2.1.1 Pengertian Metabolisme Obat Metabolisme atau biontransformasi merupakan rangkaian reaksi yang mengubah dan mengkonversi obat menjadi senyawa yang larut air agar dapat diekresikan. Tanpa ada metabolisme obat akan memiliki efek, pada tubuh dan bahkan memebahayakan jika terakumulasi hingga mencapai kadar toksik. Hati merupaka orga primer dalam metabolisme obat (Fulcher and Soto, 2016). Hasil metaolisme obat umumnya menjadi bentuk yang kurang atau tidak aktif secara farmakologis dibanding obat bentuk awal, kecuali obat yang bersifat prodrug seperti kodein. Metabolisme obat di hati dapat terbagi menjadi metabolisme fase I dan fase II. Metabolisme fase I bertujuan untuk mengubah obat yang bersifat lipofil menjadi lebih larut air, yang meliputi fase oksidasi, reduksi, dan hidrolisis. Reaksi-reaksi ini umumnya menghasilkan metabolit dengan gugus fungsional yang lebih polar seperti –OH, NH2, -SH, atau –COOH. Famili enzim CYP 450 memiliki kontribusi terbesar dalam metabolisme fase I (Hu and Li, 2017). Jika sudah cukup polar, metabolit fase I dapat segera diekskresikan. Namun, ada pula produk fase I yang tidak dieliminasi secara cepat dan mengalami reaksi berikutnya (fase II), yaitu reaksi konjugasi (Katzung, 2015). 2.1.2 Tahap Metabolisme Metabolisme obat juga dikenal dengan biontransformasi obat yang bertujuan untuk mengubah xenobiotik lebih hidrofil sehingga dapat dieliminasi secara efisien oleh ginjal. Ada dua kategori utama reaksi metbolisme yaitu fase 1 dan fase II. Dimana reaksi fase 1 berkaitan dengan penambaahan dan pengurangan gugus fungsional yang digunakan untuk menyelesaikan fase II. Sebagian besar reaksi fase I diperantai oleh sitokrom P450 yang dilaksanakan oleh enzim polimorfisme. Obat (inhibitor enzim) dapat menghambat kerja enzim yang dapat meningkatkan konsentrasi obat dan substrat. Obat dapat menginduksi dan menginhibisi enzim yang dapat meningkatkan dan menurunkan kecepatan metabolisme obat (Syamsudin, 2018). Metabolisme obat dihati dapat terbagi menjdi fase I dan fase II. Metabolisme fase I bertujuan untuk mengubah obat yang bersifat lipofil menjadi lebih larut air, yang meliputi fase oksidasi, reduksi dn hidrolisis. Reaksi ini umumnya menghasilkan metabolit dengan gugus fungsional yang polar seperti – OH, NH2, -SH, atau –COOH. Family enzim P450 memiliki kontribusi terbesar dalam fase I (Hu and Li, 2011). Jika sudah cukup polar fase 1 dapat segera dieksresikan. Namun, ada pula produk fase I yang tidak dieliminase secara cepat dan mengalami reaksi berikutnya (fase II) yaitu reaksi konjugasi (Katzung, 2015). 2.1.3 Faktor- faktor yang mempengaruhi metabolisme obat Beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi kecepatan biotransformasi, yaitu: 1. Faktor intrinsik Meliputi sifat yang dimiliki obat seperti sifat fisika-kimia obat, lipofilitas dosis, dan cara pemberian. Banyak obat terutama yang lipofil dapat menstimulir pembentukan dan aktivitas enzim-enzim hati. Sebaliknya dikenal pula obat yang menhambat atau menginaktifkan enzim tersebut, misalnya antikoagulansia, antidiabetik oral, sulfonamide, antidepresiva trisiklis, metronidazol, allopurinolol dan disulfiram. 2. Faktor fisiologi Meliputi sifat-sifat yang dimiliki makhluk hidup seperti jenis atau spesies,genetik, umur, dan jenis kelamin. a. Perbedaan Spesies dan galur Dalam proses metabolisme obat, perubahan kimia yang terjadi pada spesies dan galur kemungkinan sama atau sedikit berbeda, tetapi kadang-kadang ada perbedaan yang cukup besar pada reaksi metabolismenya. Pengamatan pengaruh perbedaan spesies dan galur terhadap metabolisme obat sudah banyak dilakukan yaitu pada tipe reaksi metabolik atau perbedaan kualitatif dan pada kecepatan metabolismenya atau perbedaan kuantitatif. b. Faktor Genetik Perbedaan individu pada proses metabolisme sejumlah obat kadang- kadang terjadi dalam sistem kehidupan. Hal ini menunjukkan bahwa faktor genetik atau keturunan berperan terhadap kecepatan metabolisme. c. Perbedaan Umur Pada usia tua, metabolisme obat oleh hati mungkin menurun, tapi biasanya