Anda di halaman 1dari 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Diabetes Melitus
2.1.1 Definisi Diabetes Melitus

Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan


karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau keduanya (PERKENI, 2019).
Diabetes Melitus atau DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya yang menyebabkan
glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel sehingga terjadi penumpukan glukosa di
dalam darah yang disebut hiperglikemia. DM dapat menimbulkan bebagai macam
komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular, seperti retinopati, retinopati perifer,
nefropati, stroke, hingga infark miokard (Ramadhan et al., 2020).

2.1.2 Klasifikasi Penyakit Diabetes Melitus


Menurut Perkumpulan Endokrin Indonesia (PERKENI) pada tahun 2019
klasifikasi etiologis diabetes mellitus dibagi menjadi empat tipe yaitu :
1. Diabetes Mellitus tipe 1
Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) merupakan sebutan
lain untuk diabetes mellitus tipe 1. Diabetes tipe ini terjadi karena adanya
destruksi sel beta pankreas yang disebabkan oleh autoimun dan idiopatik.
2. Diabetes Mellitus tipe 2
Nama lain dari diabetes tipe ini adalah Insulin Nondependent
Diabetes Mellitus (NIDDM). Diabetes mellitus tipe ini muncul karena
beberapa alasan mulai dari diabtes mellitus yang berpengaruh resistensi
insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai diabetes mellitus yang
dominan defek sekresi insulin disertai resistensi insulin. Terjadinya
resistensi insulin secara perlahan akan mengakibatkan berkurangnya
sensitivitas reseptor terhadap glukosa.

3. Diabetes Mellitus gestasional


Diabetes mellitus gestasional terjadi pada masa kehamilan, dimana

9
10

terjadi intoleransi glukosa pada masa awal kehamilan dan paling sering
dijumpai pada trisemester kedua dan ketiga. (Soelistijo et al., 2019).

4.. Diabetes Mellitus tipe lain

Kerusakan utama pada peranan sel beta, kerusakan genetik kerja


insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, karena obat atau zat
kimia, infeksi, imunologi yang jarang merupakan penyebab diabetes
mellitus tipe ini (PERKENI, 2019).

2.1.3 Diagnosis Penyakit Diabetes Mellitus


Diagnosis klinis diabetes mellitus ditegakkan atas dasar pemeriksaankadar
gula dalam darah pasien. Keluhan yang sering dialami oleh penderita diabetes
mellitus antara lain seperti poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan
yang masih belum bisa dijelaskan penyebabnya. Selain keluhan tersebut ada pula
keluhan lain yang biasanya dirasakan oleh penderita diabetes mellitus yaitu lemah
badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria (Soelistijo et
al., 2019).
Selain dilihat dari keluhan tersebut, diagnosa pada penyakit Diabetes
Melitus dapat dilihat melalui pemeriksaan kadar glukosa dalam darah melalui cara
enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Menurut Konsesnsus PERKENI tahun
2019, kriteria diagnosis diabetes mellitus dibagi menjadi 4 katagori antara lain:
a. Hasil pemeriksaan kadar gula darah dalam plasma saat puasa ≥126 mg/dl,
puasa merupakan keadaan dimana dalam waktu minimal 8 jam tidak ada
asupan kalori.
b. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah dalam plasma ≥200 mg/dl. Hasil
tersebut didapatkan setelah 2 jam melakukan Tes Toleransi Glukosa Oral
(TTGO)dengan beban glukosa 75 gram.
c. Hasil pemeriksaan kadar gula dalam plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan
disertaikeluhan keluhan klasik diabetes mellitus.
d. Hasil pemeriksaan Hemoglobin Glikat menggunakan sistem yang
terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program
(NGSP) adalah ≥ 6,5% (Soelistijo et al., 2019).
11

2.1.4 Etilogi Penyakit Diabetes Melitus


Faktor risiko DM dibagi menjadi 3 yaitu faktor risiko yang tidak bisa
dimodifikasi, faktor risiko yang bisa dimodifikasi, dan faktor risiko lain yang terkait
dengan risiko DM, antara lain (Soelistijo et al., 2019):
1. Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi
a. Ras atau etnis beresiko tinggi (misalnya, Afrika Amerika, Hispanik/
Latin, Amerika asli, Amerika Asia, penduduk kepulauan pasifik).
b. Riwayat keluarga DM (yaitu, orang tua atau saudara kandung dengan
diabetes).
c. Umur: risiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat seiring
meningkatnya usia. Usia ≥ 45 tahun harus diskrining DM.
d. Riwayat melahirkan bayi dengan bayi lahir > 4000 gram atau riwayat
GDM.

2. Faktor risiko yang bisa dimodifikasi


a. Kelebihan berat badan atau obesitas (yaitu ≥ 20% melebihi berat badan
idealatau indeks massa tubuh (BMI) ≥ 25 kg/m2).
b. Gaya hidup (misalnya, aktivitas fisik harian terbatas)
c. Hipertensi (≥140/90 mmHg pada orang dewasa atau dengan terapi
hipertensi)
d. Dislipidemia (kolesterol high-density lipoprotein (HDL) ≤ 35 mg/dL
(0,91mmol/L) atau kadar trigliserida ≥ 250 mg/dL (2,83 mmol/L)).
3. Faktor lain yang terkait dengan risiko Diabetes Melitus
a. Riwayat gangguan toleransi glukosa, gangguan glukosa puasa (IFG)
ataupeningkatan hemoglobin A1C
b. Penyakit ovarium polikistik
c. Penyandang yang memiliki riwayat penyakit vaskular (misalnya,
infark miokard, stroke iskemi, penyakit arteri perifer) (Soelistijo et al.,
2019).
2.1.4. Patofisiologi Penyakit Diabetes Mellitus
Semua sel tubuh membutuhkan energi. Sumber energi utamanya adalah
glukosa, yang membutuhkan hormon insulin untuk masuk ke dalam sel. Pada
penyakit diabetes, terdapat kekurangan insulin atau insulin tidak dapat bekerja
12

dengan baik yang menyebabkan berbagai gejala dan gangguan kesehatan. Pada
diabetes, glukosa dalam darah tidak dapat masuk ke sel tubuh sehingga kehilangan
sumber energi yang biasa. Tubuh mencoba membuang kelebihan glukosa dalam
darah dengan mengeluarkannya melalui urin dan menggunakan lemak serta protein
(dari otot) sebagai sumber energi alternatif. Hal ini mengganggu proses tubuh dan
menyebabkan gejala diabetes (Walker & Graham, 2020). DM disebabkan oleh
gangguan sekresi insulin, glukagon, dan hormon lain yang mengakibatkan
metabolisme karbohidrat dan lemak tidak normal (Dipiro et al., 2020)

