Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Diabetes Melitus

1. Definisi Diabetes Melitus

Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik

dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi

insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (American Diabetes Association,

2019). Seseorang dapat didiagnosa diabetes melitus apabila mempunyai

gejala klasik diabetes melitus seperti poliuria, polidipsi dan polifagi disertai

dengan kadar gula darah sewaktu ≥200 mg/dl dan gula darah puasa ≥126

mg/dl (PERKENI, 2021). DM merupakan sindrom metabolik yang ditandai

dengan hiperglikemia karena defek pada sekresi insulin, kerja insulin, atau

keduanya. Hiperglikemia kronis pada DM dapat diasosiasikan dengan

terjadinya kerusakan jangka panjang, disfungsi serta kegagalan multi organ

terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah (American

Diabetes Association, 2019).

Dapat disimpulkan diabetes melitus merupakan penyakit metabolik

yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah yang memiliki gejala

yang klasik yaitu seperti poliuria, polidipsi dan polifagi disertai dengan

kadar gula darah sewaktu ≥200 mg/dl dan gula darah puasa ≥126 mg/dl.
2. Klasifikasi Diabetes Melitus

a. Diabetes Tipe I

Diabetes tipe I biasanya terjadi pada remaja atau anak, dan terjadi

karena kerusakan sel β (beta)(WHO, 2014). Rusaknya sel β pankreas

diduga karena proses autoimun, namun hal ini juga tidak diketahui secara

pasti. Diabetes tipe I rentan terhadap ketoasidosis, memiliki insidensi

lebih sedikit dibandingkan diabetes tipe II, akan meningkat setiap tahun

baik di negara maju maupun di negara berkembang (American Diabetes

Association, 2019).

b. Diabetes Tipe II

Diabetes tipe II biasanya terjadi pada usia dewasa. Seringkali

diabetes tipe II didiagnosis beberapa tahun setelah onset, yaitu setelah

komplikasi muncul sehingga tinggi insidensinya sekitar 90% dari

penderita DM di seluruh dunia dan sebagian besar merupakan akibat dari

memburuknya faktor risiko seperti kelebihan berat badan dan kurangnya

aktivitas fisik (IDF, 2021).

Diabetes tipe II nama lain dari diabetes tipe ini adalah Insulin

Nondependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Diabetes mellitus tipe ini

muncul karena beberapa alasan mulai dari diabtes mellitus yang

berpengaruh resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai

diabetes mellitus yang dominan defek sekresi insulin disertai resistensi

insulin. Terjadinya resistensi insulin secara perlahan akan mengakibatkan

berkurangnya sensitivitas reseptor terhadap glukosa (PERKENI, 2021).


c. Diabetes Gestational

Gestational diabetes mellitus (GDM) adalah diabetes yang

didiagnosis selama kehamilan yang ditandai dengan hiperglikemia (kadar

glukosa darah di atas normal). Wanita dengan diabetes gestational

memiliki peningkatan risiko komplikasi selama kehamilan dan saat

melahirkan, serta memiliki risiko diabetes tipe II yang lebih tinggi di

masa depan (IDF, 2021).

d. Tipe Diabetes Lainnya

Diabetes melitus tipe khusus merupakan diabetes yang terjadi

karena adanya kerusakan pada pankreas yang memproduksi insulin dan

mutasi gen serta mengganggu sel beta pankreas, sehingga mengakibatkan

kegagalan dalam menghasilkan insulin secara teratur sesuai dengan

kebutuhan tubuh. Sindrom hormonal yang dapat mengganggu sekresi dan

menghambat kerja insulin yaitu sindrom chusing, akromegali dan

sindrom genetik (IDF, 2021).

3. Manifestasi Klinis Diabetes Melitus

Berbagai gejala dapat ditemukan pada penderita diabetes melitus.

