Anda di halaman 1dari 14

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dasar Teori


2.1.1 Pengertian Metabolisme Obat
Metabolisme atau biontransformasi merupakan rangkaian reaksi yang
mengubah dan mengkonversi obat menjadi senyawa yang larut air agar dapat
diekresikan. Tanpa ada metabolisme obat akan memiliki efek, pada tubuh dan
bahkan memebahayakan jika terakumulasi hingga mencapai kadar toksik. Hati
merupaka orga primer dalam metabolisme obat (Fulcher and Soto, 2016).
Hasil metaolisme obat umumnya menjadi bentuk yang kurang atau tidak
aktif secara farmakologis dibanding obat bentuk awal, kecuali obat yang bersifat
prodrug seperti kodein. Metabolisme obat di hati dapat terbagi menjadi
metabolisme fase I dan fase II. Metabolisme fase I bertujuan untuk mengubah
obat yang bersifat lipofil menjadi lebih larut air, yang meliputi fase oksidasi,
reduksi, dan hidrolisis. Reaksi-reaksi ini umumnya menghasilkan metabolit
dengan gugus fungsional yang lebih polar seperti –OH, NH2, -SH, atau –COOH.
Famili enzim CYP 450 memiliki kontribusi terbesar dalam metabolisme fase I
(Hu and Li, 2017). Jika sudah cukup polar, metabolit fase I dapat segera
diekskresikan. Namun, ada pula produk fase I yang tidak dieliminasi secara cepat
dan mengalami reaksi berikutnya (fase II), yaitu reaksi konjugasi (Katzung,
2015).
2.1.2 Tahap Metabolisme
Metabolisme obat juga dikenal dengan biontransformasi obat yang
bertujuan untuk mengubah xenobiotik lebih hidrofil sehingga dapat dieliminasi
secara efisien oleh ginjal. Ada dua kategori utama reaksi metbolisme yaitu fase 1
dan fase II. Dimana reaksi fase 1 berkaitan dengan penambaahan dan
pengurangan gugus fungsional yang digunakan untuk menyelesaikan fase II.
Sebagian besar reaksi fase I diperantai oleh sitokrom P450 yang dilaksanakan
oleh enzim polimorfisme. Obat (inhibitor enzim) dapat menghambat kerja enzim
yang dapat meningkatkan konsentrasi obat dan substrat. Obat dapat menginduksi
dan menginhibisi enzim yang dapat meningkatkan dan menurunkan kecepatan
metabolisme obat (Syamsudin, 2018).
Metabolisme obat dihati dapat terbagi menjdi fase I dan fase II.
Metabolisme fase I bertujuan untuk mengubah obat yang bersifat lipofil menjadi
lebih larut air, yang meliputi fase oksidasi, reduksi dn hidrolisis. Reaksi ini
umumnya menghasilkan metabolit dengan gugus fungsional yang polar seperti –
OH, NH2, -SH, atau –COOH. Family enzim P450 memiliki kontribusi terbesar
dalam fase I (Hu and Li, 2011). Jika sudah cukup polar fase 1 dapat segera
dieksresikan. Namun, ada pula produk fase I yang tidak dieliminase secara cepat
dan mengalami reaksi berikutnya (fase II) yaitu reaksi konjugasi (Katzung, 2015).
2.1.3 Faktor- faktor yang mempengaruhi metabolisme obat
Beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi kecepatan biotransformasi,
yaitu:
1. Faktor intrinsik
Meliputi sifat yang dimiliki obat seperti sifat fisika-kimia obat, lipofilitas
dosis, dan cara pemberian. Banyak obat terutama yang lipofil dapat menstimulir
pembentukan dan aktivitas enzim-enzim hati. Sebaliknya dikenal pula obat yang
