Anda di halaman 1dari 17

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dasar Teori
2.1.1 Definisi Metabolisme
Metabolisme atau biotransformasi adalah reaksi perubahan zat kimia dalam
jaringan biologi yang dikatalis oleh enzim menjadi metabolitnya. Jumlah obat
dalam tubuh dapat berkurang karena proses metabolisme dan ekskresi. Hati
merupakan organ utama tempat metabolisme obat. Ginjal tidak akan efektif
mengeksresi obat yang bersifat lipofil karena mereka akan mengalami reabsorpsi
di tubulus setelah melalui filtrasi glomelurus. Oleh karena itu, obat yang lipofil
harus dimetabolisme terlebih dahulu menjadi senyawa yang lebih polar supaya
reabsorpsinya berkurang sehingga mudah diekskresi (Mardjono, Mahar, 2007).
2.1.2 Proses Metabolisme
1. Fase 1
Proses metabolisme fase I merubah senyawa lipofil menjadi senyawa yang
mempunyai gugus fungsional seperti OH, NH2, dan COOH. Ini bertujuan agar
senyawa lebih mudah mengalami proses perubahan selanjutnya. Hasil
metabolisme fase I mungkin mempengaruhi efek farmakologinya. Metabolisme
fase I kebanyakan menggunakan enzim sitokrom P450 yang banyak terdapat di
sel hepar dan GI. Enzim ini juga berperan penting dalam memetabolisme zat
endogen seperti steroid, lemak dan detoksifikasi zat eksogen. Namun demikian,
ada juga metabolisme fase I yang tidak menggunakan enzim sitokrom P450,
seperti pada oksidasi katekolamin, histamine dan etanol (Mardjono, Mahar, 2007).
2. Reaksi Fase 2
Reaksi fase II atau reaksi konjugasi terjadi jika zat belumcukup polar setelah
mengalami metabolisme fase I, ini terutama terjadi pada zat yang sangat lipofil.
Konjugasi ialah reaksi penggabungan antara obat dengan zat endogen seperti
asam glukoronat, asam sulfat, asam asetat dan asam amino. Hasil reaksi konjugasi
berupa zat yang sangat polar dan tidak aktif secara farmakologi. Glukoronidasi
adalah reaksi konjugasi yang paling umum dan paling penting dalam ekskresi dan
inaktifasi obat (Mardjono, Mahar, 2007).
Untuk obat yang sudah mempunyai gugus seperti OH, NH2, SH dan COOH
mungkin tidak perlu mengalami reaksi fase I untuk dimetabolisme fase II. Dengan
demikian tidak semua zat mengalami reaksi fase I terlebih dahulu sebelum reaksi
fase II. Bahkan zat dapat mengalami metabolisme fase II terlebih dahulu sebelum
mengalami metabolisme fase I. (Mycek,2001).
Metabolisme obat terutama terjadi di hati, yakni di membran endoplasmik
retikulum (mikrosom) dan di cytosol. Tempat metabolisme yang lain (ekstra
hepatik) adalah dinding usus, ginjal, paru, darah, otak dan kulit, juga di lumen
kolon (oleh flora usus) (Mardjono, Mahar, 2007).
2.1.3 Tujuan Metabolisme Obat
Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang non polar (larut
lemak) menjadi polar (larut air) agar dapat diekskresikan melalui ginjal atau
empedu, dengan perubahan ini obat aktif umumnya diubah menjadi inaktif. Tapi
sebagian berubah menjadi lebih aktif (jika asalnya prodrug), kurang aktif, atau
menjadi toksik (Mardjono, Mahar, 2007).
Secara umum tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat menjadi
metabolit tidak aktif dan tidak toksik (bioinaktivasi atau detoksifikasi), mudah
larut dalam air dan kemudian diekskresikan dari tubuh. Hasil metabolit obat
bersifat lebih toksik dibanding dengan senyawa induk (biootoksifikasi) dan ada
pula hasil metabolit obat yang mempunyai efek farmakologis berbeda dengan
