Anda di halaman 1dari 16

Makalah

HUKUM WARIS
“HAK KEWARISAN ANAK ANGKAT DALAM PERSPEKTIF HUKUM
ISLAM, HUKUM PERDATA, DAN HUKUM ADAT”

DISUSUN OLEH

Kelas

Kelompok 4

NAMA-NAMA KELOMPOK:

JURUSAN ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2022
KATA PENGANTAR

Atas kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,
Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah ilmiah tentang Hak Kewarisan Anak Angkat Dalam
Perspektif Hukum Islam, Hukum Perdata, Dan Hukum Adat.
Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah
ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang Hak Kewarisan
Anak Angkat Dalam Perspektif Hukum Islam, Hukum Perdata, Dan Hukum Adat
ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Gorontalo, 11 April 2022

Penulis

DAFTAR ISI

i
KATA PENGANTAR .................................................................................i
DAFTAR ISI ................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .............................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Dasar Pengangkatan Anak di Indonesia ........................................3
2.2 Hak Waris Anak Angkat Dalam Perspektif Hukum Islam, Hukum
Perdata, dan Hukum Adat.....................................................................5
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ....................................................................................11
3.2 Saran ..............................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di Indonesia ada tiga system hukum yang berlaku dan yang mengatur
permasalahan dan persoalan tentang pengangkatan anak. Ketiga system hokum itu
di antaranya adalah Hukum Islam, Hukum Adat, dan juga Hukum Barat1. Untuk
sementara hokum Adat dan hokum Barat tidak penulis sebutkan di sini, karena
penulis lebih konsentrasi dalam hokum Islam. Agama Islam pada esensinya tidak
melarang praktek pengangkatan anak atau adopsi, sejauh tidak mempengaruhi dan
tidak merubah hubungan nasab dan hubungan keturunan antara anak kandung
dengan orang tua kandungnya, atau hungan antara anak dengan orang tua aslinya.
Akan tetapi dalam ajaran Islam akan melarang pengangkatan anak dikala
pengangkatan anak itu akan menimbulkan masalah dan problem, yaitu jikalau
berakibat putusnya hubungan anak itu dengan orang tua kandungnya.
Larangan pengangkatan anak dalam arti yang benar-benar menjadi anak
kandung ini didasarkan pada firman Allah dalam Surat Al-Ahzab ayat 4, yang
artnya sebagai berikut: “Dan Tuhan tidak menjadikan anak-anak angkatmu
sebagai anak kandungmu sendiri. Yang demikian itu hanyalah perkataan di
mulutmu saja. Sedangkan Allah menyatakan yang sebenarnya dan menunjukkan
jalan yang benar”2. Pengangkatan anak yang terjadi di Indonesia pada umumnya
juga berpengaruh pada hak waris mewarisi di antara bapak angkat dengan anak
angkat. Ini telah menjadi kebiasaan yang terjadi dalam masyarakat bahwa anak
angkat diberikan hak waris dari ayah angkatnya, bahkan kadang kerabat dari
bapak angkat ini selalu diabaikan dalam mendapatkan hak waris dari sauranya
tersebut.
Tradisi memelihara atau mengasuh anak saudara dekat atau jauh atau anak
orang lain, biasanya dari orang tua yang tidak mampu, sudah sering dilakukan di
Indonesia dengan berbagai sebutan. Sungguhpun demikian, pengangkatan anak
seperti yang berlaku dalam tradisi Barat di mana status anak berubah menjadi
seperti anak kandung dan mendapat hak dan kewajiban sebagai anak kandung

1
Muslehuddin. 1997. Asuransi dalam Islam. Bumi Aksara: Jakarta
2
Ahmad Rofiq. 2003. Hukum Islam di Indonesia. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta

1
tidak dibenarkan menurut hukum Islam yang dianut oleh mayoritas masyarakat
Indonesia. Pengangkatan anak versi hukum Islam sebenarnya merupakan hukum
hadhanah yang diperluas dan sama sekali tidak mengubah hubungan hukum,
nasab dan mahram antara anak angkat dengan orang tua dan keluarga asalnya.
Perubahan yang terjadi hanya perpindahan tanggung jawab pemeliharaan,
pengawasan dan pendidikan dari orang tua asli kepada orang tua angkat3.
Konsepsi pengangkatan anak dalam hukum adat bervariasi, sesuai dengan
wilayah adatnya masing-masing, demikian pula istilah yang digunakan serta
akibat hukum pengangkatan anak menurut hukum adat bersifat variatif, artinya di
suatu daerah mungkin berlainan dengan hukum adat di daerah lainnya Secara
historis, pengaturan pengangkatan anak dalam peraturan perundang-undangan di
Indonesia berjalan terseok-seok. Realita masyarakat yang majemuk (bhinneka)
dan adanya beberapa sistem hukum merupakan suatu rintangan sekaligus
tantangan dalam sistem pengembangan hukum di Indonesia, sehingga sulit untuk
mendapatkan sistem hukum tunggal dan terpadu, termasuk menyusun aturan
tentang pengangkatan anak ini. Kenyataan adanya beberapa sistem hukum di
Indonesia yang menimbulkan cara pandang yang berbeda dalam melihat suatu
obyek, menjadikan makalah ini menarik melihat bagaimana sistem hukum Islam,
BW dan hukum adat dalam memposisikan anak angkat dalam keluarga yang
mengangkatnya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah yang dapat dipecahkan
melalui tulisan ini, yaitu:
1. Bagaimana dasar hukum dari pengangkatan anak?
2. Bagaimana hak waris anak angkat dalam perspektif hukum islam,
hukum perdata, dan hukum adat?

3
R. Soeroso. 2014. Perbandingan Hukum Perdata. Sinar Grafika: Jakarta

2
BAB II
PEMBAHASAN
2. 1 Dasar Hukum Pengangkatan Seorang Anak di Indonesia
Pengaturan pengangkatan anak dalam peraturan perundang-undangan pada
masyarakat Indonesia yang bhinneka (plural) tidak mudah dan mengalami banyak
pertentangan. Sejak pascaproklamasi sampai awal era reformasi, hanya ada satu
pasal yang mengatur pengangkatan anak, yaitu Pasal 12 Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak,. dan ketentuan pasal itu pun sebatas
tujuan pengangkatan anak. Sementara Staatsblad warisan kolonial yang mengatur
pengangkatan anak untuk penduduk golongan Tionghoa tersebut substansinya
sudah ketinggalan zaman (out of date), bahkan secara perlahan dan pasti
ditinggalkan oleh golongan Tionghoa sendiri. Sejak melewati pintu gerbang
proklamasi sampai memasuki pintu gerbang reformasi, tidak ada peraturan
perundang-undangan yang mengatur secara memadai pelaksanaaan pengangkatan
anak di Indonesia4.
Era reformasi, pengaturan pengangkatan anak tersebut mulai terwujud
dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, Undang-Undang ini mengatur tentang berbagai upaya yang dilakukan
dalam rangka perlindungan, pemenuhan hak-hak dan peningkatan kesejahteraan
anak, yang di dalamnya juga mengatur pengangkatan anak. Dalam perspektif
perlindungan anak, pada dasarnya secara yuridis pengangkatan anak hanya bisa
ditolelir jika memang semata-mata dilakukan demi kepentingan kesejahteraan
anak sebagaimana ditegaskan dalam pasal 12 ayat (1) UU No.4 tahun 1979
tentang Kesejahteraan Anak jo. pasal 39 ayat (1) UU No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari upaya perlindungan anak
sebagaimana dikehendaki pasal I ayat (2) dan pasal 3 UU no. 23 Tahun 2002,
yakni guna menjamin dan melindungi anak bersangkutan dan hak-haknya agar
dapat hidup, tumbuh, dilakukan, seperti mengadopsi/ mengangkat anak orang lain,
baik dari anak keluarganya, anak orang lain, untuk menjadi anak angkatnya.
Kebiasaan mengadopsi anak/mengangkat anak orang lain sebagai anak di
dalam bahasa Arab disebut istilah Tabanni sementara konsepsi pengangkatan anak
4
Rais, M. (Desember, 2016). Kedudukan Anak Angkat Dalam Perspektif Hukum Islam, Hukum
Adat Dan Hukum Perdata (Analisis Komparatif). Jurnal Hukum Diktum. 14 ( 2)

