Anda di halaman 1dari 22

Laporan Pendahuluan Cholelithiasis

A. Definisi

Cholelitiasis disebut juga batu empedu, gallstones, biliary calculus. Istilah

kolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu.

Batu kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk

suatu material mirip batu yang terbentuk di dalam kandung empedu. Batu empedu

adalah timbunan kristal di dalam kandung empedu atau di dalam saluran empedu.

Batu yang ditemukan di dalam kandung empedu disebut kolelitiasis, sedangkan

batu di dalam saluran empedu disebut koledokolitiasis ( Muttaqin, Arif dan Sari,

Kumala. 2011).

Cholelitiasis adalah material atau kristal tidak berbentuk yang terbentuk dalam

kandung empedu. Komposisi dari kolelitiasis adalah campuran dari kolesterol,

pigmen empedu, kalsium dan matriks inorganik. Lebih dari 70% batu saluran

empedu adalah tipe batu pigmen, 1520% tipe batu kolesterol dan sisanya dengan

komposisi yang tidak diketahui. Di negara Barat, komponen utama dari batu

empedu adalah kolesterol, sehingga sebagian batu empedu mengandung kolesterol

lebih dari 80% (Majalah Kedokteran Indonesia, volum 57, 2007).


B. Etiologi

Cholelitiasis atau batu di dalam kandung empedu, Sebagian besar batu

tersusun dari pigmen-pigmen empedu dan kolesterol, selain itu juga tersusun oleh

bilirubin, kalsium dan protein.

Macam-macam batu yang terbentuk antara lain:

1. Batu empedu kolesterol, terjadi karena : kenaikan sekresi kolesterol dan

penurunan produksi empedu.

Faktor lain yang berperan dalam pembentukan batu:

1) Infeksi kandung empedu

2) Usia yang bertambah

3) Obesitas

4) Wanita

5) Kurang makan sayur

6) Obat-obat untuk menurunkan kadar serum kolesterol

2. Batu pigmen empedu , ada dua macam;

1) Batu pigmen hitam : terbentuk di dalam kandung empedu dan disertai

2) hemolisis kronik/sirosis hati tanpa infeksi

3) Batu pigmen coklat : bentuk lebih besar , berlapis-lapis, ditemukan

4) disepanjang saluran empedu, disertai bendungan dan infeksi.


3. Batu saluran empedu

Sering dihubungkan dengan divertikula duodenum didaerah vateri. Ada

dugaan bahwa kelainan anatomi atau pengisian divertikula oleh makanan akan

menyebabkan obstruksi intermiten duktus koledokus dan bendungan ini

memudahkan timbulnya infeksi dan pembentukan batu.

Faktor resiko tersebut antara lain :

1) Wanita (beresiko dua jadi lebih besar dibanding laki-laki)

2) Usia lebih dari 40 tahun .

3) Kegemukan (obesitas).

4) Faktor keturunan

5) Aktivitas fisik

6) Kehamilan (resiko meningkat pada kehamilan)

7) Hiperlipidemia

8) Diet tinggi lemak dan rendah serat

9) Pengosongan lambung yang memanjang

10) Nutrisi intravena jangka lama

11) Dismotilitas kandung empedu

12) Obat-obatan antihiperlipedmia (clofibrate)

13) Penyakit lain (seperti Fibrosis sistik, Diabetes mellitus, sirosis hati,

pankreatitis

14) dan kanker kandung empedu) dan penyakit ileus (kekurangan garam

empedu)
15) Ras/etnik (Insidensinya tinggi pada Indian Amerika, diikuti oleh kulit

putih,

16) baru orang Afrika)

C. Patofisiologi

Cholelitasis / Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu

dan jarang pada saluran empedu lainnya.

