Anda di halaman 1dari 29

1

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN DIABETES


MELLITUS DAN GANGREN PEDIS DI RUANG MAWAR RUMAH
SAKIT
BALADHIKA HUSADA JEMBER

OLEH:

Dian Priambarsari, S.Kep.


NIM 20010174

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


UNIVERSITAS dr. SOEBANDI JEMBER
JEMBER
2023
2

KONSEP TEORI DIABETES MELITUS DAN ULKUS DIABETIKUM

1. Konsep Diabetes Melitus


1.1 Definisi Diabetes Melitus
Diabetes mellitus adalah penyakit yang disebabkan tubuh tidak dapat
melepaskan insulin secara adekuat, sehingga kadar glukosa didalam darah tinggi
(Suryati, 2021).
Diabetes melitus atau penyakit kencing manis merupakan penyakit
menahun yang dapat diderita seumur hidup (Neng Intan, Debbie Dahlia, 2022).
Diabetes Melitus merupakan penyakit gangguan metabolik yang ditandai dengan
kadar gula darah melebihi batas normal. Penyakit ini ditandai dengan
peningkatan kadar glukosa darah dimana terdapat penurunan melakukan
kemampuan untuk merespon terhadap insulin maupun adanya penurunan
pembentukan insulin oleh pankreas (Neng Intan,2022).
Diabetes memiliki 2 tipe yakni diabetes melitus tipe 1 yang merupakan
hasil dari reaksi autoimun terhadap protein sel pulau pankreas, kemudian
diabetes tipe 2 yangmana disebabkan oleh kombinasi faktor genetik yang
berhubungan dengan gangguan sekresi insulin, resistensi insulin dan faktor
lingkungan seperti obesitas, makan berlebihan, kurang makan, olahraga dan
stres, serta penuaan (Chaudhary, 2018).

1.2 Etiologi Diabetes Mellitus


Menurut (Fatimah, 2015), Faktor lain yang terkait dari diabetes mellitus
yaitu sebagai berikut :
1. Obesitas/Kegemukan
Adanya hubungan antara obesitas dengan kadar glukosa darah. Jika derajat
kegemukan dengan IMT >23 bisa menyebabkan peningkatan kadar glukosa
darah menjadi 200mg.

2. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah pada hipertensi memiliki hubungan yang erat
3

dengan tidak tepatnya penyimpanan garam dan air ataupun meningkatnya


tekanan dari dalam tubuh pada sirkulasi pembulu darah perifer.
3. Riwayat Keluarga Diabetes Mellitus
Penderita diabetes mellitus diduga memiliki bakat diaetes karena gen resesif,
sehingga penderita diabetes mellitus dianggap memiliki gen diabetes.
Hanya orang yang bersifat homozigot dengan gen resesif diabetes yang
menderita diabetes mellitus.
4. Dislipedimia
Dislioedimia merupakan kondisi yang ditandai dengan adanya kenaikan kadar
lemak darah (Trigliserida >250 mg/dl). Pada pasien diabetes sering ditemukan
adanya hubungan antara kenaikan plasma insulin dengan rendahnya HDL
(<35mg/dl).
5. Umur
Berdasarkan penelitian, usia terbanyak yang terkena diabetes mellitus adalah
usia > 45 tahun.
6. Riwayat Persalinan
Riwayat persalinan yang berulang, melahirkan bayi yang cacat atau bayi yang
memiliki berat badan > 4000 gram.
7. Faktor Genetik
Diabetes Mellitus type 2 berasal dari faktor genetik dan faktor mental.
Penyakit ini sudah lama diduga memiliki hubungan dengan agregasi familial
(masa yang menggumpal). Menurut penelitian bahwa risiko terjadinya DM
tipe 2 akan meningkat dua sampai enam kali lipat apabila orang tua atau
saudara kandung mengalami penyakit diabetes mellitus.
8. Alkohol dan Rokok
Peningkatan frekuensi diabetes mellitus 2 berhubungan dengan perubahan
gaya hidup yaitu salah satunya seperti perubahan-perubahan dalam
mengkonsumsi alkohol dan rokok. Alkohol akan meningkatnya tekanan darah
dan mempersulit regulasi gula darah sehingga mengganggu metabolisme gula
darah. Seseorang akan mengalami peningkatan tekanan darah bila
mengkonsumsi etil alkohol lebih dari 60ml/hari yaitu setara dengan 100ml
proof wiski, 240ml wine atau 720ml (Suryati, 2021).
4

Menurut Decroli (2019), etiologi dari diabetes mellitus:


1. Resistensi Insulin
Resistensi insulin adalah adanya konsentrasi insulin yang lebih tinggi dari
normal yang dibutuhkan untuk mempertahankan normoglikemia. Insulin tidak
dapat bekerja secara optimal di sel otot. Lemak dan hati akibatnya memaksa
pankreas mengkompensasi untuk memproduksi insulin lebih banyak. Ketika
produksi insulin oleh sel beta pankreas tidak adekuat untuk digunakan dalam
mengkompensasi peningkatan resistensi insulin, maka kadar glukosa darah akan
meningkat.
2. Disfungsi Sel Beta Pankreas
Disfungsi sel beta pankreas terjadi akibat dari kombinasi faktor genetik
dan faktor lingkungan. Beberapa teori yang menjelaskan bagaimana kerusakan
sel beta mengalami kerusakan di antaranya teori glukotoksisitas (peningkatan
glukosa yang menahun), lipotoksisitas (toksisitas sel akibat akumulasi abnormal
lemak), dan penumpukan amiloid (fibril protein didalam tubuh).
3. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan yang juga memegang peranan penting dalam
terjadinya penyakit DMT2 yaitu adanya obesitas, makan terlalu banyak, dan
kurangnya aktivitas fisik. Penelitian terbaru telah meneliti adanya hubungan
antara DMT2 dengan obesitas yang melibatkan sitokin proinflamasi yaitu tumor
necrosis factor alfa (TNFa) dan interleukin-6 (IL-6), resistensi insulin, gangguan
metabolisme asam lemak, proses selular seperti disfungsi mitokondria, dan stres
retikulum endoplasma. Umumnya diabes mellitus disebabkan karena rusaknya
sel-sel B pulau Langerhans pada pankreas yang bertugas menghasilkan insulin,
oleh karena itu terjadilah kekurangan insulin. (Eva Decroli, 2019).

