Anda di halaman 1dari 24

BAB II

Tinjauan Pustakan

1. Diabetes Mellitus

A. Pengertian

Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai

oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. glukosa secara normal

bersirkulasi dalam jumlah tertentu dalam darah. glukosa dibentuk di hati dari

makanan yang dikonsumsi. Insulin, yaitu suatu hormon yang diproduksi pankreas,

mengendalikan kadar glukosa dalam darah dengan mengatur produksi dan

penyimpanannya (Smeltzer, 2008. cit .Windasari,2014).

Diabetes Mellitus (DM) adalah suatu keadaan yang ditandai dengan

adanya kenaikan kadar glukosa darah (hiperglikemia), disertai dengan kelainan

metabolik akibat gangguan hormonal, yang dapat menimbulkan berbagai komplikasi

kronik pada mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah (Mansjoer, 2005. cit.

Windasari,2014).

Menurut American Diabetes Association (2010), Diabetes Mellitus adalah

suatu kelompok penyakit metabolik yang memiliki karakteristik hiperglikemia yang

terjadi karena gangguan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Jadi, dapat

disimpulkan bahwa Diabetes Mellitus merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan

peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) dan disebabkan oleh adanya

resistensi insulin, gangguan sekresi insulin, atau kedua-duanya.

Menurut Perkeni (2011) dan ADA (2012) diabetes melitus adalah suatu

kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena


kelainan sekresi insulin, gangguan kerja insulin atau keduanya, yang menimbulkan

berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah.

Diabetes Mellitus merupakan sekelompok heterogen yang ditandai oleh

kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia (Brunner dan Suddart, 2002).

B. Klasifikasi

Menurut American Diabetes Asociation (ADA) tahun 2012, ada 4 klasifikasi

diabetes mellitus yaitu :

1) Diabetes Mellitus tipe I atau IDDM (Insulin Dependent Diabetes Mellitus), tipe

ini disebabkan oleh kerusakan sel beta pankreas sehingga kekurangan insulin

absolut. Umumnya penyakit berkembang ke arah ketoasidosis diabetik yang

menyebabkan kematian. Pada diabetes mellitus tipe ini biasanya terjadi sebelum

umur 30 tahun dan harus mendapatkan insulin dari luar. Beberapa faktor resiko

dalam diabetes mellitus tipe ini adalah : autoimun, infeksi virus, riwayat

keluarga dengan diabetes mellitus.

2) Diabetes Mellitus tipe II atau NIDDM (Non Insulin Dependent Diabetes

Mellitus), pada tipe ini pankreas relatif menghasilkan insulin tetapi insulin

yang bekerja kurang sempurna karena adanya resistensi insulin akibat kegemukan.

Faktor genetis dan pola hidup juga sebagai penyebabnya. Faktor resiko NIDDM

adalah : obesitas, stress fisik dan emosional, kehamilan umur lebih dari 40 tahun,

pengobatan dan riwayat keluarga dengan diabetes mellitus. Hampir 90% penderita

diabetes mellitus adalah diabetes mellitus tipe II.

3) Diabetes Mellitus dengan kehamilan atau Diabetes Mellitus Gestasional (DGM),

merupakan penyakit diabetes mellitus yang muncul pada saat mengalami

kehamilan padahal sebelumnya kadar glukosa darah selalu normal. Tipe ini akan

normal kembali setelah melahirkan. Faktor resiko pada DGM adalah wanita yang
hamil dengan umur lebih dari 25 tahun disertai dengan riwayat keluarga dengan

diabetes mellitus, infeksi yang berulang, melahirkan dengan berat badan bayi

lebih dari 4 kg.

4) Diabetes tipe lain disebabkan karena defek genetik fungsi sel beta, defek genetik

fungsi insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, karena obat atau zat

kimia, infeksi dan sindrome genetik lain yang berhubungan dengan diabetes

mellitus. Beberapa hormon seperti hormon pertumbuhan, kortisol, glukagon

dan epinefrin bersifat antagonis atau melawan kerja insulin. Kelebihan hormon

tersebut dapat mengakibatkan diabetes mellitus tipe ini.

C. Diabetes Melitus Tipe 2

Diabetes tipe 2 disebut non insuline dependent atau adult onset

diabetes,ditandai dengan kurangnya produksi insulin (Pusat Data dan Informasi

Kementerian Kesehatan RI,2013). DM tipe 2 merupakan kombinasi dari restitensi

insulin dan kelainan pada produksi insulin pada beta sel pankreas .seiring berjalannya

waktu,disfungsi beta sel pankreas akan semakin parah dan berakibat kekurangan

insulin absolut (peter c. Kurniali,2013). Diabetes tipe 2 merupakan dampak dari

gangguan sekresi insulin dari resistansi terhadap kerja insulin yang sering kali

disebabkan oleh obesitas (defisiensi relatif) (Bilous, R., & Donelly, R.2015).

