Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

PERCOBAAN 4 dan 5

METABOLISME OBAT dan UJI EFEK ANALGETIK

Disusun oleh:

Golongan: A1 Kelompok: 2

INDRIANA JULIAWATI I1C016015

MELATI BELA A. I1C016017

MIA NURUL F. I1C016019

DESY KARTIKA SARI I1C016021

ELOK MAULIDYA I1C016023

MUHAMMAD ABI RAFDI I1C016029

Tanggal Praktikum : 5 Mei 2017

Nama Dosen Pembimbing Praktikum : Esti Dyah Utami, M.Sc., Apt

Nama Asisten Praktikum : Widi Wulandari

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

PURWOKERTO

2017
METABOLISME OBAT dan UJI EFEK ANALGETIK

(Percobaan 4 dan 5)

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Metabolisme sering disebut sebagai biotransformasi dan merupakan suatu istilah yang
menggambarkan metabolisme obat. Pada azasnya tiap obat merupakan zat asing yang tidak
diinginkan dari badan dan badan berusaha merombak zat tersebut menjadi metabolit yang
bersifat hidrofil agar lebih lancar diekskresikan melalui ginjal, jadi reaksi biotransformasi
merupakan peristiwa detoksikasi (Anief, 1990).

B. Tujuan Percobaan
1. Mempelajari pengaruh beberapa senyawa kimia terhadap enzim
pemetabolisme obat dengan mengukur efek farmakologinya
2. Mengenal, mempraktekkan dan membandingkan daya analgetika asetosal dan
parasetamol menggunakan metode rangsang kimia

C. Dasar Teori

Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian pada
umumnya mengalami absorpsi, distribusi dan pengikatan untuk sampai di tempat
kerja dan menimbulkan efek. Kemudian dengan atau tanpa biotransformasi, obat
diekskresikan dari dalam tubuh (Anief, 1984).
Biotransformasi atau metabolisme obat ialah proses perubahan struktur kimia
obat yang terjadi di dalam tubuh dan dikatalis oleh enzim (Syarif, 1995).
Metabolisme obat mempunyai dua efek penting yaitu:

1. Obat menjadi lebih hidrofilik-hal ini mempercepat ekskresinya melalui


ginjal karena metabolit yang kurang larut lemak tidak mudah direabsorpsi dalam
tubulus ginjal.

