Anda di halaman 1dari 20

BANTUAN HIDUP DASAR (BHD)

Oleh :

Kelompok 3 Kelas A

Nurul Niken Kasim 841417001


Sitti Juniarti J. Paramata 841417004
Apriyanto Dai 841417016
Pratiwi S Djibran 841417037
Sitty Nurcahyani B. Hinta 841417040
Zenab Pakudu 841417166
Syadiah Agus Lamatenggo 841416o

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Kuasa, karena atas limpahan rahmat
serta karunianya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang membahas
mengenai materi tepat pada waktu yang ditentukan dengan baik dan lancar.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan
Gawat Darurat 1 yang selama penyusunan makalah ini kami banyak mendapat
pengetahuan tentang mata kuliah ini khususnya mengenai materi “Bantuan Hidup
Dasar”.
Untuk itu, ucapan terima kasih tak lupa kami sampaikan kepada selaku
dosen pengajar mata kuliah ini di Universitas Negeri Gorontalo, yang dalam hal
ini telah memberi pengetahuan dalam bentuk materi maupun pemikiran sehingga
dalam penyusunan makalah ini berjalan dengan lancar.
Kami selaku penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari para pembaca demi perbaikan dan kesempurnaan makalah-makalah
selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermafaat bagi semua pihak khususnya
bagi teman-teman para pembaca.

Gorontalo, 20 Februari 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar............................................................................................... i
Daftar Isi.......................................................................................................... ii
Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................... 2
1.3 Tujuan............................................................................................. 2
Bab II Pembahasan
2.1 Pengertian Bantuan Hidup Dasar (BHD)....................................... 3
2.2 Tujuan Bantuan Hidup Dasar (BHD)............................................. 4
2.3 Indikasi Bantuan Hidup Dasar (BHD)............................................ 4
2.4 Langkah-langkah Bantuan Hidup Dasar (BHD)............................. 6
2.5 Perbedaan Bantuan Hidup Dasar (BHD) Menurut AHA 2010 Dan
2015................................................................................................ 13
BAB III Penutup
3.1 Simpulan......................................................................................... 16
3.2 Saran............................................................................................... 16
Daftar Pustaka................................................................................................ 17

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dewasa ini kejadian serangan jantung maupun kecelakaan sangat
meningkat khususnya di negara berkembang seperti Indonesia. Basic Life
Support (BLS) atau dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai Bantuan
Hidup Dasar (BHD) merupakan usaha yang dilakukan untuk
mempertahankan kehidupan pada saat pasien atau korban mengalami
keadaan yang mengancam jiwa. Di luar negeri BLS/BHD ini sebenamya
sudah banyak diajarkan pada orang-orang awam atau orang-orang awam
khusus, namun sepertinya hal ini masih sangat jarang diketahui oleh
masyarakat Indonesia (Christina Audrey, 2017)
Basic Life Support merupakan usaha untuk mempertahankan
kehidupan saa penderita mengalami keadaan yang mengancam nyawa dan
atry alat gerak. Pada kondisi napas dandenyut jantung berhenti maka
sirkulasi darah dan tansportasi oksigen berhenti, sehingga dalam waktu
singkat organ-organ tubuh terutama organ vital akan mengalami
kekurangan oksigen yang berakibat fatal bagi korban dan mengalami
kerusakan (Christina Audrey, 2017)
Organ yang paling cepat mengalami kerusakan adalah otak, karena
otak hanya akan mampu bertahan jika ada asupan gula/glukosa dan
oksigen. Jika dalam waktu lebih dari 10 menit otak tidak mendapat asupan
oksigen dan glukosa maka otak akan mengalami kematian secara
permanen. Kematian otak berarti pula kematian si korban. Oleh karena itu
golden period (waktu emas) pada korban yang mengalami henti napas
dan henti jantung adalah dibawah 10 menit. Artinya dalam watu
kurang dari l0 menit penderita yang mengalami henti napas dan henti
jantung harus sudah mulai mendapatkan pertolongan. Jika tidalq maka
harapan hidup si korban sangat kecil. Adapun pertolongan yang harus