Kecurigaan adanya diabetes melitus perlu dipikirkan apabila terdapat

keluhan klasik diabetes melitus atau yang disebut dengan “TRIAS DM”

(poliuria, polidipsi, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat

dijelaskan sebabnya), kadar glukosa darah pada waktu puasa ≥ 126 mg/dl

(puasa disini artinya selama delapan jam tidak ada masukan kalori), kadar

glukosa darah acak atau dua jam sesudah makan ≥ 200 mg/dl, serta AIC ≥
6,5%. AIC dipakai untuk menilai pengendalian glukosa jangka panjang

sampai dua sampai tiga bulan untuk memberikan informasi yang jelas dan

mengetahui sampai seberapa efektif terapi yang diberikan. Penderita

diabetes melitus tipe 2 juga merasakan sejumlah keluhan lain seperti

kelemahan, infeksi berulang, penyembuhan luka yang sulit, gangguan

penglihatan, kesemutan, gatal, kandidiasis vagina berulang dan disfungsi

ereksi pada pria (PERKENI, 2021).

Kemudian gejala lain atau gejala tambahan yang dapat timbul yang

umumnya ditunjukan karena komplikasi adalah kaki kesemutan, gatal-gatal,

atau luka yang tidak kunjung sembuh, pada wanita kadang disertai gatal

pada daerah selangkangan (puritus vulva), dan pada pria ujung penis terasa

sakit (balanitis) (Simatupang, 2017). Menurut International Diabetic

Federation, gejala klinis pada DM Tipe 2 identik dengan DM Tipe 1,

khususnya rasa haus yang meningkat, sering buang air kecil, kelelahan,

penyembuhan luka lambat, infeksi berulang, dan kesemutan atau mati rasa

di tangan dan kaki. Namun, timbulnya gejala pada DM Tipe 2 lebih lambat

dan tidak disertai dengan gangguan metabolisme akut yang terlihat pada

DM Tipe 1 (IDF, 2021).

4. Patofisiologi Diabetes Melitus

Pada DM tipe I, sistem imunitas menyerang dan menghancurkan sel

yang memproduksi insulin beta pankreas. Kondisi tersebut merupakan

penyakit autoimun yang ditandai dengan ditemukannya anti insulin atau

antibodi sel anti-islet dalam darah. Autoimun menyebabkan infiltrasi


limfositik dan kehancuran sel beta pankreas. Kehancuran memakan waktu

tetapi timbulnya penyakit ini cepat dan dapat terjadi selama beberapa hari

sampai minggu. Akhirnya, insulin yang dibutuhkan tubuh tidak dapat

terpenuhi karena adanya kekurangan sel beta pankreas yang berfungsi

memproduksi insulin. Oleh karena itu, diabetes tipe I membutuhkan terapi

insulin, dan tidak akan merespon insulin yang menggunakan obat oral

(American Diabetes Association, 2019).

Pada DM kondisi ini disebabkan oleh kekurangan insulin namun tidak

mutlak. Ini berarti bahwa tubuh tidak mampu memproduksi insulin yang

cukup untuk memenuhi kebutuhan yang ditandai dengan kurangnya sel beta

atau defisiensi insulin resistensi insulin perifer. Resistensi insulin perifer

berarti terjadi kerusakan pada reseptor-reseptor insulin sehingga

menyebabkan insulin menjadi kurang efektif mengantar pesan-pesan

biokimia menuju sel-sel. Dalam kebanyakan kasus diabetes tipe II ini,

ketika obat oral gagal untuk merangsang pelepasan insulin yang memadai,

maka pemberian obat melalui suntikan dapat menjadi alternatif. Gestational

diabetes terjadi ketika ada hormon antagonis insulin yang berlebihan saat

kehamilan. Hal ini menyebabkan keadaan resistensi insulin dan glukosa

tinggi yang terkait dengan kemungkinan adanya reseptor insulin yang rusak

(American Diabetes Association, 2019)

5. Faktor Risiko Diabetes Melitus

a. Faktor Risiko yang Dapat Dirubah

1) Obesitas
Obesitas menjadi salah satu faktor resiko utama untuk

terjadinya penyakit DM. Obesitas dapat membuat sel tidak sensitif

terhadap insulin (retensi insulin) (Irma et al., 2022). Makan-makanan

yang berlebihan dapat menyebabkan gula darah dan lemak mengalami

penumpukan dan menyebabkan kelenjar pankreas berkerja lebih

ekstra memproduksi insulin untuk mengolah gula darah yang masuk

(Lanywati, 2016).