Menurut PERKENI (2015),DM tipe 2 disebabkan mulai dari dominan

resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang dominan defek sekresi

insulin disertairesistensi insulin.Pada DM tipe 2 reaksi dalam sel kurang efektif

karena kurangnya insulin yang berperan dalam menstimulasi glukosa masuk ke

jaringan dan pengaturan pelepasan glukosa dihati.


Faktor yang berperan menjadi penyebab perkembangan DM tipe II adalah

etnisitas, riwayat keluarga diabetes, kurangnya aktifitas fisik, riwayat diabetes

gestasional masa lalu dan usia lanjut. Individu dapat mengalami tanda dan gejala

diabetes yang berbeda, serta kadang-kadang mungkin tidak ada tanda-tanda. Tanda

umum yang dialami yaitu sering buang air kecil (poliuria), haus yang berlebihan

(polidipsia), kelaparan meningkat (polipagia), berat badan menurun, kelelahan,

kurangnya minat dan konsentrasi, sebuah sensasi kesemutan atau mati rasa di tangan

atau kaki, penglihatan kabur, sering infeksi, lambat penyembuhan luka, muntah dan

sakit perut (IDF, 2017).Penurunan sensitivitas insulin menganggu penggunaan dan

penyimpanan karbohidrat. Hal ini yang akan meningkatkan konsentrasi insulin plasma

(hiperinsulinemia) sebagai upaya kompensasi oleh sel beta pankreas terhadap

penurunan sensitivitas jaringan terhadap efek metabolisme insulin (Guyton & Hall,

2012). DM tipe 2 bisa terjadi pada anak-anak dewasa dan dewasa,tetapi biasanya

terjadi setelah usia 30 tahun. Faktor utama penyebab DM tipe 2 adalah obesitas,

karena itu DM tipe 2 cenderung diturunkan secara genetik dalam keluarga

(M.adib,2011).

Pada keadaan resistensi insulin, kerja insulin dihambat hingga kadar glukosa

darah akan meningkat, apabila peningkatan sekresi insulin tidak bisa mengimbangi

hiperglikemia yang parah, secara perlahan menyebabkan sel-sel beta pankreas

menjadi “lelah” untuk menyekresi sejumlah besar insulin (Guyton & Hall, 2012) yang

nantinya akan mengakibatkan penurunan fungsi sel beta secara progresif (Suyono,

2009), namun demikian, jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi peningkatan

kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan terus meningkat dan terjadi DM

tipe 2. Selain menyebabkan gangguan metabolik, DM juga menyebabkan beragam


penyulit kronik yang menjadi penyebab tingginya angka morbiditas dan mortalitas

yang berkaitan dengan penyakit ini (PERKENI, 2015).

D. Etiologi

Menurut Brunner dan Suddart (2002) etiologi dari Diabetes Mellitus adalah

1) DM Tipe I

DM tipe I ditandai oleh sel-sel beta pankreasombinasi factor

genetic,immunologi,dan lingkungan diperkirakan turut menimbulkan destruksi sel

Beta.

a) Faktor Genetik

Penderita Diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri tetapi,mewarisi

suatu predisposisi atau kecenderungan genetic kearah terjadinya diabetes tipe

I. Kecenderungan genetic ini ditemukan pada individu yang memiliki antigen

HLA (Human Leucocyte Antigen) tertentu HLA (Human Leucocyte Antigen)

merupakan kumpulan gen yang bertanggung jawab atas antigen transpalantasi

dan proses imun lainnya.

b) Faktor Imunologi

Pada penderita tipe I terdapat bukti adanya suatu respon autoimun. Respon ini

merupakan abnormal dimana antibody terarah pada jaringan normal tubuh

dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang di anggapnya seolah-

olah sebagai jaringan asing.Otoantibodi terhadap sel-sel pulau langerhans dan

insulin endogen (internal) terdeteksi pada saat diagnosis dibuat dan bahkan

beberapa tahun sebelum timbulnya tanda-tanda klinis diabetes tipe I.

c) Faktor Lingkungan
Penyelidikan juga sedang dilakukan untuk factor eksternal yang dapat memicu

destruksi sel beta.sebagai contoh,hasil penyelidikan yang menyatakan bahwa

virus atau toksin tertentu dapat memicu proses autoimun yang menimbulkan

destruksi sel beta.

2) DM Tipe II

Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan

sekresi insulin pada diabetes tipe II masih di ketahui .

Factor genetic diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya

resistensi insulin. Selain itu terdapat pula faktor-faktor resiko tertentu yang

berhubungan dengan proses terjadinya diabetes tipe II. Faktor-faktor ini adalah:

1. Usia (Resistensi Insulin cenderung meningkat pada usia diatas 65 tahun)

2. Obesitas

3. Riwayat keluarga

4. Kelompok etnik (di Amerika Serikat, golongan hispanik serta penduduk asli

Amerika tertentu memiliki memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk

terjadinya Diabetes tipe II dibandingkan dengan golongan Afro-Amerika)

3) DM Gestasional (GDM)

DM Gestasional (GDM) terjadi pada wanita yang tidak menderita

sebelumnya. DM gestasional ini terjadi akibat sekresi hormon-hormon plasenta.

