Anda di halaman 1dari 11

ESSAY

MENILIK PRESTISI MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM UNDANG-


UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA 1945 DI MASA YANG
AKAN DATANG

RAHMAWATY PUTRI MUSA (1011420000)

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

Sebuah konsep yang sangat dikenal dalam pembagian kekuasaan adalah konsep
klasik trias politika yang dikembangkan sejak abad ke-18 oleh Baron de Montesquieu,
yang terkenal luas dan digunakan di berbagai negara sebagai dasar pembentukan
struktur kenegaraan. Konsep tersebut membagi tiga fungsi kekuasaan negara yaitu
eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Montesquieu membuat gambaran bahwa ketiga
fungsi kekuasaan negara itu dilembagakan masing-masing ke dalam tiga organ negara
yang berbeda, setiap organ menjalankan satu fungsi, dan tidak saling mencampuri
urusan satu dengan lainnya. Namun demikian tidak secara tegas diaplikasikan, menurut
garis besar Indonesia mengadopsi konsep trias politika ini. Konsep Trias Politika telah
lama dipandang oleh banyak ahli sebagai keadaan yang tidak relevan lagi, disebabkan
oleh kenyataan bahwa sukar sekali memisahkan kekuasaan negara dalam praktik
penyelenggaraan negara atau pemerintahan.
Perkembangan lahirnya perangkat pengaturan kelembagaan politik pada konteks
demokratisasi, ditujukan dalam skema usaha menciptakan check and balances. Check
and balances mempunyai arti terperinci dalam hubungan antar kelembagaan negara.
Contohnya, untuk tujuan aspek legislasi, check and balances mempunyai 5 (lima)
fungsi yakni, Pertama, sebagai fungsi penyelenggara pemerintahan, di mana eksekutif
dan legislatif memiliki tugas dan tanggungjawab yang saling terkait dan saling
membutuhkan konsultasi sehingga terkadang dapat dilihat tumpang tindih. Tetapi
disinilah fungsi check and balances supaya tidak ada satu lembaga negara lebih
dominan tanpa kontrol melalui lembaga lain. Kedua, sebagai fungsi yang membagi
kekuasaan di antara lembaga legislatif sendiri, di mana melewati sistem pemerintahan
yang dianut, sama halnya dengan sistem presidensial di Indonesia, diinginkan terjadi
mekanisme kontrol secara internal. Ketiga, fungsi hirarkis antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah. Yang keempat, sebagai fungsi akuntabilitas perwakilan dengan
rakyat yang memilihnya. Kelima, sebagai fungsi perihal hadir pemilih untuk dalam hal
ini menyuarakan aspirasinya.
Suatu konstitusi merupakan sebuah sistem hukum, tradisi, dan konvensi yang
kemudian membentuk suatu sistem konstitusi atau ketatanegaraan suatu negara. Suatu
sistem ketatanegaraan mencerminkan fungsi-fungsi yang terdapat dalam hukum
ketatanegaraan. Fungsi-fungsi tersebut di antaranya adalah pembentukan fungsi
lembaga, pembagian kewenangan, dan pengaturan batas-batas di antara jabatan satu
sama lain, serta hubungan antara jabatan dan warga negara. Ketiga fungsi tersebut,
yakni fungsi pembentukan, pembagian, dan pengaturan merupakan fungsi-fungsi
mengoperasikan sebuah sistem ketatanegaraan berdasarkan norma-norma, aturan-aturan
konstitusi, serta prinsipprinsip konstitusionalisme dan negara hukum dalam suatu
konstitusi.
Sistem ketatanegaraan yang diatur dalam konstitusi suatu negara dan dalam
format politik yang demokratis serta sistem pemisahan kekuasaan negara dan checks
and balances tidak terlepas dari adanya prinsip dan pelaksanaan wewenang untuk
menguji atau pengujian peraturan perundang-undangan (judicial review) Konsep
judicial review itu sendiri sebenarnya dilihat sebagai hasil perkembangan modern
tentang sistem pemerintahan demokratis yang didasarkan atas ide-ide negara hukum
(rule of law), prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power), serta perlindungan
dan pemajuan hak asasi manusia (the protection of fundamental rights).