Faktor predisposisi yang penting adalah :

1) Perubahan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu

2) Statis empedu

3) Infeksi kandung empedu

Perubahan susunan empedu mungkin merupakan faktor yang paling penting pada

pembentukan batu empedu. Kolesterol yang berlebihan akan mengendap dalam

kandung empedu. Stasis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan

supersaturasi progresif, perubahan susunan kimia dan pengendapan unsur

tersebut. Gangguan kontraksi kandung empedu dapat menyebabkan stasis. Faktor

hormonal khususnya selama kehamilan dapat dikaitkan dengan perlambatan

pengosongan kandung empedu dan merupakan insiden yang tinggi pada

kelompok ini. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat memegang peranan

sebagian pada pembentukan batu dengan meningkatkan deskuamasi seluler dan

pembentukan mukus. Mukus meningkatkan viskositas dan unsur seluler sebagai

pusat presipitasi.
Infeksi lebih sering sebagai akibat pembentukan batu empedu dibanding infeksi

yang menyebabkan pembentukan batu. Batu empedu asimtomatik dapat

ditemukan secara kebetulan pada pembentukan foto. polos abdomen dengan

maksud lain. Batu baru akan memberikan keluhan bila bermigrasi ke leher

kandung empedu (duktus sistikus) atau ke duktus koledokus. Migrasi keduktus

sistikus akan menyebabkan obstruksi yang dapat menimbulkan iritasi zat kimia

dan infeksi. Tergantung beratnya efek yang timbul, akan memberikan gambaran

klinis kolesistitis akut atau kronik. Batu yang bermigrasi ke duktus koledokus

dapat lewat ke doudenum atau tetap tinggal diduktus yang dapat menimbulkan

ikterus obstruktif.

D. Tanda dan Gejala

Penderita batu saluran empedu sering mempunyai gejala-gejala kronis dan akut.

1. Gejala Akut

Tanda

1) Epigastrium kanan terasa nyeri dan spasme

2) Usaha inspirasi dalam waktu diraba pada kwadran kanan atas

3) Kandung empedu membesar dan nyeri

4) Ikterus ringan

Gejala

1) Rasa nyeri (kolik empedu) yang Menetap

2) Mual dan muntah

3) Febris (38,5 C)
2. Gejala Kronis

Tanda

1) Biasanya tak tampak gambaran pada abdomen

2) Kadang terdapat nyeri di kwadran kanan atas

Gejala

1) Rasa nyeri (kolik empedu), Tempat : abdomen bagian atas (mid

epigastrium),

2) Sifat : terpusat di epigastrium menyebar ke arah skapula kanan

3) Nausea dan muntah

4) Intoleransi dengan makanan berlemak

5) Flatulensi

6) Eruktasi (bersendawa)

E. Pemeriksaan penunjang

Tes laboratorium :

1) Leukosit : 12.000 - 15.000 /iu (N : 5000 - 10.000 iu).

2) Bilirubin : meningkat ringan, (N : < 0,4 mg/dl).

3) Amilase serum meningkat.( N: 17 - 115 unit/100ml).


4) Protrombin menurun, bila aliran dari empedu intestin menurun karena

obstruksi sehingga menyebabkan penurunan absorbsi vitamin K.(cara

Kapilar : 2 - 6 mnt).

5) USG : menunjukkan adanya bendungan /hambatan , hal ini karena adanya

batu empedu dan distensi saluran empedu ( frekuensi sesuai dengan

prosedur diagnostik)

6) Endoscopic Retrograde choledocho pancreaticography (ERCP), bertujuan

untuk melihat kandung empedu, tiga cabang saluran empedu melalui

ductus

duodenum.

7) PTC (perkutaneus transhepatik cholengiografi): Pemberian cairan kontras

untuk menentukan adanya batu dan cairan pankreas.

8) Cholecystogram (untuk Cholesistitis kronik) : menunjukkan adanya batu

di

sistim billiar.

9) CT Scan : menunjukkan gellbalder pada cysti, dilatasi pada saluran

empedu,

obstruksi/obstruksi joundice.

10) Foto Abdomen :Gambaran radiopaque (perkapuran ) galstones,

pengapuran

pada saluran atau pembesaran pada gallblader.