3
dalam Staatsblad 1917-129 dikenal dengan istilah adopsi, yang berasal dari kata
adoptie dalam bahasa Belanda, atau adoption dalam bahasa Inggris, yang dalam
Kamus Bahasa Indonesia disebutkan, bahwa adopsi adalah pengambilan
(pengangkatan) anak orang lain secara sah menjadi anak sendiri5.
Akan tetapi berkaitan dengan permasalahan pengangkatan anak, bahwa
pengangkatan anak telah dilakukan dengan cara motivasi yang berbeda-beda
sejalan dengan system hokum dan perasaan hokum yang hidup serta berkembang
di dalam masyarakat yang bersangkutan. Kenyataan tersebut dapat dilihat antara
lain dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), di sana disebutkan bahwa anak angkat
adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya
pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawab dari dari orang tua asal kepada
orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan6. Tujuan suatu proses di
muka pengadilan adalah untuk memperoleh putusan hakim yang berkekuatan
tetap, artinya suatu putusan hakim yang tidak dapat diubah lagi. Dengan putusan
ini hubungan antara kedua belah pihak yang berperkara ditetapkan untuk selama-
lamanya dengan maksud supaya, apabila tidak ditaati secara sukarela dipaksakan
dengan bantuan alat-alat negara (dengan kekuatan hukum)7.
Penetapan anak angkat di Indonesia termasuk dalam kategori Putusan
Deklarator yaitu putusan yang bersifat menyatakan atau menegaskan suatu
keadaan hukum semata-mata. Contoh lain Putusan deklaratoir adalah putusan
yang menyatakan ikatan perkawinan sah, perjanjian jual beli sah, hak pemilikan
atas benda yang disengketakan sah atau tidak sah sebagai milik penggugat;
penggugat tidak sah sebagai ahli waris atau harta terperkara adalah harta warisan
penggugat yang berasal dari harta peninggalan orang tuanya8.
Atau putusan yang menyatakan peralihan saham dari pemegang saham
semula kepada penggugat adalah sah karena telah sesuai dengan ketentuan Pasal
49 UU PT No. 1 Tahun 1995. Dari berbagai contoh di atas, putusan yang bersifat
deklarator atau deklaratif (declaratoir vonnis) adalah pernyataan hakim yang
tertuang dalam putusan yang dijatuhkannya. Pernyataan itu merupakan penjelasan
5
Djaya S Meliala. 1996. Adopsi (Pengangkatan Anak) dalam Yurisprudensi. Bandung: Tarsito
6
Mas’ut. (Januari, 2016). Hak kewarisan anak angkat menurut hukum islam Di Indonesia. Jurnal
Islami. 1 (1)
7
R. Subekti. 1989. Hukum Acara Perdata. Binacipta: Bandung
8
Balaaty, Dessy. (Maret, 2013). Prosedur dan Penetapan Anak Angkat Di Indonesia. Jurnal Lex
Privatum. 1 (1)

4
atau penetapan tentang sesuatu hak atau titel maupun status. Dan pernyataan itu
dicantumkan dalam amar atu diktum putusan, dengan adanya pernyataan itu,
putusan telah menentukan dengan pasti siapa yang berhak atau siapa yang
mempunyai kedudukan atas permasalahan yang disengketakan. Putusan
declaratoir yaitu yang amarnya menyatakan suatu keadaan sebagai suatu keadaan
yang sah menurut hukum.
Oleh karena itu pengangkatan anak dalam KHI ini hanya benar-benar
dalam rangka menolong anak atau sekedar meringankan beban hidup bagi orang
tua kandung anak tersebut.
2. 2 Hak Waris Anak Angkat Dalam Perspektif Hukum Islam, Hukum
Perdata, Dan Hukum Adat
2.2.1 Hak Waris Anak Angkat dalam Perspektif Hukum Islam
Menurut Kompilasi Hukum Islam dalam hukum kewarisan, Indonesia
merupakan salah satu negara merdeka dan berdaulat sekaligus sebagai negara
hokum, yang mayoritas penduduknya beragama Islam, bahkan terdapat lembaga
peradilan agama yang berazaskan personalitas keislaman yang keberadaannya
sama dengan persoalan lainnya yang yang berpuncak pada Mahkamah Agung
sebagai lembaga yudikatif tertinggi di Indonesia.
Salah satu hukum materiil peradilan Agama di Indonesia yang dijadikan
rujukan oleh para hakim adalah Kompilasi Hukum Islam. Walaupun berlakunya
hanya melalui Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991.
Sedangkan salah satu materi Kompilasi Hukum Islam adalah pemberian wasiat
wajibah kepada anak angkat, pasal 209 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Hal ini
merupakan terobosan baru dalam hokum Islam yang tidak ditemukan dalam
kajian kitab-kitab klasik, bahkan Undang-Undang Mesir dan Siria pun tidak
menyatakan wasiat wajibah kepada anak angkat. Pasal 209 KHI tidak mungkin
tanpa dasar hokum baik melalui istinbat atau istidhal. Hal ini karena keduanya
merupakan metode ijtihad yang tidak boleh ditinggalkan dalam penemuan hokum
Islam, terutama hal-hal yang tidak diatur secara jelas dan tekstual dalam nas
syara’.
Dengan demikian penulis akan menelaah pasal209 KHI melalui
pendekatan pemahaman petunjuk dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 180,