senyawa induk. Contoh: Iproniazid, suatu obat perangsang system syaraf pusat,
dalam tubuh di metabolis menjadi isoniazid yang berkhasiat sebagai
antituberkolosis (Mardjono, Mahar, 2007).
2.1.4 Reaksi Metabolisme
Reaksi metabolisme yang terpenting adalah oksidasi oleh enzim cytocrome
P450 (cyp)yang disebut juga enzim monooksigenase atau MFO (Mixed Fungtion
Oxidase) dalam endoplasmic reticulum (mikrosom) hati. Interaksi dalam
metabolisme obat berupa induksi atau inhibisi enzim metabolisme,terutama enzim
cyp (Mardjono, Mahar, 2007).
Induksi berarti peningkatan sistem enzim metabolisme pada tingkat
transkripsi sehingga terjadi peningkatan kecepatan metabolisme obat yang
menjadi substrat enzim yang bersangkutan (Mardjono, Mahar, 2007).
Inhibisi enzim metabolisme berarti hambatan yang terjadi secara langsung
dengan akibat peningkatan kadar substrat dari enzim yang dihambat juga terjadi
secara langsung. (Mardjono,2007,hal 8)
2.1.5 Respon Biologis Suatu Obat
Proses metabolisme dapat mempengaruhi aktivitas biologis, masa kerja, dan
toksisitas obat. Oleh karena itu pengetahuan tentang metabolisme obat penting
dalam studi. Menurut Mardjono, Mahar (2007), suatu obat dapat menimbulkan
suatu respon biologis dengan melalui dua jalur, yaitu:
1. Obat aktif setelah masuk melalui peredaran darah, langsuns berinteraksi
dengan reseptor dan menimbulkan respon biologis.
2. Pra-obat setelah masuk ke peredaran darah mengalami proses metabolisme
menjadi obat aktif,berinteraksi dengan reseptor dan menimbulkan respon
biologis(bioaktivasi).
2.1.6 Faktor-Faktor yang Mempengarui Metabolisme Obat
Metabolisme obat secara normal melibatkan lebih dari satu proses kimiawi
dan enzimatik sehingga menghasilkan lebih dari satu metabolit. Jumlah metabolit
ditentukan oleh kadar dan aktivitas enzim yang berperan dalam proses
metabolisme. Kecepatan metabolisme dapat menentukan intensitas dan masa kerja
obat. Kecepatan metabolisme ini kemungkinan berbeda-beda pada masing-masing
individu. Penurunan kecepatan metabolisme akan meningkatkan intensitas dan
memperpanjang masa kerja obat dan kemungkinan meningkatkan toksisitas obat.
Kenaikan kecepatan metabolisme akan menurunkan intensitas dan memperpendek
masa kerja obat sehingga obat menjadi tidak efektif pada dosis normal
(Ganiswara, dkk. 1995).
1. Faktor Genetik atau keturunan
Perbedaan individu pada proses metabolisme sejumlah obat kadang-
kadang terjadi dalam system kehidupan.Hal ini menunjukkan bahwa factor
genetic atau keturunan ikut berperan terhadap adanya perbedaan kecepatan
metabolisme obat (Ganiswara, dkk. 1995).
2. Perbedaan spesies dan galur
Pada proses metabolisme obat, perubahan kimia yang terjadi pada spesies
dan galur kemungkinan sama atau sedikit berbeda,tetapi kadang-kadang ada
perbedan uang cukup besar pada reaksi metabolismenya (Ganiswara, dkk.
1995).
3. Perbedaan jenis kelamin
Pada spesies binatang menunjukkan ada pengaruh jenis kelamin terhadap
kecepatan metabolisme obat (Ganiswara, dkk. 1995).
4. Perbedaan umur
Bayi dalam kandungan atau bayi yang baru lahir jumlah enzim-enzim
mikrosom hati yang diperlukan untuk memetabolisme obat relatif masih
sedikit sehingga sangat peka terhadap obat (Ganiswara, dkk. 1995).
5. Penghambatan enzim metabolisme
Kadang-kadang pemberian terlebih dahulu atau secara bersama-sama
suatu senyawa yang menghambat kerja enzim-enzim metabolisme dapat
