivitas enzim mikrosom hati.
Hal ini mengakibatkan Na tiopentalakan terakumulasi bila diberikan
bersama dengan simetidin. Simetidin juga mengandunggugus imidazol
yang menghambat aktivitas enzim. Efek inhibitor dilakukan dengan cara
menekan glukoronidase hepar melalui ikatan dengan cincin imidazol pada
sitokrom P450 (Egga, 2012).
VI. KESIMPULAN
 Metabolisme adalah proses perubahan molekul obat yang relatif non polar
menjadi lebih polar sehingga lebih mudah diekresikan melalui ginjal.
 Metabolisme dapat digunakan untuk menilai atau menaksir manfaat dan
keamanan obat, merancang pengaturan dosis, menaksir kemungkinan
terjadinya resiko atau bahaya dari zat pengotor dan lain-lain.
 Diazepam merupakan salah satu obat sedatif
 Fenobarbital merupakan induktor enzim yang bekerja dengan mempercepat
proses metabolisme yang mengakibatkan obat lebih cepat dalam pencapaian
efek farmakologis, sehingga memberikan durasi lebih cepat
 Simetidin dan Ciprofloksasin merupakan inhibitor enzim yang bekerja
dengan menghambat proses metabolisme sehingga memperpanjang kerja obat
dalam menaikkan kerja senyawa-senyawa lainnya, sehingga durasinya lebih
lama.
 Urutan lamanya durasi dari yang tercepat sampai yang terlama berdasarkan
teori yaitu : pemberian fenobarbital dengan diazepam , diazepam dengan
dosis tunggal,dan yang terlama adalah diazepam dengan simetidin dan
diazepam dengan ciprofloksasin.
VII. DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1979. Farmakope Indonesia Jilid III. Jakarta : Departemen Kesehatan

Republik Indonesia

Anonim, 1995. Farmakope Indonesia Jilid IV. Jakarta : Departemen Kesehatan

Republik Indonesia

Egga, Buja. 2012. Metabolisme Obat. http://www.id.scribd.com/ . Diunduh

tanggal 14 April 2013.


Katzung,Bertram G.2007.Farmakologi Dasar & klinik ,edisi 10, diterjemahkan

oleh Aryandhito Widhi Nugroho dkk. Jakarta : EGC.


Kee, Joyce L dan Evelyn R. Hayes. 1993. Farmakologi. Jakarta: EGC

Mardjono, Mahar. 2007. Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Universitas

Indonesia Press.

Mycek, Mary J. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi 2. Jakarta :

Widya Medika,

Neal, M.J. 2005. Farmakologi Medis. Jakarta: Erlangga.


Nugroho, Agung Endro. 2011. Prinsip Aksi & Nasib Obat dalam Tubuh.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Siswandono, Soekardjo. 1995. Kimia Medisinal. Surabaya: Airlangga

University Press.