2.1.6 Epidemiologi Diabetes Melitus


Organisasi International Diabetes Federation pada tahun 2019
memperkirakan sedikitnya terdapat 463 juta orang rentang usia 20-79 tahun di
dunia menederita diabetes mellitus, angka ini setara dengan pravelensi sebesar 9,3
% dari total penduduk dengan usia yang sama. Organisasi International Diabetes
Federation pada tahun 2019 menyebutkan bahwa berdasrkan jenis kelamin,
pravelensi diabetes mellitus pada perempuan sebesar 9% dan pada laki-laki 9,65%.
Nilai pravelensi tersebut diperkirakan akan terus naik seiring dengan penambahan
usia penduduk menjadi 19,9% atau setara dengan 111,2 juta orang pada rentang
usia 65-79 tahun (Kementrian Kesehatan RI, 2020).
2.1.7 Gejala Diabetes Melitus
Beberapa gejala umum yang dapat ditimbulkan oleh penyakit DM
diantaranya:
1. Poliuria
Poliuria (banyak kencing) adalah dimana kondisi terjadi kelainan
pada produksi urine didalam tubuh yang abnormal. Kondisi abnormal
ini menyebakan sering berkemih. Pada keadaan normal manusia
mengalami kencing 4-8 kali sehari. Hal ini disebabkan karena kelebihan
produksi urin dalam tubuh sehingga pengeluaran urin dalamtubuh tidak
normal dalam sehari.

2 Polidipsia
Polydipsia (banyak minum) adalah dimana kondisi akibat dari
poliuria hingga menyebabkan rasa haus yang berlebihan.
13

3. Poliphagia
Poliphagia (banyak makan) merupakan dimana kondisi sering
merasa lapar, disebabkan karena glukosa darah pada penderita Diabetes
melitus tidak semunya dapat di serap oleh tubuh yang mengakibatkan
tubuh kekurangan energi.
4. Penurunan Berat Badan
Penurunan berat badan adalah dimana kondisi dalam kemampuan
metabolisme glukosa terganggu yang mengakibatkan tubuh tidak dapat
menyimpan glukosa sehingga terbuang melalui urin, pada akhirnya
tubuh mengambil glukosa cadangan di jaringan tubuh lain sebagai
energi (Iin & Pustaka, 2018).
5. Rasa Lelah atau Kelelahan
Kelelahan merupakan perasaan letih yang luar bisa. Pada orang
Diabetes mellitus rasa lelah tersebut dapat disebabkan karena faktor
fisik seperti matabolisme yang tinggi dan faktor psikologi seperti
depresi dan ansietas (Nasekhah, 2016).
Kemudian gejala lain atau gejala tambahan yang dapat timbul yang
umumnya ditunjukan karena komplikasi adalah kaki kesemutan, gatal-gatal, atau
luka yang tidak kunjung sembuh, pada wanita kadang disertai gatal pada daerah
selangkangan (puritus vulva), dan pada pria ujung penis terasa sakit (balanitis)
(Simatupang, 2017). Menurut International Diabetic Federation, gejala klinis pada
DM Tipe 2 identik dengan DM Tipe 1, khususnya rasa haus yang meningkat, sering
buang air kecil, kelelahan, penyembuhan luka lambat, infeksi berulang, dan
kesemutan atau mati rasa di tangan dan kaki. Namun, timbulnya gejala pada DM
Tipe 2 lebih lambat dan tidak disertai dengan gangguan metabolisme akut yang
terlihat pada DM Tipe 1 (IDF, 2019).
14

2.1.8 Penatalaksanaan Diabetes Melitus


Penatalaksanaan pada Diabetes Melitus secara umum mempunyai tujuan
untuk meningkatkan kualitas hidup pasien diabetes melitus. Tujuan
penatalaksanaan meliputi (PERKENI, 2019):
1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan diabetes melitus,
memperbaiki kualitas hidup, dan mengurangi resiko komplikasi akut.
2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas
penyulit mikroangiopati dan makroangiopati.
3. Tujuan akhir pengolahan adalah turunya morbiditas dan mortalitas
diabetes melitus.
Penatalaksanaan Diabetes Melitus dikenal dengan 4 pilar utama dalam
pengelolahan penyakit tersebut yaitu (Perkeni, 2015) dalam (Laras et al, 2020):
1. Edukasi
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat yang perlu dilakukan
sebagai bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat
penting dari pengelolaan DM secara menyeluruh, karena DM merupakan
penyakit menahun yang akan diderita seumur hidup. Oleh karena itu,
diperlukan edukasi kepada pasien dan keluarganya untuk memberikan
pemahaman mengenai perjalanan penyakit, pencegahan, penyulit, dan
penatalaksanaannya. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju
perubahan perilaku sehat. Materi edukasi terdiri dari materi tingkat awal
dan materi edukasi tingkat lanjutan yang akan diberikan oleh tim
kesehatan. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku sehat,
dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi
(Soelistijo et al., 2019).
2. Terapi Nutrisi Medis
Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian penting dari
penatalaksanaan Diabetes Melitus secara komprehensif. Kunci
keberhasilannya adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim
(dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya).
Terapi TNM sebaiknya diberikan sesuai dengan kebutuhan setiap penderia
Diabetes Melitus agar mencapai sasaran. Prinsip penaturan makan pada
15

