Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Teori Umum
II.1.1 Definisi Metabolisme Obat
Metabolisme obat adalah proses modifikasi biokimia senyawa obat oleh
organisme hidup, pada umumnyadilakukanmelalui proses enzimatik.
Metabolisme juga bisa diartikan sebagai suatu proses kimia di mana suatu
obat diubah didalam tubuh menjadi suatu metabolitnya. Proses metabolisme
obat merupakan salah satu hal penting dalam penentuan durasi dan
intensitas khasiatfarmakologis obat. Metabolisme obat sebagian besar terjadi
di retikulum endoplasma,sel-selhati. setelah pemberian secara oral, obat
diserap oleh saluran cerna, masuk ke peredaran darah dan kemudian ke hati
melalui efek lintas pertama. aliran darah yang membawa obat atas senyawa
organik asing melewati sel-sel hati secara perlahanlahan dan termetabolisis
menjadi senyawa yang mudah larut dalam air kemudian diekskresikan
melalui urin. Selain itu, metabolisme obat juga terjadi di sel-sel epitel pada
saluran pencernaan, paru-paru, ginjal, dan kulit (Katzung et al., 2015).
Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang nonpolar (larut
lemak) menjadi polar (larut air) agar dapat diekskresi melalui ginjal atau
empedu. Dengan perubahan ini obat aktif umumnya diubah menjadi inaktif,
tapi sebagian berubah menjadi lebih aktif, kurang aktif, atau menjadi toksik.
Kecepatan biotransformasi umumnya bertambah bila konsentrasi obat
meningkat. Hal ini berlaku sampai titik dimana konsentrasi menjadi demikian
tinggi hingga seluruh molekul enzim yang melakukan pengubahan ditempati
terus-menerus oleh molekul obat dan tercapainya kecepatan biotransformasi
yang konstan (Mardjono, 2007).
Interaksi dalam metabolisme obat berupa induksi atau inhibisi enzim
metabolisme,terutama enzim cyp. Induksi berarti peningkatan sistem enzim
metabolisme pada tingkat transkripsi sehingga terjadi peningkatan kecepatan
metabolisme obat yang menjadi substrat enzim yang bersangkutan.Inhibisi
enzim metabolisme berarti hambatan yang terjadi secara langsung dengan
akibat peningkatan kadar substrat dari enzim yang dihambat juga terjadi
secara langsung (Mycek, 2001).
II.1.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Metabolism Obat
Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat, antara lain:
1. Faktor genetik atau keturunan
Pada proses metabolisme sejumlah obat kadang-kadang terjadi dalam
sistem kehidupan. hal ini menunjukan bahwa faktor genetik atau
keturunan ikut berperan terhadap adanya perbedaan kecepatan
metabolisme obat (Mycek, 2001).
2. Perbedaan spesies dan galur
Pada proses metabolisme obat, perubahan kimia yang terjadi pada
spesies dan galur kemungkinan sama atau sedikit berbeda, tetapi
kadang-kadang ada perbedaan yang cukup besar pada reaksi
metabolismenya. pengamatan pengaruh perbedaan spesies dan galur
terhadap metabolisme obat sudah banyak dilakukan, yaitu pada tipe
reaksi metabolic atau perbedaan kualitatif dan pada kecepatan
metabolisme atau perbedaan kuantitatif (Mycek, 2001).
3. Perbedaan jenis kelamin
Pada beberapa spesies binatang menunjukan ada pengaruh jenis
kelamin terhadap kecepatan metablisme obat. banyak obat dimetabolisis
dengan kecepatan yang sama baik pada tikus betina maupun tikus jantan.
tikus betina dewasa ternyata memetabolisis beberapa obat dengan
kecepatan yang lebih rendah. Pada manusia baru sedikit yang diketahui
tentang adanya pengaruh perbedaan jenis kelamin terhadpa proses
metabolisme obat (Mycek, 2001).
4. Perbedaan umur
Bayi dalam kandungan dan bayi yang baru lahir jumlah
enzimenzim mikrosom hati yang diperlukan untuk memetabolisis obat
relatif masih sedikit sehingga sangat peka terhadap obat (Mycek, 2001).
5. Penghambatan enzim metabolisme
Kadang-kadang pemberian terlebih dahulu atau secara