F. Penatalaksanaan
Penanganan kolelitiasis dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan non

bedah dan bedah. Ada juga yang membagi berdasarkan ada tidaknya gejala yang

menyertai kolelitiasis, yaitu penatalaksanaan pada kolelitiasis simptomatik dan

kolelitiasis yang asimptomatik.

1. Penatalaksanaan Non bedah

a) Penatalaksanaan pendukung dan diet

Kurang lebih 80% dari pasien-pasien inflamasi akut kandung empedu sembuh

dengan

istirahat, cairan infus, penghisapan nasogastrik, analgesik dan antibiotik.

Intervensi

bedah harus ditunda sampai gejala akut mereda dan evalusi yang lengkap dapat

dilaksanakan, kecuali jika kondisi pasien memburuk (Smeltzer, SC dan Bare, BG

2002).

Manajemen terapi :

1) Diet rendah lemak, tinggi kalori, tinggi protein

2) Pemasangan pipa lambung bila terjadi distensi perut.

3) Observasi keadaan umum dan pemeriksaan vital sign

4) Dipasang infus program cairan elektrolit dan glukosa untuk mengatasi syok

5) Pemberian antibiotik sistemik dan vitamin K (anti koagulopati).


b) Disolusi medis

Oral Dissolution Therapy adalah cara penghancuran batu dengan pemberian obat-

obatan oral. Ursodeoxycholic acidlebih dipilih dalam pengobatan daripada

chenodeoxycholic karena efek samping yang lebih banyak pada penggunaan

chenodeoxycholicseperti terjadinya diare, peningkatan aminotransfrasedan

hiperkolesterolemia sedang

c) Disolusi kontak

Terapi contact dissolutionadalah suatu cara untuk menghancurkan batu kolesterol

dengan memasukan suatu cairan pelarut ke dalam kandung empedu melalui

kateter

perkutaneus melalui hepar atau alternatif lain melalui kateter nasobilier. Larutan

yang dipakai adalah methyl terbutyl eter. Larutan ini dimasukkan dengan suatu

alat khusus ke dalam kandung empedu dan biasanya mampu menghancurkan batu

kandung empedu dalam 24 jam.

Kelemahan teknik ini hanya mampu digunakan untuk kasus dengan batu yang

kolesterol yang radiolusen. Larutan yang digunakan dapat menyebabkan iritasi

mukosa, sedasi ringan dan adanya kekambuhan terbentuknya kembali batu

kandung

empedu.

d) Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)


Prosedur non invasive ini menggunakan gelombang kejut berulang (Repeated

Shock Wave) yang diarahkan pada batu empedu didalam kandung empedu atau

ductus koledokus dengan maksud memecah batu tersebut menjadi beberapa

sejumlah fragmen. (Smeltzer & Bare, 2002).

ESWL sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu. Analisis biaya-

manfaat

pada saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada pasien yang

telah benar-benar dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.

e) Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)

Pada ERCP, suatu endoskop dimasukkan melalui mulut, kerongkongan, lambung

dan ke dalam usus halus. Zat kontras radioopak masuk ke dalam saluran empedu

melalui sebuah selang di dalam sfingter oddi. Pada sfingterotomi, otot sfingter

dibuka agak lebar sehingga batu empedu yang menyumbat saluran akan berpindah

ke usus halus.

ERCP dan sfingterotomi telah berhasil dilakukan pada 90% kasus. Kurang dari 4

dari setiap 1.000 penderita yang meninggal dan 3-7% mengalami komplikasi,

sehingga prosedur ini lebih aman dibandingkan pembedahan perut. ERCP saja

biasanya efektif dilakukan pada penderita batu saluran empedu yang lebih tua,

yang kandung empedunya telah diangkat.

