OLEH:
Kolelitiasis adalah adanya batu yang terdapat didalam kandung empedu atau
saluran empedu (duktus koledekus) atau keduanya. (Muttaqin, 2011).
Kolelitiasis disebut juga batu empedu, gallstones, biliary calculus. Istilah kolelitiasis dim
aksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu. Batu kandung empedu me
rupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk suatu material mirip batu yang terbe
ntuk di dalam kandung empedu. Batu empedu adalah timbunan kristal di dalam kandung
empedu atau di dalam saluran empedu. Batu yang ditemukan di dalam kandung empedu d
isebut kolelitiasis, sedangkan batu di dalam saluran empedu disebut koledokolitiasis (Nuc
leus Precise Newsletter, edisi 72, 2011).
Kolelitiasis adalah material atau kristal tidak berbentuk yang terbentuk dalam
kandung empedu. Komposisi dari kolelitiasis adalah campuran dari kolesterol, pigmen
empedu, kalsium dan matriks inorganik. Lebih dari 70% batu saluran empedu adalah tipe
batu pigmen, 15-20% tipe batu kolesterol dan sisanya dengan komposisi yang tidak
diketahui. Di negara-negara Barat, komponen utama dari batu empedu adalah kolesterol,
sehingga sebagian batu empedu mengandung kolesterol lebih dari 80% (Majalah
Kedokteran Indonesia, volum 57, 2007).
Batu empedu merupakan endapan satu atau lebih komponen empedu kolesterol,
bilirubin, garam empedu, kalsium, protein, asam lemak dan fosfolipid (Price & Wilson,
2005). Kolelitiasis (kalkulus / kalkuli , batu empedu) biasanya terbentuk dalam kandung
empedu dari unsur – unsur padat yang membentuk cairan empedu yang memiliki ukuran,
bentuk dan komposisi yang sangat bervariasi. (Brunner & Suddart, 2002)
B. ETIOLOGI
Empedu normal terdiri dari 70% garam empedu (terutama kolik dan asam
chenodeoxycholic), 22% fosfolipid (lesitin), 4% kolesterol, 3% protein dan 0,3%
bilirubin.2 Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna namun yang
paling penting adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan
empedu, stasis empedu dan infeksi kandung empedu.3 Sementara itu, komponen utama
dari batu empedu adalah kolesterol yang biasanya tetap berbentuk cairan. Jika cairan
empedu menjadi jenuh karena kolesterol, maka kolesterol bisa menjadi tidak larut dan
membentuk endapan di luar empedu (Denis, 2005)
Menurut Lesmana (2000), Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor
resiko dibawah ini. Namun, semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang,
semakin besar kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara
lain :
1. Wanita (beresiko dua jadi lebih besar dibanding laki-laki)
2. Usia lebih dari 40 tahun .
3. Kegemukan (obesitas).
4. Faktor keturunan
5. Aktivitas fisik
6. Kehamilan (resiko meningkat pada kehamilan)
7. Hiperlipidemia
8. Diet tinggi lemak dan rendah serat
9. Pengosongan lambung yang memanjang
10. Nutrisi intravena jangka lama
11. Dismotilitas kandung empedu
12. Obat-obatan antihiperlipedmia (clofibrate)
13. Penyakit lain (seperti Fibrosis sistik, Diabetes mellitus, sirosis hati, pankreatitis dan
kanker kandung empedu) dan penyakit ileus (kekurangan garam empedu)
14. Ras/etnik (Insidensinya tinggi pada Indian Amerika, diikuti oleh kulit putih, baru
orang Afrika)
C. MANIFESTASI KLINIS
1. Epigastrium kanan terasa nyeri dan spasme, menjalar ke pundak kanan atau punggung.
2. Kandung empedu membesar dan nyeri
3. Ikterus = Perubahan warna Kulit
4. Nyeri di kwadran kanan atas
5. Mual dan muntah
6. Kembung
7. Febris (38,5°C)
8. Beraknya warna pucat, kencing warna gelap sebagai
9. Blumberg Signs ( kekakuan dan nyeri lenting)
10. Berkurangnya absorbsi lemak dan vitamin yang larut di usus
D. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan Laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatis umumnya tidak menunjukkan kelainan pada
pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis.
Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum
akibat penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi
mungkin disebabkan oleh batu didalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum
dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang setiap kali terjadi
serangan akut. Enzim hati AST (SGOT), ALT (SGPT), LDH agak meningkat. Kadar
protrombin menurun bila obstruksi aliran empedu dalam usus menurunkan absorbs
vitamin K.
2. Pemeriksaan sinar-X abdomen
Pemeriksaan sinar-X abdomen bisa dilakukan jika ada kecurigaan akan penyakit
kandung empedu dan untuk menyingkirkan penyebab gejala yang lain. Namun
demikian, hanya 15-20% batu empedu yang mengalami cukup kalsifikasi untuk dapat
tampak melalui pemeriksaan sinar-X.
4. Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai prosedur
diagnostik pilihan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat dan akurat, dan
dapat digunakan pada prndrita disfungsi hati dan icterus. Disamping itu, pemerikasaan
USG tidak membuat pasien terpajan radiasi ionisasi. Prosedur ini akan memberikan
hasil paling akurat jika pasien sudah berpuasa pada malam harinya sehingga kandung
empedunya dalam keadaan distensi. Penggunaan ultra sound berdasarkan pada
gelombang suara yang dipantulkan kembali.
5. Kolesistografi
Meskipun sudah digantikan dengan USG sebagai pilihan utama, namun untuk
penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif murah,
sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat dihitung
jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral dapat digunakan untuk mendeteksi batu
empedu dan mengkaji kemempuan kandung empedu untuk melakukan pengisian,
memekatkan isinya, berkontraksi, serta mengosongkan isinya. Media kontras yang
mengandung iodium yang diekresikan oleh hati dan dipekatkan dalam kandung empedu
diberikan kepada pasien. Kandung empedu yang normal akan terisi oleh bahan
radiopaque ini. Jika terdapat batu empedu, bayangannya akan Nampak pada foto
rontgen. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah, kehamilan,
kadar bilirubin serum diatas 2mg/dl, obstruksi pilorus, ada reaksi alergi terhadap
kontras, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan tertentu tersebut kontras tidak dapat
mencapai hati. Pemeriksaan kolesistografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi
kandung empedu. Cara ini juga memerlukan lebih banyak waktu dan persiapan
dibandingkan ultrasonografi.
E. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan pembedahan
a. Koleksistektomi Terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien dengan batu
empedu simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna, cidera duktus biliaris, terjadi
dalam kurang dari 0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur ini
telah terlihat dalam penelitian baru-baru ini, yaitu kurang dari 0,5%. Indikasi yang
paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh
kolesistisi akut. Praktik pada saat ini mencakup kolesistektomi segera dalam pasien
dengan kolesistisi akut dalam masa perawatan di rumah sakit yang sama. Jika tidak
ada bukti kemajuan setelah 24 jam penanganan medis, atau jika ada tanda-tanda
penurunan klinis, maka kolesistektomi darurat harus dipertimbangkan.
b. Mini Kolesistektomi
Merupakan prosedur bedah untuk mengeluarkan kandung empedu lewat luka
insisi selebar 4cm. Jika diperlukan, luka insisi dapat diperlebar untuk mengeluarkan
batu kandung empedu yang berukuran lebih besar. Drain mungkin dapat atau tidak
digunakan pada mini kolasistektomi. Biaya yang ringan dan waktu rawat yang
singkat merupakan salah satu alasan untuk meneruskan bentuk penanganan ini.
c. Kolesistektomi laparoskopi
Indikasi awal hanya pasien dengan batu empedu simtomatik tanpa adanya
kolesistisis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah
mulai untuk melakukan prosedur ini dalam pasien dengan kolesistisis akut dan dalam
pasien dengan batu duktus koledokus. Keuntungan secara toritis dari prosedur ini
dibandingkan dengan konvensional, kolesistektomi mengurangi perawatan di rumah
sakit serta biaaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat bisa kembali bekerja, nyeri
menurun, dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah
keamanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi mayor, seperti
misalnya cidera duktus biliaris, yang mungkin terjadi lebih sering selama
kolisistektomi laparoskopik. Frekuensi dari cidera mungkin merupakan ukuran
pengalaman ahli bedah dan merupakan manifestasi dari kurva pelatihan yang
berkaitan dengan modalitas baru.
d. Bedah Kolesistotomi
Dikerjakan bila kondisi pasien tidak memungkinkan untuk dilakukan operasi yang
lebih luas, atau bila reaksi inflamasi yang akut membuat system bilier tidak jelas.
