Disusun Oleh :
LAELASARI, S.Kep
A. Pengertian
Hipoglikemia merupakan penyakit yang disebabkan oleh kadar gula darah
(glukosa) yang rendah. Dalam keadaan normal, tubuh mempertahankan kadar gula
darah antara 70-110 mg/dl. (Aina Abata, 2014)
Hipoglikemia merupakan salah satu komplikasi akut yang dialami oleh
penderita diabetes mellitus. Hipoglikemia disebut juga sebagai penurunan kadar gula
darah yang merupakan keadaan dimana kadar glukosa darah berada di bawah normal,
yang dapat terjadi karena ketidak seimbangan antara makanan yang dimakan, aktivitas
fisik dan obat-obatan yang digunakan. Sindrom hipoglikemia ditandai dengan gejala
klinis antara lain penderita merasa pusing, lemas, gemetar, pandangan menjadi kabur
dan gelap, berkeringat dingin, detak jantung meningkat dan terkadang sampai hilang
kesadaran. (Nabyl, 2014)
Hipoglikemia merupakan salah satu kegawatan diabetik sebagai akibat dari
menurunnya kadar glukosa darah, yaitu mencapai kurang dari 50 mg/100 ml darah
(Eliabeth J. Corwin, 2015). Kadar gula darah normal adalah 80-120 mg/dl pada
kondisi puasa dan 100-180 mg/dl pada kondisi setelah makan. Adapun batasan
hipoglikemia adalah :
1. Hipoglikemia murni: ada gejala hipoglikemi, glukosa darah < 60 mg/dl
2. Reaksi hipoglikemia: gejala hipoglikemi bila gula darah turun mendadak,
misalnya dari 400 mg/dl menjadi 150 mg/dl
3. Koma hipoglikemia: koma akibat gula darah < 30 mg/dl
4. Hipoglikemia reaktif: gejala hipoglikemi yang terjadi 3-5 jam sesudah makan
atau terjadi sebagai reaksi terhadap karbohidrat.
Jadi dapat disimpulkan bahwa hipoglikemia adalah kadar glukosa darah yang
terlalu rendah sampai dibawah 60 mg/dl, keadaan ini bisa menjadi gawat darurat dan
memerlukan pertolongan segera.
B. Etiologi
Adapun penyebab hipoglikemia yaitu :
1. Dosis suntikan insulin terlalu banyak
Saat menyuntikan obat insulin, anda harus tahu dan paham dosis obat yang
anda suntik sesuai dengan kondisi gula darah saat itu. Celakanya, terkadang pasien
tidak dapat memantau kadar gula darahnya sebelum disuntik, sehingga dosis yang
disuntikan tidak sesuai dengan kadar gula darah saat itu. Memang sebaiknya bila
menggunakan insulin suntik, pasien harus memiliki monitor atau alat pemeriksa
gula darah sendiri.
2. Lupa makan atau makan terlalu sedikit
Penderita diabetes sebaiknya mengkonsumsi obat insulin dengan kerja
lambat dua kali sehari dan obat yang kerja cepat sesaat sebelum makan. Kadar
insulin dalam darah harus seimbang dengan makanan yang dikonsumsi. Jika
makanan yang anda konsumsi kurang maka keseimbangan ini terganggu dan
terjadilah hipoglikemia.
3. Aktifitas terlalu berat
Olah raga atau aktifitas berat lainnya memiliki efek yang mirip dengan
insulin. Saat anda berolah raga, anda akan menggunakan glukosa darah yang
banyak sehingga kadar glukosa darah akan menurun. Maka dari itu, olah raga
merupakan cara terbaik untuk menurunkan kadar glukosa darah tanpa
menggunakan insulin.
4. Minum alkohol tanpa disertai makan
Alkohol menganggu pengeluaran glukosa dari hati sehingga kadar glukosa
darah akan menurun.
5. Menggunakan tipe insulin yang salah pada malam hari
Pengobatan diabetes yang intensif terkadang mengharuskan anda
mengkonsumsi obat diabetes pada malam hari terutama yang bekerja secara lambat.
Jika anda salah mengkonsumsi obat misalnya anda meminum obat insulin kerja
cepat di malam hari maka saat bangun pagi, anda akan mengalami hipoglikemia.
6. Penebalan di lokasi suntikan
Dianjurkan bagi mereka yang menggunakan suntikan insulin agar merubah
lokasi suntikan setiap beberapa hari. Menyuntikan obat dalam waktu lama pada
lokasi yang sama akan menyebabkan penebalan jaringan. Penebalan ini akan
menyebabkan penyerapan insulin menjadi lambat.
7. Kesalahan waktu pemberian obat dan makanan
Tiap tiap obat insulin sebaiknya dikonsumsi menurut waktu yang
dianjurkan. Anda harus mengetahui dan mempelajari dengan baik kapan obat
sebaiknya disuntik atau diminum sehingga kadar glukosa darah menjadi seimbang
8. Penyakit yang menyebabkan gangguan penyerapan glukosa
Beberapa penyakit seperti celiac disease dapat menurunkan penyerapan
glukosa oleh usus. Hal ini menyebabkan insulin lebih dulu ada di aliran darah
dibandingan dengan glukosa. Insulin yang kadung beredar ini akan menyebabkan
kadar glukosa darah menurun sebelum glukosa yang baru menggantikannya.
9. Gangguan hormonal
Orang dengan diabetes terkadang mengalami gangguan hormon glukagon.
Hormon ini berguna untuk meningkatkan kadar gula darah. Tanpa hormon ini maka
pengendalian kadar gula darah menjadi terganggu.
10. Pemakaian aspirin dosis tinggi
Aspirin dapat menurunkan kadar gula darah bila dikonsumsi melebihi dosis 80 mg.