bersamasama suatu senyawa yang menghambat kerja enzim
metabolisme dapat meningkatkan intensitas efek obat, memperpanjang
masa kerja obat dan kemungkinan juga meningkatkan k efek samping dan
toksisitas (Mycek, 2001).
6. Induksi Enzim Metabolisme
Kadang-kadang pemberian terlebih dahulu atau secara bersama-
sama suatu senyawa dapat meningkatkan kecepatan metabolisme obat
dan memperpendek masa kerja obat. Hal ini disebabkan senyawa
tersebut dapat meningkatkan aktivitas atau jumlah enzim metabolisme
dan bukan karena perubahan permeabilitas mikrosom atau oleh adanya
reaksi penghambatan. peningkatan aktivitas enzim metabolisme obat-obat
tertentu atau proses induksi enzim mempercepat proses metabolisme dan
menurunkan kadar obat bebas dalam plasma sehingga efek farmakologis
obat menurun dan masa kerjanya menjadi lebih singkat. induksi enzim
juga mempengaruhi tosisitas beberapa obat karena dapat meningkatkan
metabolisme dan pembentukan metabolit reaktif (Mycek, 2001).
7. Faktor Lain
Faktor lain yang dapat mempengaruhi metabolisme obat adalah
diet makanan, keadaan kurang gizi, gangguan keseimbangan hormon,
kehamilan, pengikatan obat oleh protein plasma, distribusi obat dalam
jaringan dan kedaan patologis hati (Mycek, 2001).
II.1.3 Klasifikasi Metabolisme Obat
Reaksi metabolisme obat terbagi menjadi 2 fase, yaitu fase 1
merupakan reaksi fungsinalisasi yaitu gugus polar baru dimasukan atau
dibentuk melalui reaksi oksidasi, reduksi, hidrolisis. Beberapa metabolit
reaksi fase I bisa mempunyai aktifitas yang sama atau berbeda dengan
senyawa induk. Reaksi fase 2 menggabungkan solubilyzing moeities ( asam
glukoronat, asam amino atau asam sulfat) pada obat asli (jika punya gugus
polar) atau pada metabolit fase 1 metabolisme fase 1 bisa terjadi sebelum
atau setelah fase 2. Reaksi fase II umumnya melibatkan penggabungan
(Konjugasi) molekul endogen polar kecil pada obat atau metabolit fase I,
yaitu metabolit larut air yang siap di ekskresi via urin dan empedu. kojugat
umum meliputi asam klugoronat, sulfat dan asam amino. Metabolit I fase bisa
diekskresikan tanpa mengalami reaksi metabolisme fase 2 (Mardjono, 2007).
Secara umum fase biotransformasi fase I dan fase II adalah inaktivasi
dan detoksifikasi xenobiotik. Metabolisme juga bisa menghasilkan metabolit
toksik umumnya berasal dari xenobiotik nonterapeutik ( polutan, bahan
kimia).Reaksi konjugasi biasanya terjadi terhadap gugus nukleofil pada obat
seperti alkohol, asam karboksilat, amina (termasuk amin heterosiklik dan tiol).
Jika gugus ini tidak ada pada sebuah obat biasanya obat tersebut mengalami
reaksi fase 1 telebih dahulu. gugus pengkonjugasi merupakan molekul
endogen yang mulanya diaktivasi dalam bentuk koenzim untuk ditransfer ke
obat. gugus tersebut adalah OH, COOH, NH2 (Katzung et al., 2013)
Obat lebih banyak dirusak di hati meskipun setiap jaringan mempunyai
sejumlah kesanggupan memetabolisme obat. Kebanyakan biotransformasi
metabolik obat terjadi pada titik tertentu antara absorpsi obat ke dalam
sirkulasi sistemik dan pembuangannya melalui ginjal. Sejumlah kecil
transformasi terjadi di dalam usus atau dinding usus. Umumnya semua reaksi
ini dapat dimasukkan ke dalam dua katagori utama, yaitu reaksi fase 1 dan
fase 2 (Katzung et al., 2015).
1. Reaksi Fase I (Fase Non Sintetik)
Reaksi ini meliputi biotransformasi suatu obat menjadi metabolit
yang lebih polar melalui pemasukan atau pembukaan (unmasking) suatu
gugus fungsional (misalnya –OH, -NH2, -SH) (Neal,2005). Reksi fase I
bertujuan untuk menyiapkan senyawa yang digunakan untuk metabolisme
fase II dan tidak menyiapkan obat untuk diekskresi (Katzung et al., 2015).
Reaksi-reaksi yang termasuk dalam fase I antara lain:
a. Reaksi Oksidasi