5
sehingga gerak pasal tersebut tetap berpijak pada nas syara’ walaupun tidak
menafikan metode nas yang lain. Hak waris anak angkat terhadap harta warisan
yang tertera pada pasal 209 dalam KHI adalah sebagai berikut: “Anak angkat yang
tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta
warisan orang tua angkatnya”.
Sedangkan dalam al-Qur’an dalam surat al-baqarah ayat 180 menyatakan:
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib
kerabatnya secara ma’ruf, kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa”. Kata
wasiat secara bahasa bermakna suatu bentuk perjanjian yang dibuat oleh
seseorang agar melakukan sebuah perbuatan, baik orang tersebut masih hidup
maupun setelah meninggal dunia. Sedangkan secara istilah (terminology) para
ulama mengartikan bahwa wasiat adalahperbuatan yang berupa pemberian milik
dari seseorang kepada yang lain yang pelaksanaannya setelah meninggalnya
pemberi wasiat baik berupa benda atau berupa manfaat dari benda, dengan jalan
tabarru’ (sedekah).
Hukum Islam telah membatalkan tradisi pewarisan yang terjadi antara
orang tua angkat dengan anak angkat yang tidak mempunyai hubungan nasab
sama sekali, tetapi mereka, anak angkat itu, hubungan wali mewali, dan hubungan
waris mewaris dengan orang tua angkat. Ia tetap menjadi ahli waris dari orang tua
kandungnya, dan anak tersebut tetap memakai nama dari orang tua kandung9.
Sedangkan dalam hukum adat penentuan waris bagi anak angkat tergantung pada
hokum adat yang berlaku. Bagi keluarga yang parental, jawa misalnya,
pengangkatan anak tidak otomatis memutus hubungan tali keluarga antara anak
itu dengan orang tua kandungnya. Oleh karena itu selain mendapat hak waris dari
orang tua angkat, dia juga mendapat hak waris dari orang tua kandung. Berbeda
dengan di Bali, pengangkatan anak merupakan kewajiban hokum yang
melepaskan anak angkat tersebut dari keluarga asalnya ke dalam keluarga
angkatnya, anak tersebut menjadi anak kandung dari yang mengangkatnya dan
memutuskannya kedudukan dari bapak angkatnya10.
2.2.2 Hak Waris Anak Angkat dalam Perspektif Hukum Perdata
9
M. Budiarto. 1991. Pengankatan Anak di Tinjau dari Segi Hukum. Akademika Pressindo: Jakarta
10
Ibid.

