Anda di halaman 1dari 7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dasar Teori
2.1.1 Pengertian Metabolisme Obat
Metabolisme atau biotransformasi obat adalah proses tubuh mengubah
komposisi obat sehingga menjadi lebih larut air untuk dapat dibuang keluar tubuh.
Obat dapat dimetabolisme melalui beberapa cara yaitu menjadi metabolit inaktif
kemudian diekskresikan, dan menjadi metabolit aktif, memiliki kerja farmakologi
tersendiri dan bisa dimetabolisme lanjutan (Noviani dan Nurilawati, 2017).
Biotransformasi atau metabolisme obat adalah proses perubahan struktur
kimia obat yang terjadi dalam tubuh dan dikatalisa oleh enzim. Pada proses ini
molekul obat diubah menjadi lebih polar (lebih mudah larut dalam air) dan kurang
larut dalam lemak sehingga lebih mudah diekskresi melalui ginjal. Selain itu, pada
umumnya obat menjadi inaktif, sehingga biotransformasi sangat berperan dalam
mengakhiri kerja obat (Sismadi dan Budiono, 2020).
2.1.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Metabolisme Obat
Beberapa obat diberikan dalam bentuk tidak aktif kemudian setelah
dimetabolisme baru menjadi aktif (prodrugs). Metabolisme obat terutama terjadi
di hati, yakni di membran endoplasmic reticulum (mikrosom) dan di cytosol.
Tempat metabolisme yang lain (ekstrahepatik) adalah dinding usus, ginjal, paru,
darah, otak, dan kulit, juga di lumen kolon (oleh flora usus). Tujuan metabolisme
obat adalah mengubah obat yang nonpolar (larut lemak) menjadi polar (larut air)
agar dapat diekskresi melalui ginjal atau empedu. Dengan perubahan ini obat aktif
umunya diubah menjadi inaktif, tapi sebagian dapat berubah menjadi lebih aktif,
kurang aktif, atau menjadi toksik (Noviani dan Nurilawati, 2017).
Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme menurut Noviani dan
Nurilawati (2017), adalah sebagai berikut:
a. Kondisi Khusus
Beberapa penyakit tertentu dapat mengurangi metabolisme, antara lain
penyakit hepar seperti sirosis.
b. Pengaruh Gen
Perbedaan gen individual menyebabkan beberapa orang dapat
memetabolisme obat dengan cepat, sementara yang lain lambat.
c. Pengaruh Lingkungan
Lingkungan juga dapat mempengaruhi metabolisme, contohnya: rokok,
keadaan stress, penyakit lama, operasi, dan cedera.
d. Usia
Perubahan umur dapat mempengaruhi metabolisme, yaitu usiabayi versus
dewasa versus orang tua.
Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolism obat menurut Hadi (2021),
adalah sebagai berikut:
a. Faktor genetik/keturunan
b. Perbedaan spesies/galur
c. Perbedaan jenis kelamin
d. Perbedaan umur
e. Penghambatan enzim pemetabolisme
f. Induksi enzim metabolisme
g. Faktor lain: diet makanan, hormon, kehamilan, dll.
2.1.3 Proses Metabolisme Obat
Pada umumnya, hatilah yang bertanggungjawab dalam metabolisme
sebelum obat mencapai sirkulasi sistemik. Secara umum, xenobiotika lipofilik
diubah menjadi produk yang lebih polar dan karenanya lebih mudah dieksresikan.
Pada tahapan metabolisme sendiri terdiri dari 2 fase, yaitu reaksi fase I dan reaksi
fase II. Reaksi fase I biasanya merubah obat induk menjadi metabolit yang lebih
polar dengan memperkenalkan atau memunculkan suatu gugus fungsional (-OH,
-NH2, -SH). Jika sudah cukup polar, metabolit fase I mudah dieksresikan.