11. Riwayat hipoglikemia sebelumnya
Hipoglikemia yang terjadi sebelumnya mempunyai efek yang masih terasa dalam
beberapa waktu. Meskipun saat ini anda sudah merasa baikan tetapi belum
menjamin tidak akan mengalami hipoglikemia lagi.
Gambar Pankreas
2. Fisiologi
Pankreas merupakan kelenjar eksokrin (pencernaan) sekaligus kelenjar endokrin.
a. Fungsi endokrin
1) Sel pankreas yang memproduksi hormon disebut sel pulau Langerhans,
yang terdiri dari sel alfa yang memproduksi glukagon dan sel beta yang
memproduksi insulin.
2) Glukagon: Efek glukagon secara keseluruhan adalah meningkatkan kadar
glukosa darah dan membuat semua jenis makanan dapat digunakan untuk
proses energi. Glukagon merangsang hati untuk mengubah glikogen
menurunkan glukosa (glikogenolisis) dan meningkatkan penggunaan lemak
dan asam amino untuk produksi energi. Proses glukoneogenesis merupakan
pengubahan kelebihan asam amino menjadi karbohidrat sederhana yang
dapat memasuki reaksi pada respirasi sel.Sekresi glukagon dirangsang oleh
hipoglikemia. Hal ini dapat terjadi pada keadaaan lapar atau selama stres
fisiologis, misalnya olahraga.
3) Insulin: Efek insulin adalah menurunkan kadar glukosa darah dengan
meningkatkan penggunaan glukosa untuk produksi energi. Insulin
meningkatkan transport glukosa dari darah ke sel dengan meningkatkan
permeabilitas membran sel terhadap glukosa (namun otak, hati, dan sel-sel
ginjal tidak bergantung pada insulin untuk asupan glukosa). Di dalam sel,
glukosa digunakan digunakan pada respirasi sel untuk menghasilkan energi.
Hati dan otot rangka mengubah glukosa menjadi glikogen (glikogenesis)
yang disimpan untuk digunakan di lain waktu. Insulin juga memungkinkan
sel-sel untuk mengambil asam lemak dan asam amino untuk digunakan
dalam sintesis lemak dan protein (bukan untuk produksi energi). Insulin
merupakan hormon vital; kita tidak dapat bertahan hidup untukwaktu yang
lama tanpa hormon tersebut. Sekresi insulin dirangsang oleh hiperglikemia.
Keadaan ini terjadi setelah makan, khususnya makanan tinggi karbohidrat.
Ketika glukosa diabsorbsi dari usus halus ke dalam darah, insulin
disekresikan untuk memungkinkan sel menggunakan glukosa untuk energi
yang dibutuhkan segera. Pada saat bersamaan, semua kelebihan glukosa
akan disimpan di hati dan otot sebagai glikogen.
b. Fungsi eksokrin
1) Kelenjar eksokrin pada paankreas disebut acini, yang menghasilkan enzim
yang terlibat pada proses pencernaan ketiga jenis molekul kompleks
makanan.
2) Enzim pankreatik amilase akan mencerna zat pati menjadi maltosa. Kita
bisa menyebutnya enzim “cadangan” untuk amilase saliva.
3) Lipase akan mengubah lemak yang teremulsi menjadi asam lemak dan
gliserol. Pengemulsifan atau pemisahan lemak pada garam empedu akan
meningkatkan luas permukaan sehingga enzim lipase akan dapat bekerja
secara efektif.
4) Tripsinogen adalah suatu enzim yang tidak aktif, yang akan
menjadi tripsin aktif di dalam duodenum. Tripsin akan mencerna
polipeptida menjadi asam-asam amino rantai pendek.
5) Cairan enzim pankreatik dibawa oleh saluran-saluran kecil yang kemudian
bersatu membentuk saluran yang lebih besar, dan akhirnya masuk ke
dalam duktus pankreatikus mayor. Duktus tambahan juga bisa muncul.
Duktus pankreatikus mayor bisa muncul dari sisi medial pankreas dan
bergabung dengan duktus koledokus komunis untuk kemudian menuju ke
duodenum.
6) Pankreas juga memproduksi cairan bikarbonat yang bersifat basa. Karena
cairan lambung yang memasuki duodenum bersifat sangat asam, ia harus
dinetralkan untuk mencegah kerusakan mukosa duodenum. Prose penetralan
ini dilaksanakan oleh natrium bikarbonat di dalam getah pankreas, dan pH
kimus yang berada di dalam duodenum akan naik menjadi sekitar 7,5.
7) Sekresi cairan pankreas dirangsang oleh hormon sekretin dan kolesistokinin,
yang diproduksi oleh mukosa duodenum ketika kismus memasuki
intestinum tenue.
8) Sekretin meningkatkan produksi cairan bikarbonat oleh pankreas, dan
kolesistokinin akan merangsang sekresi enzim pankreas.
D. Manifestasi Klinis
Gejala-gejala hipoglikemia terdiri dari 2 fase, yaitu :
1. Fase 1: gejala-gejala akibat aktivasi pusat autonom di hipotalamus sehingga
hormon epinefrin dilepaskan. Gejalanya berupa palpitasi, keluar banyak keringat,
tremor, ketakutan, rasa lapar dan mual (glukosa turun 50 mg%). Gejala awal ini
merupakan peringatan karena pada saat itu pasien masih sadar sehingga dapat
diambil tindakan yang perlu untuk mengatasi hipoglikemi lanjut.
