Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut Sulanjani (2013), farmakologi adalah ilmu yang mempelajari
bagaimana suatu bahan kimia/obat berinteraksi dengan sistem biologis, khususnya
mempelajari aksi obat di dalam tubuh, sedangkan toksikologi adalah pengetahuan
tentang efek racun dari obat terhadap tubuh dan sebetulnya termasuk pula dalam
kelompok farmakodinamika, karena efek terapi  obat barhubungan erat dengan efek
toksisnya. Dalam toksikologi terdapat unsur-unsur yang saling berinteraksi dengan
suatu cara-cara tertentu untuk menimbulkan respon pada sistem organisme hidup
yang dapat menimbulkan kerusakan pada sistem organisme tersebut.
Diuretik merupakan agen yang mampu meningkatkan volume urin melalui
kerja pada epitel tubulus ginjal (Katzung & Trevor, 2015). Diuretik digunakan
sebagai terapi penyakit hipertensi, gagal jantung kongestif, edema paru, serta
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit (Shree, 2011). Furosemid merupakan
salah satu sedian obat diuretik yang memiliki efek paling kuat. Furosemid bekerja
dengan menghambat reabsorbsi ion Na+ , K+ dan Clpada tubulus ginjal (Katzung &
Trevor, 2015). Mekanisme kerja obat diuretik dapat menyebabkan banyak efek
samping, diantaranya berupa penurunan ion elektrolit, intoleransi glukosa,
peningkatan konsentrasi lipid serum, dehidrasi dan ginekomastia (Qavi et al., 2015)
Obat diuretik banyak digunakan sebagai terapi berbagai macam penyakit. Hasil
penelitian menyebutkan bahwa diuretik menjadi obat yang 2 paling banyak
diresepkan pada penderita hipertensi yaitu sebesar 49% (Herlina & Muchtaridi,
2018).
Diuretik juga merupakan terapi utama untuk mengatasi edema pada penderita
gagal jantung, sindroma nefrotik, dan sirosis hepatik (Qavi et al., 2015). Efek
samping yang sering dilaporkan pada pasien yang menerima terapi diuretik antara
lain adalah hipokalemia sebesar 20-40%, hipomagnesemia 5%-10%, impotensi 3%-
32%, ginekomastia ±13%, dan hiperglikemia ±1%.

1
Berdasarkan latar belakang di atas, dilakukan praktikum percobaan diuretik
yang bertujuan agar mahasiswa mampu menganalisis keefektifan dari obat-obat
diuretik dengan menggunakan hewan coba. Parameter utama dari obat diuretik adalah
mengamati volume urine.
1.2 Maksud Percobaan
Bagaimana efek dari Furosemide, Spironolakton, Hidroklorotiazid dan Na-
CMC sebagai peningkat frekuensi urinasi pada hewan uji mencit (Mus musculus).
1.3 Tujuan Percobaan
Untuk menganalisis efek diuretik dari Furosemide, Spironolakton,
Hidroklorotiazid dan Na-CMC pada hewan uji mencit (Mus musculus).
1.4 Maksud Percobaan
Maksud percobaan ini yaitu untuk menganalisis efek dari obat diuretik pada
mencit dengan melihat kenaikan frekuensi urinasi mencit (Mus musculus).
1.5 Prinsip Percobaan
Prinsip percobaan ini yaitu mengamati efek diuretik dengan terjadinya
peningkatan volume dan frekuensi urinasi mencit yang diberikan beberapa obat
diuretik.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dasar Teori
2.1.1 Pengertian Diuretik
Diuretik adalah obat yang dapat menambahkan kecepatan pembentukan urin.
Istilah diuretik mepunyai dua pengertian, pertama menunjukan adanya penambahan
volume urin yang di produksi dan yang kedua menunjukan jumlah pengeluaran
(kehilangan) zat-zat terlarut dan air. Fungsi utama diuretik adalah memobilisasi
cairan edema, yang berarti mengubah keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga
volume cairan ekstrasel kembali menjadi normal (Deswati, dkk., 2020)
Diuretik merupakan obat yang dapat digunakan untuk mengeluarkan cairan
berlebihan didalam tubuh dengan memicu proses pembentukan urin. Diuretik dapat
bekerja dengan meningkatkan eksresi air, natrium dan klorida sehingga mampu
menyeimbangkan cairan ekstrasel dan menurunkan volume darah dalam tubuh. Selain
itu diuretik memiliki fungsi utama dalam memobilisasi cairan udem yang berarti
dapat mengubah keseimbangan cairan dalam tubuh, sehingganya kapasitas cairan
ekstral sel dapat kembali normal (Ramadhan dan Pahmi, 2021)
Diuretik adalah obat-obat yang meningkatkan laju aliran urin, namun secara
klinis diuretik juga bermanfaat untuk meningkatkan laju ekskresu Na + dan anion yang
menyertainya, biasanya Cl-. NaCl dalam tubuh merupakan penentu utama volume
cairan ekstraseluler dan sebagian besar aplikasi klinis diuretik ditunjukan untuk
mengurangi volume cairan ekstraseluler dengan mengurangi kandungan total NaCl
didalam tubuh. Secara klinis, diuretil bekerja dengan menurunkan laju reabsorbsi
natrium dari tubulus sehingga menyebabkan natriuresis dan kemudian menimbulkan
efek diuresis. Diuretik terutama digunakan untuk mengurangi sembab (edema) yang
disebabkan oleh meningkatnya jumlah cairan sel, pada keadaan yang berhubungan
dengan kegagalan jantung kongestif, kegagalan ginjal, oligourik, sirosis hepatik,
keracunan kehamilan, glaucoma, hiperkalasemi, diabetes, insipidus, dan sembab yang
disebabkan oleh gangguan jangka panjang kortikosteroid atau estrogen. Diuretik juga
digunakan sebagai penunjang pada pengobatan hipertensi. Diuretic menyebabkan