Namun, banyak produk fase I tidak dieliminasi dengan cepat dan mengalami
reaksi berikutnya dengan suatu substrat endogen seperti asam glukuronat, asam
sulfur, asam asetat, atau asam amino berikatan dengan gugus fungsional yang baru
untuk membentuk konjugat yang sangat polar. Reaksi konjugasi atau sintetik ini
merupakan ciri utama metabolisme fase II (Winadiarti, 2019).
Gambar 2.1 Proses Metabolisme Obat (Katzung, 2017).
Proses metabolisme menurut Hadi (2021), diklasifikasikan menjadi 2 yaitu
reaksi fase I atau reaksi fungsionalisasi yang terdiri dari reaksi oksidasi, reaksi
reduksi dan reaksi hidrolisis. Fase II atau reaksi konjugasi terdiri dari reaksi
konjugasi yang meliputi konjugasi asam glukoronat, konjugasi sulfat, konjugasi
dengan glisin dan glutamin dan konjugasi dengan glutation atau asam
merkapturat, selanjutnya ada reaksi asetilasi dan reaksi metilasi.
Obat dapat mengalami reaksi fase I atau fase II saja, atau reaksi fase I
diikuti oleh reaksi fase II.

Gambar 2.2 Reaksi Fase I dan Reaksi Fase II (Indijah, 2017).


Pada gambar terlihat asam-asetilsalisilat (asetosal) dimetabolisme fase I
menjadi asam asetat dan asamsalisilat. Asam salisilat adalah metabolit yang aktif.
Pada fase II asam salisilat dimetabolisme menjadi salisilat glukoronat yang tidak
aktif dan sehingga siap diekskresi. Reaksi metabolisme yang terpenting adalah
oksidasi oleh enzin cytochrom P450 (CYP) dalam retikulum endoplasma hati,
sedangkan reaksi fase II yang terpenting adalah glukuronidase oleh enzim UDP-
glukuroniltransferase (UGT) yang terutama terjadi dalam mikrosom hati dan
jaringan ekstrahepatik. Jika enzim metabolisme mengalami kejenuhan pada
kisaran dosis terapi maka peningkatan dosis obat akan terjadi lonjakan kadar obat
dalam plasma yang disebut farmakokinetik nonlinier (aspirin). Interaksi dalam
metabolisme obat berupa induksi atau inhibisi enzim metabolisme. Induksi berarti
peningkatan sintesis enzim metabolisme sehingga terjadi peningkatan
metabolisme obat yang menjadi substrat enzim bersangkutan, akibatnya
diperlukan peningkatan dosis obat tersebut (toleransi farmakokinetik). Karena
melibatkan sintesis enzim maka diperlukan pajanan beberapa hari (3-7 hari)
sebelum dicapai efek yang maksimal, contoh rifampisin. Inhibisi enzim
metabolisme adalah terhambatnya aktivitas dari enzim metabolisme disebabkan
oleh obat-obat tertentu. Persenyawaan obat-enzim tersebut mengikat enzim secara
kompetitif sehingga menghambat substrat atau obat lain yang berikatan pada
enzim yang sama. Untuk mencegah toksisitas diperlukan penurunan dosis obat
bersangkutan atau tidak boleh diberikan bersama penghambatnya, contoh
terfenadin, astemizol, dan cisaprid dikontraindikasikan dengan ketokonazol,
itrakonazol, eritromisin, dan klaritromisin karena ke tiga obat yang terdahulu
adalah substrat dari CYP3A4/5 dan ke empat obat yang belakangan adalah
penghambat yang kuat dari enzim yang sama (Indijah, 2017).
