Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN

DIABETES MELLITUS DENGAN SELULITIS

Disusun untuk Memenuhi Tugas Laporan Individu Profesi Ners Departemen Medikal
di Ruang 14 RSUD. Dr. Saiful Anwar Malang

OLEH :
NI LUH PUTU SAPTYA WIDYATMI
170070301111033

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
Diabetes Mellitus

a.1 Definisi Diabetes Mellitus

Diabetes melitus adalah gangguan metabolik kronis yang ditandai


dengan peningkatan kadar gula darah. Kurangnya produksi insulin atau tubuh
tidak mampu menggunakan insulin dengan efektif adalah salah satu
penyebab tingginya kadar glukosa darah. Keadaan Diabetes melitus biasanya
baru diketahui setelah timbul komplikasi lanjut pada organ tubuh (Khalid et al,
2013; Misnadiarly, 2006). Menurut WHO (2006), dikatakan diabetes jika
memenuhi kriteria kadar glukosa plasma puasa ≥ 7,0 milimol/liter (126 mg/dl)
atau kadar glukosa plasma 2 jam setelah makan ≥ 11,1 mmol/l (200mg/dl).
Diabetes meliitus juga sering disebut the great imitator karena penyakit ini
dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan
yang bervariasi (Misnadiarly, 2006). Diperkirakan 170 juta penduduk dunia menderita
diabetes melitus dan jika diproyeksikan pada tahun 2030 akan meningkat dua kali
lipat. Dan komplikasi yang paling sering dijumpai adalah kaki ulkus diabetik (Mekala
et al, 2014).

a.2 Klasifikasi Diabetes Mellitus


WHO merumuskan klasifikasi terbaru dari diabetes mellitus, ada Empat
klasifikasi yang diidentifikasi, yaitu : DM tipe 1 ( Insulin Dependent Diabetes
Mellitus), DM tipe 2 (Non-insulin Dependent Diabetes Mellitus), DM tipe lain
dan Diabetes Gestasional.
A. Diabetes Mellitus Tipe 1
DM tipe 1 atau IDDM mempunyai karakteristik pada kerusakan sel beta
pankreas yang disebabkan oleh proses autoimun, biasanya terjadi
kekurangan insulin secara absolute. DM tipe 1 juga ditandai dengan
ditemukannya asam anti-glutamin decarboxylase (AGD), sel islet atau
antibody insulin. Proses autoimun yang dapat teridentifikasi pada beberapa
kasus DM tipe 1 tidak berdapak pada kerusakan sel beta pankreas, maka dari
itu juga sering disebut idopatik. Terapi insulin merupakan pilihan terapi yang
digunakan untuk menjaga kadar gula darah tetap stabil.
B. Diabetes Mellitus Tipe 2
DM tipe 2 atau NIDDM sering dikaitkan dengan istilah adult-onset
mempunyai karakteristik terjadinya resistensi insulin di jaringan pherifer dan
kelainan sekresi pada sel beta pankreas. Pada DM tipe 2, konsentrasi insulin
dalam plasma meningkat bahkan akan menjadi sangat tinggi pada keadaan
resistensi yang parah. DM tipe 2 paling sering ditemukan pada sesorang
yang mengalami kelebihan berat badan, khusunya terjadi penumpukan lemak
pada daerah perut yang menyebabkan resistensi insulin. Pada beberapa
kasus, hipertensi dan dyslipidemia juga memiliki resiko tinggi terkena DM tipe
2. DM tipe 2 juga sering dihubungkan dengan riwayat keluarga, usia lanjut
obesitas dan kurang olahraga.
C. Diabetes Mellitus Gestasional
Diabetes mellitus gestasional adalah klasifikasi operasional
daripada kondisi pathofisiologi yang diidentifikasi pada perempuan
selama kehamilan. Selama kehamilan DM tipe 1 bisa berkembang
dengan asimptomatik DM tipe 2 yang tidak terdiagnosis. Kebanyakan
kasus diabetes mellitus gestasional ditemukan pada trimester ke-tiga.
(Patidar et al, 2012)