2) Gaya Hidup

Gaya hidup adalah perilaku seseorang yang ditunjukkan dalam

aktivitas sehari-hari. Makanan cepat saji (junk food), kurangnya

berolahraga dan minum-minuman yang bersoda merupakan faktor

pemicu terjadinya diabetes melitus (Joni et al., 2018). Joni et al.,

(2018) tentang hubungan gaya hidup terhadap kejadian diabetes

melitus pada lansia sebanyak 67 responden, dimana penelitian ini

menunjukan bahwa gaya hidup memiliki hubungan terhadap kejadian

diabetes melitus pada lansia (p=0,001).

b. Faktor risiko yang tidak dapat diubah

1) Usia

Meningkatnya resiko DM seiring dengan bertambahnya usia

dikaitkan dengan terjadinya penurunan fungsi fisiologi tubuh

(American Diabetes Association, 2019). Penelitian Pahlawati dan

Nugroho (2019) yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang

hubungan usia dengan kejadian diabetes melitus di wilayah kerja


Puskesmas Palaran Kota Samarinda sebanyak 111 responden, dimana

penelitian ini menunjukan ada hubungan usia dengan kejadian

diabetes melitus (p=0,000).

2) Riwayat Keluarga Diabetes Melitus

Ibu yang menderita DM tingkat risiko terkena DM sebesar 3,4

kali lipat lebih tinggi dan 3,5 kali lipat lebih tinggi jika memiliki ayah

penderita DM. Apabila kedua menderita DM, maka akan memiliki

resiko terkena DM sebesar 6,1 kali lipat lebih tinggi. Penelitian Irwan,

Irwan et al., (2021) yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran

tentang hubungan riwayat keluarga diabetes dengan diabetes melitus

sebanyak 84 sampel, dimana penelitian ini menunjukan ada hubungan

antara riwayat keluarga diabetes dengan diabetes melitus (p=0,000).

3) Riwayat Diabetes pada kehamilan (Gestational)

Memiliki riwayat diabetes gestational pada ibu yang sedang

hamil dapat meningkatkan risiko DM, diabetes selama kehamilan atau

melahirkan bayi lebih dari 4,5 kg dapat meningkatkan risiko DM tipe

II (Lanywati, 2016).

6. Komplikasi Diabetes Melitus

Diabetes Melitus yang tidak ditangani dengan baik akan

menimbulkan berbagai komplikasi yaitu komplikasi akut dan komplikasi

kronis. Komplikasi kronis Diabetes Melitus dapat berupa komplikasi

mikrovaskular dan makrovaskular yang dapat menurunkan kualitas hidup

penderita. Penyebab utama kematian penyandang Diabetes Melitus adalah


komplikasi makrovaskular. Komplikasi makrovaskular melibatkan

pembuluh darah besar yaitu pembuluh darah koroner, pembuluh darah otak,

dan pembuluh darah perifer. Mikrovaskular merupakan lesi spesifik diabetes

yang menyerang kapiler dan arteriola retina (retinopati diabetik), glomerulus

ginjal (nefropati diabetik), dan saraf-saraf perifer (neuropati diabetik)

(Edwina & Manaf, 2019).

7. Penatalaksanaan Diabetes Melitus

Komplikasi diabetes melitus harus dicegah sedini mungkin dengan

cara penatalaksanaan yang tepat. Pengelolaan atau tata laksana diabetes

melitus, terdapat empat pilar yang harus dilakukan dengan tepat yaitu

edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan intervensi farmakologis

(pengobatan) (PERKENI, 2021). Empat pilar pengelolaan diabetes melitus

menurut (PERKENI, 2021) adalah sebagai berikut :

a. Pendidikan atau Edukasi

Edukasi merupakan proses interaksi pembelajaran yang

direncanakan untuk mempengaruhi sikap serta ketrampilan orang lain,

baik individu, kelompok, atau masyarakat, sehingga melakukan apa yang

diharapkan pendidik. Edukasi juga merupakan upaya penambahan

pengetahuan baru, sikap dan ketrampilan melalui penguatan praktik dan

pengalaman tertentu. Perawat harus mampu memberikan edukasi

kesehatan dalam pencegahan penyakit, pemulihan, penyusunan program

health education serta memberikan informasi yang tepat tentang

kesehatan. Agar perawat dapat bertindak sesuai perannya sebagai


educator pada pasien dan keluarga, maka perawat harus memiliki

pemahaman terhadap prinsip-prinsip pengajaran dan pembelajaran.

b. Terapi Gizi Medis

Pengelolaan diet pada penderita diabetes melitus sangat penting.