penderita Diabetes Melitus hampir sama dengan anjuran masyarakat umum,


yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat
gizi masing-masing individu. Penderita Diabetes Melitus perlu diberikan
penekanan mengenai pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis dan
jumlah kandungan kalori, terutama kepada mereka yang menggunakan obat
yang meningkatkan sekresi insulin atau terapi insulin itu sendiri (PERKENI,
2019).
Terapi nutrisi medis dilaksanakan dalam beberapa tahap. Pengenalan
sumber dan jenis karbohidrat, pencegahan dan penatalaksanaan
hiperglikemmia harus dilakukan. Terapi nutrisi medis ini bersifat individu.
Secara umum, terapi nutrisi medis meliputi upaya-upaya untuk mendorong
pola hidup sehat, membantu kontrol gula darah, dan membantu pengaturan
berat badan (Decroli, 2019).
3. Aktivitas Fisik
Latihan fisik merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM.
Latihan fisik secara teratur (3-4 kali seminggu selama 30 menit/ kali)
merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM (Decroli, 2019). Latihan
fisik selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan
dan memperbaiki sensitivitas insulin, sedikit meningkatkan control
glikemik di mayoritas individu, mengurangi resiko cardiovaskular sehingga
akan memperbaiki kendali glukosa darah dan meningkatkan kesejahteraan
(Dipiro et al., 2020). Latihan fisik yang dianjurkan berupa latihan fisik yang
bersifat aerobik seperti jalan cepat, bersepeda santai, jogging, dan berenang.
Latihan fisik sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran
jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan fisik bisa
ditingkatkan, sementara bagi mereka yang sudah mengalami komplikasi
DM, intensitas latihan fisik dapat dikurangi (Decroli, 2019).
4. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologi diberikan bersamaan dengan aturan makan dan
latihan jasmani (gaya hidup sehat). Intervensi farmakologi dengan obat oral
dan atau suntikan insulin. Pemilihan terapi obat untuk pasien diabetes
melitus tipe 2 memerlukan pertimbangan yang sesuai dengan kondisi
16

pasien. Pertimbangan tersebut meliputi, lamanya menderita diabetes,


adanya komorbid dan jenis komorbidnya, riwayat pengobatan sebelumnya
dan kadar HbA1c (Decroli, 2019)
A. Obat Antidiabetik Oral
1. Golongan Sulfonilurea
Sulfonilurea digunakan sebagai terapi farmakologis pada awal
pengobatan Diabetes Melitus, terutama bila konsentrasi glukosa
darah tinggi. Golongan sulfonilurea yaitu Generasi pertama
(tolazamid, klorpropramid, tolbutamid, asetoheksimid,) Generasi
kedua (glikuidon, gliklopiramid, glipizid, glikazid, glibenklamid,),
dan Generasi ketiga (glimepiride). Sulfonilurea generasi pertama
sangat jarang digunakan karena memiliki efek hipoglikemi hebat
sedangkan sulfonilurea generasi II dan generasi III mempunyai
waktu paruh pendek yaitu 3-5 jam dan metabolisme lebih cepat. Efek
hipoglikeminya berlangsung 12- 24 jam sehingga cukup diberikan
satu kali sehari. Karena hampir semua sulfonilurea dimetabolisme di
hepar dan diekskresi melalui ginjal, sediaan ini tidak boleh diberikan
pada pasien Diabetes Melitus Tipe 2 dengan gangguan fungsi hepar
atau gangguan fungsi ginjal yang berat. Glikuidon mempunyai efek
hipoglikemi sedang, Glikuidon diekskresi melalui empedu dan usus,
maka dapat diberikan pada pasien Diabetes Melitus Tipe 2 dengan
ganguan fungsi hati dan gangguan fungsi ginjal yang tidak terlalu
berat (Decroli, 2019).
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi
insulin oleh sel beta pankreas. Efek samping utama adalah
hipoglikemia dan peningkatan berat badan. Hati-hati menggunakan
obat golongan sulfonilurea pada pasien dengan resiko tinggi
hipoglikemia (orang tua, gangguan fungsi hati dan ginjal)
(PERKENI, 2019).

2. Golongan Glinid
Obat golongan glinid merupakan obat yang cara kerjanya mirip
dengan sulfonilurea, namun berbeda lokasi reseptor, dengan hasil
17

akhir berupa penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase


pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid
(derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini
diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi
secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post
prandial. Efek samping yang mungkin terjadi adalah hipoglikemia.
Obat golongan glinid sudahtidak tersedia di Indonesia (PERKENI,
2019).
3. Golongan Biguanid
Salah satu obat golongan biguanid yaitu Metformin. Metformin
pertama kali disintesis pada tahun 1922 dan diperkenalkan sebagai
obat pada tahun 1957 dan sampai saat ini Metformin dikenal sebagai
obat anti diabetik. Metformin merupakan pilihan pertama pada
sebagian besar kasus Diabetes Melitus. Metformin merupakan Obat
Anti Diabetik (OAD) golongan biguanid yang digunakan untuk
menurunkan kadar guladalam darah yang meningkat pada penderita
Diabetes Melitus. Metformin mempunyai efek utama mengurangi
produksi glukosa hati (glukoneogenesis), dan memperbaiki glukosa
di jaringanperifer. Obat ini dapat digunakan sebagai obat tunggal
atau dikombinasikan dengan obat penurun gula darah yang lain.
PadaDiabetes Melitus Tipe 2, hormon insulin yang diproduksi oleh
pankreas untuk mengatur kadar gula dalam darah tidak dapat
digunakan oleh tubuh secara optimal. Akibatnya, kadar guladalam
darah mengalami peningkatan. Metformin bekerja dengan cara
meningkatkan efektivitas tubuh dalam menggunakan insulin untuk
menekan peningkatan kadar gula darah. Selain itu, Metformin
tidak menyebabkan efek samping hipoglikemia (Sanchez-Rangel &
Inzucchi, 2017).
Metformin juga merupakan obat antidiabetik yang paling sering
diresepkan pada pasien Diabetes Melitus Tipe 2. Selain dapat
menekan peningkatan kadar gula dalam darah, Metformin juga
bekerja mengurangi penyerapan glukosa usus dan menurunkan
18