a.3 Etiologi dan Faktor Resiko Diabetes Mellitus


a. Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM)
Sering terjadi pada usia sebelum 30 tahun. Biasanya juga disebut
Juvenille Diabetes, yang gangguan ini ditandai dengan adanya hiperglikemia
(meningkatnya kadar gula darah) (Bare&Suzanne,2002). Faktor genetik dan
lingkungan merupakan faktor pencetus IDDM. Oleh karena itu insiden lebih
tinggi atau adanya infeksi virus (dari lingkungan) misalnya coxsackievirus B dan
streptococcus sehingga pengaruh lingkungan dipercaya mempunyai peranan
dalam terjadinya DM ( Bare & Suzanne, 2002). Virus atau mikroorganisme akan
menyerang pulau – pulau langerhans pankreas, yang membuat kehilangan
produksi insulin. Dapat pula akibat respon autoimmune, dimana antibody sendiri
akan menyerang sel bata pankreas. Faktor herediter, juga dipercaya memainkan
peran munculnya penyakit ini (Bare & Suzanne, 2002)
b. Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)
Virus dan kuman leukosit antigen tidak nampak memainkan peran
terjadinya NIDDM. Faktor herediter memainkan peran yang sangat besar. Riset
melaporkan bahwa obesitas salah satu faktor determinan terjadinya NIDDM
sekitar 80% klien NIDDM adalah kegemukan. Overweight membutuhkan banyak
insulin untuk metabolisme. Terjadinya hiperglikemia disaat pankreas tidak cukup
menghasilkan insulin sesuai kebutuhan tubuh atau saat jumlah reseptor insulin
menurun atau mengalami gangguan. Faktor resiko dapat dijumpai pada klien
dengan riwayat keluarga menderita DM adalah resiko yang besar. Pencegahan
utama NIDDM adalah mempertahankan berat badan ideal. Pencegahan
sekunder berupa program penurunan berat badan, olah raga dan diet. Oleh
karena DM tidak selalu dapat dicegah maka sebaiknya sudah dideteksi pada
tahap awal tanda-tanda atau gejala yang ditemukan adalah kegemukan,
perasaan haus yang berlebihan, lapar, diuresis dan kehilangan berat badan, bayi
lahir lebih dari berat badan normal, memiliki riwayat keluarga DM, usia diatas 40
tahun, bila ditemukan peningkatan gula darah ( Bare & Suzanne, 2002)
c. Genetik atau Faktor Keturunan
DM cenderung diturunkan atau diwariskan, tidak ditularkan. Anggota
keluarga penderita DM memiliki kemungkinan lebih besar menderita DM
dibandingkan dengan anggota keluarga yang tidak menderita DM. Diabetes tipe
2 lebih terkait dengan faktor riwayat keluarga bila dibandingkan tipe 1. Anak
dengan ayah penderita DM tipe 1 memiliki kemungkinan terkena diabetes 1:17.
Namun bila kedua orang tua menderita DM tipe 1 maka kemungkinan menderita
DM adalah 1:4-10. Pada DM tipe 2, seorang anak memiliki kemungkinan 1:7
untuk menderita DM bila salah satu orang tuanya menderita DM pada usia
kurang dari lima puluh tahun dan 1:13 bila salah satu orang tuanya menderita
DM pada usia lebih dari lima puluh tahun. Namun bila kedua orang tuanya
menderita DM tipe 2, maka kemungkinan menderita DM adalah 1:2.19
d. Usia
DM dapat terjadi pada semua kelompok umur, terutama di atas 40 tahun, karena
risiko terkena DM akan meningkat dengan bertambahnya usia. DM tipe 1
biasanya terjadi pada usia muda yaitu pada usia < 40 tahun, sedangkan DM tipe
2 biasa terjadi pada usia ≥ 40 tahun. Di negara-negara barat ditemukan 1 dari 8
orang penderita DM berusia di atas 65 tahun, dan 1 dari 4 penderita berusia di
atas 85 tahun. Menurut hasil penelitian Renova di RS. Santa Elisabeth tahun
2007 terdapat 239 orang (96%) pasiem DM berusia ≥ 40 tahun dan 10 orang
(4%) yang berusia <40 tahun.
e. Ras atau Etnis
Beberapa ras tertentu, seperti suku Indian di Amerika, Hispanik, non-Hispanik
kulit hitam dan orang Amerika Latin, mempunyai resiko lebih besar terkena DM
tipe 2. Suku-suku ini mempunyai resiko terkena DM 2-4 kali lebih tinggi dari pada
non- Hispanik kulit putih. Kebanyakan dari ras-ras tersebut dulunya adalah
pemburu dan petani. Saat ini jumlah makanan banyak dan gerak badan semakin
berkurang yang menyebabkan banyak penduduk mengalami obesitas sampai
DM dan tekanan darah tinggi.
f. Kegemukan (Obesitas)
Kegemukan adalah faktor resiko yang paling penting untuk diperhatikan, sebab
meningkatnyanya angka kejadian DM tipe 2 berkaitan dengan obesitas. Delapan
dari sepuluh penderita DM tipe 2 adalah orang-orang yang memiliki kelebihan
berat badan. Konsumsi kalori lebih dari yang dibutuhkan tubuh menyebabkan
kalori ekstra akan disimpan dalam bentuk lemak. Lemak ini akan memblokir
kerja insulin sehingga glukosa tidak dapat diangkut ke dalam sel dan menumpuk
dalam peredaran darah.4,23 Seseorang dengan BMI (Body Mass Index) 30
kg/m2 akan 30 kali lebih mudah terkena diabetes daripada seseorang dengan
BMI normal (22 Kg/m2). Bila BMI ≥ 35 Kg/m2 , kemungkinan mengidap diabetes
menjadi 90 kali lipat. Pada suatu penelitian di Jakarta pada tahun 1982 dalam
Utujo Sukaton (1996) ditemukan bahwa kegemukan merupakan salah satu
resiko penting bagi timbulnya DM. Prevalensi DM untuk kelompok obesitas
adalah 6,7%, kelompok overweight 3,7%, kelompok normal 0,9%, dan kelompok
underweight 0,4%.20. Kurang Gerak Badan Olah raga atau aktifitas fisik
membantu kita untuk mengontrol berat badan. Glukosa darah dibakar menjadi
energi dan sel-sel tubuh menjadi lebih sensitif terhadap insulin. Peredaran darah
lebih baik dan resiko terjadinya DM tipe 2 akan turun sampai 50%. Keuntungan
lain yang diperoleh dari olah raga adalah bertambahnya massa otot. Biasanya
70-90 % glukosa darah diserap otot. The Journal of the America Medical
Association (1992) melaporkan hasil studi lebih dari 21.000 orang dokter, bahwa
berolah raga lima kali seminggu akan menghasilkan penurunan 42% pada
kasus-kasus yang diperkirakan akan menderita DM tipe 2.
g. Infeksi
Virus yang dapat memicu DM adalah rubela, mumps, dan human coxsackievirus
B4. Melalui mekanisme infeksi sitolitik dalam sel beta, virus ini menyebabkan
destruksi atau perusakan sel. Bisa juga virus ini menyerang melalui reaksi
otoimunitas yang menyebabkan hilangnya otoimun dalam sel beta. Pada kasus
DM tipe 1 yang terjadi pada anak, seringkali didahului dengan infeksi flu atau
batuk pilek yang berulang-ulang, yang disebabkan oleh virus mumps dan
coxsackievirus. DM akibat bakteri masih belum bisa dideteksi. Namun, para ahli
kesehatan menduga bakteri cukup berperan menyebabkan DM.
h. Bahan Toksin atau Beracun
Ada beberapa bahan toksik yang mampu merusak sel beta secara langsung,
yakni allixan, pyrinuron (rodentisida), streptozotocin (produk dari sejenis jamur)
(Maulana, 2008).
i. Kehamilan
Diabetes melitus yang terjadi pada saat kehamilan disebut Diabetes Melitus
Gestasi (DMG). Hal ini disebabkan oleh karena adanya gangguan toleransi
insulin. Pada waktu kehamilan tubuh banyak memproduksi hormon estrogen,
progesteron, gonadotropin, dan kortikosteroid, dimana hormon tersebut memiliki
fungsi yang antagonis dengan insulin. Untuk itu tubuh memerlukan jumlah insulin
yang lebih banyak. Oleh sebab itu, setiap kehamilan bisa menyebabkan
munculnya diabetes melitus. Jika seorang wanita memiliki riwayat keluarga klien
diabetes melitus, maka ia akan mengalami kemungkinan lebih besar untuk
menderita Diabetes Melitus Gestasional.

