Anda di halaman 1dari 15

TUGAS BIOFARMASI

METABOLISME DAN EKSRESI OBAT

Disusun Oleh:

Kelompok V

Annisa Ghassani Amalyuri 197014025

Syukur Berkat Waruwu 197014026

Khaira Banu 197014027

Rohana Oktofariday Simbolon 197014028

Peri 197014029

Andy Febriady 197014030

DOSEN : Dr. Sumaiyah, M.Si., Apt.

PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Metabolisme obat adalah proses mengubah molekul kimia obat setelah


masuk ke dalam tubuh. Secara umum, metabolisme obat menurunkan efek
terapeutik. Secara keseluruhan obat yang dimetabolisme untuk meningkatkan
kelarutan dalam air untuk mengikuti eliminasi pada urin atau empedu. Beberapa
obat dimetabolisme menjadi senyawa aktif terlebih dahulu sebelum
dimetabolisme menjadi senyawa inaktif dan akan diekskresi. Hati adalah organ
terpenting dalam proses metabolisme obat.
Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang nonpolar (larut
lemak) menjadi polar (larut air) agar dapat diekskresi melalui ginjal atau empedu.
Dengan perubahan ini obat aktif umumnya diubah menjadi inaktif, tapi sebagian
berubah menjadi lebih aktif, kurang aktif, atau menjadi toksik.
Metabolisme mempunyai tiga tujuan utama, yaitu memberikan energi
kepada tubuh, untuk memecah suatu senyawa yang lebih sederhana atau
biosintesa senyawa-senyawa yang lebih kompleks, dan untuk biotransformasi
senyawa-senyawa asing menjadi senyawa yang lebih polar, larut dalam air dan
dalam struktur yang terionisasi sehingga dapat dieliminasi dengan mudah.
Aktivitas metabolisme atau dalam beberapa pustaka disebut dengan kemampuan
metabolisme, kapasitas metabolisme atau kecepatan metabolisme, semuanya
merujuk pada proses oksidasi enzimatik di hati oleh enzim mikrosomal oksidase.
Pada dasarnya metabolisme obat memiliki dua efek penting dalam
perjalanan obat di dalam tubuh yaitu obat akan menjadi lebih hidrofilik sehingga
akan lebih cepat diekskresi melalui ginjal, karena metabolit yang kurang larut
lemak tidak mudah direabsorpsi dalam tubulus ginjal dan metabolit yang
dihasilkan dari proses metabolisme umumnya kurang aktif daripada obat asalnya.
Namun tidak semua obat akan mengalami hal tersebut, karena pada beberapa obat,
metabolitnya memiliki aktivitas yang sama atau lebih aktif daripada obat aslinya,
contohnya Diazepam.

2
BAB II

Tinjauan Pustaka

2.1 Metabolisme Hati

Hati merupakan salah satu organ tubuh yang besar dan merupakan pusat
metabolisme tubuh manusia. Organ ini memiliki fungsi yang kompleks di
antaranya mempunyai peranan dalam memetabolisme karbohidrat, protein, lemak,
vitamin dan obat-obatan (Ganong, 2008). Pada proses metabolisme, obat akan
diproses melalui hati sehingga enzim hati akan melakukan perubahan
(biotransformasi) kemudian obat menjadi dapat lebih larut dalam tubuh dan
dikeluarkan melalui urin atau empedu (Depkes RI, 2003).
Setiap obat yang dikonsumsi pasti akan mengalami proses farmakokinetik,
yang terdiri dari absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi.25 Hepar adalah
organ utama untuk metabolisme obat. Sebagian besar obat (asam lemah atau basa
lemah lipofilik) akan mengalami proses metabolisme atau biotransformasi obat di
hepar, yaitu di retikulum endoplasma (mikrosom) dan di sitosol, untuk mengubah
obat yang bersifat non-polar (larut lemak) menjadi polar (larut air), sehingga dapat
diekskresikan melalui ginjal, empedu, atau paru-paru.
Walaupun jaringan seperti sistem gastrointestinal, paru, kulit, dan ginjal
memiliki kemampuan tertentu dalam memetabolisme obat, hepar merupakan
organ utama yang berperan dalam memetabolisme obat dimana semua zat,
terutama yang diberikan peroral akan dimetabolisme oleh hepar. Secara garis
besar, metabolisme obat-obatan dalam hepar akan terjadi dalam sel mikrosom
untuk menjadikan obat tersebut lebih larut air dengan mengadakan reaksi fase 1
lalu mengadakan reaksi fase 2 untuk beberapa hasil metabolisme fase 1. Reaksi
fase 1 terjadi di retikulum edoplasmik halus, sitosol, dan mitokondria. Secara
garis besar, metabolisme fase 1 terdiri atas proses hidrolisis, reduksi, dan oksidasi
yang bertujuan untuk menghasilkan senyawa yang lebih hidrofilik.
Pada metabolisme fase 1, enzim sitokrom P450 yang terutama terdapat
pada retikulum endoplasma hepatosit merupakan enzim yang paling penting.
Dalam retikulum endoplasma, elektron akan ditransfer dari NADPH ke dalam
sitokrom P450 membentuk NADPH-sitokrom P450 yang bersama sitokrom P450