Namun setelah melahirkan, kadar glukosa wanita yang menderita diabetes

gestasional akan kembali normal. Walaupun begitu,banyak wanita yang

menderita diabetes gestasional ternyata dikemudian hari menderita diabetes tipe

II.
E. Faktor resiko diabetes mellitus

Menurut Sustrani, Alam dan Hadibroto (2010) ada beberapa faktor resiko

penyebab diabetes mellitus, yaitu :

1) Usia

Menurut Golbergh dan Coon dalam Rochmah (2006) menyatakan

bahwa umur sangat erat kaitannya dengan kenaikan kadar glukosa darah.

Diabetes mellitus tipe II biasanya terjadi setelah usia diatas 30 tahun dan

semakin sering terjadi setelah usia 40 tahun serta akan terus meningkat pada usia

lanjut. WHO menyebutkan bahwa setelah usia 30 tahun, kadar glukosa darah

akan meningkat 1-2 mg/dl/tahun pada saat puasa dan naik 5,6-13

mg/dl/tahun pada 2 jam setelah makan (Rochmah dalam Sudoyo, 2006).

Sedangkan menurut Sousa (2009) menjelaskan bahwa sebagian besar

pasien diabetes mellitus tipe IIsering terjadi diatas usia 45 tahun dikarenakan

proses menua yang mengakibatkan perubahan anatomis, fisiologis dan biokimia.

2) Jenis kelamin

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Santoso, Lian dan Yudi

(2006) tentang Gambaran pola penyakit diabetes mellitus di bagian rawat inap

RSUD Jakarta tahun 200-2004 menyatakan bahwa perempuan lebih banyak

menderita diabetes mellitus dibandingkan dengan laki-laki dengan kadar glukosa

darah saat masuk rata-rata 201-500 mg/dl. Sedangkan menurut penelitian yang

dilakukan oleh Sousa (2009), bahwa penderita diabetes mellitus tipe II lebih

banyak terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki. Hal ini dikarenakan

adanay persentase timbunan lemak badan pada wanita yang lebih besar

sehingga dapat menurunkan sensitifitas terhadap kerja insulin pada otot dan

hati.
3) Lama menderita Diabetes Mellitus

Lamanya pasien menderita diabetes mellitus dikaitkan dengan komplikasi

kronik yang menyertainya. Semakin lama pasien menderita diabetes mellitus

dengan kondisi Hiperglikemia, maka semakin tinggi kemungkinan terjadinya

komplikasi kronik karena adanya kadar glukosa darah yang abnormal

(Waspadji, 2009).

4) Penyakit penyerta

Penyandang diabetes mellitus mempunyai resiko untuk terjadinya

penyakit jantung koroner dan penyakit pembuluh darah otak 2 kali lebih

besar, 5 kali lebih mudah menderita ulkus/gangren, 7 kali lebih mudah

mengidap gagal ginjal terminal dan 25 kali lebih mudah mengalami kebutaan

akibat kerusakan retina daripada pasien non diabetes mellitus. Jika sudah disertai

dengan penyakit penyerta maka usaha untuk menyembuhkan melalui

pengontrolan kadar glukosa darah dan pengobatan penyakit tersebut ke arah

normal akan sulit, kerusakan yang sudah terjadi umumnya akan menetap

(Waspadji,2009).

F. Manifestasi Klinis

Mansjoer (2008) mengatakan, diabetes melitus memiliki gejala khas awal

berupa polifagia (banyak makan), poliuria (banyak kencing), polidipsi

(banyak minum), lemas, dan berat badan turun. Gejala lain yang mungkin dikeluhkan

pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur, dan impotensi pada pria, serta pruritus

vulva pada wanita. Menurut PERKENI 2011 (Perkumpulan Endokrinologi

Indonesia), gejala khas diabetes melitus terdiri dari poliuria, polidipsi, polifagi,

dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas, sedangkan gejala yang tidak khas
diabetes melitus diantaranya lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata

kabur, disfungsi ereksi (pria) dan pruritus vulva (wanita).

G. Patofisiologi

Menurut Brunner dan Suddart (2002) patofisiologi dari Diabetes Mellitus

adalah

1) DM tipe I

Pada DM tipe I terdapat ketidak mampuan untuk menghasilkan insulin

karena sel-sel beta dihancurkan oleh proses autoimun. Hiperglikemia puasa terjadi

akibat produksi glukosa berlebihan di hati,di samping itu glukosa yang berasal

dari makanan tidak dapat di simpan di hati meskipun tetap berada dalam darah

yang menimbulkan hiperglikemi postprandial (setelah makan) jika konsentrasi

glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap kembali semua

glukosa akibatnya glukosa muncul dalam urin.