a.4 Manifestasi Klinis Diabetes Mellitus


Gejala DM tipe 2:
a. Trias DM
b. Biasanya bertubuh gemuk saat didiagnosis
c. Tidak ada antibody pada pulau langerhans
Trias DM :
1. Poliuria
Akibat kekurangan insulin untuk mengangkit glukosa melalui membrane sel
menyebabkan hiperglikemia. Sehingga serum plasma meningkat,
hiperosmolariti menyebabkan cairan intrasel difusi ke sirkulasi. Aliran darah
ke ginjal meningkat terjadi dieresis osmotic (Bare, 2002)
2. Polidipsi
Akibat mesi).
3. Poliphagia
Karena glukosa tidak dapat masuk ke sel akibat dari menurunnya kadar
insulin maka produksi energi menurun, penurunan energi akan menstimulasi
rasa lapar. Maka reaksi yang terjadi adalah seseorang akan lebih banyak
makan (poliphagia) ( Bare, 2002).
a.5 Patofisiologi (terlampir)
a.6 Pemeriksaan Diagnostik Diabetes Mellitus
a. Kadar glukosa darah
Tabel : Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa dengan metode
enzimatiksebagai patokan penyaring

Kadar Glukosa Darah Sewaktu (mg/dl)


Kadar Glukosa Darah DM Belum Pasti DM
Sewaktu
Plasma vena >200 100-200
Darah kapiler >200 80-100
Kadar Glukosa Darah Puasa (mg/dl)
Kadar Glukosa Darah DM Belum Pasti DM
Puasa
Plasma vena >120 110-120
Darah kapiler >110 90-110

b. Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes mellitus pada sedikitnya 2 kali


pemeriksaan :
i. Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L)
ii. Glukosa plasma puasa >140 mg/dl (7,8 mmol/L)
iii. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah
mengkonsumsi 75 gr karbohidrat (2 jam post prandial (pp) > 200 mg/dl).

c. Pemeriksaan konsentrasi HbA1c


i. HbA1c merupakan ikatan antara gula dan hemoglobin
ii. Pemeriksaaan HbA1c ini mampu menggambarkan kadar glukosa rata-
rata dalam jangka waktu 1-3 bulan sebelumnya sesuai dengan umur sel
darah merah
iii. Hasil pemeriksaan HbA1c:
 HbA1c 4-6 : Baik
 HbA1c 6-8 : Sedang
 HbA1c >8 : Buruk
a.7 Penatalaksanaan Medis