3
berinteraksi melakukan oksidasi. Siklus oksidasi tersebut memerlukan sitokrom
P450, sitokrom P450 reduktase, NADPH, dan molekul oksigen. Hasil proses ini
menghasilkan substrat teroksidasi, namun apabila proses ini terganggu akan
terbentuk anion superoksida atau hidrogen peroksida yang bersifat toksin.
Metabolisme fase 2 menyebabkan parent drug atau metabolit fase 1 yang
mengandung gugusan kimia sesuai sering mengalami coupling atau konjugasi
dengan substansi endogen menghasilkan suatu konjugasi obat. Pada umumnya
konjugat adalah molekul-molekul yang polar dan mudah diekskresikan dan pada
umumnya bersifat inaktif. Pembentukan konjugat memerlukan intermediet
berenergi tinggi dan enzim-enzim transfer yang spesifik.

4
Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas metabolism obat
1. Faktor genetic
Adanya variasi genetic yang mempengaruhi tingkat aktivitas enzim akan
memberikan pula variasi dalam kecepatan metabolism obat. Variasi genetic ini
bisa dalam bentuk variasi enzim yang berperan penting dalam ikatan atau
transport obat. Succiniicholine sebagai contoh, hanya dimetabolisme setengah kali
orang normal pada orang yang secara genetic kekurangan enzim
pseudocholinesterase. Perbedaan dalam kecepatan metabolism juga tampak pada
asetilasi dari isoniazid, dimana terjadi perbedaan dalam proses asetilasi pada
orang-orang Jepang, Eskimo, Amerika Latin dan Amerika negro.
Penelitian yang dilakukan oleh Branch membuktikan adanya pengaruh
genetic dan lingkunga dalam disposisi obat. Hal ini ditunjukkan oleh adanya
perbedaan yang bermakna pada waktu peruh eliminasi dan klirens antipirin pada
orang Inggris dan orang Sudan. Pada orang Sudan, harga paruh waktu eliminasi
antipirin hampir dua kali orang Inggris.
2. Faktor umur dan jenis kelamin
Beberapa penelitian membuktikan adanya oengaruh kecepatan metabolism
obat karena pengaruh umur dan jenis kelamin. Pada orang tua (rata-rata 77 tahun)
waktu paruh antipirin dan phenilbutazon masing-masing 45% dan 29% lebih besar
dibanding control (rata-rata 26 tahun). Oleh Alvares ditunjukkan bahwa kecepatan
metabolism obat pada anak-anak hapir dua kali lebih besar dibanding orang
dewasa. Alas an yang dipakai untuk menjelaskan keadaan ini adalah adanya
perbedaan pada perbandingan berat hati terhadap berat badan. Pada anak-anak
umur 2 tahun, harga rasio ini (40-50%) lebih besar, sedang pada anak-anak umur
6 tahun 30% lebih besar dibanding orang dewasa.
Walaupun pengaruh jenis kelamin terhadap kecepatan metabolism baru
dilaporkan terjadi pada tikus, tetapi oleh O’ Malley ditunjukkan bahwa kecepatan
metabolism obat pada wanita lebih besar dibanding pria.
3. Faktor interaksi obat
Beberapa obat disebabkan oleh sifat lipofiliknya yang sangat tinggi, tidak saja
diterima oleh enzim pada tempat aktifnya tetapi secara tidak spesifik berikatan
dengan membrane lipofil pada reticulum endoplasma. Pada keadaan iini mereka