1
dilakukan pada penderita yang mengalami henti napas dan henti jantung
adalah dengan melakukan resusitasi jantung paru (RIF). Resusitasi jantung
paru (RIP) merupakan usaha yang dilakukan untuk Mengembalikan fungsi
pemafasan dan atau sirkulasi pada henti nafas (respiratory arrest) dan atau
henti jantung (cardiac arrest). Resusitasi jantung paru otak dibagi dalamt
tiga fase : bantuan hidup dasar, bantuan hidup lanjut, bantuan hidup jangka
lama (Christina Audrey, 2017)

1.2 Rumusan Masalah


a. Apa pengertian dari Bantuan Hidup Dasar (BHD) ?
b. Apa tujuan dari Bantuan Hidup Dasar (BHD) ?
c. Apa indikasi dari Bantuan Hidup Dasar (BHD) ?
d. Bagaimana langkah-langkah Bantuan Hidup Dasar (BHD) ?
e. Apa perbedaan Bantuan Hidup Dasar (BHD) Menurut AHA 2010 Dan
2015 ?

1.3 Tujuan
a. Untuk mengetahui pengertian Bantuan Hidup Dasar (BHD)
b. Untuk mengetahui tujuan dari Bantuan Hidup Dasar (BHD)
c. Untuk mengetahui indikasi dari Bantuan Hidup Dasar (BHD)
d. Untuk mengetahui langkah-langkah Basic Life Support (BLS)
e. Untuk mengetahui perbedaan dari Bantuan Hidup Dasar (BHD) menurut
AHA Tahun 2010 dan 2015

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Bantuan Hidup Dasar (BHD)


Bantuan Hidup Dasar (Basic Life Support, disingkat BLS) adalah
suatu tindakan penanganan yang dilakukan dengan sesegera mungkin dan
bertujuan untuk menghentikan proses yang menuju kematian (Khamida
Neda, 2018)
Menurut AHA Guidelines tahun 2005, tindakan BLS ini dapat
disingkat dengan teknik ABC yaitu airway atau membebaskan jalan
nafas, breathing atau memberikan nafas buatan, dan circulation atau pijat
jantung pada posisi shock. Namun pada tahun 2010 tindakan BLS diubah
menjadi CAB (circulation, breathing, airway).
Bantuan hidup dasar merupakan kombinasi berbagai manuver dan
ketrampilan dengan atau tanpa peralatan tertentu untuk membantu
mengenali orang yang mengalami henti napas dan jantung serta
menggunakan waktu yang ada sampai pasien mendapatkan tatalaksana
lebih lanjut. Tatalaksana harus dilakukan secara berkesinambungan
meliputi RJP dan aktivasi sistem EMS terutama jika ada lebih dari 1
penolong di tempat kejadian (Khamida Neda, 2018)
Bantuan hidup dasar pada anak atau sering disebut Pediatric Basic
Life Support (BLS) merupakan hal yang penting untuk kelangsungan
dan kualitas hidup anak. Pediatric Chain Survival berdasarkan
American Heart Association tahun 2010 meliputi tindakan preventif,
resusitasi jantung paru (RJP) segera dengan mengutamakan pijat
jantung (teknik C-A-B atau Circulation-AirwayBreathing), mengaktifkan
akses emergensi atau emergency medical system (EMS), bantuan hidup
lanjut, serta melakukan perawatan pasca henti jantung (Khamida Neda,
2018)
Keberhasilan dari resusitasi setelah henti jantung akan bergantung
pada langkah-langkah yang harus kita lakukan secara berurutan. Hal ini

3
disebut juga Rantai Keselamatan yang mencakup:
a. Deteksi dini dari henti jantung dan aktivasi sistem pelayanan gawat
darurat terpadu (SPGDT)
b. Melakukan RJP secara dini dengan teknik penekanan yang tepat
c. Melakukan kejut jantung secara dini
d. Melakukan Bantuan Hidup Lanjut yang efektif
e. Melakukan resusitasi setelah henti jantung secara terintegrasi

2.2 Tujuan Bantuan Hidup Dasar (BHD)


(Khamida Neda, 2018)
a. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi oksigenasi
organ-organ vital (otak, jantung dan paru)
b. Mempertahankan hidup dan mencegah kematian
c. Mencegah komplikasi yang bisa timbul akibat kecelakaan
d. Mencegah tindakan yang dapat membahayakan korban
e. Melindungi orang yang tidak sadar
f. Mencegah terhentinya sirkulasi atau berhentinya respirasi
g. Memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi dan ventilasi
dari korban yang mengalami henti jantung atau henti nafas
melalui Resusitasi Jantung Paru (RJP)