yang lebih penting adalah menurunnya fungsi ginjal. Pada usia 65 tahun Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) menurun sampai 30% dan tiap 1 tahun berikutnya menurun lagi 1-2% sebagai akibat hilangnya sel dan penurunan aliran darah ginjal. Oleh karena itu, orang lanjut usia membutuhkan beberapa obat dengan dosis lebih kecil dari pada orang muda. d. Perbedaan jenis Kelamin Pada beberapa spesies binatang menunjukkan ada pengaruh jenis kelamin terhadap kecepatan metabolisme obat. Pada manusia baru sedikit yang diketahui tentang adanya pengaruh perbedaan jenis kelamin terhadap metabolisme obat. Contoh nikotin dan asetosal dimetabolisme secara berbeda pada pria dan wanita. 3. Faktor farmakologi Meliputi inhibisi enzim oleh inhibitor dan induksi enzim oleh induktor. Kenaikan aktivitas enzim menyababkan lebih cepatnya metabolisme (deaktivitanya obat). Akibatnya, kadar dalam plasma berkurang dan memperpendek waktu paruh obat. Karena itu, intensitas dan efek farmakologinya berkurang dan sebaliknya. 4. Faktor patologi Menyangkut jenis dan kondisi penyakit, contohnya pada penderita stroke, pemberian Fenobarbital bersama dengan Warfarin secara agonis akan mengurangi efek anti koagulasinya sehingga sumbatan pembuluh darah dapat dibuka. Demikian pula Cimetidin (antagonis reseptor H2) akan menghambat aktivitas sitokrom P-450 dalam memetabolisme obat-obat lain. 5. Faktor makanan Adanya konsumsi Alkohol, rokok, dan protein. Makanan pangan arang dan sayur mayur cruciferous diketahui menginduksi enzim CP1A, sedang jus buah anggur diketahui menghambat metabolisme oleh CP3A terhadap substrat obat yang diberikan secara bersamaan. 6. Faktor lingkungan Adanya insektisida dan logam-logam berat, merokok sigaret memetabolisme beberapa obat lebih cepat dari pada yang tidak merokok, karena terjadi induksi enzim. Perbedaan yang demikian mempersulit penentuan dosis yang efektif dan aman dari obat-obat yang mempunyai indeks terapi sempit. 2.1.4 Enzim CYP450 Enzim CYP450 merupakan hemoprotein yang dikode oleh 57 gen berbeda, dan memiliki kromofor yang muncul pada gelombang 450 nm (Peltoniemi, 2018). Telah terindifikasi berbagai isoform CYP450 dihati mansuia. CYP450 dalam metabolisme dapat diperiksa secara in vitro dengan penanda fungsional selektif, inhibitor kimia selektif, dan antibody CYP450. Secara in vivo pemeriksaan dapat dilakukan dengan penandaan-penadaan non invasif yang relatif sedikit, misalnya tes napas ataupun analisis urin. Metabolit tertentu setelah pemberian pelacak substrat selektif CYP450 (Fulcher and Soto, 2016). 2.1.5 Inhibisi dan Induksi Enzim Induksi merupakan peningkatan ekpresi CYP450 dapat meningkatkan laju sintesis CYP atau mengurangi kecepatan penguaraiannya. Induksi menyebabkan akselerasi metabolisme obat (substrat) dan biasanya penurunan efek farmakologis penginduksi juga obat lain yang diberikan bersama-sama (Katzung, 2015). Contoh induksi enzim yaitu Rifampisin meningkatkan metabolisme siklosporin, sehingga menurunkan efek farmakologis dari siklosporin (Stockley, 2020). Inhibisi enzim merupakan penurunan metabolisme oleh obat atau senyawa lain, sehingga menyebabkan akumulasi obat tersebut dalam bentuk aktif di dalam tubuh. Efek obat menjadi setara dengan dosis obat tersebut dinaikkan. Contohnya yaitu peningkatan kadar plasma sildenafil setelah diberikan Ritonavir menghambat enzim CYP3A4 yang memetabolisme sildenafil (Stockley, 2010). Baik inhibisi maupaun induksi memiliki pengaruh terhadap terapi, contohnya yaitu Alupurinol yang dapat memperpanjang kemoterapiutik dan toksik merkaptopurin melalui inhibisi konpetitif xantine oxidase. Karenanya untuk menghindari toksistas sumsum tulang. Dosis Merkaptopurin harus dikurangi pada pasien yang mendapat Alupurinol. Barbiturat (induktor enzim) jika digunakan bersama Warfarin akan diperlukan peningkatan dosis Warfarin. Namun, jika penggunaan Barbiturat dihentikan, metabolisme Warfarin akan berkurang atau kembali normal sehingga beresiko terjadinya pendarahan, suatu efek toksik akibat peingkatan kadar plasma dari antikoagulan tersebut (Katzung, 2015). 