5
dapat menginduksi enim mikrosom, atau secara kompetitif dapat menghambat
metabolism obat lain yang diberikan bersama-sama. Hal ini dapat menyebabkan
eek terapi suatu obat menjadi menurun, atau menyebabkan efek toksik pada obat-
obat dengan indeks terapi yang sempit. Sebagai contoh pada orang yang rutin
diberi barbiturate, sedatihipnotik atau tranquilizer akan mempercepat metaolisme
dari wartarin atau dikumarol, sehingga dosis yang diperlukan menjadi lebih besar.
Sebaiknnya dikumarol menghambat metabolism dari tenitoin sehingga dapat
menyebabkan efek toksik seperti alaxia dan drowsiness.
4. Faktor penyakit
Penyakit-penyakit akut atau kronis yang mempengaruhi fungsi hati akan
mempengaruhi juga metabolism obat. Penyeki-penyakit seperti: hepatitis
alkoholik, cirrhosis alkoholik aktif atau inaktif, hemochromatis. Hepatitis kronis
aktif, cirrhosis empedu atau hepatitis akut karena virus dapat merusak enzim
metabolic di hati terutama microsomal oksidase, dan karena itu mempengaruhi
juga eliminasi obat. Sakit jantung juga dilaporkan menghambat metabolisme obat.
Hal ini disebabkan karena aliran ke hati terganggu, sehingga untuk obat-obat yang
aliran darah merupakan tahap penentu metabolismenya juga akan terhambat.
Penyakit-penyakit seperti kanker hati, sakit paru-paru, hipotiroid, malaria,
skistosomiasis juga menghambat aktivitas metabolism obat.
5. Faktor nutrisi
Oleh Anderson dan Mucklow ditunjukkan bahwa pada subjek yang
mengkonsumsi protein setiap harinya, waktu paruh antipirinnya lebih pendek
dibanding subjek vegetarian. Kecepatan metabolism obat juga dihambat pada
keadaan defisiensi vitamin A, riboflavin, asam askorbat, vitamin E, atau unsur-
unsur seperti kalsium, magnesium, seng serta tembaga.

2.2 Eksresi Ginjal

Eksresi merupakan proses untuk mengeleminasi bahan yang tidak lagi


dipergunakan dalam tubuh untuk dikeluarkan ke luar tubuh. Ekskresi adalah
perpindahan obat dari sirkulasi sistemik (darah) menuju organ eksresi.Organ
terpenting untuk eksresi obat adalah ginjal.

6
Sebelum obat dieksresikan, umumnya obat mengalami perubahan dengan
adanya metabolisme di hepar. Perubahan-perubahan molekul obat yang terjadi
oleh pengaruh enzim biasanya akan menghilangkan aktivitas farkologis obat
tersebut.