6
Hukum waris menurut KUHPerdata mengenal peraturan hibah wasiat ini
dengan nama testamen yang diatur dalamBuku II bab XIII. Tentang Ketentuan
umum surat wasiat, kecakapan seseorang untuk membuat surat wasiat atau untuk
menikmati keuntungan dari surat wasiat, bentuk suratwasiat, warisan
pengangkatan waris, hibah wasiat, pencabutan dan gugurnya wasiat. Hal ini
dipertegas di dalam Pasal 875 BW yang menyebutkan pengertian tentang surat
wasiat, yaitu: “Surat wasiat atau testamen adalah suatu akta yang memuat
pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia
meninggal dunia dan dapat dicabut kembali”.
Testamen atau wasiat menurut Buku II bab XIII Pasal 875 KUHPerdata
dapat berisi pengangkatan waris (erfstelling), atau hibah wasiat (legaat).
Erfstelling yaitu penetapan dalam testamen, yang tujuannya bahwa seorang yang
secara khusus ditunjuk oleh orang yang meninggalkan warisan untuk menerima
semua harta warisan atau sebagian (setengah, sepertiga) dari harta kekayaannya
(Pasal 954 KUHPerdata)11. Sedangkan legaat adalah seorang yang meninggalkan
warisan dalam testamen menunjuk seseorang yang tertentu untuk mewarisi barang
tertentu atau sejumlah barang yang tertentu pula, misalnya suatu rumah atau suatu
mobil atau juga barang-barang yang bergerak milik orang yang meninggalkan
warisan, atau hak memetik hasil atas seluruh sebagian harta peninggalannya
(Pasal 957 KUHPerdata). Dengan hibah wasiat maka seseorang yang tidak berhak
mewaris, atau yang tidak akan mendapat harta warisan tertentu, ada kemungkinan
mendapatkannya dikarenakan adanya pesan atau umanat, hibah atau hibah wasiat
daripewaris ketika masih hidup12.
Di lingkungan masyarakat hal tersebut dapat terjadi terhadap isteri dan
atau anaknya yang keturunannya rendah atau juga terhadap anak angkat dan anak
akuan. Menurut Hukum Barat (KUHPerdata) terdapat pembatasan dalam hal
membuat hibah wasiat yaitu tentang besar kecilnyaharta warisan yang akan
dibagi-bagikan kepada ahli warisyang disebut “Ligitime Portie”, atau
”wettelijkerfdeel” (besaran yang ditetapkan oleh Undang-Undang).

11
R.G.Kartasapoetra. 1996. Pembahasan Hukum Benda Hipotek Hukum Waris. Bumi Aksara:
Jakarta
12
Regynald Pudihang. (September, 2015). Kedudukan Hukum Hak Waris Anak Angkat Menurut
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jurnal Lex Privatum. 3 (3)

7
Hal ini diatur dalam Pasal 913-929 KUHPerdata. Tujuan dari pembuatan
Undang-undang dalam menetapkan Legitime Portie ini adalah untuk menghindari
dan melindungi anak si wafat dari kecenderungan si wafat menguntungkan orang
lain, demikian kata Asser Meyers yang dikutip dalam buku oemarsalim. Ligitime
Portie (bagian mutlak) adalah bagian dari harta peninggalan atau warisan yang
harus diberikan kepada para waris dalam garis lurus, terhadap bagaimana si
pewaris dilarang menetapkan sesuatu baik yang berupa pemberian (Hibah)
maupun hibah wasiat (Pasal 913 KUHPerdata). Dengan demikian maka yang
dijamin dengan bagian mutlak atau Legitime Portie itu adalah para ahli waris
dalam garis lurus kebawah dan keatas (sering dinamakan “Pancer”).
Dalam garis lurus kebawah, apabila si pewaris itu hanya meninggalkan
anak sah satu-satunya, maka bagian mutlak baginya itu adalah setengah dari harta
peninggalan13. Jadi apa bila tidak ada testamen maka anak satu-satunya itu
mendapat seluruh harta warisan, jikaada testamen anak satu-satunya itu dijamin
akan mendapat setengah dari harta peninggalan. Apabila 2 (dua) orang anak yang
ditinggalkan, maka bagian mutlak itu adalah masing-masing 2/3. ini berarti bahwa
mereka itu dijamin bahwa masing-masing akan mendapat 2/3 dari bagian yang
akan didapatnya seandainya tidak ada testamen.
Apabila 3 (tiga) anak atau lebih yang ditinggalkan, maka bagian mutlak itu
adalah masing-masing ¾. Ini berarti bahwa mereka dijamin masing-masing akan
mendapatkan ¾ dari bagian yang akan didapatnya seandainya tidak ada testamen.
Dalam garis lurus keatas (orang tua, kakek dan seterusnya) bagian mutlak
itu selamanya adalah setengah, yang menurut Undang-undang menjadi bagian
tiaptiap mereka dalam garis itu dalam pewarisan karena kematian. Perlu juga
diperhatikan bahwa anak luar kawin (anak angkat) yang telah diakui dijamin
dengan jaminan mutlak, yaitu setengah dari bagian yang menurut Undang-undang
harus diperolehnya. Seandainya tidak ada keluarga sedarah dalam garis lurus ke
bawah dan ke atas serta tidak ada anak luar kawin yang telah diakui, maka hibah
atau hibah wasiat boleh meliputi seluruh harta warisan.
2.2.3 Hak Waris Anak Angkat dalam Perspektif Hukum Adat