2.3 Indikasi Bantuan Hidup Dasar (BHD)


Mneurut Christina Audrey (2017) Bantuan Hidup Dasar (BHD) dilakukan
pada pasien-pasien dengan keadaan sebagai berikut :
a. Henti nafas (respiratory arrest)
Henti nafas ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran udara
pernapasan dari korban/pasien. Henti nafas merupakan kasus yang harus
dilakukan tindakan bantuan hidup dasar. Henti nafas dapat erjadi pada
keadaan :
1) Tenggelam
2) Stroke

4
3) Obstruksi jalan napas
4) Epiglotitis
5) Overdosis obat-obatan
6) Tersengat listrik
7) Infark miokard
8) Tersambar petir
9) Koma akibat berbagai macam kasus

Pada awal henti napas, oksigen masih dapat masuk ke dalam darah untuk
beberapa menit dan jantung masih dapat mensirkulasikan darah ke otak dan organ
vital lainnya. Jika pada keadaan ini diberikan bantuan napas akan sangat
bermanfaat agar korban dapat tetap hidup dan mencegah henti jantung.

b. Henti Jantung (cardiac arrest)


Pada saat terjadi henti jantung secara langsung akan terjadi henti sirkulasi.
Henti sirkulasi iini akan dengan cepat menyebabkan otak dan organ vital
kekurangan oksigen. Pernapasan yang terganggu (tersengal-sengal)
merupakan tanda awal akan terjadinya henti jantung. Penyebab henti jantung :
1) Cardiac : penyakit jantung koroner, aritmia, kelainan katup jantung,
tamponade jantung, pecahnya aorta
2) Extra-Cardiac : sumbatan jalan napas, gagal napas, gangguan elektrolit,
syok, overdosis obat, keracunan

2.4 Langkah-langkah Bantuan Hidup Dasar (BHD)

5
Menurut (Qonita Imma, 2019) Langkah–langkah bantuan hidup dasar terdiri
dari urutan pemeriksaan diikuti tindakan. Idealnya tindakan dapat dilakukan
secara simultan.
a. Mengenali Kejadian Henti Jantung dengan Segera
Pada saat menemukan orang dewasa yang tidak sadar, setelah memastikan
lingkungan aman, tindakan pertama adalah memastikan adanya respons, hal
tersebut dapat dilakukan dengan menepuk atau menggoncang korban dengan
hati-hati pada bahunya dan bertanya dengan keras. Pada saat bersamaan
penolong melihat apakah pasien tidak bernapas atau bernapas tidak normal
(gasping). Apabila pasien tidak merespons dan tidak bernapas atau bernapas
tidak normal, harus dianggap bahwa pasien mengalami henti jantung.

6
b. Pemeriksaan Denyut Nadi
Pemeriksaan denyut nadi pada orang dewasa dapat dilakukan dengan
merasakan arteri karotis. Lama pemeriksaan tidak boleh lebih dari 10 detik,
jika penolong secara definitif tidak dapat merasakan pulsasi dalam periode
tersebut, kompresi harus segera dilakukan. Cek nadi dilakukan secara
simultan bersamaan dengan penilaian napas pasien.

c. Mengaktifkan Sistem Respons Emergensi


Jika pasien tidak menunjukkan respons dan tidak bernapas atau bernapas
tidak normal (gasping) maka perintahkan orang lain untuk mengaktifkan
sistem emergensi dan mengambil AED jika tersedia. Informasikan secara
jelas lokasi kejadian, kondisi, jumlah korban, nomor telepon yang dapat
dihubungi, dan jenis kegawatannya. Bila pasien bernapas normal, atau
bergerak terhadap respons, usahakan mempertahankan posisi seperti saat
ditemukan atau posisikan dalam posisi recovery, panggil bantuan, sambil
memantau tanda-tanda vital korban secara terus-menerus sampai bantuan
datang.