2.2.1 Filtrasi Glomerolus


Filtrasi merupakan proses penyaringan darah dari zat-zat sisa metabolisme
yang dapat meracuni tubuh. Glumerolus merupakan jaringan kapiler dapat
melewatkan semua zat yang lebih kecil dari albumin melalui cela antara sel
endotelnya sehingga semua obat yang tidak terikat protein plasma mengalami
filtrasi disana. Plasma darah yang mengalir akan ditekan pada glomerulus
sehingga menjadi urin primer, suatu ultra filtrat yang hampir bebas protein. Filter
sesungguhnya adalah membran basal yang terletak di bawah endotelium kapiler.
Membran ini dapat melewatkan air dan bagian plasma yang berbobot molekul
rendah melalui pori-porinya dengan bebas, sedangkan sel darah dan bagian
plasma yang besar molekulnya akan ditahan intravasal.
Zat-zat yang dapat disaring tanpa batas adalah zat dengan bobot molekul
sampai sekitar 10.000, dengan demikian komponen dengan bobot molekul rendah
yang ada di urin primer kurang lebih sama konsentrasinya dengan yang ada dalam
plasma darah. Untuk senyawa dengan bobot molekul di antara 10.000 sampai
50.000 daya saringnya terbatas. Karena albumin, yang merupakan protein plasma
terkecil sudah mempunyai bobot molekul sekitar 70.000, maka protein praktis tak
dapat melewati filter ginjal tersebut. Kapiler-kapiler glomeruli akan menyaring
plasma darah sedemikian rupa sehingga setiap molekul obat yang berat
molekulnya dibawah 20.000 akan melewati glomeruli sedangkan albumin
plasma dengan berat molekul 68.000 tidak dapat melewati glomeruli. Obat-obat
yang terikat pada albumin plasma tidak dapat melewati glomeruli misalnya
fenibutazon.
Obat yang tidak terikat protein (bentuk bebas) akan mengalami filtrasi
glomerulus masuk ke tubulus. Filtrasi glomerulus menghasilkan ultrafiltrat, yakni
minus plasma protein, jadi semua obat bebas akan keluar dalam ultrafiltrat
sedangkan yang terikat protein akan tetap tinggal dalam darah. Kelarutan dan pH
tidak berpengaruh pada kecepatan filtrasi glomerulus, yang berpengaruh adalah

7
ukuran partikel, bentuk partikel, dan jumlah pori glomerulus. Laju filtrasi
glomerulus meningkat pada:
a. Kenaikan tekanan darah dalam kapiler glomerulus
b. Pada peningkatan luas permukaan filtrasi pada kondisi glomerulus yang
tenang
c. Pada pengurangan protein plasma akibat berkurangnya ikatan protein dengan
bahan obat
Disamping besarnya pori, filtrasi glomerulus terutama bergantung pada
tekanan filtrasi efektif yang ada pada glomerulus serta pada banyaknya
glomerulus yang masih berfungsi. Tekanan filtrasi efektif didapat dengan
mengurangi tekanan darah dalam kapiler glomerulus (50 mmHg) denga tekanan
osmotik koloid plasma darah yaitu 25 mmHg serta tekanan dalam kapsul bowman
sekitar 17 mmHg.
Syarat terjadinya filtrasi glomerulus yang merata adalah pasokan darah
yang tetap secara menyeluruh, jadi tekanan kapiler glomerulus tetap. Ini akan
tercapai oleh adanya suatu autoregulasi miogenik yang ada dalam vas afferen. Jika
terjadi peningkatan tekanan arteri otot polos vas afferen akan menciut, jika
tekanan turun otot polos akan berelaksasi dan dengan cara ini akan menahan
supaya tekanan kapiler tetap. Hanya pada tekanan di bawah 90 dan dibawah 190
mmHg akan menurunkan atau menaikkan aliran darah ke ginjal.

2.2.2 Sekresi Aktif di Tubulus


Filtasi glomeruli hanya menghasilkan paling banyak 20% dari seluruh obat
yang terdapat dalam darah yang bisa mencapai ginjal. Sisanya 80% akan
dikeluarkan ke lumen tubuli oleh suatu mekanisme transpor aktif, yang bergerak
melawan gradient konsentrasi sehingga akan mengurangi jumlah obat dalam
plasma sampai nihil. Oleh karena itu, sekresi tubuli ini merupakan mekanisme
eliminasi obat yang paling cepat melalui ginjal. Tidak seperti filtrasi glomeruli,
system transportasi aktif ini dapat mencapai bersihan maksimal walaupun obat
terikat pada protein plasma. Misalnya penisilin, walaupun 80% terikat pada
protein plasma dan diekskresi sangat lambat melalui filtrasi glomeruli, kecepatan