Penatalaksanaan Diabetes Mellitus jika tidak dikelola dengan baik akan


menimbulkan berbagai penyakit dan diperlukan kerjasama semua pihak untuk
meningkatan pelayanan kesehatan. Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan
berbagai usaha, antaranya:
a. Perencanaan Makanan.
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam
hal karbohidrat, protein dan lemak yang sesuai dengan kecukupan gizi baik yaitu :
1. Karbohidrat sebanyak 60 – 70 % 2) Protein sebanyak 10 – 15 % 3) Lemak
sebanyak 20 – 25 % Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi,
umur, stress akut dan kegiatan jasmani. Untuk kepentingan klinik praktis,
penentuan jumlah kalori dipakai rumus Broca yaitu Barat Badan Ideal = (TB-100)-
10%, sehingga didapatkan:
1) Berat badan kurang = < 90% dari BB Ideal
2) Berat badan normal = 90-110% dari BB Ideal
3) Berat badan lebih = 110-120% dari BB Ideal
4) Gemuk = > 120% dari BB Ideal.
Jumlah kalori yang diperlukan dihitung dari BB Ideal dikali kelebihan kalori
basal yaitu untuk laki-laki 30 kkal/kg BB, dan wanita 25 kkal/kg BB, kemudian
ditambah untuk kebutuhan kalori aktivitas (10-30% untuk pekerja berat). Koreksi
status gizi (gemuk dikurangi, kurus ditambah) dan kalori untuk menghadapi stress
akut sesuai dengan kebutuhan. Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi
tersebut diatas dibagi dalam beberapa porsi yaitu : 1) Makanan pagi sebanyak 20%
2) Makanan siang sebanyak 30% 3) Makanan sore sebanyak 25% 4) 2-3 porsi
makanan ringan sebanyak 10-15 % diantaranya. (Iwan S, 2010)
b. Latihan Jasmani
Dianjurkan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang lebih 30
menit yang disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penyakit penyerta (Iwan S,
2010). Sebagai contoh olah raga ringan adalah berjalan kaki biasa selama 30 menit,
olehraga sedang berjalan cepat selama 20 menit dan olah raga berat jogging (Iwan
S, 2010).
c. Obat Hipoglikemik :
1. Sulfonilurea
Obat golongan sulfonylurea bekerja dengan cara :
a) Menstimulasi penglepasan insulin yang tersimpan
b) Menurunkan ambang sekresi insulin.
c) Meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukosa.
Obat golongan ini biasanya diberikan pada pasien dengan BB normal dan
masih bisa dipakai pada pasien yang beratnya sedikit lebih.Klorpropamid kurang
dianjurkan pada keadaan insufisiensi renal dan orangtua karena resiko hipoglikema
yang berkepanjangan, demikian juga gibenklamid. Glukuidon juga dipakai untuk
pasien dengan gangguan fungsi hati atau ginjal. (Iwan S, 2010)
2. Biguanid
Preparat yang ada dan aman dipakai yaitu metformin.Sebagai obat tunggal
dianjurkan pada pasien gemuk (imt 30) untuk pasien yang berat lebih (IMT 27-30)
dapat juga dikombinasikan dengan golongan sulfonylurea (Iwan S, 2010).
3. Insulin
Indikasi pengobatan dengan insulin adalah :
a) Semua penderita DM dari setiap umur (baik IDDM maupun NIDDM) dalam keadaan
ketoasidosis atau pernah masuk kedalam ketoasidosis (Bare & Suzanne, 2002).
b) DM dengan kehamilan/ DM gestasional yang tidak terkendali dengan diet
(perencanaan makanan) (Bare & Suzanne, 2002)
c) DM yang tidak berhasil dikelola dengan obat hipoglikemik oral dosif maksimal. Dosis
insulin oral atau suntikan dimulai dengan dosis rendah dan dinaikkan perlahan –
lahan sesuai dengan hasil glukosa darah pasien. Bila sulfonylurea atau metformin
telah diterima sampai dosis maksimal tetapi tidak tercapai sasaran glukosa darah
maka dianjurkan penggunaan kombinasi sulfonylurea dan insulin (Bare & Suzanne,
2002).
d) Penyuluhan untuk merancanakan pengelolaan sangat penting untuk mendapatkan
hasil yang maksimal. Edukator bagi pasien diabetes yaitu pendidikan dan pelatihan
mengenai pengetahuan dan keterampilan yang bertujuan menunjang perubahan
perilaku untuk meningkatkan pemahaman pasien akan penyakitnya, yang diperlukan
untuk mencapai keadaan sehat yang optimal. Penyesuaian keadaan psikologik
kualifas hidup yang lebih baik. Edukasi merupakan bagian integral dari asuhan
keperawatan diabetes (Bare & Suzanne, 2002).
Untuk Pemantauan yang sudah terkena DM
5 pilar manajemen
1. Insulin
 Jenis insulin : kerja cepat, kerja pendek, kerja menengah, kerja panjang maupun
insulin campuran (campuran kerja cepat/pendek dengan kerja menengah)
 Dosis : dosis total harian pada anak berkisar antara 0,5 – 1 unit/kgBB pada awal
diagnosis ditegakkan. Dosis selanjutnya diatur sesuai dengan factor-faktor yang
ada baik pada penyakitnya maupun pada penderitanya
 Regimen : ada 2 macam yaitu konvensional dan intensif. Konvensional/mix split
regimen yakni pemberian 2-3 kali suntik per hari. Intensif adalah pemberian
basal basal bolus. Pada regimen basal bolus dibedakan antara insulin yang
diberikan untuk memberikan dosis basal maupun dosis bolus.
 Cara menyuntik: tempat penyuntikan dengan absorpsinya baik ada di daerah
abdomen, lengan atas, lateral paha.
 Penyesuaian dosis : kebutuhan insulin berubah dari beberapa hal seperti hasil
monitor gula darah, diet, olahraga, maupun usia pubertas (terkadang kebutuhan
meningkat hingga 2 unit/kgBB/hari), kondisi stress maupun saat sakit.
2. Diet
 Jumlah kebutuhan kalori untuk anak usia 1 tahun sampai dengan usia pubertas
dapat juga ditentukan dengan rumus sebagai berikut:
1000 + (usia dalam tahun x 100) = ……. Kalori/hari
 Pasien disarankan mengkonsumsisediaan sukrosa dan meningkatkan konsumsi
sayur dan buah.
 Komposisi sumber kalori per hari sebaiknya terdiri atas 50-55% karbohidrat, 10-
15% protein (semakin menurun dengan bertambahnya usia), dan 30-35% lemak.
 Pembagian kalori per 24 jam diberikan 3x makanan utama dan 3x snack. 20%
makanan pagi, 10% snack, 25% makan siang, 10% snack, 25% makan malam,
10% snack.
3. Olahraga
Olahraga dapat meningkatkan resiko hipoglikemia atau hiperglikemia bahkan
ketoasidosis. Penyesuaian diet, insulin serta monitoring gula darah yang aman dapat
melakukan intervensi ini.
4. Edukasi
 Keluarga perlu diedukasi tentang penyakitnya, patofisiologi, apa yang boleh dan
tidak boleh pada penyandang DM, insulin (regimen, dosis, cara menyuntik,
tempat menyuntik, serta efek samping), monitor gula darah dan target gula darah
ataupun HbA1C yang diinginkan.
 Pasien dan keluarga diedukasi (manajemen diet) tentang waktu, besarnya,
banyaknya, serta komposisi makanan yang dimakan untuk menghindari
terjadinya hipoglikemia atau hiperglikemia setelah makan. Pasien yang
mendapat terapi insulin diberi edukasi yang komprehensif termasuk kebutuhan
kalori sehari-hari, kebutuhan karbohidrat-protein-lemak, dan pembagian kalori
antara makan dan snack.
 Pasien diedukasi tentang efek samping olahraga terhadap kadar gula darah.
5. Monitoring control glikemik
Monitoring ini menjad evaluasi apakah tatalaksan yang sudah diberikan baik atau
belum. Control glikemik yang baik akan memperbaiki kualitas hidup pasien termasuk
mencegah komplikasi yang baik jangka pendek maupun jangka panjang. Pasien
harus melakukan pemeriksaan gula darah berkala setiap harinya. Dan juga setiap 3
bulan periksa kadar HbA1C. disamping itu, efek samping pemberian insulin,
komplikasi yang terjadi, serta pertumbuhan dan perkembangan perlu dipantau.

a.8 Komplikasi Diabetes Mellitus


Komplikasi akut pada diabetes mellitus antara lain (Boedisantoso R, 2007):
a. Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah keadaan klinik gangguan saraf yang disebabkan penurunan
glukosa darah < 60 mg/dl. Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrinergic
(berdebar, banyak keringat, gemetar, rasa lapar) dan gejala neuroglikopenik
(pusing, gelisah, kesadaran menurun sampai koma). Penyebab tersering
hipoglikemia adalah akibat obat hipoglikemia oral golongan sulfonilurea,
khususnya klorpropamida dan glibenklamida. Penyebab tersering lainnya antara
lain : makan kurang dari aturan yang ditentukan, berat badan turun, sesudah
olahraga, sesudah melahirkan dan lain-lain.
b. Ketoasidosis Diabetik
ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan defisiensi insulin berat dan akut dari
suatu perjalanan penyakit DM yang ditandai dengan trias hiperglikemia, asidosi
dan ketosis. Timbulnya KAD merupakan ancaman kematian pada pasien DM.
c. Hiperglikemia Non Ketotik
Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik ditandai dengan hiperglikemia,
hiperosmolar tanpa disertai adanya ketosis. Gejala klinis utama adalah dehidrasi
berat, hiperglikemia berat dan sering kali gangguan neurologis dengan atau
tanpa adanya ketosis.
Akibat kadar gula darah yang tidak terkontrol dan meninggi terus
menerus yang dikarenakan tidak dikelola dengan baik mengakibatkan adanya
pertumbuhan sel dan juga kematian sel yang tidak normal. Perubahan dasar itu
terjadi pada endotel pembuluh darah, sel otot pembuluh darah maupun pada sel
masingeal ginjal, semuanya menyebabkan perubahan pada pertumbuhan dan
kematian sel yang akhirnya akan menjadi komplikasi vaskular DM. Struktur
pembuluh darah, saraf dan struktur lainnya akan menjadi rusak. Zat kompleks
yang terdiri dari gula di dalam dinding pembuluh darah menyebabkan pembuluh
darah menebal dan mengalami kebocoran. Akibat penebalan ini maka aliran
darah akan berkurang, terutama menuju kulit dan saraf. Akibat mekanisme di
atas akan menyebabkan beberapa komplikasi antara lain (Waspadji, 2006) :