kadar insulin plasma puasa (Wang et al., 2017). Dosis Metformin


diturunkan pada pasien dengan gangguan fungsiginjal (GFR 30- 60
ml/menit/1,73 m2). Metformin tidak boleh diberikan pada beberapa
keadaan seperti: GFR < 30 ml/menit/1,73 m2), adanya gangguan hati
berat, serta pasien- pasien dengan kecenderungan hipoksemia
(misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, dan gagal jantung). Efek
samping yang mungkin terjadi berupa gangguan saluran pencernaan
sepertihalnya gejala dispepsia (Soelistijo et al., 2019).
4. Golongan Tiazolidindion (TZD)
Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator
Activated Receptor Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti
yang terdapat antara lain di sel otot, lemak, dan hati. Tiazolidinedion
menurunkan produksi glukosa di hepar, menurunkan kadar asam
lemak bebas di plasma, menurunkan kadar HbA1c (1- 1,5%), dan
meningkatkan HDL. Tiazolidindion meningkatkan retensi cairan
tubuh sehingga dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal
jantung, karena dapat memperberat edema/retensi cairan. Hati-hati
pada gangguan faal hati dan tidakdianjurkan penggunaannya pada
usia lanjut. Obat yang masuk dalam golongan ini adalah Pioglitazone
(Soelistijo et al., 2019).
5. Golongan penghambat α glukosidase
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa dalam
usus halus, Inhibisi kerja enzim ini secara efektif dapat mengurangi
peningkatan kadar glukosa setelah makan pada pasien Diabetes
Melitus Tipe 2. Penggunaan acarbose pada lansiarelatif aman karena
tidak merangsang sekresi insulin sehingga tidak dapat menyebabkan
hipoglikemi. Efek samping berupa gejala gastroinstestinal, seperti
meteorismus, flatulence dan diaredan kontraindikasi pada penyakit
sirosis hati, obstruksi saluran cerna, dan irritable bowel syndrome
(Decroli, 2019).
19

6. Golongan DPP4- inhibitor


Ada dua jenis peptida yang tergolong incretin yaitu GLP-1
(Glucagon Like Peptide-1) dan GIP (Glucose dependent
Insulinotropic Peptide). GLP-1 lebih penting dalam metabolisme
glukosa dibandingkan GIP. GLP-1 berperan dalam meningkatkan
sekresi insulin, terutama sekresi insulin fase 1 akibat rangsangan
glukosa pada sel beta dan menekan sekresi glukagon. Setelah
disekresi di usus halus (ileum), GLP-1 memasuki peredaran darah
dan aktif bekerja dalam meningkatkan proses sekresi insulin dan
menekan sekresi glukagon. GLP-1 tidak dapat bertahan lama
didalam darah (waktu paruh pendek 1–2 menit) karena segera
dihancurkan oleh enzim DPP-4 (dipepeptidyl peptidase-4). Salah
satu upaya untuk mempertahankan GLP-1 lebih lama didalam darah
adalah dengan menekan enzim DPP-4 yakni dengan menggunakan
DPP-4 inhibitor Dengan demikian, aktifitas GLP-1 meningkat.
Contoh obat golongan DPP4-Inhibitor yakni Linagliptin, Sitagliptin,
dan Vildagliptin (Decroli, 2019).
7. Golongan SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2) Inhibitor
Obat golongan penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-
transporter 2) merupakan obat antidiabetes oral jenis baru yang
menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal ginjal
dengan cara menghambat kinerja transporter glukosa SGLT-2.
Obat yang termasuk golongan ini adalah Empaglifozin,
Canaglifozin, dan Dapaglifozin (Decroli, 2019).
B. Insulin
Insulin dapat diberikan pada semua pasien Diabetes Melitus Tipe 2
dengan kontrol glikemik yang buruk. Insulin juga dapat diberikan pada
kasus-kasus Diabetes Melitus Tipe 2 yang baru dikenal dengan
penurunan berat badan yang hebat dan dalam keadaan ketosis (Decroli,
2019). Selain itu, Insulin diberikan pada keadaan HbA1c > 9% dengan
kondisi dekompensasi metabolik, Stres berat (infeksi sistemik, operasi
besar, infark miokard akut, stroke), Kehamilan dengan Diabetes Melitus
20

Gestasional yang tidak terkendali, Gangguan fungsi ginjal atau hati yang
berat. Insulin memiliki beberapa efek samping, yaitu efek samping utama
terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia, efek samping lain berupa
reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat menimbulkan alergi insulin
atau resistensi insulin (Soelistijo et al., 2019).
Tujuan pemberian insulin yaitu untuk mengontrol kadar basal dan
post prandial, karena pada pasien DM tipe 2 terjadi gangguan sekresi
insulin basal (puasa) dan prandial (setelah makan). Formulasi insulin
dengan tingkat awal kerja (onset) dan lama kerjanya (duration) yang
berbeda sering dikombinasi untuk tercapainya tujuan ini. Berikut adalah
klasifikasi insulin (PERKENI, 2019):
1. Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
2. Insulin kerja pendek (short acting insulin)
3. Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)
4. Insulin kerja panjang (long acting insulin)
5. Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed
insulin).

2.1.9 Algortima Penatalaksanaan Diabetes Melitus Tipe 2

Gambar 2.1 Algoritma Penatalaksanaan Diabetes Melitus Tipe 2 (PERKENI,


2019)
21

Menurut (PERKENI, 2019) penjelasan algoritma penatalaksanaan


Diabetes Melitus Tipe 2 adalah sebagai berikut.