13
Mulyadi. 2008. Hukum Waris Tanpa Wasiat. Badan Penerbit Universitas Diponegoro:
Semarang

8
Hukum waris adat, anak angkat menerima hak-hak dan kewajiban sebagai
ahli waris layaknya anak kandung baik materiil maupun immaterial. 15 Suroyo
Wingnjodipuro menyebutkan bahwa adopsi dalam hal ini harus terang, artinya
wajib dilakukan dengan upacara adat serta dengan bantuan kepala adat.
Kedudukan hukum anak yang diangkat demikian ini adalah sama dengan anak
kandung daripada suami isteri yang mengangkatnya, sedangkan hubungan
kekeluargaan dengan orang tua sendiri secara adat menjadi putus, seperti yang
terdapat di daerah Gayo, Lampung, Pulau Nias, dan Kalimantan14.
Dikarenakan tidak mempunyai keturunan anak dan tidak ada anak lelaki
sebagai penerus keturunan di lingkungan masyarakat patrilinial atau tidak ada
anak perempuan penerus keturunan di lingkungan masyarakat matrilinial, maka
diangkatlah kemenakan bertali darah. Dikarenakan adat perkawinan setempat
seperti berlaku di daerah Lampung antara wanita Lampung dengan orang luar
daerah, di dalam perkawinan memasukkan mantu (ngurukken mengiyan), maka
diangkatlah si menantu menjadi anak angkat dari salah satu kepala keluarga
anggota kerabat, sehingga si suami menjadi anak adat dalam hubungan bertali
adat.
Mengenai hal ini dalam hukum adat tidak ada keseragaman. Wiijono
Prodjodikoro, dalam bukunya "Hukum Warisan di Indonesia", menjelaskan
bahwa dalam lingkungan hukum adat sudah pernah diputuskan oleh Pengadilan
Negeri Purworejo, bahwa seorang anak angkat menurut hukum adat, tetap berhak
atas harta warisan yang ditinggalkan oleh orang tuanya sendiri.
Di beberapa daerah seperti lahat (Palembang, Kabupaten Batanghari,
Kecamatan Bontomarannu Kabupaten Goa daerah Kepulauan Tidore, dll.
Beberapa daerah tersebut secara umum menyatakan bahwa anak angkat bukanlah
ahli waris dari orang tua angkatnya, anak angkat adalah ahli waris dari orang
tuanya sendiri. Anak angkat memperoleh harta warisan dari peninggalan orang tua
angkatnya melalui hibah atau pemberian atau wasiat (sebelum orang tua
angkatnya meninggal dunia).
Betapapun anak angkat itu berhak mewaris dari orang tua angkatnya,
namun ia tidak boleh melebihi anak kandung, sebagai mana keputusan Mahkamah
14
Ahmad Kamil dan Fauzan. 2010. Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia.
Persada: Jakarta.