meningkatkan intensitasn efek obat, memperpanjang masa kerja obat, dan
kemungkinan juga meningkatkan efek samping dan toksisitas (Ganiswara,
dkk. 1995).
6. Induksi enzim metabolisme
Pemberian bersama-sama suatu senyawa dapat meningkatkan kecepatan
metabolisme obat dan memperpendek masa kerja obat. Hal ini disebabkan
senyawa tersebut dapat meningkatkan jumlah atau aktivitas enzim
metabolisme dan bukan Karena permeablelitas mikrosom atau adanya reaksi
penghambatan.Peningkatan aktivitas enzim metabolisme obat-obat tertentu
atau proses induksi enzim mempercepat proses metabolisme dan
menurunkan kadar obat bebas dalam plasma sehingga efek farmakologis
obat menurun dan masa kerjanya menjadi lebih singkat. Induksi enzim juga
mempengaruhi toksisitas beberapa obat karena dapat meningkatkan
metabolisme dan metabolit reaktif (Ganiswara, dkk. 1995).
2.1.7 Tempat Metabolisme Obat
Perubahan kimia obat dalam tubuh terutama terjadi pada jaringan-jaringan
dan organ-organ seperti hati, ginjal, paru dan saluran cerna. Hati merupakan
organ tubuh tempat utama metabolisme obat oleh karena mengandung enzim-
enzim metabolisme dibanding organ lain. Metabolisme obat di hati terjadi pada
membrane reticulum endoplasma sel. Retikulum endoplasma terdiri dari dua tipe
yang berbeda, baik bentuk maupun fungsinya. Tipe 1 mempunyai permukaan
membran yang kasar, terdiri dari ribosom-ribosom yang tersusun secara khas dan
berfungsi mengatur susunan genetik asam aminoyang diperlukan untuk sintesis
protein. Tipe 2 mempunyai permukaan membran yang halus tidak mengandung
ribosom. Kedua tipe ini merupakan tempat enzim-enzim yang diperlukan untuk
metabolisme obat. Jalur umum metabolisme obat dan senyawa organik asing
Reaksi metabolisme obat dan dan senyawa organic asing ada dua tahap yaitu:
1. Reaksi-reaksi yang termasuk dalam fase I antara lain:
a. Reaksi Oksidasi
Merupakan reaksi yang paling umum terjadi. Reaksi ini terjadi pada
berbagai molekul menurut proses khusus tergantung pada masing-
masing struktur kimianya, yaitu reaksi hidroksilasi pada golongan alkil,
aril, dan heterosiklik; reaksi oksidasi alkohol dan aldehid; reaksi
pembentukan N-oksida dan sulfoksida; reaksi deaminasi oksidatif;
pembukaan inti dan sebagainya. Reaksi oksidasi dibagi menjadi dua,
yaitu oksidasi yang melibatkan sitokrom P450 (enzim yang
bertanggungjawab terhadap reaksi oksidasi) dan oksidasi yang tidak
melibatkan sitokrom P450 (Anief,1995).
b. Reaksi Reduksi (reduksi aldehid, azo dan nitro).
Reaksi ini kurang penting dibanding reaksi oksidasi. Reduksi
terutama berperan pada nitrogen dan turunannya (azoik dan nitrat),
kadang-kadang pada karbon. Hanya beberapa obat yang mengalami
metabolisme dengan jalan reduksi, baik dalam letak mikrosomal
maupun non microsomal (Anief,1995).
c. Reaksi Hidrolisis (deesterifikasi)
Proses lain yang menghasilkan senyawa yang lebih polar adalah
hidrolisis dari ester dan amida oleh enzim. Esterase yang terletak baik
mikrosomal dan nonmikrosomal akan menghidrolisis obat yang
mengandung gugus ester. Di hepar,lebih banyak terjadi reaksi hidrolisis
dan terkonsentrasi, seperti hidrolisis peptidin oleh suatu enzim. Esterase
non mikrosomal terdapat dalam darah dan beberapa jaringan
(Anief,1995).
2. Reaksi Fase II (Fase sintetik)
Reaksi ini terjadi dalam hati dan melibatkan konjugasi suatu obat atau
metabolit fase I nya dengan zat endogen. Konjugat yang dihasilkan hampir
