Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTARA
2.1. Dasar Teori
2.1.1 Definisi Hiperglikemia dan Hipoglikemia
Hiperglikemia adalah kadar gula darah yang tinggi dengan nilai lebih dari
normal dikarenakan tubuh tidak memproduksi insulin atau insulin tidak bekerja
dengan baik (Hess-Fischl, 2016).
Hipoglikemia atau penurunan kadar gula darah merupakan keadaan dimana
kadar glukosa darah berada di bawah normal, yang dapat terjadi karena
ketidakseimbangan antara makanan yang dimakan, aktivitas fisik dan obat-obatan
yang digunakan. Sindrom hipoglikemia ditandai dengan gejala klinis antara lain
penderita merasa pusing, lemas, gemetar, pandangan menjadi kabur dan gelap,
berkeringat dingin, detak jantung meningkat dan terkadang sampai hilang
kesadaran (syok hipoglikemia) (Fowler, 2015).
Hipoglikemia merupakan penyakit yang disebabakan oleh kadar gula darah
(glukosa) yang rendah. Dalam keadaan normal, tubuh mempertahankan kadar
gula darah antara 70-11- mg/dl (Aina Abata, 2015).
2.1.2 Definisi Diabetes Mellitus
Menurut Punthakee et al. (2018), Diabetes melitus adalah kelainan metabolisme
heterogen yang ditandai dengan adanya hiperglikemia akibat gangguan sekresi
insulin, aksi insulin yang rusak atau keduanya. Hiperglikemia kronis dari diabetes
dikaitkan dengan komplikasi mikrovaskular jangka panjang yang relatif spesifik
yang mempengaruhi mata, ginjal dan saraf, serta peningkatan risiko penyakit
kardiovaskular. Kriteria diagnostik untuk diabetes didasarkan pada ambang batas
glikemia yang berhubungan dengan penyakit mikrovaskular, terutama retinopati.
Menurut World Health Organization (WHO) Diabetes Mellitus merupakan
penyakit kronis yang terjadi ketika pankreas tidak mampu memproduksi insulin
yang cukup, atau ketika tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang
dihasilkannya secara efektif (Kogilavani, 2017).

2.1.3 Klasifikasi Diabetes Melitus

5
Organisasi profesi yang berhubungan dengan Diabetes Melitus seperti
American Diabetes Association (ADA) telah membagi jenis Diabetes Melitus
berdasarkan penyebabnya. PERKENI dan IDAI sebagai organisasi yang sama di
Indonesia menggunakan klasifikasi dengan dasar yang sama seperti klasifikasi
yang dibuat oleh organisasi yang lainnya (Perkeni, 2015).
Klasifikasi Diabetes Melitus berdasarkan etiologi menurut Perkeni (2015)
adalah sebagai berikut :
a. Diabetes melitus (DM) tipe 1 Diabetes Melitus yang terjadi karena
kerusakan atau destruksi sel beta di pancreas kerusakan ini berakibat pada
keadaan defisiensi insulin yang terjadi secara absolut. Penyebab dari
kerusakan sel beta antara lain autoimun dan idiopatik.
b. Diabetes melitus (DM) tipe 2 Penyebab Diabetes Melitus tipe 2 seperti yang
diketahui adalah resistensi insulin. Insulin dalam jumlah yang cukup tetapi
tidak dapat bekerja secara optimal sehingga menyebabkan kadar gula darah
tinggi di dalam tubuh. Defisiensi insulin juga dapat terjadi secara relatif
pada penderita Diabetes Melitus tipe 2 dan sangat mungkin untuk menjadi
defisiensi insulin absolut.
c. Diabetes melitus (DM) tipe lain Penyebab Diabetes Melitus tipe lain sangat
bervariasi. DM tipe ini dapat disebabkan oleh efek genetik fungsi sel beta,
efek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati
pankreas, obat, zat kimia, infeksi, kelainan imunologi dan sindrom genetik
lain yang berkaitan dengan Diabetes Melitus.
d. Diabetes melitus Gestasional adalah diabetes yang muncul pada saat hamil.
Keadaan ini terjadi karena pembentukan beberapa hormone pada ibu hamil
yang menyebabkan resistensi insulin.
2.1.4 Etiologi Diabetes Melitus
1. Diabetes Mellitus (DM) Tipe 1
Diabetes Mellitus tipe 1 terjadi akibat kegagalan sel β-pankreas dengan
defisiensi sekresi insulin "absolut". Hal ini paling sering disebabkan oleh
kerusakan imunemediasi sel β-pankreas, tetapi hal-hal lain yang tidak diketahui
juga dapat berkontribusi. Proses autoimun dimediasi oleh makrofag dan limfosit T