7
d. Mulai Siklus Kompresi Dada dan Bantuan Napas
Kompresi dada yang efektif sangat penting untuk mengalirkan darah dan
oksigen selama RJP. Kompresi dada terdiri dari aplikasi tekanan secara ritmik
pada bagian sternum setengah bawah. Tindakan kompresi dada ini akan
menyebabkan aliran darah akibat naiknya tekanan intratorak dan kompresi
langsung pada jantung. Hal ini sangat penting untuk menghantarkan oksigen
ke otot jantung dan otak, dan dapat meningkatkan keberhasilan tindakan
defibrilasi.
e. Kompresi Dada
Posisi penolong jongkok dengan lutut di samping korban sejajar dada pasien.
Letakkan pangkal salah satu tangan pada pusat dada pasien, letakkan tangan
yang lain di atas tangan pertama, jari-jari kedua tangan dalam posisi
mengunci dan pastikan bahwa tekanan tidak di atas tulang iga korban. Jaga
lengan penolong dalam posisi lurus. Jangan melakukan tekanan pada
abdomen bagian atas atau ujung sternum. Posisikan penolong secara vertikal
di atas dinding dada pasien, berikan tekanan ke arah bawah, sekurang
kurangnya 5 cm. Gunakan berat badan penolong untuk menekan dada dengan
panggul berfungsi sebagai titik tumpu. Setelah kompresi dada, lepaskan
tekanan dinding dada secara penuh, tanpa melepas kontak tangan penolong
dengan sternum korban (full chest recoil), ulangi dengan kecepatan minimum
100 kali per menit. Durasi kompresi dan release harus sama.

8
Kriteria High Quality CPR antara lain :
1) Tekan cepat (push fast )
Berikan kompresi dada dengan frekuensi yang mencukupi minimum 100 kali
per menit.
2) Tekan kuat (push hard)
Untuk dewasa berikan kompresi dada dengan kedalaman minimal 2 inci (5
cm) – 2,4 inhi (6 cm).
3) Full chest recoil
Berikan kesempatan agar dada mengembang kembali secara sempurna.
Seminimal mungkin melakukan interupsi baik frekuensi maupun durasi
terhadap kompresi dada.
4) Perbandingan kompresi dada dan ventilasi untuk 1 penolong adalah 30 : 2,
sedangkan untuk dua penolong adalah 15.

f. Bantuan Pernapasan
Tujuan primer bantuan napas adalah untuk mempertahankan oksigenasi yang
adekuat dengan tujuan sekunder untuk membuang CO2. Setelah melakukan
kompresi dada, buka jalan napas korban dengan head tilt – chin lift baik pada
korban trauma ataupun nontrauma. Bila terdapat kecurigaan atau bukti cedera
spinal, gunakan jaw thrust tanpa mengekstensi kepala saat membuka jalan
napas. Penolong memberikan bantuan pernapasan sekitar 1 detik (inspiratory
time), dengan volume yang cukup untuk membuat dada mengembang, hindari
pemberian bantuan napas yang cepat dan berlebihan karena dapat
menimbulkan distensi lambung beserta komplikasinya seperti regurgitasi dan
aspirasi. Lebih penting lagi, ventilasi berlebihan juga dapat menyebabkan
naiknya tekanan intratorakal, mengurangi venous return, dan menurunkan
cardiac output.

9
g. Penggunaan Automated External Defibrillator (AED)
Defibrilasi merupakan tindakan kejut listrik dengan tujuan mendepolarisasi
sel-sel jantung dan menghilangkan fibrilasi ventrikel/ takikardi ventrikel
tanpa nadi. AED aman dan efektif digunakan oleh penolong awam dan
petugas medis, dan memungkinkan defibrilasi dilakukan lebih dini sebelum
tim bantuan hidup lanjut datang. Menunda resusitasi dan pemakaian
defibrilasi akan menurunkan harapan hidup. Penolong harus melakukan RJP
secara kontinu dan meminimalkan interupsi kompresi dada saat aplikasi
AED. Penolong harus konsentrasi untuk mengikuti perintah suara setelah alat
diterima, terutama untuk melakukan RJP sesegera mungkin setelah
diintruksikan. Langkah –langkah penggunaan AED :
1) Pastikan korban dan penolong dalam situasi aman dan ikuti langkah-
langkah bantuan hidup dasar dewasa. Lakukan RJP sesuai panduan
bantuan hidup dasar, kompresi dada dan bantuan pernapasan sesuai
panduan.
2) Segera setelah AED datang, nyalakan alat dan tempelkan elektroda pads
pada dada korban. Elektroda pertama di line midaxillaris sedikit di bawah
ketiak, dan elektroda pads kedua sedikit di bawah clavicula kanan.
3) Ikuti perintah suara dari AED. Pastikan tidak ada orang yang menyentuh
korban saat AED melakukan analisis irama jantung.
4) Jika shock diindikasikan, pastikan tidak ada seorangpun yang menyentuh
korban. Lalu tekan tombol shock.
5) Segera lakukan kembali RJP.