Tujuan dari pengelolaan diet ini adalah untuk membantu penderita

memperbaiki gizi dan untuk mendapatkan kontrol metabolik yang lebih

baik yaitu ditunjukkan pada pengendalian glukosa, lipid dan tekanan

darah. Penatalaksanaan diet bagi penderita diabetes melitus ini

merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes melitus secara total.

Penatalaksanaan diet ini meliputi tiga hal utama yang harus diketahui dan

dilaksanakan oleh penderita diabetes melitus, yaitu jumlah makanan,

jenis makanan, dan jadwal makan (Perkeni, 2015). Penatalaksanaan diet

pada penderita diabetes melitus berfokus pada pembatasan jumlah energi,

karbohidrat, lemak jenuh dan natrium (Association American Diabetes,

2014).

c. Latihan Jasmani atau Olah raga

Kegiatan jasmani sehari-hari yang dilakukan secara teratur tiga

sampai empat kali seminggu selama kurang lebih 30 menit merupakan

salah satu pilar dalam pengelolaan diabetes. Latihan jasmani dapat

menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitifitas terhadap insulin,

sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang

teratur dapat menyebabkan kontraksi otot meningkat, sehingga


permeabilitas membran sel terhadap glukosa meningkat dan resistensi

insulin berkurang.

d. Intervensi Farmakologis

Penderita diabetes melitus tipe I mutlak diperlukan suntikan

insulin setiap hari. Penderita diabetes melitus tipe II, umumnya perlu

minum obat antidiabetes secara oral atau tablet. Penderita diabetes

memerlukan suntikan insulin pada kondisi tertentu, atau bahkan

kombinasi suntikan insulin dan tablet.

B. Kualitas Hidup

1. Definisi kualitas hidup

Secara awam, kualitas hidup berkaitan dengan pencapaian kehidupan

manusia yang ideal atau sesuai dengan yang diinginkan. Mengemukakan

defenisi kualitas hidup sebagai derajat kepuasan atas penerimaan suasana

kehidupan saat ini. Kualitas hidup yang dapat diterima secara umum, yakni

perasaan subjektif seseorang mengenai kesejahteraan dirinya, berdasarkan

pengalaman hidupnya saat ini secara keseluruhan (Mia & Ekasari, 2018).

Kualitas hidup sebagai persepsi individu mengenai posisi mereka dalam

kehidupan dilihat dari konteks budaya dan sistem nilai dimana mereka

tinggal serta hubungannya dengan tujuan, harapan, standar, dan hal-hal lain

yang menjadi perhatian individu tersebut. Berdasarkan definisi

mengimplikasikan bahwa kualitas hidup ditentukan oleh persepsi individual

mengenai kondisi kehidupannya saat ini (Ashari, 2018).


Kualitas hidup sebagai tingkat kepuasan hidup individu pada area fisik,

psikologis, sosial, aktivitas, materi, dan kebutuhan struktural. Ferrans

mendefenisikan kualitas hidup sebagai perasaan sejahtera individu, yang

berasal dari rasa puas atau tidak puas individu dengan area kehidupan yang

penting baginya. Kualitas hidup menggambarkan kemampuan individu

untuk memaksimalkan fungsi fisik, sosial, psikologis, dan pekerjaan yang

merupakan indikator kesembuhan atau kemampuan beradaptasi dalam

penyakit kronis (Yulianti, 2019). Selanjutnya Supriyadi, Wagiyo, &

Widowati (2017), mendefinisikan kualitas hidup sebagai pernyataan pribadi

dari kepositifan atau negatif atribut yang mencirikan kehidupan seseorang

dan menggambarkan kemampuan individu untuk fungsi dan kepuasan

dalam melakukannya.