6
dengan autoantibodi yang bersirkulasi ke berbagai antigen sel β. Antibodi yang
paling sering terdeteksi pada dengan DM tipe 1 adalah ICA. Autoantibodi lain
dapat dibentuk menjadi insulin, asam glutamat dekarboksilase 65, tirosin fosfatase
IA-2 dan IA-2β dan ZnT8 (transporter seng 8). Antibodi ini umumnya dianggap
sebagai penanda penyakit daripada mediator penghancuran sel β. Gangguan
autoimun lainnya seperti Tiroiditis Hashimoto, penyakit Graves, penyakit
Addison, Vitiligo, dan Sariawan Celiac lebih sering terjadi pada pasien dengan
Diabetes Mellitus tipe 1 (Dipiro et al, 2015).
2. Diabetes Mellitus tipe 2
Diabetes Mellitus tipe 2 atau Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM),
dapat terjadi karena kerusakan progresif sekretorik insulin atau akibat resistensi
insulin (Bervariasi mulai dari yang predominan resistensi insulin disertai
defesiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin
bersama resistensi insulin). Diabetes Mellitus tipe 2 mengenai 90-95% pasien
dengan Diabetes Mellitus. Insidensi terjadi lebih umum pada usia di atas 30 tahun,
berhubungan dengan obesitas, herediter dan faktor lingkungan. Diabetes Mellitus
tipe ini sering terdiagnosis setelah terjadi komplikasi (Kogilavani, 2017).
a. Resistensi Insulin
Resistensi insulin umumnya terjadi pada orang-orang dengan berat badan
overweight atau obesitas. Insulin tidak dapat bekerja secara optimal di sel otot,
lemak, dan hati sehingga pankreas harus memproduksi insulin lebih banyak.
Ketika produksi insulin oleh sel beta pankreas tidak cukup dalam mengimbangi
peningkatan resistensi insulin, maka kadar glukosa darah akan meningkat, pada
saatnya akan terjadi hiperglikemia kronik. Secara molekuler beberapa faktor yang
diduga terlibat dalam patogenesis resistensi insulin antara lain, perubahan pada
protein kinase B, mutasi protein Insulin Receptor Substrate (IRS), peningkatan
fosforilasi serin dari protein IRS, Phosphatidylinositol 3 Kinase (PI3 Kinase),
protein kinase C, dan mekanisme molekuler dari inhibisi transkripsi gen IR
(Insulin Receptor) (Decroli, 2019).

b. Kerusakan Sel β-pankreas

7
Ada beberapa teori yang menerangkan bagaimana terjadinya kerusakan sel
beta, diantaranya adalah teori glukotoksisitas, lipotoksisitas, dan penumpukan
amiloid. Efek hiperglikemia terhadap sel β-pankreas dapat muncul dalam
beberapa bentuk. Pertama adalah desensitasi sel beta pankreas, yaitu gangguan
sementara sel β-pankreas yang dirangsang oleh hiperglikemia yang berulang.
Keadaan ini akan kembali normal bila glukosa darah dinormalkan. Kedua adalah
ausnya sel β-pankreas yang merupakan kelainan yang masih reversibel dan terjadi
lebih dini dibandingkan glukotoksisitas. Ketiga adalah kerusakan sel beta yang
menetap (Decroli, 2019).
Pada Diabetes Mellitus tipe 2, sel beta pancreas dengan hiperglikemia akan
memproduksi Reactive Oxygen Species (ROS). Peningkatan ROS yang berlebihan
akan menyebabkan kerusakan sel beta pankreas. Hiperglikemia kronik merupakan
keadaan yang dapat menyebabkan berkurangnya sintesis dan sekresi insulin di
satu sisi dan merusak sel beta secara gradual (Decroli, 2019).
c. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan juga memegang peranan penting dalam terjadinya
penyakit DM tipe 2. Faktor lingkungan tersebut adalah adanya obesitas, banyak
makan, dan kurangnya aktivitas fisik (Decroli, 2019).
3. Gestasional (Diabetes Kehamilan)
Diabetes Mellitus tipe ini dapat terjadi karena penyebab lain, misalnya,
defek genetik pada fungsi sel-β, defek genetik pada kerja insulin, penyakit
eksokrin pankreas (seperti fibrosis kistik, pankreatitis dll.), penyakit metabolik
endokrin (cushing syndrome, akromegali dll.), infeksi (rubella congenital, CMV
dll), Universitas sindrom genetik lain dan karena disebabkan oleh obat atau zat
kimia (seperti dalam pengobatan HIV/AIDS atau setelah transplantasi organ)
(Kogilavani, 2017).
2.1.5 Patofisiologi Diabetes Mellitus
Diabetes melitus yang merupakan penyakit dengan gangguan pada metabolisme
karbohidrat, protein dan lemak karena insulin tidak dapat bekerja secara optimal,
jumlah insulin yang tidak memenuhi kebutuhan atau keduanya. Gangguan
metabolisme tersebut dapat terjadi karena 3 hal yaitu pertama karena kerusakan

8
pada sel-sel beta pankreas karena pengaruh dari luar seperti zat kimia, virus dan
bakteri. Penyebab yang kedua adalah penurunan reseptor glukosa pada kelenjar
pankreas dan yang ketiga karena kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer
(Fatimah, 2015).
Insulin yang disekresi oleh sel beta pankreas berfungsi untuk mengatur kadar
glukosa darah dalam tubuh. Kadar glukosa darah yang tinggi akan menstimulasi
sel beta pankreas untuk mengsekresi insulin. Sel beta pankreas yang tidak
berfungsi secara optimal sehingga berakibat pada kurangnya sekresi insulin
menjadi penyebab kadar glukosa darah tinggi. Penyebab dari kerusakan sel beta
pankreas sangat banyak seperti contoh penyakit autoimun dan idiopatik (Fatimah,
2015).
Menurut Padri, (2015) patofisiologi diabetes mellitus yaitu sebagai berikut:

Gambar 2.1 Patofisiologi Diabetes Mellitus


2.1.6 Tanda Dan Gejala Diabetes Mellitus
Kadar gula darah adalah terjadinya suatu peningkatan setelah makan dan
mengalami penurunan di waktu pagi hari bangun tidur. Bila seseorang dikatakan
mengalami hipoglikemia apabila keadaan kadar gula dalam darah jauh diatas nilai
normal, sedangkan hipoglikemia suatu keadaan kondisi dimana seseorang
mengalami penurunan nilai gula dalam darah dibawah normal (Rudi 2015).