10
6) Jika shock tidak diindikasikan, lakukan segera RJP sesuai perintah suara
AED, hingga penolong profesional datang dan mengambil alih RJP,
korban mulai sadar, bergerak, membuka mata, dan bernapas normal, atau
penolong kelelahan.

11
12
2.5 Perbedaan Bantuan Hidup Dasar (BHD) Menurut AHA 2010 Dan 2015
Tanggal 18 oktober 2010 lalu AHA (American Hearth Association)
mengumumkan perubahan prosedur CPR (Cardio Pulmonary Resuscitation) atau
dalam bahasa indonesia disebut RJP (resusitasi jantung paru) yang berbeda dari
prosedur sebelumnya yang sudah dipakai dalam 40 tahun terakhir. Perubahan
tersebut ada dalam sistematikanya, yaitu sebelumnya menggunakan A-B-C
(Airway-Breathing-Circulation) sekarang menjadi C-A-B (Circulation-Airway-
Breathing). Namun perubahan yang ditetapkan AHA tersebut hanya berlaku pada
orang dewasa,anak, dan bayi.
Perubahan tersebut menurut AHA adalah mendahulukan pemberian kompresi
dada dari pada pembuka jalan nafas dan memberikan nafas buatan pada penderita
henti jantung. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa teknik kompresi dada
lebih diperlukan untuk mensirkulasikan sesegera mungkin oksigen ke seluruh
tubuh terutama organ-organ vital seperti otak, paru, antung, dll.
Menurut penelitian AHA, beberapa menit setelah penderita mengalami henti
 jantung masih terdapat oksigen pada paru-paru dan sirkulasi darah. Oleh karena
itu memulai kompresi dada lebih dahulu diharapkan akan memompa darah yang
mengandung oksigen ke otak dan jantung sesegera mungkin. Kompresi dada
dilakukan  pada tahap awal selama 30 detik sebelum melakukan pembukaan jalan
nafas dan pemberian napas buatan seperti prosedur yang lama.
Setelah mengevaluasi berbagai penelitian yang telah dipublikasi selama lima
tahun terakhir AHA mengeluarkan Panduan RJP 2010. Fokus utama RJP 2010 ini
adalah kualitas kompresi dada.

Beberapa perbedaan antara panduan pedoman AHA 2010 dan 2015 :


Pembaruan Pedoman AHA 2015 untuk CPR dan ECC, termasuk ringkasan
ekslusif yang dipublikasikan dalam sirkulasi pada oktober 2015, dan untuk
mempelajari rincian ringkasan ilmu resusitasi dalam 2015 International Consensus
on CPR and ECC Science With Treatment Recommendations, yang
dipublikasikan secara bersamaan dalam sirkulasi dan resusitasi.

13
Pembaruan pedoman AHA 2015 untuk CPR dan ECC didasarkan pada proses
evaluasi bukti internasional yang melibatkan 250 orang pemeriksa bukti dari 39
negara. Proses pemeriksaan sistematis ILCOR cukup berbeda bila dibandingkan
dengan proses yang digunakan pada 2010. Untuk proses pemeriksaan sistematis
2015, tugas ILCOR mengharuskan untuk memeriksa topik yang di prioritaskan,
dengan kondisi munculnya ilmu baru yang memadai atau terdapat kontroversi
yang memerlukan pemeriksaan sistematis. Sebagai hasil dari prioritas tersebut,
jumlah pemeriksaan yang diselesaikan pada 2015 (166) lebih sedikit dibandngkan
jumlah pemeriksaan pada 2010 (274).
a. Komponen sistem perawatan
(2015) : elemen universal sistem perawatan telah diidentifikasi untuk
memberi pihak pemangku kepentingan kerangka kerja umum yang berfungsi
untuk memasang sistem resusitasi terpadu.
b. Penggunaan media sosial untuk memanggil penolong
(2015) : menerapkan teknologi media sosial untuk memanggil penolong yang
berada dalam jarak dekat dengan korban dugaan OHCA serta bersedia dan
mampu melakuukan CPR.
c. Tim resusitasi
(2015) : pada pasien dewasa, sistem RRT (tim tanggap cepat) dapat efektif
dalam mengurangi insiden serangan jantung, terutama di bangsal perawatan
umum
(2010) : meskipun terdapat bukti yang bertentangan, namun konensus ahli
merekomendasikan identifikasi sistematis terhadap pasien beresiko serangan
jantung, tanggapan teratur terhadap pasien tersebut, dan evaluasi dampak
untuk mendukung perkembangan peningkatan kualitas secara terus menerus.
d. Peningkatan kualitas berkelanjutan untuk program resusitasi
(2015) : sistem resusitasi harus membuat penilaian dan peningkatan sistem
perawatan secara berkelanjutan
e. Program AED untuk penolong tidak terlatih dalam komunitas