1. Retinopati
Terjadinya gangguan aliran pembuluh darah sehingga mengakibatkan terjadi
penyumbatan kapiler. Semua kelainan tersebut akan menyebabkan kelainan
mikrovaskular. Selanjutnya sel retina akan berespon dengan meningkatnya
ekspresi faktor pertumbuhan endotel vaskular yang selanjutnya akan terbentuk
neovaskularisasi pembuluh darah yang menyebabkan glaukoma. Hal inilah yang
menyebabkan kebutaan.
2. Nefropati
Hal-hal yang dapat terjadi antara lain : peningkatan tekanan glomerular dan
disertai dengan meningkatnya matriks ektraseluler akan menyebabkan
terjadinya penebalan membran basal yang akan menyebabkan berkurangnya
area filtrasi dan kemudian terjadi perubahan selanjutnya yang mengarah
terjadinya glomerulosklerosis. Gejala-gejala yang akan timbul dimulai dengan
mikroalbuminuria dna kemudian berkembang menjadi proteinuria secara klinis
selanjutnya akan terjadi penurunan fungsi laju filtrasi glomerular dan berakhir
dengan gagal ginjal.
3. Neuropati
Yang paling sering dan paling penting gejala yang timbul berupa hilangnya
sensasi distal atau seperti kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri dan lebih
terasa sakit dimalam hari.
4. Penyakit Jantung Koroner
Kadar gula darah yang tidak terkontrol juga cenderung menyebabkan kadar zat
berlemak dalam darah meningkat, sehingga mempercepat aterosklerosis
(penimbunan plak lemak di dalam pembuluh darah). Aterosklerosis ini 2-6 kali
lebih sering terjadi pada penderita DM. Akibat aterosklerosis akan menyebabkan
penyumbatan dan kemudian menjadi penyakit jantung koroner
5. Penyakit pembuluh darah kapiler
Mengenali dan mengelola berbagai faktor risiko terkait terjadinya kaki diabetes
dan ulkus diabetes merupakan hal yang paling sering pada penyakit pembuluh
darah perifer yang dikarenakan penurunan suplai darah di kaki
SELULITIS

1. Pengertian
Selulitis adalah suatu infeksi yang menyerang kulit dan jaringan subkutan.
Tempat yang paling sering terkena adalah ekstremitas, tetapi juga dapat terjadi di kulit
kepala, kepala, dan leher (Cecily, Lynn Betz., 2009). Selulitis merupakan infeksi
bakteri pada jaringan subkutan yang pada orang-orang dengan imunitas normal,
biasanya disebabkan oleh Streptococcus pyrogenes (Graham & Robin., 2005).
Selulitis adalah infeksi lapisan dermis atau subkutis oleh bakteri. Selulitis biasanya
terjadi setelah luka, gigitan di kulit atau karbunkel atau furunkel yang tidak teratasi
(Corwin, Elizabeth J., 2009).

Perbedaan abses dan selulitis (Peterson dan Ellis, 2002; Topaziandan


Goldberg, 2002)
Karakteristik Selulitis Abses
Durasi Akut Kronis
Sakit Berat dan merata Terlokalisis
Ukuran Besar Kecil
Palpasi Indurasi jelas Fluktuasi
Lokasi Difus Berbatas jelas
Adanya pus Tidak ada Ada
Derajat keparahan Lebih berbahaya Tidak darurat
Bakteri Aerob (streptococcus) Anaerob (stafilokokus)
Sifat Difus Terlokalisasi

2. Klasifikasi
Selulitis dapat digolongkan menjadi:
a. Selulitis Sirkumskripta Serous Akut
Selulitis yang terbatas pada daerah tertentu yaitu satu atau dua spasia fasial,
yang tidak jelas batasnya. Infeksi bakteri mengandung serous, konsistensinya
sangat lunak dan spongius. Penamaannya berdasarkan ruang anatomi atau
spasia yang terlibat.
b. Selulitis Sirkumskripta Supurartif Akut
Prosesnya hampir sama dengan selulitis sirkumskripta serous akut, hanya infeksi
bakteri tersebut juga mengandung suppurasi yang purulen. Penamaan
berdasarkan spasia yang dikenainya. Jika terbentuk eksudat yang purulen,
mengindikasikan tubuh bertendensi membatasi penyebaran infeksi dan
mekanisme resistensi lokal tubuh dalam mengontrol infeksi.
Sedangkan Benni et all 1999 dibedakan menjadi:
a. Selulitis Difus Akut
Dibagi lagi menjadi beberapa kelas, yaitu:
a) Ludwig’s Angina
b) Selulitis yang berasal dari inframylohyoid
c) Selulitis Senator’s Difus Peripharingeal
d) Selulitis Fasialis Difus
Perluasan infeksi odontogenik hingga ke regio bukal, fasial, dan subkutaneus
servikal, sehingga berkembang menjadi selulitis fasialis dapat menyebabkan
kematian jika tidak segera diberikan penanganan yang adekuat, Infeksi
odontogenik biasanya disebabkan oleh Streptococcus sp serta
mikroorganisme anerob negatif lainya, namun pada dasarnya, infeksi
odontogenik merupakan infeksi campuran, baik dari bakteri anaerob, maupun
bakteri aerob. Pada 88,4 % kasus selulitis fasialis, penyebabnya adalah
infeksi odontogenik yang berasal dari pulpa dan periodontal, yang berusaha
untuk mencari jalan keluar. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran ini
antara lain : mikroorganisme, asal infeksi, toksisitas yang dihasilkan dan
dikeluarkan mikroorganisme, keadaan umum pasien, serta faktor lokal.
e) Fascitis Necrotizing dan gambaran atypical lainnya
b. Selulitis Kronis
Selulitis kronis adalah suatu proses infeksi yang berjalan lambat karena
terbatasnya virulensi bakteri yang berasal dari fokus gigi. Biasanya terjadi pada
pasien dengan selulitis sirkumskripta yang tidak mendapatkan perawatan yang
adekuat atau tanpa drainase.
c. Selulitis Difus yang Sering Dijumpai
Selulitis difus yang paling sering dijumpai adalah Phlegmone / Angina Ludwig’s .
Angina Ludwig’s merupakan suatu selulitis difus yang mengenai spasia
sublingual, submental dan submandibular bilateral, kadang-kadang sampai
mengenai spasia pharingeal (Berini, Bresco & Gray, 1999 ; Topazian, 2002).
Selulitis dimulai dari dasar mulut. Seringkali bilateral, tetapi bila hanya mengenai
satu sisi/ unilateral disebut Pseudophlegmon.
3. Etiologi
Organisme penyebab selulitis adalah Staphylococcus aureus, streptokokus grup
A, dan Streptococcus pneumoniae (Cecily, Lynn Betz., 2009). Organisme penyebab
bisa masuk ke dalam kulit melalui lecet-lecet ringan atau retakan kulit pada jari kaki
yang terkena tinea pedis, dan pada banyak kasus, ulkus pada tungkai merupakan
pintu masuk bakteri. Faktor predisposisi yang sering adalah edema tungkai, dan
selulitis banyak didapatkan pada orang tua yang sering mengalami edema tungkai
yang berasal dari jantung, vena dan limfe (Graham & Robin., 2005).