selalu kurang aktif dan merupakan molekul polar yang mudah diekskresi
oleh ginjal (Neal, 2005). Reaksi konjugasi bekerja pada berbagai substrat
alamnya dengan proses enzimatik terikat pada gugus reaktif yang telah ada
sebelumnya atau terbentuk pada fase I. reaksi yang terjadi pada fase II ini ini
meliputi konjugasi glukoronidasi, asilasi, metilasi, pembentukan asam
merkapturat, dan konjugasi sulfat (Gordon dan Skett, 1991). Reaksi fase II
terdiri dari :
a. Konjugasi asam glukoronat
Konjugasi dengan asam glukoronat merupakan cara konjugasi umum
dalam proses metabolisme. Hampir semua obat mengalami konjugasi
ini karena sejumlah besar gugus fungsional obat dapat berkombinasi
secara enzimatik dengan asam glukoronat dan tersedianya D-asam
glukoronat dalam jumlah yang cukup pada tubuh (Siswandono dan
Soekardjo,2000). Koenzim antara (UDPGA : uridine
diphosphoglucorinic acid ) bereaksi dengan obat dengan bantuan enzim
UDP glukoronosil-transferase (UGT) untuk memindahkan glukoronida
ke atom O pada alkohol, fenol, atau asam karboksilat; atau atom S pada
senyawa tiol; atau atom N pada senyawa2 amina dan sulfonamida.
b. Metilasi
Reaksi metilasi mempunyai peran penting pada proses biosintesis
beberapa senyawa endogen, seperti norepinefrin, epinefrin, dan
histaminserta untuk proses bioinaktivasi obat. Koenzim yang terlibat
pada reaksi metilasi adalah S-adenosil-metionin(SAM). Reaksi ini
dikatalis oleh enzim metiltransferase yang terdapat dalam sitoplasma
dan mikrosom (Siswandono dan Soekardjo,2000).
c. Konjugasi Sulfat
Terutama terjadi pada senyawa yang mengandung gugus fenol dan
kadang-kadang juga terjadi pada senyawa alkohol, amin aromatik dan
senyawa N-hidroksi. Konjugasi sulfat pada umumnya untuk
meningkatkan kelarutan senyawa dalam air dan membuat senyawa
menjadi tidak toksik (Siswandono dan Soekardjo,2000).
d. Asetilasi
Merupakan jalur metabolisme obat yang mengandung gugus amin
primer, sulfonamida, hidrasin, hidrasid, dan amina alifatik primer.
Fungsi utama asetilasi adalah membuat senyawa inaktif dan untuk
detoksifikasi (Siswandono dan Soekardjo,2000).
2.2 Urian Hewan
Mencit (Mus musculus) (Syukri, 2002)
a. Sistem taksonomi mencit adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Sub filum : Vetebrata
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodentia
Genus : Mus
Mencit (Mus musculus)
Spesies : Mus musculus
b. Mencit memiliki beberapa data biologis, diantaranya :
Lama hidup : 1-2 tahun
Lama produksi ekonomis : 9 bulan
Lama bunting : 19-21 hari
Kawin sesudah beranak : 1-24 jam
Umur disapih : 21 hari
Umur dewasa : 35 hari
Umur dikawinkan : 8 minggu
Siklus kelamin : Poliestrus
Perkawinan : Pada waktu estrus
Berat dewasa : 24-40 gram (jantan) dan 18-35 gram (betina)
Frekuensi kelahiran : 6-10 kali kelahiran
Suhu tubuh : 36,5-38,00C
Laju respirasi : 163 xmn
Tekanan darah : 113/147- 81/106 mmHg Volume darah:76-80
mg/kg
Luas permukaan tubuh : 20 g: 36cm
c. Sifat Hewan Coba
Mencit (Mus musculus)
1. Pembauannya sangat peka yang memiliki fungsi untuk mendeteksi akan,
deteksi predator dan deteksi signal (feromon).
2. penglihatan jelek karena sel konus sedikit sehingga tidak dapat melihat
warna.
3. Sistem sosial/ berkelompok
4. Tingkah laku:
a. Jantan dewasa + jantan dewasa akan berkelahi
b. Betina dewasa + jantan dewasa damai
c. Betina dewasa + betina dewasa damai
d. Morfologi Mencit