2. Aspek-aspek kualitas hidup pasien DM

Berikut ini indikator yang berhubungan dengan kualitas hidup:

a. Kepuasan

Indikator kepuasan termasuk aktivitas sehari-hari, istirahat dan tidur,

kemampuan kerja, pengobatan dan pengelolaan penyakit (Burroughs, et

al., 2020).

b. Dampak

Indikator dampak merupakan hal yang paling dirasakan akibat penyakit

seperti nyeri, komplikasi, dan hal yang berbungaan dengan kejadian

penyakit (Burroughs, et al., 2020).


3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup pasien DM

Berikut ini beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas hidup:

a. Jenis Kelamin

Perbedaan jenis kelamin dapat memengaruhi kualitas hidup. Jenis

kelamin laki- laki biasanya memiliki taraf kualitas hidup yang lebih baik

dari pada perempuan, hal ini dikarenakan laki-laki lebih bisa menerima

keadaan dari perempuan (Purwaningsih, 2018).

b. Lama Menderita DM

Lama menderita diabetes berkaitan dengan tingkat kecemasan seseorang

dan hal ini dapat menimbulkan komplikasi dan penurunan kualitas hidup

(Hayek, et al., 2019).

c. Usia

Semakin bertambah usia seseorang kinerja tubuh akan semakin lambat,

dan memungkinkan seseorang mengalami penurunan kesehatan, hal ini

tentu saja dapat berakibat pada penurunan kualitas hidup seseorang

(Hayek, et al., 2019).

d. Komplikasi

Ketika pasien DM mengalami komplikasi, hal tersebut dapat

memperburuk kondisinya, dan dapat berpengaruh terhadap kinerja dan

aktivitas sehari-hari otomatis hal ini dapat mengakibatkan penurunan

kualitas hidup (Purwaningsih, 2018).

e. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan seseorang dapat hubungan dengan kualitas hidup


karena semakin baik jenjang pendidikan seseorang, hal akan

memudahkan seseorang mengerti dengan keadaan dirinya dan akan terus

berusaha untuk mencari informasi dan pengobatan jika mengalami

penyakit yang serius (Hayek, et al., 2019).

f. Status Sosial-Ekonomi

Status sosial ekonomi berhubungan dengan keadaan finansial seseorang,

artinya apabila seseorang dengan status sosial ekonomi yang kurang

dapat berpengaruh terhadap kualitas hidup (Hayek, et al., 2019).

g. Perawatan

perawatan berkaitan dengan usaha seseorang untuk merawat dirinya

sendiri atau dengan bantuan orang lain. Perawatan berhubungan dengan

kualitas hidup dimana semakin cepat seseorang mendapatkan perawatan,

ketika mengalami sakit kronis maka akan semakin baik kualitas hidupnya

(Yidianto, et al., 2018).

h. Self-Stigma

Self-stigma dapat menyebabkan perasaan takut dan perubahan respons

perilaku dan yang paling buruk dapat memiliki efek merusak yang

mengarah pada penurunan kualitas hidup (Corrigan & Rao, 2020).

4. Pengukuran kualitas hidup

Kuesioner DQOL dikembangkan oleh The Diabetes Control and

Complications Trial (DCCT) tahun 1998. Kuesioner ini digunakan untuk

mengukur kesehatan terkait kualitas hidup pasien DM. Kuesioner ini

memiliki 46 item pertanyaan yang terbagi dalam 4 domain, yakni:


kepuasan yang dirasakan pasien tentang penyakit dan proses pengobatan,

kecemasan yang berhubungan dengan keadaan sosial dan kecemasan yang

berhubungan dengan DM. Instrumen ini sudah di uji validitas reliabilitas

oleh (DCCT) tahun 1998 pada 192 sampel hasil validitas nilai r = 0,66-0,92

dan nilai Cronbach’s alpha 0,92. Kemudian kuesioner ini di modifikasi

kembali oleh Burroughs, et al. tahun 2004 dari 46 item pertanyaan menjadi

15 item pertanyaan dalam 2 domain, yakni: kepuasan pasien mengenai

penyakitnya ada (8) item pertanyaan dan dampak yang dirasakan pasien

akibat penyakitnya ada (7) item pertanyaan. Kuesioner DQOL ini telah di

uji validitas oleh Burroughs, et al. tahun 2004 pada 498 sampel dan telah di

nyatakan valid nilai r = 0,78-0,92 dan nilai reliabilitas Cronbach’s alpha

0,85.