2. Fase 2: gejala-gejala yang terjadi akibat mulai terganggunya fungsi otak, sehingga
dinamakan gejala neurologis. Gejala- gejala yang terjadi akibat mulai terjadinya
gangguan fungsi otak, gejalanya berupa pusing, pandangan kabur, ketajaman
mental menurun, hilangnya ketrampilan motorik yang halus, penurunan kesadaran,
kejang- kejang dan koma (glukosa darah 20 mg%). (Arif Mansjoer, 2001)
E. Patofisiologi
Dalam diabetes, hipoglikemia terjadi akibat kelebihan insulin relative ataupun
absolute dan juga gangguan pertahanan fisiologis yaitu penurunan plasma glukosa.
Mekanisme pertahanan fisiologis dapat menjaga keseimbangan kadar glukosa darah,
baik pada penderita diabetes tipe I ataupun pada penderita diabetes tipe II. Glukosa
sendiri merupakan bahan bakar metabolisme yang harus ada untuk otak. Efek
hipoglikemia terutama berkaitan dengan sistem saraf pusat, sistem pencernaan dan
sistem peredaran darah (Kedia, 2011). Glukosa merupakan bahan bakar metabolisme
yang utama untuk otak. Selain itu otak tidak dapat mensintesis glukosa dan hanya
menyimpan cadangan glukosa (dalam bentuk glikogen) dalam jumlah yang sangat
sedikit. Oleh karena itu, fungsi otak yang normal sangat tergantung pada konsentrasi
asupan glukosa dan sirkulasi. Gangguan pasokan glukosa dapat menimbulkan
disfungsi sistem saraf pusat sehingga terjadi penurunan suplay glukosa ke otak.
Karena terjadi penurunan suplay glukosa ke otak dapat menyebabkan terjadinya
penurunan suplay oksigen ke otak sehingga akan menyebabkan pusing, bingung,
lemah (Kedia, 2011).
Konsentrasi glukosa darah normal, sekitar 70-110 mg/dL. Penurunan
kosentrasi glukosa darah akan memicu respon tubuh, yaitu penurunan kosentrasi
insulin secara fisiologis seiring dengan turunnya kosentrasi glukosa darah,
peningkatan kosentrasi glucagon dan epineprin sebagai respon neuroendokrin pada
kosentrasi glukosa darah di bawah batas normal, dan timbulnya gejala gejala
neurologic (autonom) dan penurunan kesadaran pada kosentrasi glukosa darah di
bawah batas normal (Setyohadi, 2012). Penurunan kesadaran akan mengakibatkan
depresan pusat pernapasan sehingga akan mengakibatkan pola nafas tidak efektif
(Carpenito, 2007). Batas kosentrasi glukosa darah berkaitan erat dengan system
hormonal, persyarafan dan pengaturan produksi glukosa endogen serta penggunaan
glukosa oleh organ perifer. Insulin memegang peranan utama dalam pengaturan
kosentrasi glukosa darah. Apabila konsentrasi glukosa darah menurun melewati batas
bawah konsentrasi normal, hormon-hormon konstraregulasi akan melepaskan. Dalam
hal ini, glucagon yang diproduksi oleh sel α pankreas berperan penting sebagai
pertahanan utama terhadap hipoglikemia. Selanjutnya epinefrin, kortisol dan hormon
pertumbuhan juga berperan meningkatkan produksi dan mengurangi penggunaan
glukosa. Glukagon dan epinefrin merupakan dua hormon yang disekresi pada kejadian
hipoglikemia akut. Glukagon hanya bekerja dalam hati. Glukagon mula-mula
meningkatkan glikogenolisis dan kemudian glukoneogenesis, sehingga terjadi
penurunan energi akan menyebabkan ketidakstabilan kadar glukosa darah (Herdman,
2010).
Penurunan kadar glukosa darah juga menyebabkan terjadi penurunan perfusi
jaringan perifer, sehingga epineprin juga merangsang lipolisis di jaringan lemak serta
proteolisis di otot yang biasanya ditandai dengan berkeringat, gemetaran, akral dingin,
klien pingsan dan lemah (Setyohadi, 2012). Pelepasan epinefrin, yang cenderung
menyebabkan rasa lapar karena rendahnya kadar glukosa darah akan menyebabkan
suplai glukosa ke jaringan menurun sehingga masalah keperawatan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh dapat muncul (Carpenito, 2007).
F. Pathway
Glukosa
meningkat
Dosis insulin terlalu Diabetes Melitus Puasa/ intake
tinggi kurang
HIPOGLIKEMIA
Glikogenolisis
Dispnea
Hiperventilasi
(Herdman & Kamitsuru, 2015; Nurarif & Kusuma, 2015; Smelltzer & Bare, 2009)
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Gula darah puasa: Diperiksa untuk mengetahui kadar gula darah puasa (sebelum
diberi glukosa 75 gram oral) dan nilai normalnya antara 70- 110 mg/dl.
2. Gula darah 2 jam post prandial: Diperiksa 2 jam setelah diberi glukosa dengan
nilai normal < 140 mg/dl/2 jam
3. HBA1c: Pemeriksaan dengan menggunakan bahan darah untuk memperoleh kadar
gula darah yang sesungguhnya karena pasien tidak dapat mengontrol hasil tes
dalam waktu 2-3 bulan. HBA1c menunjukkan kadar hemoglobin terglikosilasi
yang pada orang normal antara 4-6%. Semakin tinggi maka akan menunjukkan
bahwa orang tersebut menderita DM dan beresiko terjadinya komplikasi.
4. Elektrolit, tejadi peningkatan creatinin jika fungsi ginjalnya telah terganggu
5. Leukosit, terjadi peningkatan jika sampai terjadi infeksi
H. Komplikasi
Komplikasi dari hipoglikemia pada gangguan tingkat kesadaran yang berubah
selalu dapat menyebabkan gangguan pernafasan dan mengakibatkan kerusakan otak
akut. Hipoglikemia berkepanjangan parah bahkan dapat menyebabkan gangguan
neuropsikologis sedang sampai dengan gangguan neuropsikologis berat karena efek
hipoglikemia berkaitan dengan system saraf pusat yang biasanya ditandai oleh
perilaku dan pola bicara yang abnormal (Jevon, 2010) dan menurut Kedia (2011)
hipoglikemia yang berlangsung lama bisa menyebabkan kerusakan otak yang
permanen, juga dapat menyebabkan koma sampai kematian.