4. Faktor Risiko
Rosfanty, (2009) menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang memperparah
resiko dari perkembangan selulitis, antara lain :

a) Usia
Semakin tua usia, kefektifan sistem sirkulasi dalam menghantarkan darah
berkurang pada bagian tubuh tertentu. Sehingga abrasi kulit potensi
mengalami infeksi seperti selulitis pada bagian yang sirkulasi darahnya
memprihatinka.
b) Melemahnya sistem immun (Immunodeficiency)
Dengan sistem immune yang melemah maka semakin mempermudah
terjadinya infeksi. Contoh pada penderita leukemia lymphotik kronis dan
infeksi HIV. Penggunaan obat pelemah immun (bagi orang yang baru
transplantasi organ) juga mempermudah infeksi.
c) Diabetes mellitus
Tidak hanya gula darah meningkat dalam darah namun juga mengurangi
sistem immun tubuh dan menambah resiko terinfeksi. Diabetes mengurangi
sirkulasi darah pada ekstremitas bawah dan potensial membuat luka pada
kaki dan menjadi jalan masuk bagi bakteri penginfeksi.
d) Cacar dan ruam saraf
Karena penyakit ini menimbulkan luka terbuka yang dapat menjadi jalan
masuk bakteri penginfeksi.
e) Pembangkakan kronis pada lengan dan tungkai (lymphedema)
Pembengkakan jaringan membuat kulit terbuka dan menjadi jalan masuk
bagi bakteri penginfeksi.
f) Infeksi jamur kronis pada telapak atau jari kaki
Infeksi jamur kaki juga dapat membuka celah kulit sehingga menambah
resiko bakteri penginfeksi masuk
g) Penggunaan steroid kronik
Contohnya penggunaan corticosteroid.
h) Gigitan & sengat serangga, hewan, atau gigitan manusia
i) Penyalahgunaan obat dan alkohol
Mengurangi sistem immun sehingga mempermudah bakteri penginfeksi
berkembang.
j) Malnutrisi
Sedangkan lingkungan tropis, panas, banyak debu dan kotoran,
mempermudah timbulnya penyakit ini.

5. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis tergantung akut atau tidaknya infeksi. Umumnya semua bentuk
ditandai dengan kemerahan dengan batas jelas, nyeri tekan dan bengkak.
Penyebaran perluasan kemerahan dapat timbul secara cepat di sekitar luka atau ulkus
disertai dengan demam dan lesu. Pada keadaan akut, kadang-kadang timbul bula.
Dapat dijumpai limfadenopati limfangitis. Tanpa pengobatan yang efektif dapat terjadi
supurasi lokal (flegmon, nekrosis atau gangren)
Selulitis biasanya didahului oleh gejala sistemik seperti demam, menggigil, dan
malaise. Daerah yang terkena terdapat 4 kardinal peradangan yaitu rubor (eritema),
color (hangat), dolor (nyeri) dan tumor (pembengkakan). Lesi tampak merah gelap,
tidak berbatas tegas pada tepi lesi tidak dapat diraba atau tidak meninggi. Pada infeksi
yang berat dapat ditemukan pula vesikel, bula, pustul, atau jaringan neurotik.
Ditemukan pembesaran kelenjar getah bening regional dan limfangitis ascenden.
Pada pemeriksaan darah tepi biasanya ditemukan leukositosis (Mansjoer,2000).
Periode inkubasi sekitar beberapa hari, tidak terlalu lama. Gejala prodormal
berupa: malaise anoreksia; demam, menggigil dan berkembang dengan cepat,
sebelum menimbulkan gejala-gejala khasnya. Pasien imunokompromais rentan
mengalami infeksi walau dengan patogen yang patogenisitas rendah. Terdapat gejala
berupa nyeri yang terlokalisasi dan nyeri tekan. Jika tidak diobati, gejala akan menjalar
ke sekitar lesi terutama ke proksimal. Kalau sering residif di tempat yang sama dapat
terjadi elefantiasis.
Lokasi selulitis pada anak biasanya di kepala dan leher, sedangkan pada orang
dewasa paling sering di ekstremitas karena berhubungan dengan riwayat seringnya
trauma di ekstremitas. Pada penggunaan salah obat, sering berlokasi di lengan atas.
Komplikasi jarang ditemukan, tetapi termasuk glomerulonefritis akut (jika disebabkan
oleh strain nefritogenik streptococcus, limfadenitis, endokarditis bakterial subakut).
Kerusakan pembuluh limfe dapat menyebabkan selulitis rekurens.
6. Patofisiologi
(Terlampir)
7. Pemeriksaan Diagnostik
a) Pemeriksaan Laboratorium
a. CBC (Complete Blood Count), menunjukkan kenaikan jumlah leukosit dan rata-
rata sedimentasi eritrosit. Sehingga mengindikasikan adanya infeksi bakteri.
b. BUN level
c. Kreatinin level
d. Kultur darah, dilaksanakan bila infeksi tergeneralisasi telah diduga
e. Mengkultur dan membuat apusan Gram, dilakukan secara terbatas pada daerah
penampakan luka namun sangat membantu pada area abses atau terdapat bula.
f. Pemeriksaan laboratorium tidak dilaksanakan apabila penderita belum
memenuhi beberapa kriteria; seperti area kulit yang terkena kecil, tidak terasa
sakit, tidak ada tanda sistemik (demam, dingin, dehidrasi, takipnea, takikardia,
hipotensi), dan tidak ada faktor resiko
(Rosfanty, 2009).
b) Pemeriksaan Imaging
a. Plain-film Radiography, tidak diperlukan pada kasus yang tidak lengkap
(seperti kriteria yang telah disebutkan)
b. CT (Computed Tomography)
Baik Plain-film Radiography maupun CT keduanya dapat digunakan saat tata
klinis menyarankan subjucent osteomyelitis.
c. MRI (Magnetic Resonance Imaging), Sangat membantu pada diagnosis infeksi
selulitis akut yang parah, mengidentifikasi pyomyositis, necrotizing fascitiis, dan
infeksi selulitis dengan atau tanpa pembentukan abses pada subkutaneus
(Rosfanty, 2009).