9
Kadar gula darah merupakan peningkatan glukosa dalam darah. Konsentrasi
terhadap gula darah atau peningkatan glukosa serum diatur secara ketat di dalam
tubuh. Glukosa dialirkan melalui darah merupakan sumber utama energi untuk
sel-sel tubuh. Nilai untuk kadar gula darah dalam darah bisa dihitung dengan
beberapa cara dan kriteria yang berbeda.
Tabel 2.1 Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan
penyaring dan diagnosa DM (mg/dL)

Bukan Belum
DM
DM pasti DM
Kadar Glukosa Plasma Vena <100 100-199 ≥200
darah sewaktu Plasma Kapiler <90 90-199 ≥200
(mg/dL)
Kadar Glukosa Plasma Vena <100 100-125 ≥126
darah puasa Plasma Kapiler <90 90-99 ≥100
(mg/dL
Sumber : (Brunner & Suddarth, 2016; Dipiro et al, 2015).
Sedangkan menurut Rudi (2013), hasil pemeriksaan kadar gula darah dikatakan
normal bila :
a. Gula darah sewaktu : < 110 mg/dL
b. Gula darah puasa : 70 – 110 mg/dL
c. Waktu tidur : 110 – 150 mg/dL
d. 1 jam setelah makan : < 160 mg/dL
e. 2 jam setelah makan : < 140 mg/dL
f. Pada wanita hamil : < 140 mg/dL
Gejala  penyakit diabetes melitus dari satu penderita ke penderita lainnya
tidak selalu sama. Gejala yang disebutkan dibawah ini adalah gejala yang
umumnya timbul dengan tidak mengurangi kemungkinan adanya variasi gejala
lain. Ada pula penderita diabetes melitus yang tidak menunjukkan gejala apa pun
sampai pada saat tertentu (Perkeni, 2015).

10
1. Pada permulaan, gejala yang ditunjukkan meliputi “tiga P” yaitu:
a) Polifagia (meningkatnya nafsu makan, banyak makan).
b) Polidipsia (meningkatnya rasa haus, banyak minum).
c) Poliuria (meningkatnya keluaran urin, banyak kencing).
Dalam fase ini biasanya penderita menunjukkan berat badan yang terus
meningkat, bertambah gemuk, mungkin sampai terjadi kegemukan. Pada keadaan
ini jumlah insulin masih dapat mengimbangi kadar glukosa dalam darah (Perkeni,
2015).
2. Bila keadaan diatas tidak segera diobati, kemudian akan timbul gejala yang
disebabkan oleh kurangnya insulin, yaitu :
a. Banyak minum.
b. Banyak kencing.
c. Berat badan menurun dengan cepat (dapat turun 5-10 kg dalam waktu
2-4 minggu).
d. Mudah lelah.
e. Bila tidak lekas diobati, akan timbul rasa mual jika kadar glukosa darah
melebihi 500 mg/dl, bahkan penderita akan jatuh koma (tidak sadarkan diri)
dan disebut koma diabetik.
Koma diabetik adalah koma pada penderita diabetes melitus akibat kadar
glukosa darah terlalu tinggi, biasanya 600 mg/dl atau lebih. Dalam praktik,  gejala
dan penurunan berat badan inilah yang paling sering menjadi keluhan utama
penderita untuk berobat ke dokter (Perkeni, 2015)
Kadang-kadang penderita diabetes melitus tidak menunjukkan gejala akut
(mendadak), tetapi penderita tersebut baru menunjukkan gejala setelah beberapa
bulan atau beberapa tahun mengidap penyakit diabetes melitus. Gejala ini dikenal
dengan gejala kronik atau menahun (Perkeni, 2015)
Gejala kronik yang sering timbul pada penderita diabetes adalah seperti
yang disebut dibawah ini (Perkeni, 2015)
a. Kesemutan.
b. Kulit terasa panas, atau seperti tertusuk-tusuk jarum, rasa tebal pada kulit
telapak kaki, sehingga kalau berjalan seperti diatas bantal atau kasur.

11
c. Kram.
d. Capai, pegal-pegal.
e. Mudah mengantuk.
f. Mata kabur, biasanya sering ganti kacamata.
g. Gatal di sekitar kemaluan, terutama wanita.
h. Gigi mudah goyah dan mudah lepas.
i. Kemampuan seksual menurun, bahkan impoten, dan
Para ibu hamil sering mengalami gangguan atau kematian janin dalam
kandungan, atau melahirkan bayi dengan berat lebih dari 3,5 kg.  
2.1.7 Penggolongan Diabetes Mellitus
1. Diabetes Mellitus Tipe I atau IDDM (Insulin Dependent Diabetes Mellitus).
Penyebab utama Diabetes Mellitus Tipe I adalah terjadinya kekurangan
hormon insulin pada proses penyerapan makanan. Fungsi utama hormon insulin
dalam menurunkan kadar glukosa secara alami dengan cara (Perkeni, 2015) :
a. Meningkatkan jumlah gula yang disipan didalam hati.
b. Merangsang sel-sel tubuh agar menyerap gula.
c. Mencegah hati mengeluarkan terlalu banyak gula.
Jika insulin berkurang, kadar gula didalam darah akan meningkat. Gula
dalam darah berasal dari makanan kita yang diolah secara kimiawi oleh hati.
Sebagian gula disimpan dan sebagian lagi digunakan untuk tenaga. Disinilah
fungsi hormone insulin sebagai “stabilizer” alami terhadap kadar glukosa dalam
darah. Jika terjadi gangguan sekresi (produksi) hormone insulin ataupun terjadi
gangguan pada proses penyerapan hormone insulin pada sel-sel darah maka
potensi terjadinya Diabetes Mellitus sangat besar sekali (Perkeni, 2015).
2. Diabetes Mellitus Tipe II atau NIDDM (Non Insulin Dependent Diabetes
Mellitus)
Jika pada Diabetes Mellitus Tipe I penyebab utamanya adalah dari
malfungsi kelenjar pankreas, maka pada Diabetes Mellitus Tipe II, gangguan
utama justru terjadi pada volume reseptor (penerima) hormon insulin, yakni sel-
sel darah. Dalam kondisi ini produktivitas hormone insulin bekerja dengan baik,
namun tidak terdukung oleh kuantitas volume reseptor yang cukup pada sel darah,