I. Penatalaksanaan
Menurut Kedia (2011), pengobatan hipoglikemia tergantung pada keparahan
dari hipoglikemia. Hipoglikemia ringan mudah diobati dengan asupan karbohidrat
seperti minuman yang mengandung glukosa, tablet glukosa, atau mengkonsumsi
makanan ringan. Dalam Setyohadi (2011), pada minuman yang mengandung glukosa,
dapat diberikan larutan glukosa murni 20-30 gram (1 ½ - 2 sendok makan). Pada
hipoglikemia berat membutuhkan bantuan eksternal, antara lain (Kedia, 2011) :
1. Dekstrosa: Untuk pasien yang tidak mampu menelan glukosa oral karena pingsan,
kejang, atau perubahan status mental, pada keadaan darurat dapat pemberian
dekstrosa dalam air pada konsentrasi 50% adalah dosis biasanya diberikan kepada
orang dewasa, sedangkan konsentrasi 25% biasanya diberikan kepada anak-anak.
Bila diperlukan pemberian glukosa cepat (IV) satu flakon (25 cc) Dex 40% (10 gr
Dex) setiap 10-20 menit sampai pasien sadar, disertai infuse dekstrosa 10% 6
kolf/jam. Dapat menaikkan kadar glukosa kurang lebih 25-30 mg/dl.
2. Glukagon: Sebagai hormon kontra-regulasi utama terhadap insulin, glukagon
adalah pengobatan pertama yang dapat dilakukan untuk hipoglikemia berat. Tidak
seperti dekstrosa, yang harus diberikan secara intravena dengan perawatan
kesehatan yang berkualitas profesional, glukagon dapat diberikan oleh subkutan
(SC) atau intramuskular (IM) injeksi oleh orang tua atau pengasuh terlatih. Hal ini
dapat mencegah keterlambatan dalam memulai pengobatan yang dapat dilakukan
secara darurat.
J. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian keperawatan gawat darurat pada pasien hipoglikemia antara lain :
1. Pengkajian Primery Survey ABCD, dengan hasil yang meliputi:
a. Airway: Tidak ada gangguan jalan nafas, jalan nafas bersih, tidak ada obstruksi,
tidak ada sekret, suara paru vesikuler.
b. Breathing: Frekuensi nafas >24 x/menit, pola nafas teratur, irama teratur, tidak
menggunakan otot bantu pernafasan, suara auskultasi paru vesikuler kanan dan
kiri, suara nafas bersih.
c. Circulation: Hipotensi (<100/60 mmHg), bradikardi (nadi teraba lemah, <60
x/menit), hipotermi (35,8oC), akral dingin, capillary refill kembali <2 detik,
anemis.
d. Disability: Terjadi penurunan kesadaran, tremor, lemas, gelisah, pupil isokor.
2. Pengkajian Secondary Survey AMPLE, ditemukan hasil antara lain:
a. Alergi : Pasien mempunyai alergi atau tidak terhadap makanan dan obat-
obatan.
b. Medikasi : Pengobatan yang dilakukan pasien sebelum sakit, apakah langsung
pergi berobat ke dokter atau mengkonsumsi obat warung.
c. Past Illness : Riwayat penyakit dahulu yang diderita pasien.
d. Last Meal : Makanan terakhir yang dimakan oleh pasien sebelum pergi ke
rumah sakit.
e. Evenvironment : Lingkungan pasien, dimana pasien tinggal apakah didaerah
perkampungan atau perkotaan. Dalam satu rumah pasien tinggal bersama anak,
menantu atau saudara yang lain. (Baradero, 2009)
K. Pemeriksaan Fisik
1. Pucat
2. Diaphoresis
3. Penurunan kesadaran
4. Deficit neurologik fokal transient
5. Palpitasi
6. Keringat berlebihan
7. Tremor
8. Ketakutan
9. Pusing
10. Pandangan kabur
11. Akral dingin
12. Anemis dan hilangnya skill motorik halus
L. Diagnosa Keperawatan
Beberapa diagnosa keperawatan menurut NANDA (2009) dan intervensi
keperawatan NIC NOC, menurut Judith (2007) antara lain :
1. Ketidakefektifan pola napas b.d keletihan (00032)
2. Penurunan curah jantung b.d perubahan kontraktilitas (00029)
3. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak b.d Kurangnya suplai oksigen ke otak
(00201)
4. Resiko ketidaksetabilan kadar glukosa darah b.d gangguan status kesehatan fisik
(ketidakmampuan ginjal mensekresi insulin) (00179)
M. Rencana Keperawatan
NO DIAGNOSA NOC NIC
KEPERAWATAN
1 1. Ketidakefektifan Setelah dilakukan Airway management
pola napas b.d tindakan 3x7 jam (3140)
keletihan (00032) diharapkan pasien 1. Buka jalan nafas
menunjukkan pola napas 2. Posisikan pasien untuk
yang efektif dengan memaksimalkan
kriteria hasil: ventilasi
a. Frekuensi napas 3. Identifikasi pasien
dalam rentang perlunya pemasangan
normal, RR 16-20 alat jalan nafas buatan
kali/ menit 4. Lakukan fisioterapi
b. Klien tidak kesulitan dada jika perlu
bernapas 5. Keluarkan sekret
c. Tidak ada otot bantu dengan batuk atau
pernapasan suction
d. Tidak ada pernapasan 6. Auskultasi suara nafas,
cupping hidung catat adanya suara
e. Saturasi oksigen tambahan
dalam batas normal
f. Saat diauskultasi tidak Oxygen therapy (3320)
terdengar bunyi napas 1. Bersihkan mulut,
tambahan hidung dan sekret
trakea
2. Pertahankan jalan
nafas yang paten
3. Atur peralatan
oksigenasi
4. Monitor aliran
oksigen
5. Pertahankan posisi
pasien
6. Observasi adanya
tanda-tanda
hipoventilasi
7. Monitor adanya
kecemasan pasien
terhadap oksigenasi
Graham, C. ., & Parke, T. R. . (2004). Critical Care in The Emergency Department: Shock
and Circulatory Support. Emerg Med, 22(1), 17–21.