Kndung empedu dibuka melalui pembedahan, batu serta getah empedu atau cairan
drainase yang purulen dikeluarkan, dan kateter untuk drainase diikat dengan jahitan
kantung tembakau (purse-string-suture). Kateter itu dihubungkan dengan sistem
drainase untuk mencegah kebocoran getah empedu disekitar kateter atau perembesan
getah empedu ke dalam rongga peritoneal. Setelah sembuh dari serangan akut, pasien
dapat kembali lagi untuk menjalani kolesistektomi. Maeskipu resikonya lebih rendah,
bedah kolesistotomi memiliki angka moertalitas yang tinggi (yang dilaporkan sampai
setinggi 20-30%) yang disebabkan oleh proses penyakit pasien yang mendasarinya.
e. Kolesistotomi Perkutan
Kolesistotomi perkutan telah dilakukan dalam penanganan dan penegakan
diagnosis kolesistisis akut pada pasien-pasien yang beresiko jika harus menjalani
tindakan pembedahan atau anastesi umum. Pasie-pasien ini mencakup para penderita
sepsis atau gagal jantung yang berat dan pasien-pasien gagal ginjal, paru atau hati.
Dibawah pengaruh anastesi local sebilah jarum yang halus ditusukkan lewat dinding
abdomen dan tepi hati ke dalam kandung empedu dengan dipandu oleh USG atau
pemindai CT. Getah empedu diaspirasi untuk memastikan bahwa penempatan jarum
telah adekuat, dan kemudian sebuah kateter dimasukkan ke dalam kandung empedu
tersebut untuk dekompresasi saluran empedu. Dengan prosedur ini hampir selalu
dilaporkan bahwa rasa nyeri dan gejala serta tanda-tanda dari sepsis dan kolesistisi
berkurang atau menghilang dengan segera.
f. Koledokostomi
Dalam koledokostomi, insisi dilakukan pada duktus koledokus untuk
mengeluarkan batu. Setelah batu dikeluarkan, biasanya dipasang sebuah kateter ke
dalam duktus tersebut untuk drainase getah empedu sampai edema mereda. Kateter
ini dihubungkan dengan selang drainase gravitas. Kandung empedu biasanya juga
mngandung batu, dan umumnya koledokostomi dilakukan bersama-sama
kolesistektomi.
G. GANGGUAN TERMOREGULASI
Termoregulasi adalah suatu proses fisiologis terintegrasi secara aktif pada setiap
individu dalam mempertahankan suhu tubuh internal untuk tetap dalam suhu tubuh yang
normal dengan melawan perubahan suhu lingkungan yang tidak sesuai dengan kondisi tubuh.
Pengaturan termoregulasi berpusat pada hipotalamus anterior dalam menjaga suhu tubuh
individu (Andriyani dkk., 2015). Sebagian besar panas dibentuk oleh organ dalam terutama
hati, jantung, dan otot rangka selama melakukan aktivitas.
Suhu tubuh
Proses inflamasi
NAUSEA
DEFISIT NUTRISI
BAB 2
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
4. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum
Keadaan umum pada klien dapat dilakukan selintas pandang dengan menilai keadan
fisik. Tiap bagian tubuh perlu dinilai secara umum kesadaran klien compos mentis,
apatis, samnolen, sopor dan soporokomatus, atau koma, seorang perawat perlu
mempunyai pengalaman pengetahuan tentang konsep anatomi fisiologi umum
sehingga dengan cepat mampu menilai kedaan umum, kesadaran, dan pengukuran
GCS. Bila kesadaran klien menurun yang memerlukan kecepatan dan ketetapan
penilaian.
b. Tanda-tanda Vital
1) Tekanan darah
Rata-rata untuk tekanan darah sistolik 110-140/ mmHg, rata-rata diastolik 80-
90/mmHg.