Mencit (Mus musculus) adalah anggota Muridae (tikus tikusan) yang


berukuran kecil. Mencit mudah djumpai di rumah-rumah dan dikenal sebagai
hewan pengganggu karena kebiasaannya menggigit mebel dan barang-barang
kecil lainnya serta bersarang di sudut-sudut lemari. Hewan ini diduga sebagai
mamalia terbanyak kedua di dunia, setelah manusia. Mencit sangat mudah
menyesuaikan diri dengan perubahan yang dibuat manusia, bahkan jumlahnya
yang hidup liar di hutan barangkali lebih sdikit daripada yang tinggal di perkotaan
(Arrington, 1972).
e. Sifat biologis mencit
Menurut Falconer (1981), mencit sebagai hewan percobaan sangat praktis
untuk penelitian kuantitatif, karena sifatnya yang mudah berkembangbiak, selain
itu mencit juga dapat digunakan sebagai hewan model untuk mempelajari seleksi
terhadap sifat-sifat kuantitatif.
Sifat Biologis Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988), sifat-sifat
biologis mencit dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Sifat Biologis Mencit (Mus musculus)

Mencit termasuk ke dalam golongan hewan omnivora, sehingga mencit


dapat memakan semua jenis makanan. Mencit juga termasuk hewan nokturnal,
yaitu aktivitas hidupnya (seperti aktivitas makan dan minum) lebih banyak terjadi
pada sore dan malam hari (Inglis, 1980).
Kualitas makanan merupakan salah satu faktor lingkungan yang sangat
berpengaruh terhadap penampilan mencit, sehingga status makanan yang
diberikan dalam percobaan biomedis mempunyai pengaruh nyata tehadap hasil
paercobaan (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Mencit membutuhkan makanan
berkadar protein diatas 14%, karena inilah kebutuhan zat makanan mencit dapat
dipenuhi dari makanan ayam komersial yang kandungan proteinnya adalah 17%
(Malole dan Pramono, 1989).
2.3. Uraian Bahan
1. Air Suling ( Dirjen POM, 1979 )
Nama Resmi : AQUA DESTILATA
Nama Lain : Air suling
Rumus molekul : H2O

Berat Molekul : 18.02 gr/mol


Rumus Struktur :

Berat Molekul : 18,02 g/mol


Pemerian : Cairan jenuh, tidak berwarna, tidak berasa, tidak
berbau.
Kegunaan : Zat pelarut atau pengencer.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat.
2. Alkohol ( Dirjen POM, 1995 ; Rowe, 2009 )
Nama Resmi : AETHANOLUM
Nama Lain : Alkohol
Rumus molekul : C2H5OH

Berat Molekul : 46,07 gr/mol


Rumus Struktur :

Berat Molekul : 46,07 gr/mol


Pemerian : Cairan tak berwarna, jernih, mudah menguap dan
mudah bergerak, bau khas, rasa panas. Mudah
terbakar dengan memberikan nyala biru yang tidak
berasap.
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, dalam kloroform P
dan dalam eter P.
Khasiat : Zat pelarut dan desinfektan/ mencegah pertumbuhan
atau percemaran jasad renik dan terjadinya infeksi
pada benda mati.

Kegunaan : Sebagai pelarut


Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, terlindungi dari cahaya,
ditempat yang sejuk, jauh dari jangkauan api.
3. Na-CMC ( Dirjen POM,1979)
Nama Resmi : NATRII CARBOXYMETHYLCELLULOSUM
Nama Lain : Natrium Karboksimethilcellulosa
Rumus molekul : (C6H1005)n

Berat Molekul : 90000-700000 gr/mol

Rumus Struktur :

Pemerian : Serbuk atau butiran, putih atau kuning gading, tidak


berbau dan hampir tidak berbau, dan higroskopis
Kelarutan : Mudah mendispersi kedalam air, Membentuk
suspense koloid, tidak larut dalam etanol 96% p,
dalam eter P, dalam pelarut Organik lain.

Kegunaan : Sebagai Kontrol


Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
2.4. Uraian Obat
1. Diazepam (Dirjen POM, 1995)
Nama Resmi : DIAZEPAMUM+
Nama Lain : Diazepam
Rumus molekul : C16H13CIN2O

Berat Molekul : 284,75 gr/mol

Rumus Struktur :

Pemerian : Serbuk hablur, hampir putih; sampai kuning; praktis


tidak berbau.
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, mudah larut dalam
kloroform; larut dalam etanol.

