Anda di halaman 1dari 15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dasar Teori
2.1.1 Definisi
Metabolisme obat (disebut juga biotransformasi) terjadi terutama di hepar
melalui reaksi fase I (oksidasi, hidrolisis, dan reduksi) dan fase II (konjugasi).
Reaksi fase I termasuk dalam sistem enzim yang diperantarai cytocrom P (CYP)
450, diperkirakan dilalui lebih dari 90% dari semua pengobatan. Induksi dan
inhibisi sistem enzimatik ini membantu memantau interaksi obat-obatan dan juga
menggambarkan karakteristik fungsi genetik yang bervariasi, hal ini
menghasilkan perbedaan klinis yang signifikan dalam metabolisme obat
(farmakogenomik). Reaksi Fase I juga termasuk dalam konversi prodrug, dari
tidak aktif menjadi aktif. Prodrug digunakan untuk beberapa alasan seperti
stabilitas, absorbsi, dan keuntungan tertentu. Sebagai contoh enalapril merupakan
prodrug yang dapat dimetabolisme cepat di hepar menjadi enalaprilat, yang
merupakan bentuk aktif yang menghambat angiotensin-converting enzym (ACE).
Perubahan metabolisme obat-obat melalui sistem enzim dipengaruhi oleh genetik,
fungsi hepatik, dan obatobatan lain, yang hasilnya dapat meningkatkan atau
menurunkan paparan pengobatan tersebut (Sleder et al., 2016).
Proses metabolisme terbagi menjadi beberapa fase, fase I merubah senyawa
lipofil menjadi senyawa yang mempunyai gugus fungsional seperti OH, NH 2, dan
COOH. Ini bertujuan agar senyawa lebih mudah mengalami proses perubahan
selanjutnya. Hasil metabolisme fase I ini mungkin dapat mempengaruhi efek
farmakologinya. Metabolisme fase I kebanyakan menggunakan enzim sitokrom
P450 yang banyak terdapat di sel hepar dan GI. Enzim ini juga berperan penting
dalam memetabolisme zat endogen seperti steroid, lemak dan detoksifikasi zat
eksogen. Namun demikian, ada juga metabolisme fase I yang tidak menggunakan
enzim sitokrom P450, seperti pada oksidasi katekolamin, histamine dan etanol
(Katzung et al, 2015)
Reaksi fase II atau reaksi konjugasi terjadi jika zat belumcukup polar setelah
mengalami metabolisme fase I, ini terutama terjadi pada zat yang sangat lipofil.
Konjugasi ialah reaksi penggabungan antara obat dengan zat endogen seperti
asam glukoronat, asam sulfat, asam asetat dan asam amino. Hasil reaksi konjugasi
berupa zat yang sangat polar dan tidak aktif secara farmakologi. Glukoronidasi
adalah reaksi konjugasi yang paling umum dan paling penting dalam ekskresi dan
inaktifasi obat (Coons et al, 2017).