1.3 Klasifikasi Diabetes Mellitus


Berdasarkan dari kelas klinis (klasifikasi diabetes mellitus dibagi menjadi
empat yaitu, DM tipe 1, hasil dari kehancuran sel β pankreas, biasanya
menyebabkan defisiensi insulin yang absolut, DM tipe 2, hasil dari gangguan
sekresi insulin yang progresif yang menjadi latar belakang terjadinya resistensi
insulin, Diabetes tipe spesifik lain, misalnya gangguan genetik pada fungsi sel β,
gangguan genetik pada kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas (seperti cystic
5

fibrosis), dan yang dipicu oleh obat atau bahan kimia (seperti dalam pengobatan
HIV/AID atau setelah transplantasi organ), dan gestational diabetes mellitus
(Rahmasari, 2019).

Klasifikasi diabetes melitus berdasarkan etiologi menurut (PERKENI,


2019) adalah sebagai berikut :
a. Diabetes melitus tipe 1
Diabetes melitus yang terjadi akibat kerusakan atau destruksi sel beta
di pankreas. Kerusakan ini berakibat pada keadaan defisiensi insulin yang
terjadi secara absolut. Penyebab dari kerusakan sel beta antara lain autoimun
dan idiopatik.
b. Diabetes melitus tipe 2
Penyebab diabetes melitus tipe 2 seperti yang diketahui adalah
resistensi insulin. Insulin dalam jumlah yang cukup tetapi tidak dapat
bekerja secara optimal sehingga menyebabkan kadar gula darah tinggi
didalam tubuh. Defisiensi insulin juga dapat terjadi secara relatif pada
penderita diabetes melitus tipe 2 dan sangkan mungkin terjadi defisiensi
insulin absolut.
c. Diabetes melitus tipe lain
Penyebab diabetes melitus tipe lain adalah bervariasi. Diabetes melitus
tipe ini dapat disebabkan oleh defek genetik fungsi sel beta, defek genetik
kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati pankreas, obat, zat
kimia, infeksi, kelainan imunologi, dan sindrom genetik lainnya yang
berkaitan dengan diabetes melitus.
d. Diabetes melitus gestasional
Diabetes melitus yang terjadi setelah diagnosis pada trimester kedua atau
ketiga pada masa kehamilan, yang dimana sebelum masa kehamilan tidak
didapatkan diabetes melitus.
6

1.4 Patofisiologi Diabetes Mellitus


Eva Decroli, (2019) resistensi insulin dan defek fungsi sel beta pankreas
merupakan patofisiologi utama diabetes melitus tipe 2. Resistensi insulin banyak
terjadi pada orang-orang dengan berat badan berlebih atau obesitas. Kondisi ini
mengakibatkan insulin tidak dapat bekerja secara optimal pada sel otot, hati, dan
lemak yang mengakibatkan pankreas mengkompensasi untuk memproduksi
insulin lebih banyak. Ketika insulin yang diproduksi oleh sel beta pankreas tidak
adekuat, maka kadar glukosa dalam darah akan meningkat dan terjadi
hiperglikemia kronis. Hiperglikemia kronis yang terjadi terus menerus akan
merusak sel beta pankreas dan memperburuk resistensi insulin. ketika sel beta
pankreas mengalami kerusakan dan tidak dapat memproduksi insulin yang
adekuat,maka fungsi sel beta pankreas akan digantikan dengan jaringan amilod
sehingga produksi insulin mengalami penurunan. Kondisi ini menyebabkan
tubuh kekurangan insulin secara absolut.
7

1.5 Pathways

Ketidakseimb
angan kadar
glukosa darah
8

1.6 Tanda dan Gejala Diabetes Mellitus


Menurut American Diabetes Association 2010 gejala yang lazim
terjadi pada diabetes militus sebagai berikut:
a. Poliouri (Banyak kencing)
Hal ini di sebabkan oleh karena kadar glukosa darah meningkat sampai
melampaui daya serap ginjal terhadap glukosa sehingga terjadi osmotik
diuresis yang mana gula banyak menarik cairan elektrolit sehingga klien
mengeluh banyak kencing. Orang dewasa normalnya mengekskresikan 1-2 L
air seni setiap harinya.
b. Polidipsi (Banyak Minum)
Hal ini disebabkam pembakaran terlalu banyak dan kehilangan cairan banyak
karena poliuri sehingga untuk mengimbangi klien lebih banyak minum. Dan
terjadi karena kadar gula berlebih dalam darah menyerap air terus menerus dari
jaringan sehingga merasa dehidrasi.
c. Polipagi (Banyak makan)
Hal ini disebabkan karena glukosa tidak sampai ke sel yang mengalami starvasi
(lapar), sehingga untuk memenuhi klien akan terus makan walaupun klien
banyak makan tetap saja makanan tersebut hanya berada sampai
pembuluh darah. Kurangnya insulin untuk memasukkan gula ke sel membuat
otot dan organ melemah dan tubuh kehabisan energi. Otak merespon kalau itu
adalah kurang energi karena kurang makan sehingga tubuh berusaha
meningkatkan asupan makanan dengan mengirimkan sinyal lapar.
d. Berat badan menurun, lemas, lelah, tenaga kurang
Meskipun nafsu makan meningkat tapi penderita diabetes mengalami
penurunan berat badan yang drastis. Hal ini disebabkan kehabisan glikogen
yang telah dilebur jadi glukosa maka tubuh berusaha mendapat peleburan zat
dari bagian tubuh yang lain yaitu lemak dan protein, karena tubuh terus
merasakan lapar maka tubuh selanjutnya akan memecahkan cadangan makanan
yang ada di tubuh.
e. Mata Kabur
Hal ini disebabkan oleh gangguan liantas polini (glukosa-sarbitol fruktasi)
yang disebabkan karena insufisiesi insulin. Akibat terdapat penimbunan
9

sorbitol dari lensa sehingga menyebabkan katarak.


f. Merasakan kesemutan atau kebas
Kebas atau neuropati diabetes yaitu terjadinya kerusakan saraf pembuluhh
darah dan terjadi penyempitan. Terjadi karena pembuluh darah yang rusak
sehingga darah yang akan mengalir pada ujung ujung syaraf bisa berkurang.