2. Metabolit umumnya kurang aktif daripada obat asalnya. Akan tetapi,


tidak selalu seperti itu, kadang-kadang metabolit sama aktifnya (atau lebih aktif)
daripada obat asli. Sebagai contoh, diazepam (obat yang digunakan untuk mngobati
ansietas) dimetbolaisme menjadi nordiazepam dan oxazepam, keduanya aktif.
Prodrug bersifat inaktif sampai dimetabolisme dalam tubuh menjadi obat aktif.
Sebagai contoh, levodopa, suatu obat antiparkinson, dimetabolisme menjadi
dopamin, sementara obat hipotensif metildopa dimetabolisme menjadi metil
norepinefrin-α (Neal, 2005).
Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang nonpolar (larut lemak)
menjadi polar (larut air) agar dapat diekskresi melalui ginjal atau empedu. Dengan
perubahan ini obat aktif umumnya diubah menjadi inaktif, tapi sebagian berubah
menjadi lebih aktif, kurang aktif, atau menjadi toksik (Syarif, 1995).
Metabolisme obat terutama terjadi di hati, yakni di membran endoplasmic
reticulum (mikrosom) dan di cytosol. Tempat metabolisme yang lain (ekstra hepatik)
adalah: dinding usus, ginjal, paru, darah, otak dan kulit, juga di lumen kolon (oleh
flora usus).
Induksi berarti peningkatan sistem enzim metabolisme pada tingkat transkripsi
sehingga terjadi peningkatan kecepatan metabolisme obat yang menjadi substrat
enzim yang bersangkutan. Inhibisi enzim metabolisme berarti hambatan yang terjadi
secara langsung dengan akibat peningkatan kadar substrat dari enzim yang dihambat
juga terjadi secara langsung (Mardjono, 2007).
Proses metabolisme dapat mempengaruhi aktivitas biologis,masa kerja, dan
toksisitas obat. Oleh karena itu pengetahuan tentang metabolisme obat penting dalam
studi.suatu obat dapat menimbulkan suatu respon biologis dengan melalui dua jalur,
yaitu:
a. Obat aktif setelah masuk melalui peredaran darah,langsuns berinteraksi
dengan reseptor dan menimbulkan respon biologis.
b. Pra-obat setelah masuk ke peredaran darah mengalami proses
metabolisme menjadi obat aktif,berinteraksi dengan reseptor dan menimbulkan
respon biologis (bioaktivasi)
Secara umum tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat menjadi
metabolit tidak aktif dan tidak toksik (bioinaktivasi atau detoksifikasi), mudah larut
dalam air dan kemudian diekskresikan dari tubuh. Hasil metabolit obat bersifat lebih
toksik dibanding dengan senyawa induk (biootoksifikasi) dan ada pula hasilmetabolit
obat yang mempunyai efek farmakologis berbeda dengan senyawa induk contoh
iproniazid, suatu obat perangsang system syaraf pusat, dalam tubuh di metabolis
menjadi isoniazid yang berkhasiat sebagai antituberkolosis (Mardjono, 2007).
Metabolisme obat secara normal melibatkan lebih dari satu proses kimiawi dan
enzimatik sehingga menghasilkan lebih dari satu metabolit.Jumlah metabolit
ditentukan oleh kadar dan aktivitas enzim yang berperan dalam proses metabolisme.
Kecepatan metabolisme dapat menentukan intensitas dan masa kerja obat. Kecepatan
metabolisme ini kemungkinan berbeda-beda pada masing-masing individu.
Penurunan kecepatan metabolisme akan meningkatkan intensitas dan
memperpanjang masa kerja obat dan kemungkinan meningkatkan toksisitas obat.
Kenaikan kecepatan metabolisme akan menurunkan intensitas dan memperpendek
masa kerja obat sehingga obat menjadi tidak efektif pada dosis normal (Mardjono,
2007).

Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat antara lain:


1. Faktor genetik atau keturunan.
2. Perbedaan spesies dan galur
3. Perbedaan jenis kelamin
4. Perbedaan umur
5. Penghambatan enzim metabolisme
6. Induksi enzim metabolisme
Pemberian bersama-sama suatu senyawa dapat meningkatkan kecepatan
metabolisme obat dan memperpendek masa kerja obat. Hal ini disebabkan senyawa
tersebut dapat meningkatkan jumlah atau aktivitas enzim metabolisme dan bukan
Karena permeablelitas mikrosom atau adanya reaksi penghambatan. Peningkatan
aktivitas enzim metabolisme obat-obat tertentuatau proses induksi enzim
mempercepat proses metabolisme dan menurunkan kadar obat bebas dalam plasma
sehingga efek farmakologis obat menurun dan masa kerjanya menjadi lebih singkat.
Induksi enzim juga mempengaruhi toksisitas beberapa obat karena dapat
meningkatkan metabolisme dan metabolit reaktif (Mardjono, 2007).