1. Untuk pasien Diabetes Melitus Tipe 2 dengan HbA1c saat diperiksa <
7,5% maka pengobatan dimulai dengan modifikasi gaya hidup sehat
dan monoterapi oral.
2. Untuk pasien Diabetes Melitus Tipe 2 saat diperiksa ≥ 7,5% atau pasien
yang sudah mendapatkan monoterapi dalam waktu 3 bulan namun tidak
bisa mencapai target HbA1c < 7%, maka dimulai terapi kombinasi
dengan2 macam obat yang terdiri dari metformin ditambah dengan obat
lain yang memiliki mekanisme kerja berbeda. Bila terdapat intoleransi
terhadap metformin, maka diberikan obat lain seperti tabel lini pertama
dan ditambah dengan obat lain yang mempunyai mekanisme kerja yang
berbeda.
3. Kombinasi 3 obat perlu diberikan bila sudah terapi 2 macam obat
selama 3 bulan tidak mencapai target HbA1c < 7%.
4. Untuk pasien dengan HbA1c saat diperiksa > 9% namun tanpa disertai
dengan gejala dekompensasi metabolik atau penurunan berat badan
yang cepat, maka boleh diberikan terapi kombinasi 2 atau 3 obat, yang terdiri
dari metformin (atau obat lain pada lini pertama bila ada intoleransi
terhadap metformin) ditambah obat dari lini kedua.
5. Untuk pasien dengan HbA1c saat diperiksa > 9% dengan disertai
dengan gejala dekompensasi metabolik maka diberikan terapi
kombinasi insulin atau obat hipoglikemik lainnya.
6. Pasien yang telah mendapatkan terapi kombinasi 3 obat dengan atau
tanpainsulin, namun tidak mencapai target HbA1c < 7% selama minimal
3 bulan pengobatan, maka harus segera dilanjutkan dengan terapi
intensifikasi insulin.
7. Jika pemeriksaan HbA1c tidak dapat dilakukan, maka keputusan
pemberian terapi dapat menggunakan pemeriksaan glukosa darah.
8. HbA1c 7 % setara dengan rerata glukosa darah sewaktu 154 mg/dl.
HbA1c > 9% setara dengan rerata glukosa darah sewaktu ≥ 212 mg/dl.
22

2.1.10 Komplikasi Diabetes Melitus


Diabetes melitus apabila tidak tertangani secara benar, maka dapat
mengakibatkan berbagai macam komplikasi. Ada dua komplikasi pada DM yaitu
komplikasi akut dan komplikasi kronik. Komplikasi akut terjadi saat kadar glukosa
darah meningkat atau menurun secara tajam dalam waktu yang singkat. Sedangkan
komplikasi kronik ditandai dengan semakin tinggi kadar glukosa darah akan
menyebabkan gangguan organ di kemudian hari, terdiri dari komplikasi
makrovaskuler dan komplikasi mikrovaskuler (Subiyato, 2019).
a. Komplikasi akut
1. Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah
<70mg/dL. Hipoglikemia adalah penurunan konsentrasi glukosa serum
dengan atau tanpa adanya gejala-gejala sistem autonom, sepertiadanya
whipple’s triad, yaitu: terdapat gejala-gejala hipoglikemia, kadar
glukosa darah yang rendah, gejala berkurang dengan pengobatan
(PERKENI, 2021). Gejala yang timbul yaitu rasa lapar, gemetar,
mengeluarkan keringat, berdebar-debar, pusing, gelisah, tidak sadar
dan disertai kejang (Subiyato, 2019).
2. Hiperglikemia
Hiperglikemia adalah apabila kadar gula darah meningkat secara
tiba-tiba, menyebabkan keadaan metabolisme yang berbahaya. Gejala
yang timbul rasa sangat haus, pandangan kabur, muntah, berat badan
menurun, sakit kepala, kulit kering dan gatal, kesadaranmenurun, rasa
mengantuk, kekurangan cairan akibat sering kencing (Subiyato, 2019).
3. Ketoasidosis diabetik (KAD)
Ketoasidosis diabetik (KAD) atau koma diabetik merupakan
keadaan tubuh yang sangat kekurangan insulin dan bersifat mendadak
akibat infeksi, lupa suntik insulin, pola makan yangterlalu berlebihan
atau bebas dan stres. Penderita dapat mengalami koma (tidak sadar)
akibat otak tidak menerima darah dalam jumlah yang cukup (Subiyato,
2019).
23

4. Koma hiperosmolar non ketotik (HONK)


Pada komplikasi ini yang diakibatkan adanya dehidrasi berat,
tekanan darah yang menurun dan syok tanpa adanya badan keton (hasil
pemecahan asam lemak) dalam urin (Subiyato, 2019).
5. Koma lakto asidosis
Koma lakto asidosis yang berarti sebagai keadaan tubuh dengan
asam laktat yang tidak dapat diubah menjadi bikarbonat. Akibatnya,
kadar asam laktat dalam darah meningkat dan seseorang bisa
mengalami koma (Subiyato, 2019).
b. Komplikasi Kronis
Komplikasi ini terdiri dari komplikasi makrovaskuler dan
mikrovaskuler. Komplikasi makrovaskuler utamanya didasarkan oleh
adanya resisten insulin, sedangkan komplikasi mikrovaskuler lebih
dikarenakan hiperglikemia kronis (Decroli, 2019).
1. Makrovaskuler
a. Penyakit Jantung Koroner
Penyakit jantung koroner adalah kondisi ketika pembuluh
darah jantung (arteri koroner) tersumbat oleh timbunan lemak. Bila
lemak makin menumpuk, maka arteri makin menyempit, dan
membuat aliran darah ke jantung berkurang. Kondisi dimana
jantung tidak dapat memompa darah dengan baik (Margaret,2018).
Intervensi beberapa faktor risiko (lipid, hipertensi, berhenti
merokok, dan terapi antiplatelet) (Soelistijo et al., 2019).
b. Penyakit arteri perifer.
Penyakit arteri perifer adalah suatu keadaan dimana terjadi
penyempitan pembuluh darah arteri yang menyebabkan adanya
penyumbatan aliran darah ke kaki. Penyebab adanya penyempitan
ini disebabkan oleh timbunan lemak pada dinding arteri yang
berasal dari kolesterol. Dalam kondisi ini, kaki akan terasa sakit
terutama saat berjalan (klaudikasio). Penyebab kondisi ini adalah
Obesitas, diabetes, kebiasaan merokok, hipertensi, dan kolesterol
tinggi (Margaret, 2018).
24

c. Cerebrovascular Disease (CVD)