12
keadaan ini dikenal dengan resistensi insulin. Dibawah ini terdapat beberapa
fakor-faktor yang memiliki peranan penting terjadinya hal tersebut (Perkeni,
2015) :
a. Obesitas.
b. Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat.
c. Kurang gerak badan (olahraga).
d. Faktor keturunan.
Diabetes Mellitus tidak menakutkan bila diketahui lebih awal. Gejala-gejala
yang timbul sangat tidak bijaksana untuk dibiarkan, karena justru akan
menjerumuskan kedalam komplikasi yang lebih fatal. Jika berlangsung menahun
kondisi penderita Diabetes Mellitus berpel uang besar menjadi ke toasidosis
ataupun hipoglikemia (Perkeni, 2015).
2.1.8 Faktor-faktor yang memicu terjadinya Diabetes Melitus
Menurut (Yuliasih dan Wirawanni, 2009), faktor-faktor yang memicu
terjadinya Diabetes Melitus antara lain :
1. Usia diatas 45 tahun
Pada orang-orang yang berumur fungsi organ tubuh semakin menurun, hal
ini diakibatkan aktivitas sel beta pankreas untuk menghasilkan insulin
menjadi berkurang dan sensitifitas sel-sel jaringan menurun sehingga tidak
menerima insulin.
2. Obesitas atau kegemukan
Pada orang gemuk aktivitas jaringan lemak dan otot menurun sehingga
dapat memicu munculnya Diabetes Mellitus.
3. Pola makan
Pola yang serba instan saat ini memang sangat digemari oleh sebagian
masyarakat perkotaan. Pola makan yang tidak sesuai dengan kebutuhan
tubuh dapat menjadi penyebab Diabetes Mellitus, misalnya makanan
gorengan yang mengandung nilai gizi yang minim.
4. Riwayat Diabetes Mellitus pada keluarga
Sekitar 15-20 % penderita NIDDM (Non Insulin Dependen Diabetes
Mellitus) mempunyai riwayat keluarga Diabetes Mellitus, sedangkan

13
IDDM (Insulin Dependen Diabetes Mellitus) sebanyak 57% berasal dari
keluarga Diabetes Mellitus.
5. Kurangnya berolahraga atau beraktivitas
Olahraga dapat dilakukan 3-5 kali seminggu, kurang berolahraga dapat
menurunkan sensitifitas sel terhadap insulin dapat menurun sehingga dapat
mengakibatkan penumpukan lemak dalam tubuh yang dapat menyebabkan
Diabetes Mellitus.
i. Golongan Obat Hipoglikemik
1. Golongan Sulfoniurea
Obat Hipoglikemik Oral (OHO) golongan sulfonilurea merupakan obat
pilihan untuk penderita diabetes dewasa baru dengan berat badan normal dan
kurang serta tidak pernah mengalami ketoasidosis sebelumnya. Sulfonilurea
bekerja dengan cara menstimulasi penglepasan insulin yang tersimpan,
menurunkan ambang sekresi insulin, dan meningkatkan sekresi insulin sebagai
akibat rangsangan glukosa.
Contoh obat sulfonilurea generasi pertama adalah asetoheksamida,
klorpropamida, tolazamida, dan tolbutamida, sedangkan generasi kedua antara
lain gliburida (glibenklamida), glipizida, glikasida, glimepirida, dan glikuidon.
Obat golongan ini semuanya mempunyai cara kerja yang serupa, berbeda dalam
hal masa kerja, degradasi, dan aktivitas metabolitnya. Pada pemakaian
sulfonilurea, umumnya selalu dimulai dengan dosis rendah untuk menghindari
kemungkinan hipoglikemia. Untuk menghindari resiko hipoglikemia
berkepanjangan pada berbagai keadaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan
hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan
sulfonilurea kerja panjang. Efek samping sulfonilurea umumnya ringan dan
frekuensinya rendah, antara lain gangguan saluran cerna dan gangguan susunan
saraf. Klorpropamid kurang dianjurkan pada keadaan insufisiensi renal dan orang
tua karena risiko hipoglikemia yang berkepanjangan, demikian juga glibenkamid.
Untuk orang tua dianjurkan preparat dengan waktu kerja pendek. Glikuidon juga
diberikan pada pasien DM dengan gangguan fungsi ginjal atau hati ringan
(Wardani, 2016).