3
penurunan volume plasma yang akan menurunkan curah jantung dan akhirnya
menurunkan tekanan darah (Maulidza, 2018)
2.1.2 Mekanisme Kerja Diuretik
Menurut Maulidza (2018), Pada dasarnya diuretik memiliki daya kerja dengan
mengurangi reabsorbsi natrium sehingga jumlah cairan banyak dikeluarkan melalui
saluran kemih. Target obat diuretik itu berada pada bagian–bagian di ginjal yaitu:
1. Tubulus proksimal, merupakan target kerja dari diuretik osmotik seperti
manitol dan sorbitol. Diuretik ini bekerja dengan menghambat reabsorbsi NaCl
secara aktif dan reabsorpsi berlangsung secara proporsional sehingga bersifat
isotonis terhadap plasma.
2. Lengkung Henle, Furosemid, bumetanid, asam etakrinat dapat menghambat
transport klorida dan reabsorpsi natrium di lengkung Henle, sehingga ekskresi
kalium dan air tinggi. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya mekanisme
reabsorbsi aktif klorida yang diikuti reabsorbsi pasif natrium dan kalium.
3. Tubulus distal Mekanisme obat diuretik di tubulus distal dibagi menjadi dua
bagian yaitu: pertama reabsorbsi aktif ion Na+ tanpa air yang bersifat hipotonis
dapat terjadi pada diuretik tiazid dan klortalidon, kedua terjadi pertukaran
garam dengan kalium atau ammonium yang dikendalikan oleh obat-obat
golongan antagonis aldosteron (spironolakton) dan zat–zat penghemat kalium
(amilorid, triamteren) sehingga menyebabkan ekskresi natrium (< 5%) dan
retensi kalium.
4. Saluran pengumpul Hormon antidiuretik seperti vasopressin berperan pada
sistem saraf pusat dan sebagai vasopresor kuat pada sekresi ACTH (hormon
adrenokortikotropik), suhu badan, saluran cerna. Target kerja obat diuretik di
saluran ini dengan mekanisme mempengaruhi permeabilitas sel air
(homeostasis air).
2.1.3 Golongan Obat Diuretik
Menurut Windarsi dan Nurcahyanti (2017), obat diuretik digolongkan menjadi
beberapa macam yaitu:
1. Penghambat karbonat anhidrase.

4
Diuretik ini bekerja pada tubuli Proksimal dengan cara menghambat reabsorpsi
bikarbonat. Zat ini merintangi enzim karbonanhidrase di tubuli proksimal, sehingga
disamping karbonat, juga Na dan K diekskresikan lebih banyak, bersamaan dengan
air. Diuresis dan reabsorbsi bikarbonat terjadi karena CA (karbonat anhidrase)
dihambat oleh obat diuretik, seperti asetazolamid di tubulus kontortus proksimal
(PCT). Obat tersebut dapat digunakan untuk terapi glaukoma, alkalinisasi urin,
alkalosis metabolik, mountain sickness akut, dan kadar fosfat pada penderita
hiperfosfatemia dapat diturunkan
2. Diuretik osmosis
Garam dan elektrolit (kalsium, kalium, magnesium, klorida, dan lain- lain) ikut
terekskresi bersama urin secara osmosis dengan daya kerja yang cepat dan singkat,
karena reabsorbsi air dan garam di tubulus kontortus proksimal dan lengkung Henle
dihambat oleh gliserin, isosorbid, manitol, dan urea. Diuretik osmotik memiliki
fungsi menurunkan tekanan intrakranium atau intraokulus sehingga volume urin yang
dihasilkan menjadi meningkat.
3. Diuretik Loop
Diuretik loop bekerja dengan menurunkan penyerapan kalium, klorida, dan
natrium pada loop (lengkung) Henle di dalam ginjal. Diuretik kuat ini bekerja pada
Ansa Henle bagian asenden pada bagian dengan epitel tebal dengan cara menghambat
transport elektrolit natrium, kalium, dan klorida. Hal ini akan meningkatkan jumlah
air dan garam yang dikeluarkan melalui urine. Pengobatan edema paru akut, gagal
ginjal akut (GGA), penyakit edematosa lain, hiperkalemi dan hiperkalsemia akut
dapat diterapi menggunakan obat diuretik loop.
4. Diuretik Hemat Kalium
Diuretik hemat kalium ini bekerja pada hilir tubuli distal dan duktus koligentes
daerah korteks dengan cara menghambat reabsorpsi natrium dan sekresi kalium
dengan jalan antagonisme kompetitif (sipironolakton) atau secara langsung
(triamteren dan amilorida). Efek obat-obat ini lemah dan khusus digunakan
terkominasi dengan diuretika lainnya untuk menghemat kalium. Aldosteron enstiulasi
reabsorpsi Na dan ekskresi K, proses ini dihambat secara kompetitif oleh antagonis

5
alosteron. Reabsorpsi natrium dihambat oleh obat diuretik (amiloride, triamteren) dan
reseptor mineralokortikoid di tubulus kolektivus dihambat oleh efek-efek obat
aldosteron (spironolakton dan eplerenon), sehingga sekresi kalium dapat dihambat.
Beberapa faktor antara hipersekresi primer maupun sekunder akan menyebabkan
hiperaldosteronisme (kadar mineralokortikoid tinggi) sehingga keadaan tersebut
membutuhkan terapi obat diuretik hemat kalium.
5. Diuretik Thiazid
Diuretik golongan tiazid ini bekerja pada hulu tubuli distal dengan cara
menghambat reabsorpsi natrium klorida. Efeknya lebih lemah dan lambat, juga lebih
lama, terutama digunakan pada terapi pemeliharaan hipertensi dan kelemahan
jantung. Thiazide bekerja dengan mengurangi penyerapan natrium atau klorida pada
distal tubulus ginjal, sehingga meningkatkan produksi urine. Selain itu, thiazide dapat
merelaksasi pembuluh darah, sehingga efektif dalam menurunkan tekanan darah.
Beberapa kasus seperti hipertensi, gagal jantung, nefrolitiasis, dan diabetes insipidus
nefrongenik merupakan penyakit yang dapat diobati dengan golongan tiazid yaitu
hidroklorotiazid, hidroflumetiazid, bendroflumetiazid, dan lain- lain. Obat tersebut
akan menghambat reabsorbsi garam klorida di tubulus kontortus distal (DCT).
Sedangkan menurut Apani (2020), pada umumnya diuretika dibagi dalam
beberapa kelompok yakni:
1. Golongan diuretik ansa (loop diuretics), obat tersebut menghambat system
transport gabungan Na+ /K+ /2Clpada membrane luminal cabang meningkat
yang tebal pada ansa Henle. Dengan menghambat transporter tersebut, diuretika
ansa menurunkan reabsorpsi NaCl dan juga menurunkan potensial positif-
lumen normal yang berasal dari daur ulang K +. Diuretika ansa, dengan
menurunkan potensial positif- lumen, menyebabkan suatu peningkatan Mg2+
dan Ca 2+. Penggunaan dalam jangka panjang dapat menyebabkan
hipomagnesemia pada beberapa pasien. Karena Ca2+ secara aktif direarbsorpsi
hipokalsemia. Namun, pada kelainan yang menyebabkan hiperkalsemia,
ekskresi Ca2+ dapat ditingkatkan dalam jumlah besar dengan memadukan agen
ansa dengan infus garam fisiologis. Efek tersebut sangat berharga untuk