Gambar 1.1. Reaksi fase I dan fase II serta eliminasi langsung, dalam
biodisposisi obat
Obat yang sudah mempunyai gugus seperti OH, NH2, SH dan COOH
mungkin tidak perlu mengalami reaksi fase I untuk dimetabolisme fase II. Dengan
demikian tidak semua zat mengalami reaksi fase I terlebih dahulu sebelum reaksi
fase II. Bahkan zat dapat mengalami metabolisme fase II terlebih dahulu sebelum
mengalami metabolisme fase I.  (Gibson, 2015)
Metabolisme obat terutama terjadi di hati, yakni di membran endoplasmic
reticulum (mikrosom) dan di cytosol. Tempat metabolisme yang lain (ekstra
hepatik) adalah: dinding usus, ginjal, paru, darah, otak dan kulit, juga di lumen
kolon (oleh flora usus) (Lainscak et al, 2016).
Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang non polar (larut
lemak) menjadi polar (larut air) agar dapat diekskresikan melalui ginjal atau
empedu dengan perubahan ini obat aktif umumnya diubah menjadi inaktif. Tapi
sebagian berubah menjadi lebih aktif (jika asalnya prodrug), kurang aktif, atau
menjadi toksik (Coons et al, 2017).
Reaksi metabolisme yang terpenting adalah oksidasi oleh enzim cytocrome
P450 (cyp) yang disebut juga enzim monooksigenase atau MFO (Mixed Fungtion
Oxidase) dalam endoplasmic reticulum (mikrosom) hati. Interaksi dalam
metabolisme obat berupa induksi atau inhibisi enzim metabolisme, terutama
enzim cyp. Induksi berarti peningkatan sistem enzim metabolisme pada tingkat
transkripsi sehingga terjadi peningkatan kecepatan metabolisme obat yang
menjadi substrat enzim yang bersangkutan. Inhibisi enzim metabolisme berarti
hambatan yang terjadi secara langsung dengan akibat peningkatan kadar substrat
dari enzim yang dihambat juga terjadi secara langsung (Katzung et al, 2015).
2.1.2 Proses Metabolisme
Menurut Gibson ( 2015) Proses metabolisme dapat mempengaruhi aktivitas
biologis, masa kerja, dan toksisitas obat. Oleh karena itu pengetahuan tentang
metabolisme obat penting dalam studi suatu obat dapat menimbulkan suatu respon
biologis dengan melalui dua jalur, yaitu:
a. Obat aktif setelah masuk melalui peredaran darah, langsung berinteraksi
dengan reseptor dan menimbulkan respon biologis.
b. Pra-obat setelah masuk ke peredaran darah  mengalami proses metabolisme
menjadi obat aktif, berinteraksi dengan reseptor dan menimbulkan respon
biologis (bioaktivasi)
Secara umum tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat menjadi
metabolit tidak aktif dan tidak toksik (bioinaktivasi atau detoksifikasi), mudah
larut dalam air dan kemudian diekskresikan dari tubuh. Hasil metabolit obat
bersifat lebih toksik dibanding dengan senyawa induk (biootoksifikasi) dan ada
pula hasil metabolit obat yang mempunyai efek farmakologis berbeda dengan
senyawa induk. contoh: Iproniazid, suatu obat perangsang system syaraf pusat,
dalam tubuh di metabolis menjadi isoniazid yang berkhasiat sebagai
antituberkolosis.
2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat
Metabolisme obat secara normal melibatkan lebih dari satu proses kimiawi
dan enzimatik sehingga menghasilkan lebih dari satu metabolit. Jumlah metabolit
ditentukan oleh kadar dan aktivitas enzim yang dapat berperan dalam proses
metabolisme.Kecepatan metabolisme dapat menentukan intensitas dan masa kerja
obat. Kecepatan metabolisme ini kemungkinan berbeda-beda pada masing-masing