2) Nadi
Pada nadi jugularis, karotis, dan abdominal tidak akan terlihat. Tekanan nadi
meningkat, denyut melemah, nadi perifer berkurang, frekuensi nadi 60-100
x/menit
3) Respirasi Frekuensi Napas
Umumnya 12-24 x/menit dan biasanya mengalami takipnea
4) Suhu
Pada umumnya suhu meningkat, karena adanya infeksi
1. Pengkajian Fisik Head to Toe
a. Kepala
Inspeksi : bentuk kepala simetris, distribusi rambut normal, tidak ada lesi dan jejas
Palpasi : tidak ada benjolan dan tidak ada nyeri tekan
b. Mata
Inspeksi : posisi mata simetris, gerakan bola mata normal, sklera anikterik,
konjungtiva anemis, pupil isokor
Palpasi : tidak ada benjolan dan tidak ada nyeri tekan
c. Telinga
Inspeksi : simetris, tidak ada kelainan bentuk, warna normal, tidak ada gangguan
pendengaran
Palpasi : tidak ada benjolan dan tidak ada nyeri tekan
d. Hidung
Inspeksi : Tidak terdapat kelainan bentuk, tulang hidung simetris, lubang hidung
normal, tidak ada lesi maupun jejas, tidak ada massa, warna kulit hidung sama
dengan warna di sekitarnya
Palpasi : tidak ada benjolan, tidak ada massa, dan tidak ada nyeri tekan
e. Mulut
Inspeksi : mulut simetris, tidak ada lesi dan jejas, mukosa bibir kering, pasien bisa
mengalami mual dan muntah, mukosa bibir pucat dan kering
Palpasi : tidak ada benjolan dan nyeri tekan
f. Leher
Inspeksi : Leher pasien terlihat simetris, tidak ada jejas maupun lesi, tidak ada
benjolan ataupun pembesaran kelenjar tiroid, warna kulit di leher sama dengan warna
kulit sekitarnya.
Palpasi : tidak ada massa dan nyeri tekan.
g. Dada
Jantung
Inspeksi : tidak ada peningkatan JPV, tidak ada perubahan letak iktus cordis
Palpasi : pada pasien tidak ictus cordis tidak teraba
Perkusi : bunyi jantung normal
Auskultasi: suara jantung reguler, tidak ada bunyi tambahan
Paru-Paru
Inspeksi : dada kiri dan kanan simetris
Palpasi : pada saat dilakukan palpasi tidak teraba masa
Perkusi : lapang paru berbunyi normal, pekak
Auskultasi: klien memiliki suara napas normal
h. Abdomen
Inspeksi : bisa tampak ada pembesaran pada abdomen, tidak ada luka, tidak ada lesi
Auskultasi : suara bising usus normal, peristaltik usus menurun
Palpasi : ada nyeri tekan pada abdomen, terdapat distensi abdomen, kembung,
abdomen teraba seprti adonan kue, adanya pembengkakan akibat asites
Perkusi : suara redup akibat adanya asites
i. Genetlaia dan anus
Inspeksi : tidak terpasang kateter, tidak ada kelainan bentuk dan ukuran, persebaran
rambut merata
Palpasi : tidak ada benjolan dan nyeri tekan
j. Ekstremitas atas dan bawah
Inspeksi : mengalami kelemahan karena kesulitan mobilisasi akibat nyeri yang kuat
Palpasi : tidak pitting edema, pucat, edema pada tungkai, cyanosis perifer
k. Kulit dan kuku
Inspeksi : kondisi kuku, warna kuku, bentuk, lesi, kebersihan, panjang/pendeknya
4. Pemeriksaan Diagnostik
a. Darah lengkap : Leukositis sedang (akut).
b. Billirubin & amilase serum : meningkat.
c. Enzim hati serum-AST (SGOT) : ALT (SGOT), LDH : agak meningkat, alkalin fosfat &
S-nukleotidase, ditandai pe obstruksi bilier.
d. Kadar protombin : menurun bila obstruksi aliran empedu dalam usus menurunkan
absorpsi vit. K.
e. Ultrasound : menyatakan kalkuli & distensi empedu/duktus empedu.
f. Kolangiopankreatografi retrograd endoskopik : memperlihatkan percabangan bilier
dengan kanulasi duktus koledukus melalui duodenum.
g. Kolangiografi transhepatik perkutaneus : pembedaan gambaran dengan fluoroskopi
antara penyakit kandung empedu & kanker pangkreas.
h. CT-Scan : dapat menyatakan kista kandung empedu.
i. Scan hati : menunjukkan obstruksi percabangan bilier.