2. Penatalaksanaan Bedah
a) Kolesistektomi terbuka

Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien denga kolelitiasis

simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi adalah cedera

duktus biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan

untuk prosedur ini kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk

kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.

b) Kolesistektomi laparaskopi

Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan sekarang

ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopi. 80-90% batu empedu

di Inggris dibuang dengan cara ini karena memperkecil resiko kematian

disbanding operasi normal (0,1-0,5% untuk operasi normal) dengan mengurangi

komplikasi pada jantung dan paru. Kandung empedu diangkat melalui selang

yang dimasukkan lewat sayatan kecil di dinding perut.

Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya

kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah

mulai melakukan prosedur ini pada pasien dengan kolesistitis akut dan pasien

dengan batu ductus koledokus. Secara teoritis keuntungan tindakan ini

dibandingkan prosedur konvensional adalah dapat mengurangi perawatan di

rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali bekerja, nyeri

menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah

keamanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi seperti

cedera duktus biliaris yang mungkin dapat terjadi lebih sering selama

kolesistektomi laparoskopi.
G. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita kolelitiasis :

1) Asimtomatik

2) Obstruksi duktus sistikus

3) Kolik bilier

4) Kolesistitis akut

5) Perikolesistitis

6) Peradangan pankreas (pankreatitis)

7) Perforasi

8) Kolesistitis kronis

9) Hidrop kandung empedu

10) Empiema kandung empedu

11) Fistel kolesistoenterik

12) Batu empedu sekunder (Pada 2-6% penderita, saluran menciut kembali dan

13) batu empedu muncul lagi)

14) Ileus batu empedu (gallstone ileus)

H. Konsep Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

a) Data subjektif.

1) Riwayat masa lalu

Riwayat keluarga, aktifitas, obesitas, suku, multiparity (sering hamil)

pembedahan abdomen sebelumnya, cancer, sering berpuasa, pregnancy,

diabetes, cirhosis.
2) Pengobatan

Menggunakan estrogen atau kontrasepsi oral

3) Pengkajian umum

Kehilangan berat badan, kedinginan, anorexia.

4) Nyeri

Nyeri hebat pada kuadran atas dan mungkin menyebar ke bagian

belakang scapula (biliari colic). Penyebaran nyeri pada punggung

bagian tengah, skapula, atau ke puncak bahu, disertai mual dan muntah.

Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri berkurang

setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri

menetap dan bertambah pada waktu menarik nafas dalam.

(Sjamsuhidajat,2005).

5) Integumen

Kulit gatal dan kering

6) Gastrointestinal

Tidak mampu mencerna, intoleransi terhadap lemak, nausea dan

vomiting, dyspepsia, pyrosis, darah membeku, perut kembung.

7) Urinary

Urine pekat atau gelap.

b) Data Obyektif:

1) Keadaan umum

Gelisah

2) Integumen
Jaundice, sklera ikterik

3) Pernapasan

Tachypneu, membelat selama pernapasan

4) Cardiovaskulaer

Tachycardia

5) Gastrointestinal

Gambaran jelas batu empedu, distensi abdomen

6) Penemuan yang mungkin ditemukan

Peningkatan fungsi liver dan bilirubin, leukocytosis, penemuan

ultrasound abnormal abdomen, IV cholangiogram.

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa yang mungkin muncul pada kasus kolelitiasis adalah sebagai berikut :

1) Gangguan rasa nyaman nyeri b.d adanya proses peradangan, agen cidera.

biologis proses inflamasi kandung empedu, obstruksi/spasme duktus, iskemia

jaringan (nekrosis).

2) Hypertermi b.d respon sistemik dari inflamasi gastrointestinal

3) Defisit nutrisi b.d peningkatan asam lambung

4) Gangguan rasa nyaman cemas b.d kurangnya pengetahuan

5) Gangguan pemenuhan ADL b.d atropi oto, kelemahan fisik

6) Hipovolemia b.d muntah berlebihan

7) Gangguan integritas kulit b.d prosedur invasif, faktor mekanik.