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) merupakan pelaku
kekuasaan kehakiman yang lahir setelah amandemen UUD Negara Republik Indonesia
(NRI) 1945 Ketiga pada Tahun 2001 berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD NRI Tahun
1945 yang selanjutnya dipertegas lagi mengenai kedudukannya pada Pasal 2 UU No. 24
Tahun 2003. MKRI mempunyai kedudukan yang sederajat dan sama dengan Mahkamah
Agung Republik Indonesia (MARI). MKRI dan MARI merupakan pelaksana kekuasaan
kehakiman (judiciary) yang merdeka dan terpisah dari cabang-cabang kekuasaan lain,
yaitu pemerintah (executive) dan lembaga permusyawaratan perwakilan (legislature).
Kedua Mahkamah ini sama-sama berkedudukan hukum di Jakarta sebagai
ibukota Negara Republik Indonesia. Hanya struktur kedua organ kekuasaan kehakiman
ini terpisah dan berbeda sama sekali satu sama lain. MKRI sebagai lembaga peradilan
tingkat pertama dan terakhir tidak mempunyai struktur organisasi sebesar MARI yang
merupakan puncak sistem peradilan yang strukturnya bertingkat secara vertikal dan
secara horizontal mencakup lima lingkungan peradilan, yaitu peradilan umum, peradilan
tata usaha negara, peradilan agama dan peradilan militer. Jimly Asshiddiqie menyatakan
bahwa MARI pada hakikatnya adalah “court of justice”, sedangkan MKRI adalah
“court of law”. Yang satu mengadili ketidakadilan untuk mewujudkan keadilan,
sedangkan yang kedua mengadili sistem hukum dan sistem keadilan itu sendiri.
Mengenai komposisi pengisian jabatan hakim MKRI dijelaskan dalam UUD NRI Tahun
1945 pada Pasal 24C ayat (3) bahwa hakim MKRI terdiri dari 9 orang dan diusulkan
oleh Mahkamah Agung, DPR dan Presiden.
Mahkamah Konstitusi bertanggung jawab mengatur organisasi, kepegawaian,
tata usaha, dan keuangan sesuai dengan prinsip tata kelola dan integritas yang baik,
serta mengatur hal-hal lain yang diperlukan untuk menjalankan tugas dan
wewenangnya. Berdasarkan Pasal 7A jo Pasal 7B Jo Pasal 24C Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 kedudukan Mahkamah Konstitusi adalah
sebagai pelaku kekusaan kehakiman dalam sistem ketatanegaan Republik Indonesia
dimaksud sebagai lembaga yang mandiri untuk melaksanakan peradian dalam perkara-
perkara ketatanegaraan tertentu.
Menurut ketentuan Pasal 7A jo Pasal 7B jo Pasal 24C Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dimaksud fungsi peradilan yang khusus
dalam menangani perkara ketatanegaraan tertentu adalah untuk menjaga dan
menafsirkan konstitusi, sebagagai sarana kontrol penyelenggara terhadap perimbangan
kakuasaan (Check And Balace). Untuk menciptakan perimbangan kekuasaan,
Mahkamah Konstitusi menyelesaikan perkara-perkara ketatanegaraan melalui
pelaksanaan kewenangannya. Dalam pelaksanaan kewenangan menguji undang-undang
terhadap undang-undang dasar dasar hukum yang digunakan Mahkamah Konstitusi
adalah Pasal 24C Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 , Pasal 1 Angka 3 Huruf a jo. Pasal 10 Angka 1 Huruf a jo. Pasal 30 Huruf a jo.
bagian Kedelapan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011.
Pengujian Undang-Undang (UU) terhadap Undang-Undang Dasar (UUD)
merupakan pengujian mengenai nilai konstitusionalitas undang-undang tersebut.