Cerebrovaskular adalah suatu kelainan pada pembuluh darah
yang terjadi penyumbatan ke otak, terutama arteri otak. CVD
disebabkan oleh gangguan pada pembuluh darah otak, berupa
penyumbatan ataupun pecah pembuluh darah otak (Margaret,
2018).
2. Mikrovaskular
a. Retinopati Diabetik
Diabetik retinopati adalah suatu keadaan yang terjadi pada
mata orang dewasa dengan umur 20-74 tahun. Penyebab dari
komplikasi ini ialah rusaknya pembuluh darah darah dari jaringan
yang sensitif terhadap cahaya di retina. Retinopatik diabetik dapat
berkembang pada penderita Diabetes Melitus 1 dan Diabetes
Melitus 2, semakin tinggi kadar gula dalam darah semakin tinggi
risiko terkena komplikasi ini. Beberapa faktor yang dapat
meningkatkan risiko yaitu hipertensi, hiperglikemia, dan nefropati.
Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi
risiko atau memperlambat progresi retinopati (Soelistijo et al.,
2019).
b. Nefropati Diabetik
Nefropati adalah penyakit atau kerusakan pada ginjal.
Nefropati Diabetik adalah kerusakan ginjal yang disebabkan oleh
Diabetes Melitus. Hal ini terjadi karena glomerulus tidak dapat
menyaring protein dan glukosa, sehingga protein dan glukosa tidak
dapat direabsorbsi dan keluar bersama urin. Penderita nefropati
diabetik berkaitan dengan hipertensi sehingga menyebabkan
penurunan laju filtrasi glomerulus yang menjadi kerusakan ginjal
(Soelistijo et al., 2019).
c. Neuropati Diabetik
Neuropati Diabetik adalah suatu keadaan yang menyerang
saraf ekstremitas, khususnya pada tungkai (IDF Diabetes Atlas,
2017). Pada neuropati diabetik, hilangnya sensasi distal merupakan
25

faktor penting yang berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki


yang meningkatkan risiko amputasi. Gejala diabetic neuropathy
dapat dirasakan dari rasa sakit dan mati rasa pada kaki, kaki terasa
terbakar dan bergerak sendiri, sistem pencernaanyang bermasalah,
saluran kemih, pembuluh darah dan jantung. Diabetic neuropathy
bisa dicegah atau diperlambat dengan mengontrol kadar glukosa
yang ketat dan gaya hidup sehat (American Diabetes Association,
2018).
2.2 Teori Perilaku
Perilaku kesehatan merupakan suatu respon dari seseorang berkaitan
dengan masalah kesehatan, penggunaan pelayanan kesehatan, pola hidup, maupun
lingkungan sekitar yang mempengaruhi. Menurut Lawrence Green perilaku
manusia dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu faktor predisposisi (predisposing
factor), faktor pendukung (enabling factor), dan faktor pendorong (reinforcing
factor) (Gunawan et al., 2017).
1. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi adalah faktor internal yang berasal dari diri
individu itu sendiri, keluarga, kelompok atau masyarakat yang
memberikan efek individu untuk berperilaku yang terwujud dalam
pengetahuan, siakp, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan
sebagainya.
2. Faktor pendukung
Faktor pendukung merupakan faktor yang terwujud dalam
lingkunganfisik, tersedia atai tidaknya fasilitas dan sarana kesehatan.
3. Faktor pendorong
Faktor pendorong merupakan yang menguatkan suatu perilaku,
yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan, teman
sebaya, orang tua, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku
masyarakat.
2.3 Sikap
Sikap adalah merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup
terhadap suatu stimulus atau objek (Notoatmojo, 2012) dalam (Wawan 2019).
26

Sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan, sikap seseorang terhadap
suatu objek adalah perasaan memihak (favorabel) maupun perasaan tidak memihak
(unfavorabel) pada objek tersebut. Secara lebih spesifik sikap dapat juga diartikan
sebagai derajat efek positif atau efek negatif terhadap suatu objek psikologis(Azwar
2011) dalam (Durisah 2016). L.A. Peplau menyatakan sikap adalah sebagaiberikut
(Firmansyah, 2018):
1. Sikap memiliki komponen kognitif (pikiran), afektif (perasaan) dan
perilaku.
2. Seseorang memiliki sikap yang kompleks secara kognitif, namun sikap
sering terorganisir di sekitar dimensi afektif dan cenderung sederhana
secara evaluatif.
3. Pendekatan belajar memandang sikap sebagai sesuatuyang dipelajari
melalui asosiasi, peneguhan kembali dan imitasi. Pendekatan insentif
memandang sikap sebagai hasil perhitungan untung rugi oleh individu.
Teori kognisi memandang orang sebagai mahluk yang berussaha
mempertahankan sikapnya.
4. Biasanya diasumsikan bahwa perilaku timbul dari sikap.
Sikap merupakan suatu tingkah laku yang di tunjukkan atau dapat
diketahui bila seseorang sudah bertingkah laku positif atau negatif (Firmansyah,
2018). Empat tingkatan sikap, antara lain:
1. Menerima (receiving): bahwa orang (subjek) mau menerima dan
memperhatikan stimulus yang diberikan oleh suatu objek.
2. Merespon (responding): yaitu memberikan jawaban terhadap
pertanyaanyang diberikan mengenai objek.
3. Menghargai (valuting): yaitu mengajak orang lain untuk mendiskusikan
tentang objek.
4. Bertanggung jawab (responsible): yaitu betanggung jawab atas segala
sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resikonya.
2.3.1. Komponen Sikap
Komponen – komponen sikap terdiri dari tiga komponen yang saling
menunjang (Firmansyah, 2018):
1. Komponen kognitif merupakan representasi apa yang dipercaya oleh
27

individu pemilik sikap. Komponen kognitif berisi tentang kepercayaan


seseorang mengenai apa yang berlaku dan apa yang benar bagi objek
sikap.
2. Komponen afektif merupakan perasaan yang menyangkut aspek
emosional. Aspek emosional biasanya berakar paling dalam sebagai
komponen sikap dan merupakan aspek yang paling bertahan terhadap
pengaruh – pengaruh yang mungkin mengubah sikap seseorang.
2.3.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap
Dalam interaksi sosialnya individu bereaksi membentuk pola sikap
tertentu terhadap objek psikologis yang dihadapinya. Berbagai faktor yang
mempengaruhi pembentukan sikap individu, sebagai berikut: (Siswadi Agus, 2019).