2.1.6 Hewan Uji Hewan coba adalah hewan yang dapat digunakan untuk suatu tujuan penelitian tertentu dan umumnya menggunakan hewan laboratorium hingga hewan ternak. Penggunaan hewan percobaan dalam berbagai penelitian fisiologi, biokimia, farmakologi, patologi, komporatif zoologi dan ekologi, juga dilakukan untuk pengembangan obat-obatan, vaksin dan produk-produk khusus misalnya: kosmetik, shampoo, dan pasta gigi (Jumrodah, 2016). Hewan coba adalah hewan yang sengaja dipelihara untuk digunakan sebagai hewan model yang berkaitan untuk pembelajaran dan pengembangan berbagai macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau pengamatan laboratorium. Hewan coba banyak digunakan sebagai penunjang dalam melakukan pengujian-pengujian terhadap obat, vaksin, atau dalam penelitian biologi (Intan dkk, 2015). Penelitian ilmiah yang baik dimana digunakan hewan sebagai objek ataupun model kajian, maka tata kerjanya dievaluasi oleh Komisi Etik Penggunaan Hewan. Oleh karena itu, penggunaan hewan dalam kegiatan laboratorium pendidikan (praktikum) perlu selaras tata caranya dan memenuhi kriteria etika penggunaan hewan percobaan. Hewan uji yang digunakan dalam penelitian tetap harus dijaga hak-haknya yang dikenal sebagai Animal Welfare seperti yang tercantum dalam five of freedom (Stevani, 2016). Animal welfare dalam Bahasa Indonesia berarti kesejahteraan hewan. Standar yang baik tentang kesejahteraan hewan sangat bervariasi antara konteks yang berbeda. Standar ini berada di bawah review konstan dan diperdebatkan, dibuat dan direvisi oleh komunitas kesejahteraan hewan, legislator dan akademisi di seluruh dunia. Ilmu kesejahteraan hewan menggunakan berbagai langkah, seperti umur panjang, penyakit, imunosupresi, perilaku, fisiologi, dan reproduksi, meskipun ada perdebatan tentang yang mana dari indikator ini yang memberikan informasi terbaik (Kadek, 2017). Komite Penanganan Hewan Universitas McGill (UACC) merekomendasikan penggunaan Penilaian Kondisi Tubuh (BCS) untuk menilai endpoint klinis hewan. BCS merupakan penilaian yang cepat, non-invasif dan efektif dalam menilai kondisi fisik hewan. Dalam banyak kasus, BCS adalah titik akhir klinis yang lebih baik daripada berat badan. Penggunaan berat badan saja tidak dapat membedakan antara lemak tubuh atau simpanan otot. Berat badan hewan yang kurang dapat tertutupi oleh kondisi abnormal (misalnya pertumbuhan tumor, akumulasi cairan ascetic, dan pembesaran organ) atau pada kondisi normal (misalnya kehamilan). selain itu jika suatu hewan telah kehilangan berat badan lebih dari 20% namun berdasarkan penilaian BCS kondisinya masih di nilai 3 (BCS 3) maka mungkin belum perlu dilakukaan euthanasia segera. Dengan demikian, BCS adalah penanda yang lebih komprehensif dan akurat untuk kesehatan hewan dibandingkan kehilangan berat badan (Stevani, 2016). Berikut cara menilai Body Condition Scoring (BCS) menurut Stevani (2016): BCS Nilai 1- Mencit kurus Tulang-tulang tubuh sangat jelas kelihatan. Bilamana diraba, tidak terasa adanya lemak atau daging. Tampak atas juga kelihatan sekali bagian-bagian tubuhnya tidak berisi lemak atau daging. BCS Nilai 2- Mencit di bawah kondisi standart Tikus tanpak kurus. Tulang-tulang masih kelihatan jelas, namun bilamana diraba masih terasa adanya daging atau lemak. Tampak atas sudah tidak terlalu berlekuk lekuk, agak berisi. Tulang pelvic dorsal dapat langsung teraba. BCS Nilai 3- Mencit dalam kondisi yang baik Tubuhnya tidak tampak tonjolan tulang, namun bilamana diraba cukup mudah merasakan adanya tulang-tulang. Tampak atas, biasanya sudah lebih lurus tampak berisi. Tulang pelvic dorsal sedikit teraba. BCS Nilai 4- Mencit di atas kondisi standart Tidak tampak adanya tonjolan tulang-tulang dan bilamana diraba agak sulit merasakan tulang karena tebalnya timbunan lemak dan daging. hewan kelihaan berisi dan tampak juga lipatan-lipatan lemak dibawah kulit. BCS Nilai 5- Mencit obese Sudah sangat sulit meraba tulang-tulang akibat timbunan lemak dan daging yang sangat tebal.