Tempat metabolisme obat

Perubahan kimia obat dalam tubuh terutama terjadi pada jaringan-jaringan dan
organ-organ seperti hati, ginjal, paru dan saluran cerna. Hati merupakan organ tubuh
tempat utama metabolisme obat oleh karena mengandung enzim-enzim metabolisme
dibanding organ lain. Metabolisme obat di hati terjadi pada membrane reticulum
endoplasma sel. Reaksi metabolisme obat dan dan senyawa organic asing ada dua
tahap yaitu:
1. Reaksi fase I atau reaksi fungsionalisasi
2. Reaksi fase II atau reaksi konjugasi.
Yang termasuk reaksi fase I adalah reaksi-reaksi oksidasi,reduksi,dan
hidrolisis. Tujuan reaksi ini adalah memasukkan gugus fungsional tertentu yang
besifat polar. Yang termasuk reaksi fase II adalah reaksi konjugasi,metilasi dan
asetilasi.Tujuan reaksi ini adalah mengikat gugus fungsional hasil metabolit reaksi
fase I dengan senyawa endogen yamg mudah terionisasi dan bersifat polar,seperti
asam glukoronat, sulfat, glisin dan glutamine, menghasilkan konjugat yang mudah
larut dalam air. Hasil konjugasi yang terbentuk (konjugat) kehilangan aktivias dan
toksisitasnya,dan kemudian di ekskresikan melalui urin (Mardjono, 2007).
Analgesik atau obat penghilang rasa nyeri adalah zat-zat yang mengurangi atau
menghalau rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran.(Tan hoan,1964)
Nyeri adalah gejala penyakit atau kerusakan yang paling sering. Walaupun
sering berfungsi untuk mengingatkan , melindungi dan sering memudahkan
diagnosis , pasien merasakannya sebagai hal yang tidak mengenakkan. Kebanyakan
menyiksa dan karena itu berusaha untuk bebas darinya.Seluruh kulit luar mukosa
yang membatasi jaringan dan juga banyak organ dalam bagian luar tubuh peka
terhadap rasa nyeri , tetapi ternyata terdapat juga organ yang tak mempunyai reseptor
nyeri,seperti misalnya otak. Nyeri timbul jika rangsang mekanik, termal, kimia atau
listrik melampaui suatu nilai ambang tertentu (nilai ambang nyeri) dan karena itu
menyebabkan kerusakan jaringan dengan embebasan yang disebut senyawa nyeri.
(Mutscher,1999)
Semua senyawa nyeri (mediator nyeri) seperti histamine,brakidin,
leukontriendon prostaglandin merangsang reseptor nyeri (nociceptor) di ujung-ujung
saraf bebas di kulit, mukosa serta jaringan lain dan demikian menimbulkan antara
lain reaksi radang dan kejang-kejang .Nociceptor ini juga terdapat diseluruh jaringan
dan organ tubuh, terkecuali di SSP. Dari tempat ini rangsangan disalurkan ke otak
melalui jaringan lebat dari tajuk-tajuk neuron dengan sangat banyak sinaps via
sumsung tulang belakang , sumsum lanjutan dan otak tengah.Dari thalamus impuls
kemudian diteruskan kepusat nyeri di otak besar dimana impuls dirasakan sebagai
nyeri .(Tjaydan Raharja, 2007)
Prostgilandin di duga mensintesis ujung saraf terhadap efek kradilamin,
histamine dan medikator kimia lainnya yang dilepaskan secara local oleh proses
inflamasi. Jadi, dengan menurunkan sekresi PEG, aspirin dan AIN lainnya menekan
sensasi rasa sakit. (Mycek J. Mary,2)
Medicetator nyeri yang penting adalah mista yang bertanggung jawab untuk
kebanyakan reaksi. Akerasi perkembangan mukosa dan nyeri adalah polipeption
(rangkaian asam amino) yang dibentuk dari protein plasma. Prosagilandin mirip
strukturnya dengan asam lemak dan terbentuk dari asam-asam anhidrat. Menurut
perkiraan zat-zat bertubesiset vasodilatasi kuat dan meningkat permeabilitas kapiler
yang mengakibatkan radang dan nyeri yang cara kerjanya serta waktunya pesat dan
bersifat lokal. (Tjay Hoan Tan, 2007)