1. Pengalaman pribadi
Untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman pribadi
haruslah meninggalkan kesan yang kuat. Karena itu, sikap akan lebih
mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi pada situasi
yang melibatkan emosional.
2. Pengaruh lain yang dianggap penting
Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap yang
konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggap penting.
3. Pengaruh Kebudayaan
Tanpa disadari kebudayaan telah menanamkan garis pengarah sikap
kita terhadap berbagai masalah.
4. Media Massa
Dalam pemberitaan surat kabar maupun radio atau media
komunikasi lainnya, berita yang seharusnya faktual disampaikan secara
objektif cenderung dipengaruhi oleh sikap penulisannya, akibatnya
berpengaruh terhadap sikap konsumennya.
5. Lembaga pendidikan dan lembaga Agama
Konsep moral dan ajaran dari lembaga pendidikan dan lembaga
agama sangat menentukan sistem kepercayaan, tidaklah heran jika kalau
pada gilirannya konsep tersebut mempengaruhi sikap.
28

6. Faktor Emosional
Kadang kala, suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang
didasari emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau
pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego (Siswadi Agus, 2019).
2.3.3. Pengukuran Sikap
Pada pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak
langsung. Secara langsung dapat berupa pertanyaan bagaimana pendapat atau
pernyataan dari responden terhadap suatu objek. Secara langsung dapat dilakukan
dengan pernyataan pernyataan hipotesis kemudian ditanyakan kepada responden
(Notoatmodjo, 2007 dalam Rofik, 2022).

Untuk mengukur sikap, tanggapan maupun persepsi pada seseorang yaitu


menggunakan teknik skala likert. Teknik skala likert yang telah dijumlahkan adalah
teknik skala yang menggunakan perilaku atau distribusi respon sebagai dasar
penentuan penilaian atau skala. Hal-hal yang mendasari teknik skala likert adalah:
1. Penyusunan pernyataan, dimana setiap pernyataan yang telah ditulis
dapat disepakati sebagai pernyataan yang favorable (positif) atau
pernyataan yang unfavorable (negatif).
2. Sikap atau respon yang telah diberikan oleh seseorang yang mempunyai
sikap positif harus diberi penilaian yang lebih tinggi dari pada jawaban
yang diberikan oleh responden yang memiliki sikap negatif. Dalam hal
ini sikap dikategorikan ke dalam 2 dimensi yaitu sikap positif dan sikap
negatif. Sikap positif cenderung menyenangi, mendekati,
mengharapkan objek tertentu, sedangkan sikap negatif cenderung
menjauhi, menghindari atau tidak menyukai objek tertentu.
Untuk melakukan skala dengan metode tersebut maka sejumlah
pernyataan yang telah ditulis sesuai rancangan skala yang telah ditentukan.
Responden akan diminta untuk menyatakan setuju atau tidak setuju terkait dengan
isi pernyataan yang dikategorikan dalam empat jenis jawaban yaitu (Sugiyono,
2018): STS (Sangat Tidak Setuju); TS (Tidak Setuju); S (Setuju); SS (Sangat
Setuju).
29

Dari keempat jenis kategori respon atau perilaku tersebut, penilaian untuk
pernytaan yang favorable yaitu (Sugiyono, 2018):
a. Sangat Tidak Setuju 1
b. Tidak Setuju 2
c. Setuju 3
d. Sangat Setuju 4
Sedangkan alternatif untuk menilai pernyataan unfavorable yaitu
(Sugiyono, 2018):
a. Sangat Tidak Setuju 4
b. Tidak Setuju 3
c. Setuju 2
d. Sangat Setuju 1
Skala likert yang sudah dinilai harus dilakukan interprestasi terhadap skor
responden yang didapat. Skor tanda yang biasanya digunakan dalam skala model
likert yaitu skor-T (Sugiyono, 2018):
𝑥− 𝜋
𝑇 = 50 + 10 [ ]
𝑠

Keterangan:

x : skor responden pada skala sikap yang akan diubah menjadi


skorT

ℼ : mean skor kelompok


s : standar deviasi kelompok
Dari rumus diatas, dapat dilakukan pengkategorian sikap penggunaan obat
antidiabetik oral yang terdiri dari:

a. Mendukung (sikap positif): nilai skor T ≥ rata-rata


b. Tidak mendukung (sikap negatif): nilai skor T < rata-rata(Sugiyono,
2018).
2.4 Kepatuhan
Kepatuhan merupakan tingkatan perilaku pasien yang berasal dari
petunjuk yang diberikan dalam bentuk terapi pengobatan atau rekomendasi dari
dokter dan tenaga kesehatan lainnya. Istilah kepatuhan sering digunakan untuk
30

menerangkan ketaatan seseorang dalam melakukan pengobatan atau perilaku


pasien melakukan terapi yang direkomendasikan oleh dokter (Notoatmodjo, 2018).
Kepatuhan dalam penatalaksanaan DM bertujuan untuk mempertahankan
kadar gula darah dalam rentang normal dan meningkatkan kualitas hidup penderita
DM. Salah satu faktor yang memengaruhi berhasilnya pengendalian kadar gula
darah dalam penanganan diabetes mellitus adalah kepatuhan dalam penggunaan
obat. Jika pasien diabetes mellitus menerapkan kepatuhan minum obat yang
disarankan oleh dokter, maka secara tidak langsung hal tersebut akan mengubah

perilaku pasien dalam pengobatan, diet, aktivitas fisik, serta kontrol gula darah (Sari
et al., 2021).