Ekskresi disertai cairan dan elektrolit yang berlebihan pasien akan

mengalami poliuria dan polidipsi.Defisiensi insulin juga mengganggu metabolism

protein dan lemak yang menyebabkan penurunan berat badan,pasien akan

mengalami polifagi akibat penurunan simpanan kalori,kelelahan dan

kelemahan,akibat dari pemecahan lemak pada hiperglikemia akan meningkatkan

keton body sehingga keseimbangan asam basa terganggu (ketoasidosis).

Ketoasidosis diabeti menyebabkan nyeri abdomen, mual muntah, hiperventilasi,

nafas bau aseton. bila tidak ditangani akan menimbulkan penurunan kesadaran

bahkan kematian.

2) DM tipe II
Pada DM tipe II terdapat 2 masalah utama yaitu resistensi insulin dan

gangguan sekresi insulin. Resistensi insulin disertai dengan penurunan reaksi

intrasel dengan demikian insulin menjadi efektif untuk menstimulasi pengambilan

glukosa jaringan .DM tipe II paling sering terjadi pada penderita yang berusia

lebih dari 30 tahun dan obesitas. Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung

lambat dan progresif maka gejala awal dapat berjalan tanpa terdeteksi.Gejala

bersifat ringan yaitu mengalami kelelahan, iritabilitas, poliuri, polidipsi, luka

pada kulit yang lama sembuhnya, infeksi vagina, pandangan yang kabur jika

glukosanya sangat tinggi.

3) Diabetes Gestasional

Hiperglikemi terjadi selama kehamilan akibat sekresi hormone-hormon

plasenta.wanita yang sebelumnya sudah diketahui menderita diabetes terjadi

pembuahan harus mendapatkan penyuluhan dan konseling tentang

penatalaksanaan diabetes selama kehamilan. walaupun demikian banyak wanita

yang mengalami diabetes gestasional berlanjut pada diabetes tipe II.

Pengendali diabetes yang buruk pada saat pembuahan dapat disertai

timbulnya Malforasi Kongenital. Dianjurkan agar wanita yang menderita diabetes

sudah memulai program terapi yang intensif (pemeriksaan kadar glukosa darah

empat kali perhari dan pemberian suntikan insulin tiga hingga empat kali perhari)

dengan maksud untuk mencapai kadar hemoglobin yang normal tiga bulan

sebelum pembuahan.pemantauan dan pemeriksaan oleh dokter spesialis untuk

kehamilan beresiko tinggi sangat di anjurkan .semua wanita hamil harus

menjalani skreaning pada usia kehamilan 24 hingga 27 minggu untuk mendeteksi

kemungkinan diabetes.sesudah melahirkan bayi kadar glukosa darah pada wanita

yang menderita diabetes gestasional akan kembali normal.


H. Komplikasi

Menurut PERKENI (2011) Kondisi kadar gula darah tetap tinggi akan

timbul berbagai komplikasi. Komplikasi pada diabetes melitus dibagi menjadi dua

yaitu komplikasi akut dan komplikasi kronis. Komplikasi akut meliputi ketoasidosis

diabetik, hiperosmolar non ketotik, dan hipoglikemia. Menurut Perkeni (2011) yang

termasuk komplikasi kronik adalah makroangiopati, mikroangiopati dan neuropati.

Makroangiopati terjadi pada pembuluh darah besar (makrovaskular) seperti jantung,

darah tepi dan otak. Mikroangiopati terjadi pada pembuluh darah kecil

(mikrovaskular) seperti kapiler retina mata, dan kapiler ginjal.

I. Diagnosis

Diagnosis diabetes melitus dapat ditegakkan melalui tiga cara.

Pertama, jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma > 200

mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis diabetes melitus. Kedua, dengan

pemeriksaan glukosa plasma puasa yang lebih mudah dilakukan, mudah diterima

oleh pasien serta murah, sehingga pemeriksaan ini dianjurkan untuk diagnosis

diabetes melitus. Ketiga dengan TTGO. Meskipun TTGO dengan beban 75 gram,

glukosa lebih sensitif dan spesifik di banding dengan pemeriksaan glukosa plasma

puasa, namun memiliki keterbatasan sendiri. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat di

gambar 2.1.
Gambar 2.1
Langkah-Langkah Diagnostik Diabetes Melitus dan toleransi
GlukosaTerganggu (Sumber : Perkeni, 2011).

Selain itu pada tabel 2.2, dapat dilihat untuk membedakan kadar Glukosa

darah antara yang pasti diabetes melitus dan yang bukan diabetes melitus sebagai

patokan penyaring.