C. Konsep Self-Stigma

1. Definisi Self-Stigma

Self-stigma adalah persepsi negatif yang muncul dari respons emosional

seseorang karena suatu penyakit yang dapat menyebabkan perasaan takut

dan perubahan respons perilaku dan yang paling buruk dapat memiliki efek

merusak yang mengarah pada penurunan kualitas hidup, harga diri rendah

dan penurunan penggunaan layanan kesehatan (Corrigan dan Rao, 2012).

Self-stigma muncul akibat efek negatif dari penilaian orang lain dan

pengalaman pernah mengalami diskriminasi, sehingga mereka cenderung

menarik diri dari lingkungan sosialnya (Wardani dan Dewi, 2018). Self-
stigma biasanya muncul ketika seseorang belum bisa merima keadaan

mereka karena perubahan sistemik dari penyakit yang dideritanya, sehingga

hal tersebut dapat menimbulkan kesan negatif dan perasaan malu karena

menderita diabetes (Nishio dan Chujo, 2017). Self-stigma pada pasien DM

tipe 2 adalah prasangka negatif pasien DM tipe 2 terhadap dirinya sendiri

yang memunculkan respons emosional dan perubahan perilaku karena

penyakit yang dideritanya (Kato, et al., 2014).

2. Indikator Self-Stigma

Berikut ini indikator yang berhubungan dengan self-stigma:

a. Kognitif

Kognitif atau pengetahuan seseorang sangat dibutuhkan dalam proses

pengelolaan penyakit, sehingga seseorang dapat melakukan kontrol

terhadap penyakitnya dengan baik sepanjang kehidupannya (Apriliyani,

2018).

b. Sikap

Sikap merupakan suatu respons atau stimulus yang hadir dalam jiwa,

yang diaplikasikan dalam bentuk perasaan terhadap suatu kejadian yang

terjadi seperti kondisi suatu penyakit dan kondisi lainnya (Apriliyani,

2018).

c. Perilaku

Perilaku merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang

untuk memenuhi kebutuhannya. Perilaku yang muncul dipengaruhi oleh

kognitif dan sikap yang positif. Ketika seseorang mengalami penyakit

kronis jika kognitif atau pengetahuan pasien tentang penyakitnya baik


dan disertai dengan sikap yang positif maka akan memunculkan suatu

respons perilaku atau tindakan pencegahan untuk mengontrol

penyakitnya (Apriliyani, 2018).

3. Tahapan Self-Stigma

Self-stigma terjadi melalui serangkaian tahap yang berurutan, pada

umumnya seseorang cenderung memiliki perasaan negatif akan dirinya yang

di peroleh dari stigma sosial sehingga mereka menganggap bahwa hal

tersebut merupakan suatu kebenaran yang terjadi pada dirinya, tahapan ini

disebut dengan tahap kesadaran (awareness). Setelah orang tersebut setuju

dengan prasangka negatif dari masyarakat pada dirinya benar, tahap ini di

sebut persetujuan (agreement). Selanjutnya orang tersebut beranggapan

bahwa prasangka dari masyarakat hanya berlaku pada dirinya, tahap ini

disebut aplikasi (apply). Dari hal tersebut dapat menimbulkan banyak

kerugian seperti harga diri rendah, perasaan malu dan penurunan kualitas

hidup, tahap ini disebut kerugian (harm) dan merupakan tahap akhir dari

self-stigma (Reysa, 2017).