individu. Penurunan kecepatan metabolisme akan meningkatkan intensitas dan
memperpanjang masa kerja obat dan kemungkinan meningkatkan toksisitas obat.
Kenaikan kecepatan metabolisme akan menurunkan intensitas dan memperpendek
masa kerja obat sehingga obat menjadi tidak efektif pada dosis normal (Coons et
al, 2017)
Faktor-faktor yang mempengarui metabolisme obat antara lain : (Katzung et al,
2015)
1. Faktor Genetik atau keturunan
Perbedaan individu pada proses metabolisme sejumlah obat kadang-kadang
terjadi dalam system kehidupan.Hal ini menunjukkan bahwa factor genetik
atau keturunan ikut berperan terhadap adanya perbedaan kecepatan
metabolisme obat.
2. Perbedaan spesies dan galur
Pada proses metabolisme obat, perubahan kimia yang terjadi pada spesies
dan galur kemungkinan sama atau sedikit berbeda, tetapi kadang-kadang ada
perbedan uang cukup besar pada reaksi metabolismenya.
3. Perbedaan jenis kelamin
Pada spesies binatang menunjukkan ada pengaruh jenis kelamin terhadap
kecepatan metabolisme obat
4. Perbedaan umur
Bayi dalam kandungan atau bayi yang baru lahir jumlah enzim-enzim
mikrosom hati yang diperlukan untuk memetabolisme obat relatif masih
sedikit sehingga sangat peka terhadap obat.
5. Penghambatan enzim metabolism
Kadang-kadang pemberian terlebih dahulu atau secara bersama-sama suatu
senyawa yang menghambat kerja enzim-enzim metabolisme dapat
meningkatkan intensitas efek obat memperpanjang masa kerja obat dan
kemungkinan juga meningkatkan efek samping dan toksisitas.
6. Induksi enzim metabolism
Pemberian bersama-sama suatu senyawa dapat meningkatkan kecepatan
metabolisme obat dan memperpendek masa kerja obat. Hal ini disebabkan
senyawa tersebut dapat meningkatkan jumlah atau aktivitas enzim
metabolisme dan bukan Karena permeablelitas mikrosom atau adanya reaksi
penghambatan. Peningkatan aktivitas enzim metabolisme obat-obat
tertentuatau proses induksi enzim mempercepat proses metabolisme dan
menurunkan kadar obat bebas dalam plasma sehingga efek farmakologis
obat menurun dan masa kerjanya menjadi lebih singkat. Induksi enzim juga
mempengaruhi toksisitas beberapa obat karena dapat meningkatkan
metabolisme dan metabolit reaktif.
7. Tempat metabolisme obat
Perubahan kimia obat dalam tubuh terutama terjadi pada jaringan-jaringan
dan organ-organ seperti hati, ginjal, paru dan saluran cerna. Hati merupakan 
organ tubuh tempat utama metabolisme obat oleh karena mengandung
enzim-enzim metabolisme dibanding organ lain. Metabolisme obat di hati
terjadi pada membrane reticulum endoplasma sel. Retikulum endoplasma
terdiri dari dua tipe yang berbeda, baik bentuk maupun fungsinya. Tipe 1
mempunyai permukaan membran yang kasar, terdiri dari ribosom-ribosom
yang tersusun secara khas dan berfungsi mengatur susunan genetik asam
aminoyang diperlukan untuk sintesis protein. Tipe 2 mempunyai permukaan
membran yang halus tidak mengandung ribosom. Kedua tipe ini merupakan
tempat enzim-enzim yang diperlukan untuk metabolisme obat. Jalur umum
metabolisme obat dan senyawa organik asing Reaksi metabolisme obat dan
dan senyawa organic asing ada dua tahap yaitu:
a. Reaksi fase I atau reaksi fungsionalisasi
b. Reaksi fase II atau reaksi konjugasi.
Yang termasuk reaksi fase I adalah reaksi-reaksi oksidasi, reduksi, dan hi