1.7 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan apabila pasien memiliki tanda-


tanda yang mengacu pada diabetes. Pemeriksaan ini dilakukan untuk penegakkan
diagnosa yang berfungsi untuk menentukan terapi selanjutnya. Pemeriksaan yang
pertama yaitu dengan melihat kadar gula darah sewaktu, dimana apabila
nilainya > 200 mg/dL (11.1 mmol/L) maka dapat diindikasikan pasien
mengacu pada ketidakstabilan kadar glukosa dalam darah. Pada penderita
asimtomatis ditemukan kadar gula darah puasa lebih tinggi dari normal dan uji
toleransi glukosa terganggu pada lebih dari satu kali pemeriksaan Gula darah
puasa dianggap normal bila kadar darah pada darah vena (plasma) < 140 mg/dL
(7,8 mmol/L) atau darah kapiler < 120 mg/dL (6,7 mmol/L). Pengukuran C-
Peptida dapat digunakan untuk melihat fungsi sel residu yaitu sel yang masih
memproduksi insulin dan dapat digunakan apabila sulit membedakan diabetes
tipe 1 dan 2. Pemeriksaan selanjutnya yaitu HbA1c yang dilakukan rutin setiap 3
bulan. Manfaat HbA1c dapat mengukur kadar gukosa darah selama 120 hari yang
lalu (sesuai usia eritrosit), menilai perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya,
menilai pengendalian penyakit DM dengan tujuan mencegah terjadinya
komplikasi diabetes.

1.8 Penatalaksanaan
Dalam mengobati pasien DMT2 tujuan yang harus dicapai adalah
meningkatkan kualitas hidup pasien. Tujuan penatalaksanaan meliputi tujuan
penatalaksanaan jangka pendek dan jangka panjang. Tujuan penatalaksanaan
jangka pendek adalah menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan
rasa nyaman, dan mencapai target pengendalian glukosa darah. Tujuan
10

penatalaksanaan jangka panjang adalah untuk mencegah dan menghambat


progresivitas komplikasi makrovaskuler dan mikrovaskuler, serta neuropati
diabetikum. Tujuan akhir pengelolaan DMT2 adalah menurunkan morbiditas dan
mortalitas DM. Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu penatalaksanaan diabetes
secara lebih dini dan lebih cepat sehingga kadar glukosa darah puasa, glukosa
darah setelah makan, glukosa darah, HbA1c, tekanan darah, berat badan dan
profil lipid dapat dikendalikan. Hal ini dapat tercapai melalui pengelolaan pasien
secara holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan pola
hidup, disamping terapi farmakologis (Eva Decroli, 2019).
a. Terapi Non Farmakologis
Dari awal, pada pengelolaan pasien DMT2 harus direncanakan terapi non
farmakologis dan pertimbangan terapi farmakologis. Hal yang paling penting
pada terapi non farmakologis adalah monitor sendiri kadar glukosa darah dan
pendidikan berkelanjutan tentang penatalaksanaan diabetes pada pasien. Latihan
jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu selama 30 menit/kali), merupakan
salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti
berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, dan berkebun harus tetap
dilakukan. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat
menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin sehingga akan
memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan adalah
berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai,
joging (Eva Decroli, 2019).

1) Diet Diabetes

Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan


penyandang diabetes. Cara yang paling umum digunakan adalah dengan
memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kalori/kgBB
ideal (BBI), ditambah atau dikurangi dengan beberapa faktor koreksi. Faktor
koreksi ini meliputi jenis kelamin, umur, aktivitas, dan berat badan. Perhitungan
berat badan Ideal (BBI) dilakukan dengan menggunakan rumus Brocca yang
dimodifikasi yaitu:

Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg


11

Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm,
rumus dimodifikasi menjadi :

Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg.

Menurut dr. Eva Decroli(2019). Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan


antara lain :
a. Jenis Kelamin
Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil dibandingkan kebutuhan kalori pada
pria. Kebutuhan kalori wanita sebesar 25 kal/kg BBI dan pria sebesar 30 kal/kg
BBI.
b. Umur
Untuk pasien usia di atas 40 tahun: kebutuhan kalori dikurangi 5% (untuk
dekade antara 40 dan 59 tahun), dikurangi 10% (untuk usia 60 s/d 69 tahun),
dan dikurangi 20% (untuk usia di atas 70 tahun).Kebutuhan kalori pada wanita
lebih kecil dibandingkan kebutuhan kalori pada pria. Kebutuhan kalori wanita
sebesar 25 kal/kg BBI dan pria sebesar 30 kal/kg BBI.
c. Aktivitas Fisik
Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas fisik.
Penambahan 10% dari kebutuhan kalori basal diberikan pada pasien dalam
keaadaan istirahat total, penambahan 20% dari kebutuhan kalori basal
diberikan pada pasien dengan aktivitas fisik ringan, penambahan 30% dari
kebutuhan kalori basal diberikan pada pasien dengan aktivitas fisik sedang, dan
penambahan 50% dari kebutuhan kalori basal diberikan pada pasien dengan
aktivitas fisik sangat berat.
d. Berat Badan
Pada pasien dengan obesitas, kebutuhan kalori dikurangi sekitar 2030% dari
kebutuhan kalori basal (tergantung pada derajat obesitas yaitu apakah obes I
atau obes II). Pada pasien dengan underweight, kebutuhan kalori ditambah
sekitar 20-30% dari kebutuhan kalori basal (sesuai dengan kebutuhan untuk
meningkatkan BB). Dari hasil perhitungan kalori total yang didapatkan dengan
menggunakan rumus Brocca dan memperhitungkan faktor koreksi, kalori total
ini dibagi dalam 3 porsi besar untuk waktu makan utama yaitu makan pagi
(20%), siang (30%), dan sore (25%), serta 2-3 porsi makanan ringan (1015%).
12