II. ALAT dan BAHAN


A. Alat
1. Spuit injeksi (0.1-2ml)
2. Jarum sonde/ujung tumpul/membulat
3. Beaker Glass (1-2 liter)
4. Stopwatch
5. Timbangan tikus
6. Neraca analitik
7. Alat-alat gelas
8. Labu ukur 10 ml
B. Bahan
1. Aquabides
2. Hewan coba (tikus) 2 ekor
3. Diazepam
4. Induktor enzim : fenobarbital 30 mg/kg BB
5. Inhibitor enzim : simetidin dan siprofloksasin
6. Parasetamol
7. Asetosal
8. Natrium diklorofenak
9. Larutan steril asam asetat 15%
10.
III. CARA KERJA

Disiapkan semua peralatan

Ditimbang bobot dari hewan uji (tikus)

Dihitung perhitungan konversi dosis, pembuatan


larutan stok dan volume pemberian obat

Diberikan bahan obat ke hewan uji sesuai dengan


kelompok masing masing

Setelah 5 menit seluruh hewan uji diiberi larutan steril


asetat 1% v/v secara intra peritonial

Diamati jumlah geliatnya (tikus akan menekan


perutnya ke bawah dan kaki belakang ditarik ke
belakang

Dicatat jumlah kumulatif geliat tikus setiap 5 menit


selama 60 menit

Dibandingkan efek yang terjadi akibat pengaruh


pemberian obat bersama dengan induktor dan inhibitor
enzim pemetabolisme

Hasil
IV. PERHITUNGAN DOSIS DAN HASIL PERCOBAAN
A. DOSIS
Berat Tikus 1 : 180 gram
Berat Tikus 2 : 205 gram
 Parasetamol ( i.p ) pada tikus 205 gram
Dosis tikus ( 200 gr ) = 0,018 x 500
= 9 mg / 200 gr BB

Konsentrasi Larutan Stock = 9 mg / 5 ml


= 1,8 mg / ml
= 180 mg / 100 ml

180
Bobot obat yang diambil = 500 x 583

= 209,88 mg ad 100 ml NaCl

205 1
Volume Pemberian = 200 x 2 x 5

= 2,56 ml

 Cimetidin (p.o) tikus 205 gram


Dosis konversi = 0,018 x 200
= 3,6 mg / 200 gr
= 18 mg / kg

Konsentrasi larutan stock = 3,6 mg / 5 ml


= 18 mg / 25 ml

18
Bobot obat yang diambil = 200 x 300

= 27 mg ad aquadest 25 ml

205 1
Volume pemberian = 200 x 2 x 5

= 5,125 ml
 Parasetamol ( i.p ) tikus 180 gram
Dosis tikus ( 200 gr ) = 0,18 x 500
= 9 mg / 200 gr BB

Konsentrasi larutan stock = 9 mg / 5 ml


= 1,8 mg / ml
= 180 mg / 100 ml

180
Bobot obat yang diambil = 500 x 583

= 209,88 mg ad 100 ml NaCl

180 1
Volume pemberian = 200 x 2 x 5

= 2,25 ml

 Fenobarbital ( i.p ) tikus 180 gram


Dosis tikus = 0,018 x 30
= 0,54 mg / 200 gr

Konsentrasi larutan stock = 0,54 mg / 5 ml


= 0,108 mg / ml
= 2,7 mg / 25 ml

2,7
Bobot obat yang diambil = x 124
30

= 11,6 mg ad NaCl 25 ml

180 1
Volume pemberian = 200 x 2 x 5

= 2,25 ml
 Siprofloksasin
Dosis konversi tikus = 0,018 x 500 mg
= 9 mg / 200 gr
= 45 mg / kg