drolisis. T ujuan reaksi ini adalah memasukkan gugus  fungsional tertentu yang
besifat polar. Yang termasuk reaksi fase II adalah reaksi konjugasi, metilasi dan
asetilasi. Tujuan reaksi ini adalah mengikat gugus fungsional hasil metabolit
reaksi fase I dengan senyawa endogen yamg mudah terionisasi dan bersifat polar,
seperti asam glukoronat, sulfat, glisin dan glutamine, menghasilkan konjugat yang
mudah larut dalam air. Hasil konjugasi yang terbentuk (konjugat) kehilangan
aktivias dan toksisitasnya, dan kemudian di ekskresikan melalui urin.
Pada metabolisme obat, gambaran secara tepat system enzim yang
bertanggung jawab terhadap proses oksidasi, reduksi, masih belum diketahui
secara jelas. Secara umum diketahui bahwa sebagian besar reaksi metabolik akan
melibatkan proses oksidasi. Proses ini memerlukan enzim sebagai kofaktor, yaitu
bentuk tereduksi dari senyawa nikotinamid-adenin-dinukleotida fosfat (NADPH)
dan nikotinamid-adenin-dinukleotida (Sleder et al, 2016).
2.1.4 Interaksi Obat
1. Interaksi obat menguntungkan
a. Interaksi obat antara isoniazid dengan pirazinamid dapat meningkatkan
toksisitas yang lain dengan sinergisme farmakodinamik menyebabkan
adiktif hepatotoksisitas. Interaksi isoniazid dengan pirazinamid termasuk
dalam jenis interaksi farmakodinamik sinergisme dengan kategori
signifikansi klinis minor, penggunaan kedua obat ini dapat diberikan karena
efek yang dihasilkan ringan dan pengobatan tambahan tidak diperlukan.
Namun diperlukan monitoring fungsi hati terutama pada pasien dengan
gangguan fungsi hati (Medscape, 2016).
b. Rifampisin meningkatkan toksisitas isoniazid dengan peningkatan
metabolisme menjadi metabolit yang bersifat hepatotoksik Rifampisin
menginduksi isoniazid hidrolase dengan meningkatkan produksi hidrazin
yang bersifat hepatotoksik ketika rifampisin dikombinasikan dengan
isoniazid sehingga risiko hepatotoksisitas lebih tinggi ketika diberikan
secara bersamaan dibandingkan saat diberikan secara individu. Interaksi
rifampisin dengan isoniazid termasuk dalam jenis interaksi farmakokinetik
dari tahap metabolisme dengan kategori signifikansi klinis serius yaitu
menimbulkan efek yang berpotensial membahayakan individu atau dapat
mengakibatkan kerusakan yang permanen (Medscape, 2016).
c. Interaksi antara rifampisin dengan pirazinamid dapat meningkatkan
toksisitas yang lain dengan sinergisme farmakodinamik menyebabkan
adiktif hepatotoksisitas. Interaksi rifampisin dengan pirazinamid termasuk
dalam jenis interaksi farmakodinamik sinergisme dengan kategori
signifikansi klinis serius. Penggunaan kedua obat ini dapat berpotensial
membahayakan individu (Medscape, 2016).
d. Interaksi antara rifampisin dengan streptomisin yaitu rifampisin akan
menurunkan efek streptomisin melalui mekanisme effluks transporter P-
Glikoprotein. Interaksi ini termasuk dalam jenis interaksi farmakokinetik
dalam tahap ekskresi dengan kategori signifikansi klinis signifikan yang
dapat menimbulkan efek sedang, penggunaan kedua obat perlu dilakukan
monitoring (Medscape, 2016).
e. Interaksi antara isoniazid dengan vitamin B6 yaitu isoniazid menurunkan
efek vitamin B6 jika penggunaan dosis INH >10 mg/kg/hari dan supplemen
vitamin B6 50-100 mg /hari. Mekanisme interaksi isoniazid dengan vitamin
B6 tidak spesifik sehingga tidakdapat dikategorikan dalam mekanisme