Menurut Rudy Nugroho (2018), teknik pemberian obat atau sediaan
tergantung dari tujuan penelitian, macam, dan sifat sediaan. Pemberian obat atau sediaan sangat berpengaruh terhadap hasil penelitian, sehingga sangat perlu diketahui teknik-tekniknya. Berikut ini akan diuraikan berbagai macam teknik pemberian obat atau sediaan : a. Pemberian secara oral Percobaan dengan menggunakan hewan mencit atau tikus, pemberian obat maupun sediaan dapat menggunakan teknik per oral. Pemberian obat secara oral merupakan teknik paling umum dilakukan karena relatif mudah, praktis dan murah. Namun ada beberapa kerugiannya yaitu: banyak faktor dapat mempengaruhi bioavailabilitasnya (faktor obat, faktor penderita dan adanya interaksi dalam absorbsi di saluran cerna). Sifat absorbsi obat mempunyai sifatsifat tersendiri Teknik pemberian secara oral ini sangat mudah dilakukan untuk hewan uji seperti mencit atau tikus. Mencit atau tikus dipegang dengan cara yang telah diuraikan bab sebelumnya, sehingga posisi hewan uji lurus. Suntikan oral (kanul) dapat dimasukkan ke mulut hingga oesophagus. Posisi suntikan berkanul juga harus dalam posisi tegak lurus. Larutan obat atau sediaan dalam suntikan berkanul ditempelkan pada langit-langit mulut atas mencit, kemudian dimasukkan dengan hati-hati sampai ke esofagus dan cairan obat dimasukkan. b. Subkutan Pemberian obat atau sediaan secara subkutan pada mencit dapat dilakukan di bagian bawah kulit daerah tengkuk (leher bagian atas). Teknik yang tepat adalah mencubit kulit di leher bagian atas dan kemudian obat dapat diberikan dengan suntikan dengan sudut 45 derajat. Bagian subkutan lain yang dapat digunakan untuk pemberian obat atau sediaan adalah kulit abdomen. Sementara itu jarum suntik yang digunakan untuk mencit dapat menggunakan alat suntik (syringe dan jarumnya) berukuran 1 mL atau menyesuaikan. c. Intravena Teknik pemberian obat atau sediaan secara intravena pada mencit dan tikus dilakukan dengan bantuan holder atau alat bantu pemegang hewan uji dan diusahakan ada lubang untuk ekor. Sebelum penyuntikan, ekor dapat dimasukkan ke dalam air hangat terlebih dahulu, dengan tujuan agar pembuluh vena ekor mengembang (dilatasi) sehingga mempermudah dalam pemberian obat atau sediaan. d. Intraperitonial Teknik intraperitonial sering dilakukan mencit. Saat penyuntikkan berlangsung posisi kepala hewan uji harus lebih rendah dari bagian abdomen. Cara tersebut dapat dilakukan dengan teknik menunggingkan hewan uji. Jarum suntik kemudian disuntikkan dengan membentuk sudut 46 derajat dengan abdomen, sementara posisi jarum agak menepi dari garis tengah agar tidak menusuk organ dalam seperti hepar. e. Intramuskular Teknik pemberian obat dengan cara intramuskular (IM) merupakan teknik pemberian sediaan atau obat melalui jaringan otot, umumnya di otot paha. Kecepatan dan kelengkapan adsorpsi sediaan atau obat dipengaruhi oleh kelarutan obat dalam air. Absorpsi lebih cepat terjadi di otot deltoid atau vastus lateralis daripada di bagian gluteus maksimus. Penyuntikan intramuskular juga dapat dilakukan pada mencit atau tikus pada bagian musculus yang tebal yaitu bicep femoris. 2.2 Uraian Bahan 2.2.1 Alkohol (Dirjen POM, 2020 ; Pubchem, 2019) Nama resmi : AETHANOLUM Nama lain : Etanol, Alkohol, Ethylalkohol Rumus molekul : C2H5OH Berat molekul : 46,07 g/mol Rumus Struktur :
Pemerian : Cairan tak berwarna, jernih, tidak berwarna. Bau khas