Enzim yang berperan dalam reaksi fase I meliputi cytochrome P450,
noncytochrome P450, dan flavin-containing monooxygenase. Sistem enzim
cytochrome P450 (CYP) adalah gabungan besar dari protein membrane-bound
yang mengandung kofaktor heme yang mengkatalis metabolisme senyawa
endogen. Enzim P450 sebagian besar adalah enzim hepatik mikrosomal, walau
terdapat beberapa enzim P450 mitokondrial. Penamaan cytochrome P450
dikarenakan penyerapan oleh senyawa ini memuncak pada 450 nm ketika
dikombinasi dengan karbon monoksida. Sistem cytochrome P450 juga merupakan
fungsi campuran dari sistem oksidase karena melibatkan tahap oksidasi dan
reduksi. Reaksi yang paling umum dikatalis oleh enzim cytochrome P450 adalah
reaksi monooksigenase, sebagai contoh, pemasukan satu atom oksigen ke dalam
substrat organik sedangkan atom oksigen lain direduksi menjadi air. Cytochrome
P450 juga berfungsi sebagai oksidase akhir dalam rantai transpor elektron. Enzim
cytochrome P450 berkembang dari protein umum. Enzim cytochrome P450 atau
CYP, yang memiliki homologi hingga 40% pada sekuennya, dikelompokkan dan
dinamai berdasarkan angka (contoh CYP2), sedangkan yang memiliki 55%
homologi dikelompokkan lagi dan dinamani berdasarkan huruf (contoh CYP2A),
dan enzim CYP individual ditandai dengan nomor ketiga (contoh CYP2A6).
Sepuluh isoform dari cytochrome P450 bertanggung jawab terhadap metabolisme
oksidatif dari sebagian besar obat. Aktifitas CYP yang lebih besar untuk obat
anestesi disebabkan oleh CYP3A4, yang merupakan isoform yang paling banyak
diekspresikan, sekitar 20% hingga 60% dari total aktivitas P450. P450 3A4
memetabolisme lebih dari satu setengah dari seluruh obat yang ada saat ini,
termasuk opioid (alfentanil, sufentanil, fentanyl), benzodiazepin, anestesi lokal
(lidocaine, ropivacaine), imunosupresan (siklosporin), dan antihistamin
(terfenadine). Obat bisa mempengaruhi aktivitas enzim ini melalui induksi dan
inhibisi. Induksi terjadi melalui peningkatan ekspresi dari enzim. Sebagai contoh,
fenobarbital memicu enzim mikrosomal sehingga menyebabkan obat kurang
efektif akibat metabolisme meningkat. Sebaliknya, obat lain bisa menghambat
enzim. Salah satunya adalah jus anggur yang menghambat CYP 3A4, sehingga
dapat meningkatkan konsentrasi obat anestesi dan obat lain (Subagiartha, 2017).
Reaksi Fase I menurut Subagiartha (2017), terdiri dari:
a. Oksidasi
Enzim cytochrome P450 sangat penting dalam reaksi oksidasi. Untuk kerja
tersebut enzim ini memerlukan donor elektron dalam bentuk reduced
nicotinamide adenine dinucleotide (NAD) dan oksigen molekular. Molekul
oksigen terbagi, dimana satu atom oksigen mengoksidasi tiap molekul obat dan
atom oksigen lain tergabung menjadi molekul air. Contoh metabolisme oksidatif
dari obat yang dikatalis oleh enzim cytochrome P450 meliputi hidroksilasi,
deaminasi, desulfurasi, dealkilasi, dan dehalogenasi. Demetilasi morfin menjadi
normorfin merupakan contoh dealkilasi oksidatif. Dehalogenasi meliputi oksidasi
dari ikatan karbon-hidrogen untuk membentuk metabolit sementara yang tidak
stabil dan melepaskan atom halogen secara spontan. Halogenated volatile
anestethic berperan dalam dehalogenasi, dan menyebabkan lepasnya ion bromida,
klorida, dan fluorida. Oksidasi alifatik adalah oksidasi dari rantai samping.