Sisanya, dibagi untuk waktu makan selingan di antara tiga waktu makan utama
tersebut. Untuk meningkatkan kepatuhan pasien, sedapat mungkin perubahan
porsi dan pola makan ini dilakukan sesuai dengan kebiasaan pasien
sebelumnya. Untuk pasien diabetes yang mengidap penyakit lain, terapi nutrisi
disesuaikan dengan penyakit penyertanya.
2) Komposisi Makanan
Persentase asupan karbohidrat yang dianjurkan untuk pasien DMT2
adalah sebesar 45-65% dari kebutuhan kalori total. Persentase asupan lemak yang
dianjurkan adalah sekitar 20-25% dari kebutuhan kalori total. Asupan lemak ini
tidak diperkenankan melebihi 30% dari kebutuhan kalori total. Persentase asupan
lemak jenuh yang dianjurkan adalah kurang 7 % dari kebutuhan kalori total.
Persentase asupan lemak tidak jenuh ganda yang dianjurkan adalah kurang 10 %
dari kebutuhan kalori total. Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah bahan
makanan yang banyak mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain :
daging berlemak dan susu penuh (whole milk). Anjuran konsumsi kolesterol
adalah kurang 300 mg/hari. Persentase asupan protein yang dianjurkan adalah
sebesar 10 – 20% dari kebutuhan kalori total. Sumber protein yang baik adalah
seafood (ikan, udang, cumi, dll), daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk
susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu, dan tempe. Pada pasien dengan PGD
perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/kgBB perhari atau sekitar 10% dari
dari kebutuhan kalori total. Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes
sama dengan anjuran asupan natrium untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih
dari 3000 mg atau sama dengan 6-7 g (1 sendok teh) garam dapur. Pada pasien
DMT2 dengan hipertensi, pembatasan asupan natrium diperlukan yaitu tidak
lebih dari 2,4g garam dapur. Sumber natrium antara lain adalah garam dapur,
vetsin, soda, dan bahan pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.
Seperti halnya masyarakat umum penderita diabetes dianjurkan mengonsumsi
cukup serat dari kacang-kacangan, buah dan sayuran serta sumber karbohidrat
yang tinggi serat, karena mengandung vitamin, mineral, serat, dan bahan lain yang
baik untuk kesehatan. Anjuran konsumsi serat adalah sekitar 25 g/1000 kkal/hari.
Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis bergizi dan pemanis tak bergizi.
Pemanis bergizi meliputi gula alkohol dan fruktosa. Gula alkohol antara lain
13

isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol, dan xylitol. Dalam penggunaannya,


pemanis bergizi perlu diperhitungkan kandungan kalorinya. Fruktosa tidak
dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes karena dapat mempengaruhi
kadar lemak darah. Pemanis tak bergizi seperti aspartam, sakarin, acesulfame
potassium, sukralose, dan neotame.
3) Diet Mediterania
Diet Mediterania adalah diet dengan pola makan nabati yang
diperkenalkan pertama kali pada tahun 1960. Secara umum, diet nabati ini adalah
diet dengan komposisi utama buah-buahan, sayuran, kacang kacangan, biji-bijian,
sereal, dan gandum; minyak zaitun sebagai sumber utama lemak; produk susu,
ikan dan unggas; dan daging merah dan anggur yang sedikit terutama saat makan.
Diet mediterania dapat memperbaiki kontrol glikemik dan menurunkan faktor
risiko kardiovaskular, termasuk tekanan darah sistolik, kolesterol total, kolesterol
HDL, dan trigliserida pada DMT2. Diet mediterania menurunkan HbA , kadar
glukosa darah puasa, dan 1c menunda kebutuhan untuk terapi obat
antihiperglikemik.
b. Terapi Farmakologis
Insulin adalah hormon yang dihasilkan oleh sel beta di pankreas yang
berfungsi untuk mengatur kadar glukosa dalam darah. Insulin mempunyai
peran yang sangat penting dalam pengendalian metabolisem didalam tubuh, efek
kerja insulin adalam membantu tranport glukosa dari darah menuju ke sel. Terapi
insulin merupakan salah satu pengobatan yang wajib dilakukan oleh penderita
diabetes melitus (Kumar, 2013).

1.9 Komplikasi Diabetes Mellitus


Berkurangnya sekresi insulin dan gangguan metabolisme karbohidrat,
lemak, dan protein mengakibatkan komplikasi DM. Pengontrolan kadar glukosa
darah pada penderita diabetes dapat mencegah terjadinya komplikasi (Chatterjee
dan Davies 2015, Allen dan Gupta 2019). Komplikasi diabetes akan
meningkatkan morbilitas dan kematian (Papatheodorou et al. 2016). Beberapa
komplikasi penyakit akibat DM, di antaranya adalah penyakit kardiovaskular,
gangguan ginjal, peradangan, dan obesitas. Studi epidemiologis menunjukkan
14

bahwa jenis kelamin, usia, dan latar belakang etnis merupakan faktor penting
dalam perkembangan komplikasi DM. Penderita diabetes memiliki risiko
komplikasi yang menyebabkan terjadinya kematian (Olokoba et al. 2012).
Secara umum komplikasi yang terjadi dikelompokkan menjadi 2 yaitu :
g. Komplikasi akut metabolik, berupa gangguan metabolit jangka pendek seperti
hipoglikemia, ketoasidosis, dan hiperosmolar; dan
h. Komplikasi lanjut, komplikasi jangka panjang yang mengakibatkan
makrovaskular (penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh darah perifer
dan stroke), mikrovaskular (nefropati, retinopati dan neuropati), dan
gabungan makrovaskular dan mikrovaskular (diabetes kaki). Penyebab
kematian pada orang tua penderita diabetes akibat degradasi makrovaskular
lebih banyak dibandingkan dengan mikrovaskular ( Mane et al. 2012, Pasquel
dan Umpierrez 2014, Rhee dan Kim 2015, Asmat et al. 2016, Kabel et al.
2017, Goguen dan Gilbert 2018).
Diabetes melitus sering menyebabkan komplikasi makrovaskular dan
mikrovaskular. Komplikasi makrovaskular terutama didasari oleh karena adanya
resistensi insulin, sedangkan komplikasi mikrovaskular lebih disebabkan oleh
hiperglikemia kronik. Kerusakan vaskular ini diawali dengan terjadinya
disfungsi endotel akibat proses glikosilasi dan stres oksidatif pada sel endotel.
Disfungsi endotel memiliki peranan penting dalam mempertahankan
homeostasis pembuluh darah. Untuk memfasilitasi hambatan fisik antara dinding
pembuluh darah dengan lumen, endotel menyekresikan sejumlah mediator yang
mengatur agregasi trombosit, koagulasi, fibrinolisis, dan tonus vaskular. Istilah
disfungsi endotel mengacu pada kondisi dimana endotel kehilangan fungsi
fisiologisnya seperti kecenderungan untuk meningkatkan vasodilatasi,
fibrinolisis, dan antiagregasi. Sel endotel mensekresikan beberapa mediator yang
dapat menyebabkan vasokontriksi seperti endotelin-a dan tromboksan A2, atau
vasodilatasi seperti nitrik oksida (NO), prostasiklin, dan endotheliumderived
hyperpolarizing factor. NO memiliki peranan utama pada vasodilatasi arteri.
Pada pasien DMT2 disfungsi endotel hampir selalu ditemukan, karena
hiperglikemia kronis memicu terjadinya gangguan produksi dan aktivitas NO,
sedangkan endotel memiliki keterbatasan intrinsik untuk memperbaiki diri.
15