menhambat atau menginaktifkan enzim tersebut, misalnya antikoagulansia,
antidiabetik oral, sulfonamide, antidepresiva trisiklis, metronidazol, allopurinolol
dan disulfiram.
2. Faktor fisiologi
Meliputi sifat-sifat yang dimiliki makhluk hidup seperti jenis atau
spesies,genetik, umur, dan jenis kelamin.
a. Perbedaan Spesies dan galur
Dalam proses metabolisme obat, perubahan kimia yang terjadi pada
spesies dan galur kemungkinan sama atau sedikit berbeda, tetapi kadang-kadang
ada perbedaan yang cukup besar pada reaksi metabolismenya. Pengamatan
pengaruh perbedaan spesies dan galur terhadap metabolisme obat sudah banyak
dilakukan yaitu pada tipe reaksi metabolik atau perbedaan kualitatif dan pada
kecepatan metabolismenya atau perbedaan kuantitatif.
b. Faktor Genetik
Perbedaan individu pada proses metabolisme sejumlah obat kadang-
kadang terjadi dalam sistem kehidupan. Hal ini menunjukkan bahwa faktor
genetik atau keturunan berperan terhadap kecepatan metabolisme.
c. Perbedaan Umur
Pada usia tua, metabolisme obat oleh hati mungkin menurun, tapi biasanya
yang lebih penting adalah menurunnya fungsi ginjal. Pada usia 65 tahun Laju
Filtrasi Glomerulus (LFG) menurun sampai 30% dan tiap 1 tahun berikutnya
menurun lagi 1-2% sebagai akibat hilangnya sel dan penurunan aliran darah
ginjal. Oleh karena itu, orang lanjut usia membutuhkan beberapa obat dengan
dosis lebih kecil dari pada orang muda.
d. Perbedaan jenis Kelamin
Pada beberapa spesies binatang menunjukkan ada pengaruh jenis kelamin
terhadap kecepatan metabolisme obat. Pada manusia baru sedikit yang diketahui
tentang adanya pengaruh perbedaan jenis kelamin terhadap metabolisme obat.
Contoh nikotin dan asetosal dimetabolisme secara berbeda pada pria dan wanita.
3. Faktor farmakologi
Meliputi inhibisi enzim oleh inhibitor dan induksi enzim oleh induktor.
Kenaikan aktivitas enzim menyababkan lebih cepatnya metabolisme
(deaktivitanya obat). Akibatnya, kadar dalam plasma berkurang dan
memperpendek waktu paruh obat. Karena itu, intensitas dan efek farmakologinya
berkurang dan sebaliknya.
4. Faktor patologi
Menyangkut jenis dan kondisi penyakit, contohnya pada penderita stroke,
pemberian Fenobarbital bersama dengan Warfarin secara agonis akan mengurangi
efek anti koagulasinya sehingga sumbatan pembuluh darah dapat dibuka.
Demikian pula Cimetidin (antagonis reseptor H2) akan menghambat aktivitas
sitokrom P-450 dalam memetabolisme obat-obat lain.
5. Faktor makanan
Adanya konsumsi Alkohol, rokok, dan protein. Makanan pangan arang
dan sayur mayur cruciferous diketahui menginduksi enzim CP1A, sedang jus
buah anggur diketahui menghambat metabolisme oleh CP3A terhadap substrat
obat yang diberikan secara bersamaan.
6. Faktor lingkungan
Adanya insektisida dan logam-logam berat, merokok sigaret
memetabolisme beberapa obat lebih cepat dari pada yang tidak merokok, karena
terjadi induksi enzim. Perbedaan yang demikian mempersulit penentuan dosis
yang efektif dan aman dari obat-obat yang mempunyai indeks terapi sempit.
2.1.4 Enzim CYP450