14
2. Golongan Meglitinida
Golongan Meglitinida terdiri dari nateglinide dan repaglinide bekerja seperti
sulfonilurea dengan menstimulasi sekresi insulin dari sel β-pankreas. Efek
samping akibat penggunaan short-acting insulin secretagogues adalah efek
hipoglikemi dan peningkatan berat badan. Namun resiko hipoglikemia yang
muncul lebih rendah daripada akibat penggunaan sulfonilurea (gliburid dan
glipizid) (Perkeni, 2015).
Penggunaan nateglinid dikontraindikasikan bagi pasien DM tipe 1, pasien
yang mengalami ketoasidosis dan hipersensitif terhadap obat ini Obat ini
diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat
melalui hati (Perkeni, 2015).
3. Golongan biguanid
Biguanid meningkatkan kepekaan reseptor insulin, sehingga absorbsi
glukosa di jaringan perifer meningkat dan menghambat glukoneogenesis dalam
hati dan meningkatan penyerapan glukosa di jaringan perifer. Preparat yang ada
dan aman adalah metformin. Metformin tidak meningkatkan berat badan seperti
insulin sehingga biasa digunakan, khususnya pada pasien dengan obesitas
(Wardani, 2016).
Metformin juga dapat menurunkan kadar trigliserida hingga 16%, LDL
kolesterol hingga 8% dan total kolesterol hingga 5%, dan juga dapat
meningkatkan HDL kolesterol hingga 2% (Soegondo, 2004). Pada pemakaian
tunggal, metformin dapat menurunkan kadar glukosa darah sampai 20%
(Wardani, 2016).
Pada pasien dengan berat lebih, dapat dikombinasi dengan obat golongan
sulfonylurea. Kombinasi sulfonilurea dan metformin merupakan kombinasi yang
rasional karena cara kerja berbeda yang saling aditif. Efek samping yang sering
terjadi adalah nausea, muntah, kadang-kadang diare dan dapat menyebabkan
asidosis laktat. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan
fungsi ginjal (kreatinin serum > 1,5) dan hati, serta pasien-pasien dengan

15
kecenderungan hipoksemia, misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, syok,
gagal jantung (Wardani, 2016).

4. Thiazolidindione
Thiazolidindione bekerja dengan mengikat pada peroxisome proliferator
activator receptor-γ (PPAR-γ), yang terutama ada pada sel lemak dan sel
vaskular. Thiazolidindione secara tidak langsung meningkatkan sensitivitas
insulin pada otot, liver, dan jaringan lemak. Thiazolidindione adalah obat
golongan baru yang mempunyai efek meningkatkan sensitivitas insulin, sehingga
bisa mengatasi masalah resistensi insulin dan berbagai masalah akibat resistensi
insulin tanpa menyebabkan hipoglikemi. Kegiatan farmakologisnya luas dan
berupa penurunan kadar glukosa dan insulin dengan jalan meningkatkan kepekaan
bagi insulin dari otot, jaringan lemak dan hati. Sebagai efeknya penyerapan
glukosa ke dalam jaringan lemak dan otot meningkat. Kegiatan farmakologi
lainnya antara lain dapat menurunkan kadar trigliserida atau asam lemak bebas
dan mengurangi glukoneogenesis dalam hati. Zat ini tidak mendorong pankreas
untuk meningkatkan pelepasan insulin seperti sulfonilurea (Wardani, 2016).
Dua anggota dari golongan tersebut tersedia secara komersial adalah
rosiglitazon dan pioglitazon. Efek samping yang utama dari thiazolidindione
adalah udem, terutama pada pasien hipertensi dan congestive cardiac failure.
Thiazolidindione dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas IIV
karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati.
Pasien yang menggunakan obat ini perlu dilakukan pemantauan faal hati secara
berkala. Thiazolidindione tidak digunakan sebagai obat tunggal (Wardani, 2016).
5. Golongan α-glukosidase-inhibitors
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim α-glukosidase
di dalam saluran cerna. Sehingga reaksi penguraian di-/polisakarida menjadi
monosakarida dihambat. Dengan demikian glukosa dilepaskan lebih lambat dan
absorpsinya ke dalam darah juga kurang cepat, lebih rendah dan merata, sehingga
memuncaknya kadar glukosa darah dihindarkan (Perkeni, 2015).

16
Obat ini bekerja di lumen usus, tidak menyebabkan hipoglikemia dan tidak
berpengaruh pada kadar insulin. Obat ini umumnya diberikan dengan dosis awal
50 mg dan dinaikan secara bertahap sampai 150-600 mg/hari. Efek sampingnya
adalah perut kurang enak, lebih banyak flatus dan kadang-kadang diare (Perkeni,
2015).
2.1.10 Hewan Uji
Hewan coba adalah hewan yang dapat digunakan untuk suatu tujuan
penelitian tertentu dan umumnya menggunakan hewan laboratorium hingga
hewan ternak. Penggunaan hewan percobaan dalam berbagai penelitian fisiologi,
biokimia, farmakologi, patologi, komporatif zoologi dan ekologi, juga dilakukan
untuk pengembangan obat-obatan, vaksin dan produk-produk khusus misalnya:
kosmetik, shampoo, dan pasta gigi (Jumrodah, 2016).
Hewan coba adalah hewan yang sengaja dipelihara untuk digunakan
sebagai hewan model yang berkaitan untuk pembelajaran dan pengembangan
berbagai macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau pengamatan
laboratorium. Hewan coba banyak digunakan sebagai penunjang dalam
melakukan pengujian-pengujian terhadap obat, vaksin, atau dalam penelitian
biologi (Esmawatti, 2015).
Penelitian ilmiah yang baik dimana digunakan hewan sebagai objek
ataupun model kajian, maka tata kerjanya dievaluasi oleh Komisi Etik
Penggunaan Hewan. Oleh karena itu, penggunaan hewan dalam kegiatan
laboratorium pendidikan (praktikum) perlu selaras tata caranya dan memenuhi
kriteria etika penggunaan hewan percobaan. Hewan uji yang digunakan dalam
penelitian tetap harus dijaga hak-haknya yang dikenal sebagai Animal Welfare
seperti yang tercantum dalam five of freedom (Stevani, 2016).
Animal welfare dalam Bahasa Indonesia berarti kesejahteraan hewan.
Standar "yang baik" tentang kesejahteraan hewan sangat bervariasi antara konteks
yang berbeda. Standar ini berada di bawah review konstan dan diperdebatkan,
dibuat dan direvisi oleh komunitas kesejahteraan hewan, legislator dan akademisi
di seluruh dunia. Ilmu kesejahteraan hewan menggunakan berbagai langkah,
seperti umur panjang, penyakit, imunosupresi, perilaku, fisiologi, dan reproduksi,