Herdman, T. H., & Kamitsuru, S. (2015). Diagnosis Keperawatan dan Klasifikasi 2015-
2017. Jakarta: EGC.
Lefebvre PJ, & Scheen AJ. (2003). Hypoglycemia (6th ed.). New York: Mc Graw Hill.
Morton, P. ., Fontaine, D., Hudak, C. ., & Gallo, B. . (2013). Keperawatan Kritis (8th ed.).
Jakarta: EGC.
Rubenstein, D., Wayne, D., & Bradley, J. (2007). Kedokteran Klinis. Jakarta: Erlangga.
Soeatmadji, D. (2008). Hipoglikemia Iatrogenik (5th ed.). Jakarta: Pusat Penerbitan Depa
rtemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Thim, T., Krarup, N. ., Grove, E. ., Rohde, C. ., & Lofgren, B. (2012). Initial Assesment
and Treatment with the Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure
(ABCDE) Approach.
Younk LM, Mikeladze M, Tate D, & Davis SN. (2011). Exercise-Related Hypoglycemia in
Diabetes Mellitus. Expert Review End Ocrinology Metabolism, 6, 93–108.
SATUAN ACARA PENYULUHAN
DIABETES MILITUS
Disusun Oleh :
LAELASARI, S.Kep
I. Tujuan Umum
Setelah mendapatkan penyuluhan selama 30 menit tentang penyakit diabetes mellitus
peserta penyuluhan dapat mengerti, menghayati dan melaksanakan hidup sehat melalui
pendekatan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) sehingga komplikasi pada DM
dapat dicegah.
III. Metode
1. Diskusi
2. Tanya jawab
IV. Media
Leaflet
V. Kegiatan belajar Mengajar
No Tahap Waktu Kegiatan penyuluh Kegiatan peserta
1 Pembukaan 5 menit a. Salam Menjawab salam
b. Perkenalan Mendengarkan
c. Menjelaskan tujuan dari
pertemuan
d. Kontrak waktu
e. Apersepsi Menjawab
B. Etiologi
Beberapa faktor yang berkaitan dengan penyebab diabetes mellitus pada lansia
(Jeffrey) :
1. Umur yang berkaitan dengan penurunan fungsi sel pankreas dan sekresi insulin.
2. Umur yang berkaitan dengan resistensi insulin akibat kurangnya massa otot dan
perubahan vaskuler.
3. Obesitas, banyak makan.
4. Aktivitas fisik yang kurang
5. Penggunaan obat yang bermacam-macam.
6. Keturunan
7. Keberadaan penyakit lain, sering menderita stress
Selain itu, diabetes tipe 2 yang sering di derita oleh lansia disebabkan oleh sekresi
insulin yang tidak normal, resistansi terhadap kerja insulin pada jaringan target, dan
kegagaln glukoneogenesis hepatic.
Epidemiologi:
Pendapat umum menyatakan bahwa pada usia lanjut kita hanya berhadapan dengan
Diabetes tipe II (DM-2). Memang sebagian besar benar demikian, tetapi kini ada
tendensi lain karena Diabetes tipe I (DM-1) di usia lanjut bertambah, ditambah pula
dengan insulin requring cases, LADA. Meskipun ada impared immunological response,
kerusakan sel beta primer (DM-1) masih mungkin terjadi pada usia lanjut. Di usia
lanjut terdapat 5% IGF ringan atau berat (Marble, 1985). Di Barat 1/6 populasi di atas
60 tahun DM dan diatas 85 tahun ¼-nya diabetes (Goldberg, 1987). Di USA 10,6%
usia di bawah 40 tahun menderita diabetes, sedang di atas 80 tahun 40% diabetes. Pada
usia sehat sehingga umur 73 tahun, disimpulkan oleh Coon (1992) bahwa sensitivitas
insulin dan toleransi glukosa dipengaruhi terutama oleh distribusi lemak regional
(WHR), dan bukannya oleh usia, obesitas ataupun VO2 max (Coon,1992). Pada lansia,
jumlah diabetes tipe 2 terhitung 90 % kasus
C. Klasifikasi
Diabetes dapat terjadi dalam dua bentuk utama: tipe 1, diabetes mellitus yang
bergantung insulin, dan yang lebih prevalen tipe 2, diabetes mellitus yang tiding
tergantung insulin. Pada lansia, diabetes tipe 2 paling banyak diderita, sekitar 90%
Seiring pertambahan usia, sel-sel tubuh menjadi lebih resistan terhadap insulin, yang
mengurangi kemampuan lansia untuk memetabolisme glukosa. Selain itu , pelepasan
insulin dari sel beta pancreas berkurang dan melambat. Hasil dari kombinasi proses ini
adalah hiperglikemia. Pada pasien lansia, konsentrasi glukosa yang mendadak dapat
meningkatkan dan lebih memperpanjang hiperglikemia
E. KRITERIA DIAGNOSIS
Kriteria diagnostik DM menurut PERKENI 2006 atau yang dianjurkan ADA
(American Diabetes Association) yaitu bilatredapat salah satu atau lebih hasil
pemeriksaan gula darah dibawah ini:
1. Kadar gula darah sewaktu (plasma vena) lebih atau sama dengan 200 mg/dl
2. Kadar gula darah puasa (plasma vena) lebih atau sama dengan 126 mg/dl
3. Kadar glukosa plasma lebih atau sama dengan 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban
glukosa 75 gram pada tes toleransi glukosa oral (TTGO).