farmakokinetik maupun farmakodinamik, interaksi isoniazid dan vitamin B6
termasuk dalam kategori signifikansi klinis minorsehingga penggunaan
kedua obat ini dapat diberikan karena efek yang dihasilkan ringan, oleh
karena itu terapi tambahan tidak diperlukan (Medscape, 2016).
2. Interaksi obat yang tidak menguntungkan
a. Interaksi antara isoniazid dengan aminofilin yaitu isoniazid akan
meningkatkan efek teofilin dengan mempengaruhi metabolisme hati enzim
CYP1A2 dan CYP3A4. Interaksi isoniazid dengan aminofilin termasuk
dalam jenis interaksi farmakokinetik tahap metabolisme dengan kategori
signifikansi klinis signifikan, penggunaan keduaobat ini perlu dilakukan
monitoring (Medscape, 2016).
b. Interaksi antara isoniazid dengan kodein yaitu isoniazid menurunkan efek
kodein dengan mempengaruhi metabolisme hati enzim CYP2D6. Interaksi
isoniazid dengan kodein termasuk dalam jenis interaksi farmakokinetik pada
tahap metabolisme ini dengan kategori signifikansi klinis signifikan,
penggunaan kedua obat ini perlu dilakukan monitoring (Medscape, 2016).
c. Interaksi antara isoniazid dengan amiodaron yaitu isoniazid meningkatkan
efek dari amiodaron dengan mempengaruhi metabolisme hati/usus enzim
CYP3A4. Interaksi isonazid dengan amiodaron termasuk dalam jenis
interaksi farmakokinetik tahap metabolisme dengan kategori signifikansi
klinis signifikan, penggunaan kedua obat ini perlu dilakukan monitoring
(Medscape, 2016).
d. Interaksi antara isoniazid dengan aminofilin yaitu isoniazid akan
meningkatkan efek teofilin dengan mempengaruhi metabolisme hati enzim
CYP1A2 dan CYP3A4. Interaksi isoniazid dengan aminofilin termasuk
dalam jenis interaksi farmakokinetik tahap metabolisme dengan kategori
signifikansi klinis signifikan, penggunaan kedua obat ini perlu dilakukan
monitoring (Medscape, 2016).
e. Interaksi antara rifampisin dengan amiodaron yaitu rifampisin menurunkan
efek dari amiodaron dengan mempengaruhi metabolisme hati/usus enzim
CYP3A4. Interaksi rifampisin dengan amiodaron termasuk dalam jenis
interaksi farmakokinetik tahap metabolisme dengan kategori signifikansi
klinis serius, penggunaan kedua obat ini diperlukan alternatif obat lain
(Medscape, 2016).
2.1.5 Induksi Enzim
Induksi merupakan peningkatan ekspresi CYP450 dengan meningkatkan
laju sintesis CYP atau mengurangi kecepatan penguraiannya. Induksi
menyebabkan akselerasi metabolisme obat (substrat) dan biasanya penurunan efek
farmakologis penginduksi serta juga obat lain yang diberikan bersama-sama
(Katzung, 2012). Contoh induksi enzim yaitu rifampisin meningkatkan
metabolisme siklosporin, sehingga menurunkan efek farmakologis dari
siklosporin (Stockley, 2010).
2.1.6 Inhibisi Enzim
Inhibisi enzim merupakan penurunan metabolisme obat oleh obat atau
senyawa lain, sehingga menyebabkan akumulasi obat tersebut dalam bentuk aktif
di dalam tubuh. Efek obat menjadi setara dengan jika dosis obat tersebut
dinaikkan. Contohnya yaitu peningkatan kadar plasma sildenafil setelah diberikan
ritonavir, karena ritonavir menghambat enzim CYP3A4 yang memetabolisme
sildenafil (Stockley, 2010).
2.2 Uraian Bahan
2.1.1 Alkohol (Dirjen POM, 1979; Dirjen POM, 1995; Rowe, 2009)
Nama Resmi : AETHANOLUM
Nama Lain : Etanol, Alkohol, Ethyl alcohol, Ethyl hydroxide
Rumus Molekul : C2H6O.
Berat Molekul : 46,07 g/mol.
Rumus struktur :