17
meskipun ada perdebatan tentang yang mana dari indikator ini yang memberikan
informasi terbaik (Kadek, 2017).
Komite Penanganan Hewan Universitas McGill (UACC) merekomen-
dasikan penggunaan Penilaian Kondisi Tubuh (BCS) untuk menilai endpoint
klinis hewan. BCS merupakan penilaian yang cepat, non-invasif dan efektif dalam
menilai kondisi fisik hewan. Dalam banyak kasus, BCS adalah titik akhir klinis
yang lebih baik daripada berat badan. Penggunaan berat badan saja tidak dapat
membedakan antara lemak tubuh atau simpanan otot. Berat badan hewan yang
kurang dapat tertutupi oleh kondisi abnormal (misalnya pertumbuhan tumor,
akumulasi cairan ascetic, dan pembesaran organ) atau pada kondisi normal
(misalnya kehamilan). selain itu jika suatu hewan telah kehilangan berat badan
lebih dari 20% namun berdasarkan penilaian BCS kondisinya masih di nilai 3
(BCS 3) maka mungkin belum perlu dilakukaan euthanasia segera. Dengan
demikian, BCS adalah penanda yang lebih komprehensif dan akurat untuk
kesehatan hewan dibandingkan kehilangan berat badan (Stevani, 2016).
Berikut cara menilai Body Condition Scoring (BCS) menurut Stevani
(2016):
BCS Nilai 1- Mencit kurus
Tulang-tulang tubuh sangat jelas kelihatan. Bilamana diraba,
tidak terasa adanya lemak atau daging. Tampak atas juga
kelihatan sekali bagian-bagian tubuhnya tidak berisi lemak atau
daging.

BCS Nilai 2- Mencit di bawah kondisi standart


Tikus tanpak kurus. Tulang-tulang masih kelihatan jelas,
namun bilamana diraba masih terasa adanya daging atau lemak.
Tampak atas sudah tidak terlalu berlekuk lekuk, agak berisi.
Tulang pelvic dorsal dapat langsung teraba.

18
BCS Nilai 3- Mencit dalam kondisi yang baik
Tubuhnya tidak tampak tonjolan tulang, namun bilamana
diraba cukup mudah merasakan adanya tulang-tulang. Tampak
atas, biasanya sudah lebih lurus tampak berisi. Tulang pelvic
dorsal sedikit teraba.

BCS Nilai 4- Mencit di atas kondisi standart


Tidak tampak adanya tonjolan tulang-tulang dan bilamana
diraba agak sulit merasakan tulang karena tebalnya timbunan
lemak dan daging. hewan kelihaan berisi dan tampak juga
lipatan-lipatan lemak dibawah kulit.

BCS Nilai 5- Mencit obese


Sudah sangat sulit meraba tulang-tulang akibat timbunan lemak
dan daging yang sangat tebal.

Menurut Nugroho (2018), teknik pemberian obat atau sediaan tergantung


dari tujuan penelitian, macam, dan sifat sediaan. Pemberian obat atau sediaan
sangat berpengaruh terhadap hasil penelitian, sehingga sangat perlu diketahui
teknik-tekniknya. Berikut ini akan diuraikan berbagai macam teknik pemberian
obat atau sediaan :
a) Pemberian secara oral
Percobaan dengan menggunakan hewan mencit atau tikus, pemberian obat
maupun sediaan dapat menggunakan teknik per oral. Pemberian obat secara oral
merupakan teknik paling umum dilakukan karena relatif mudah, praktis dan
murah. Namun ada beberapa kerugiannya yaitu: banyak faktor dapat
mempengaruhi bioavailabilitasnya (faktor obat, faktor penderita dan adanya
interaksi dalam absorbsi di saluran cerna). Sifat absorbsi obat mempunyai sifat-
sifat tersendiri. Teknik pemberian secara oral ini sangat mudah dilakukan untuk
hewan uji seperti mencit atau tikus. Mencit atau tikus dipegang dengan cara yang
telah diuraikan bab sebelumnya, sehingga posisi hewan uji lurus. Suntikan oral