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium :
1. Kadar glukosa serum puasa dan pemeriksaan toleransi glukosa yang memberikan
diagnosis definitive diabetes. Akan tetapi, pada lansia, pemeriksaan glukosa serum
postprandial 2 jam dan pemeriksaan toleransi glukosa oral lebih membentu
menegakkan diagnosis karena lansia mungkin memiliki kadar glukosa puasa
hamper normal tetapi mengalami hiperglikemia berkepanjangan setelah makan.
2. Pemeriksaan hemoglobin terglikosilasi (hemoglobin A atau HbA1c ), yang
menggambarkan kadar rata-rata glukosa serum 3 bulan sebelumnya, biasanya
dilakukan untuk memantau keefektifan terapi antidiabetik.
3. Fruktosamina seru, yang menggambarkan kadar glukosa serum rata-rata selama 2
sampai 3 minggu sebelumnya, merupakan indicator yang lebih baik pada lansia
karena kurang menimbulkan kesalahan.
G. PENATALAKSANAAN
Menurut Steven diperkirakan 25 – 50% dari DM lansia dapat dikendalikan dengan
baik hanya dengan diet saja. 3% membutuhkan insulin dan 20 – 45% dapat diobati
dengan oral anti diabetik dan diet saja.
Para ahli berpendapat bahwa sebagian besar DM pada lansia adalah tipe II, dan dalam
penatalaksanaannya perlu diperhatikan kasus perkasus, cara hidup pasien, keadaan gizi
dan kesehatannya, adanya penyakit lain yang menyeertai serta ada/tidaknya komplikasi
DM.
Obesitas, penurunan aktivitas fisik, penyakit yang sudah ada dan kebiasaan makan
yang buruk meningkatkan risiko diabetes tipe 2 pada lansia. Pada geriatric yang dapat
menurunkan resiko menderita diabetes dengan :
1. Mempertahankan berat badan dalam kisaran ideal terhadap tinggi badan, usia dan
jenis kelaminnya.
2. Membatasi lemak 20 % sampai 30 % dalam dietnya
3. Olahraga secara teratur
4. Menjaga gangguan lain yang mungkin diderita lansia tetap di control.
Pedoman penatalaksanaan DM lansia adalah :
1. Menilai penyakitnya secara menyeluruh dan memberikan pendidikan kepada pasien
dan keluarganya.
2. Menghilangkan gejala-gejala akibat hiperglikemia (quality of life) seperti rasa haus,
sering kencing, lemas, gatal-gatal.
3. Lebih bersifat konservatif, usahakan agar glukosa darah tidak terlalu tinggi (200-
220 mg/dl) post prandial dan tidak sampai normal betul karena bahaya terjadinya
hipoglikemia.
Mengendalikan glukosa darah dan berat badan sambil menghindari resiko
hipoglikemia.
H. Komplikasi
1. Makroangiopati (aterosklerosis), mikroangiopati, dan neuropati perifer (biasanya
terjadi di tangan dan kaki serta dapat menyebabkan kebas atau nyeri dan
kemungkinan lesi kulit), neuropati otonom (biasanya terjadi mualdan rasa penuh
setelah makan, hal ini disebabkan oleh keterlambatan pengosongan lambung, diare
nocturnal, dan impotensi).
2. Koma hiperosmolaritas dimana glukosa darah didapatkan sangat tinggi (>600
mg/dL)
3. Hipernatremia, osmolaritas tinggi (>350 m Osm/L)
4. Hipoglikemia adalah komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita diabetes
yang diobati dengan insulin atau obat-obatan antidiabetik oral. Hal ini mungkin
disebabkan oleh pemberian insulin berlebih, asupan kalori yang tidak adekuat,
konsumsi alcohol, atau olahraga yang berlebiha
Daftar Pustaka
Brunner, Suddarth. 2015. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol.3. EGC.
Jakarta
NANDA International, 2016, Nursing Diagnosis Classification 2005 – 2006, USA
www.medicastore.com, 2017, Informasi tentang penyakit : Diabetes Melitus
Mansjoer, Arif, dkk. 2014. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 5 Jilid 2. Jakarta: Media
Aesculapius
Sylviana. 1996. Kapita Selekta Kedokteran Buku 1. EGC. Jakarta
Price, Sylvia A, Wilson, Lorraine M. 2015.Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta : EGC
Makanan yang dianjurkan untuk pasien boleh dikonsumsi,tetapi dibatasi l00gram Asupan Pola Makan (Diit) Pasien
setiap hari. Jenis Sayuran golongan B
diabetes melitus
diantaranya buncis,daun melinjo, daun pakis, Diabetes Melitus
1. Sumber Karbohidrat
daun singkong, daun Pepaya, labu siam, daun
Bahan makanan sumber karbohidrat kompleks
katuk, pare nangka muda, jagung muda,
di antaranya padi, beras merah, bakmi, kentang,
kacang kapri, jantung pisang, labu waluh,
ubi jalar, singkong, gandum, sagu, sereal, roti.