Enzim CYP450 merupakan hemoprotein yang dikode oleh 57 gen berbeda,
dan memiliki kromofor yang muncul pada gelombang 450 nm (Peltoniemi, 2018).
Telah terindifikasi berbagai isoform CYP450 dihati mansuia. CYP450 dalam
metabolisme dapat diperiksa secara in vitro dengan penanda fungsional selektif,
inhibitor kimia selektif, dan antibody CYP450. Secara in vivo pemeriksaan dapat
dilakukan dengan penandaan-penadaan non invasif yang relatif sedikit, misalnya
tes napas ataupun analisis urin. Metabolit tertentu setelah pemberian pelacak
substrat selektif CYP450 (Fulcher and Soto, 2016).
2.1.5 Inhibisi dan Induksi Enzim
Induksi merupakan peningkatan ekpresi CYP450 dapat meningkatkan laju
sintesis CYP atau mengurangi kecepatan penguaraiannya. Induksi menyebabkan
akselerasi metabolisme obat (substrat) dan biasanya penurunan efek farmakologis
penginduksi juga obat lain yang diberikan bersama-sama (Katzung, 2015). Contoh
induksi enzim yaitu Rifampisin meningkatkan metabolisme siklosporin, sehingga
menurunkan efek farmakologis dari siklosporin (Stockley, 2020).
Inhibisi enzim merupakan penurunan metabolisme oleh obat atau senyawa
lain, sehingga menyebabkan akumulasi obat tersebut dalam bentuk aktif di dalam
tubuh. Efek obat menjadi setara dengan dosis obat tersebut dinaikkan. Contohnya
yaitu peningkatan kadar plasma sildenafil setelah diberikan Ritonavir
menghambat enzim CYP3A4 yang memetabolisme sildenafil (Stockley, 2010).
Baik inhibisi maupaun induksi memiliki pengaruh terhadap terapi,
contohnya yaitu Alupurinol yang dapat memperpanjang kemoterapiutik dan toksik
merkaptopurin melalui inhibisi konpetitif xantine oxidase. Karenanya untuk
menghindari toksistas sumsum tulang. Dosis Merkaptopurin harus dikurangi pada
pasien yang mendapat Alupurinol. Barbiturat (induktor enzim) jika digunakan
bersama Warfarin akan diperlukan peningkatan dosis Warfarin. Namun, jika
penggunaan Barbiturat dihentikan, metabolisme Warfarin akan berkurang atau
kembali normal sehingga beresiko terjadinya pendarahan, suatu efek toksik akibat
peingkatan kadar plasma dari antikoagulan tersebut (Katzung, 2015).
2.1.6 Hewan Uji
Hewan coba adalah hewan yang dapat digunakan untuk suatu tujuan
penelitian tertentu dan umumnya menggunakan hewan laboratorium hingga
hewan ternak. Penggunaan hewan percobaan dalam berbagai penelitian fisiologi,
biokimia, farmakologi, patologi, komporatif zoologi dan ekologi, juga dilakukan
untuk pengembangan obat-obatan, vaksin dan produk-produk khusus misalnya:
kosmetik, shampoo, dan pasta gigi (Jumrodah, 2016).
Hewan coba adalah hewan yang sengaja dipelihara untuk digunakan
sebagai hewan model yang berkaitan untuk pembelajaran dan pengembangan
berbagai macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau pengamatan
laboratorium. Hewan coba banyak digunakan sebagai penunjang dalam
melakukan pengujian-pengujian terhadap obat, vaksin, atau dalam penelitian
biologi (Intan dkk, 2015).
Penelitian ilmiah yang baik dimana digunakan hewan sebagai objek
ataupun model kajian, maka tata kerjanya dievaluasi oleh Komisi Etik