6
penatalaksanaan akut dari hiperkalsemia. Obat yang termasuk golongan ini
furosemide, bumetanide, torsemid, asam etakrinat.
2. Golongan diuretik thiazide, thiazide menghambat rearbsorpsi NaCl dari sisi
luminal sel epitel dalam tubulus berbelit distalis. Diduga terdapat suatu efek
ringan pada reabsorpsi NaCl pada bagian akhir tubulus proksimal, tetapi hal
tersebut tidak diamati pada tatanan klinik yang umum. Obat yang termasuk
golongan ini klortiazid, hidroklortiazid, klorthalidon, metazolam dan lainnya.
3. Golongan diuretika hemat kalium, diuretika hemat kalium menurunkan absorpsi
Na+ pada tubulus dan duktus pengumpul. Absorpsi Na+ (dan sekresi K+) pada
tempat tersebut diregulasi oleh aldosterone. Pada tiap laju penghantaran Na +,
laju sekresi K+ di distal secara positif berkaitan dengan kadar aldosterone.
Seperti diuraikan di depan, aldosterone meningkatkan sekresi K + dengan
meningkatkan aktivitas Na+ /K+ ATPase dan aktivitas kanal Na+ dan K+.
Absorpsi Na+ pada tubulus pengumpul menyebabkan potensial elektris negatif-
lumen, yang menyebabkan peningkatan sekresi K+. Antagonis aldosterone
berpengaruh dalam proses tersebut. Efek yang serupa teramati dengan
memperhatikan pengelolaan H+ oleh tubulus pengumpul, pada penggunaan
antagonis aldosterone. Obat yang termasuk golongan ini spironolakton,
triamterene, amilorid.
4. Golongan diuretika osmotik, diuretika osmotik membatasi reabsorpsi air
terutama pada segmen dari nefron tersebut yang secara bebas permeable air
tubulus proksimal dan cabang menurun ansa Henle. Kehadiran larutan yang tak
dapat direabsorpsi tersbut seperti halnya mannitol dapat mencegah absorpsi
normal air dengan menempatkan kekuatan osmotik yang berlawanan. Sebagai
hasilnya, volume urin meningkat pada penggabungan dengan eksresi mannitol.
Peningktan yang cukup besar pada laju aliran urin menurunkan waktu kontak
antara cairan dan epitel tubulus, sehingga menurunkan reabsorpsi Na +.
Bagaimanapun, natriuresis yang dihasilkan lebih kecil daripada diuresis air,
yang akhirnya membawa pada hypernatremia. Obat yang termasuk golongan ini
mannitol, gliserol, urea.

7
5. Golongan penghambat karbonik anhidrase Menghambat reabsorpsi HCO3-H+,
dan natrium pada tubulus proksimal. Dengan menghambat pembentukan
HCO3- dan H+ dengan begitu jumlahnya di dalam tubuli berkurang. Jumlah H +
untuk disekresi dan ditukarkan dengan natrium dari lumen tubulus juga
berkurang sehingga eksresi Na+ akan meningkat. Obat yang termasuk golongan
ini, seperti asetazolamid, metazolamid, diklorofenamid.
2.1.4 Hewan Uji
1. Pengertian Hewan Uji
Hewan coba adalah hewan yang dapat digunakan untuk suatu tujuan
penelitian tertentu dan umumnya menggunakan hewan laboratorium hingga hewan
ternak. Penggunaan hewan percobaan dalam berbagai penelitian fisiologi, biokimia,
farmakologi, patologi, komporatif zoologi dan ekologi, juga dilakukan untuk
pengembangan obat-obatan, vaksin dan produk-produk khusus misalnya: kosmetik,
shampoo, dan pasta gigi (Jumrodah, 2016).
Hewan coba adalah hewan yang sengaja dipelihara untuk digunakan sebagai
hewan model yang berkaitan untuk pembelajaran dan pengembangan berbagai
macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau pengamatan laboratorium. Hewan
coba banyak digunakan sebagai penunjang dalam melakukan pengujian-pengujian
terhadap obat, vaksin, atau dalam penelitian biologi (Intan dkk 2014).
2. Pemeliharaan hewan uji
Penelitian ilmiah yang baik dimana digunakan hewan sebagai objek ataupun
model kajian, maka tata kerjanya dievaluasi oleh Komisi Etik Penggunaan Hewan.
Oleh karena itu, penggunaan hewan dalam kegiatan laboratorium pendidikan
(praktikum) perlu selaras tata caranya dan memenuhi kriteria etika penggunaan
hewan percobaan. Hewan uji yang digunakan dalam penelitian tetap harus dijaga hak-
haknya yang dikenal sebagai Animal Welfare seperti yang tercantum dalam five of
freedom (Stevani, 2016).
Animal welfare dalam Bahasa Indonesia berarti kesejahteraan hewan. Standar
"yang baik" tentang kesejahteraan hewan sangat bervariasi antara konteks yang
berbeda. Standar ini berada di bawah review konstan dan diperdebatkan, dibuat dan