Metode Pengujian yang dilakukan oleh MKRI adalah dengan metode review, yakni
metode yang memandang, menilai, atau menguji kembali. Sehingga legal standing
menjadi sangat penting dalam kewenangan MKRI yang satu ini. Pengujian ini dibagi
menjadi dua yakni:
1) pengujian formal dan
2) pengujian materiil.
Pengujian secara formal akan melakukan pengujian atas dasar kewenangan
dalam pembentukan UU dan prosedur yang harus ditempuh dari tahap drafting sampai
pada pengumuman dalam Lembaran Negara yang harus menuruti ketentuan yang
berlaku. Sebagaimana diuraikan pada pasal 51 ayat (3) huruf a UU No 24 Tahun 2003
yang menyatakan pemohon wajib menguraikan dengan jelas, bahwa “Pembentukan
Undang-Undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia tahun 1945.”
Lalu pengujian materiil ialah pengujian atas materi muatan dari UU itu sendiri
sebagaimana diuraikan pada pasal 51 ayat (3) huruf b UU No 24 Tahun 2003 yang
menyatakan pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa: “Materi muatan dalam
ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.” Mengenai legal standing yang
disebutkan diatas pada kewenangan MKRI yang satu ini haruslah kuat, didalam
Pengujian UU ini terdapat asaz point “d interet point d action”, yakni yang berarti siapa
yang mempunyai kepentingan kuat maka ia yang boleh mengajukan gugatan. Sehingga
pemohon yang disebutkan pada pasal 51 ayat (1) UU No 23 Tahun 2004, yaitu:
1) Perorangan warga negara Indonesia,
2) Kesatuan Masyarakat Hukum Adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam UndangUndang,
3) Badan hukum publik atau privat; atau
4) Lembaga negara wajib menguraikan bahwa hak dan kewenangan
konstitusionalnya dirugikan.
Menurut Maruarar Siahaan 2 (dua) kriteria yang dimaksud adalah: Kualifikasi
apakah (1) Perorangan warganegara Indonesia, (2) Kesatuan Masyarakat Hukum Adat
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang, (3) Badan
hukum publik atau privat; atau (4) Lembaga negara; Anggapan bahwa kualifikasi
demikian terdapat hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang dirugikan
oleh berlakunya undang-undang.
Pada dasarnya juicial review hanya dapat dijalankan sebagaimana mestinya
dalam negara yang menganut supremasi hukum dan bukan supremasi parlemen. Dalam
negara yang menganut sistem supremasi parlemen, produk hukum yang dihasilkan tidak
dapat diganggu gugat, karena parlemen merupakan bentuk representasi dari kedaulatan
rakyat.
Terdapat 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban dari Mahkamah
Konstitusi, yaitu:
1) Menguji UU terhadap UUD
2) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara
3) Memutus pembubaran politik
4) Memutus perselisihan pemilu
5) Memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh
Presiden dan/atau Wakil presiden
Selain itu Mahkamah Konstitusi juga memeriksa, mengadili, dan memutus
pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden (Pasal 7 A jo Pasal 7B Ayat (1) jo Pasal 24C Ayat (2)
Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Tahun 1945). Perlu ditambahkan pula,
kewenangan Mahkamah Konstitusi di sini adalah sebagai pengadilan tingkat pertama
dan terakhir dengan putusan yang bersifat final (Pasal 24C Ayat (1) Perubahan Ketiga
UndangUndang Dasar Tahun 1945).