8
eliminasi penisilin via ginjal sangat tinggi karena penisilin disekresikan secara
aktif kedalam lumen tubuli ginjal.
Sekresi tubulus proksimal merupakan proses transport aktif, jadi
memerlukan carrier (pembawa) dan energi. Sekresi aktif dari dalam darah ke
lumen tubulus proksimal terjadi melalui transporter membran P-glikoprotein (P-
gp) dan MRP (Multidrug-Resistance Protein) yang terdapat di membran sel
epitel dengan selektivitas berbeda, yakni MPR utuk anion organik dan
konyugat (mis: penisilin, ptobenesid, glukuronat, sulfat da konyugat glutation),
dan P-gp untuk kation organik dan zat netral (mis: kuinidin, digoksin).
Karena banyak obat yang disekresikan secara aktif dengan cara yang sama,
dapat terjadi kompetisi antara obat-obat tersebut. Misalnya probenesid,
dapat memperlambat ekskresi penisilin dengan jalan berkompetisi untuk transport
aktif pada sel-sel tubuli ginjal sehingga secara klinik akan diperoleh kadar
penisilin yang lebih tinggi. Selain itu, probenesid juga menghambat reabsorpsi
asam urat (yang dipengaruhi pembawa yang sama) sehingga berguna juga untuk
pengobatan penyakit gout.

2.2.3 Reabsorbsi di Sepanjang Tubulus


Setelah obat sampai di tubulus, kebanyakan akan mengalami reabsorpsi
kembali ke sirkulasi sistemik. Reabsorpsi pasif terjadi di sepanjang tubulus untuk
bentuk non-ion obat yang larut lemak. Oleh karena derajat ionisasi bergantung
pada pH larutan, maka hal ini dimanfaatkan untuk mempercepat ekskresi ginjal
pada keracunan suatu obat asam atau obat basa.Obat-obat yang mempunyai
kelarutan dalam lemak yang tinggi akan berdifusi secara pasif masuk
kembali melewati sel-sel epitel tubuli sehingga terjadi reabsorpsi obat secara
pasif. Dengan demikian, obat-obat yang mudah larut dalam lemak akan
diekskresikan secara lambat sekali. Sebaliknya, obat-obat yang polar akan tetap
tinggal dalam filtrat sebab membran tubuli tidak permeable untuk obat-obat yang
terionisasi dan kurang larut dalam lemak.
Di tubuli proksimal dan distal terjadi reabsorbsi pasif untuk bentuk non
ion. Oeh karena itu untuk obat berupa elektrolit lemah, proses reabsorbsi ini
bergantung pada pH lumen tubuli yang menentukan derajat ionisasi. Bila urine

9
lebih basa, asam lemah terionisasi lebih banyak sehingga reabsorbsinya
berkurang, akibatnya ekskresinya meningkat. Sebaliknya bila urine lebih
asam, ekskresi asam lemah berkurang. Keadaan yang berlawanan terjadi
dalam ekskresi basa lemah.
Reabsorbsi pasif bergantung pada pH urine yang ada di ginjal. Bila pH
asam maka obat-obatan yang bersifat asam lemah akan diserap kembali
sehingga tidak dieksresikan dan bila pada suasana basa maka obat-obat asam tadi
akan terionisasi sehingga mudah dikeluarkan dari tubuh. Begitu sebaliknya
dengan obat-obat basa yang akan dieksresi kembali pada suasana basa. Hal ini
dapat dimanfaatkan pada kasus keracunan. Pada pasien yang keracunan
phenobarbital (obat asam lemah) maka kelebihan phenobarbital yang ada
di dalam darah dapat cepat dikeluarkan dengan memberikan natrium
bikarbonat yang bersifat basa sehingga phenobarbital dapat cepat dieksresi dari
tubuh melalui urin.

