Anda di halaman 1dari 7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dasar Teori
2.1.1 Definisi Metabolisme Obat
Metabolisme obat sering juga disebut biotransformasi, metabolisme obat terutama terjadi
dihati, yakni di mambran endoplasmic reticulum (mikrosom) dan dicytosol. Tempat metabolisme
yang lain (ekstrahepatik) adalah : dinding usus, ginjal, paru , darah, otak dan kulit, juga di lumen
kolon (oleh flora usus) (Sanjoyo, 2015)
Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang nonpolar (larut lemak) menjadi
polar (larut air) agar dapat diekskresi melalui ginjal atau empedu. Dengan perubahan ini obat
aktif umumnya diubah menjadi inaktif, tapi sebagian berubah menjadi lebih aktif, kurang aktif,
atau menjadi toksik (Wahyudi, 2011)
Metabolisme mempunyai tiga tujuan utama, yaitu memberikan energi kepada tubuh,
untuk memecah suatu senyawa yang lebih sederhana atau biosintesa senyawa-senyawa yang
lebih kompleks, dan untuk biotransformasi senyawa-senyawa asing menjadi senyawa yang lebih
polar, larut dalam air dan dalam struktur yang terionisasi sehingga dapat dieliminasi dengan
mudah. Aktivitas metabolisme atau dalam beberapa pustaka disebut dengan kemampuan
metabolisme, kapasitas metabolisme atau kecepatan metabolisme, semuanya merujuk pada
proses oksidasi enzimatik di hati oleh enzim mikrosomal oksidase (Wahyudi, 2011)
Pada dasarnya metabolisme obat memiliki dua efek penting dalam perjalanan obat di
dalam tubuh yaitu obat akan menjadi lebih hidrofilik sehingga akan lebih cepat diekskresi
melalui ginjal, karena metabolit yang kurang larut lemak tidak mudah direabsorpsi dalam tubulus
ginjal dan metabolit yang dihasilkan dari proses metabolisme umumnya kurang aktif daripada
obat asalnya. Namun tidak semua obat akan mengalami hal tersebut, karena pada beberapa obat,
metabolitnya memiliki aktivitas yang sama atau lebih aktif daripada obat aslinya, contohnya
Diazepam (Gitawati, 2008)
Proses metabolisme terdiri dari tiga fase yaitu reaksi fase I, reaksi fase II dan reaksi fase
III. Reaksi fase I meliputi biotransformasi suatu obat menjadi metabolit yang lebih polar melalui
pemasukan atau pembukaan (unmasking) suatu gugus fungsional (misalnya –OH, - NH2, -SH).
Metabolisme reaksi fase I meliputi reaksi oksidasi, reduksi, hidrolisis, hidrasi dan isomerasi.
Oksidasi merupakan reaksi yang paling banyak terjadi dalam reaksi fase I, reaksi ini dikatalisis
oleh suatu kelas enzim yang penting yang disebut sebagai sistem oksidase kelas campuran
mikrosomal yaitu sitokrom P- 450. Reaksi fase II terjadi apabila obat atau metabolit obat dari
reaksi fase I tidak cukup polar untuk bisa diekskresi dengan cepat oleh ginjal, sehingga pada
reaksi fase II ini, obat atau metabolit akan dibuat menjadi lebih hidrofilik melalui konjugasi
dengan senyawa endogen dalam hati yang dimana golongan enzim-enzim yang berbeda akan
bereaksi dengan tipe senyawa yang berbeda juga sebagai contoh sintesis UDP-asam glukuronat
hanya dapat terjadi apabila terjadi reaksi glukuronidasi dengan enzim UDPGlukuroniltransferase
Sedangkan reaksi fase III dianggap oleh para peneliti sebagai metabolisme lebih lanjut dari
konjugat glutation yang menghasilkan konjugat sistein dan asam merkapturat (Sanjoyo, 2015)
Metabolisme obat dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu polimorfisme, penyakit
tertentu, penggunaan bersama alcohol, jenis kelamin, makanan, dan kebiasaan merokok.
Keragaman genetik dimanifestasikan dengan perbedaan dalam nukleotida tunggal atau
keseluruhan gen yang mengkode protein tertentu. Hal tersebut akan menyebabkan adanya
populasi yang mengekspresikan protein yang strukturnya berbeda dengan protein pada populasi
mayoritas. Perbedaan ini dapat berupa substitusi suatu asam amino tunggal dengan asam amino
lainnya, atau keseluruhan urutan asam amino berubah. Keadaan ini dinamakan polimorfisme.
Polimorfisme merupakan variasi genetic yang muncul paling sedikit 1 % atau lebih dalam
sebuah populasi. Efek yang ditimbulkan dari polimorfisme ini sangat luas. Protein akibat
polimorfisme tidak akan efisien atau bahkan tidak berfungsi sama sekali (Gitawati, 2008).