Mahkamah Konstitusi juga memiliki kedudukan terhadap lembaga Negara yang
lain, diantaranya dengan Mahkamah Agung (MA), Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD),
dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Yang kesemuanya saling melengkapi sehingga
akan tercipta suasana pemerintahan yang yang saling melengkapi antara fungsi lembaga
Negara yang satu dengan yang lainnya. Keberadaan Mahkamah Konstitusi yang diakui
keabsahannya setelah perubahan ke III Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945), merupakan salah satu
institusi kekuasaan kehakiman yang menarik untuk dikaji dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Tahun 1945, terutama yang berkaitan dengan
kewenangannya dalam proses impeachment. Mahkamah Konstitusi berfungsi untuk
menegakkan konstitusi dalam upaya mewujudkan negara hukum Indonesia yang
demokratis. Fungsi ini tidaklah terpisah dari tujuan cita hukum (rechts idee) yang
termuat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yaitu cita-cita
membangun dan mewujudkan suatu tatanan masyarakat dan pemerintah yang
demokratis berdasarkan atas hukum rech state bukan mach state, serta mewujudkan
kesejahteraan dan keadilan sosial (welfare state). Sebagaimana telah menjadi
kesepakatan bersama oleh para the founding fathers sebagai the goals of state.
Eksistensi Mahkamah Konstitusi harus tetap korelatif dengan cita hukum itu
sendiri, yang menurut Saleh adalah sebagai penentu arah kehidupan rakyat yang teratur
sesuai konstitusi. Cita hukum bangsa dan negara Indonesia tersebut tidak dapat
dipisahkan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Untuk membangun negara yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Undang-Undang Dasar Tahun 1945
sendiri adalah suatu bentuk peraturan hukum yang tertulis dan merupakan peraturan
hukum yang mempunyai kedudukan tertinggi didalam negara.
Mahkamah Konstitusi merupakan pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah
Konstitusi dibentuk untuk menjamin konstitusi sebagai hukum tertinggi agar dapat
ditegakkan, sehingga Mahkamah Konstitusi disebut dengan the guardian of the
constitution.
Sebagai the guardian of constitution Mahkamah Kontistusi memiliki pengaruh
yang besar dalam pelaksanaaan ketatanegaraan di Indonesia dimasa yang akan datang.
Hal ini dibuktikan dengan diinkorporasikannya hak-hak asasi manusia dalam Undang
Undang Dasar 1945, bahwa fungsi pelindung konstitusi dalam arti melindungi hak-hak
asasi manusia (fundamental rights) juga benar adanya. Selain dari pada itu, prestisi
Mahkamah Konstitsi terhadap UUD NRI 1945 merupakan hal yang harus terus untuk
didudukan (locus standing) dikarenakan Mahkamah Konstitusi memiliki peran yang
cukup krusial dalam pelaksanaan fungsi dan kewenangannya. Mahkamah Konstitusi
berperan penting dalam peradaban dan kemajuan hukum dan konstitusi di Indonesia
sebagai Sebagai perwujudan kedaulatan rakyat, maka lembaga perwakilan rakyat
menjadi suatu lembaga yang berfungsi sebagai checks and balances terhadap lembaga
negara lainnya. Untuk menjalankan fungsi tersebut, hingga lembaga perwakilan rakyat
lazimnya diberikan beberapa fungsi misalkan fungsi legislasi, fungsi pengawasan, dan
fungsi anggaran. Checks and balances bertujuan agar antara pelaksana kekuasaan
negara saling mengawasi dan mengimbangi satu dengan yang lainnya. Dalam
pengertiannya bahwa kewenangan lembaga negara yang satu akan terusmenerus
dibatasi dengan kewenangan lembaga negara yang lain. Dengan konsep ini, maka
sesungguhnya checks and balances berpangkal pada adanya power limit power.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi dalam kehidupan ketatanegaraan sangat
penting dalam melindungi dan mengemban suara rakyat. Dengan putusan-putusannya,
Mahkamah Konstitusi merupakan jawaban konkrit atas segenap permasalahan yang
terjadi di tengah-tengah masyarakat terhadap perundang-undangan yang dinilai warga
bertentangan dengan konstitusi. Tudingan adanya hakim tidak bersih di Mahkamah
Konstitusi, dapat mencoreng citra Mahkamah Konstitusi, sehingga diperlukan
komunikasi di antara para hakim konstitusi dan pengawasan baik internal maupun
eksternal di Mahkamah Konstitusi.