8
direvisi oleh komunitas kesejahteraan hewan, legislator dan akademisi di seluruh
dunia. Ilmu kesejahteraan hewan menggunakan berbagai langkah, seperti umur
panjang, penyakit, imunosupresi, perilaku, fisiologi, dan reproduksi, meskipun ada
perdebatan tentang yang mana dari indikator ini yang memberikan informasi terbaik
(Kadek, 2017).
Komite Penanganan Hewan Universitas McGill (UACC) merekomendasikan
penggunaan Penilaian Kondisi Tubuh (BCS) untuk menilai endpoint klinis hewan.
BCS merupakan penilaian yang cepat, non-invasif dan efektif dalam menilai kondisi
fisik hewan. Dalam banyak kasus, BCS adalah titik akhir klinis yang lebih baik
daripada berat badan. Penggunaan berat badan saja tidak dapat membedakan antara
lemak tubuh atau simpanan otot. Berat badan hewan yang kurang dapat tertutupi oleh
kondisi abnormal (misalnya pertumbuhan tumor, akumulasi cairan ascetic, dan
pembesaran organ) atau pada kondisi normal (misalnya kehamilan). selain itu jika
suatu hewan telah kehilangan berat badan lebih dari 20% namun berdasarkan
penilaian BCS kondisinya masih di nilai 3 (BCS 3) maka mungkin belum perlu
dilakukaan euthanasia segera. Dengan demikian, BCS adalah penanda yang lebih
komprehensif dan akurat untuk kesehatan hewan dibandingkan kehilangan berat
badan (Stevani, 2016).
Berikut cara menilai Body Condition Scoring (BCS) menurut Stevani (2016):
BCSNilai 1-Mencitkurus
Tulang-tulang tubuhsangatjelaskelihatan.Bilamanadiraba,
tidakterasaadanya lemakataudaging.Tampakatasjuga
kelihatan sekalibagian-bagiantubuhnya tidakberisilemak atau
daging.
BCSNilai 2-Mencitdi bawah kondisi standart
Tikustanpak kurus. Tulang-tulang masih kelihatan jelas,
namunbilamana dirabamasihterasa adanyadagingatau
lemak.Tampak atassudahtidakterlaluberlekuklekuk, agak
berisi. Tulangpelvicdorsal dapat langsungteraba.

9
BCSNilai 3-Mencitdalam kondisiyangbaik
Tubuhnyatidaktampaktonjolan tulang,namunbilamana
dirabacukupmudahmerasakanadanyatulang-tulang.Tampak
atas,biasanyasudahlebihlurustampakberisi.Tulang pelvic
dorsal sedikit teraba.
BCSNilai 4- Mencitdi atas kondisistandart
Tidak tampakadanyatonjolan tulang-tulang dan bilamana
dirabaagaksulitmerasakantulang karenatebalnyatimbunan
lemak dandaging. hewan kelihaan berisidan tampak juga
lipatan-lipatan lemak dibawah kulit.
BCSNilai5-Mencitobese
Sudah sangatsulit merabatulang-tulang akibat timbunan
lemak dan dagingyangsangat tebal.

3. Cara Penanganan Hewan Uji


Sebelum memberikan obat dan mangambil spesimen pada hewan uji, kita
dituntut untuk mampu memegang dan mengendalikan hewan uji dengan benar.
Hewan uji terlindung dari rasa sakit dan cedera yang didapat bila hewan tersebut
dipegang dengan benar, selain itu bila hewan tersebut tidak dipegang dengan benar,
maka hewan tersebut dapat melukai anda. Sebelum memegang mencit dan hewan
lainnya, sebaiknya gunakan alat pelindung diri yang berupa baju laboratorium, sarung
tangan, dan masker (Stevani, 2016).
Berikut adalah tata cara untuk memegang hewan uji Mencit(Mus musculus)
menurut Stevani (2016) :
1. Mencit diangkat dengan cara memegang ekor kearah atas dengan tangan
kanan
2. Lalu letakkan mencit di letakkan di permukaan yang kasar biarkan mencit
menjangkau / mencengkeram alas yang kasar (kawat kandang).
3. Kemudian tangan kiri dengan ibu jari dan jari telunjuk menjepit kulit tengkuk
mencit seerat / setegang mungkin.

10
4. Ekor dipindahkan dari tangan kanan, dijepit antara jari kelingking dan jari
manis tangan kiri.
5. Dengan demikian, mencit telah terpegang oleh tangan kiri dan siap untuk
diberi perlakuan.
2.1.5 Cara Menganestesi dan Mengorbankan Hewan Uji
Anestesi merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan rasa sakit ketika
dilakukan pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan rasa sakit,
dalam hal ini rasa takut perlu ikut dihilangkan untuk menciptakan kondisi optimal
bagi pelaksanaan pembedahan (Sabiston, 2011).
Percobaan dengan hewan biasanya akan berakhir dengan mematikan hewan
tersebut, baik karena akan diambil organ in vitronya selama atau pada akhir
percobaan (misalnya pengamatan histologi paru), untuk menilai bagaimana efek obat
(misalnya efek toksik obat), atau karena hewan tersebut mengalami penderitaan atau
sakit dan cacat yang tidak mungkin sembuh lagi. Istilah mematikan hewan uji dikenal
sebagai euthanasia, yaitu suatu proses dengan cara bagaimana seekor hewan di bunuh
dengan menggunakan teknis yang dapat diterima secara manusiawi. Hal ini berarti
hewan mati dengan mudah, cepat, tenang dengan rasa sakit yang sedikit mungkin
(Stevani, 2016).
Untuk mencit, teknik euthanasia fisik dapat dilakukan diantaranya dengan
menggunakan cara dislokasi leher. Ekor mencit dipegang dan mencit ditempatkan
pada permukaan kasar yang bias dijangkaunya seperti kawat ram penutup
kandangnya. Secara otomatis mencit akan meregangkan badannya. Saat mencit
meregangkan badannya, pada tengkuk ditempatkan suatu penahan, misalnya pensil
atau batang logam yang dipegang dengan tangan kiri. Secara cepat, ekor mencit atau
tikus ditarik dengan tangan kanan dengan keras, sehingga lehernya akan terdislokasi
(Nugroho, 2018).
2.1.6 Rute Pemberian Obat
Menurut Rudy Nugroho (2018), teknik pemberian obat atau sediaan
tergantung dari tujuan penelitian, macam, dan sifat sediaan. Pemberian obat atau
sediaan sangat berpengaruh terhadap hasil penelitian, sehingga sangat perlu diketahui

11
teknik-tekniknya. Berikut ini akan diuraikan berbagai macam teknik pemberian obat
atau sediaan :
1. Pemberian secara oral. Percobaan dengan menggunakan hewan mencit atau
tikus, pemberian obat maupun sediaan dapat menggunakan teknik per oral.
Pemberian obat secara oral merupakan teknik paling umum dilakukan karena
relatif mudah, praktis dan murah. Namun ada beberapa kerugiannya yaitu:
banyak faktor dapat mempengaruhi bioavailabilitasnya (faktor obat, faktor
penderita dan adanya interaksi dalam absorbsi di saluran cerna). Sifat
absorbsi obat mempunyai sifat-sifat tersendiri.Teknik pemberian secara oral
ini sangat mudah dilakukan untuk hewan uji seperti mencit atau tikus. Mencit
atau tikus dipegang dengan cara yang telah diuraikan bab sebelumnya,
sehingga posisi hewan uji lurus. Suntikan oral (kanul) dapat dimasukkan ke
mulut hingga oesophagus. Posisi suntikan berkanul juga harus dalam posisi
tegak lurus. Larutan obat atau sediaan dalam suntikan berkanul ditempelkan
pada langit-langit mulut atas mencit, kemudian dimasukkan dengan hati-hati
sampai ke esofagus dan cairan obat dimasukkan.
2. Subkutan. Pemberian obat atau sediaan secara subkutan pada mencit dapat
dilakukan di bagian bawah kulit daerah tengkuk (leher bagian atas). Teknik
yang tepat adalah mencubit kulit di leher bagian atas dan kemudian obat dapat
diberikan dengan suntikan dengan sudut 45 derajat. Bagian subkutan lain yang
dapat digunakan untuk pemberian obat atau sediaan adalah kulit abdomen.
Sementara itu jarum suntik yang digunakan untuk mencit dapat menggunakan
alat suntik (syringe dan jarumnya) berukuran 1 mL atau menyesuaikan.
3. Intravena. Teknik pemberian obat atau sediaan secara intravena pada mencit
dan tikus dilakukan dengan bantuan holder atau alat bantu pemegang hewan
uji dan diusahakan ada lubang untuk ekor. Sebelum penyuntikan, ekor dapat
dimasukkan ke dalam air hangat terlebih dahulu, dengan tujuan agar
pembuluh vena ekor mengembang (dilatasi) sehingga mempermudah dalam
pemberian obat atau sediaan.
4. Intraperitonial. Teknik intraperitonial sering dilakukan mencit. Saat

12
penyuntikkan berlangsung posisi kepala hewan uji harus lebih rendah dari
bagian abdomen. Cara tersebut dapat dilakukan dengan teknik
menunggingkan hewan uji. Jarum suntik kemudian disuntikkan dengan
membentuk sudut 46 derajat dengan abdomen, sementara posisi jarum agak
menepi dari garis tengah agar tidak menusuk organ dalam seperti hepar.
5. Intramuskular. Teknik pemberian obat dengan cara intramuskular (IM)
merupakan teknik pemberian sediaan atau obat melalui jaringan otot,
umumnya di otot paha. Kecepatan dan kelengkapan adsorpsi sediaan atau obat
dipengaruhi oleh kelarutan obat dalam air. Absorpsi lebih cepat terjadi di otot
deltoid atau vastus lateralis daripada di bagian gluteus maksimus. Penyuntikan
intramuskular juga dapat dilakukan pada mencit atau tikus pada bagian
musculus yang tebal yaitu bicep femoris.
2.2 Uraian Bahan
2.2.1 Alkohol (Dirjen POM, 2020)
Nama resmi : AETHANOLUM
Nama lain : Etanol, alkohol, etil alkohol
Rumus molekul : C2H5OH
Beratmolekul : 46,07 g/mol
Rumus struktur :

CH3 OH

Pemerian : Cairan jernih tidak berwarna, mudah menguap,


bau khas
Kelarutan : Bercampur dengan air, praktis bercampur
dengan pelarut organik
Khasiat : Sebagai antiseptik, disinfektan
Kegunaan : Untuk membersihkan alat
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
2.2.2 Aquadest (Dirjen POM, 2020)
Nama resmi : AQUA DESTILATA
Nama lain : Air sulung
Rumus molekul : H2O
Beratmolekul : 18,02 g/mol

13
Rumus struktur :
O
,
H
H

Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau dan


tidak mempunyai rasa
Kelarutan : Larut dengan semua jenis larutan
Khasiat : Sebagai pelarut
Kegunaan : Untuk mengembangkan Na-CMC dan sebagai
pelarut
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
2.2.3 Na CMC (Dirjen POM, 2020)
Nama resmi : NATRII CARBOXY METHYL
CELLULOSUM 
Nama lain : Natrium karboksimetil selulosa, Na-CMC
Rumus struktur :

Pemerian : Serbuk atau butiran atau kering gading tidak


berbau atau hampir tidak berbau
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam aseton, etanol (95%),
Eter dan toluena. Mudah tersebar dalam air pada
semua suhu, membentuk jelas, larutan koloid.
Khasiat : Sebagai pengawet antimikroba
Kegunaan : Pengental atau peningkat viskositas
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
2.3 Uraian Obat
2.2.1 Furosemid (Dirjen POM, 2020)
Nama resmi : FUROSEMIDUM
Nama lain : Asam-4-kloro-N-furfuril-5-sulfamolantranilat
Rumus molekul : C12H11ClN2O5S
Berat molekul : 330,74 g/mol

14
Rumus struktur :

Pemerian : Serbuk hablur, putih atau hampir putih, tidak berbau,

hampir tidak berasa


Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air dan dalamkloroform P,
larut dalam 75 bagian etanol (95%) P dan dalam 850
bagian eter P, larutdalam larutan alkali hidroksida.
Khasiat : Antihipertensi
Kegunaan : Sebagai kontrol positif
Penyimpanan : Ditempat tertutup
2.2.2 Hidroklorotiazidum (Dirjen POM,2020)
Nama resmi : HYDROCHORTHIAZIDINCOMPERSSI
Nama lain : Tablet hidroklorotiazid, tablet HCT
Rumus molekul : C7H8ClN3O4S2
Berat molekul : 297,74 g/mol
Rumus struktur :

Pemerian : Serbuk hablur, putih atau hampir putih tidak


berbau, agak pahit.
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, dalam kloroform P, dan
dalam eter p, larut dalam 200 bagian etanol (95%) P,
dan dalam 20 bagian aseton P, larut dalam larutan
alkali hidroksida.
Khasiat : Antihipertensi
Kegunaan : Sebagai kontrol positif

15
Penyimpanan : Ditempat tertutup
2.2.3 Spironolakton (Dirjen POM, 2020)
Nama resmi : SPIRONOLACTONUM
Nama lain : Spironolakton
Rumus molekul : C24H32O4S
Berat molekul : 416,60 g/mol
Rumus struktur :

CH3 OH

Pemerian : Serbuk, kuning tua, tidak berbau atau berbau atau


berbau asam tiosetat lemah, rasa agak pahit.
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, larut dalam 80 bagian
etanol (95%) dalam bagian kloroform P dan dalam
100 bagian eter P.
Khasiat : Antihipertensi
Kegunaan : Sebagai kontrol positif
Penyimpanan : Ditempat tertutup

16
2.4 Uraian Hewan Coba
2.4.1 Klasifikasi Hewan Coba
Menurut Widyawaty et al (2018) :
Kingdom : Animalia

Fillum : Chordata

Kelas : Mamalia
: Theria
Ordo : Rodentia Gambar 1.1
Mus musculus

Famili : Muridae
Genus : Mus

Spesies : Mus musculus


2.4.2 Morfologi Hewan Coba
Mencit mempunyai ukuran dan berat badan yang lebih kecil daripada
tikus. Strain yang digunakan saat ini adalah galur Mus musculus domesticus,
Mm. musculus, dan Mm. molossius beserta turunan dari masing-masing
substrain tersebut. Mencit merupakan hewan yang paling banyak digunakan sebagai
hewan model laboratorium dengan kisaran penggunaan antara 40–80%. (Rejeki,
2018).
Mencit banyak digunakan sebagai hewan laboratorium, khususnya digunakan
dalam penelitian biologi. Mencit mempunyai banyak keunggulan sebagai hewan
coba, di antaranya siklus hidup yang relatif pendek, jumlah anak per kelahiran
banyak, variasi sifat-sifatnya tinggi, dan mudah dalam penanganannya. Mencit ini
merupakan omnivora alami, sehat, kuat, prolific (mampu beranak banyak), kecil, dan
jinak. Selain itu, binatang ini mudah didapat dengan harga relatif murah dengan biaya
ransum yang rendah. Mencit tidak terlalu agresif, tetapi kadang-kadang bisa
menggigit bila seseorang mencoba meraihnya atau menahannya. Mencit sering

17
menunjukkan perilaku menggali dan bersarang. Tingkah laku tersebut membantu
mencit mempertahankan suhu tubuhnya (Rejeki, 2018).
Mencit memiliki rambut yang berwarna keabu-abuan atau putih. Mencit
memliki mata berwarna merah atau hitam, kulit berpigmen dan memiliki warna perut
sedikit pucat. Mencit dewasa pada umur 35 hari dan memiliki waktu kehamilan 19-21
hari. Mencit dapat melahirkan 6-15 ekor. Mencit jantan dan betina siap melakukan
kopulasi pada umur 8 minggu. Siklus estrus atau masa birahi 4-5 hari dengan lama
estrus 12-14 jam. Fase estrus dimulai antara pukul 16.00-22.00 WIB. Proses
persetubuhan mencit jantan dan betina untuk tujuan fertilisasi atau disebut dengan
kopulasi terjadi pada saat estrus, dengan fertilisasi 2 jam setelah kopulasi. (Bella
Dheta, 2017).

18
BAB III
METODE PRAKTIKUM
3.1 Tempat dan Waktu Pelaksanaan
Praktikum Farmakologi & Toksikologi II dengan judul “Efek Obat Diuretik
Pada Hewan Coba” dilaksanakan pada hari Selasa, 9 November 2021 pukul 11.00-
selesai, bertempat di Laboratorium Farmakologi, Jurusan Farmasi, Fakultas Olahraga
dan Kesehatan, Universitas Negeri Gorontalo.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Adapun alat-alat yang digunakan dalam pelaksanaan praktikum kali ini, yaitu
batang pengaduk,beaker glass, dispo, gelas ukur, pot salep, sonde oral, timbangan,
dan wadah urinasi.
3.2.2 Bahan
Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam pelaksanaan praktikum kali ini,
yaitu alkohol 70%, aquadest, Na-CMC, kertas perkamen, tablet furosemide, tablet
HCT, tablet spironolakton, dan tisu.
3.2.3 Hewan Coba
Pada praktikum kali ini hewan yang digunakan yaitu mencit (Mus musculus)
dengan berat badan antara 20 g – 30 g berumur antara 6 – 8 minggu.
3.3 Cara Kerja
3.3.1 Pembuatan Na-CMC 1%
1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
2. Dibersihkan alat yang akan digunakan menggunakan alkohol 70%
3. Dipanaskan kurang lebih 200 ml air hingga mendidih
4. Ditimbang Na-CMC sebanyak 1g menggunakan neraca analitik
5. Dilarutkan Na-CMC kedalam gelas beaker 300 ml lalu ditambahkan 50 ml air
panas
6. Diaduk sampai campuran tersebut homogeny yang ditandai dengan tidak
nampaknya lagi serbuk berwarna putih dan campuran berupa seperti gel.

19
7. Ditambahkan air panas sedikit demi sedikit sambil diaduk hingga volume
larutan tersebut menjadi 100 ml, lalu didinginkan.
3.3.2 Pembuatan Suspensi HCT
1. Diambil tablet HCT dan digerus halus
2. Dimasukkan serbuk HCT kedalam gelas beaker
3. Ditambahkan10 ml Na-CMC dan diaduk homogen
3.3.3 Pembuatan Suspensi Furosemid
1. Diambil tablet furosemide dan digerus halus
2. Dimasukkan serbuk furosemide kedalam gelas beaker
3. Ditambahkan 10 ml Na-CMC kedalam gelas beaker
3.3.4 Pembuatan Suspensi Spironolakton
1. Diambil tablet spironolakton dan digerus halus
2. Dimasukkan serbuk spironolakton kedalam gelas beaker
3. Ditambahkan 10 ml Na-CMC kedalam gelas beaker
3.3.5 Perlakuan pada hewan coba
1. Ditimbang berat badan tiap mencit (4 ekor)
2. Dibagi mencit kedalam 4 kelompok yaitu, kontrol, HCT, Furosemid, dan
Spironolakton
3. Diberikan obat pada masing-masing mencit secara oral
4. Diletakkan mencit pada kandang khusus untuk menampung urin
5. Diukur urin mencit selama 90 menit dengan mencatat volume. Dilakukan tiap
30 menit
6. Dicatat hasil pada tabel hasil pengamatan.

20
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Tabel Pengamatan
Tabel 1 : Hasil pengukuran volume urin mencit
Kelompok Perlakuan
Menit ke- Kontrol Furosemide Spironolakton Hidroklortiazid
(mL) (mL) (mL) (mL)
30 0,01 0,35 0 0

60 0,01 0,28 0 0

90 0 0 0 0

4.2 Perhitungan Dosis


1. Furosemide
Dosis lazim manusia = 40 mg
Konversi dosis untuk mencit 20 g = 40 mg × 0,0026
= 0,104 mg
29 g
Untuk mencit 29 g = ×0, 104 mg
20 g
= 0,1508 mg
Dosis Furisemide dalam volume = 1 mL
Larutan persediaan = 10 mL
10
Jumlah Furosemide = × 0, 1508 mg
1
= 1,508 mg
= 0,001508 g
1,508 mg
Tablet Furosemide = × 0,1515 g
40 mg
= 0.005711 g
2. Spironolakton

21
Dosis lazim manusia = 25 mg
Konversi dosis untuk mencit 20 g = 25 mg × 0,0026
= 0,065 mg
31 g
Untuk mencit 31 g = ×0, 065 mg
20 g
= 0,10075mg
Dosis Spironolakton dalam volume = 1 mL
Larutan persediaan = 10 mL
10
Jumlah Spironolakton = × 0, 10075 mg
1
= 1,0075 mg
= 0,0010075 mg
1,0075 mg
Tablet Spironolakton = × 0,23 g
25 mg

= 0.009269 g
3. Hidroklorotiazid
Dosis lazim manusia = 25 mg
Konversi dosis untuk mencit 20 g = 25 mg × 0,0026
= 0,065 mg
31 g
Untuk mencit 31 g = ×0, 065 mg
20 g
= 0,10075mg
Dosis Hidroklorotiazid dalam volume = 1 mL
Larutan persediaan = 10 mL
10
Jumlah Hidroklorotiazid = × 0, 10075 mg
1
= 1,0075 mg
= 0,0010075 mg
1,0075 mg
Tablet Hidroklorotiazid = × 0,1547 g
25 mg
= 0.006234 g

22
4.3. Pembahasan
Diuretik adalah obat yang dapat menambahkan kecepatan pembentukan urine
Dytha, 2020. Menurut literatur Erlinda, Dwi. 2017 Diuretik ialah obat yang dapat
meningkatkan kecepatan aliran urin dan ekskresi natrium dan klorida (NaCl). Istilah
diuresis mempunyai dua pengertian, pertama menunjukan adanya penambahan
volume urin yang diproduksi dan yang kedua menunjukan jumlah pengeluaran
(kehilangan) zat-zat terlarut dan air.
Prinsip percobaan adalah Efek obat diuretik dapat diamati dengan
meningkatkan frekuensi urinasi dan volume urin pada hewan coba.Volume urindi
tampung dalam dispo dan diukur setiapkali mencit putih jantanmengeluarkan urin,
kemudian volume urin dijumlah setelah 30 menit. Sampel obat yang digunakan
adalah tablet furosemid, tablet spironolakton dan tablet hidroklortiazid.
Sebelum dilakukan percobaan mencit (Mus musculus) di puasakan terlebih
dahulu. Menurut Novitasari dan Puspitasari (2021), dalam penelitianya mengatakan
bahwa sebelum perlakuan, masing masing tikus putih jantan dipuasakan selama12-18
jam. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kemungkinan adanya pengaruh
makanan terhadap kandungan bahan berkhasiattumbuhan ekstrak etanoldaun alpukat
yang dapat mempengaruhi efek diuretik yang ditimbulkan.
Ditimbang berat badan mencit. Pengujian dilakukan pada 4 kelompok
perlakuan dimana mencit pertama digunakan sebagai kelompok kontrol negatif
diberikan Na CMC dan mencit kedua, ketiga dan keempat digunakan sebagai
kelompok kontrol positif diberikan tablet furosemid, spironolakton dan
hidroklortiazid. Dimana berat badan mencit secara berturut-turut adalah 29 gram, 30
gram dan 31 gram.
Perlakuan mencit pada kelompok pertama sebagai kontrol negatif diberikan Na
CMC 1%. Pemberian Na CMC digunakan sebagai pembanding dan tidak
memberikan efek diuretik pada mencit. Menurut Motong (2017), dalam penelitianya
hasil didapatkan bahwa pada kontrol negatif (Na CMC) memiliki volume urin yang
rendah dibandingkan control positif (Furosemid) dan kelompok 3, 4, dan 5. Hal ini
disebabkan karena kontrol negatif tidak terkandung zat aktif yang dapat

23
meningkatkan volume urin sehingga menyebabkan ekskresi urin yang keluar sedikit.
Dalam percobaan ini pemberian Na CMC didapatkan volume urin pada menit ke 30
sebesar 0,01 ml, menit ke 60 sebesar 0,01 ml dan menit ke 90 tidak didapatkan hasil
urin.
Perlakuan pada kelompok kedua sebagai kontrol positif diberikan Furosemid.
Dari data yang diperoleh furosemid memiliki efek diuretik dalam ekskresi urin
mencit. Menurut rahmi dan maulidya, 2017 Mekanisme furosemid bekerja dengan
cara meningkatkan laju kecepatan glomerulus dan menghambat reabsorpsi Na+ dan
Cl sehingga menyebabkan peningkatan Na+ dan air dalam tubulus. Dimana menurut
Apani (2020), furosemid adalah salah satu golongan diuretik ansa (loop diuretics).
Mekanisme kerja dari golongan diuretik ansa (loop diuretics) adalah obat tersebut
menghambat sistem transport gabungan Na+ /K+ /2Cl pada membran luminal cabang
meningkat yang tebal pada ansa Henle. Dengan menghambat transporter tersebut,
diuretika ansa menurunkan reabsorpsi NaCl dan juga menurunkan potensial positif
lumen normal yang berasal dari daur ulang K+. Diuretika ansa, dengan menurunkan
potensial positiflumen, menyebabkan suatu peningkatan Mg2+ dan Ca2+. Penggunaan
dalam jangka panjang dapat menyebabkan hipomagnesemia pada beberapa pasien.
Karena Ca2+ secara aktif direarbsorpsi hipokalsemia. Namun, pada kelainan yang
menyebabkan hiperkalsemia, ekskresi Ca2+dapat ditingkatkan dalam jumlah besar
dengan memadukan agen ansa dengan infus garam fisiologis. Efek tersebut sangat
berharga untuk penatalaksanaan akut dari hiperkalsemia. Dalam percobaan ini
pemberian furosemid didapatkan volume urin pada menit ke 30 0,35 ml, menit ke 60
sebesar 0,28 ml dan menit ke 90 tidak ada.
Perlakuan pada kelompok ketiga sebagai kontrol positif diberikan
spironolakton. Dari data yang diperoleh spironolakton tidak memiliki efek diuretik
terhadap ekskresi urin mencit. Menurut Devi, 2019, Spironolakton adalah salah satu
obat diuretik yang dapat menyebabkan bertambahnya pengeluaran urine melalui
mekanisme kerja langsung terhadap ginjal. Menurut Apani (2020), spironolakton
adalah golongan diuretika hematkalium. Mekanisme kerja golongan diuretika hemat
kalium menurunkan absorpsi Na+ pada tubulus dan duktus pengumpul. Absorpsi Na +

24
(dan sekresi K+) pada tempat tersebut diregulasi oleh aldosterone. Pada tiap laju
penghantaran Na+, laju sekresi K+ di distal secara positif berkaitan dengan kadar
aldosterone. Seperti diuraikan di depan, aldosterone meningkatkan sekresi K+ dengan
meningkatkan aktivitas Na+ /K+ ATPase dan aktivitas kanal Na+ dan K+. Absorpsi Na+
pada tubulus pengumpul menyebabkan potensial elektris negatif- lumen, yang
menyebabkan peningkatan sekresi K+. Antagonis aldosterone berpengaruh dalam
proses tersebut. Efek yang serupa teramati dengan memperhatikan pengelolaan H+
oleh tubulus pengumpul, pada penggunaan antagonis aldosterone.Dalam percobaan
ini pemberian spironolaktan didapatkan volume urin pada menit ke 30 tidak ada,
menit ke 60 tiak ada. dan menit ke 90 tidak ada.
Perlakuan pada kelompok keempat sebagai kontrol positif diberikan
hidroklortiazid. Dari data yang diperoleh hidroklortiazid tidak memiliki efek diuretik
terhadap ekskresi urin mencit. Menurut pratiwi dkk, 2019 Hidroklorthiazid memiliki
efek farmakologis yang bertahan selama 6-12 jam. Menurut Apani (2020),
spironolakton adalah golongan diuretik thiazide. Mekanisme kerja thiazide
menghambat rearbsorpsi NaCl dari sisi luminal sel epitel dalam tubulus berbelit
distalis. Diduga terdapat suatu efek ringan pada reabsorpsi NaCl pada bagian akhir
tubulus proksimal, tetapi hal tersebut tidak diamati pada tatanan klinik yang
umum.Dalam percobaan ini pemberian hidroklortiazid didapatkan volume urin pada
menit ke 30 tidak ada, menit ke 60 tidak ada, dan menit ke 90 tidak ada.
Dilihat dari hasil pengamatan, dapat disimpulkan bahwa kelompok furosemid
memiliki hasil volume urine terbanyak di antara kelompok lainnya yakni sebesar 0,63
ml. Hal ini sesuai dengan hasil pada penelitian Irvine (2017), yang menyatakan
bahwa larutan furosemide menunjukkan rerata volume urin kumulatif yang paling
banyak. Ini disebabkan karena furosemide bersifat diuretik kuat dimana furosemide
bertitik kerja di lengkungan Henle bagian menaik. Mulai kerjanya sangat pesat dan
sangat efektif pada keadaan diotak dan paru-paru. Dan jika dosis furosemide ini
dinaikkan, efek diuresisnya senantiasa bertambah.

25
Adapun kemungkinan kesalahan pada praktikum ini adalah pemberian laruatan
suspensi obat tidak selurunya masuk kedalam ubuh mencit ini dikarenakan saat
pemberian oral mencit mengeluarkan sebagian suspensi obat yang diberikan.

26
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Diuretik adalah obat yang digunakan untuk membuang kelebihan garam dan
air dari dalam tubuh melalui urine. Obat ini memiliki beberapa jenis,
yaitu loop diuretic, diuretik hemat kalium, dan thiazide. Diuretik
atau diuretic tersedia dalam bentuk obat minum atau suntik.
2. Pada praktikum ini dilakukan percobaan efek obat diuretik pada hewan coba
mencit yang dibagi menjadi 4 kelompok dan didapatkan volume urin pada
kelompok kontrol (Na CMC) sebesar 0,01 ml pada menit ke 30 dan 0,01 ml
pada menit ke 60. Pada kelompok furosemid didapatkan volume urin 0,35 ml
pada menit ke 30 dan 0,28 ml pada menit ke 60 sedangkan pada kelompok
HCT dan spironolakton tidak ada urin yang dihasilkan.
5.2 Saran
5.2.1 Saran Untuk Jurusan
Diharapkan fasilitas yang ada lebih diperhatikan. Pengadaan infrastruktur
seperti kursi, meja dan pendingin ruangan lebih dimaksimalkan.
5.2.2 Saran Untuk Laboratorium
Diharapkan agar alat dan bahan yang ada di laboratorium sebaiknya dilengkapi
dan jumlahnya diperbanyak agar praktikum dapat berjalan dengan lebih efektif dan
efisien.
5.2.3 Saran Untuk Asisten
Pertahankan keakraban dan keramahan terhadap praktikan, agar keharmonisan
didalam laboratorium tetap terjaga.
5.2.4 Saran Untuk Praktikan
Diharapkan para praktikan memahami tahapan kerja yang akan dilakukan
sehingga praktikum dapat berjalan lancar dan mendapatkan hasil maksimal.

27

Anda mungkin juga menyukai