19
(kanul) dapat dimasukkan ke mulut hingga esophagus. Posisi suntikan berkanul
juga harus dalam posisi tegak lurus. Larutan obat atau sediaan dalam suntikan
berkanul ditempelkan pada langit-langit mulut atas mencit, kemudian dimasukkan
dengan hati-hati sampai ke esofagus dan cairan obat dimasukkan.
b) Subkutan
Pemberian obat atau sediaan secara subkutan pada mencit dapat dilakukan
di bagian bawah kulit daerah tengkuk (leher bagian atas). Teknik yang tepat
adalah mencubit kulit di leher bagian atas dan kemudian obat dapat diberikan
dengan suntikan dengan sudut 45 derajat. Bagian subkutan lain yang dapat
digunakan untuk pemberian obat atau sediaan adalah kulit abdomen. Sementara
itu jarum suntik yang digunakan untuk mencit dapat menggunakan alat suntik
(syringe dan jarumnya) berukuran 1 mL atau menyesuaikan.
c) Intravena
Teknik pemberian obat atau sediaan secara intravena pada mencit dan tikus
dilakukan dengan bantuan holder atau alat bantu pemegang hewan uji dan
diusahakan ada lubang untuk ekor. Sebelum penyuntikan, ekor dapat dimasukkan
ke dalam air hangat terlebih dahulu, dengan tujuan agar pembuluh vena ekor
mengembang (dilatasi) sehingga mempermudah dalam pemberian obat atau
sediaan.
d) Intraperitonial
Teknik intraperitonial sering dilakukan mencit. Saat penyuntikkan
berlangsung posisi kepala hewan uji harus lebih rendah dari bagian abdomen.
Cara tersebut dapat dilakukan dengan teknik menunggingkan hewan uji. Jarum
suntik kemudian disuntikkan dengan membentuk sudut 46 derajat dengan
abdomen, sementara posisi jarum agak menepi dari garis tengah agar tidak
menusuk organ dalam seperti hepar.
e) Intramuskular
Teknik pemberian obat dengan cara intramuskular (IM) merupakan teknik
pemberian sediaan atau obat melalui jaringan otot, umumnya di otot paha.
Kecepatan dan kelengkapan adsorpsi sediaan atau obat dipengaruhi oleh kelarutan
obat dalam air. Absorpsi lebih cepat terjadi di otot deltoid atau vastus lateralis

20
daripada di bagian gluteus maksimus. Penyuntikan intramuskular juga dapat
dilakukan pada mencit atau tikus pada bagian musculus yang tebal yaitu bicep
femoris.
2.2 Uraian Bahan
2.2.1 Alkohol 70% (Pubchem, 2019)
Nama Resmi : AETHANOLUM
Nama Lain : Alkohol, etanol, ethylalkohol
Rumus molekul : C2H6O

Rumus struktur :

Berat molekul : 46,07 g/mol


Pemerian : Cairan tidak berwarna, jernih, mudah menguap dan
mudah bergerak; bau khas rasa panas, mudah
terbakar dan memberikan nyala biru yang tidak
berasap.
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, dalam kloroform P
dan dalam eter P.
Manfaat : Sebagai zat tambahan, juga dapat membunuh
kuman.
Kegunaan : Sebagai desinfektan
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, terhindar dari cahaya,
ditempat sejuk jauh dari nyala api.
2.2.2 Aquadest (Pubchem, 2019)
Nama Resmi : AQUADESTILATA
Nama Lain : Aquadest, Air Suling
Rumus molekul : H2O
Berat molekul. : 18.02 g/mol

21
Rumus Struktur :

Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak


berasa.
Manfaat : Sebagai sumber mineral dari dalam tanah
Kegunaan : Sebagai pelarut.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.
2.2.3 Na-CMC (Rowe, 2009 ; Pubchem, 2019)
Nama Resmi : NATRIUM KARBOKSIMETIL SELULOSA
Nama Lain : Na-CMC, Carboxymethylcellulose-Natrium
Rumus molekul : C28H30Na8O27
Rumus struktur :

Berat molekul : 982.4 g/mol 


Pemerian : Serbuk granular; putih atau hampir putih; tidak
berbau
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam aseton, etanol (95%), eter
dan toluen;mudah terdispersi dalam air pada
berbagai suhu membentuk larutan koloid jernih.
Khasiat : Sebagai kontrol
Kegunaan : Sebagai bahan tambahan dalam berbagai formulasi
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, pada suhu 40 derajat.
2.3 Uraian Obat
2.3.1 Glibenklamid (FI VI, 2020 ; PIONAS, 2015 ; Pubchem, 2019)
Nama Resmi : GLIBENKLAMID
Nama lain : Glibenklamida
Berat molekul : 494,0 g/mol

22
Rumus molekul :

Pemerian : Serbuk hablur; putih atau hamper putih.


Kelarutan : Agak sukar larut dalam metilen klorida;sukar larut
dalam etanol dan metanol; praktis tidak larut dalam
air.
Khasiat : Menurunkan kadar gula dalam darah
Indikasi : Diabetes melitus tipe 2
Kontraindikasi : Obat golongan Sulfonilurea sedapat mungkin
dihindari pada gangguan fungsi hati ; gagal ginjal
dan pada porfiria. Sulfonilurea sebaiknya tidak
digunakan pada ibu menyusui dan selama
kehamilan sebaiknya diganti dengan terapi insulin.
Sulfonilurea dikontraindikasikan jika terjadi
ketoasidosis (Fika, 2016).
Efek samping : Umumnya ringan dan jarang, diantaranya
gangguan gastrointestinal seperti mual, muntah,
diare dan konstipasi (Theodorus,2015).
Interaksi obat : Peningkatan kadar Glibenklamid dalam darah jika
dikonsumsi bersama anti jamur, seperti miconazole
dan fluconazole. Peningkatan efek hipoglikemia
dari glibenklamid jika dikonsumsi bersama obat
golongan MAOI, fenilbutazon, probenecid, ACE
inhibitor, penghambat Beta, atau antibiotik (Fika,
2016).
Dosis : Dosis awal 5 mg 1 kali sehari; segera setelah
makan pagi (dosis lanjut usia 2.5 mg, disesuaikan
berdasarkan respon: dosis maksimum 15 mg
sehari) (Rubenstein, 2015).