4. Faktor yang Mempengaruhi Self-Stigma

Berikut ini beberapa faktor yang mempengaruhi self-stigma:

a. Jenis Kelamin

Berdasarkan penelitian, laki-laki cenderung mempunyai self-stigma yang

relatif tinggi dari perempuan. Karena seorang laki-laki dituntut untuk

memperoleh kedudukan yang tinggi dari perempuan, sehingga laki-laki

harus mampu untuk mengontrol sakitnya tanpa bantuan orang lain


(Latalova, et al., 2019).

b. Stereotip

Stereotip adalah penilaian pada orang lain berdasarkan persepsi yang

dimiliki oleh seseorang atau kelompok dan biasanya memiliki tujuan

untuk melakukan tindakan diskriminatif. Jika seseorang membenarkan

stereotip tersebut dapat dengan mudah memunculkan self-stigma (Kato,

et al., 2016).

c. Sosial-Budaya

Self-stigma juga dapat dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya yang diyakini.

Ketika suatu penyakit muncul yang dianggap sebagai kutukan

berdasarkan nilai budaya, maka seseorang akan mudah mendapatkan

stigma dari keluarganya dan dapat berkembang menjadi self-stigma pada

individu tersebut (Young dan Nam, 2016).

d. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan pemahaman yang dimiliki oleh setiap individu.

Jika seseorang memiliki pengetahuan yang rendah maka akan rentan

terpengaruh ketika mengalami stigma sosial, sebab individu akan selalu

membenarkan segala respons yang didapat dari orang lain adalah suatu

kebenaran sehingga hal ini dapat memungkin seseorang mengalami self-

stigma (Sari, 2018).

5. Dampak Self-Stigma

Self-stigma dapat menyebabkan perasaan takut dan perubahan respons

perilaku dan yang paling buruk dapat memiliki efek merusak yang
mengarah pada penurunan kualitas hidup, harga diri rendah dan penurunan

penggunaan layanan kesehatan. Seseorang dengan self-stigma cenderung

memiliki perasaan malu dan khawatir terhadap penyakit yang diderita,

memiliki perasaan putus asa, merasa akan dijauhi, membatasi interaksi

dengan orang sekitar, dan memiliki harga diri rendah (Sari, 2018). Self-

stigma muncul akibat efek negatif dari penilaian orang lain dan pengalaman

pernah mengalami diskriminasi, sehingga mereka cenderung menarik diri

dari lingkungan sosialnya (Wardani & Dewi, 2018 ).

6. Pengukuran Self-Stigma

Pengukuran self-stigma dengan kuesioner Self-Stigma Scale (SSS).

Kuesioner SSS terdiri dari 39 item pertanyaan dengan tiga indikator utama

yakni kognitif, sikap, dan perilaku. Dari 39 item pertanyaan tersebut 19

pertanyaan membahas kognitif, 14 pertanyaan membahas sikap, 6

pertanyaan membahas perilaku. Kuesioner ini lebih rinci menilai self-stigma

pada pasien diabetes melitus tipe 2. Kuesioner ini menggunakan skala likert

dengan skor: 0 (sangat tidak setuju), 1 (tidak setuju), 2 (setuju), 3 (sangat

setuju). Skor minimal kuesioner ini “0” dan skor maksimal “177”.

Kuesioner ini pertama kali di kembangkan oleh Mak dan Cheung tahun

2010 di Hong Kong untuk mengukur self-stigma pada masyarakat minoritas

dan dimodifikasi kembali oleh Kato, et al. 2014 untuk menilai self-stigma

pada pasien diabetes melitus tipe 2 di Jepang. Nilai indeks keselarasan

kuesioner ini sebesar 0,78, dan nilai Cronbach’s alpha 0,96 (Kato, et al.,

2014).
B. Karangka Teori

Diabetes melitus

Komplikasi Diabetes melitus

Kualitas hidup Faktor yang mempengaruhi


1. Jenis kelamin
2. Lama menderita DM
3. Usia
4. Komplikasi
5. Pendidikan
Indikator self stigma 6. Sosial ekonomi
1. Kognitif 7. perawatan
2. Sikap
3. Perilaku 8. Self Stigma
Self Stigma

Faktor yang
mempengaruhi Self-
Stigma:
1. Jenis Kelamin
2. Stereotip
3. Sosial-Budaya
4. Pengetahuan

Gambar 2.1 Karangka Teori hubungan self stigma dengan kualitas hidup pada pasien
diabetes melitus di puskesmas Mengwi 3

Anda mungkin juga menyukai