Merupakan reaksi yang paling umum terjadi. Reaksi ini terjadi
pada berbagai molekul menurut proses khusus tergantung pada
masing-masing struktur kimianya, yaitu reaksi hidroksilasi pada
golongan alkil, aril, dan heterosiklik; reaksi oksidasi alkohol dan
aldehid; reaksi pembentukan N-oksida dan sulfoksida; reaksi
deaminasi oksidatif; pembukaan inti dan sebagainya (Lainscak et al.,
2016).
b. Reaksi Reduksi (reduksi aldehid, azo dan nitro)
Reaksi ini kurang penting dibanding reaksi oksidasi. Reduksi
terutama berperan pada nitrogen dan turunannya (azoik dan nitrat),
kadang-kadang pada karbon (Sleder et al., 2016).
c. Reaksi Hidrolisis (deesterifikasi)
Proses lain yang menghasilkan senyawa yang lebih polar
adalah hidrolisis dari ester dan amida oleh enzim. Esterase yang
terletak baik mikrosomal dan nonmikrosomal akan menghidrolisis obat
yang mengandung gugus ester. Di hepar,lebih banyak terjadi reaksi
hidrolisis dan terkonsentrasi, seperti hidrolisis peptidin oleh suatu
enzim. Esterase non mikrosomal terdapat dalam darah dan beberapa
jaringan (Sleder et al., 2016).
2. Reaksi Fase II (Fase sintetik)
Reaksi ini terjadi dalam hati dan melibatkan konjugasi suatu obat
atau metabolit fase I nya dengan zat endogen. Konjugat yang dihasilkan
hampir selalu kurang aktif dan merupakan molekul polar yang mudah
diekskresi oleh ginjal (Neal, 2005).
Tidak semua obat dimetabolisme melalui kedua fase tersebut ada
obat yang mengalami reksi fase I saja(satu atau beberapa macam
reaksi ) atau reaksi fase II saja (satu atau beberapa macam reaksi),
tetapi kebanyakan obat dimetabolisme melalui beberapa reaksi sekaligus
atau secara berurutan menjadi beberapa macam metabolit (Mardjono,
2007). Misalnya, fenobarbital membutuhkan reaksi fase I sebagai
persyaratan reaksi konjugasi.
Glukuronid merupakan metabolit utama dari obat yang mempunyai
gugus fenol, alkohol, atau asam karboksilat. Metabolit ini biasanya tidak
aktif dan cepat diekskresi melalui ginjal dan empedu. Glukuronid yang
diekskresi melalui empedu dapat dihidrolisis oleh enzim β-glukuronidase
yang dihasilkan oleh bakteri usus dan obat dibebaskan dapat diserap
kembali. Sirkulasi enterohepatik ini memperpanjang kerja obat
(Mardjono, 2007)
II.2 Uraian Obat
Nama Obat : Phenytoin
Indikasi : Status konvulsi, epilepsy, neuralgia trigeminal,
aritmia jantung (Tim Medical Mini Notes,
2017)
Kontraindikasi : Hipersensitif terhadap fenitoin dan hidantoin
lain, brakikardia (Tim Medical Mini Notes,
2017)
Efek Samping : Hipertrofi gusi, hirsutisme, ataksia, nistagmus,
diplopia, ruam, anoreksia, mual, neuropati
perifer, agranulositosis, trombositopenia,
disfungsi seksual, disfungsi serebellar,
penurunan absorbs kalsium pada usus,
anemia aplastik, gangguan fungsi hati (Tim
Medical Mini Notes, 2017)
Interaksi Obat : Kadar phenytoin meningkat bila diberikan
bersama : chloramphenicol, dikumarol,
cimetidine, sulfonamide, isoniazid,
fenilbutazon, asam valproat. Kadar phenytoin
menurun bila diberikan bersama
carbamazepine, dan Phenobarbital (Tim
Medical Mini Notes, 2017)
Dosis dan Pemberian : Dosis terapi pemberian oral fenitoin pada
orang dewasa 3-5 mg/KgBB/hari, dengan
dosis awal dewasa, 3-5 mg/kg/hari dapat
diberikan dalam 2 atau 3 kali pemberian
dengan dosis terbagi, selanjutnya dosis
disesuaikan perorangan maksimum 300-400
mg perhari. Dosis pasien dewasa yang belum
pernah diterapi dapat dimulai dengan dosis
100 mg, dengan pemberian 3 kali sehari, lalu
dosis kemudian disesuaikan dengan
kebutuhan perorangan.
Dosis terapi pemberian oral fenitoin pada
anak-anak 4-8mg/kgBB/hari, dengan dosis
awal dapat diberikan 5 mg/KgBB/hari, dan
dosis pemeliharaan 5- 15mg/KgBB/hari
dengan frekuensi pemberian 1-2 kali/hari.
Dosis letal pada anak tidak diketahui. Anak-