Sebagai contoh, oksidasi rantai samping dari tiopental mengubah obat induk yang
laruh lemak menjadi turunan asam karboksilik yang lebih larut air. Tiopental juga
mengalami desulfurasi menjadi fenobarbital melalui tahap oksidatif. Epoksida
dalam metabolisme oksidatif obat berperan dalam ikatan kovalen dengan
makromolekul dan juga berperan dalam beberapa toksisitas organ akibat obat,
seperti disfungsi hepatik. Normalnya, bentuk yang sangat reaktif ini, hanya ada
sementara dan tidak menghasilkan aksi biologis. Ketika terjadi induksi enzim,
intermediat yang reaktif ini dihasilkan dalam jmlah besar, dan mengakibatkan
kerusakan organ. Hal ini terutama terjadi jika antioksidan glutathione, yang
jumlahnya terbatas dalam hati, habis oleh intermediat reaktif.
b. Reduksi
Enzim cytochrome P450 juga penting dalam reaksi reduksi. Dalam kondisi
tekanan parsial oksigen rendah, enzim cytochrome P450 menstransfer elektron
langsung ke substrat seperti halothane dibanding ke oksigen. Penambahan
elektron ini hanya terjadi jika jumlah oksigen kurang untuk berkompetisi dengan
elektron.
c. Konjugasi
Konjugasi dengan asam glukuronik melibatkan enzim cytochrome P450.
Asam glukuronik disintesis dari gula dan ditambahkan ke obat larut lemak dan
mengubahnya menjadi larut air. Hasil ini kemudian diekskresikan di empedu dan
urin. Pada bayi prematur, penurunan aktivitas enzim mirkosomal menyebabkan
gangguan dalam konjugasi, sehingga terjadi hiperbilirubinemia neonatus dan
risiko bilirubin ensefalopati. Penurunan kemampuan konjugasi pada neonatus
akan meningkatkan efek dan potensi toksik obat yang normalnya dihambat
melalui konjugasi oleh asam glukuronik.
d. Hidrolisis
Enzim yang berperan dalam hidrolisisobat, biasanya ikatan ester, tidak
melibatkan sistem enzim cytochrome P450. Hidrolisis biasanya terjadi diluar hati.
Seperti contoh, remifentanil, succinylcholine, esmolol, dan lokal anestesi ester,
dibersihkan di plasma dan jaringan melalui hidrolisis ester.
Enzim fase II meliputi glucuronosyltrasferase, glutathione-S-transferase,
Nacetyl-transferase dan sulfo-transferase. Uridine diphosphate glucuronosyl
transferase mengkatalis tambahan kovalen asam glukuronik menjadi senyawa
endogen dan eksogen, dan mengubahnya menjadi lebih larut air. Glukuronidasi
adalah jalur metabolik penting untuk beberapa obat anestesia, seperti propofol,
morfin (menghasilkan morphine-3-glucuronide dan morphine-6-glucuronide yang
aktif secara farmakologis), dan midazolam (menghasilkan 1-hydroxymidazolam
yang aktif secara farmakologis). Enzim glutathione-Stransferase (GST) utamanya
adalah sistem perlawanan untuk detoksifikasi dan perlindungan terhadap stres
oksidatif. N-acetylation dikatalis oleh N-acetyltransferase (NAT), dan merupakan
reaksi fase II umum untuk metabolisme heterocyclic aromatic amines (terutama
serotonin) dan arylamines, termasuk inaktivasi isoniazid (Subagiartha, 2017).

Dapus
Noviani dan Nurilawati. 2017. Farmakologi. Jakarta: Kemenkes RI.
Sukmiasi Sismadi, Uripno Budiono. 2020. Pengaruh Variasi Genetika Cyp2c19
Terhadap Efek Sedasi Midazolam Intravena. Jurnal Anestesiologi Indonesia.
Volume I, Nomor 2:65-71.
Hadi. 2021. Kimia Medisinal. Solo: Universitas Sebelas Maret.
Winadiarti. 2019. Metabolisme Obat pada Penyakit Kardiovaskuler. Jurnal
Kedokteran. 4(2): 1-4. 
Indijah, S.W., dan Fajri, P. 2017. Farmakologi. Jakarta: Kemenkes RI.
Katzung. 2017. Basic and Clinical Pharmacology, 13th Ed. Drug
Biotransformation. London: McGra-Hill
Subagiartha. 2017. Prinsip Dasar Farmakologi. Bali: FK Universitas Udayana.

Anda mungkin juga menyukai