dan menyebabkan rasa terbakar pada lidah. Mudah menguap walaupun pada suhu rendah dan mendidih pada suhu 78 . Mudah terbakar Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, dalam kloroform P dan dalam eter P Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat jauh dari nyala api Khasiat : Sebagai antimikroba, disinfektan, dan pelarut Kegunaan : Pensteril pada alat laboratorium. 2.2.2 Aquadest (Dirjen POM, 2020 ; Pubchem, 2021) Nama resmi : AQUA DESTILLATA Nama lain : Air suling Rumus molekul : H2O Berat molekul : 18,02 g/mol Rumus struktur :
Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak
mempunyai rasa Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik Kegunaan : Pelarut. 2.2.3 Na-CMC (Rowe, 2009 ; Pubchem, 2020) Nama resmi : CARBOXYMETHYCELLULOSUM NATRICUM Nama lain : Karboksimetilselulosa natrium, CMC sodium Rumus molekul : C6H10O2 Berat molekul : 206,28 g/mol Rumus struktur :
Pemerian : Serbuk atau granul, putih sampai krem; higroskopik
Kelarutan : Mudah terdispersi dalam air membentuk larutan kolodial, tidak larut dalam etanol, dalam eter, dan dalam pelarut organik lain Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat Khasiat : Agen pensuspensi, agen pelapis, zat penstabil, disintegran, pengikat Kegunaan : Kelompok kontrol negatif. 2.3 Uraian Obat 2.3.1 Cimetidine (Dirjen POM, 1995; MIMS, 2021; Pubchem, 2020) Nama resmi : CIMMETIDINUM Nama lain : Cimetidin Rumus molekul : C10H16N6S Berat molekul : 252,34 g/mol Rumus struktur :
Pemerian : Serbuk hablur, putih sampai hampir putih, tidak
berbau atau bau merkaptan lemah Kelarutan : Larut dalam etanol, dalam polietilen glikol 400, mudah larut dalam methanol, agaak sukar larut dalam air dan dalam kloroform, praktis tidak larut daalam eter Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, tidak tembus cahaya, dan pada suhu kamar terkendali Kegunaan : Obat untuk ulkus peptikum Dosis : 300-400 mg, 2 kali sehari Indikasi : Tata laksana ulkus peptikum atau ulkus duodenum. Cimetidine dapat juga diberikan sebagai terapi sindroma Zollinger-Ellison Kontraindikasi : Pada pasien dengan hipersensitivitas terhadap cimetidine atau komponen lain dalam obat. Peringatan pada penggunaan cimetidine adalah untuk menyesuaikan dosis pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, serta adanya potensi cedera hepar akut walaupun kasusnya jarang Efek samping : Nyeri kepala, malaise, mialgia, mual, diare, dan konstipasi Interaksi obat : Cimetidine juga memiliki potensi interaksi obat yang luas karena metabolismenya dipengaruhi enzim sitokrom P450 (CYP). Interaksi obat dengan cimetidine dapat mempengaruhi konsentrasi plasma dan absorpsi obat lain Farmakodinamik : Cimetidine digunakan dalam tatalaksana ulkus peptikum, ulkus duodenum, dan keadaan hipersekresi gaster. Obat ini berperan sebagai inhibitor reseptor H2 yang menyebabkan supresi sekresi asam lambung oleh sel parietal gaster yang berlangsung simultan dengan penurunan volume cairan gaster dan konsentrasi H+ Farmakokinetik : Menghambat reseptor H2 pada sel parietal gaster sehingga terjadi penurunan konsentrasi cyclic- adenosin monophosphate (c-AMP). Hal ini akan menyebabkan supresi sekresi asam lambung 2.3.2 Diazepam (Dirjen POM, 1995; MIMS, 2021; Pubchem, 2020) Nama resmi : DIAZEPAMUM Nama lain : Diazepam Rumus molekul : C16H13CIN2O Berat molekul : 284,75 g/mol Rumus stuktur :
Pemerian : Serbuk hablur, hampir putih sampai kuning, praktis