anak diatas usia 6 tahun dapat diberi dosis
dewasa (300 mg/hari). Jika dosis harian tidak
dapat dibagi rata, dosis yang lebih besar dapat
diberi sebelum efek habis. Dosis pediatrik
tersedia dalam 30 mg kapsul, 50 mg sirup
dengan rasa, atau suspensi oral mengandung
30 mg fenitoin setiap 5 mL (Tim Medical Mini
Notes, 2017)
Farmakokinetika : Absorbsi : fenitoin tergantung cara
pemberiannya apakah peroral atau suntikan.
Absorbsi fenitoin di dalam lambung sangat
sedikit karena fenitoin tidak larut dalam
lambung yang bersifat asam. Absorbsi fenitoin
yang diberikan per oral berlangsung lambat,
dan sesekali tidak lengkap. Pemberian 10%
dosis yang diberikan per oral diekskresi
bersama tinja dalam bentuk yang utuh, pada
duodenum yang mempunyai PH 7-7,5 fenitoin
lebih mudah larut. Absorbsi maksimal terjadi di
duodenum sedangkan di yeyunum dan ileum
lebih lambat, lalu dikolon sangat sedikit, dan di
rektum tidak terjadi absorbsi.
Distribusi : Obat ke berbagai bagian tubuh
ternyata tidak sama, misalnya konsentrasi
fenitoin di otak ternyata 1-3 kali dari
konsentrasi di plasma. Juga diketahui bahwa
beberapa obat yang mempunyai sifat yang
sama dengan fenitoin, yaitu terikat dengan
protein plasma, apabila obat tersebut diminum
bersama fenitoin maka akan menjadi kompetisi
untuk mengikat albumin, tergantung afinitas
terhadap albumin mana yang lebih kuat.
Keadaan ini akan mengakibatkan peningkatan
bentuk bebas dari fenitoin, akibat ikatan
dengan albumin diduduki oleh obat lain. Obat
obat tersebut antara lain : tiroksin, triidotironin,
asam salisilat, fenilbutason, sulfafurazol,
kumarin, dan azetazolamide
Metabolisme : Fenitoin terikat kuat pada
jaringan saraf sehingga kerjanya dapat
bertahan lebih lama, tetapi mula kerja lebih
lambat daripada fenobarbital. Biotransformasi
terutama berlangsung dengan cara hidroksilasi
oleh enzim mikrosom hati. Hasil metabolitnya
berupa parahidrobutanil yang sudah tidak
mempunyai kasiat anti epilepsi. Fenobarbital
mempunyai sifat enzimatic inducer, sehingga
mengakibatkan penurunan aktivitas fenitoin,
dan inilah salah satu kerugian pemberian poli
terapi, demikian juga dengan karbamazepin
dan valproat, dikatakan menurunkan kadar
fenitoin.
Ekskresi : Hampir sebagian besar metabolit
fenitoin diekskresi bersama empedu,
kemudian mengalami reabsorbsi dan
biotransformasi lanjutan dan diekskresi melalui
ginjal. Ekskresi di ginjal, metabolit utamanya
mengalami sekresi oleh tubuli, sedangkan
bentuk utuhnya mengalami reabsorbsi.
Metabolit akhir sifatnya larut dalam air. Eksresi
melalui feses hanya sebagian kecil saja.
Eksresi lengkap dari fenitoin terjadi setelah 72-
120 jam (Tjay, T. H., Rahardja, K., 2007)
Mekanisme Kerja : Memblokir saluran-saluran channels Na, K,
dan Ca, yang berperan penting pada timbul
dan perbanyakannya muatan listrik (Tjay, T.
H., Rahardja, K., 2007)
First Pass Effect : Fenitoin diabsorbsi secara maksimal pada
bagian duodenum. Fenitoin didistribusikan ke
seluruh jaringan dalam kadar yang berbeda-
beda, pada otak dan jaringan lemak kadar
fenitoin lebih rendah dibandingkan dengan
kadar fenitoin pada hati atau ginjal. Fenitoin di
metabolisme di hati dengan cara hidroksilasi
oleh enzim CYP2C9 dan CYP2C19 yang
kemudian menghasilkan metabolit
parahidrobutanil dalam bentuk yang tidak aktif
dan tidak memiliki efek antikonvulsi lagi.
Fenitoin berikatan dengan kuat dengan
jaringan saraf sehingga menimbulkan efek
yang lama. Fenitoin di metabolisme di hati
mengalami first-pass effect. Metabolit yang
dihasilkan oleh fenitoin akan diekskresikan
melalui empedu, yang kemudian akan
direabsorbsi kembali lalu diekskresikan melalui
ginjal dalam bentuk urin. Onset kerja phenytoin
dimulai pada 4 -8 jam setelah pemberian obat
dengan durasi kerja 24 jam (McNamara,
2003).