Konsentrasi larutan stock = 9 mg / 200 gr


= 9 mg / 5 ml
= 45 mg / 25 ml

45
Bobot obat yang diambil = 500 x 951 mg

= 85,59 mg ad 25 ml aquadest

 Asam Asetat
Dosis konversi tikus = 0,018 x 500 mg
= 9 mg / 200 gr BB

Volume yang diambil dari sediaan


V1 x % = V2 x %
V1 x 6% = 30 x 1%
V1 = 5 ml ad 30 ml NaCl

Karena hanya terdapat labu 10 ml = 1,67 ml ad 10 ml NaCl dengan 3x


pembuatan
B. HASIL PERCOBAAN
Kelomp Obat Waktu Geliat % Daya Analgetik
ok
Tikus 1 Tikus 2 Tikus 1 Tikus 2

Paraceta 5 0 0
mol 10 0 0

Feno + 15 2 2

PCT 20 4 0
25 2 0
30 2 1
35 0 0
40 0 1
I 46,5 % 82,2 %
45 2 0
50 0 0
55 2 1

60 1 0
∑ 15 5

Cimet + 5 0 1
PCT 10 1 1
Feno + 15 1 0
PCT 20 0 0
25 4 0

II 30 0 0
35 0 3
71,4% 82,15%
40 0 0
45 1 0
50 0 0
55 0 0
60 1 0
∑ 8 5
5 0 0
Kontrol 10 1 0
(-) 15 1 0
Cipro + 20 1 0
PCT 25 1 1
30 1 1
35 1 1
III 40 0 0 - 82,14%

45 0 1
50 2 0
55 0 1
60 1 0
∑ 9 5

Kontrol 5 0 0
(-) 10 2 0
Cimet + 15 0 0
PCT 20 0 0
25 0 0
30 2 0
IV
35 9 0
- 92,86%
40 6 1
45 3 0
50 10 0
55 10 0
60 5 1
Cipro + ∑ 47 2
PCT 5 0 0
10 0 0
PCT 15 1 0
V 20 4 0
25 0 0
75% 96,43%
30 2 0
35 0 1
40 0 0
45 0 0
50 0 0
55 0 0
60 0 0
∑ 7 1

Fenobarbital

1. Mekanisme kerja
Fenobarbital secara selektif menekan neuron abnormal, menghambat penyebaran dan
menekan lepas-muatan dari fokus-fokus epilepsi. Seperti fenitoin, fenobarbital
menekan lepas-muatan repetitif frekuensi-tinggi dari neuron dalam biakan melalu
efek pada hantaran Na+ , tetapi hanya dalam konsentrasi tinggi. Juga pada konsentrasi
tinggi, barbiturat menghambat sebagian arus Ca2+ ( tipe L dan tipe N ). Fenobarbital
berikatan dengan suatu tempat alosterik di reseptor GABAA, dan obat ini memperkuat
arus yang diperantarai oleh reseptor GABA dengan memperlama terbukanya saluran
Cl- . Fenobarbital juga dapat menurunkan respons eksitorik. Efek pada pelepasan
glutamat mungkin lebih signifikan dibandingkan dengan blokade reseptor AMPA.
Baik penguatan inhibisi yang diperantarai oleh GABA maupun pengurangan eksitasi
yang diperantarai oleh glutamat dapat dijumpai pada pemberian fenobarbital dalam
konsentrasi terapeutik.
2. Farmakokinetik
Penyerapan nyaris sempurna. Tidak terikat ke protein plasma secara signifikan.
Konsentrasi puncak dalam 0,5-4 jam. Tidak ada metabolit aktif. t1/2 bervariasi dari 75
sampai 125 jam.