2.1.2 Hepar
Hepar adalah organ intestinal terbesar dengan berat antara 1,2-1,8 kg atau kurang lebih
25% berat badan orang dewasa. Hepar merupakan pusat metabolisme tubuh dengan fungsi yang
sangat kompleks, fungsi terpenting hepar antara lain (Ganiswara, 2008);
a. Pengambilan komponen bahan makanan yang diantarkan dari saluran cerna melalui
pembuluh porta ke dalam hepar.
b. Biosintesis senyawa-senyawa dalam tubuh, penyimpanan, perubahan, dan pemecahan
menjadi molekul yang dapat diekskresikan.
c. Menyediakan secara tetap metabolit dan bahan-bahan untuk metabolisme.
d. Detoksifikasi senyawa-senyawa toksik melalui biotransformasi.
e. Ekskresi bahan-bahan bersama-sama dengan empedu.
Menurut La Du (1971), setiap obat yang dikonsumsi pasti akan mengalami proses
farmakokinetik, yang terdiri dari absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Hepar adalah
organ utama untuk metabolisme obat. Sebagian besar obat (asam lemah atau basa lemah
lipofilik) akan mengalami proses metabolisme atau biotransformasi obat di hepar, yaitu di
retikulum endoplasma (mikrosom) dan di sitosol, untuk mengubahobat yang bersifat non-polar
(larut lemak) menjadi polar (larut air), sehingga dapat diekskresikan melalui ginjal, empedu,
atau paru-paru (Gibson, 1991)
Reaksi metabolisme obat terdiri dari reaksi fase I (oksidasi, reduksi, hidrolisis) dan reaksi
fase II (reaksi konyugasi). Reaksi fase I mengubah obat menjadi lebih polar dan mudah
diekskresi, dengan akibat menjadi inaktif, lebih aktif, atau kurang aktif, sedangkan reaksi fase II
merupakan reaksi konyugasi dengan substrat endogen seperti asam glukoronat, asam sulfat, asam
asetat, atau asam amino, dan akibatnya obat hampir selalu menjadi tidak aktif. Obat dapat
mengalami reaksi fase I saja, atau reaksi fase II saja, atau reaksi fase I diikuti dengan reaksi fase
II (Lullman,2000; Neal, 2005)
Proses utama dalam reaksi metabolisme fase I yang terpenting adalah oksidasi yang
dikatalisis oleh enzim sitokrom P-450 (CYP) monooksigenase dalam retikulum endoplasma
(mikrosom) hepar. Ada sekitar lima puluh jenis isoenzim CYP yang aktif pada manusia, tetapi
hanya beberapa yang penting untuk metabolisme obat, di antaranya CYP3A4, CYP3A5,
CYP2D6, CYP2C9/10, CYP2C19, CYP1A2, dan CYP2E1.27,29 CYP3A4 merupakan enzim
sitokrom P 450 yang paling banyak di hepar dan usus dan memetabolisme sebagian besar (50%)
obat. Oleh karena itu, enzim CYP3A4 berperan sangat penting dalam metabolisme dan
eleminasi lintas pertama berbagai obat (Lullman,2000)
Pada reaksi fase II, proses yang terpenting adalah glukuronidasi melalui enzim UDP-
glukuronil-transferase (UGT), yang terutama terjadi dalam mikrosom hepar, tetapi juga di
jaringan ekstrahepatik (usus halus, ginjal, paru, kulit). Reaksi konyugasi yang lain (asetilasi,
sulfasi, konyugasi dengan glutation) terjadi di dalam sitosol (Lullman,2000).
Kepopuleran obat herbal yang salah arah dengan efikasi yang belum terbukti secara
ilmiah tanpa pengawasan keamanan prospektif oleh badan-badan regulatorik menyebabkan
adanya kasus hepatotoksisitas. Berbagai ramuan herbal yang berkaitan dengan hepatitis toksik
adalah Jin Bu Huan, xiao-chai-hu-tang, germander, chaparral, senna, mistletoe, skullcap, gentian,
comfrey (mengandung alkaloid pirolizidin), Ma huang, bee pollen, akar valerian, pennyroyal oil,
kava, celandine, Impila (Callilepsis laureaola), LipoKinetix, Hyroxycut, dan teh herbal.30
Karena luasnya pemakaian obat-obat herbal yang tidak jelas isinya maka sangat mungkin
hepatotoksisitas akan semakin sering dijumpai (La Du, 1971)