Paparan sel endotel dengan kondisi hiperglikemia menyebabkan terjadinya


proses apoptosis yang mengawali kerusakan tunika intima. Proses apoptosis ini
terjadi melewati serangkaian proses yang kompleks yaitu teraktivasi jalur sinyal
β-1 integrin, setelah aktivasi integrin, akan terinduksi peningkatan p38 mitogen-
activated protein kinase (MAPK) dan c-Jun N-terminal (JNK) yang berujung
pada apoptosis sel. Pada sel endotel yang telah mengalami apoptosis, akan
terjadi pula aktivasi vascular endothelial- cadherin yang akan menyebabkan
apoptosis sel-sel sekitar pada daerah yang rentan mengalami aterosklerosis (Eva
Decroli, 2019).

2. Konsep Ulkus Diabetikum


2.1 Definisi Ulkus Diabetikum
Ulkus diabetikum merupakan komplikasi kronik dari diabetes mellitus
sebagai sebab utama morbiditas, mortalitas, serta kecacatan penderita diabetes.
Ulkus diabetikum disebabkan oleh banyak faktor, termasuk deformitas,
neuropati sensori, kondisi kulit yang tidak sehat dan infeksi. Ulkus diabetikum
diawali dengan infeksi superficial pada kulit penderita. Kadar glukosa darah
yang tinggi menjadi tempat strategis perkembangan bakteri. Adanya kuman
saprofit tersebut menyebabkan ulkus berbau (Khotimah Khusnul, 2019).
Ulkus dibetikum merupakan komplikasi dari penyakit diabetes
mellitus (DM) yang berdampak pada keadaan fisik, psikologis, social dan
ekonomi. Dampak terjadi pada fisik yang timbul berupa kelainan bentuk kaki,
nyeri, dan infeksi kaki, bahkan dapat berpotensi amputasi, sedangkan
permasalahan psikologis yang muncul dapat berupa gangguan kecemasan, ini
dapat muncul disebabkan oleh penyembuhan ulkus yang dialami oleh penderita
selama bertahun-tahun (priscilla, 2017).
16

2.2 Etiologi Ulkus Diabetikum


Faktor-faktor yang berpengaruh atas terjadinya ulkus diabetikum dibagi
menjadi faktor endogen dan eksogen:
a. Faktor endogen: genetik metabolik, angeopati diabetik, neuropati diabetik.
b. Faktor eksogen: trauma, infeksi, obat. Faktor utama yang berperan timbulnya
ulkus diabetikum adalah angiopati, neuropati, dan infeksi. Adanya neuropati
perifer akan menyebabkan hilang atau menurunnya trauma tanpa teras yang
mengakibatkan terjadinya ulkus pada kaki gangguan motorik saja akan
mengakibatkan terjadi atrofi pada otot kaki sehingga merubah titik tumpu
yang menyebabkan ulserasi pada kaki pasien. Apabila sumbatan terjadi pada
pembuluh darah yang lebih besar maka penderita akan merasa sakit pada
tungkainya sesudah ia berjalan pada jarak tertentu. Adanya angiopati tersebut
akan menyebabkan terjadinya penurunan asupan nutrisi, oksigen serta
antibiotika sehingga menyebabkan terjadinya luka yang sukar sembuh
(nurarif, 2018).

2.3 Tanda dan gejala Ulkus Diabetikum


Menurut Loviana (2017) tanda dan gejala ulkus diabetikum yaitu adanya
eksudat atau cairan pada luka, dengan gejala kronik seperti kesemutan, kulit terasa
panas, atau seperti tertusuk-tusuk jarum, rasa kebas dikulit, kram, kelelahan,
mudah mengantuk, pandangan mulai kabur, badan lemas, gigi mudah goyang dan
mudah lepas.

2.4 Klasifikasi Ulkus Diabetikum


Ada beberapa klasifikasi derajat ulkus kaki diabetik dikenal saat ini seperti
klasifikasi Wagner, University of Texas wound classification system (UT), dan
PEDIS (Perfusion, Extent / size, Depth / tissue loss, Infection, Sensation).
Klasifikasi Wagner banyak dipakai secara luas, menggambarkan derajat luas dan
berat ulkus namun tidak menggambarkan keadaan iskemia dan pengobatan (Rina,
2016).
17

Tabel 2. 1 Klasifikasi Ulkus Diabetes Melitus

2.5 Penatalaksanaan Ulkus Diabetikum


a. Debridemen
Debridement dilakukan pada semua luka kronis untuk menghilangkan
luka di permukaan dan jaringan nekrotik. Hal ini untuk meningkatkan
penyembuhan dengan meningkatkan produksi jaringan granulasi dan dapat di
capai dengan pembedahan secara enzimatik, biologis dan autolitis . debridement
bedah dilakukan dengan pisau bedah, metode ini lebih cepat serta efektif untuk
menghilangkan hiperkreratosis dan jaringan mati (longnecker Dalam Enggawati,
2018)
b. Dressing
Dressing digunakan untuk menciptakan lingkungan luka yang lembab
(kompres) dan mendukung penyembuhan luka. Dressing bukan pengganti
debridement. Dressing melibatkan pemeliharaan lingkungan luka seimbang
(tidak terlalu lembab dan tidak terlalu kering). Tenaga kesehatan harus
menggunakan pembalut luka yang sesuai dengan penampilan klinis serta lokasi
luka pasien (longnecker Dalam Enggawati, 2018).
c. Terapi Antibiotik
Pasien ulkus diabetikum ditemukan infeksi gabungan dari bakteri anerob
maupun aerob, antibiotik yang dianjurkan harus sesuai dengan hasil kultur serta
resistensi pasien terhadap antibiotik. Karena itu pemilihan antibiotik ini pertama
18

harus diberikan antibiotik golongan spectrum luas agar infeksinya tidak


bertambah parah. Pemberian antibiotik harus berdasarkan tingkat keparahan
infeksi untuk mencegah terjadinya resistensi selama terapi (longnecker Dalam
Enggawati, 2018)