Tabel 2.1
Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa sebagai Patokan Penyaring dan
Diagnosis Diabetes Mellitus

Bukan DM Karaktertistik Belum DM Pasti DM DM


Kadar Glukosa Plasma vena < 110 110-199 ≥ 200 >126
darah sewaktu Darah kapiler <110 110-125
(mg/dl)
Kadar Glukosa Plasma vena < 90 90-109 >110
darah puasa Darah kapiler < 90 90-199 ≥ 200
(mg/dl)
Sumber : PERKENI 2011
J. Pencegahan

Pencegahan DM terdiri dari pencegahan primer, sekunder, dan tersier,

meliputi (PERKENI, 2011):

1) Pencegahan Primer

Pencegahan primer adalah suatu upaya pencegahan yang ditujukan pada

kelompok yang memiliki faktor resiko, yaitu kelompok yang belum mengalami

DM namun berpotensi untuk mengalami DM karena memiliki faktor resiko

sebagai berikut:

a) Faktor Resiko yang tidak Bisa Dimodifikasi:

i. Ras dan etnik. African Americans, Mexican Americans, American

Indians, Hawaiians dan beberapa Asian Americans memiliki resiko tinggi

mengalami DM dan penyakit jantung, dikarenakan tingginya kadar

glukosa darah, obesitas, dan jumlah populasi DM dalam etnik tersebut.

ii. Jenis kelamin. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Wexler

et.al. (2005), pria lebih beresiko mengalami DM daripada wanita. Wanita

yang mengalami menopause akan lebih beresiko mengalami DM

daripada wanita yang belum menopause; riwayat keluarga dengan DM.

Seseorang yang memiliki riwayat keluarga dengan DM akan lebih

beresiko mengalami DM daripada seseorang yang tidak memiliki riwayat

keluarga dengan DM.

iii. Usia. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Meneilly &

Elahi (2005), resiko DM lebih tinggi pada usia dewasa daripada lansia.

b) Faktor Resiko Yang Bisa Dimodifikasi


(1) Obesitas. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Shai et.al.

(2006), seseorang yang obesitas akan mengalami resiko DM lebih

tinggi daripada seseorang yang tidak obesitas. Hal tersebut dikarenakan

kandungan lemak yang lebih banyak dapat menurunkan sensitivitas

insulin.

(2) Kurangnya aktivitas fisik. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan

oleh Morato et.al. (2007), seseorang yang kurang bergerak atau sedikit

melakukan aktivitas fisik akan lebih beresiko mengalami DM. Hal

tersebut dikarenakan kurangnya aktivitas fisik dapat menurunkan

sensitivitas insulin terhadap reseptor.

(3) Hipertensi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Eyre et.al.

(2004), hipertensi menjadi salah satu faktor resiko DM karena

hipertensi dapat meningkatkan kejadian aterosklerosis yang berdampak

pada penurunan fungsi sel beta pankreas dalam memproduksi insulin.

(4) Dislipidemia (HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL).

Dislipidemia menjadi salah satu faktor resiko DM karena dislipidemia

merupakan indikator meningkatnya jaringan adiposa yang berdampak

pada penurunan sensitivitas insulin (Eyre et.al., 2004).

(5) Diet tidak sehat (unhealthy diet). Diet dengan tinggi gula dan rendah

serat akan meningkatkan resiko mengalami DM.

c) Faktor Lain Yang Terkait Dengan Resiko Diabetes

(1) Pasien Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain

yang terkait dengan resistensi insulin. PCOS merupakan kelainan

endokrinopati pada wanita usia reproduksi. PCOS lebih sering dikaitkan

dengan adanya timbunan lemak yang berlebih. Timbunan lemak yang


berlebih terutama di rongga perut dapat menyebabkan penurunan

sensitivitas insulin sehingga berdampak pada peningkatan kadar

glukosa darah.

(2) Pasien sindrom metabolik yang memiliki riwayat toleransi glukosa

terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT)

sebelumnya.

(3) Pasien yang memiliki riwayat penyakit kardiovaskular, seperti stroke,

PJK, atau PAD (Peripheral Arterial Diseases). Pasien yang memiliki

riwayat penyakit kardiovaskular akan lebih beresiko mengalami DM

karena kondisi pembuluh darah dan hemostasis yang buruk akan

menyebabkan ketidakseimbangan endokrin dalam tubuh.

2) Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder adalah suatu upaya yang dilakukan untuk mencegah

timbulnya komplikasi pada pasien yang telah mengalami DM. Pencegahan

sekunder dapat dilakukan dengan pemberian pengobatan yang cukup dan

tindakan deteksi dini sejak awal pengelolaan penyakit DM. Program penyuluhan

memegang peranan penting dalam upaya pencegahan sekunder untuk

meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani program pengobatan dan

menuju perilaku sehat.

3) Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk

mencegah kecacatan lebih lanjut pada pasien DM yang mengalami komplikasi.

Upaya rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin, sebelum kecacatan

berkembang dan menetap. Penyuluhan pada pasien dan keluarganya


memegang peranan penting dalam upaya pencegahan tersier. Penyuluhan dapat

dilakukan dengan pemberian materi mengenai upaya rehabilitasi yang dapat

dilakukan untuk mencegah kecacatan lebih lanjut.

Pencegahan tersier memerlukan pelayanan kesehatan yang menyeluruh dan

kolaborasi antar tenaga medis. Kolaborasi yang baik antar para ahli di berbagai

disiplin (jantung dan ginjal, mata, bedah ortopedi, bedah vaskular, radiologi,

rehabilitasi medis, gizi, podiatris, dan lain sebagainya) sangat diperlukan dalam

menunjang keberhasilan pencegahan tersier.