tidak berbau Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, mudah larut dalam kloroform, larut dalam etanol Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, tidak tembus cahaya Kegunaan : Obat tenang Dosis manusia : 2-10 mg, 2-4 kali sehari Indikasi : Sebagai pemakaian jangka pendek pada ansietas derajat ringan hingga sedang, insomnia, status epileptikus, kejang demam, spasme otot, dan sebagai tambahan pada terapi putus alkohol akut. Diazepam juga bisa digunakan sebagai premedikasi oral pada pasien perawatan gigi yang gelisah, dan premedikasi sebelum operasi. Penghentian pemakaian diazepam selama jangka lama harus diturunkan secara berkala, untuk mencegah gejala putus obat seperti kejang yang mengancam nyawa Kontraindikasi : Riwayat hipersensitivitas dan pasien pediatri usia <6 bulan. Diazepam diketahui dapat menyebabkan ketergantungan, gejala putus obat, dan harus hati-hati diberikan pada pasien yang menggunakan opioid dan alkohol. Peringatan penggunaan diazepam termasuk penanganan kasus overdosis obat ini Efek samping : Tremor, nyeri kepala, vertigo, pandangan kabur, diplopia, konstipasi, mual muntah, hipersalivasi, hipotensi, gagal jantung, batuk, gangguan bicara, retensi urin, dan penurunan nafsu makan Interaksi obat : Cimetidine, kontrasepsi oral, disulfiram, eritromisin, isoniazid, propranolol, fluvoxamine, imipramine, fluoxetine, ciprofloxacin, ketoconazole, omeprazole, kloramfenikol, refampin, prednisone, fenitoin, carbamazepine, fenobarbital, topiramite, barbiturate, levodopa, dan kokain Farmakokinetik : Diazepam bekerja dengan cara berikatan pada reseptor gamma-aminobutyric acid (GABA), dan meningkatkan kemampuan inhibisi dari GABA Farmakodinamik : GABA (gamma-aminobutyric acid) merupakan neurotransmitter inhibisi utama pada sistem saraf pusat. GABA berperan pada aktivitas tidur, kontrol hipnosis, memori, ansietas, epilepsi, dan eksitabilitas neuron. Ikatan diazepam pada reseptor GABA di sistem limbik dan hipotalamus akan meningkatkan laju ion klorida ke dalam neuron. Kemudian menimbulkan hiperpolarisasi dari membran sehingga menurunkan eksitabilitas saraf. 2.4 Uraian Hewan 2.4.1 Klasifikasi Mencit menurut Nugroho (2018) Kingdom : Animalia Filum : Chordata Class : Mamalia Ordo : Rodentia Famili : Muridae Gambar 2.4.1 Genus : Mus Mencit (Mus musculus ) Species : Mus musculus 2.4.2 Morfologi dan Anatomi Mencit Mencit termasuk dalam filum chordate yang artinya mempunyai chorda dorsalis, batang syaraf dorsal tunggal dan mempunyai celah insang pada masa embrionya dan tidak berfungsi sebagai alat pernapasan. Mencit dikelompokkan dalam klassis mamalia. Seperti telah diketahui, mammalia adalah kelompok hewan vertebrata yang menduduki tempat tertinggi dalam perkembangan hewan. Nama mammalia merujuk pada ciri utama anggota mamalia yaitu adanya kelenjar mamae atau kelenjar air susu yang dapat menghasilkan air susu (pada betina) yang dapat diberikan ke keturunannya (Nugroho, 2018) Mencit memiliki rambut yang berwarna keabu-abuan atau putih. Mencit memliki mata berwarna merah atau hitam, kulit berpigmen dan memiliki warna perut sedikit pucat. Mencit dewasa pada umur 35 hari dan memiliki waktu kehamilan 19-21 hari. Mencit dapat melahirkan 6-15 ekor. Mencit jantan dan betina siap melakukan kopulasi pada umur 8 minggu. Siklus estrus atau masa birahi 4-5 hari dengan lama estrus 12-14 jam. Fase estrus dimulai antara pukul 16.00-22.00 WIB. Proses persetubuhan mencit jantan dan betina untuk tujuan fertilisasi atau disebut dengan kopulasi terjadi pada saat estrus, dengan fertilisasi 2 jam setelah kopulasi (Bella Dheta, 2017).