Pemerian : Cairan tak berwarna, jernih, tidak berwarna. Bau


khas dan menyebabkan rasa terbakar pada lidah.
Mudah menguap walaupun pada suhu rendah
dan mendidih pada suhu 78℃. Mudah terbakar.
Kelarutan : Sangat mudah larut air, kloroform P dan eter P.
Khasiat : Sebagai antimikroba, disinfektan, dan pelarut.
Kegunaan : Pensteril pada alat laboratorium.
Peyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat jauh dari nyala api.

2.2.2 Aquadest (Dirjen POM, 1995; Rowe et al, 2009)


Nama Resmi :  AQUA DESTILLATA.
Nama Lain :  Air suling
Rumus Molekul : H2O
Berat Molekul : 18,02 g/mol
Rumus Struktur : 

Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak mempunyai


rasa.
Kegunaan : Sebagai pelarut
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.
2.2.3 Na CMC (Dirjen POM, 1979)
Nama Resmi : CARBOXYMETHYCELLULOSUM
NATRICUM
Nama Lain :  Karboksimetilselulosa natrium, CMC sodium
Rumus Molekul : C13H18O2
Berat Molekul : 206,28 g/mol
Rumus Struktur :

Pemerian : Serbuk atau granul, putih sampai krem;


higroskopik
Kelarutan : Mudah terdispersi dalam air membentuk larutan
kolodial, tidak larut dalam etanol, dalam eter, dan
dalam pelarut organik lain
Pemerian : Serbuk atau granul, putih sampai krem;
higroskopik.
Khasiat : Agen pensuspensi, agen pelapis, zat penstabil,
disintegran, pengikat
Kegunaan : Kelompok kontrol negatif
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
2.2.4 Glibenklamida (Dirjen POM,1995)
Nama resmi : Glibenclamidum
Nama lain : Glibenklamida
Rumus Molekul : C23H28ClN3O5S
Berat Molekul : 494,00 gr/mol
Rumus Struktur :

Pemerian : Serbuk hablur, putih atau hampir putih; tidak


berbau atau hampir berbau.
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air dan dalam eter;sukar
larut dalam etanol dan dalam methanol;larut
sebagian
dalam kloroform.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Khasiat : Glibenclamide dapat menurunkan kadar gula
darah tinggi bagi penderita diabetes tipe 2 dengan
mengendalikan tingginya kadar gula .
Kegunaan : Sebagai obat anti metabolit
2.2.5 Rifampisin (Dirjen POM,1995)
Nama resmi : RIFAMPICIN
Nama lain : Rifampin , Rifaldazine ,Rifamycin
Rumus Molekul : C43H58N4O12
Berat Molekul : 822,95 gr/mol
Rumus Struktur :

Pemerian : Serbuk hablur, coklat merah.


Kelarutan : Sangat sukar larut dalam air; mudah larut dalam
kloroform; larut dalam etil asetat dan dalam
metanol
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Khasiat : obat antibiotik yang digunakan untuk mengobati
beberapa penyakit akibat infeksi bakteri
Kegunaan : Sebagai obat anti metabolit
2.3 Uraian Hewan
2.3.1 Klasifikasi Mencit (Setijono, 1985; dalam Bella, 2017)
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodentia
Genus : Mus Mencit
(Mus musculus L.)
Spesies : Mus musculus L.
Mencit memiliki berat badan yang bervariasi. Berat badan ketika lahir
berkisar antara 2-4 gram, berat badan mencit dewasa berkisar antara 20-40 gram
untuk mencit jantan dan 25-40 gram untuk mencit betina dewasa. Sebagai hewan
pengerat mencit memilki gigi seri yang kuat dan terbuka. Susunan gigi mencit
adalah indicisivus ½, caninus 0/0, premolar 0/0, dan molar 3/3 (Setijono, 1985;
dalam Bella, 2017).
2.3.2 Karakteristik Mencit
Mencit adalah hewan yang termasuk ke dalam kelas Mamalia. Mencit
merupakan salah satu golongan hewan mamalia pengerat yang bersifat omivorus
dan nokturnal. Ciri umum dari mencit yaitu memiliki warna kulit rambut tubuh
putih atau keabuabuan dengan perut sedikit pucat, mata berwarna merah atau
hitam (Setijono, 2004). Mencit memiliki bentuk tubuh yang kecil berwarna putih
dengan memiliki siklus estrus yang pendek dan teratur antara 4-5 hari. Mencit
jantan memiliki berat badan sekitar 18- 35 gram. Biasanya mencit dapat hidup
selama 1-2 tahun dan dewasa pada umur 35-60 hari. Mus musculus memiliki
masa reproduksi 1,5 tahun dengan waktu kehamilannya 19-21 hari. Mencit dapat
melahirkan 6-15 ekor. Berat dewasa mencit rata-rata 18-35 gram dan berat lahir
0,5-1.0 gram. Suhu rektal mencit 35-39ºC dengan pernapasan 140- 180 kali/menit,
dan denyut jantung 600-650 kali (Setijono, 2004).
2.3.3 Sifat Mencit
Hewan uji mencit, merupakan hewan yang cenderung berkelompok, sedikit
penakut dan tidak tahan dengan sinar yang terang (fotophobia), termasuk dalam
hewan nokturnal (beraktivitas lebih pada malam hari), butuh ketenangan disekitar
area pemeliharaannya dan jarang menggigit (Setijono, 2004).
Mencit bila diperlakukan dengan baik akan memudahkan penanganan,
sebaliknya perlakuan yang kasar akan menimbulkan sifat agresif bahkan dapat
menggigit pada kondisi tertentu. Mencit betina yang sedang menyusui anak akan
mempertahankan sarangnya dan bila anaknya dipegang dengan tangan yang kotor,
induknya akan menggigit dan memakan anak tersebut (Setijono, 2004).
Jika dibandingkan dengan tikus, mencit lebih fotophobia, perlu juga
ketenangan di sekitar area pemeliharaan. Bila dalam keadaan defisiensi makanan
atau minum dan merasa terganggu, cenderung responsif, galak dan terkadang
menyerang bahkan menggigit (Setijono, 2004).
2.3.4 Anatomi dan Fisiologi Mencit
Menurut Setijono (2004), mencit adalah hewan yang termasuk ke dalam
kelas Mamalia. Mencit merupakan salah satu golongan hewan mamalia pengerat
yang 10 bersifat omivorus dan nokturnal. Ciri umum dari mencit yaitu memiliki
warna kulit rambut tubuh putih atau keabu-abuan dengan perut sedikit pucat, mata
berwarna merah atau hitam.
Menurut Setijono (2004), mencit (Mus musculus) dewasa memiliki berat
badan sekitar 20-40 g pada hewan jantan, sedangkan 18-35 g pada hewan betina.
Kedewasaan dicapai pada saat usia 35 hari. Berdasarkan struktur anatomi mencit
mempunyai mulut, faring, laring, jantung, paru-paru, hati, kantung empedu,
lambung, ginjal, usus halus, usus besar, organ reproduksi dan perkemihan serta
rektum dan anus.
DAFTAR PUSTAKA BAB 2
Coons, J. C., & Empey, P. (2017). Drug Metabolism in Cardiovascular Disease.
Drug Metabolism in Diseases, (Cv), 139–156.