K. Manajement Diabetes Mellitus

Menurut PERKENI (2011), ada 4 pilar penatalaksanaan DM, yaitu

edukasi, terapi nutrisi medis, latihan jasmani, dan intervensi farmakologis.

1) Edukasi

Edukasi memegang peranan yang sangat penting dalam penatalaksanaan

DM tipe 2 karena pemberian edukasi kepada pasien dapat merubah perilaku

pasien dalam melakukan pengelolaan DM secara mandiri. Pemberian edukasi

kepada pasien harus dilakukan dengan melihat latar belakang pasien, ras,

etnis, budaya, psikologis, dan kemampuan pasien dalam menerima edukasi.

Edukasi mengenai pengelolaan DM secara mandiri harus diberikan secara

bertahap yang meliputi konsep dasar DM, pencegahan DM, pengobatan DM, dan

self- care (IDF, 2005; Funnell, 2008 cit. Yuanita, 2013).

2) Terapi Nutrisi Medis

Terapi Nutrisi Medis (TNM) atau diet merupakan bagian dari

penatalaksanaan DM tipe 2. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara


menyeluruh dari tenaga kesehatan (dokter, ahli gizi, tenaga kesehatan yang

lain serta pasien dan keluarganya). Prinsip pengaturan nutrisi pada pasien DM

tipe 2 yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat

gizi masing-masing individu. Pengaturan jadwal, jenis, dan jumlah makanan

merupakan aspek yang sangat penting untuk diperhatikan, terutama pada

pasien dengan terapi insulin (PERKENI, 2011; Smeltzer & Bare, 2001. cit.

Windasari, 2014).

3) Latihan Jasmani

Latihan jasmani dilakukan secara teratur sebanyak 3-4 kali seminggu

selama kurang lebih 30 menit yang sifatnya CRIPE (Continous, Rhytmical,

Interval, Progressive, Endurance training). Prinsip CRIPE tersebut menjadi

dasar dalam pembuatan materi DSME yang memiliki arti latihan jasmani

dilakukan secara terus menerus tanpa berhenti, otot-otot berkontraksi dan

relaksasi secara teratur, gerak cepat dan lambat secara bergantian, berangsur-

angsur dari latihan ringan ke latihan yang lebih berat secara bertahap dan

bertahan dalam waktu tertentu. Latihan jasmani bertujuan untuk menjaga

kebugaran tubuh, menurunkan berat badan, dan memperbaiki sensitivitas

insulin. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat

aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan

jasmani sebaiknya disesuaikan dengan usia dan status kesegaran jasmani.

4) Intervensi Farmakologis

Intervensi farmakologis meliputi pemberian obat-obatan kepada pasien

DM tipe 2. Obat-obatan yang diberikan dapat berupa obat oral dan bentuk

suntikan. Obat dalam bentuk suntikan meliputi pemberian insulin dan agonis

GLP-1/incretin mimetic (PERKENI, 2011). Berdasarkan cara kerjanya, obat


hiperglikemik oral (OHO) dibagi menjadi 5 golongan, yaitu pemicu sekresi

insulin (misalnya sulfonilurea dan glinid), peningkat sensitivitas terhadap insulin

(misalnya metformin dan tiazolidindion), penghambat glukoneogenesis (misalnya

metformin), penghambat absorpsi glukosa (misalnya penghambat glukosidase

alfa), dan DPP-IV inhibitor (Mansjoer dkk., 2005; PERKENI,2011).

L. Alat Pengukur Gula Darah

Alat pengukur gula darah Alat yang digunakan untuk mengukur kadar gula

darah kapiler disebut glucometer. Glucometer merupakan alat untuk mengukur kadar

glukosa darah dengan menggunakan darah dari kapiler. Alat ini pertama kali

diperkenalkan di Amerika Utara pada tahun 1980 dimana pada saat itu glucometer

dibagi menjadi 2 jenis yaitu glucometer accu – check meter (ronche) dan glucometer

(bayer) (Rochmawati, 2018).

Salah satu model pemeriksaan yang praktis dengan akurasi tinggi adalah

dengan menggunakan Blood Glucose Test Meter GlucoDr. Dasar pemeriksaan adalah

dengan menggunakan 2,5 – 4 mikroliter darah kapiler yang direaksikan dengan reagen

yang terdapat pada Check Strip kemudian dimasukan ke dalam Glucose Test Meter

GlucoDr, sehingga terbaca secara digital. Alat ini ampuh membaca gula darah 20 –

600 mg/dL. Menurut peneliti keakuratan pada pemeriksaan kadar glukosa darah

dengan glucometer, pemeriksaan dengan menggunakan glucometer ini cukup baik

untuk digunakan dengan memiliki tingkat sensitivitas sebesar 70% dan spesivitas

sebesar 90% (Rochmawati, 2018).