3. Konsep Asuhan Keperawatan


3.1 Pengkajian Keperawatan
1. Identitas Klien
Di dalam identitas meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat,
pendidikan, status perkawinan, agama, pekerjaan, nomor rekam medis,
tanggal dan waktu masuk rumah sakit, sumber informasi dan
penanggungjawab klien.
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
Keluhan utama merupakan penyebab yang mendorong pasien mencari
bantuan perawat. Biasanya pada diabetes keluhan utama yakni banyak
pipis disaat malam hari, mudah haus, dan mudah lapar. Keluhan rasa
kesemutan pada ekstremitas bawah/ tungkai bawah, sensivitas yang
menurun, terdapat luka yang tidak kunjung sembuh dan rbau, terdapat nyeri
pada luka.
b. Riwayat penyakit sekarang
Riwayat penyakit mulai dari awal sampai saat pertama kali
berbuhubungan dengan petugas kesehatan.
c. Riwayat kesehatan sebelumnya
Perawat dapat menanyakan riwayat penyakit yang pernah di derita.
Riwayat penyakit DM atau penyakit lainnya yang berkaitan dengan
defisiensi insulin seperti penyakit pancreas. Adanya obesitas maupun
arterosklerosis, riwayat penyakit jantung, tindakan medis yang pernah
didapat maupun obat-obatan yang biasa digunakan oleh penderita.
d. Riwayat kesehatan keluarga
Perawat dapat mengkaji apakah terdapat keluarga klien yang memiliki
riwayat penyakit sama serta riwayat penyakit keturunan. Genogram
keluarga biasanya ada salah satu anggota keluarga yang juga
19

menderita Diabetes atau penyakit keturunan yang dapat menyebabkan


terjadinya defisiensi insulin seperti jantung, hipertensi.
3. Pengkajian 11 Pola Fungsi Gordon
a. Persepsi kesehatan & pemeliharaan kesehatan
Perawat dapat mengkaji persepsi individu tentang status kesehatannya
saat ini, manajemen risiko kesehatan individu dan kesehatan umum
perawatan perilaku.
b. Pola nutrisi
Adanya polifagi, mual, polidipsi, muntah, diare, konstipasi, dehidrasi,
perubahan BB, perubahan lingkar abdomen, obesitas.
c. Pola eliminasi
Poliuri, inkontinensia urin, retensi urin, rasa panas atau sakit saat
berkemih.
d. Pola aktivitas & latihan
Dengan adanya ketidakstabilan metabolisme glukosa dalam darah
dapat mempengaruhi terkait dengan pembentukan Adenosin Tri
Pospat (ATP) sehingga energi yang dihasilkan kurang dan
menyebabkan kelemahan fisik dan pasien mudah merasa mengantuk.
e. Pola tidur & istirahat (saat sebelum sakit dan saat di rumah sakit)
Berkaitan dengan pola istirahat dan tidur akan terganggu tidurnya
karena efek proses penyakit yang membuat pasien banyak BAK saat
di malam hari.
f. Pola kognitif & perceptual
Menjelaskan terkait fungsi kognitif, seperti kemampuan mengingat,
menilai, pengambilan keputusan, gangguan fungsi indra. Pasien
kolelitiasis umumnya masih dapat berfungsi kognitifnya dan tidak ada
gangguan indra, namun bisa terjadi kesulitan dalam pengambilan
keputusan saat keluhan muncul.
g. Pola persepsi diri
Berkaitan dengan sikap individu memandang dirinya, umumnya
pasien akan cemas, ketakutan, menyangkal, memikirkan dirinya akan
kemampuan dalam melakukan aktivitasnya di kemudian hari.
20

h. Pola seksualitas & reproduksi


Berkaitan dengan pola reproduksi dan seksualitas klien. Pasien
umumnya tidak melakukan hubungan seksual karena jika keluhan
muncul akan menganggu kenyamanan.
i. Pola peran & hubungan
Berkaitan dengan peran dan hubungan klien dengan keluarga maupun
orang lain sekitarnya. Umumnya mengalami gangguan dalam
berinteraksi karena keluhan yang dirasakan muncul, bisa menghambat
aktivitasnya.
j. Pola manajemen koping-stress
Berkaitan dengan mekanisme koping yang dimiliki pasien ketika
mengalami stress. Jika koping stres yang dimiliki baik, tidak akan
muncul rasa cemas dan mampu menjalankan perawatan dengan baik.
k. System nilai & keyakinan
Berkaitan dengan kepercayaan yang dianut untuk mengatasi masalah
kesehatan klien dan meningkatkan ibadah untuk mengurangi
kecemasan dan ketakutan. Pasien dapat memutuskan perawatan yang
dijalaninya. Kayakinan terhadap pengobatan yang dijalankan secara
medis atau tradisional. Pasien umunya bisa sembuh dengan keyakinan
kuat dan pengobatan yang baik
4. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum
Keadaan umum pada klien dapat dilakukan selintas pandang dengan
menilai keadan fisik. Tiap bagian tubuh perlu dinilai secara umum
kesadaran klien compos mentis, apatis, somnolen, sopor dan
soporokomatus, atau koma, seorang perawat perlu mempunyai
pengalaman pengetahuan tentang konsep anatomi fisiologi umum
sehingga dengan cepat mampu menilai kedaan umum, kesadaran, dan
pengukuran GCS. Bila kesadaran klien menurun yang memerlukan
kecepatan dan penanganan lebih lanjut.
21

b. Tanda-tanda Vital
1) Tekanan darah
Rata-rata untuk tekanan darah sistolik 120 mmHg, rata-rata diastolik
80-90/mmHg, namun pada pasien diabetes terkadang juga diikuti
dengan hipertensi.
2) Nadi
Pada nadi jugularis, karotis, dan abdominal tidak akan terlihat.
Tekanan nadi meningkat, denyut melemah, nadi perifer berkurang,
frekuensi nadi 60-100 x/menit.
3) Respirasi Frekuensi Napas
Umumnya 12-20 x/menit, tidak ada gangguan dalam sistem
respirasinya.
4) Suhu
Pada umumnya suhu meningkat, karena adanya infeksi saat terdapat
gas gangren/ ulkus diabetikum.
1. Pengkajian Fisik Head to Toe
a. Kepala
Inspeksi : bentuk kepala simetris, distribusi rambut normal, tidak ada
lesi dan jejas
Palpasi : tidak ada benjolan dan tidak ada nyeri tekan
b. Mata
Inspeksi : posisi mata simetris, gerakan bola mata normal, sklera
anikterik, konjungtiva anemis, pupil isokor
Palpasi : tidak ada benjolan dan tidak ada nyeri tekan
c. Telinga
Inspeksi : simetris, tidak ada kelainan bentuk, warna normal, tidak ada
gangguan pendengaran
Palpasi : tidak ada benjolan dan tidak ada nyeri tekan
d. Hidung
Inspeksi : Tidak terdapat kelainan bentuk, tulang hidung simetris,
lubang hidung normal, tidak ada lesi maupun jejas, tidak ada massa,
warna kulit hidung sama dengan warna di sekitarnya
22