Penggunaan Hewan. Oleh karena itu, penggunaan hewan dalam kegiatan
laboratorium pendidikan (praktikum) perlu selaras tata caranya dan memenuhi
kriteria etika penggunaan hewan percobaan. Hewan uji yang digunakan dalam
penelitian tetap harus dijaga hak-haknya yang dikenal sebagai Animal Welfare
seperti yang tercantum dalam five of freedom (Stevani, 2016).
Animal welfare dalam Bahasa Indonesia berarti kesejahteraan hewan.
Standar yang baik tentang kesejahteraan hewan sangat bervariasi antara konteks
yang berbeda. Standar ini berada di bawah review konstan dan diperdebatkan,
dibuat dan direvisi oleh komunitas kesejahteraan hewan, legislator dan akademisi
di seluruh dunia. Ilmu kesejahteraan hewan menggunakan berbagai langkah,
seperti umur panjang, penyakit, imunosupresi, perilaku, fisiologi, dan reproduksi,
meskipun ada perdebatan tentang yang mana dari indikator ini yang memberikan
informasi terbaik (Kadek, 2017).
Komite Penanganan Hewan Universitas McGill (UACC)
merekomendasikan penggunaan Penilaian Kondisi Tubuh (BCS) untuk menilai
endpoint klinis hewan. BCS merupakan penilaian yang cepat, non-invasif dan
efektif dalam menilai kondisi fisik hewan. Dalam banyak kasus, BCS adalah titik
akhir klinis yang lebih baik daripada berat badan. Penggunaan berat badan saja
tidak dapat membedakan antara lemak tubuh atau simpanan otot. Berat badan
hewan yang kurang dapat tertutupi oleh kondisi abnormal (misalnya pertumbuhan
tumor, akumulasi cairan ascetic, dan pembesaran organ) atau pada kondisi normal
(misalnya kehamilan). selain itu jika suatu hewan telah kehilangan berat badan
lebih dari 20% namun berdasarkan penilaian BCS kondisinya masih di nilai 3
(BCS 3) maka mungkin belum perlu dilakukaan euthanasia segera. Dengan
demikian, BCS adalah penanda yang lebih komprehensif dan akurat untuk
kesehatan hewan dibandingkan kehilangan berat badan (Stevani, 2016).
Berikut cara menilai Body Condition Scoring (BCS) menurut Stevani
(2016):
BCS Nilai 1- Mencit kurus
Tulang-tulang tubuh sangat jelas kelihatan. Bilamana diraba,
tidak terasa adanya lemak atau daging. Tampak atas juga
kelihatan sekali bagian-bagian tubuhnya tidak berisi lemak
atau daging.
BCS Nilai 2- Mencit di bawah kondisi standart
Tikus tanpak kurus. Tulang-tulang masih kelihatan jelas,
namun bilamana diraba masih terasa adanya daging atau
lemak. Tampak atas sudah tidak terlalu berlekuk lekuk, agak
berisi. Tulang pelvic dorsal dapat langsung teraba.
BCS Nilai 3- Mencit dalam kondisi yang baik
Tubuhnya tidak tampak tonjolan tulang, namun bilamana
diraba cukup mudah merasakan adanya tulang-tulang.
Tampak atas, biasanya sudah lebih lurus tampak berisi.
Tulang pelvic dorsal sedikit teraba.
BCS Nilai 4- Mencit di atas kondisi standart
Tidak tampak adanya tonjolan tulang-tulang dan bilamana
diraba agak sulit merasakan tulang karena tebalnya timbunan
lemak dan daging. hewan kelihaan berisi dan tampak juga
lipatan-lipatan lemak dibawah kulit.
BCS Nilai 5- Mencit obese
Sudah sangat sulit meraba tulang-tulang akibat timbunan
lemak dan daging yang sangat tebal.

Menurut Rudy Nugroho (2018), teknik pemberian obat atau sediaan


tergantung dari tujuan penelitian, macam, dan sifat sediaan. Pemberian obat atau
sediaan sangat berpengaruh terhadap hasil penelitian, sehingga sangat perlu
diketahui teknik-tekniknya. Berikut ini akan diuraikan berbagai macam teknik
pemberian obat atau sediaan :
a. Pemberian secara oral
Percobaan dengan menggunakan hewan mencit atau tikus, pemberian obat
maupun sediaan dapat menggunakan teknik per oral. Pemberian obat secara oral
merupakan teknik paling umum dilakukan karena relatif mudah, praktis dan
murah. Namun ada beberapa kerugiannya yaitu: banyak faktor dapat
mempengaruhi bioavailabilitasnya (faktor obat, faktor penderita dan adanya
interaksi dalam absorbsi di saluran cerna). Sifat absorbsi obat mempunyai
sifatsifat tersendiri Teknik pemberian secara oral ini sangat mudah dilakukan
untuk hewan uji seperti mencit atau tikus. Mencit atau tikus dipegang dengan cara
yang telah diuraikan bab sebelumnya, sehingga posisi hewan uji lurus. Suntikan
oral (kanul) dapat dimasukkan ke mulut hingga oesophagus. Posisi suntikan
berkanul juga harus dalam posisi tegak lurus. Larutan obat atau sediaan dalam
suntikan berkanul ditempelkan pada langit-langit mulut atas mencit, kemudian
dimasukkan dengan hati-hati sampai ke esofagus dan cairan obat dimasukkan.
b. Subkutan
Pemberian obat atau sediaan secara subkutan pada mencit dapat dilakukan
di bagian bawah kulit daerah tengkuk (leher bagian atas). Teknik yang tepat
adalah mencubit kulit di leher bagian atas dan kemudian obat dapat diberikan
dengan suntikan dengan sudut 45 derajat. Bagian subkutan lain yang dapat
digunakan untuk pemberian obat atau sediaan adalah kulit abdomen. Sementara
itu jarum suntik yang digunakan untuk mencit dapat menggunakan alat suntik
(syringe dan jarumnya) berukuran 1 mL atau menyesuaikan.
c. Intravena
Teknik pemberian obat atau sediaan secara intravena pada mencit dan
tikus dilakukan dengan bantuan holder atau alat bantu pemegang hewan uji dan
diusahakan ada lubang untuk ekor. Sebelum penyuntikan, ekor dapat dimasukkan
ke dalam air hangat terlebih dahulu, dengan tujuan agar pembuluh vena ekor
mengembang (dilatasi) sehingga mempermudah dalam pemberian obat atau
sediaan.
d. Intraperitonial
Teknik intraperitonial sering dilakukan mencit. Saat penyuntikkan
berlangsung posisi kepala hewan uji harus lebih rendah dari bagian abdomen.
Cara tersebut dapat dilakukan dengan teknik menunggingkan hewan uji. Jarum
suntik kemudian disuntikkan dengan membentuk sudut 46 derajat dengan
abdomen, sementara posisi jarum agak menepi dari garis tengah agar tidak
menusuk organ dalam seperti hepar.
e. Intramuskular
Teknik pemberian obat dengan cara intramuskular (IM) merupakan teknik
pemberian sediaan atau obat melalui jaringan otot, umumnya di otot paha.
Kecepatan dan kelengkapan adsorpsi sediaan atau obat dipengaruhi oleh kelarutan
obat dalam air. Absorpsi lebih cepat terjadi di otot deltoid atau vastus lateralis
daripada di bagian gluteus maksimus. Penyuntikan intramuskular juga dapat
dilakukan pada mencit atau tikus pada bagian musculus yang tebal yaitu bicep
femoris.
2.2 Uraian Bahan
2.2.1 Alkohol (Dirjen POM, 2020 ; Pubchem, 2019)
Nama resmi : AETHANOLUM
Nama lain : Etanol, Alkohol, Ethylalkohol
Rumus molekul : C2H5OH
Berat molekul : 46,07 g/mol
Rumus Struktur :

Pemerian : Cairan tak berwarna, jernih, tidak berwarna. Bau khas


dan menyebabkan rasa terbakar pada lidah. Mudah
menguap walaupun pada suhu rendah dan mendidih
pada suhu 78 . Mudah terbakar
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, dalam kloroform P dan
dalam eter P
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat jauh dari nyala api
Khasiat : Sebagai antimikroba, disinfektan, dan pelarut
Kegunaan : Pensteril pada alat laboratorium.
2.2.2 Aquadest (Dirjen POM, 2020 ; Pubchem, 2021)
Nama resmi : AQUA DESTILLATA
Nama lain : Air suling
Rumus molekul : H2O
Berat molekul : 18,02 g/mol
Rumus struktur :

Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak


mempunyai rasa
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Kegunaan : Pelarut.
2.2.3 Na-CMC (Rowe, 2009 ; Pubchem, 2020)
Nama resmi : CARBOXYMETHYCELLULOSUM NATRICUM
Nama lain : Karboksimetilselulosa natrium, CMC sodium
Rumus molekul : C6H10O2
Berat molekul : 206,28 g/mol
Rumus struktur :

Pemerian : Serbuk atau granul, putih sampai krem; higroskopik


Kelarutan : Mudah terdispersi dalam air membentuk larutan
kolodial, tidak larut dalam etanol, dalam eter, dan
dalam pelarut organik lain
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
Khasiat : Agen pensuspensi, agen pelapis, zat penstabil,
disintegran, pengikat
Kegunaan : Kelompok kontrol negatif.
2.3 Uraian Obat
2.3.1 Cimetidine (Dirjen POM, 1995; MIMS, 2021; Pubchem, 2020)
Nama resmi : CIMMETIDINUM
Nama lain : Cimetidin
Rumus molekul : C10H16N6S
Berat molekul : 252,34 g/mol
Rumus struktur :

Pemerian : Serbuk hablur, putih sampai hampir putih, tidak


berbau atau bau merkaptan lemah
Kelarutan : Larut dalam etanol, dalam polietilen glikol 400,
mudah larut dalam methanol, agaak sukar larut dalam
air dan dalam kloroform, praktis tidak larut daalam
eter
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, tidak tembus cahaya, dan
pada suhu kamar terkendali
Kegunaan : Obat untuk ulkus peptikum
Dosis : 300-400 mg, 2 kali sehari
Indikasi : Tata laksana ulkus peptikum atau ulkus duodenum.
Cimetidine dapat juga diberikan sebagai terapi
sindroma Zollinger-Ellison
Kontraindikasi : Pada pasien dengan hipersensitivitas terhadap
cimetidine atau komponen lain dalam obat. Peringatan
pada penggunaan cimetidine adalah untuk
menyesuaikan dosis pada pasien dengan gangguan
fungsi ginjal, serta adanya potensi cedera hepar akut
walaupun kasusnya jarang
Efek samping : Nyeri kepala, malaise, mialgia, mual, diare, dan
konstipasi
Interaksi obat : Cimetidine juga memiliki potensi interaksi obat yang
luas karena metabolismenya dipengaruhi enzim
sitokrom P450 (CYP). Interaksi obat dengan
cimetidine dapat mempengaruhi konsentrasi plasma
dan absorpsi obat lain
Farmakodinamik : Cimetidine digunakan dalam tatalaksana ulkus
peptikum, ulkus duodenum, dan keadaan hipersekresi
gaster. Obat ini berperan sebagai inhibitor reseptor
H2 yang menyebabkan supresi sekresi asam lambung
oleh sel parietal gaster yang berlangsung simultan
dengan penurunan volume cairan gaster dan
konsentrasi H+
Farmakokinetik : Menghambat reseptor H2 pada sel parietal gaster
sehingga terjadi penurunan konsentrasi cyclic-
adenosin monophosphate (c-AMP). Hal ini akan
menyebabkan supresi sekresi asam lambung
2.3.2 Diazepam (Dirjen POM, 1995; MIMS, 2021; Pubchem, 2020)
Nama resmi : DIAZEPAMUM
Nama lain : Diazepam
Rumus molekul : C16H13CIN2O
Berat molekul : 284,75 g/mol
Rumus stuktur :

Pemerian : Serbuk hablur, hampir putih sampai kuning, praktis


tidak berbau
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, mudah larut dalam
kloroform, larut dalam etanol
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, tidak tembus cahaya
Kegunaan : Obat tenang
Dosis manusia : 2-10 mg, 2-4 kali sehari
Indikasi : Sebagai pemakaian jangka pendek pada ansietas
derajat ringan hingga sedang, insomnia, status
epileptikus, kejang demam, spasme otot, dan sebagai
tambahan pada terapi putus alkohol akut. Diazepam
juga bisa digunakan sebagai premedikasi oral pada
pasien perawatan gigi yang gelisah, dan premedikasi
sebelum operasi. Penghentian pemakaian diazepam
selama jangka lama harus diturunkan secara berkala,
untuk mencegah gejala putus obat seperti kejang yang
mengancam nyawa
Kontraindikasi : Riwayat hipersensitivitas dan pasien pediatri usia <6
bulan. Diazepam diketahui dapat menyebabkan
ketergantungan, gejala putus obat, dan harus hati-hati
diberikan pada pasien yang menggunakan opioid dan
alkohol. Peringatan penggunaan diazepam termasuk
penanganan kasus overdosis obat ini
Efek samping : Tremor, nyeri kepala, vertigo, pandangan kabur,
diplopia, konstipasi, mual muntah, hipersalivasi,
hipotensi, gagal jantung, batuk, gangguan bicara,
retensi urin, dan penurunan nafsu makan
Interaksi obat : Cimetidine, kontrasepsi oral, disulfiram, eritromisin,
isoniazid, propranolol, fluvoxamine, imipramine,
fluoxetine, ciprofloxacin, ketoconazole, omeprazole,
kloramfenikol, refampin, prednisone, fenitoin,
carbamazepine, fenobarbital, topiramite, barbiturate,
levodopa, dan kokain
Farmakokinetik : Diazepam bekerja dengan cara berikatan pada
reseptor gamma-aminobutyric acid (GABA), dan
meningkatkan kemampuan inhibisi dari GABA
Farmakodinamik : GABA (gamma-aminobutyric acid) merupakan
neurotransmitter inhibisi utama pada sistem saraf
pusat. GABA berperan pada aktivitas tidur, kontrol
hipnosis, memori, ansietas, epilepsi, dan eksitabilitas
neuron. Ikatan diazepam pada reseptor GABA di
sistem limbik dan hipotalamus akan meningkatkan
laju ion klorida ke dalam neuron. Kemudian
menimbulkan hiperpolarisasi dari membran sehingga
menurunkan eksitabilitas saraf.
2.4 Uraian Hewan
2.4.1 Klasifikasi Mencit menurut Nugroho (2018)
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Class : Mamalia
Ordo : Rodentia
Famili : Muridae
Gambar 2.4.1
Genus : Mus Mencit
(Mus musculus )
Species : Mus musculus
2.4.2 Morfologi dan Anatomi Mencit
Mencit termasuk dalam filum chordate yang artinya mempunyai chorda
dorsalis, batang syaraf dorsal tunggal dan mempunyai celah insang pada masa
embrionya dan tidak berfungsi sebagai alat pernapasan. Mencit dikelompokkan
dalam klassis mamalia. Seperti telah diketahui, mammalia adalah kelompok
hewan vertebrata yang menduduki tempat tertinggi dalam perkembangan hewan.
Nama mammalia merujuk pada ciri utama anggota mamalia yaitu adanya kelenjar
mamae atau kelenjar air susu yang dapat menghasilkan air susu (pada betina) yang
dapat diberikan ke keturunannya (Nugroho, 2018)
Mencit memiliki rambut yang berwarna keabu-abuan atau putih. Mencit
memliki mata berwarna merah atau hitam, kulit berpigmen dan memiliki warna
perut sedikit pucat. Mencit dewasa pada umur 35 hari dan memiliki waktu
kehamilan 19-21 hari. Mencit dapat melahirkan 6-15 ekor. Mencit jantan dan
betina siap melakukan kopulasi pada umur 8 minggu. Siklus estrus atau masa
birahi 4-5 hari dengan lama estrus 12-14 jam. Fase estrus dimulai antara pukul
16.00-22.00 WIB. Proses persetubuhan mencit jantan dan betina untuk tujuan
fertilisasi atau disebut dengan kopulasi terjadi pada saat estrus, dengan fertilisasi 2
jam setelah kopulasi (Bella Dheta, 2017).

Anda mungkin juga menyukai