Paracetamol

1. Mekanisme kerja
Efek analgesik Parasetamol dan Fenasetin serupa dengan Salisilat yaitu
menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Keduanya menurunkan
suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral seperti
salisilat. Efek anti-inflamasinya sangat lemah, oleh karena itu Parasetamol dan
Fenasetin tidak digunakan sebagai antireumatik. Parasetamol merupakan penghambat
biosintesis prostaglandin (PG) yang lemah. Efek iritasi, erosi dan perdarahan lambung
tidak terlihat pada kedua obat ini, demikian juga gangguan pernapasan dan
keseimbangan asam basa.(Mahar Mardjono 1971). Semua obat analgetik non opioid
bekerja melalui penghambatan siklooksigenase. Parasetamol menghambat
siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat menjadi prostaglandin terganggu.
Setiap obat menghambat siklooksigenase secara berbeda. Parasetamol menghambat
siklooksigenase pusat lebih kuat dari pada aspirin, inilah yang menyebabkan
Parasetamol menjadi obat antipiretik yang kuat melalui efek pada pusat pengaturan
panas. Parasetamol hanya mempunyai efek ringan pada siklooksigenase perifer. Inilah
yang menyebabkan Parasetamol hanya menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri
ringan sampai sedang. Parasetamol tidak mempengaruhi nyeri yang ditimbulkan efek
langsung prostaglandin, ini menunjukkan bahwa parasetamol menghambat sintesa
prostaglandin dan bukan blokade langsung prostaglandin. Obat ini menekan efek zat
pirogen endogen dengan menghambat sintesa prostaglandin, tetapi demam yang
ditimbulkan akibat pemberian prostaglandin tidak dipengaruhi, demikian pula
peningkatan suhu oleh sebab lain, seperti latihan fisik. (Aris 2009)

2. Farmakokinetik
Parasetamol cepat diabsorbsi dari saluran pencernaan, dengan kadar serum puncak
dicapai dalam 30-60 menit. Waktu paruh kira-kira 2 jam. Metabolisme di hati, sekitar
3 % diekskresi dalam bentuk tidak berubah melalui urin dan 80-90 % dikonjugasi
dengan asam glukoronik atau asam sulfurik kemudian diekskresi melalui urin dalam
satu hari pertama; sebagian dihidroksilasi menjadi N asetil benzokuinon yang sangat
reaktif dan berpotensi menjadi metabolit berbahaya. Pada dosis normal bereaksi
dengan gugus sulfhidril dari glutation menjadi substansi nontoksik. Pada dosis besar
akan berikatan dengan sulfhidril dari protein hati.(Lusiana Darsono 2002)
DAFTAR PUSTAKA

Anief, Moh., 1984.Ilmu Farmasi, Ghalia Indonesia : Jakarta


Syarif, Amin, 1995, Farmakologi Dan Terapi, Edisi IV, Bagian Farmakologi Fakulatas
Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta
Neal, M. J., 2005, Farmakologi Medis Edisi Kelima, Erlangga : Jakarta
Mardjono, Mahar, 2005, Farmakologi dan Terapi Edisi 4, Gaya Baru: Jakarta
Tjay, Tan Hoan, dkk., 1978, Obat-Obat Penting Edisi IV, Elex Media Komputindo : Bandung
Mutscler Ernst, 1991, Dinamika Obat, ITB: Bandung
Tjay, T. H., dan Rahardja, K. (2007). Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan Efek-Efek
Sampingnya. Edisi ke VI. Jakarta: PT Elex Media Komputindo: hal. 193
Mycek, Mary J. (2001). Farmakologi Ulasan Bergambar. Edisi II. Jakarta: Widya Medika. Halaman 404-
413.
Tjay, Tan Hoan, dkk., 2007, Obat – Obat Penting, Edisi Kelima, Elex Media Komputindo:
Bandung
Mardjono, Mahar dan Sidharta, Priguna., 2008. Neurologi klinis dasar. Jakarta: Dian Rakyat pp. 269,
292, 472-4
Gunawan, A., 2009. Perbandingan Efek Analgesik antara Parasetamol dengan kombinasi Parasetamol
dan Kafein pada Mencit.
Darsono Lusiana. 2002. Diagnosis dan Terapi Intoksikasi Salisilat dan Parasetamol. JKM. Vol. 2. No. 1.

Anda mungkin juga menyukai