2.1.3 SGOT dan SGPT
SGOT dan SGPT merupakan enzim golongan transaminase yang mengkatalisis
pemindahan gugusan amino secara reversibel antara asam amino dan asam alfa-keto. Enzim
aminotransferase ini mengkatalisis redistribusi nitrogen antara asam amino dan asam okso yang
sesuai yang berperan dalam metabolisme protein dan glukoneogenesis (Neal, 2005)
Aminotransferase (transaminase) merupakan indikator sensitif untuk cedera sel hati dan
paling bermanfaat dalam mendeteksi penyakit hepatoselular akut. Enzim-enzim ini mencakup
aspartat aminotransferase (AST/SGOT) dan alanin aminotransferase (ALT/SGPT). SGOT
(Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase) atau disebut juga (Anief,1995)
AST (Aspartat Aminotransferase) merupakan enzim yang normalnya berada pada hati
dan otot jantung dalam konsentrasi tinggi, pada otot rangka, ginjal, mukosa lambung, jaringan
adiposa, otak, pankreas dan paru dalam konsentrasi sedang, serta pada darah dalam konsentrasi
rendah (Lullman, 2000)
SGPT (Serum Glutamic Pyruvic Transaminase) atau disebut juga ALT (Alanin
Aminotransferase) merupakan enzim yang normalnya berada di hati dalam konsentrasi tinggi,
dan pada otot jantung, ginjal, otot rangka, pankreas, limpa, paru pada konsentrasi sedang, dan
pada darah dalam konsentrasi rendah (Lullman, 2000).
Enzim SGOT dan SGPT akan dibebaskan ke dalam darah dalam jumlah yang lebih besar
apabila terdapat kerusakan membran sel hepar yang menyebabkan peningkatan permeabilitas.
Nekrosis sel hepar juga akan menyebabkan enzim-enzim ini terbebas dari sel hepar menuju
aliran darah. Tetapi, terdapat korelasi yang rendah antara derajat kerusakan sel hati dan kadar
aminotransferase. Karena itu, peningkatan absolut aminotransferase tidak memiliki makna
prognostik pada penyakit hepatoselular akut. Meskipun begitu, SGOT dan SGPT tidak dapat
digunakan untuk mengukur fungsi hepar, melainkan hanya digunakan sebagai indikator
terjadinya jejas atau inflamasi pada hepar.Beberapa enzim lain yang dapat diukur sebagai tes
untuk diagnosis berbagai kelainan di hepar yaitu bilirubin, alkali fosfatase, albumin, asam
empedu, laktat dehidrogenase, ɣ-glutamyltransferase (Gibson, 1991).
Cedera pada hati dapat terjadi akibat inhalasi, ingesti, atau pemberian parenteral sejumlah
zat farmakologis dan kimiawi karena faktor-faktor seperti jenis zat kimia yang terlibat, dosis
yang diberikan, dan lamanya paparan zat tersebut. Waktu terjadinya kerusakan hepar bervariasi,
dapat terjadi segera atau setelah beberapa minggu sampai beberapa bulan. Kerusakan dapat
berbentuk nekrosis hepatosit, kolestasis, atau timbulnya disfungsi hepar secara perlahan-lahan
(Yuniarti, 2005).
Menurut Michael (2005), Obat-obatan yang menyebabkan kerusakan hepar pada
umumnya diklasifikasikan sebagai hepatotoksik yang dapat diduga (predictable) dan tak dapat
diduga (unpredictable), tergantung dari mekanisme perusakan hepar. Banyak reaksi obat yang
toksik terjadi karena konversi oleh hepar terhadap obat menjadi metabolit berupa reaktif yang
kovalen yang mengikat protein nukleofilik pada hepatosit hingga terjadi nekrosis. Selain itu,
pada reaksi oksidasi sitokrom P-450 juga dihasilkan metabolit dengan rantai bebas yang dapat
terikat kovalen ke protein dan ke asam lemak tak jenuh pada membran sel, sehingga
menyebabkan peroksidasi lipid dan kerusakan membran dan akhirnya terjadi kematian hepatosit
(Trager, 2007).
2.2 Uraian Bahan
2.2.1 Alkohol (Dirjen POM, 1979)
Nama resmi : AETHANOLUM
Nama lain : Alkohol
Rumus molekul : C2H5OH
Rumus struktur :