Hal itu penting karena membiarkan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga
peradilan tanpa pengawasan akan membahayakan. Putusan Mahkamah Konstitusi
terhadap suatu perkara, tidak jarang menimbulkan pro dan kontra. Keputusan
Mahkamah Konstitusi adalah keputusan final dan mengikat yang harus dihormati.
Namun, tentu hakim Mahkamah Konstitusi tidak selalu sempurna. Sudah pasti ada
sejumlah hal yang membuat seorang hakim Mahkamah Konstitusi menjadi kurang teliti
dalam mengambil keputusan. Selain itu, tidak ada jaminan seratus persen hakim
Mahkamah Konstitusi selalu bersih dan kuat menghadapi cobaan suap. Oleh karena itu,
untuk mengawasi dan menindak hakim Mahkamah Konstitusi yang diduga memberikan
keputusan yang tidak obyektif atau melanggar kode etik, perlu segera dibentuk Badan
Kehormatan Hakim untuk menindaklanjuti kasus pelanggaran kode etik. Dengan
demikian, putusan hakim Mahkamah Konstitusi dapat diuji keobyektifitasannya dan
tidak merugikan pihak tertentu.
Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yang dikenal dengan reputasi yang
bersih dan akuntabel selama ini. Tidak ada lembaga negara yang begitu dipercayai
dengan sangat tinggi selain Mahkamah Konstitusi. Selama ini Mahkamah Konstitusi
jauh dari berita-berita miring apalagi perilaku koruptif yang dilakukan oleh oknum
didalamnya.
Namun bukan berarti tidak ada isu negatif selama ini yang menghinggapi
Mahkamah Kosntitusi. Sebagai lembaga negara yang mempunyai kewenangan besar
dan signifikan, MK pasti menjadi sasaran bagi banyak pihak yang sangat kuat bermain
dengan dasar kepentingan politis. Apalagi jika peluang tersebut dapat diakomodasi
melalui perlindungan terhadap hak-hak warga negara melalui putusan yang sifatnya dan
mengikat. Tidak ada lagi lembaga yang berwenang mengubah bahkan untuk sekedar
mengeksaminasi atau me-review putusan tersebut.
Keberadaan Majelis Kehormatan yang selama ini telah dibentuk oleh MK
bukanlah tanpa efek atau dampak, namun Majelis Kehormatan merupakan perangkat
pengawasan yang lebih bersifat internal. Kelemahan mendasar pengawasan internal
adalah objektifitas dan kemampuan perangkat tersebut untuk mengawasi secara tegas
hakim MK apabila terjadi persangkaan atau dugaan perilaku koruptif hakim MK.
Mengingat besarnya kewenangan MK sebagaimana amanat UUD 1945, maka
perlu diciptakan model pengawasan yang lebih ketat terhadap hakim-hakim MK baik
secara internal maupun eksternal. Peran pengawasan oleh masyarakat dan kalangan
terdidik amat perlu dibangun secara terlembaga, meskipun tidak akan berdampak secara
langsung namun secara tidak langsung dapat memberikan efek yang positif untuk
menjaga Mahkamah Konstitusi tidak jumawa dengan kewenangannya.
Banyaknya perkara yang masuk ke Mahkamah Konstitusi dari berbagai daerah
perlu dilakukan pendistribusian untuk penanganan perkara tersebut. Dibentuknya
perwalian di daerah-daerah di wilayah tertentu, bisa menjadi jalan keluar agar perkara
yang masuk ke Mahkamah Konstitusi cepat terselesaikan dan memenuhi asas peradilan
yang cepat, sederhana, dan murah.
Maka dari itu, Mahkamah Konstitusi memiliki pengaruh yang sangat besar
dalam konstitusi Indonesia terutama dalam perkembangan peradaban di masa yang akan
datang.
