1. TETRASIKLIN
1.1. ASAL DAN KIMIA
Antibiotic golongan tetrasiklin yang pertama ditemukan ialah klortetrasiklin yang dihasilkan
oleh Streptomyces aureofaiens. Kemudian ditemukan oksitetrasiklin dari Streptomyces rimosus.
Tetrasiklin sendiri dibuat secara semisintetik dari klortetrasiklin, tetapi juga dapat diperoleh dari
spesies Streptomyces lain.
Tetrasiklin merupakan basa yang sukar larut dalam air, tetapi bentuk garam natrium atau
garam HCI-nya mudah laur. Dalam keadaan kering, bentuk basa dan garam HCI tetrasiklin bersifat
relative stabil. Dalam larutan, kebanyakan tetrasiklin sangat labil sehingga cepat berkurang
potensinya.
Jenis Gugus
tetrasiklin R1 R2 R3
1. Klortetrasiklin -CI -CH3, -OH -H, -H
2. Oksitetrasiklin -HI -CH3, -OH -OH, -H
3. Tetrasiklin -H -CH3, -OH -H, -H
4. Demeklosiklin
-CI -H, -OH -H, -H
5. Doksisiklin
6. Minosiklin -H -CH3, -H -OH, -H
-N(CH3)2 -H, -H -H, -H
-
Gambar 43-2. Struktur kimia tegasiklin
1.2. FARMAKODINAMIK
Golongan tetrasiklin menghambat sintesis protein bakteri pada ribosomnya. Paling sedikit
terjadi 2 proses dalam masuknya antibiotic ke dalam ribosom bakteri Gram-negatif; pertama seara
difusi pasif melalui kenal hidrofilik, kedua melalui sistem transport aktif. Setelah masuk antibiotik
berikatan secara reversibel dengan ribosom 30S dan menegah ikatan tRNA-aminoasil pada kompleks
mRNA ribosom.hal tersebut menegah perpanjangan rantai peptida yang sedang tumbuh dan berakibat
terhentinya sintesis protein.
EFEK ANTIMIKROBA
Golongan tetrasiklin termasuk antibiotik yang terutama bersifat bakteriostatik. Hanya mikroba
yang cepat membelah yang dipengaruhi obat ini.
Spektrum golongan tetrasiklin umumnya sama sebab mekanisme kerjanya sama, namun
terdapt perbedaan kuantitatif dari aktivitas masing-masing devirat terhadap kuman tertentu.
Tetrasiklin dapat digunakan sebagai pengganti pensilin dalam pengobatan infeksi batang
Gram-positif seperti B. anthracis, Erysipelothrix rhusiophatiae, Clostridium tetani dan Listeria
monocytogenes.
Tetrasiklin juga merupakan obat yang sangat efektif untuk infeksi Mycoplasma pneumonia,
Chlamydia psittai, dan berbagai riketsia. Selain itu obat ini juga aktif terhadap Borrelia reurrentis,
Treponema palladium, Treponema pertenue, Actinomyces israelli. Dalam kadar tinggi antibiotic ini
menghambat pertumbuhan Entamoeba hystolytica.
Tigesiklin berspektrum luas dan efektif untuk menghambat kuman E. coli, E. faeacalis, S.
agalatiae, S. anginosus, S. pyogenes, B. fragilis, E. cloacae, C. freundii, S. aureus (termasuk galur
yang resisten terhadap metisilin MRSA).
Obat ini diindikasikan untuk infeksi kulit dan infeksi intra-abdominal dengan penyulit yang
disebabkan oleh kuman-kuman terebut di atas.
1.3. FARMAKOKINETIK
ABSORPSI. Kira-kira 30-80% tetrasiklin diserap lewat saluran cerna. Doksisiklin dan minosiklin
diserap lebih dari 90%. Absorpsi ini sebagian besar berlangsung di lambung dan usus halus bagian
atas. Berbagai faktor dapat menghambat penyerapan tetrasiklin seperti adanya makanan dalam
lambung (kecuali minosiklin dan dosisiklin), pH tinggi, pembentukan kelat (kompleks tetrasiklin dengan
zat lain yang sukar diserap seperti kation Ca2+, Mg2+, Fe2+, Al3+, yang terdapat dalam susu dan
antasid). Oleh sebab itu sebaiknya tetrasiklin diberikan sebelum atau 2 jam setelah makan.
Tetrasiklin fosfat kompleks tidak terbukti lebih baik absorpsinya dari sediaan tetrasiklin biasa.
DISTRIBUSI. Dalam plasma semua jenis tetrasiklin terikat oleh protein plasma dalam jumlah yang
bervariasi.
Pemberian oral 250 mg tetrasiklin, klortetrasiklin dan oksitetrasiklin tiap 6 jam menghasilkan
kadar sekitar 2.0-2.5 g/mL.
Masa paruh doksisiklin tidak berubah pada insufisiensi ginjal sehingga obat ini boleh diberikan
pada gagal ginjal.
Dalam cairan serebrospinal (CSS) kadar golongan tetrasiklin hanya 10-20% kadar dalam
serum. Penetrasi ke CSS ini tidak tergantung dari adanya meningitis. Penetrasi ke cairan tubuh lain
dan jaringan tubuh cukup baik. Obat golongan ini ditimbun dalam system retikuloendotelial di hati,
limpa dan sumsum tulang, serta di dentin dan email gigi yang belum bererupsi. Golongan tetrasiklin
menembus sawar uri, dan terdapat dalam air susu ibu dalam kadar relative tinggi. Dibandingkan
dengan tetrasiklin lainnya, daya penetrasi doksisiklin dan minosiklin ke jaringan lebih baik.
METABOLISME. Obat golongan ini tidak terbatas dimetabolisme seara berarti di hati. Doksisiklin dan
minosiklin mengalami metabolism di hati yang cukup berarti sehingga aman diberikan pada pasien
gagal ginjal.
EKSKRESI. Golongan tetrasiklin diekskresi melalui urin berdasarkan filtrasi glomerulus. Pada
pemberian per oral kira-kira 20-55% golongan tetrasiklin diekskresi melalui urin. Golongan tetrasiklin
yang diekskresi oleh hati ke dalam empedu menapai kadar 10 kali kadar serum. Sebagian besar obat
yang diekskresi ke dalam lumen usus ini mengalami sirkulasi enterohepatik; maka obat ini masih
terdapat dalam darah untuk waktu lama setelah terapi dihentikan. Bila terjadi obstruksi pada saluran
empedu atau gangguan faal hati obat ini akan mengalami kumlasi dalam darah. Obat yang tidak
diserap diekskresi melalui tinja.
Antibiotik golongan tetrasiklin yang diberi peroral dibagi menjadi 3 golongan berdasarkan sifat
farmakokinetiknya: (1) Tetrasiklin, klortetrasiklin dan oksitetrasiklin. Absorpsi kelompok tetrasiklin
ini tidak lengkap dengan masa paruh 6-12 jam, (2) Demetilklortetrasiklin. Absorpsinya lebih baik dan
masa paruhnya kira-kira 16 jam sehingga cukup diberikan 150 mg per oral tiap 6 jam, (3) Doksisiklin
dan minosiklin. Absorpsinya baik sekali dan masa paruhnya 17-20 jam. Tetrasiklin golongan ini cukup
diberikan 1 atau 2 kali 100mg sehari.
Karena penggunaan yang berlebih, dewasa ini terjadi resistensi yang mengurangi efektivitas
tetasiklin. Penyakit yang obat pilihannya golongan tetrasiklin ialah:
RIKETSIOSIS. Perbaikan yang dramatis tampak setelah pemberian golongan tetrasiklin. Demam
mereda dalam 1-3 hari dan ruam kulit menghilang dalam 5 hari. Perbaikan klinis yang nyata telah
tampak 24 jam setelah terapi dimulai.
Psitakosis. Pemberian golongan tetrasiklin selama beberapa hari dapat mengatasi gejala klinis. Dosis
yang digunakan ialah 2 gram per hari selama 7-10 hari atau 1 gram per hari selama 21 hari.
Konjungtivitis inklusi. Penyakit ini dapat diobati dengan hasil baik selama 2-3 minggu dengan
memberikan salep mata atau obat tetes mata yang mengandung golongan tetrasiklin.
Trakoma. Pemberian salep mata golongan tetrasiklin yang dikombinasikan dengan doksisiklin oral 2 x
100 mg/hari selama 14 hari memberikan hasil pengobatan yang baik.
Uretritis nonspesifik. Infeksi yang disebabkan oleh Ureaplasma urealitycum dan Chlamydia
trachomatis ini terobati baik dengan pemberian tetrasiklin oral 4 kali 500 mg sehari selama 7 hari.
Infeksi C. trachomatisseringkali menyertai uretritis akibat gonokokus.
INFEKSI MYCOPLASMA PNEUMONIAE. Pneumonia primer atipik yang disebabkan oleh mikroba ini
dapat diatasi dengan pemberian golongan tetrasiklin. Walaupun penyembuhan klinis cepat dicapai
Mycoplasma pneumoniae mungkin tetap terdapat dalam sputum setelah obat dihentikan.
INFEKSI BASIL
Bruselosis. Pengobatan dengan golongan tetrasiklin memberikan hasil baik sekali untuk penyakit ini.
Hasil pengobatan yang memuaskan biasanya didapat dengan pengobatan selama 3 minggu. Untuk
kasus berat, seringkali perlu diberikan streptomisin 1 g sehai IM.
Tulameria. Obat pilihan utama untuk penyakit ini sebenarnya ialah streptomisin, tetapi terapi dengan
golongan tetrasiklin juga memberikan hasil yang baik.
Kolera. Doksisiklin dosis tunggal 300 mg merupakan antibiotik yang efektif untuk penyakit ini.
Pemberian dapat mengurangi volume diare dalam 48 jam.
Sampar. Antibiotic terbaik untuk mengobati infeksi ini ialah strepsomisin. Bila streptomisin tidak dapat
diberikan, maka dapt dipakai golongan tetrasiklin. Pengobatan dimulai dengan pemberian secara IV
selama 2 hari dan dilanjutkan dengan pemberian per oral selama 1 minggu.
INFEKSI KOKUS. Golongan tetrasiklin sekarang tidak lagi diindikasikan untuk infeksi stafilokokus
maupun streptokokus karena sering dijumpai resistensi. Tigesiklin efektif untuk infeksi kulit dan
jaringan lunak oleh streptokokus dan stafilokokus (termasuk MRSA).
INFEKSI VENERIK
Sifilis. Tetrasiklin merupakan antibiotic pilihan kedua setelah penisilin untuk mengobati sifilis.
Dosisnya 4 kali 500 mg sehari per oral selama 15 hari. Tetrasiklin juga efektif untuk mengobati
chancroid dan granuloma inguinal. Karena itu dianjurkan meberikan dosis untuk terapi sifilis.
AKNE VULGARIS. Tetrasiklin diduga menghambat produksi asam lemak dari sebum. Dosis yang
diberikan untuk ini ialah 2 kali 250 mg sehari selama 2-3 minggu, bila perlu terapi dapat diteruskan
sampai beberapa bulan dengan dosis minimal yang masih efektif.
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF MENAHUN. Eksaserbasi akut infeksi pada penyakit paru obstruktif
menahun dapat diatasi dengan doksisiklin oral 2 kali 100 mg/hari. Antibiotika lain yang juga
bermanfaat ialah kontrimoksazol dan koamoksiklav.
INFEKSI LAIN. Aktinomikosis. Golongan tetrasiklin dapat digunakan untuk mengobati penyakit ini
bila pensilin G tidak dapat diberikan kepada pasien.
Leptospirosis. Walaupun tetrasiklin dan penisilin G sering digunakan untuk pengobatan leptospirosis,
efektifitasnya tidak terbukti secara mantap.
Infeksi saluran cerna. Tetrasiklin mungkin merupakan ajuvan yang bermanfaat pada amubiasis
intestinal akut, dan infeksi Plasmodium falciparum. Selain itu mungkin efektif untuk disentri yang
disebabkan oleh strain Shigella yang peka.
PENGGUNAAN TOPIKAL. Pemakaian topical hanya dibatasi untuk infeksi mata saja. Salep mata
golongan tetrasiklin efektif untuk mengobati trakoma dan infeksi lain pada mata oleh kuman Gram-
positif dan Gram-negatif yang sensitive. Selain itu salep mata ini dapat pula digunakan untuk
profilaksis oftalmia neonatorum pada neonatus.
Efek samping yang mungkin timbul akibat pemberian golongan tetrasiklin dapat dibedakan
dalam 3 kelompok yaitu reaksi kepekaan, reaksi toksik dan iritatif serta reaksi yang timbul akibat
perubahan biologik.
REAKSI KEPEKAAN. Reaksi kulit yang mungkin timbul akibat pemberian golongan tetrasiklin ialah
erupsi mobiliformis, urtikaria dan dermatitis eksfoliatif. Reaksi yang lebih hebat ialah edema
angioneurotik dan reaksi anafilaksis. Demam dan eosinofilia dapat pula terjadi pada waktu terapi
berlangsung. Sensitisasi silang antara berbagai derivate tetrasiklin sering terjadi.
REAKSI TOKSIK DAN IRITATIF. Iritasi lambung paling sering terjadi pada pemberian tetrasiklin per
oral, terutama dengan oksitetrasiklin dan doksisiklin. Makin besar dosis yang diberikan, makin sering
terjadi reaksi ini. Keadaan ini dapat diatasi dengan mengurangi dosis untuk sementara waktu atau
memberikan golongan tetrasiklin bersama dengan makanan, tetapi jangan dengan susu atau
antacid yang mengandung aluminium, magnesium, atau kalsium. Diare seringkali timbul akibat
iritasi dan harus dibedakan dengan diare akibat superinfeksi stafilokokus atau Clostridium difficile
yang sangat berbahaya.
Manifestasi reaksi iritatif yang lain ialah terjadinya tromboflebitis pada pemberian IV dan rasa
nyeri setempat bila golongan tetrasiklin disuntikkan IM tanpa anestatik lokal.
Terapi dalam waktu lama dapat menimbulkan kelainan darah tepi seperti leukositosis, limfosit
atipik, granulasi toksik pada granulosit dan trombositopenia.
Reaksi fototoksik paling jarang timbul dengan tetrasiklin, tetapi paling sering timbul ada
pemberiand dimetilklortetrasiklin. Manifestasinya berupa fotosensitivitas, kadang-kadang disertai
demam dan eosinofilia. Pigmentasi kuku dan onikolisis, yaitu lepasnya kuku dari dasarnya, juga dapat
terjadi. Hepatotoksisitas dapat terjadi pada pemberian golongan tetrasiklin dosis tinggi (lebih dari 2
gram sehari) dan paling sering terjadi setelah pemberian parenteral. Sifat hepatotoksik oksitetrasiklin
dan tetrasiklin lemah dibandingkan dengan golongan tetrasiklin lain. Wanita hamil atau masa nifas
dengan pielonefritis atau gangguan fungsi ginjal lain cenderung menderita kerusakan hati akibat
pemberian golongan tetrasiklin. Karena itu tetrasiklin jangan diberikan pada wanita hamil kecuali
bila tidak ada terapi pilihan lain. Kecuali doksisiklin, golongan tetrasiklin bersifat kumulatif dalam
tubuh, karena itu dikontraindikasikan pada gagal ginjal. Efek samping yang paling sering timbul biasa
berupa azotemia, hiperfosfatemia dan penurunan berat badan.
Tetrasiklin terikat sebagai kompleks pada jaringan tulang yang sedang tumbuh. Pertumbuhan
tulang akan terhambat sementara pada fetus dan anak. Bahaya ini terutama terjadi mulai pertengahan
masa hamil sampai dan sering berlanjut sampai umur 7 tahun atau lebih. Timbulnya kelainan ini lebih
ditentukan oleh jumlah daripada lamanya penggunaan tetrasiklin.
Pada gigi susu maupun gigi tetap, tetrasiklin dapat menimbulkan disgenesis, perubahan
warna permanen dan kecenderungan terjadinya krisis. Perubahan warna bervariasi dari kuning coklat
sampai kelabut tua. Karena itu tetrasiklin termasuk tigesiklin jangan digunakan mulai pertengahan
kedua kehamilan, masa menyusui dan anak sampai berumur 8 tahun. Efek ini lebih sedikit pada
oksitetrasiklin dan doksisiklin.
Tetrasiklin yang sudah kadaluwarsa akan mengalami degradasi menjadi bentuk anhidro-4-
epitetrasiklin. Pada manusia hal ini mengakibatkan timbulnya sindrom Fanconi dengan gejala
poliuria, polidipsia, proteinuria, asidosis, glukosuria, aminoasiduria disertai mual dan muntah. Kelainan
ini biasanya bersifat reversibel dan menghilang kira-kira satu bulan setelah pemberian tetrasiklin
kadaluwarsa ini dihentikan.
Semua tetrasiklin dapat menimbulkan imbang nitrogen negatif dan meningkatkan kadar ureum
darah. Hal ini tidak berarti secara klinis pada pasien pada faal ginjal normal yang mendapat dosis
biasa, tetapi pada keadaan gagal ginjal dapat timbul azotemia.
Minosiklin seing bersifat vestibulotoksik dan dapat menimbulkan vertigo, ataksia dan muntah
yang bersifat reversibel.
EFEK SAMPING AKIBAT PERUBAHAN BIOLOGIG
Seperti antibiotik lain yang berspektrum luas, pemberian golongan tetrasiklin kadang-kadang
diikuti oleh terjadinya superinfeksi oleh kuman resisten dan jamur. Superinfeksi kandida biasa terjadi
dalam rongga mulut, faring, bahkan kadang-kadang menyebabkan infeksi sistemik. Faktor
perdisposisi yang menyebabkan terjadinya superinfeksi ini adalah dibatasi melitus, leukemia,
lupuseritematosus diseminata, daya tahan tubuh yang lemah dan pasien yang mendapat terapi
kortikosteroid dalam waktu lama.
Salah satu manifestasi superinfeksi ialah diare akibat terganggunya keseimbangan flora
normal dalam usus. Dikenal 3 jenis diare akibat superinfeksi dalam saluran cerna sehubungan dengan
pemberian golongan tetrasiklin.
Enterokolitis stafilokokus. Dapat timbul setiap saat selama terapi berlangsung. Tinja air sering
mengandung darah serta leukosit polimorfonuklear. Pemeriksaan mikroskopik dan kultur sering
menunjukkan adanya stafilokokus koagulase positif dalam jumlah besar pada tinja,yang pada
keadaan normal hanya sedikit. Diagnosis harus ditegakan dengan cepat karena keadaan ini sering
kali mengakibatkan kematian. Bila terjadi septikemia maka harus diberikan antibiotik yang efektif
secara parenteral.
Kandidiasis intestinal. Sekalipun menjadi anggapan umum bahwa diare yang timbul karena
pemberian golongan tetrasiklin disebabkan oleh superinfeksi kandida dalam saluran cerna, ternyata
hasil kultur tinja dari pasien ini tidak menunjukan adanya kandida dalam jumlah besar. Bila jelas terjadi
kandidasi intestinal maka perlu diberikan nistatin atau amfoterisin B per oral.
Kolitis pseudomembranosa. Efek samping ini dapat terjadi tetapi tidak sering pada penggunaan
linkomisin. Pada keadaan ini terjadi nekrosis pada saluran cerna. Jumlah stafilokokus dalam tinja tidak
bertambah. Diare yang terjadi sangat hebat, disertai demam dan terdapat jaringan mukosa yang
nekrotik dalam tinja.
Untuk memperkeil kemungkinan timbulnya efek samping golongan tetrasiklin maka perlu
diperhatikan beberapa hal dalam memberikan terapi dengan antibiotik ini yaitu: (1) Hendaknya tidak
diberikan pada wanita hamil; (2) Bila tidak ada indikasi yang kuat, jangan diberikan pada anak-anak;
(3) Hanya doksisiklin yang boleh diberikan pada pasien gagal ginjal; (4) Hindarkan sedapat mungkin
pemakaian untuk tujuan profilaksis; (5) Sisa obat yang tidak terpakai hendaknya segera dibuang; (6)
Jangan diberikan pada pasien yang hipersensitif terhadap obat ini.
Untuk pemberian oral, tetrasiklin tersedia dalam bentuk kapsul dan tablet. Untuk pemberian
parenteral tersedia bentuk larutan obat suntik (oksitetrasiklin) atau bubuk yang harus dilarutkan lebih
dulu (tetrasiklin HCl, tigesiklin, doksisiklin, minosiklin). Posologi golongan tetrasiklin dapat dilihat pada
table 43-1.
Tabel 43-1. SEDIAAN DAN POSOLOGI GOLONGAN TETRASIKLIN
Untuk pasien dengan gangguan fungsi hati yang berat menurut klasifikasi Child Pugh C
tigesiklin diberikan dosis muat yang sama namun dosis pemeliharaanya dikurangi menjadi 25 mg tiap
12 jam. Pengurangan dosis tidak diperlukan bagi pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan pasien
berusia lanjut.
Tigesiklin tersedia dalam fial yang mengandung 50 dan 100 mg yang harus direkonstitusi
dengan larutan garam faal atau dekstrosa 5% untuk mendapat larutan tigesiklin berkadar 10 mg/mL.
larutan dalam vial ini segera diencerkan lagi dengan 100 mL pelarut yang sama dalam kantong untuk
infus. Larutan infus ini stabil pada suhu kamar selama 6 jam atau pada suhu 2 0-80 C selama 24 jam.
Bila tetrasiklin diberikan dengan metoksifluran maka dapat menyebabkan nefrotoksisitas. Bila
dikombinasikan dengan penisilin maka aktifitas antimikrobanya dihambat.
Pemantauan waktu protrombin diperlukan bila obat ini harus diberikan bersama dengan
warfarin.