Dirjen POM. 1979. Farmakope Indonesia, Edisi III. Jakarta : Departemen


Kesehatan RI

Dirjen POM. 1995. Farmakope Indonesia, Edisi IV. Jakarta : Departemen


Kesehatan RI

Gibson, James., L., Jhon M., Ivancevich., dan H., Donnelly., Jr. 2015: Organisasi
dan Manajemen, Perilaku, Struktur, dan proses, terjemahan oleh Joerban
Wahid, Erlangga, Jakarta.

Katzung Bertram G. et al, 2015, Farmakologi Dasar & Klinik ed.12 vol.1, Jakarta:
EGC.

Lainscak, M., Vitale, C., Seferovic, P., Spoletini, I., Cvan Trobec, K., & Rosano,
G. M. C. (2016, December 1). Pharmacokinetics and pharmacodynamics of
cardiovascular drugs in chronic heart failure. International Journal of
Cardiology. Elsevier.

Medscape, 206, Drug Interaction Checker.


Nugroho, S.A., Tantri, N.D. 2018. Karakteristik Sosiodemografi dan Pola Terapi
Antiretroviral Pasien HIV AIDS di RSPI Prof Dr Sulianti Periode Januari –
Juni 2016. Jurnal Farmasi Indonesia Volme 15 Nomor 1: Jakarta. Program
Studi Farmasi Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta.

Rowe, R.C., Paul J.S., dan Marian E.Q. 2009. Handbook of Pharmaceutical
Excipient, Sixth Edition, USA : Pharmaceutical Press, pp : 441-445.

Setijono, M.M. 1985. Mencit (Mus musculus L.) Sebagai Hewan Percobaan.
Dalam Bella, F.D. 2017. Jumlah dan Morfologi Anak dari Hasil
Perkawinan Antara Mencit Betina dengan Mencit Jantan (Mus musculus
L.) yang Mendapat Perlakuan Ekstrak Buah Naga Putih (Hylocereus
undatus Haw). Skripsi. Lampung : Universitas Lampung.

Sleder, A. T., Kalus, J., & Lanfear, D. E. (2016). Cardiovascular


Pharmacokinetics, Pharmacodynamics, and Pharmacogenomics for the
Clinical Practitioner. Journal of Cardiovascular Pharmacology and
Therapeutics, 21(1), 20–26.

Anda mungkin juga menyukai