Palpasi : tidak ada benjolan, tidak ada massa, dan tidak ada nyeri
tekan
e. Mulut
Inspeksi : mulut simetris, tidak ada lesi dan jejas, mukosa bibir kering,
pasien bisa mengalami mual dan muntah, mukosa bibir pucat dan
kering
Palpasi : tidak ada benjolan dan nyeri tekan
f. Leher
Inspeksi : Leher pasien terlihat simetris, tidak ada jejas maupun lesi,
tidak ada benjolan ataupun pembesaran kelenjar tiroid, warna kulit di
leher sama dengan warna kulit sekitarnya.
Palpasi : tidak ada massa dan nyeri tekan.
g. Dada
Jantung
Inspeksi : tidak ada peningkatan JPV, tidak ada perubahan letak iktus
cordis
Palpasi : pada pasien tidak ictus cordis tidak teraba
Perkusi : bunyi jantung normal, batas jantung normal
Auskultasi: suara jantung reguler, tidak ada bunyi tambahan
Paru-Paru
Inspeksi : dada kiri dan kanan simetris
Palpasi : pada saat dilakukan palpasi tidak teraba masa, vocal fremitus
tidak ada yang tertinggal
Perkusi : lapang paru berbunyi normal, sonor
Auskultasi: klien memiliki suara napas normal
h. Abdomen
Inspeksi : bisa tampak ada pembesaran pada abdomen, tidak ada luka,
tidak ada lesi.
Auskultasi : suara bising usus normal, peristaltik usus menurun
Palpasi : ada nyeri tekan pada abdomen, terdapat distensi abdomen,
kembung.
Perkusi : suara timpani
23

i. Genetalia dan anus


Inspeksi : tidak terpasang kateter, tidak ada kelainan bentuk dan
ukuran, persebaran rambut merata
Palpasi : tidak ada benjolan dan nyeri tekan
j. Ekstremitas atas dan bawah
Inspeksi : mengalami kelemahan karena kesulitan mobilisasi akibat
nyeri yang kuat
Palpasi : tidak pitting edema, pucat, edema pada tungkai, cyanosis
perifer
k. Kulit dan kuku
Inspeksi : kondisi kuku, warna kuku, bentuk, lesi, kebersihan,
panjang/pendeknya, penurunan turgor kulit, adanya luka atau warna
hitam pada bekas luka, kelembaban dan suhu kulit di area sekitar
ulkus dan gangrene, kemerahan pada kulit sekitar luka, tekstur rambut
dan kuku.

4. Pemeriksaan Diagnostik
a. Darah lengkap : Leukositis sedang (akut), hematokrit, hemoglobin.
b. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah: Gula Darah Sewaktu lebih dari 200mg/dL, gula
darah puasa lebih dari 120mg/dL dan dua jam post prandial lebih dari
200mg/dL.
c. Pemeriksaan HbA1c
Dilakukan untuk mengukur kadar gukosa darah selama 120 hari yang
lalu (sesuai usia eritrosit), menilai perubahan terapi 8-12 minggu
sebelumnya, menilai pengendalian penyakit DM dengan tujuan
mencegah terjadinya komplikasi diabetes.
d. Urin
Pada pemeriksaan didapat adanya glukosa dalam urin. Pemeriksaan
dilakukan dengan cara benedict (reduksi). Hasil dapat dilihat
melalui perubahan warna pada urin: hijau(+), kuning (++), merah (++
+), dan merah bata (++++).
24

e. Kultur pus
Untuk mengetahui jenis kuman yang terdapat pada luka dan
memberikan antibiotic yang sesuai dengan jenis kuman.

C. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul


1. Ketidakstabilan Kadar Glukosa darah b.d. dengan hiperglikemia d.d pasien
mengeluh lelah atau lesu, kadar glukosa dalam darah/urin tinggi
2. Nyeri Akut b.d agen pencedera fisiologis d.d pasien mengeluh nyeri,
tampak meringis, bersikap protektif waspada posisi menghindari nyeri,
gelisah, nadi meningkat, kesulitan tidur, nafsu makan menurun
3. Hipertermi b.d proses penyakit (infeksi) d.d suhu tubuh diatas nilai
normal, kulit merah, terasa hangat, takikardi, takipneu
4. Risiko Infeksi d.d leukoponia
65

Tabel 3.11 Intervensi Keperawatan

SDKI SLKI SIKI


No.
Kode Diagnosa Kode Luaran Kode Intervensi
1. D.0027 Ketidakstabilan Kadar L.03022 Setelah dilakukan tindakan I.14513 Manajemen Hiperglikemia
Glukosa Darah keperawatan selama 3 x 24 jam kadar Observasi :
berhubungan dengan gula dalam darah stabil, meliputi Identifikasi kemungkinan penyebab
hiperglikemia dengan kriteria hasil : hiperglikemia
Definisi: Variasi Kadar Monitor kadar glukosa darah
Kadar glukosa dalam darah membaik
Glukosa darah Monitor tanda dan gejala hiperglikemia
dari hiperglikemia 248mg/dL menjadi
naik/turun dari rentang (mis, poliurs, polidipsia, polifagia,
normal 100mg/dL
normal. kelemahan pandangan kabur, sakit
Lelah atau lesu menurun
Penyebab :
Keluhan lapar menurun kepala)
Disfungsi pankreas
Keluhan pusing menurun dari Identifikasi situasi yang menyebabkan
Resistensi insulin
TD : 160/80 mmhg menjadi kebutuhan insulin meningkat (mis,
Gangguan toleransi
120/80mmhg penyakit kambuhan)
glukosa darah
Terapeutik:
Gangguan glukosa darah Berikan asupan cairan oral
puasa
Konsultasi dengan medis jika tanda dan
gejala hiperglikemia tetap ada atau
memburuk
Edukasi:
Anjurkan menghindari olahraga saat
kadar glukosa darah lebih dari 250
mg/dL
Ajarkan pengelolaan diabetes (mis,
penggunaan insulin, obat oral
65