DAFTAR PUSTAKA
Katzung Bertram G. et al. 2015. Farmakologi Dasar & Klinik ed.12 vol.1,
Jakarta: EGC.
Katzung, Bertram G. 2013. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 10. EGC,
Jakarta

Katzung,Bertram G. 2007. Farmakologi Dasar & klinik ,edisi 10,


diterjemahkan oleh Aryandhito Widhi Nugroho dkk. Jakarta : EGC.

Lainscak, M., Vitale, C., Seferovic, P., Spoletini, I., Cvan Trobec, K., &
Rosano, G. M. C. (2016, December 1). Pharmacokinetics and
pharmacodynamics of cardiovascular drugs in chronic heart failure.
International Journal of Cardiology. Elsevier.

McNamara JO. L. 2011. Pharmacotherapy of the Epilepsies dalam Goodman


and Gilmans The Pharmacological Basic of Therapeutics. 12 th
Edition. New York, USA: Mc Graw Hill Medica

Mardjono, Mahar. 2007. Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Universitas


Indonesia Press. Mycek, Mary J. 2001. Farmakologi Ulasan
Bergambar Edisi 2. Jakarta : Widya Medika

Neal,M.J. 2005. At A Glance Farmakologi Medis Edisi


Kelima,Erlangga,Jakarta

Sleder, A. T., Kalus, J., & Lanfear, D. E. (2016). Cardiovascular


Pharmacokinetics, Pharmacodynamics, and Pharmacogenomics for
the Clinical Practitioner. Journal of Cardiovascular Pharmacology and
Therapeutics, 21(1), 20–26.

Tim Medical Mini Notes. 2017. Basic Pharmacology & Drug Notes Edisi
Makasar : MMN Publishing. 2017.
Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja, 2007, Obat-Obat Penting Khasiat,
Penggunaan dan Efek-Efek Sampingnya, Edisi Keenam, 262, 269-
271, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta

LAMPIRAN
I. Lampiran Gambar
Disiapkan hewan coba mencit
yang telah mendapatkan diet
tinggi protein dan karbohidrat
selama 5 hari

Ditimbang dan dilakukan


pencacatan bobot seluruh hewan
coba

Dilakukan penyuntikan injeksi


thiopental dengan dosis 3-5
mg/kgBB
Dicatat lama dan durasi
thiopental pada hewan coba

II. Lampiran Skema Kerja


Disiapkan hewan coba mencit yang telah mendapatkan diet tinggi protein
dan karbohidrat selama 5 hari

Ditimbang dan dilakukan pencacatan bobot seluruh hewan coba

Dilakukan penyuntikan injeksi thiopental dengan dosis 3-5 mg/kgBB

Dicatat lama dan durasi thiopental pada hewan coba

Anda mungkin juga menyukai