8. Penatalaksanaan
a. Selulitis pasca trauma, khususnya setelah gigitan hewan, berikan antibiotic untuk
mengatasi basial gram negative dan gram positif. Jika perlu berikan analgesic dan
NSAID untuk mengontrol nyeri dan demam.
b. Insisi dan drainase pada keadaan terbentuk abses.
Incisi drainase merupakan saah satu tindakan dalam ilmu bedah yang
bertujuan untuk mengeluarkan abses atau pus dari jaringan lunak akibat proses
infeksi. Tindakan ini dilakukan pertama dengan melakukan tindakan anestesi
lokal, aspirasi pus pada daerah pembengkakan kemudian kemudian dilakukan
tindakan incise drainase dan pemasangan drain.
c. Perawatan lebih lajut bagi pasien rawat inap:
a) Beberapa pasien membutuhkan terapi antibiotik intravenous. Diberikan
penicillin atau obat sejenis penicillin (misalnya cloxacillin)
b) Jika infeksinya ringan, diberikan sediaan per-oral (ditelan).
c) Biasanya sebelum diberikan sediaan per-oral, terlebih dahulu diberikan
suntikan antibiotik jika: penderita berusia lanjut, selulitis menyebar dengan
segera ke bagian tubuh lainnya, demam tinggi.
d) Jika selulitis menyerang tungkai, sebaiknya tungkai dibiarkan dalam posisi
terangkat dan dikompres dingin untuk mengurangi nyeri dan pembengkakan.
e) Pelepasan antibiotic parenteral pada pasien rawat jalan menunjukan bahwa
dia telah sembuh dari infeksi
f) Perawatan lebih lanjut bagi pasien rawat jalan : perlindungan penyakit
cellulites bagi pasien rawat jalan dapat dilakukan dengan cara memberikan
erythromycin atau oral penicillin dua kali sehari atau intramuscular benzathine
penicillin.
(Corwin, Elizabeth J., 2009)

9. Komplikasi
a) Bakterimea nanah / lokal abses, superinfeksi oleh bakteri gram negatif,
limpangitis, tromboplebitis
b) Facial Selulitis pada anak dapat menyebabkan meningitis
c) Dapat menyebabkan kematian jaringan atau gangren
d) Osteomielitis
e) Atritis septic
f) Glomerulonefritis
g) Fasitis necroticans
(Corwin, Elizabeth J., 2009)

10. ASUHAN KEPERAWATAN

1. PENGKAJIAN
a. Biodata
Berisikan nama,tempat tangal lahir,jenis kelamin,umur,alamat,suku bangsa,
dan penyakit ini dapat menyerang segala usia namun lebih sering menyerang
usia lanjut.
b. Keluhan utama
Pasien merasakan demam,malaise,nyeri sendi dan menggigil.
c. Riwayat penyakit sekarang
Pasien merasakan badanya demam,malaise,disertai dengan nyeri sendi dan
menggigil dan terjadi pada area yang robek pada kulit biasanya terjadi pada
ekstrimitas bawah
d. Riwayat penyakit dahulu
Apakah pasien sebelumnya pernah mengalami sakit seperti ini apakah pasien
alkoholisme dan malnutrisi
e. Riwayat penyakit keluarga
Adakah keluarga yang mengalami sekit yang sama sebelumnya,apakah
keluarga ada riwayat penyakit DM, dan malnutrisi
f. Kebiasaan sehari-hari
Biasanya selulitis ini timbul pada pasien yang higine atau kebersihanya jelek
g. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum : Cukup baik
2) Kesadaran         : composmetis, lemah, pucat
3) TTV                    : biasanya meningkat karena adanya proses infeksi
4) Kepala               : rambut bersih tidak ada luka
5) Mata                  : Konjungtiva anemis,skela tidak ikterik
6) Hidung        : tidak ada polip,hidung bersih
7) Leher       : tidak ada pembesaran kelenjar tiroid
8) Dada       :
 I         : datar,simetris umumnya tidak ada kelainan
 Pa      : ictus cordis tidak tampak
 Pe      : sonor tidak ada kelainan
 A       : tidak ada whezing ronchi
9) Abdomen                    :
 I   : supel datar tidak ada distensi abdomen
 Pa : tidak ada nyeri tekan
 Pe : tidak ada kelainan atau tympani
 A : bising usus normal atau tidak ada kelainan
10)Ekstremitas bawah : Adakah luka pada ekstremitas serta oedem
11)Ekstremitas atas      : Adakah luka pada ekstremitas serta oedem
12)Genetalia          : tidak ada kelainan
13)Integumen         : Gejala awal berupa kemerahan dan nyeri tekan yang
terasa di suatu daerah yang kecil di kulit. Kulit yang terinfeksi menjadi
panas dan bengkak, dan tampak seperti kulit jeruk yang mengelupas
(peau d’orange). Pada kulit yang terinfeksi bisa ditemukan lepuhan kecil
berisi cairan (vesikel) atau lepuhan besar berisi cairan (bula), yang bisa
pecah.
2. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
a. Nyeri Akut
 NOC: Pain Level
 Intervensi
NIC : Pain Management
 Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
 Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
 Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan
dukungan
 Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu
ruangan, pencahayaan dan kebisingan
 Kurangi faktor presipitasi nyeri
 Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
 Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas dala, relaksasi,
distraksi, kompres hangat/ dingin
 Kolaborasi pemberian analgetik untuk mengurangi nyeri
 Tingkatkan istirahat
 Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa
lama nyeri akan berkurang dan antisipasi ketidaknyamanan dari
prosedur
 Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik
pertama kali