2 D.0077 Nyeri akut L.08066 Setelah dilakukan tindakan asuhan I.08238 1) Manajemen nyeri
berhubungan dengan keperawatan selama 3x24 jam Observasi :
neuropati sensori diharapkan tindakan kesehatan agar (1) Identifikasi lokasi, karakteristik,
perifer nyeri dapat berkurang, meliputi : durasi, frekuensi, kualitas, dan
Tingkat nyeri intensitas nyeri
Keluhan nyeri menurun dari (2) Identifikasi skala nyeri
nyeri berat menjadi nyeri ringan (3) Identifikasi respons nyeri non
Ttv dalam rentan normal verbal
GDA normal dari (4) Identifikasi factor yang
248mg/dL memperberat dan memperingan
nyeri
(5) Identifikasi pengaruh nyeri pada
kualitas hidup
Terapeutik :
(6) Fasilitasi istirahat tidur
(7) Pertimbangkan jenis dan sumber
nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi :
(8) Jelaskan penyebab, periode, dan
pemicu nyeri
(9) Ajarkan teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri

3 Hipertermi b.d proses L.14134 Setelah dilakukan tindakan I.15506 Manajemen Hipertermi:
penyakit (infeksi) d.d keperawatan selama 3x24 jam Mandiri
suhu tubuh diatas diharapkan pengaturan suhu tubuh 1. Bina hubungan saling percaya
nilai normal, kulit pada klien dapat berada pada rentang dengan pasien dan keluarga
65

merah, terasa hangat, normal dengan kriteria hasil: 2. Monitor suhu tubuh dan tanda-tanda
takikardi, takipneu 1. Takipneu (5) vital
2. Takikardi (5) 3. Monitor warna kulit dan suhu
3. Kulit merah (5) 4. Monitor intake dan otput cairan
5. Selimuti pasien dengan selimut tipis
4. Suhu tubuh (5)
dan pakaian tipis
5. Suhu kulit (5) Promotif
6. Anjurkan pasien minum banyak air
(250 ml/2 jam)
7. Anjurkan pasien banyak istirahat,
bila perlu batasi aktivitas
Edukasi
8. Ajarkan cara melakukan kompres
hangat pada pasien saat pasien
demam tinggi
Kolaborasi
9. Kolaborasi pemberian obat
(antipiretik, antibiotik) atau cairan
IV
10. Kolaborasi pemeriksaan
laboratorium (darah lengkap, urin)
4 D.0129 Gangguan L.14125 Setelah dilakukan intervensi I.14564 Perawatan Luka
Integritas Kulit Observasi
keperawatan selama 1x24 jam,
b.d Perubahan 1. Monitor karakterisktik luka
Sirkulasi maka integritas kulit dan jaringan 2. Monitor tanda tanda infeksi
Terapeutik
meningkat dengan kriteria hasil :
2. Bersihkan dengan cairan NaCl
a. Elastisitas meningkat 3. Lepaskan balutan dan plester secara
65

perlahan
b. Kerusakan jaringan menurun
4. Berikan salep yang sesuai ke kulit/lesi,
c. Nyeri menurun jika perlu
5. Ganti balutan sesuai jumlah eksudat
d. Kemerahan menurun
dan drainase
6. Jadwalkan perubahan posisi setiap 2
jam atau sesuai kondisi pasien
7. Berikan terapi TENS (stimulasi saraf
transcutaneous), jika perlu
Edukasi
8. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
9. Anjurkan mengkonsumsi makanan
tinggi kalori dan protein
Kolaborasi
10. Kolaborasi prosedur debridement
11. Kolaborasi pemberian antibiotik
DAFTAR PUSTAKA

Bertalina, & Purnama. (2016). Hubungan Lama Sakit, Pengetahuan, Motivasi


Pasien, dan dukungan Keluarga dengan Kepatuhan Diet Pasien Diabetes
Mellitus. Jurnal kesehatan, VII, 329-340.
Bryer, M. (2016). 100 tanya jawab mengenai Diabetes . Jakarta : indeks .
Hasdianah. (2012). Mengenal Diabetes Mellitus Pada Orang Dewasa dan
Anak Anak Dengan Solusi Herbal . Yogyakarta: Nuha Medika.
Jauhar, T. B. (2013). Asuhan Keperawatan : Panduan lengkap menajdi Perawat
Profesional jilid 2. Jakarta : Prestasi Pustaka.
Kusnanto. (2013). pengantar profesi dan praktik keperawatan profesional . Jakarta
: EGC.
Mulyati. (t.thn.). Hubungan Indeks Masa Tubuh (IMT) Dengan Kadar Gula Darah
Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 . Gizi Universitas muhammadiyah .
Muttaqin. (2012). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan . Jakarta:
Salemba Medika.
Nugroho. (2015). Keperawatan Gerontik & Geriatrik Edisi 3. jakarta : EGC.
PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia : Definisi dan
Indikator Dianostik . jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi dan Tindakan
Keperawatan . jakarta : DPP PPNI .
PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisidan Kriteria Hasil
Keperawatan. Jakarta: DPP PPNI.
RI, K. K. (2017). Rencana Strategi Kementrian . Jakarta : Kementrian Kesehatan.
RI, K. K. (2018). depkes. Dipetik februari 12, 2021, dari
http://www.depkes.go.id
(Riskesdas), R. K. (2018).Dipetik februari 10, 2021,
dari
http://www.depkes.go.id/resources/download/infoterkini/materi_rakorpop
_2018/Hasil%20Riskesdas%202018.pdf
Riyadi, S. d. (2015). Asuhan Keperawatan Pada pasien dengan Gangguan
Eksokrin dan Endrokin pada Pankreas . Yogyakarta : Graha Ilmu.
Susilawati. (2016). Gizi dalam Daur Kehidupan . Bandung : Refika Aditama.
Tandra, H. (2017). Segala Sesuatu Yang Harus Anda Ketahui Tentang
Diabetes .Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama (21-6) .

Anda mungkin juga menyukai