9
Agung tanggal 18 Maret 1959 No.37 K/Sip/1959 yang menyatakan bahwa anak
angkat hanya diperbolehkan mewaris harta gonogini (harta pencaharian) dan
orang tua angkatnya, sedang terhadap barang asal tidak berhak mewaris. Kecuali
jika harta gono-gini tidak mencukupi sebagaimana dinyatakan dalam keputusan
Kamar ke III Raad van Justitie tangga) 25 Mei 1939 bahwa anak angkat dapat
meminta bagian dari barang asal orang tua angkatnya hingga jumlah yang
menurut keadaan dianggap adil.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

10
1. Proses pengangkatan anak dapat dibuat dengan cara mengajukan
permohonan kepada Pengadilan Negeri untuk memperoleh kepastian
hukum terhadap pengangkatan anak tersebut sesuai dengan ketetapan
Undang-Undang yang berlaku.
2. Hak mewaris anak angkat tidak diatur di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, namun demikian khusus bagi Warga Negara Indonesia
keturunan Tionghoa, kedudukan anak angkat adalah sama dengan anak
sah. Untuk itu ia berhak mewaris harta warisan orang tua angkatnya
menurut Undang-undang atau mewaris berdasarkan hukum waris
Testamentair apabila ia mendapatkan testament (Hibah Wasiat).
3. Dalam hukum Islam kedudukan anak angkat tidak memutuskan hubungan
darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya. Demikian
juga anak angkat tidak menjadi ahli waris dari ayah angkatnya, tetapi anak
angkat berhak mendapat wasiat wajibah yang jumlahnya tidak lebih dari
1/3 bagian.
4. Hak mewaris dari anak angkat diatur secara beragam baik dari hukum adat
maupun peraturan perundang-undangan, hak waris anak menurut hukum
adat mengikuti aturan adat dari masing-masing daerah.
3.2 Saran
1. Staatsblad 1917 nomor 129 tentang pengangkatan anak sudah tidak sesuai
dengan perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat. Karena itu
UndangUndang dan Peraturan-peraturan Pemerintah yang mengatur
pengangkatan anak sangat dibutuhkan agar tidak adanya perbedaan dalam
pengangkatan anak, baik bagi Warga Negara Indonesia Keturunan maupun
Warga Negara Indonesia Asli, serta bagi anak yang diangkat tidak hanya
pada anak laki-laki saja, tetapi juga bagi anak perempuan.

DAFTAR PUSTAKA
Buku:

11
Ahmad Kamil dan Fauzan. 2010. Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak
di Indonesia. Persada: Jakarta.
Ahmad Rofiq. 2003. Hukum Islam di Indonesia. PT. Raja Grafindo Persada:
Jakarta
Djaya S Meliala. 1996. Adopsi (Pengangkatan Anak) dalam Yurisprudensi.
Bandung: Tarsito
M. Budiarto. 1991. Pengankatan Anak di Tinjau dari Segi Hukum. Akademika
Pressindo: Jakarta
Mulyadi. 2008. Hukum Waris Tanpa Wasiat. Badan Penerbit Universitas
Diponegoro: Semarang.
Muslehuddin. 1997. Asuransi dalam Islam. Bumi Aksara: Jakarta
R. Soeroso. 2014. Perbandingan Hukum Perdata. Sinar Grafika: Jakarta
R. Subekti. 1989. Hukum Acara Perdata. Binacipta: Bandung
R.G.Kartasapoetra. 1996. Pembahasan Hukum Benda Hipotek Hukum Waris.
Bumi Aksara: Jakarta
Jurnal:
Balaaty, Dessy. (Maret, 2013). Prosedur dan Penetapan Anak Angkat Di
Indonesia. Jurnal Lex Privatum. 1 (1).
Mas’ut. (Januari, 2016). Hak kewarisan anak angkat menurut hukum islam Di
Indonesia. Jurnal Islami. 1 (1).
Rais, M. (Desember, 2016). Kedudukan Anak Angkat Dalam Perspektif Hukum
Islam, Hukum Adat Dan Hukum Perdata (Analisis Komparatif). Jurnal
Hukum Diktum. 14 (2)
Rifyal, Ka’bah. (Maret, 2007). Pengangkatan Anak Dalam UU No. 3 2006
Tentang Perubahan Atas UU No. 7 1989 Tentang Peradilan Agama dan
Akibat Hukumnya. Jurnal Suara Uldilag. Mahkamah Agung RI, 3 (10).
Regynald Pudihang. (September, 2015). Kedudukan Hukum Hak Waris Anak
Angkat Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jurnal Lex
Privatum. 3 (3).
Undang-Undang:
Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Anak
Staatsblad 1917 Nomor 129 tentang Pengangkatan Anak
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

12

Anda mungkin juga menyukai