Metode Pemeriksaan Untuk mengukur kadar glukosa dipakai terutama dua macam

tekni. Cara-cara kimia memanfaatkan sifat mereduksi molekul glukosa yang tidak

spesifik. Pada cara-cara enzimatik, glukosa oksidase bereaksi dengan substrat


spesifiknya, yakni glukosa dengan membebaskan hydrogen peroksida yang

banyaknya diukur secara tak langsung. Nilai-nilai yang ditemukan dalamm cara

reduksi adalah 5-15 mg/dl lebih tinggi dari yang didapat dengan cara-cara enzimatik,

karena disamping glukosa terdapat zat-zat mereduksi lain dalam darah. Sistem-sistem

indikator yang dipakai pada berbagai metode enzimatik yang otomatik berpenngaruh

kepada hasil penetapan, jadi juga kepada nilai rujukan (Suyono, 2019).

1. Metode folin

Prinsip dari metode ini adalah filtrat darah bebas protein dipanaskan dengan

CuSO4 alkali. Endapan CuSO4 yang dibentuk gula larut dengan penambahan

fosfat molibdat. Larutan yang terbentuk dibandingkan secara kalorimetri

dengan larutan standart gula.

2. Metode samogyi-nelson

Prinsip dari metode ini adalah filtrat mereduksi Cu dalam lartan alkali panas.

Cu direduksi kembali oleh arseno molibdat terbentuk kompleks warna ungu.

3. Metode ortho-toluidin

Prinsip dari metode ini adalah hydrogen dicampur dengan ortho-toluidin

dalam larutan asam kuat panas menghasilkan warna hijau yang ditentukan

kadarnya secara fotometrik.

4. Metode glukosa peroksidase

Prinsip dari metode ini adalah hydrogen peroksidase bereaksi dengan oksigen

aseptor orthodianiside, phenyl aminephenazone atau chromogenik oksigen

aseptor dalam reaksi peroksidase akan membentuk warna.

5. Metode glukosa – oksidase

Prinsip dari metode ini adalah gula ditemukan setelah reaksi enzimatis dengan

gula oksidase hidrogen peroksidase yang terbentuk bereaksi dengan peroksida


4 aminohenazone dan phenol menjadi zat warna quinonelmin berwarna merah

violet.

GOD Glukosa + O2 + H2O Gluconic acid + H2O2

POD

2 H2O2 + 4-aminophenazone + phenol quinoneimine + 4H2O

(Protap HUMAN, 2018).

Tahap Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah Terdapat dua metode utama

yang digunakan untuk mengukur glukosa.

a. Metode yang pertama adalah metode kimiawi yang memanfaatkan sifat

mereduksi dari glukosa, dengan bahan indikator yang akan berubah warna

apabila tereduksi. Akan tetapi metode ini tidak spesifik karena senyawa-

senyawa lain yang ada dalam darah juga dapat mereduksi (misal : urea,

yang dapat meningkat cukup bermakna pada uremia) (Sacher, 2004).

Contoh metode kimiawi yang masih digunakan untuk pemeriksaan glukosa

saat ini adalah metode toluidin, karena murah, cara kerja sederhana, dan

bahan mudah didapat (Departemen Kesehatan RI, 2005 ).

b. Metode yang kedua adalah enzimatik yang umumnya menggunakan kerja

enzim glukosa oksidase atau heksokinase,yang bereaksi pada glukosa,

tetapi tidak pada gula lain (misal : fruktosa, galaktosa, dan lain-lain) dan

pada bahan 19 pereduksi. Contoh metode yang menggunakan kerja enzim

adalah GOD – PAP dan cara strip (Sacher, 2004).

Pemeriksaan kadar glukosa sekarang sudah diisyaratkan dengan cara

enzimatik, tidak lagi dengan prinsip reduksi untuk menghindari ikut terukurnya zat-
zat lain yang akan memberikan hasil tinggi palsu. Cara enzimatik dapat dilakukan

dengan cara otomatis seperti dengan GOD- PAP dan cara Strip (Suryaatmadja, 2003).

2. Slow Deep Breathing

A. Pengertian

Slow deep breathing ialah salah satu bagian dari latihan relaksasi dengan teknik latihan

pernapasan yang dilakukan secara sadar. Slow deep breathing merupakan relaksasi yang

dilakukan secara sadar untuk mengatur pernapasan secara dalam dan lambat (Martini, 2006).

Terapi relaksasi banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari untuk dapat mengatasi

berbagai masalah, misalnya stress, ketegangan otot, nyeri, hipertensi, gangguan pernapasan,

dan lain-lain (Martini, 2006). Relaksasi secara umum merupakan keadaan menurunnya

kognitif, fisiologi, dan perilaku (Andarmoyo, 2013).