3. Intervensi keperawatan
Diagnosa keperawatan 1

Gangguan rasa nyaman nyeri b.d adanya proses peradangan

Tujuan : Rasa nyaman nyeri terpenuhi dengan

kriteria hasil :

1) TTV dalam batas normal

2) Pasien tidak tampak kesakitan

3) Skala nyeri menurun

4) Nyeri berkurang atau hilang

Intervensi :

1) Observasi tanda-tanda vital.

Rasional : Untuk menentukan keadaan umum klien

2) Observasi dan catat lokasi (beratnya skala 0-10) dan karakteristik nyeri

(menetap, hilang timbul, kolik).

Rasional : Membantu membedakan penyebab nyeri dan memberikan

informasi tentang kemajuan/perbaikan penyakit, terjadinya komplikasi dan

keefektifan intervensi

3) Tingkatkan tirah baring, biarkan pasien melakukan posisi yang nyaman.

Rasional : Meningkatkan istirahat tirah baring pada posisi fowler rendah

dapat menurunkan tekanan intra abdomen, namun pasien akan melakukan

posisi yang menhilangkan nyeri secara alamiah.

4) Ajarkan tehnik non farmakologi misalnya relaksasi, distraksi dll.

Rasional : Dapat menurunkan nyeri yang dirasakan

5) Kolaborasi dalam pemberian analgetik.


Rasional : Analgetik dapat mengatasi nyeri yang dirasakan.

Diagnosa keperawatan. 2

Defisit nutrisi b.d peningkatan asam lambung

Tujuan :Kebutuhan nutrisi terpenuhi

kriteria hasil :

1) Nafsu makan meningkat

2) Tidak terjadi gangguan nutrisi

3) Porsi makan habis

4) Bb kembali normal

Intervensi :

1) Kaji status nutrisi klien, turgor kulit, BB, integritas mukosa, riwayat

mual/muntah.

Rasional : Memvalidasi dan menetapkan derajat masalah untuk menetapkan

pilihan intervensi yang tepat.

2) Pertahankan kebersihan mulut.

Rasional : Akumulasi pertikel makanan dimulut dapat menambah bau dan

rasa tak sedap yang menurunkan nafsu makan

3) Berikan makanan dalam porsi sedikit tapi sering.

Rasional : Memudahkan proses pencernaan dan toleransi pasien terhadap

nutrisi

4) Berikan makanan selagi hangat.


Rasional : Dafat mempengaruhi nafsu makan dan membangkitkan nafsu

makan.

5) Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian diit (diet cair rendah lemak,

rendah lemak tinggi serat).

Rasional : Merencanakan diet dengan nutrisi yang adekuat untuk memenuhi

peningkatan kebutuhan energi dan kalori sehubungan dengan perubahan

metabolik pasien.

Diagnosa Keperawatan 3

Hypertermi b.d respon sistemik dari inflamasi gastrointestinal

Tujuan : Keseimbangan suhu tubuh kembali normal

kriteria hasil :

1) Suhu tubuh menurun/normal

2) Keringat yang keluar berkurang

3) Bibir lembab

Intervensi :

1) Observasi tanda-tanda vital, terutama suhu.

Rasional : Dapat mendeteksi dini tanda-tanda peningkatan suhu tubuh.


2) Anjurkan pasien memakai pakaian yang tipis.

Rasional : membantu mempermudah penguapan panas

3) Beri kompres hangat di beberapa bagian tubuh, seperti ketiak, lipatan paha,

leher bagian belakang.

Rasional : dapat mempercepat penurunan suhu tubuh

4) Anjurkan pasien banyak minum ± 2 liter/hari.

Rasional : untuk menjaga keseimbangan cairan didalam tubuh

5) Kolaborasi dalam pemberian obat anti piretik.

Rasional : dapat membantu menurunkan panas.