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal:
Bambang Sutiyoso, Desember 2010, Pembentukan Mahkamah Konstitusi Sebagai
Pelaku Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, Jurnal Konstitusi (7) 6, Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
Indra Perwira, dkk., November 2010, Budaya Konstitusi (Constitutional Culture)
Dalam UUD 1945 Perubahan Dikaitkan Dengan Gagasan Perubahan Kelima
UUD 1945, dalam Jurnal Konstitusi (2) 2, Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia.
Darmadi, Nanang Sri. “Kedudukan Dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam
Sistem Hukum Ketatanegaraan Indonesia.”Jurnal Pembaharuan Hukum (3) 2
2018.
Tutik, 2019, Pengawasan Hakim MK dalam Sistem Pengawasan Hakim Menurut UUD
1945 Jurnal Konstitusi, (5) 9. Jurnal Konstitusi,
Maruarar Siahaan, Hukum Acara Perselisihan Hasil Pemilukada 2019, Volume 6
Nomor 3, 2019
Wim Voermans, Strengthening Judicial Reform By A Judicial Commision, Bahan
Seminar yang bertajuk “Seminar On Comparative Models Of Judicial
Commissions”
Johannes Oehlboeck dan Immanuel Gerstner. 2019. The Austrian Legal System and
Laws. Jurnal Ilmu Pemerintahan 3 (1).
Saldi Isra, Penataan Lembaga Perwakilan Rakyat Sistem Trikameral di Tengah
Supremasi Dewan Perwakilan Rakyat. Jurnal Konstitusi, Vol 1 No. 1, Juli 2018
Holilah, Etika Administrasi Publik dalam ketatanegaran. Jurnal Review Politik Volume
03 Nomor 02, Desember, 2020.
Nur Habibi, Praktik Pengawasan Etika Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,
Jurnal Cita Hukum, (3) 1. Juni 2020.
Sri Karyati. Rekonstruksi Kelembagaan Penegakan Etika Parlemen Mahkamah
Konstitusi di Indonesia. Jurnal Etika dan Pemilu, volume (2) 1. Juni 2015
Ahmad fadlil Sumadi,dkk. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Perkembangan Dalam
Praktik. Jurnal Ilmu Pemerintahan 3 (2) Juni 2019
Buku:
Ahmad, Fadlil Sumadi Dkk. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Perkembangan Dalam
Praktik. Cet 1. Rajawali Pers. Depok. 2019
Leonard W. Levy, 2005, Judicial Review, Sejarah Kelahiran, Wewenang, dan
Fungsinya dalam Negara Demokrasi, Nuansa, Bandung.
M.Hasbi Amiruddin, 2000, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman, UII Press,
Yogyakarta.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2008, Naskah Komprehensif Perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar
Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku I, Latar Belakang,
Proses, dan Hasil Perubahan UUD 1945, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
Maruarar, Siahaan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Edisi 2.Cet. 2. Sinar Grafika,
Jakarta, 2012.
Masdar Farid Mas’udi, 2010, Syariah Konstitusi UUD 1945 dalam Perspektif Islam,
Pustaka Alfabet bekerjasama dengan LaKIP, Jakarta.
Masyhur Effendi, 2005, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) dan Proses
Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM), Ghalia
Indonesia, Jakarta.
Miriam Budiardjo, 1991, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta.
Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
Pusat Studi HTN Fakultas Hukum UI, Jakarta.
Moh.Mahfud M.D., 2010, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
P.J. Suwarno, 2009, Tata Negara Indonesia, Dari Sriwijaya sampai Indonesia Modern,
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Padmo Wahjono, 1984, Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, Ghalia
Indonesia, Jakarta.
Paul Scholten, 2005, De Structuur Der Rechtswetenschap, Struktur Ilmu Hukum, alih
bahasa B. Arief Sidharta, Alumni, Bandung.
Refly Harun et al., 2004, Menjaga Denyut Konstitusi, Konstitusi Perss, Jakarta.
Roberto M. Unger, 2010, Teori Hukum Kritis, Posisi Dalam Masyarakat Modern, Nusa
Media, Bandung.

Anda mungkin juga menyukai