Berat molekul : 46,0 g/mol


Pemerian : Cairan tidak berwarna jernih, mudah menguap
Kelarutan : Hampir larut dalam semua jenis larutan
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
Kegunaan : Membersihkan alat

2.2.2 Aquadest (Ditjen POM, 1979)


Nama resmi : AQUA DESTILATA
Nama lain : Air suling, aquadest
Rumus molekul : H2O
Rumus struktur :

Berat molekul : 18,02 g/mol


Pemerian : Cairan jernih, tidak berasa, dan tidak berbau
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Kegunaan : Sebagai pelarut.
2.2.3 Na CMC (Rowe et al, 2009; MSDS, 2009)
Nama resmi : CARBOXYMETHYLCELLULOSE SODIUM
Nama lain : Aquasorb, xylo-mucine, cellulose gum.
Rumus Molekul : C17H25O14Na2
Berat Molekul : 90.000-700.000 g/mol
Rumus Struktur :

Pemerian : Padatan berwarna putih.


Kelarutan : Praktis tidak larut dalam aseton, etanol (95%), eter,
dantoluena.
Khasiat : Bahan utama perawatan luka, patch dermatologis, dan
perekatan muco untuk menyerap luka eksudat.
Kegunaan : Suspending agent (meningkatkan viskositas).
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, kering, dan sejuk

2.3 Uraian Obat


2.3.1 Tablet Diazepam (Kearney, 2007; Donelson, 1997)
Nama Resmi : BENZODIAZEPIN
Nama Lain : cetalgin, danalgin, hedix, mentalium, neurodial,
neuroval, paralium, proneuron, stesolid,  trankinon, validex,
valisanbe, valium,  lovium
Berat Molekul : 284,74
Rumus molekul : C16H13CIN2O
Rumus struktur :

Pemeriaan : Berbentuk serbuk kristal padat berwarna hampir putih hingga


kuning; berbau samar, berasa agak pahit.
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, kelarutan dalam air 0,29%, tidak
larut dalam dietil eter, Sedikit larut dalam propilen glikol.
Larut dalam kloroform, dimetilformamid, benzen, aseton,
alkohol, eter. Kelarutan dalam kloroform 1 gram/2 mL
kloroform. Kelarutan dalam eter 1 mg/39 mL eter. Kelarutan
dalam alkohol 62,5 mg/mL alkohol pada suhu 25oC.
Penyimpanan : Penyimpanan dilakukan dalam wadah tertutup rapat, ditempat
yang sejuk dan terlindung cahaya.
Mekanisme : Diazepam berikatan pada seluruh reseptor benzodiazepin
dengan afinitas yang seimbang. Pada dosis rendah efek
diazepam bekerja pada antiansietas yang dimediasi oleh
reseptor BZ2. Pada dosis yang lebih tinggi, efek diazepam
menyebabkan terjadinya relaksasi oto yang dimediasi oleh
reseptor subunit a2 di medula spinalis dan neuron motorik.
Pada dosis yang lebih tinggi lagi, efek diazepam dimediasi
oleh reseptor subunit a1 yang menyebabkan sedatif dan
anterograde amnesia (Griffin, 2013).
Efek samping : Masalah ingatan, mengantuk, merasa lelah, pusing, sensasi
berputar, lemah otot, sulit tiduratu gelisah, mual, sembelit,
penglihatan kabur, mengiler atau mulut kering, bicara rero
ruam kulit ringan, gatal dan gairah seksual menurun.
Farmakodinamik : Benzodiazepin bekerja pada reseptor gamma amino butyric
acid (reseptor GABA-A), reseptor ini merupakan saluran ion
selektif klorida. GABA merupakan neurotransmiter yang
bekerja sebagai inhibitor yang akan menurunkan eksitabilitas
sel-sel neuron. GABA menghasilkan efek menenangkan pada
otak, dan ditemukan dalam konsentrasi yang tinggi pada
korteks dan sistem limbik. Reseptor GABA ada 3 yaitu A,B,
dan C. Benzodiazepin berinteraksi dengan reseptor GABA-A.
Kompleks reseptor GABA-A terdiri dari 5 subunit
glikoprotein: 2 subunit a, 2 subunit b, dan 1 subunit g.
Benzodiazepin berikatan pada lekukan antara subunit a dan
subunit g dan menginduksi terjadinya perubahan
konformasional pada reseptor GABA-A sehingga GABA dapat
berikatan dengan reseptor GABA-A. Ikatan GABA akan
menyebabkan hiperpolarisasi ion klorida sel sehingga efek
inhibisi dari GABA bekerja pada seluruh sistem saraf pusat.
Farmakokinetik : Benzodiazepin dapat diadministrasi lewat injeksi intravena,
intramuskular, oral, dan rektal.  Penyerapan diazepam lewat
rute oral >90% dan mencapai peak plasma
concentration dalam waktu 30-90 menit. Absorbsi menurun
dan diperlambat dengan konsumsi makanan berlemak,
penyerapan umumnya terjadi pada 15 menit pada keadaan
puasa sedangkan pada keadaan dikombinasi dengan makanan
berlemak penyerapan tertunda 45 menit. Sehingga peak
plasma yang harusnya dicapai 1.25 jam pada keadaan puasa,
pada keadaan dikombinasi dengan makanan berlemak menjadi
2.5 jam (Calcaterra, 2014)
Dosis : Dosis diazepam tablet untuk mengatasi kecemasan pada orang
dewasa adalah 2 mg 3 kali sehari maksimal 30 mg/hari.

Anda mungkin juga menyukai