Syarif, Amir,dkk.1995. Farmakologi dan Terapi edisi V. Jakarta : Departemen

Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia

Tjay, Tan Han dan Kirana Rahaja. 2008. Obat-obat Penting. Jakarta : Alex

Media Komputindo

LAMPIRAN
1. Sebutkan senyawa – senyawa yang dapat menginduksi dan menginhibisi
enzim – enzim yang berpran dalam metabolisme obat.
Jawab :
a. Induksi Enzim
Fenolbarbital dapat menginduksi enzim mikrosom sehingga
meningkatkan metabolisme warfarin dan menurunkan efek
antikoagulannya. Rokok contain polisiklik aromatik hidrokarbon,
warfarin harus disesuaikan ( diperbesar ) seperti benzo(α)piren
yang dapat menginduksi enzim mikrosom, yaitu sitokrom P450,
sehingga meningkatkan oksidasi dari beberapa obat seperti teofilin,
fenasetin, pentazosin dan propoksifen.
Fenolbarbital dapat meningkatkan kecepatan metaolisme
griseofulvin, kumarin, fenitoin, hidrokortison, testosteron,
bilirubin, asetaminofen dan obat kontrasepsi oral.
Fenitoin dapat meningkatkan kecepatan metabolisme kortisol
nortriptilin dan obat kontrasepsi oral. Fenolbutazon dapat
meningkatkan kecepatan metabolisme aminopirin dan kortisol.
b. Inhibisi Enzim
Dikumarol, kloramfenikol, sulfonamida dan fenilbutazon dapat
menghambat enzim yang memetabolisme tolbutamid dan
klorpopamid sehingga meningkatanrespon glikemi. Dikumarol,
kloramfenikol dan isoniazid dapat menghambat enzim metabolisme
dari fenitoin, sulfonamida, sikloserin dan para amino salisilat,
sehingga kadar obat dalam serum darah meningkat dan
toksisitasnya meningkat pula.
Fenilbutazon, secara stereoselektif dapat menghambat
metabolisme (s)-warfarin, sehingga meningkatkan aktivitas
antikoagulannya bila luka terjadi pendarahan yang hebat.

2. Jelaskan mekanisme induksi dan inhibisi enzim


Jawab :
a. Mekanisme induksi
- Induktor jenis fenolbarbital akan menaikan proliferasi
retikulum endoplasma dan denan demikian bekerja menaikan
dengan jelas bobot hti. Induksi terutama pada sitokrom P450 dan
juga pada glukuronil transferase. Glutation transferase dan
epoksida hidrolase. Induksi yang terjadi relatif cepat dalam
waktu beberapa hari.
- Induktor metilkolantren yang termasuk disina khususnya
karbohidrat aromatik (metilkolatren, triklordibenodioksin,
fenantren) dan beberapa herbisida, terutama meningkatkan
kerja sitokrom P450 dan sintesis glukuronil transfarase.

Sebagai akibat dari induksi enzim, maka kapasitas


penguraian meningkat, sehingga laju metabolisme meningkat.
Apabila induktor di hentikan, kapasitas penguraian dalam
waktu beberapa minggu menurun hingga pada tingkat asalnya.

b. Mekanisme inhibisi
Pada penambahan inhibitor enzim terjadi pula
mekanisme inhibisi enzim. Bahan obat yang menyebabkan
penurunan sintesis atau menaikan penguraian enzim retikulum
endoplasma atau antara 2 obat atau beberapa obat terdapat
persaingan tempat ikatan pada enzim. Akibatnya, terjadi
penghambatan penguraian secara kompetitif sehingga laju
metabolisme menurun.
3. Jelaskan hubungan antara induksi dan inhibisi enzim dengan efek
farmakologi dan toksisitas,
Jawab :
a. Hubungan induksi dengan efek farmakologis :
Induksi berarti peningkatan sisntesis enzim metabolisme
pada tingkat transkripsi sehingga terjadi peningkatan kecepatan
metabolisma obat yang menjadi substrat enzim yang
bersangkutan, akibatnya diperlukan peningkatan dosis obat
tersebut, berarti terjadi toleransi farmakokinetik karena
melibatkan sintesis enzim maka diperlukan waktu beberapa hari
(3 hari hingga seminggu) sebelum dicapai efek yang maksimal.
b. Hubungan inhibisi dengan efek farmakologi
Inhibisi bererti hambatan terjadi langsung, akibatnya
terjadi peningkatan kadar obat yang menjadi substrat dari
enzim yang dihambat juga terjadi secara langsung. Cara untuk
mencegah terjadinya toksisitas, diperlukan penurunan dosis
obat yang bersangkutan atau bahkan tidak boleh diberikan
bersama penghambatnya (kontra indikasi) jika akibatnya
membahayakan. Hambatan pada umumnya bersifat kompetitif
(karena merupakan substrat dari enzim yang sama), tetapi juga
dapat bersifat non kompetitif (bukan substratvdari enzim yang
bersangkutan atau ikatannya irreversibel).

Anda mungkin juga menyukai