Kegunaan : Sebagai sampel


Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, tidak tembus cahaya.
a. Indikasi
Diazepam diindikasikan untuk terapikecemasan (ansietas) dalam
penggunaan jangka lama, karena mempunyai masa kerja panjang (Finkel et al.,
2009). Selain itu juga sebagai sedatif dan keadaan psikosomatik yang ada
hubungan dengan rasa cemas. Selain sebagai antiansietas, diazepam digunakan
sebagai hipnotik, antikonvulsi, pelemas otot dan induksi anastesi (Katzung et al.,
2012). Diazepam juga digunakan untuk preeklampsia dan eklampsia yang
diberikan secara intravena dengan dosis 10 mg (Kemenkes RI, 2007).

b. Peringatan
Dapat mengganggu kemampuan mengemudi atau mengoprasikan mesin,
hamil, menyususi, bayi, lansia, penyakit hati dan ginjal, penyakit pernapasan,
kelemahan otot, riwayat penyalahgunaan obat atau alkohol, kelainan kepribadian
yang nyata, kurangi dosis pada lansia dan debil, hindari pemakaian jangka
panjang, peringatan khusus injeksi intravena, porfiria (IONI, 2008).
c. Interaksi
Tidak boleh digunakan bersamaan dengan alkohol, anestetik, analgetik
opioid, antihistamin karena dapat meningkatkan efek sedatif, tidak bisa dengan
obat antibakteri karena isozianid menghambat metabolisme diazepam; rifampisin
meningkatkan metabolisme diazepam dan mungkin benzodiazepin lainnya. Tidak
bisa bersamaan dengan antiepileptika karena kadar plasma fenitoin dinaikkan dan
diturunkan oleh diazepam dan mungkin benzodiazepina lainnya (Tjay dkk., 2007).
d. Kontraindikasi
Depresi pernapasan, gangguan hati berat, miastenia gravis, infusiensi
pulmoner akut, galukoma sudut sempit akut, serangan asma akut, trimester
pertama kehamilan, bayi prematur; tidak boleh digunakan sebagai terapi tunggal
pada depresi atau ansietas yang disertai dengan depresi (IONI, 2008).
e. Efek Samping
Efek samping yang dapat timbul berupa konstipasi, hipotensi, mual, skin
rash, retensi urin, vertigo, dan mata kabur. Intoksikasi susunan saraf pusat dapat
terjadi pada konsentrasi plasma lebih dari 1.000 ng/mL Overdosis yang massif
dapat mengakibatkan koma atau sekuele yang serius dan pada neonatus dapat
mengakibatkan hiperbilirubinemia akibat defisiensi G6PD karena pemberian
diazepam (IONI, 2008).
f. Dosis
Dosis untuk dewasa secara oral adalah 2-10 mg 2-4 kali sehari, untuk anak-
anak diatas 6 bulan diberikan 1-2,5 mg 3-4 kali sehari (samik, 2000).

1. Simetidin (Dirjen POM, 1995).


Nama Resmi : CIMMETIDINUM
Nama Lain : Simetidin
Rumus molekul : C10H16N6S

Berat Molekul : 252,34 gr/mol

Rumus Struktur :

Pemerian : Serbuk hablur, putih sampai hampir putih; tidak


berbau atau bau merkaptan lemah.
Kelarutan : Larut dalam etanol, dalam polietilen glikol 400;
mudah larut dalam metanol; agak sukar larut dalam
isopropanol; sukar larut dalam air dan dalam
kloroform; praktis tidak larut dalam eter.

Kegunaan : Sebagai sampel


Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, tidak tembus cahaya,
dan pada suhu kamar terkendali.
a. Mekanisme Kerja
Simetidin merupakan antagonis kompetitif histamin pada reseptor H2 dari
sel parietal sehingga secara efektif dapat menghambat sekresi asam lambung.
Simetidin juga memblok sekresi asam lambung yang disebabkan oleh rangsangan
makanan, asetilkolin, kafein, dan insulin. Simetidin digunakan untuk pengobatan
tukak lambung atau usus dan keadaan hipersekresi yang patologis, misal sindrom
Zolinger – Ellison (Siswondono dan Soekardjo, 1995).

b. Farmakokinetik
Simetidin dapat dicerna secara cepat dalam saluran cerna, kadar plasma
tertinggi dicapai dalam 1 jam bila diberikan dalam keadaan lambung kosong dan 2
jam bila diberikan bersama – sama dengan makanan (Siswondono dan Soekardjo,
1995).

c. Efek samping
Simetidin dapat menimbulkan efek samping seperti diare, pusing,
kelelahan dan rash (Siswondono dan Soekardjo, 1995).

d. Dosis
Dosis Simetidin adalah 200 – 400 mg (Siswondono dan Soekardjo, 1995).
e. Indikasi
Simetidin digunakan untuk pengobatan tukak peptikum duodenum, tukak
lambung, esofagitis erosif dan hipersekresi (Katzung, 2001).