23
Onset : 15-60 menit (Rubenstein david et al, 2007)
Durasi : 15-24 jam (Rubenstein david et al, 2007)
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
2.3.2 Metformin Hidroklorida (FI VI, 2020 ; PIONAS, 2015 ; Pubchem, 2019)
Nama Resmi : METFORMIN HIDROKLORIDA
Nama lain : Metformin hydrochloride
Berat molekul : 165,6 g/mol

Rumus molekul :

Pemerian : Serbuk hablur; putih; tidak berbau atau hampir


tidak berbau; higrosopik.
Kelarutan : Mudah larut dalam air; praktis tidak larut dalam
aseton dan dalam metilen klorida, sukar larut
dalam etanol.
Khasiat : Menurunkan kadar gula dalam darah
Indikasi : Diabetes mellitus tipe 2, terutama untuk pasien
dengan berat badan berlebih (overweight), apabila
pengaturan diet dan olahraga saja tidak dapat
mengendalikan kadar gula darah. Metformin dapat
digunakan sebagai monoterapi atau dalam
kombinasi dengan obat antidiabetik lain atau
insulin (pasien dewasa), atau dengan insulin
(pasien remaja dan anak >10 tahun).
Kontra indikasi : Gangguan fungsi ginjal, ketoasidosis, hentikan bila
terjadi kondisi seperti hipoksia jaringan (sepsis,
kegagalan pernafasan, baru mengalami infark

24
miokardia, gangguan hati), menggunakan kontras
media yang mengandung iodin (jangan
menggunakan metformin sebelum fungsi ginjal
kembali normal) dan menggunakan anestesi umum
(hentikan metformin pada hari pembedahan dan
mulai kembali bila fungsi ginjal kembali normal),
wanita hamil dan menyusui (Harvey, 2015).
Efek samping : Anoreksia, mual, muntah, diare (umumnya
sementara), nyeri perut, rasa logam, asidosis laktat
(jarang, bila terjadi hentikan terapi), penurunan
penyerapan vitamin B12, eritema, pruritus,
urtikaria dan hepatitis (Harvey, 2015)
Interaksi obat : Obat antiinflamasi nonsteroid dan antihipertensi,
efeknya meningkatkan risiko asidosis. Diuretik,
kortikosteroid, dan pil KB, efeknya meningkatkan
kadar gula darah dan menurunkan efektivitas
metformin. Insulin, efeknya meningkatkan risiko
kadar gula darah rendah atau hipoglikemia (Fika,
2016)
Dosis : Dosis ditentukan secara individu berdasarkan
manfaat dan tolerabilitas. Dewasa & anak > 10
tahun: dosis awal 500 mg setelah sarapan untuk
sekurang-kurangnya 1 minggu, kemudian 500 mg
setelah sarapan dan makan malam untuk sekurang-
kurangnya 1 minggu, kemudian 500 mg setelah
sarapan, setelah makan siang dan setelah makan
malam. Dosis maksimum 2 g sehari dalam dosis
terbagi (Maron, 2015).
Onset : Sekitar 3 jam (Faretz et al, 2014)
Durasi : Durasi kerja sampai 24 jam (Sukandar, 2009)

25
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, simpan dalam suhu
ruang.
2.4 Uraian Hewan
2.4.1 Klasifikasi Mencit menurut Nugroho (2018)
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Class : Mamalia
Ordo : Rodentia
Gambar 2.4
Famili : Muridae Mencit
Genus : Mus (Mus musculus )
Species : Mus musculus
2.4.2 Morfologi dan Anatomi Mencit
Mencit termasuk dalam filum chordate yang artinya mempunyai chorda
dorsalis, batang syaraf dorsal tunggal dan mempunyai celah insang pada masa
embrionya dan tidak berfungsi sebagai alat pernapasan. Mencit dikelompokkan
dalam klassis mamalia. Seperti telah diketahui, mammalia adalah kelompok
hewan vertebrata yang menduduki tempat tertinggi dalam perkembangan hewan.
Nama mammalia merujuk pada ciri utama anggota mamalia yaitu adanya kelenjar
mamae atau kelenjar air susu yang dapat menghasilkan air susu (pada betina)
yang dapat diberikan ke keturunannya (Nugroho, 2018)
Mencit memiliki rambut yang berwarna keabu-abuan atau putih. Mencit
memliki mata berwarna merah atau hitam, kulit berpigmen dan memiliki warna
perut sedikit pucat. Mencit dewasa pada umur 35 hari dan memiliki waktu
kehamilan 19-21 hari. Mencit dapat melahirkan 6-15 ekor. Mencit jantan dan
betina siap melakukan kopulasi pada umur 8 minggu. Siklus estrus atau masa
birahi 4-5 hari dengan lama estrus 12-14 jam. Fase estrus dimulai antara pukul
16.00-22.00 WIB. Proses persetubuhan mencit jantan dan betina untuk tujuan
fertilisasi atau disebut dengan kopulasi terjadi pada saat estrus, dengan fertilisasi 2
jam setelah kopulasi (Bella Dheta, 2017).

26

Anda mungkin juga menyukai