Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

BATU EMPEDU (KOLELITIASI)

I. Konsep Cidera Kepala


1.1 Definisi
Kolelitiasis adalah adanya batu yang terdapat didalam kandung empedu atau
saluran empedu (duktus koledokus) atau keduanya (Muttaqin dan Sari, 2011).
Kolelitiasis adalah pembentukan batu empedu yang biasanya terbentuk dalam
kandung empedu dari unsur-unsur padat yang membentuk cairan empedu
(Brunner & Suddarth, 2001). Batu empedu merupakan endapan satu atau lebih
komponen empedu kolesterol, bilirubin, garam empedu, kalsium, protein, asam
lemak dan fosfolipid (Price & Wilson, 2005).
Kolelitiasis atau biasa disebut batu empedu merupakan endapan satu atau lebih
komponen empedu yaitu kolesterol, bilirubin, garam empedu, kalsium, protein,
asam lemak, dan fosfolipid (Price, 2006). Kolelitiasis adalah adanya batu yang
terdapat didalam kandung empedu atau saluran empedu (duktus koledokus)
atau keduanya (Muttaqin dan Sari, 2011).
1.2 Etiologi
Faktor predisposisi terpenting, yaitu gangguan metabolisme yang
menyebabkan terjadinya perubahan komposisi empedu, statis empedu, dan
infeksi kandung empedu.
Perubahan komposisi empedu kemungkinan merupakan faktor terpenting
dalam pembentukan batu empedu karena hati penderita batu empedu kolesterol
mengekresi empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol. Kolesterol yang
berlebihan ini mengendap dalam kandung empedu untuk membentuk batu
empedu.
Statis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan supersaturasi
progresif, perubahan komposisi kimia, dan pengendapan unsur-unsur tersebut.
Gangguan kontraksi kandung empedu atau spasme spingter oddi, atau
keduanya dapat menyebabkan statis. Faktor hormonal (hormon kolesistokinin
dan sekretin) dapat dikaitkan dengan keterlambatan pengosongan kandung
empedu.
Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan dalam pembentukan batu.
Mukus meningkatakn viskositas empedu dan unsur sel atau bakteri dapat
berperan sebagai pusat presipitasi/pengendapan. Infeksi lebih timbul akibat
dari terbentuknya batu, dibanding panyebab terbentuknya batu.
1.3 Tanda gejala
1.3.1    Rasa nyeri dan kolik bilier
Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung empedu akan
mengalami distensi dan akhirnya infeksi. Pasien akan menderita panas
dan mungkin teraba massa padat pada abdomen. Pasien dapat
mengalami kolik bilier disertai nyeri hebat pada abdomen kuadaran
kanan atas yang menjalar ke punggung atau bahu kanan, rasa nyeri ini
biasanya disertai mual dan muntah dan bertambah hebat dalam makan
makanan dalam porsi besar.
Pada sebagian pasien rasa nyeri bukan bersifat kolik melainkan
persisten. Serangan kolik bilier semacam ini disebabkan kontraksi
kandung empedu yang tidak dapat mengalirkan empedu keluar akibat
tersumbatnya saluran oleh batu. Dalam keadaan distensi, bagian fundus
kandung empedu akan menyentuh dinding abdomen pada daerah
kartilago kosta 9 dan 10 kanan. Sentuhan ini menimbulkan nyeri tekan
yang mencolok pada kuadran kanan atas ketika pasien melakukan
inspirasi dalam dan menghambat pengembangan rongga dada.
1.3.2 Ikterus
Obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam dudodenum akan
menimbulkan gejala yang khas, yaitu getah empedu yang tidak lagi
dibawa kedalam duodenum akan diserap oleh darah dan penyerapan
empedu ini membuat kulit dan menbran mukosa berwarna kuning.
Keadaan ini sering disertai dengan gejal gatal-gatal pada kulit.
1.3.3    Perubahan warna urine dan feses
Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat urine berwarna
sangat gelap. Feses yang tidak lagi diwarnai oleh pigmen empedu aka
tampak kelabu, dan biasanya pekat yang disebut “Clay-colored”.
1.3.4 Defisiensi Vitamin
Obstruksi aliran empedu juga akan mengganggu absorbsi vitamin
A,D,E,K yang larut lemak. Karena itu pasien dapat memperlihatkan
gejala defisiensi vitamin-vitamin ini jika obstruksi bilier berlangsung
lama. Defisiensi vitamin K dapat mengganggu pembekuan darah yang
normal.(Smeltzer, 2002)
1.3.5   Regurgitasi gas: flatus dan sendawa
1.4 Patofisiologi
Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang pada
saluran empedu lainnya.
Faktor predisposisi yang penting adalah :
 Perubahan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu
 Statis empedu
 Infeksi kandung empedu

Perubahan susunan empedu mungkin merupakan faktor yang paling penting


pada pembentukan batu empedu. Kolesterol yang berlebihan akan mengendap
dalam kandung empedu .