Diagnosa Keperawatan. 4

Gangguan integritas kulit b.d prosedur invasif, faktor mekanik, ikterus

Tujuan : Gangguan integritas kulit tidak terjadi

kriteria hasil : menunjukkan perilaku untuk meningkatkan penyembuhan /

mencegah

1) kerusakan kulit.

Intervensi :

1) Observasi kulit, sclera dan perubahan warna urin.

Rasional : Terjadinya ikterik mengindikasikan adanya obstruksi aliran

empedu.
2) Berikan masase pada daerah kulit yang mengalami gangguan.

Rasional : Bermanfaat dalam menurukan iritasi kulit.

3) Pertahankan kelembaban (+/- 60%), gunakan alat pelembab.

Rasional : Kelembaban yang rendah, kulit akan kehilangan air.

4) Pertahankan lingkungan dingin.

Rasional : Kesejukan mengurangi gatal

5) Mengoleskan lotion dan krim kulit segera setelah mandi.

Rasional : Hidrasi yang cukup pada stratum korneum mencegah gangguan

lapisan barier kulit.

6) Menjaga agar kuku selalu terpangkas (pendek).

Rasional : Mengurangi kerusakan kulit akibat garukan.

Diagnosa. 5

Hipovolemia b.d muntah berlebihan

Tujuan : Menunjukan cairan adekuat,

kriteria hasil :

1) Tanda vital stabil

2) Membran mukosa lembab

3) Turgor kulit baik

4) Pengisian kapiler baik

5) Intake Output dalam batas normal

Intervensi :
1) Pertahankan masukan dan haluaran akurat, perhatikan haluaran kurang dari

masukan, peningkatan berat jenis urine. Kaji membrane mukosa/kulit, nadi

perifer, dan pengisian kapiler.

Rasional : Memberikan informasi tentang status cairan/volume sirkulasi dan

kebutuhan penggantian.

2) Awasi tanda / gejala peningkatan/berlanjutnya mual/muntah, kram abdomen,

kelemahan, kejang, kejang ringan, kecepatan jantung tak teratur, parestesia,

hipoaktif atau tak adanya bising usus, depresi pernapasan.

Rasional : Muntah bekepanjangan, aspirasi gaster dan pembatasan

pemasiukan oral dapat menimbulkan defisit natrium, kalium dan klorida.

3) Hindarkan dari lingkungan yang berbau.

Rasional : Menurunkan rangsangan pada pusat muntah

4) Kaji perdarahan yang tidak biasa, contoh: perdarahan terus-menerus pada sisi

injeksi, mimisan, perdarahan gusi, ekimosis, petekie, hematemesis/melena.

Rasional : Protrombin darah menurun dan waktu koagulasi memanjang bila

aliran empedu terhambat, meningkatkan resiko perdarahan/hemoragi.

5) Kolaborasi : Berikan antimetik.

Rasional : Menurunkan mual dan mencegah muntah

6) Kolaborasi : Berikan cairan IV, elektrolit, dan vitamin K.

Rasional : Mempertahankan volume sirkulasi dan memperbaiki

ketidakseimbangan.
Daftar Pustaka

Fransisca B. Batticaca. (2009). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan


Gangguan Sistem Metabolisme. Jakarta.

Mansjoer A. etal. (2006). Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I, Ed.3. Jakarta:


Media Aesculapius, FKUI.

Muttaqin, Arif dan Sari, Kumala. (2011). Gangguan Gastrointestinal:


Aplikasi Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika.

Nurarif, Amin Huda, Hardhi Kusuma. (2013). Aplikasi Asuhan


Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda Nic Noc.
Jilid 2.Yogyakarta: Med Action.

Price, Sylvia Anderson, Wilson, Lorraine McCarty. (2005). Patofisiologi


Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jilid 1. Jakarta : Buku
Kedokteran EGC.
Sjamsuhidajat R, de Jong W. (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2.
Jakarta : Buku Kedokteran EGC.

Snell, Richard S. (2002). Anatomi Klinik. Edisi 3. Jakarta: EGC.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. (2006). Buku


Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai