Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PRAKTIKUM

TEKNOLOGI SEDIAAN CAIR DAN SEMI SOLID


“SUPPOSITORIA”

OLEH :
Baiq Ummi Murtafia (121524166)
Siti Amalia Wahyu Pratiwi (121524167)
Almunadia (121524168)
Mayang Sari (121524169)
Ratna (121524170)
Desi Andriani (121524171)
Akmal Farmasi (121524172)

PROGRAM STUDI : EKSTENSI FARMASI


KELOMPOK/HARI : I/SENIN
TANGGAL PERC. : 7 OKTOBER 2013

LABORATORIUM TEKNOLOGI SEDIAAN CAIR DAN SEMI


SOLID
FAKULTAS FARMASI
UNIVESITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Asma atau bengek adalah suatu penyakit alergi yang bercirikan
peradangan steril kronis yang disertai serangan sesak nafas akut secara berkala,
mudah sengal-sengal dan batuk (dengan bunyi khas). Ciri lain adalah hipersekresi
dahak yang biasanya lebih parah pada malam hari dan meningkatnya ambang
rangsang bronchi terhadap rangsangan alergis maupun non alergis (Tan dan
Rahardja, 2007).
Teofilin merupakan derivat –ksantin dan termasuk golongan obat asma
bronchodilator, pelepasan kejang dan bronchodilator dapat dicapai dengan dengan
cara merangsang sistem adrenergik dengan adrenergika atau melalui
penghambatan sistem kolinergis dengan antikolinergika atau pun teofilin. Daya
bronchorelaksasinya diperkirakan berdasarkan blokade reseptor adenosin. Selain
itu teofilin -seperti kromoglikat- mencegah meningkatnya hiperreaktivitas dan
berdasarkan ini bekerja profilaktis (Tan dan Rahardja, 2007).
Supositoria adalah sediaan padat yang digunakan melalui dubur, berbentuk
torpedo, dapat melunak, melarut atau meleleh pada suhu tubuh. Bahan dasar yang
digunakan harus larut dalam air atau meleleh pada suhu tubuh. Bahan dasar yang
sering digunakan adalah lemak cokelat (oleum cacao), polietilenglikol atau lemak
tengkawang (oleum shoreae) atau gelatin. Bobot supositoria kalau tidak
dinyatakan lain adalah 3 g untuk orang dewasa dan 2 g untuk anak (Anief, 2008).
Pada percobaan ini, dibuat obat asma yang berisi zat aktif teofilin dalam
bentuk supositoria, pembuatan obat asma dalam bentuk supositoria diharapkan
dapat memberikan alternatif pada penderita asma yang susah menelan obat saat
asmanya kambuh, penambahan benzocain dalam sediaan bertujuan untuk
memberikan anastesi lokal dibagian rektal sehingga diharapkan dapat mengurangi
rasa kurang nyaman pasien dalam menggunnakan obat supositoria ini.
1.2. Prinsip
Pembuatan sediaan obat Benzocain,Theophyllin dalam bentuk supposirtoria
yang bekerja denga cara meleleh pada suhu tubuh, dengan menggunakan oleum
cacao sebagai dasar suppositoria yang dilarutkan diatas water batch dengan suhu
maksimum 39˚C.

1.3. Tujuan
1. Mengetahui dan memahami cara pembuatan suppositoria
2. Mengetahui cara mengevaluasi suppositoria
3. Mengetahui persyaratan suppositoria
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian
Suppositoria adalah sediaan padat dalam berbagai bobot dan bentuk, yang
diberikan melalui rektal, vagina atau uretra.Umumnya meleleh, melunak atau
melarut pada suhu tubuh.Dapat bertindak sebagai pelindung jaringan setempat dan
sebagai pembawa zat terapeutik yang bersifat lokal atau sistemik (Depkes
RI,1995).
Supositoria adalah sediaan padat yang digunakan melalui dubur, berbentuk
torpedo, dapat melunak, melarut atau meleleh pada suhu tubuh (Anif, 1997).
2.2. Penggolongan Suppositoria
Berdasarkan tempat penggunaannya suppositoria dapat digolongkan sebagai
berikut :
1. Suppositoria rektal, sering disebut sebagai supositoria saja, berbentuk peluru,
digunakan lewat rektum atau anus. Suppositoria rektal berbentuk torpedo
mempunyai keunggulan, yaitu jika bagian yang besar masuk melalui jaringan
otot penutup dubur, suppositoria akan tertarik masuk dengan sendirinya.
Menurut FI III bobotnya antara 2 – 3gram, yaitu untuk dewasa 3gram dana
anak 2gram, sedangkan menurut FI IV kurang lebih 2gram.
2. Suppositoria vaginal (ovula), berbentuk bola lonjong seperti kerucut,
digunakan lewat vagina. Menurut FI III beratnya antara 3 – 6gram, umumnya
5gram.
3. Suppositoria uretra (bacilla, bougies), digunakan lewat uretra, berbentuk
batang dengan panjang antara 7 – 14 cm.
(Syamsuni, 2007)

2.3. Tujuan Penggunaan Obat Bentuk Suppositoria


1. Untuk pengobatan lokal, baik didalam rektum, vagina , uretra, seperti pada
penyakit haemoroid/wasir/ambeien dan infeksi lain.
2. Cara rektal juga digunakan untuk distribusi sistemik, karena dapat diserap oleh
membran mukosa dalam rektum.
3. Jika penggunaan obat secara oral tidak memungkinkan, misalnya pada pasien
yang mudah muntah atau tidak sadarkan diri.
4. Aksi kerja awal akan cepat diperoleh, karena obat diabsorpsi melalui mukosa
rektum dan langsung masuk kedalam sirkulasi darah.
5. Agar terhindar dari perusakan obat oleh enzim didalam saluran gastrointestinal
dan perubahan obat secara biokimia didalam hati.
(Syamsuni, 2007)
2.4. Keuntungan Penggunaan sediaan Suppositoria
Penggunaan obat dalam suppositoria ada keuntungannya dibanding
penggunaan obat per oral, yaitu :
1. Dapat menghindarai terjadinya iritasi pada lambung
2. Dapat menghindari kerusakan obat oleh enzim pencernaan
3. Langsung dapat masuk saluran darah berakibat akan memberi efek lebih cepat.
4. Bagi pasien yang mudah muntah atau tidak sadar.
(Anif, 1997)
2.5. Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi obat per rectal
1. Faktor-faktor fisiologis
Rectum mengandung sedikit cairan dengan pH 7,2 dan kapasitas daparnya
rendah. Epitel rectum keadaannya berlipoid, maka diutamakan permeabel
terhadap obat yang tak terionisir. Jumlah obat yang diabsorpsi dan langsung
masuk peredaran darah umumnya tergantung di mana obat itu dilepas dalam
rectum.
Konsentrasi obat di dalam darah tergantung dari faktor
a. Pelepasan obat dari basis
b. Difusi obat melalui mukosa, lalu diangkut melalui vena dan saluran limfe ke
dalam peredaran darah
c. Detoksifikasi atau metabolisme
d. Distribusi di dalam cairan jaringan
e. Kemungkinan terjadinya ikatan protein baik di dalam darah dan cairan
jaringan

Secara skematis digambarkan

Plasma protein
rektum Darah Cairan
jaringan
Suppositoria Metabolisme obat Urine

2. Faktor-faktor fisika kimia dari obat dan basis


a. Kelarutan obat
Pelepasan obat dari basis tergantung pada PC = “PARTITION Coefficient”
lipid air dari obat. Artinya obat yang sangat larut di dalam basis lipid dan
konsentrasinya rendah mempunyai tendensi kecil untuk difusi didalam
cairan rectal. Dan obat larut dalam basis lipid dan konsentrasinya tinggi
akan segera masuk di dalam cairan rektal. Maka garam Barbital Na akan
segera diabsorpsi bila digunakan basis oleum Cacao
b. Konsentrasi obat dalam basis
Difusi obat dari basis suppositoria merupakan fungsi konsentrasi obat dan
sifat kelarutan obat dalam basis. Pengangkutan melintasi mukosa rektum
adalah proses difusi sederhana, maka bila konsentrasi obat dalam cairan
rektal naik maka absorpsi bagi bentuk obat yang tidak terdisosiasi
c. Ukuran partikel
Bila kelarutan obat dalam air terbatas, dan tersuspensi di dalam basis
suppositoria, maka ukuran partikel akan mempengaruhi kecepatan larut dari
obat ke cairan rektal
d. Basis suppositoria
Obat yang larut dalam air dan berada dalam basis lemak akan dilepas segera
ke cairan rektal bila basis cepat melepas setelah masuk kedalam rektum, dan
obat akan segera diabsorpsi serta onset dari aksi obat akan segera nyata.
(Anief, 1993)

Waktu hancur dari suppositoria

Basis Waktu hancur

PEG 1000 15 menit

Oleum Cacao 3 menit

2.6. Bahan Dasar Supositoria


Analog dengan basis salep, basis supositoria memainkan peranan penting
dalam penglepasan obat yang dikandungnya dan oleh sebab itu pula tersedianya
obat untuk diabsorpsi untuk efek sistemik maupun efek lokal. Tentunya salah satu
persyaratan pertama bagi suatu basis supositoria adalah basis yang selalu padat
dalam suhu ruangan tetapi akan melunak, melebur atau melarut dengan mudah
pada suhu tubuh sehingga obat yang dikandungnya dapat sepenuhnya didapat
segera setelah dimasukkan (Ansel, 2005).

Klarifikasi Basis Supositoria


Untuk tujuan penting selayaknya basis supositoria dibagi menurut sifat
fisiknya ke dalam dua kelompok: (1) basis bersifat minyak atau berlemak; (2)
basis yang larut dalam air atau dapat bercampur dengan air; (3) basis-basis
lainnya, umumnya merupakan kombinasi dari bahan-bahan lipofilik dan hidrofilik
(Ansel, 2005).
1. Basis berminyak atau berlemak
Basis berlemak merupakan basis yang paling banyak dipakai, karena pada
dasarnya oleum cacao termasuk kelompok ini, utama dan kelompok ketiga
merupakan golongan basis-basis lainnya. Di antara bahan-bahan berminyak atau
berlemak lainnya yang biasa digunakan sebagai basis supositoria: macam-macam
asam lemak yang dihidrogenasi dari minyak nabati seperti minyak palem dan
minyak biji kapas (Ansel, 2005).
Oleum cacao, USP, didefinisikan sebagai lemak yang diperoleh dari biji
Theobroma cacao yang dipanggang. Pada suhu kamar, kekuning-kuningan, putih
padat sedikit redup, berbau seperti coklat. Secara kimia adalah trigliserida
(campuran gliserin dan satu atau lebih asam lemak yang berbeda), terutama
oleopalmitostearin atau oleodistearin. Karena oleum cacao meleleh antara 30 0
sampai 360C, merupakan basis supositoria yang ideal, yang dapat melumer pada
suhu tubuh tapi tetap dapat bertahan sebagai bentuk padat pada suhu kamar biasa.
Akan tetap, oleh karena kandungan trigliserida nya, oleum cacao menunjukkan
sifat polimorfisme, atau keberadaan zaat tersebut dalam berbagai bentuk kristal.
Oleh karena itu bila oleum cacao tergesa-gesa atau tidak hati-hati dicairkan pada
suhu yang melebihi suhu minimumnya, lalu segera didinginka, maka hasilnya
berbentuk kristal mentastabil (suatu bentuk kristal) dengan titik levbur yang lebih
rendah dari titik lebur oleum cacao asalnya. Bahan-bahan seperti fenol dan
kloralhidrat cenderung menurunkan titik lebur dari oleum cacao sewaktu
bercampur dengan bahan tersebut (Ansel, 2005).
2. Basis yang larut dalam air dan basis yang bercampur dengan air
Merupakan kumpulan yang penting dari kelompok ini adalah gelatin
gliserindan basis polietilen glikol. Basis gelatin gliserin, paling sering digunakan
dalam pembuatan supositoria vagina dimana memang diharapkan efek setempat
yang cukup lama dari unsur obatnya, basis gelatin gliserin lebih lambat melunak
dan bercampur dengan cairan tubuh daripada oleum cacao dan oleh karena itu
waktu penglepasan bahan obatnya lebih lama (Ansel, 2005).
Oleh karena itu basis supositoria gelatin gliserin cenderung menyerap uap
air, akibat sifat gliserin yang higroskopis, maka basis ini harus dilindungi dari
udara lembap, supaya terjaga bentuk dan konsistensi supositorianya. Juga karena
sifat gliserin yang higroskopis, supositoria ini menunjukkan pengaruh dehidrasi
dan iritasi terhadap jaringan waktu penggunaannya. Adanya air dalam formula
supositoria akan mengurangi kerjany, tetapi untuk mengurangi kecenderungan
basis tersebut menarik air dari membran mukosa dan merangsang jaringan tubuh
(Ansel, 2005).
Supositoria dengan PEG tidak melebur ketika terkena suhu tubuh, tetapi
perlahan-lahan melarut dalam cairan tubuh. Oleh karena itu basis ini tidak perlu
diformulasi supaya melebur pada suhu tubuh. Jadi adalah mungkin, dan
kenyataannya rutin dikerjakan, untuk menyiapkan supositoria dengan campuran
PRG yang mempunyai titik lebur lebih tinggi daripada suhu tubuh (Ansel, 2005).

3. Basis lainnya
Dalam kelompok basis lain ini termasuk campuran bahan bersifat seperti
lemak dan yang larut dalam air atau bercampur dengan air. Bahan-bahan ini
mungkin berbentuk zat kimia atau campuran fisika. Beberapa di antaranya
berbentuk emulsi, umumnya dari tipe air dalam minyak atau mungkin dapat
menyebar dalam cairan berair. Salah satu dari bahan ini adalah polioksil 40 stearat
suatu zat aktif pada perdagangan. Polioksil 40 stearat adalah campuran ester
monostearatdan distearat dari polioksietilendiol dan glikol bebas. Bahan ini
menyerupai lilin, putih, kecoklat-coklatan, padat dan larut dalam air. Umumnya
mempunyai titik leleh antara 390C dan 450C. Basis ini mempunyai kemampuan
menahan air atau larutan berair dan kadang-kadang digolongkan sebagai basis
supositoria yang ‘hidrofilik’ (Ansel, 2005).

2.7. Pembuatan Suppositoria


Suppositoria dibuat dengan tiga metode yaitu mencetak hasil leburan,
kompressi, dan digulung dan dibentuk dengan tangan. Metode yang sering
digunakan dalam pembentukkan suppositoria baik dalam skala kecil maupun skala
industry adalah dengan pencetakan. (Ansel, 2005).

1. Pembuatan Dengan Cara Mencetak.


Pada dasarnya langkah – langkah dalam metode pencetakkan termasuk :
a. Melebur basis,
b. Mencampurkan bahan obat yang diinginkan,
c. Menuang hasil leburan kedalam cetakan,
d. Membiarkan leburan menjadi dingin dan mengental menjadi suppositoria,
e. Melepaskan suppositoria dengan oleum cacao, gelatin gliserin, polietilen
glikol, dan banyak basis suppositoria lainnya yang cocok dibuat dengan
cara mencetak. (Ansel, 2005).

Cetakan Suppositoria
Cetakan suppositoria terdapat di pasaran dengan kemampuan produksi satu
per satu atau sejumlah tertentu supositoria dari berbagai bentuk dan ukuran. Untuk
membuat suppositoria satu per satu bisa digunakan cetakan dari plastic. Cetakan –
cetakan lainnya seperti yang umum terdapat di Apotek dapat menghasilkan
suppositoria 6, 12 atau lebih dalam 1x pembuatan. Cetakan yang digunakan di
industry menghasilkan ratusan suppositoria dari suatu pencetak tunggal. Cetakan
yang umum digunakan sekarang terbuat dari stainless steel, aluminium, tembaga
atau plastik. (Ansel, 2005).
Pelumasan Cetakan
Tergantung pada formulasinya, cetakan suppositoria mungkin memerlukan
pelumasan sebelum leburan dituangkan kedalamnya, supaya bersih dan
memudahkan terlepasnya suppositoria dari cetakan. Pelumasan jarang dilakukan
bagi suppositoria dengan basis oleum cacao atau PEG, karena bahan ini cukup
menciut begitu dingin dalam cetakan, sehingga akan terlepas dari permukaan
cetakan dan mudah dikeluarkannya. Pelumasan biasanya diperlukan bilamana
membuat suppositoria dengan basis gelatin gliserin. Lapisan tipis dari minyak
mineral dioleskan dengan jari pada permukaan cetakan, biasanya cukup untuk
suatu pelumasan. Harus diingat bahwa bahan – bahan yang mungkin
menimbulkan iritasi terhadap membran mukosa seharusnya tidak digunakan
sebagai bahan pelumas suppositoria. (Ansel, 2005).
Kalibrasi Cetakan
Penting bagi para ahli farmasi untuk mengkalibrasi setiap cetakan
supositoria untuk basis yang biasanya digunakan (umumnya basis oleum cacao
dan PEG) supaya mereka siap membuat suppositoria yang mengandung obat,
untuk setiap jumlah obat yang tepat ukurannya. Langkah pertama dalam kalibrasi
cetakan, yaitu membuat dan mencetak suppositoria dari basis saja. Cetakan
dikeluarkan dari cetakan rata – ratanya (bagi pemakaian basis tertentu). Untuk
menentukan volume cetakan suppositoria tadi lalu dilebur dengan hati – hati
dalam gelas ukur dan volume leburan ini ditentukan untuk keseluruhan dan rata –
ratanya. (Ansel, 2005).

Penetapan Jumlah Basis Yang Diperlukan


Dalam penentuan jumlah basis yang akan dicampur dengan obat, ahli
farmasi harus menentukan jumlah obat yang dibutuhkan untuk memenuhi tiap
suppositoria, karena volume dari cetakan diketahui (dari penetapan volume
pencairan suppositoria yang dibuat dari basis), volume dari bahan obat
dikurangkan dari volume total cetakan akan memberikan volume basis yang
diinginkan. (Ansel, 2005).

2. Pembuatan secara menggulung dan membentuk dengan tangan.


Dengan terdapatnya cetakan supossitoria dalam macam – macam ukuran
dan bentuk, pengolahan suppositoria dengan tangan oleh ahli farmasi sekarang
rasanya hampir tidak pernah dilakukan. Namun demikian melinting dan
membentuk susppositoria dengan tangan merupakan bagian dari sejarah seni para
ahli farmasi. (Ansel, 2005).

2.8. Pengemasan Dan Penyimpanan


Suppositoria gliserin dan supossitoria gelatin gliserin umumnya dikemas
dalam wadah gelas ditutup rapat supaya mencegah perubahan kelembapan dalam
isi suppositoria. Suppositoria yang diolah dengan basis oleum cacao biasanya
dibungkus terpisah – pisah atau dipisahkan satu sama lainnya pada celah – celah
dalam kotak untuk mencegah terjadinya hubungan antarsuppositoria tersebut dan
mencegah perekatan. Suppositoria dengan kandungan obat yang sedikit pekat
biasanya dibungkus satu per satu dalam bahan yang tidak tembus cahaya seperti
lembaran metal (alufoil). (Ansel, 2005).
Karena suppositoria tidak tahan pengaruh panas, maka perlu menjaga dalam
tempat yang dingin. Suppositoria yang basisnya oleum cacao harus disimpan
dibawah 30oF, dan akan lebih baik bila disimpan dalam lemari es. Suppositoria
gelatin gliserin baik sekali bila disimpan dibawah 30 oF. Suppositoria dengan basis
polietilen glikol mungkin dapat disimpan dalam suhu ruangan biasa tanpa
pendinginan. Suppositoria yang disimpan dalam lingkungan yang kelembapan
nisbinya tinggi, mungkin akan menarik uap air dan cenderung menjadi seperti
spon, sebaliknya bila dismpan dalam tempat yang kering sekali mungkin akan
kehilangan kelembapannya sehingga akan menjadi rapuh. (Ansel, 2005).
BAB III
METODE PERCOBAAN

3.1. Alat
- Mortir dan stamper
- Beker glass
- Batang pengaduk
- Cawan penguap
- Thermometer
- Aluminium voil
- Spatula
- Timbangan analitik
- Anak timbangan
- Pencetak suppositoria
- kulkas
- Kertas perkamen
- Sudip
- serbet
3.2. Bahan
- Benzocain
- Theophyllin
- Ol. Cacao
- Parafin
3.3. Golongan Obat
3.4. Formula
R/ Benzocain 0,500
Theophyllin 0,500
Dasar supp qs
m.f.supp.dtd.No. III
s.I dd supp I
#
Pro : Tn.Jalal
3.5. Penimbangan
 Benzocain 3 X 0,500g = 1,5 gram
 Theophyllin 3 X 0,500g = 1,5 grama
 Oleum cacao 3 X 3 = 9 – 3g = 6 gram
3.6. Prosedur Pembuatan
a. Pembuatan Sediaan
1) Ditimbang semua bahan
2) Bahan obat digerus homogen
3) Dasar suppositoria dilarutkan dalam wadah yang diletakkan diatas
water batch dengan suhu maksimum 39˚C
4) Campurkan bahan obat sedikit demi sedikit dengan dasar
suppositoria yang sudah larut sambil di aduk sampai homogen
diatas water batch
5) Masukkan bahan yang sudah homogen tersebut kedalam cetakan
(cetakan diolesi sedikit parafin).
6) Cetakan di masukkan kedalam freaser ± 20 menit
7) Lakukan pengujian evaluasi sediaan
8) Sediaan dikemas dalam wadal al.foil

b. Evaluasi Sediaan
 Uji Keseragaman Bobot
1) Timbang semua sediaan suppositoria (A)
A
2) Hitung bobot rata-rata = (B)
n
3) Timbang sediaan satu persatu (C)
4) Hitung persen penyimapangan berat sediaan dengan Rumus

B C
penyimpangan = X 100%
B
Syarat : Menurut USP tidak boleh lebih dari dua suppositoria
mempunyai persen penyimpangan bobot > 5% dan tidak
satupun suppositoria mempunyai persen penyimpangan
bobot >10%
 Penentuan Titik Leleh
Menggunakan alat khusus seperti thermometer tetapi tidak sama
 Uji Homogenitas
Suppositoria dibelah menjadi dua bagian,pembelahan dilakukan
satu arah dan amati homogenitas bahan.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. HASIL
Diperolah sediaan suppositoria dengan bobot rata-rata 2,72 gram dengan
penyimpanga bobot 2,941%; 2,57%; 2,57% memenuhi persyaratan. Penentuan
titik leleh pada suhu 37,8˚C .

4.2. PERHITUNG AN
1. Bobot rata-rata
Bobot keseluruhan sediaan Suppositoria (3 sediaan) 8,1 gram
8,1gram
Bobot rata-rata =  2,72 gram
3
2. Persen Penyimpangan
 Sediaan 1 = 2,8 gram
2,72 g  2,8 g
Persen Penyimpangan = X 100%  2,941%
2,72 g
 Sediaan 2 = 2,65 gram
2,72 g  2,65 g
Persen Penyimpangan = X 100%  2,57%
2,72 g
 Sediaan 3 = 2,65 gram
2,72 g  2,65 g
Persen Penyimpangan = X 100%  2,57%
2,72 g

4.3. PEMBAHASAN
Percobaan yang dilakukan adalah membuat sediaan obat dalam bentuk
supositoria serta melakukan evaluasi sediaan tersebut. Bentuk sediaan sudah
sesuai dengan persyaratan. Evaluasi sediaan yang dilakukan adalah persen
penyimpangan dimana menurut persyaratan persen penyimpangan tidak boleh
lebih dari dua supositoria yang persen penyimpangannya >5% dan tidak satupun
supositoria yang persen penyimpangannya >10%, namun sediaan yang dibuat
memenuhi syarat dimana semua sediaan yang persen penyimpangannya tidak
lebih dari 10 persen. Pada saat percobaan peleburan Oleum cacao pada terjadi
pada suhu 390 sampai 400C.
Oleum cacao meleleh antara 300 sampai 360C merupakan basis supositoria
yang ideal, yang dapat melumer pada suhu tubuh tapi tetap dapat bertahan sebagai
bentuk padat pada suhu kamar biasa. Akan tetap, oleh karena kandungan
trigliserida nya, oleum cacao menunjukkan sifat polimorfisme, atau keberadaan
zaat tersebut dalam berbagai bentuk kristal. Oleh karena itu bila oleum cacao
tergesa-gesa atau tidak hati-hati dicairkan pada suhu yang melebihi suhu
minimumnya, lalu segera didinginka, maka hasilnya berbentuk kristal mentastabil
(suatu bentuk kristal) dengan titik levbur yang lebih rendah dari titik lebur oleum
cacao asalnya. (Ansel, 2005)

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

e.1. Kesimpulan
1. Pembuatan supositoria dengan basis oleum cacao yang dipanaskan pada
suhu tidak lebih dari 39oC yang ditujukan untuk rektal, biasanya
berbentuk torpedo. Memiliki keunggulan yaitu bagian yang besar masuk
melalui jaringan otot dubur, supositoria akan tertarik masuk dengan
sendirinya.
2. Uji yang dilakukan untuk mengevaluasi suppositoria yaitu uji
keseragaman bobot dan uji titik leleh.
3. Persyaratan suppositoria adalah tidak lebih dari 2 suppositoria yang
penyimpangan bobotnya tidak lebih dari 5% dan tidak lebih dari 1
suppositoria penyimpangan bobotnya tidak lebih dari 10%.

e.2. Saran
1. Sebaiknya pada saat melelehkan basis oleum cacao suhu yang digunakan
tidak lebih dari 39oC karena akan merubah titik leburnya sehingga akan
sangat sulit untuk dibekukan.
2. Saat pengisian bahan ke pencetak dilakukan dengan pelan-pelan agar
tidak terbentuk gelembung udara di dalam supositoria yang akan
membentuk rongga-rongga kosong, yang akan berakibat berkurangnya
bobot dan hasil yang kurang bagus.
3. Waktu pada saat pencetakan sebaiknya lebih lama agar diperoleh
suppositoria yang baik.
4. Pada saat penimbangan bahan dilakukan dengan benar dan tepat agar
suppositoria yang diperoleh memenuhi syarat.

DAFTAR PUSTAKA

Ansel, Howard C. (2005). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta : Penerbit


UI Press.

Departemen Kesehatan RI. (1995). Farmakope Indonesia, Edisi IV. Jakarta :


Depkes RI.

Syamsuni, H.A. (2007). Ilmu Resep. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Anief, Moh. (1993. Farmasetika. Yogjakarta : Gadjah Mada University Press.

Anief, Moh. (1997). Ilmu Meracik Obat. Yogjakarta : Gadjah Mada University
Press

Anda mungkin juga menyukai