b. Kerusakan Integritas Kulit


 NOC: Tissue Integrity : Skin and Mucous Membranes
 Intervensi
NIC: Pressure Management
 Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar
 Hindari kerutan pada tempat tidur
 Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
 Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam sekali
 Monitor kulit akan adanya kemerahan
 Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada derah yang tertekan
 Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien
 Monitor status nutrisi pasien
 Memandikan pasien dengan sabun dan air hangat
 Kaji lingkungan dan peralatan yang menyebabkan tekanan
 Observasi luka : lokasi, dimensi, kedalaman luka,
karakteristik,warna cairan, granulasi, jaringan nekrotik, tanda-tanda
infeksi lokal, formasi traktus
 Ajarkan pada keluarga tentang luka dan perawatan luka
 Kolaburasi ahli gizi pemberian diae TKTP, vitamin
 Cegah kontaminasi feses dan urin
 Lakukan tehnik perawatan luka dengan steril
 Berikan posisi yang mengurangi tekanan pada luka
c. Risiko Infeksi
 NOC: Risk Control
 Intervensi
Infection Control (Kontrol infeksi)
 Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain
 Pertahankan teknik isolasi
 Batasi pengunjung bila perlu
 Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan saat
berkunjung dan setelah berkunjung meninggalkan pasien
 Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan
 Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan kperawtan
 Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung
 Pertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan alat
 Ganti letak IV perifer dan line central dan dressing sesuai dengan
petunjuk umum
 Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung
kencing
 Tingktkan intake nutrisi
 Berikan terapi antibiotik bila perlu
Infection Protection (proteksi terhadap infeksi)
 Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
 Monitor hitung granulosit, WBC
 Monitor kerentanan terhadap infeksi
 Berikan perawatan kulit pada area epidema
 Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas,
drainase
 Ispeksi kondisi luka / insisi bedah
 Dorong masukkan nutrisi yang cukup
 iorong masukan cairan
 Dorong istirahat
 Instruksikan pasien untuk minum antibiotik sesuai resep
d. Defisiensi Pengetahuan
 NOC :
Kowlwdge : disease process
Kowledge : health Behavior
 Intervensi

NIC : Teaching: Disease Process


1. Berikan penilaian tentang tingkat pengetahuan pasien tentang proses
penyakit yang spesifik
2. Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan
dengan anatomi dan fisiologi
3. Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit
4. Gambarkan proses penyakit
5. Identifikasi kemungkinan penyebab
6. Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi
7. Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin diperlukan untuk
mencegah komplikasi di masa yang akan datang dan atau proses
pengontrolan penyakit
8. Diskusikan pilihan terapi atau penanganan
9. Dukung pasien untuk mengeksplorasi atau mendapatkan second opinion
dengan cara yang tepat atau diindikasikan
10. Eksplorasi kemungkinan sumber atau dukunga
11. Instruksikan pasien mengenai tanda dan gejala untuk melaporkan pada
pemberi perawatan kesehatan
e. Resiko Ketidakstabilan kadar glukosa darah
 NOC :
Hyperglikemi Severity
Hypoglikemi Severity

Monitor :
Manajemen Hiperglikemi
Manajemen Hipoglikemi
 Monitor level glukosa darah
 Monitor tanda dan gejala hiperglikemia: puliuria, polidipsi, polipagi,
kelemahan, letargi, malaise, pandangan kabur, sakit kepala
 Monitor tanda dan gejala hipoglikemia: tremor, berkeringat, ansietas,
irritability (mudah marah), tidak sabaran, takikardia, palpitasi, chills
(menggigil),kekakuan kepala terasa ringan, pucat, lapar, mual, sakit
kepala, kelelahan, mengantuk, kelemahan, hangat, pusing, faintness
(tidak sadarkan diri), penglihatan kabur, mimpi buruk, mengigau selama
tidur, paresthesia, kesulitan berkonsentrasi, kesulitan berbicara,
inkoordinasi, perubahan perilaku, bingung, coma, kejang.
 Monitor keton dalam urine
 Monitor tekanan darah dan pulse ortostatis
 Anjurkan  intake cairan oral
 Monitor status cairan (intake dan output)
 Pertahankan akses IV
 Berikan oral hygiene
 Identifikasi kemungkinan penyebab hiperglikemia
 Identifikasi kemungkinan penyebab hipoglikemia
 Bantu pasien dan keluarga untuk menentukan jenis terapi insulin yang
digunakan
 Ajarkan pasien dan keluarga mengenai tanda dan gejala, faktor resiko
dan penanganan hiperglikemia
 Ajarkan pasien dan keluarga mengenai tanda dan gejala, faktor resiko
dan penanganan hipoglikemia
 Ajarkan pasien untuk selalu menyediakan karbohidrat sederhana
 Ajarkan pasien cara menggunakan insuli
Daftar pustaka
Arif, Mansjoer, dkk. (2000). Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3. Medica.
Aesculpalus, FKUI, Jakarta.
Brunner & Suddarth. (2002). Buku Ajar : Keperawatan Medikal Bedah. EGC: Jakarta
Cecily, Lynn Betz.(2009).Buku Saku Keperawatan Pediatri. Jakarta: EGC.
Corwin, Elizabeth J. (2009). Patofisiologi: Buku Saku. Jakarta: EGC.
Doengoes, Marilynn E. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan pasien. Penerbit Buku
Kedokteran, EGC: Jakarta
Graham & Robin. (2005). Dermatologi:Catatan Kuliah. Jakarta: Erlangga.
Djuanda, Adhi. 2008. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Fitzpatrick, Thomas B. 2008. Dermatology in General Medicine, seventh edition.
New York: McGrawHill
Betz, Cecily lynn; Sowden, Linda A. 2009. buku saku keperawatan pediatric. Ed 5.
Jakarta: EGC.
Price, Sylvia. 2000. Patofisiologi : konsep klinis proses – proses penyakit. Jakarta:
EGC

(RISKESDAS), Riset Kesehatan Dasar. (2013). Laporan Nasional RISKESDAS


2013. Jakarta: Ministry of Health Indonesia.
Badr, G. (2013). Camel whey protein enhances diabetic wound healing in a
streptozotocin-induced diabetic mouse model: the critical role of β-Defensin-1,
-2 and -3. Lipid in Health and Desease, 46(12).
Mekala, S., M, N. K., Das, L., Shetty, N., Amuthan, A., Vulli, V., et al. (2014).
Evaluation of wound healing activity of ethanolic extract of lantana camara in
streptozotocin induced diabetic rats. International Journal of Pharmacy and
Pharmaceutical Sciences, 6(1).

Anda mungkin juga menyukai