14
(2015) : disarankan bahwa program PAD untuk pasien dengan OHCA
diterakan dilokasi umum tempat adanya kemungkinan pasien serangan
jantung terlihat relatif tinggi
(2010) : CPR dan penggunaan defibilator eksternal otomatis oleh tenaga
medis
f. Identifikasi operator atas tarikan napas agonal
(2015) : untuk membantu pendamping mengenali serangan jantung, operator
harus menanyakan tentang ada atau tidaknya reaksi korban dan kualitas
pernapasan
(2010) : untuk membantu pendamping mengenali serangan jantung, operator
harus menanyakan tentang korban dewasa, apakah korban bernapas normal
g. Penekanan pada kompresi dada
(2015) : penolong tidak terlatih harus memberikan CPR hanya kompresi
dengan/tanpa operator untuk korban dewasa.
(2010) : jika tidak menerima pelatihan tentang CPR, pendamping harus
memberikan CPR hanya komprei untuk korban dewasa yang jatuh mendadak,
dengan menegaskan untuk “menekan kuat dan cepat”
h. Kecepatan kompresi dada
(2015) : pada orang dewasa , penolong perlu melakukan kompresi dada pada
kecepatan 100 hingga 120/min. (2010): penolong tidak terlatih dan HCP perlu
melakukan kompresi dada pada kecepatan minimum 100/min.
i. dalaman kompresi dada
(2015) : kedalaman minimum 2 inci (5cm) untuk dewasa.
(2010) : tulang dada orang dewasa harus ditekan minimum sedalam 2 inci
(5cm)

15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Basic Life Support merupakan usaha untuk mempertahankan
kehidupan saa penderita mengalami keadaan yang mengancam nyawa dan
atry alat gerak. Pada kondisi napas dandenyut jantung berhenti maka
sirkulasi darah dan tansportasi oksigen berhenti, sehingga dalam waktu
singkat organ-organ tubuh terutama organ vital akan mengalami
kekurangan oksigen yang berakibat fatal bagi korban dan mengalami
kerusakan. Menurut AHA Guidelines tahun 2005, tindakan BLS ini
dapat disingkat dengan teknik ABC yaitu airway atau membebaskan
jalan nafas, breathing atau memberikan nafas buatan, dan circulation atau
pijat jantung pada posisi shock. Namun pada tahun 2010 tindakan BLS
diubah menjadi CAB (circulation, breathing, airway).

3.2 Saran
Dalam penyusun makalah asuhan keperawatan ini sangat jauh dari
penyempurnaan maka kami sangat mengharapkan saran, kritikan, ide dari teman-
teman mahasiswa atau mahasiswi yang bersifat menambah dan membangun demi
penyempurnaan makalah ini.

16
DAFTAR PUSTAKA

Qonita, Imma. 2019. Bantuan Hidup Dasar. Majelis Kesehatan Ranting Aisyiyah
Kertonatan. CDK-277/ Volume 4 Nomor 6 : 458 – 461

Christina, Audrey. 2017. Dalam Karya Tulis Ilmiah : Bantuan Hidup Dasar.
(Diakses pada Jumat, 21 Februari 2020 Pukul 09.24 WITA)

Khamida, Neda. 2018. Dalam Karya Tulis Ilmiah Bantuan Hidup Dasar / Basic
Life Support. (Diakses pada Jumat, 21 Februari 2020 Pukul 09.00
WITA)

17

Anda mungkin juga menyukai