10
2.3 EKSKRESI MELALUI EMPEDU

Ekskresi melalui empedu melibatkan sekresi molekul obat yang aktif atau
metabolitnya dari hepatosit ke dalam empedu. Empedu kemudian mengangkut
obat ke usus, di mana obat itu akan diekskresikan. Efisiensi ekskresi empedu
cukup bervariasi.
Pengaliran darah hati menuju canaliculi biliaris serta zat aktif dan
metabolitnya yang terbentuk di dalam hati mengikuti hukum umum perlintasan
membran. Difusi pasif molekul-molekul tergantung pada ukurannya, sifat fisiko-
kimia serta perbedaan konsentrasi. Mekanisme transpor aktif berperan penting
pada eliminasi obat khususnya pada metabolit yang lebih polar dibandingkan
senyawa induknya seperti trurunan glokoronat. Seperti pada ginjal, pada empedu
juga terdapat 2 sistem transpor aktif transmembran. Mekanisme transpor aktif ini
penting untuk beberapa molekul antibiotika terutama tetrasiklin.hal ini karena
obat dapat menembus saluran empedu sampai konsentrasi yang cukup untuk
pengobatan infeksi.
Dengan adanya cairan empedu di dalam duodenum maka zat aktif dan
metabolitnya dapat dikeluarkan melalui pembentukan garam, atau zat aktif diserap
kembali di usus, jika sifat-sifat fisiko-kimianya dapat melewati sawar usus dan
masuk kembali dalm sirkulasi (siklus entero-hepatik). Fenomena ini menyebabkan
obat lebih lama berada di dalam tubuh dan pengeluaran secara definitif baru
terjadi melalui ginjal.
Senyawa yang diekskresi adalah :

 Senyawa BM > 500


 Senyawa dengan gugus polar yang kuat
 Metabolit (konjugat glukoronida)

Ekskresi melalui difusi ataupun transport aktif. Ada 3 sistem transport:

 Untuk asam organic


 Basa organic
 Zat netral

11
Contoh obat yang diekskresi ke empedu : Glikosida digitalis, kolesterol
steroid, indometasin, penisilin, eritromisin, rifampisin.
Meskipun banyak obat dapat mencapai usus melalui rute ini, enzim
dekonjugasi dalam usus dan pH usus menyebabkan banyak obat untuk mengambil
bentuk lipofilik nonpolar yang kemudian segera diserap kembali oleh difusi ke
dalam plasma. Proses ini disebut sebagai siklus enterohepatik. Obat-obatan yang
menjalani siklus enterohepatik yang luas umumnya memiliki durasi aksi yang
panjang.
Contoh: Obat yang diekskresi sebagai konjugat glukuronida akan
mengalami hidrolisis dalam dinding usus kembali ke obat induk oleh enzim
glukuronidase.

2.3 PENGIKATAN PROTEIN PLASMA

Banyak obat yang terikat protein plasma sehingga hanya obat dalam bentuk
bebas didalam plasma yang menghasilkan efek farmakologi. Biasanya obat terikat
albumin namun sabagai obat ( seperti kuinin) terikat ke α-globulin dan asam
glikoprotein. Obat –obatan yang bersifat asam seperti warfarin dan analgetik non
steroid (NSAID) memiliki afinitas yang tinggi terhadap albumin plasma, namun
sebagai obat basa seperti antidepresan data berikatan juga. Sebagaian besar obat
aktif secara farmakologi dengan konsenterasi yang tidak menjenuhkan tempat
ikatan protein plasma, jadi sebagian obat yang terikat tidak tergantung pada
konsenterasi obat. Namun tempat ikatan beberapa jenis obat seperti tolbutamid
dan beberapa sulfonamide, hampir jenuh pada konsenterasi terapi sehingga
penambahan lebih banyak obat akan meningkatkan konsenterasi obat bebas
dengan jumlah yang lebih besar dari yang diharapkan. Karena banyak obat yang
memiliki afinitas terhadap tempat ikatan albumin maka kompetisinya dianggap
sebagai interaksi obat yang penting.
Meskipun obat –obatan berikatan dengan banyak makro –molekul,
peningkatan ke protein plasma lazim terjadi. Dari protein plasma ini albumin yang
terdiri dari 5 % total protein mengikat paling banyak jenis obat. Obat-obat yang
bersifat asam biasanya mengikat albumin, sementara obat-obatan yang bersifat

12
basa berikatan dengan α-glikoprotein dan lipoprotein. Banyak senyawa endogen
steroid, vitamin dan ion mineral beriktan dengan globulin.