DAPUS
Arrington, L. R. 1972. Introductory Laboratory Animal Science, the Breeding,
Care and Management of Experimental Animal. The Interstate Printers
and Publisers, Inc. Denville.

BPOM. 2008. Informatorium Obat Nasional Indonesia. Badan Pengawas Obat dan
Makanan Republik Indonesia. Jakarta.

Dirjen POM.(1979). Farmakope Indonesia Edisi III.Jakarta : Depkes RI

Dirjen POM.(1995). Farmakope Indonesia Edisi IV.Jakarta : Depkes RI


Falconer, D.S. 1981. Introduction to Quantitative Genetics. Longman, London and
New York.

Finkel, R., Clark, M. A., & Cubeddu, L., X. 2009. Lippincott’s Illustrated
Reviews: Pharmacology (4th ed.). Florida: Lippincott Williams & Wilkins.
Ganiswara, dkk, 1995, Farmakologi dan Terapi. Edisi IV, UIP, Jakarta.

Gordon Dan Paul Skett, 1991, Pengantar Metabolisme Obat, UI Presss, Jakarta .

Inglis, J.K., 1980. Introduction to Laboratory Animal Science & Technology.


Oxford: Pergamon Press Ltd.

Katzung, B. G., 2004, Farmakologi Dasar dan Klinik (Buku 3 Edisi 8), Salemba
Medika, Jakarta

Katzung, B.G. 2001. Farmakologi Dasar dan Klinik : Reseptor-reseptor Obat dan
Farmakodinamik. Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Katzung, Bertram G. 2012. Farmakologi dasar dan Klinik Edisi 10. Jakarta: EGC.

Katzung, Bertram. G, 2001, Farmakologi Dasar dan Klinik, Salemba Merdeka,


Jakarta.

Kemenkes RI. 2007. Keputusan Menteri Kesehatan RI tentang standar asuhan


Kebidanan Nomor 938 tahun 2007. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.

Malole, M.B.M., Pramono C.S.U., 1989. Penggunaan Hewan-hewan Percobaan di


Laboratorium. Bogor: PAU Pangan dan Gisi. IPB.

Mardjono, Mahar. 2007. Farmakologi dan Terapi. Universitas Indonesia Press,


Jakarta

Murphy A. Phenytoin, 2003, Diazepam Interaction , The Annals of


Pharmacotherapy, New York
Mycek, Mary J., Harvey, Richard A., Champe, Pamela C, 2001, Farmakologi
Ulasan Bergambar Edisi 2 , Widya Medika, Jakarta

Neal,M.J, 2005 , Farmakologi Medis Edisi Kelima, Erlangga, Jakarta

Nurramadhani, 2012, Farmakologi, www.academia.edu, diakses tanggal 26 Mei


2015
Raymond C, Rowe, Paul S. Meskey., Marrian E. Qelin. 2009. Handbook of
Pharmaceutical: America; Pharmacist Association

Samik, Wahab. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Volume 1. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.

Siswandono dan Soekardjo, B., 1995. Kimia Medisinal. Surabaya: Universitas


Airlangga Press.

Siswandono dan Soekardjo,Bambang, 2000, Kimia Medisinal , Airlangga


University Press, Jakarta

Smith, J.B. dan S. Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan, pembiakan dan


Penggunaan Hewan Percobaan di daerah Tropid. Jakarta: UI Press.

Syarif,Amin,1995,Farmakologi Dan Terapi,Edisi IV, Bagian Farmakologi


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Syukri. 2002. Biofarmasetika. Yogyakarta: UII Press

Tjay, Hoan Tan dan Raharja Kiran, 2008, Obat-Obat Penting Edisi 6, Gramedia,
Jakarta.

Tjay, T.H., dan Rahardja, K., 2007, Obat-obat Penting: Khasiat, Penggunaan dan
Efek-efek Sampingnya, Edisi Kelima, 357-359, 363-367, Direktur Jendral
Pengawasan Obat dan Ma kanan Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai