Anda di halaman 1dari 8

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Metabolisme
2.1.1 Pengertian Metabolisme Obat
Metabolisme obat sering juga disebut biotransformasi, metabolisme obat
terutama terjadi dihati, yakni di membran endoplasmic reticulum (mikrosom)
dandicytosol. Tempat metabolisme yang lain (ekstra hepatik) adalah : dinding
usus, ginjal, paru , darah, otak dan kulit, juga di lumen kolon (oleh flora usus).
Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang nonpolar (larut lemak)
menjadi polar (larut air) agar dapat diekskresi melalui ginjal atau empedu. Dengan
perubahan ini obat aktif umumnya diubah menjadi inaktif, tapi sebagian berubah
menjadi lebih aktif, kurang aktif, atau menjadi toksik.
Metabolisme mempunyai tiga tujuan utama, yaitu memberikan energi
kepada tubuh, untuk memecah suatu senyawa yang lebih sederhana atau
biosintesa senyawa-senyawa yang lebih kompleks, dan untuk biotransformasi
senyawa-senyawa asing menjadi senyawa yang lebih polar, larut dalam air dan
dalam struktur yang terionisasi sehingga dapat dieliminasi dengan mudah.
Aktivitas metabolisme atau dalam beberapa pustaka disebut dengan kemampuan
metabolisme, kapasitas metabolisme atau kecepatan metabolisme, semuanya
merujuk pada proses oksidasi enzimatik di hati oleh enzim mikrosomal oksidase.
Pada dasarnya metabolisme obat memiliki dua efek penting dalam
perjalanan obat di dalam tubuh yaitu obat akan menjadi lebih hidrofilik sehingga
akan lebih cepat diekskresi melalui ginjal, karena metabolit yang kurang larut
lemak tidak mudah direabsorpsi dalam tubulus ginjal dan metabolit yang
dihasilkan dari proses metabolisme umumnya kurang aktif daripada obat asalnya.
Namun tidak semua obat akan mengalami hal tersebut, karena pada beberapa obat,
metabolitnya memiliki aktivitas yang sama atau lebih aktif daripada obat
aslinya,contohnya Diazepam.
2.1.2 Reaksi Metabolisme Obat
Proses metabolisme terdiri dari tiga fase yaitu reaksi fase I, reaksi fase II
dan reaksi fase III. Reaksi fase I meliputi biotransformasi suatu obat menjadi
metabolit yang lebih polar melalui pemasukan atau pembukaan suatu gugus
fungsional (misalnya – OH, - NH2, -SH). Metabolisme reaksi fase I meliputi
reaksi oksidasi, reduksi, hidrolisis, hidrasi dan isomerasi. Oksidasi merupakan
reaksi yang paling banyak terjadi dalam reaksi fase I, reaksi ini dikatalisis oleh
suatu kelas enzim yang penting yang disebut sebagai sistem oksidase kelas
campuran mikrosomal yaitu sitokrom P- 450.
Reaksi fase II terjadi apabila obat atau metabolit obat dari reaksi fase I
tidak cukup polar untuk bisa diekskresi dengan cepat oleh ginjal, sehingga pada
reaksi fase II ini, obat atau metabolit akan dibuat menjadi lebih hidrofilik melalui
konjugasi dengan senyawa endogen dalam hati yang dimana golongan enzim-
enzim yang berbeda akan bereaksi dengan tipe senyawa yang berbeda juga
sebagai contoh, sintesis UDP-asam glukuronat hanya dapat terjadi apabila terjadi
reaksi glukuronidasi dengan enzim UDP Glukuronil transferase. Sedangkan reaksi
fase III dianggap oleh para peneliti sebagai metabolisme lebih lanjut dari konjugat
glutation yang menghasilkan konjugat sistein dan asam merkapturat.
Metabolisme obat dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu
polimorfisme, penyakit tertentu, penggunaan bersama alkohol, jenis kelamin,
makanan, dan kebiasaan merokok. Keragaman genetik dimanifestasikan dengan
perbedaan dalam nukleotida tunggal atau keseluruhan gen yang mengkode
proteintertentu. Hal tersebut akan menyebabkan adanya populasi yang
mengekspresikan protein yang strukturnya berbeda dengan protein pada populasi
mayoritas. Perbedaan ini dapat berupa substitusi suatu asam amino tunggal
dengan asamamino lainnya, atau keseluruhan urutan asam amino berubah.
Keadaan ini dinamakan polimorfisme. Polimorfisme merupakan variasi genetik
yang muncul paling sedikit 1 % atau lebih dalam sebuah populasi. Efek yang
ditimbulkan dari polimorfisme ini sangat luas. Protein akibat polimorfisme tidak
akan efisien atau bahkan tidak berfungsi sama sekali.
2.2.3 Faktor-faktor metabolisme obat
Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas metabolisme obat yaitu :
1. Faktor genetik
Adanya variasi genetik yang mempengaruhi tingkat aktivitas enzim akan
memberikan pula variasi dalam kecepatan metabolism obat. Variasi genetik ini
bisa dalam bentuk variasi enzim yang berperan penting dalam ikatan atau
transport obat. Succiniicholine sebagai contoh, hanya dimetabolisme setengah kali
orang normal pada orang yang secara genetik kekurangan enzim
pseudocholinesterase. Perbedaan dalam kecepatan metabolisme juga tampak pada
asetilasi dari isoniazid, dimana terjadi perbedaan dalam proses asetilasi pada
orang-orang Jepang, Eskimo, Amerika Latin dan Amerika negro. Penelitian yang
dilakukan oleh Branch membuktikan adanya pengaruh genetik dan lingkungan
dalam disposisi obat. Hal ini ditunjukkan oleh adanya perbedaan yang bermakna
pada waktu peruh eliminasi dan klirens antipirin pada orang Inggris dan orang
Sudan. Pada orang Sudan, harga paruh waktu eliminasi antipirin hampir dua kali
orang Inggris.
2. Faktor umur dan jenis kelamin
Beberapa penelitian membuktikan adanya pengaruh kecepatan metabolisme
obat karena pengaruh umur dan jenis kelamin. Pada orang tua (rata-rata 77tahun)
waktu paruh antipirin dan phenilbutazon masing-masing 45% dan 29% lebih besar
dibanding kontrol (rata-rata 26 tahun). Oleh Alvares, ditunjukkan bahwa
kecepatan metabolisme obat pada anak-anak hapir dua kali lebih besar dibanding
orang dewasa. Alasan yang dipakai untuk menjelaskan keadaan ini adalah adanya
perbedaan pada perbandingan berat hati terhadap berat badan. Pada anak-anak
umur 2 tahun, harga rasio ini (40-50%) lebih besar, sedang pada anak-anak umur
6 tahun 30% lebih besar dibanding orang dewasa.Walaupun pengaruh jenis
kelamin terhadap kecepatan metabolisme baru dilaporkan terjadi pada tikus, tetapi
oleh O’ Malley ditunjukkan bahwa kecepatan metabolisme obat pada wanita lebih
besar dibanding pria.
3. Faktor interaksi obat
Beberapa obat disebabkan oleh sifat lipofiliknya yang sangat tinggi, tidak saja
diterima oleh enzim pada tempat aktifnya tetapi secara tidak spesifik berikatan
dengan membrane lipofil pada retikulum endoplasma. Pada keadaan iini mereka
dapat menginduksi enim mikrosom, atau secara kompetitif dapat menghambat
metabolism obat lain yang diberikan bersama-sama. Hal ini dapat menyebabkan
efek terapi suatu obat menjadi menurun, atau menyebabkan efektoksik pada obat-
obat dengan indeks terapi yang sempit. Sebagai contoh pada orang yang rutin
diberi barbiturate, sedatif hipnotik atau tranquilizer akan mempercepat
metabolisme dari warfarin atau dikumarol, sehingga dosis yang diperlukan
menjadi lebih besar. Sebaiknnya dikumarol menghambat metabolisme dari
tenitoin sehingga dapat menyebabkan efek toksik seperti alaxia dan drowsiness.
4. Faktor penyakit
Penyakit-penyakit akut atau kronis yang mempengaruhi fungsi hati
akanmempengaruhi juga metabolism obat. Penyakit-penyakit seperti: hepatitis
alkoholik, cirrhosis alkoholik aktif atau inaktif, hemochromatis. Hepatitis kronis
aktif, cirrhosis empedu atau hepatitis akut karena virus dapat merusak enzim
metabolik di hati terutama microsomal oksidase, dan karena itu mempengaruhi
juga eliminasi obat. Sakit jantung juga dilaporkan menghambat metabolisme obat.
Hal ini disebabkan karena aliran ke hati terganggu, sehingga untuk obat-obat yang
aliran darah merupakan tahap penentu metabolismenya juga akan terhambat.
Penyakit-penyakit seperti kanker hati, sakit paru-paru, hipotiroid, malaria,
skistosomiasis juga menghambat aktivitas metabolisme obat.
5. Faktor nutrisi
Oleh Anderson dan Mucklow ditunjukkan bahwa pada subjek yang
mengkonsumsi protein setiap harinya, waktu paruh antipirinnya lebih
pendekdibanding subjek vegetarian. Kecepatan metabolisme obat juga dihambat
pada keadaan defisiensi vitamin A, riboflavin, asam askorbat, vitamin E, atau
unsur-unsur seperti kalsium, magnesium, seng serta tembaga.
Beberapa obat dan bahan kimia dapat mempengaruhi aktivitas enzim
mikrosom hati. Senyawa golongan barbiturate dan beberapa obat lain serta
senyawa- senyawa kimia seperti chlordane dan DDT, polychlorinated biphenyls
dan kebiasaan merokok dapat menginduksi enim mikrosom hati sehinga
kecepatan metabolisme meningkat. Wood membuktikan bahwa meskipun umur
mempengaruhi klirens hepatik, tetapi dipengaruhi juga oleh faktor-faktor
lingkungan seperti kebiasaan merokok.
Aktivitas enzim mikrosom dapat dihambat oleh pemakaian obat-obat
tertentu seperti: proadifen, climetidin, secobarbital, furoxen. Mekanisme kerjanya
dapat berupa hambatan kompetitif terhadap obat-obat lain atau interaksi seccara
kovalen dari metabolit intermediet yang dapat bereaksi dengan protein lain dalam
sitokrom sehingga aktivitas enzim terhambat.
Walaupun jaringan seperti sistem gastrointestinal, paru, kulit, dan ginjal
memiliki kemampuan tertentu dalam memetabolisme obat, hepar merupakan
organ utama yang berperan dalam memetabolisme obat dimana semua zat,
terutama yang diberikan per oral akan dimetabolisme oleh hepar. Secara garis
besar, metabolisme obat-obatan dalam hepar akan terjadi dalam sel mikrosom
untuk menjadikan obat tersebut lebih larut air dengan mengadakan reaksi fase 1
lalu mengadakan reaksi fase 2 untuk beberapa hasil metabolisme fase 1. Reaksi
fase 1 terjadi di retikulum edoplasmik halus, sitosol, dan mitokondria. Secara
garis besar, metabolisme fase 1 terdiri atas proses hidrolisis, reduksi, dan oksidasi
yang bertujuan untuk menghasilkan senyawa yang lebih hidrofilik.
Pada metabolisme fase 1, enzim sitokrom P450 yang terutama terdapat
pada retikulum endoplasma hepatosit merupakan enzim yang paling penting.
Dalam retikulum endoplasma, elektron akan ditransfer dari NADPH ke dalam
sitokrom P450 membentuk NADPH-sitokrom P450 yang bersama sitokrom P450
berinteraksi melakukan oksidasi. Siklus oksidasi tersebut memerlukan sitokrom
P450, sitokrom P450 reduktase, NADPH, dan molekul oksigen. Hasil proses
inimenghasilkan substrat teroksidasi, namun apabila proses ini terganggu akan
terbentuk anion superoksida atau hidrogen peroksida yang bersifat toksin.
Metabolisme fase 2 menyebabkan parent drug atau metabolit fase 1 yang
mengandung gugusan kimia sesuai sering mengalami coupling atau konjugasi
dengan substansi endogen menghasilkan suatu konjugasi obat. Pada umumnya
konjugat adalah molekul-molekul yang polar dan mudah diekskresikan dan pada
umumnya bersifat inaktif. Pembentukan konjugat memerlukan intermediet
berenergi tinggi dan enzim-enzim transfer yang spesifik. Transferase ini terletakdi
dalam kromosom atau sitosol. Transferase ini mengkatalisa reaksi coupling 13
atau substansi endogen yang diaktifkan dengan suatu obat atau reaksi coupling
dari suatu obat yang diaktifkan dengan suatu substansi endogen.
Berbagai macam obat-obatan, substansi kimia, dan logam dapat
menyebabkan toksisitas ginjal. Akibat yang ditimbulkan dapat berupa gagal ginjal
akut dari yang mudah disembuhkan sampai kerusakan ginjal permanen, yang
mana memerlukan tindakan dialisis atau transplantasi ginjal. Beberapa faktor
terlibat dalam sensitivitas ginjal terhadap sejumlah zat toksik, meskipun aliran
darah ke ginjal yang tinggi dan peningkatan konsentrasi produk yang diekskresi
diikuti reabsorpsi air dari cairan tubulus merupakan faktor yang paling utama.
Meskipun ginjal mengisi kurang dari 1% massa tubuh, tetapi organ ini menerima
sekitar 25% cardiac output. Jadi, jumlah yang signifikan dari substansi kimia
eksogen dan/atau metabolitnya dibawa ke ginjal.
Faktor penting kedua yang mempengaruhi sensitivitas ginjal terhadap
substansi kimia adalah kemampuannya dalam memekatkan cairan tubulus dan,
sebagai konsekuensinya, air dan garam dibuang, sehingga konsentrasi substansi
kimia menjadi tinggi di dalam tubulus. Oleh karena itu, kadar nontoksik suatu
substansi kimia di dalam plasma dapat mencapai toksik di dalam ginjal.
Karakteristik transportasi di dalam tubulus ginjal juga berperan dalam pelepasan
konsentrasi toksik potensial substansi kimia ke dalam sel. Jika suatu substansi
kimia diekskresi secara aktif dari dalah ke dalam lumen tubulus, maka akan
terakumulasi di dalam sel tubulus proksimal, atau jika suatu substansi kimia
direabsorpsi dari lumen tubulus, maka akan melewati sel-sel tubulus dalam
konsentrasi relatif tinggi.
Biotransformasi substansi kimia menjadi zat yang reaktif, kemudian menjadi
metabolit yang toksik adalah kunci terjadinya toksisitas pada ginjal. Banyak reaksi
aktivasi yang ditemukan di dalam hati, juga ditemukan di dalam ginjal dan banyak
zat toksik dapat teraktivasi di dalam organ-organ tersebut,seperti acetaminophene,
bromobenzene, kloroform, dan carbon tetrachloride. Salah satu manifestasi dari
paparan zat toksik pada ginjal adalah terjadinya nekrosis tubular akut (NTA).
NTA adalah kesatuan klinik opatologik yang ditandai secara morfologik oleh
destruksi sel epitel tubulus dan secara klinik oleh supresi akut fungsi ginjal. NTA
adalah lesi ginjal yang reversibel dan timbul pada suatusebaran kejadian klinik.
Kebanyakan kasus ini, disebabkan trauma berat, pankreatitis akut sampai
septikaemia. Pada umumnya mempunyai suatu periode tidak cukup aliran darah
ke organ-organ perifer, biasanya disertai hipotensi jelasdan syok. Gambaran NTA
disertai dengan syok disebut NTA iskemik. Bentuk lain, disebut NTA nefrotoksik,
yang disebabkan oleh sejumlah racun, meliputi logam-logam berat (timah,
merkuri, arsen, emas, kromium, bismuth, dan uranium), pelarut organik (CCl4,
kloroform), dan sejumlah obat seperti gentamisin, dan antibiotik lain.
2.2.4 Induksi Enzim
Kecepatan biotransformasi umumnya bertambah bila konsentrasi obat
meningkat. Hal ini berlaku sampai titik dimana konsentrasi menjadi demikian
tinggi hingga seluruh molekul enzim yang melakukan pengubahan ditempati
terus-menerus oleh molekul obat dan tercapainya kecepatan biotransformasi yang
konstan. Sebagai contoh dapat dikemukakan natrium salisilat dan etanol bila
diberikan dengan dosis yang melebihi 5000 mg dan 20 g, pada grafik konsentrasi-
waktu dari etanol. Kecepatan biotransformasi konstan ini tampak dari turunnya
secara konstan pula dari konsentrasinya dalam darah.
Obat lain yang terkenal mengakibatkan induksi enzim adalah barbiturat,
anti-epileptika (fenitoin, primidon, karbamazepin), klofibrat, alkohol (pada
penggunaan kronis), fenilbutazon, griseofulvin dan spironolakton. Bahan
penyegar dan produk makanan dapat juga mengandung indikator enzim, misal
minum kopi (kofein). Interaksi dalam metabolisme obat berupa induksi atau
inhibisi enzim metabolisme, terutama enzim CYP. Induksi berarti peningkatan
sintesis enzim metabolismr pada tingkat transkipsi sehingga terjadi peningkatan
kecepatan metabolisme obat yang menjadi substrat enzim yang bersangkutan,
akibatnya diperlukan peningkatan dosis obat tersebut, berarti terjadi toleransi
farmakokinetik karena melibatkan sintesis enzim maka diperlukan waktu
beberapa hari (3 hari sampai 1 minggu) sebelum dicapai efek yang maksimal.
Induksi dialami oleh semua enzim mikrosomal, jadi enzim CYP (kecuali 2D6)
dan UGT.
Inhibitor enzim juga sering disebut anti metabolit karena terjadi
metabolisme subtrat yang terputus dan selanjutnya aksi enzim juga terhambat.
Dengan menghambat kerja enzim yang berkaitan dengan terhadap pengaduan
kecepatan suatu reaksi adalah sangat efektif inhibitor dibagi 2 kelompok inhibitor
reversibel dan inhibitor irreversibel.
Inhibitor reversibel dapat bersifat kompetitif atau non-kompetitif
tergantung dalam titik masuk dalam bagian reaksi enzim subrat. Inhibitor
reversibel aktif dengan enzim untuk kekuatan interotamik yang lemah.
Inhibitor irreversibel akan membentuk ikatan yang tetap dengan enzim
diharapkan obat memberi efek farmakologi yang lama sehingga pemberian
obattidak sering . Hal ini disebabkan karena tingkan inhibisi tidak terpengaruh
oleh klirens obat dan bahan. Untuk inhibitor irreversibel ini lebih sering diberikan
pemberian obat karena adanya sintesa kembali dari enzim segar.
2.2.5 Inhibisi Enzim
Inhibisi enzim metabolisme adalah hambatan terjadi langsung, dengan
akibat peningkatan kadar obat yang menjadi substrat dari enzim yang dihambat
juga terjadi secara langsung untuk mencegah terjadi terjadinya toksisitas,
diperlukan penurunan dosis obat yang bersangkutan atau bahkan tidak boleh
diberikan bersama penghambatnya (kontra indikasi) jika akibatnya
membahayakan. Hambatan pada umumnya bersifat kompetitif (karena merupakan
substrat dari enzim yang sama), tetapi juga dapat bersifat non kompetitif (bukan
substrat dari enzim yang bersangkutan atau ikatannya irreversibel).

Anda mungkin juga menyukai