Kelompok molekul protein yang paling bertanggung jawab terhadap


interaksi elektrostatis dengan obat diantaranya :
a) NH3+ lisin
b) Asam amino N-terminal
c) NH2+ histidin
d) S-sistein
e) COO-aspartat dan residu asam glutamate
Namun untuk mendapatkan kompleks yang cukup stabil ada kemungkinan
bahwa daya tarik elektrostatis awal diperkuat dengan jarak yang lebih dekat olek
ikatan van der waal’s dan ikatan hydrogen. Hal ini diperkirakan karena
pentingnya peran konfigurasi protein dalam fenomena pengikat. Obat –obat yang
menimbulkan denaturasi protein dapat menyebabkan pelepasan obat yang terikat.
Sering kali terjadi persaingan antara obat dimana obat-obat yang terikat kuat
seperti antikoagulan kumarin dapat memindahkan senyawa yang tidak terikat kuat
dari tempat ikatan atau lokasi pengikatnya.

13
Seperti yang dapat anda lihat dati table 3.2 , afinitas obat terhadap protein
dapat bervariasi dari satu obat ke obat lain. Sedikit perubahan dalam peningkatan
obat-obatan dapat menimbulkan perubahan yang signifikan terhadap efek klinis
atau menyebabkan respons toksik karena obat bebas didalam plasma inilah yang
menyeimbangkan lokasi respons farmakologi atau respons toksik, maka sedikit
perubahan pada tingkat peningkatan, misalnya dari 99% menjadi 98% terikat
(yang bisa menimbulkan hampir 100% perubahan konsenterasi bebas), bisa
menimbulkan perubahan respons yang sangat signifikan. Untuk banyak obat
termasuk warfarin dan fenitoin, konsentrasi pada saat interaksi obat atau kondisi
penyakit dapat mengubah intensitas obat-obatan tersebut misalnya adalah
fenilbutazon dan salisilat yang dapat mengggeser tolbutamid dari tempat
ikatannya sehingga menyebabkan tolbutamid bebas dalam darah sebagai akibat
hipoglikemik

 Protein plasma, seperti albumin, α-glikoprotein, dan globulin pengikat


hormon steroid, menunjukkan afinitas untuk sejumlah obat.
 Ikatan dengan protein plasma umumnya dapat dibalik dan ditentukan oleh
konsentrasi obat, afinitas protein untuk obat, dan jumlah tempat pengikatan
yang tersedia.
 Ikatan protein plasma sangat mengurangi jumlah obat bebas dalam plasma.
 Hanya obat bebas dalam plasma yang dapat berdifusi ke situs aksi
molekulernya. Dengan demikian pengikatan protein plasma dapat sangat
mengurangi konsentrasi obat di tempat kerja dan memerlukan dosis yang lebih
besar.
 Untuk obat yang terikat kuat dengan protein, perubahan kecil pada pengikatan
protein plasma dapat menyebabkan perubahan besar dalam proporsi obat bebas
dalam plasma dan dapat menyebabkan toksisitas.
o Untuk obat yang terikat pada protein plasma 99%, hanya 1% yang bebas
dalam plasma. Pengurangan pengikatan protein plasma menjadi 98%
menghasilkan penggandaan obat bebas dan efek obat.
 Perubahan pada pengikatan protein plasma dapat terjadi sebagai akibat dari:
o Penyakit

14
o Persaingan antar obat untuk situs pengikatan yang sama
o Kejenuhan situs yang mengikat

2.5 IKATAN JARINGAN

 Sama halnya dengan pengikatan pada protein plasma, obat-obatan juga dapat
mengikat komponen jaringan individu.
 Mengikat ke jaringan menghasilkan sekuestrasi obat dalam jaringan.
 Efek dari pengikatan jaringan:
o Meningkatkan volume distribusi yang akurat.
o Mewakili situs potensial untuk interaksi obat.
o Menghasilkan penyerapan obat dalam jaringan.
o Dapat melepaskan obat kembali ke sirkulasi saat konsentrasi plasma
turun. Dengan demikian pengikatan jaringan dapat mewakili cadangan
obat yang dapat memperpanjang durasi kerja obat.

15

Anda mungkin juga menyukai