kacang panjang, bayam, dan wortel
2. Sumber Protein Rendah Lemak
Bahan makanan sumber protein rendah lemak
di antaranya ayam tanpa kulit, ikan, yoghurt,
tahu, tempe, dan kacang-kacangan
Makanan
Seimbang Oleh;
3. Buah
Jeruk, belimbing, salak, kedondong, semangka, Makanan
apel, pir, Pepaya, pisang, melon dan buah naga. seimbang Laelasari, S.Kep
4. Sayuran seharusnya
Sayuran memberi :
golongan A
1. Tenaga makanan yang mencukupi.
adalah
2. Karbohidrat, protein dan lemak secara
sayuran
optimum.
yang bebas
3. Kandungan serat yang mencukup.
dikonsumsi,
4. Kandungan bahan vitamin dan asid lemak.
mengandung
Makanan ini terdiri dari tiga kumpulan yaitu
sedikit sekali energi, protein dan karbohidrat.
makanan yang memberi tenaga, menjauhi dari
Contohnya: lobak, selada, jamur segar, timun,
penyakit dan membina sel-sel tubuh.
tomat, sawi, taoge, kangkung, terung kembang Program studi profesi ners
kol,
STIKes YPIB MAJALENGKA
2021
Journal Syifa Sciences and Clinical Research
Volume 2 Nomor 2, September 2020
Journal Homepage: http://ejurnal.ung.ac.id/index.php/jsscr, E-ISSN: 2656-9612 P-ISSN:2656-8187
ABSTRAK
Diabetes melitus (DM) adalah penyakit gangguan metabolik yang ditandai oleh kenaikan glukosa
darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan atau resistensi insulin.
Hipoglikemia merupakan salah satu risiko mayor yang sering diderita pasien DM. Hipoglikemia
merupakan efek samping yang paling umum dari penggunaan insulin dan sulfonilurea terkait
mekanisme aksi dari obat tersebut. Hipoglikemia ditemukan sebagai barier utama dalam mencapai
kepuasan jangka panjang kontrol glikemik dan menjadi komplikasi yang ditakuti dari terapi DM
Komplikasi akut dan kronis dari hipoglikemia dapat mengganggu kehidupan, seperti interaksi
sosial, tidur, aktivitas seks, mengemudi, olahraga, dan aktivitas lainnya. Monitoring glukosa darah
perlu dilakukan untuk mencegah risiko hipoglikemia. Pasien yang diterapi dengan insulin,
sulfonilurea/ glinid dianjurkan untuk mengecek glukosa darah kapanpun merasa adanya gejala
hipoglikemia.
Kata Kunci:
Hipoglikemia, Diabetes Melitus, edukasi
Diterima: Disetujui: Online:
23-02-2020 2-07-2020 1-09-2020
ABSTRACT
Diabetes mellitus (DM) is a metabolic disorder characterized by an increase in insulin due to
decreased insulin secretion by pancreatic beta cells and/ or insulin resistance. Hypoglycemia is one
of the main risks that DM patients often to suffer. in Type 2 DM, hypoglycemia is the most common
side effect of the use of insulin and sulfonylureas. It is because of their modes of action .
Hypoglycaemia presents a major barrier to satisfactory long term glycemic control and remains a
feared complication of diabetes treatment. Acute and chronic complications of hypoglycemia can
interfere with life, such as social interactions, sleep, sexual activity, driving, sports, and other
activities. Blood glucose monitoring needs to be done to prevent the risk of hypoglycemia. Patients
treated with insulin, sulfonylureas/glinides are advised to check blood glucose any time
hypoglycemia is going to happen.
Copyright © 2020 Jsscr. All rights reserved.
Keywords:
Hypoglycemia, Diabetes Mellitus, education
Received: Accepted: Online:
2020-02-23 2020-07-2 2020-09-1
1. Pendahuluan
Diabetes melitus (DM) adalah penyakit gangguan metabolik yang ditandai oleh
kenaikan glukosa darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas
dan atau ganguan/ resistensi insulin [1]. Risiko utama yang biasa ditemukan
pada setiap penderita yang didiagnosis penyakit DM diantanya hipoglikemia
83
P-ISSN: 2656-8187, E-ISSN: 2656-9612
Hipoglikemia dapat dialami oleh semua pasien DM, di mana pasien DM tipe 1
lebih sering mengalami hipoglikemia dibandingkan dengan pasien DM tipe 2. Tidak
seperti diabetik nefropati dan diabetik retinopati yang merupakan manifestasi
kronis penyakit DM, hipoglikemia dapat terjadi secara akut, tiba- tiba dan dapat
mengancam nyawa [3]. Maka dari itu, diperlukan pengetahuan tentang
hipoglikemia, baik terhadap pencegahan, terapi dan monitoring yang harus
diperhatikan jika terjadi hipoglikemia.