1. Berikan Teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi nyeri (mis:
TENS, hypnosis, akupresur,
terapi music, biofeedback,
terapi pijat, aromaterapi,
Teknik imajinasi terbimbing,
kompres hangat/dingin,
terapi bermain)
2. Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri (mis:
suhu ruangan, pencahayaan,
kebisingan)
3. Fasilitasi istirahat dan tidur
4. Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam
pemilihan strategi meredakan
nyeri
Edukasi
Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
2 Hipertermi b.d proses Setelah dilakukan Fever Treatment:
penyakit (infeksi) d.d tindakan keperawatan Mandiri
suhu tubuh diatas nilai selama 3x24 jam 1. Bina hubungan saling
percaya dengan pasien
normal, kulit merah, diharapkan pengaturan
dan keluarga
terasa hangat, takikardi, suhu tubuh pada klien 2. Monitor suhu tubuh dan
takipneu dapat berada pada tanda-tanda vital
rentang normal dengan 3. Monitor warna kulit dan
kriteria hasil (L.14134): suhu
4. Monitor intake dan otput
1. Takipneu (5) cairan
2. Takikardi (5) 5. Selimuti pasien dengan
3. Kulit merah (5) selimut tipis dan pakaian
4. Suhu tubuh (5) tipis
Promotif
5. Suhu kulit (5)
6. Anjurkan pasien minum
banyak air (250 ml/2 jam)
7. Anjurkan pasien banyak
istirahat, bila perlu batasi
aktivitas
Edukasi
8. Ajarkan cara melakukan
kompres hangat pada
pasien saat pasien demam
tinggi
Kolaborasi
9. Kolaborasi pemberian
obat (antipiretik,
antibiotik) atau cairan IV
Kolaborasi pemeriksaan
laboratorium (darah lengkap,
urin)
Kolaborasi pemberian
antiemetik, jika perlu
1. Kolaborasi pemberian
medikasi sebelum makan
(mis. pereda nyeri,
antlemetik), jika perlu
2. Kolaborasi dengan ahli gizi
untuk menentukan jumlah
kalori dan jenis nutrien
yang dibutuhkan, jika perlu
4 Defisit pengetahuan b.d Setelah dilakukan Edukasi Kesehatan (I.12383)
kurang terpapar tindakan keperawatan
informasi d.d selama 3x24 jam Observasi
menanyakan masalah diharapkan tingkat 1. Identifikasi kesiapan dan
yang dihadapi, perilaku pengetahuan pada klien kemampuan menerima
tidak sesuai anjuran, dapat meningkat dengan informasi
menunjukkan persepsi kriteria hasil (L.12111): 2. Identifikasi faktor-faktor
yang keliru terhadap yang dapat meningkatkan
masalah 1. Perilaku sesuai
anjuran meningkat (5) dan menurunkan motivasi
2. Verbalisasi minat perlik du bersih dan sehat
dalam belajar Terapeutik
meningkat (5) 1. Sediakan materi dan media
3. Perilaku sesuai pendidikan kesehatan
dengan pengetahuan Jadwalkan pendidikan
meningkat (5) kesehatan sesual kesepakatan
4. Persepsi yang keliru 2. Berikan kesempatan untuk
terhadap masalah bertanya
menurun (5) Edukasi
Kolaborasi pemberian
immunisasi, jika perlu
DAFTAR PUSTAKA
Diyono, Mulyanti, 2013. Keperawatan Medikal Bedah Sistem Pencernaan, Dilengkapi Contoh
Studi Kasus Dengan Aplikasi Nanda Nic Noc
Hadi, Sujono. 2002. Gastroenterologi. Bandung: Alumni
Herdman, T.Heather. 2010. NANDA Internasional Diagnosis Keperawatan : Definisi dan
Klasifikasi 2009-2011. Jakarta : EGC
Evania, N. (2013). Konsep Dasar Pemeriksaan Fisik Keperawatan. Jogjakarta: D-Medika
(Anggota IKAPI).
Muttaqin, Arif & Kumala Sari. (2013). Gangguan Gastrointestinal Aplikasi Asuhan Keperawatan
Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika.
Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa dan
Nanda NIC NOC Jilid 1. Jogjakarta: Mediaction.
Naga, S.Sholeh. (2012). Buku Panduan Lengkap Ilmu Penyakit Dalam. Jogjakarta: Diva Press.
Smeltzer & Bare. (2012). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarth (Ed.8,
Vol. 1,2). Jakarta : EGC.
Schwartz, Seymour I. 2000. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah: Buku Saku dari Brunner & Suddarth.
Jakarta : EGC
Suratun dan Lusianah. 2010. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Gastrointestinal. Jakarta: Trans Info Media
Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan
Kriteria Hasil NOC. Jakarta : EGC