2.4.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan


Menurut WHO faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan diantaranya :

a. Karakteristik pengobatan dan penyakit (durasi penyakit, kompleksitas


terapi dan pemberian perawatan). Faktor pengobatan dan penyakit
terkait durasi penyakit yang tergolong lama menyebabkan pasien
terganggu untuk melakukan kewajiban mengkonsumsi obat
b. Faktor intrapersonal (jenis kelamin, usia, stres, rasa percaya diri,
depresi dan penggunaan alcohol). Faktor intrapersonal terkait rasa
percaya diri berhubungan dengan faktor interpersonal terkait dukungan
keluarga. Kondisi pasien yang sering lupa untuk mengkonsumsi obat
atau membawa obat ketikasedang berpergian bisa dipengaruhi karena
kuranganya dukungan keluarga untuk mengingatkan. Keluarga
mempunyai peranan penting dalam memberikan dorongan ataupun
motivasi, support system dan melakukan perawatan pada anggota
keluarga yang mengalami DM.
c. Faktor interpersonal (hubungan pasien dengan petugas kesehatan dan
dukungan sosial)
d. Faktor lingkungan (Nanda, Wiryanto, & Triyono, 2018).
31

2.4.2 Pengukuran Tingkat Kepatuhan


Terdapat dua metode yang bisa digunakan untuk mengukur kepatuhan
yaitu(Jilao, 2017):
1. Metode Langsung Pengukuran kepatuhan menggunakan metode
langsung yaitu dengan pengamatan pengobatan secara langsung,
pengukuran konsentrasi obat, dan metabolitnya dalam darah atau urin,
serta mengukur biologic marker yang ditambahkan pada formulasi
obat. Kelemahan penggunaan metode ini adalah biaya yang mahal,
memberatkan tenaga kesehatan, dan rentan penolakan dari pasien.
2. Metode Tidak langsung Metode ini dilakukan untuk menanyakan
pasien tentang cara pasien menggunakan obat, menilai respon klinik,
melakukanperhitungan obat, dan mengumpulkan kuesioner pasien.

Pada penelitian ini menggunakan metode pengukuran kuisioner dari


ARMS(Adherence to Refill and Medication Scale).
2.4.3 Kuisioner ARMS
Kuesioner merupakan salah satu cara mengukur kepatuhan. Salah satu
model kuisioner yang telah tervalidasi untuk menilai kepatuhan adalah kuisioner
ARMS. Kuisioner ARMS tepat digunakan untuk mengukur kepatuhan penggunaan
obat terhada penderita penyakit kronik termasuk penyakit Diabetes Melitus tipe II.
Pengukuran tingkat kepatuhan dengan menggunakan kuisioner memiliki kelebihan
yakni relative murah, praktis dan efisien. Tingkat kepatuhan meminum obat pada
pasien Diabetes Melitus Tipe II perlu diketahui sehinggaa dapat menjadi tolak ukur
terkait jenis terapi dan intervensi terapi (Sa’dyah, Sabiti, & Susilo, 2021).
Pengukuran kepatuhan menggunakan kuisioner ARMS memiliki keuntungan
dibandingkan kuisioner lain yaitu mudah digunakan, valid dan reliable untuk
digunakan untuk mengukur kepatuhan pasien kronis dengan tingkat kemampuan
baca tulis yang rendah. Kuisioner ARMS mempunyai 12 pertanyaan yang terdiri
dari dua indikator yaitu 8 item pertanyaan tentang kepatuhan pasien untuk
meminum obat dan 4 item pertanyaan mengenai kepatuhan pasien untuk menebus
resep kembali (Park, Seo, Yoo, & Lee, 2018). Setiap pertanyaan diberi tanggapan
menggunakan skala Likert yaitu selalu, sering, jarang, dan tidak pernah dengan
diberi skor 1-4. Skor yang lebih rendah menunjukann pasien yang memiliki
32

kepatuhan yang lebih baik, sedangkan semakin tinggi skor atau nilai yang didapat
maka menunjukan kepatuhan pasien yang semakin buruk (Ernawati, Islamiyah, &
Sumarno, 2018).

Skor Adherence to Refills and Medications Scale (ARMS) yang tertinggi


adalah 48 menunjukkan tingkat kepatuhan yang buruk, sedangkan skor terendah
adalah 12 menunjukkan tingkat kepatuhan yang baik. Instrumen ARMS telah diuji
reliabilitas dan validitasnya dengan MMAS dimana Alpa Cronbach’s keseluruhan
item= 0.814 dan untuk pasien adequate literacy skills memiliki alfa= 0.828
sedangkan untuk pasien inadequate literacy skills memiliki alfa= 0.792,
Spearman’s rho= -0.651 (Ernawati and Islamiyah, 2019).
2.5 Konsep Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas)
Fasilitas pelayanan keseharan adalah suatu tempat yang digunakan untuk
menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif,
maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah/atau
masyarakat. Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) adalah fasilitas pelayanan
kesehatan yang menyelenggrakan upaya kesehatan masyarakat dan upayakesehatan
perseorangan tingkat pertam, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan
preventif di wilayah kerjanya (Nilna et al., 2021). Berdasarkan pengertian
puskesmas diatas dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Unit Pelaksana Teknis
Sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPTD) Dinas Kesehatan Kabupaten
atau Kota dan merupakan unit pelaksana tingkat pertama serta ujung
tembok pembangunan kesehatan di Indonesia.
2. Pembangunan Kesehatan
Pembangunan Kesehatan yaitu penyelenggaraan upaya kesehatan
dari bangsa Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran,
kemauandan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud
derajat kesehatan masyarakat yang optimal.
3. Pertanggungjawaban Penyelenggaraan
Penangung jawab utama penyelenggaraan seluruh upaya
pembangunan kesehatan di wilayah Kabupaten atau Kota adalah Dinas
Kesehatan Kabupaten atau Kota, sedangkan Puskesmas bertanggung
33

jawab hanya untuk sebagian upaya pembangunan kesehatan yang


dibebankan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota sesuai dengan
kemampuan.
4. Wilayah Kerja
Secara nasional, standar wilayah kerja Puskemas adalah satu
Kecamatan. Tetapi apabila di satu Kecamatan terdapat lebih dari satu
Puskesmas, maka tanggung jawab wilayah kerja dibagi antar
Puskesmas, dengan memperhatikan keutuhan konsep wilayah (Desa
atau Kelurahan atau RW). Masing-masing Puskesmas tersebut secara
operasional bertanggung jawab langsung kepada Dinas Kesehatan
Kabupaten atau Kota.

Anda mungkin juga menyukai