84
Journal Syifa Sciences and Clinical Research. 2(2): 83 - 90
Gejala dan tanda hipoglikemia tidaklah spesifik antar individu. Hipoglikemia dapat
ditegakkan dengan adanya Whipple’s Triad. Gejala hipoglikemia dikategorikan
menjadi neuroglikopenia, yaitu gejala yang berhubungan langsung terhadap otak
apabila terjadi kekurangan glukosa darah. Otak sangat bergantung terhadap suplai
yang berkelanjutan dari glukosa darah sebagai bahan bakar metabolisme dan
support kognitif. Jika level glukosa darah menurun maka disfungsi kognitif tidak
bisa terelakkan. Gejala hipoglikemia kedua, adalah autonom, yaitu gejala yang
terjadi sebagai akibat dari aktivasi sistem simpato-adrenal sehingga terjadi
perubahan persepsi fisiologi [8,9]. Menurut PERKENI [4] dan Yale et al [5], gejala dan
tanda hipoglikemia adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Gejala dan tanda Hipoglikemia
Tanda Gejala
Autonom Gemetar, palpitasi, berkeringat, Pucat, takikardia, widened
gelisah, lapar, mual, kesemutan pulse pressure
paresthesia, palpitasi,
Tremulousness
neuroglikopenia Kesulitan konsentrasi, bingung, Lemah, Cortical-blindness,
lesu, dizziness, Pandangan kabur, pusing, hipotermia, kejang, koma
perubahan sikap, gangguan kognitif,
pandangan kabur, diplopia
Menurut Yale et al [5] dan Paluchamy [10], tingkat keparahan hipoglikemia pada
pasien DM dikategorikan sebagai berikut :
85
P-ISSN: 2656-8187, E-ISSN: 2656-9612
87
P-ISSN: 2656-8187, E-ISSN: 2656-9612
Jika kadar glukosa darah di bawah Jika kadar glukosa darah di atas 70
70 mg/dl: mg/dl:
Ulangi intake dan lakukan intake karbohidrat yang absorbsi
pengukuran setelah 15 menit lambat untuk mencegah kejadian
berulang hipoglikemia
3. Kesimpulan
Hipoglikemia dapat dialami baik oleh pasien DM tipe 1 maupun pasien DM tipe
2. Hipoglikemia dapat terjadi secara akut, tiba-tiba dan dapat mengancam nyawa.
Maka dari itu, pengetahuan tentang hipoglikemia, baik terhadap pencegahan, terapi
dan monitoring harus diperhatikan jika terjadi hipoglikemia.
Referensi
[1]. International Diabetes Federation (IDF).2015.IDF Diabetes Atlas Seventh
Edition. Brussels, Belgium: International Diabetes Federation.
[2]. PERKENI (Persatuan Endokrinologi Indonesia)b. 2015. Panduan
Penatalaksanaan DM Tipe 2 pada Individu Dewasa di Bulan Ramadan.
Jakarta: PB. Perkeni
[3]. Seaquist ER., Anderson J., Childs B., Cryer P., Dagogo-Jack S., Fish L, Heller
SR., Rodriguez H., Rosenzweig J., Vigersky R.Hypoglycemia and Diabetes: A
Report
of a Workgroup of the American Diabetes Association and The Endocrine
Society Diabetes Care May 2013, 36 (5) 1384-1395; DOI: 10.2337/dc12-2480
[4]. PERKENI (Persatuan Endokrinologi Indonesia)a. 2015. Konsensus Pengelolaan
dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2015. Jakarta: PB. Perkeni
[5]. Yale, JF., Paty, B., Senior, PA. 2018 Clinical Practice Guidelines Hypoglycemia
Diabetes Canada Clinical Practice Guidelines Expert Committee. Can J
Diabetes 42: S104–S108
[6]. Cryer, P. E., Davis, S. N., & Shamoon, H. (2003). Hypoglycemia in diabetes.
Diabetes care, 26(6), 1902-1912
89
P-ISSN: 2656-8187, E-ISSN: 2656-9612
[7]. Joint British Diabetes Societies – For Inpatient Care (JBDS-IP). 2018. The
Hospital Management of Hypoglycaemia in Adults with Diabetes Mellitus 3rd
edition. UK: Norfolk and Norwich University Hospitals NHS Foundation
Trust.
[8]. Cryer PE.2008. The Barrier of Hypoglycemia in Diabetes. DIABETES, VOL. 57:
3169-3176
[9]. Inkster, B. & Frier, B. M. 2012. The effects of acute hypoglycaemia on cognitive
function in type 1 diabetes. The British Journal of Diabetes & Vascular Disease,
12, 221-226.
[10]. Paluchamy,T. (2019). Hypoglycemia: Essential Clinical Guidelines,
Blood Glucose Levels, Leszek Szablewski, IntechOpen, DOI:
10.5772/intechopen.86994 Available from:
https://www.intechopen.com/books/blood-glucose-
levels/hypoglycemia-essential-clinical-guidelines
[11]. Williams, S. A., Shi, L., Brenneman, S. K., Johnson, J. C., Wegner, J. C., &
onseca, V. (2012). The burden of hypoglycemia on healthcare utilization,
costs, and quality of life among type 2 diabetes mellitus patients. Journal of
Diabetes and its Complications, 26(5), 399-406.
[12]. Brown, S. H. M., & Abdelhafiz, A. H. (2010). Hypoglycemia, intensive glycemic
control and diabetes care in care home residents with type 2 diabetes. Aging
Health, 6(1), 31-40.
[13]. American Diabetes Association (ADA). Hypoglycemia (Low Blood Sugar). (11
Juli 2020). Citing Internet Source URL
https://www.diabetes.org/diabetes/medication-management/blood-
glucose-testing-and-control/hypoglycemia
[14]. Slama G, Traynard PY, Desplanque N, et al. (1990). The search for an optimized
treatment of hypoglycemia. carbohydrates in tablets, solutin, or gel for the
correction of insulin reactions. Arch Intern Med.150:589–93
[15]. Canadian Diabetes Association (CDA). (1991). The role of dietary sugars in
diabetes mellitus. Beta Release 15:117–23
[16]. Brodows RG, Williams C, Amatruda JM. (1984). Treatment of insulin reactions
in diabetics. JAMA 252:3378–81
[17]. Czupryniak, L, Barkai, L, Bolgarska, S, Bronisz, A, Broz, J, Cypryk, K,
Honka, M, Janez, A, Krnic, M, Lalic, N, Martinka, E, Rahelic, D, Roman, G,
Tankova, T, Varkonyi, T, Wolnik, B, & Zherdova, N. (2014). Self-monitoring
of blood glucose in diabetes: from evidence to clinical reality in Central and
Eastern Europe—recommendations from the International Central-Eastern
European expert group. Diabetes Technol Ther, 16(7), 460–475.
90