Slow deep breathing (nafas dalam) merupakan suatu teknik melakukan nafas dalam , nafas

lambat (menahan inspirasi secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan nafas secara

perlahan. Terapi relaksasi deep breathing (nafas dalam) merupakan teknik relaksasi yang

paling mudah diterapkan tanpa harus menggunakan instruktur salah satu upaya untuk

mengurangi kecemasan (Putri & Margaretta, 2021)

B. Manfaat Slow Deep Breathing

Menurut Riadi (2016), manfaat dari teknik slow deep breathing (nafas dalam)

adalah :

1. Ketentraman hati

2. Berkurangnya rasa cemas, khawatir,gelisah

3. Tekanan dan ketegangan tubuh menjadi rendah


4. Detak jantung lebih rendah

5. Mengurangi tekanan darah

6. Ketahanan yang lebih besar terhadap penyakit

7. Tidur lelap

8. Kesehatan tubuh menjadi lebih baik

9. Daya ingat menjadi lebih baik

10. Meningkatkan daya berfikir logis

11. Meningkatkan kreativitas

12. Meningkatkan keyakinan

13. Menigkatkan daya keilmuan

14. Intuisi

15. Meningkatkan kemampuan berhubungan dengan orang lain

C. Langkah-Langkah Latihan Slow Deep Breathing

Slow deep breathing adalah salah satu teknik pengontrolan napas dan relaksasi (Sepdianto et

al., 2007). Menurut Tarwoto (2012), langkah-langkah melakukan latihan slow deep

breathing yaitu sebagai berikut:

a) Atur pasien dengan posisi duduk atau berbaring

b) Kedua tangan pasien diletakkan di atas perut

c) Anjurkan melakukan napas secara perlahan dan dalam melalui hidung dan

d) tarik napas selama tiga detik, rasakan perut mengembang saat menarik napas.

e) Tahan napas selama tiga detik

f) Kerutkan bibir, keluarkan melalui mulut dan hembuskan napas secara

g) perlahan selama enam detik. Rasakan perut bergerak ke bawah.


h) Ulangi langkah a sampai e selama 15 menit

i) Latihan slow deep breathing dilakukan dua kali sehari, yaitu pagi dan sore

hari.

D. Hubungan Slow Deep Breathing Terhadap Kadar Gula darah

Pengendalian pengaturan pernafasan secara sadar dilakukan oleh korteks serebri, sedangkan

pernafasan yang spontan atau automatik dilakukan oleh medulla oblongata. Nafas dalam

lambat dapat menstimulasi respon saraf otonom yaitu dengan menurunkan respon saraf

simpatis dan meningkatkan respon parasimpatis . Stimulasi saraf simpatis meningkatkan

aktifitas tubuh sedangkan proses parasimpatis lebih banyak menurunkan aktifitas metabolik.

dengan penurunan aktifitas metabolik akan memperlambat kerja glikogenesis dan kadar gula

darah akan menurun

Mekanisme penurunan metabolisme tubuh pada pernafasan lambat dan dalam masih belum

jelas, namun menurut hipotesanya nafas lambat dan dalam di sadari akan mempengaruhi

sistem saraf otonom melalui penghambatan sinyal respon peregangan dan arus hiperpolarisasi

baik melalui jaringan saraf dan non saraf dengan mensinkronisasi elemen saraf di jantung ,

paru-paru, sistem limbik dan korteks serebri. Selama inspirasi peregangan jaringan paru

menghasilkan sinyal inhibitor atau penghambat yang mengakibatkan adaptasi reseptor

peregangan lambat atau Slow adaption stretch reseptors (SARs) dan hiperpolarisasi pada

fibroblas. Kedua penghambat hantaran implus dan hiperpolarisasi ini untuk menyingkronkan

unsur saraf yang menuju ke modulasi sistem saraf dan penurunan aktifitas metabolik yang

merupakan status saraf parasimpatis. Penurunan aktivitas metabolik diharapkan, dapat

menurunkan kebutuhan insulin sehingga kadar gula darah dapat menurun (Tarwoto,2020)
Kerangka Teori Penelitian

Faktor Resiko Diabetes Melitus :

Obesitas
Hipertensi
Riwayat Keluarga
Dislipidemia
Umur
Riwayat persalinan
Alkohol Dan Rokok
P

N Diet Jangka Panjang :


Menghambat
A Progresivitas
Latihan Jasmani Pengaruh mikroangiopati,makro
T
Terhadap Kadar angiopati,neuropati
A Gula Darah
Terapi Farmakologi
L
A Terapi Non Farmakologi Jangka pendek :
K Mempertahankan
Slow Deep Breathing rasa nyaman dan
S mencapai target
pengendalian
A Edukasi glukosa darah
N

Gambar 2.1 Kerangka teori Pengaruh Latihan Slow Deep Breathing terhadap perubahan

kadar gula darah pada pasien Diabetes Mellitus Tipe II

C. Hipotesis penelitian

Berdasarkan teori yang berkaitan dengan slow deep breathing terhadap penurunan kadar gula

darah maka hipotesis yang di tegakkan dalam penelitian ini adalahada pengaruh latihan slow

deep breathing dalam menurunkan kadar gula darah pada pasien diabetes mellitus tipe II

Anda mungkin juga menyukai