Stasis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan supersaturasi


progresif, perubahan susunan kimia dan pengendapan unsur tersebut.
Gangguan kontraksi kandung empedu dapat menyebabkan stasis. Faktor
hormonal khususnya selama kehamilan dapat dikaitkan dengan perlambatan
pengosongan kandung empedu dan merupakan insiden yang tinggi pada
kelompok ini.
Infeksi bakteri dalam  saluran empedu dapat memegang peranan sebagian 
pada pembentukan batu dengan meningkatkan deskuamasi seluler dan
pembentukan mukus. Mukus meningkatkan viskositas dan unsur seluler
sebagai pusat presipitasi. Infeksi lebih sering sebagai akibat pembentukan batu
empedu dibanding infeksi yang menyebabkan pembentukan batu.
Perjalanan Batu
Batu empedu asimtomatik dapat ditemukan secara kebetulan pada
pembentukan foto polos abdomen dengan maksud lain. Batu baru akan
memberikan keluhan bila bermigrasi ke leher kandung empedu (duktus
sistikus) atau ke duktus koledokus. Migrasi keduktus sistikus akan
menyebabkan obstruksi yang dapat menimbulkan iritasi zat kimia dan infeksi.
Tergantung beratnya efek yang timbul, akan memberikan gambaran klinis
kolesistitis akut atau kronik.
Batu yang bermigrasi ke duktus koledokus dapat lewat ke doudenum atau tetap
tinggal diduktus yang dapat menimbulkan ikterus obstruktif.
1.5 Pemeriksaan penunjang
1.5.1 Tes laboratorium
1. Leukosit : 12.000 – 15.000 /iu (N : 5000 – 10.000 iu).
2. Bilirubin : meningkat ringan, (N : < 0,4 mg/dl).
3. Amilase serum meningkat.( N: 17 – 115 unit/100ml).
4. Protrombin menurun, bila aliran dari empedu intestin menurun karena
obstruksi sehingga menyebabkan penurunan absorbsi vitamin K.(cara
Kapilar : 2 – 6 mnt).
1.5.1 Ronsen abdomen / pemeriksaan sinar X / Foto polos abdomen
Dapat dilakukan pada klien yang dicurigai akan penyakit kandung
empedu. Akurasi pemeriksaannya hanya 15-20 %. Tetapi bukan
merupakan pemeriksaan pilihan.
1.5.2 Kolangiogram / kolangiografi transhepatik perkutan
Yaitu melalui penyuntikan bahan kontras langsung ke dalam cabang
bilier. Karena konsentrasi bahan kontras yang disuntikan relatif besar
maka semua komponen sistem bilier (duktus hepatikus, D. koledukus, D.
sistikus dan kandung empedu) dapat te rlihat. Meskipun angka
komplikasi dari kolangiogram rendah namun bisa beresiko peritonitis
bilier, resiko sepsis dan syok septik.
1.5.3 ERCP ( Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatographi)
Yaitu sebuah kanul yang dimasukan ke dalam duktus koledukus dan duk
tus pancreatikus, kemudian bahan kontras disuntikkan ke dalam duktus
tersebut. Fungsi ERCP ini memudahkan visualisasi langsung stuktur
bilier dan memudahkan akses ke dalam duktus koledukus bagian distal
untuk mengambil batu empedu, selain itu ERCP berfung s i untuk
membedakan ikterus yang disebabkan oleh penyakit hati (ikterus
hepatoseluler dengan ikterus yang disebabkan oleh obstuksi bilier dan
juga dapat digunakan untuk menyelidiki gejala gastrointestinal pada
pasien-pasien yang kandung empedunya sudah dia ngkat.ERCP ini
berisiko terjadinya tanda-tanda perforasi/ infeksi.
1.6 Komplikasi
1.6.1 Asimtomatik
1.6.2 Obstruksi duktus sistikus
1.6.3 Kolik bilier
1.6.4 Kolesistitis akut
1.6.5 Perikolesistitis
1.6.6 Peradangan pankreas (pankreatitis)
1.6.7 Perforasi
1.6.8 Kolesistitis kronis
1.6.9 Hidrop kandung empedu
1.6.10 Empiema kandung empedu
1.6.11 Fistel kolesistoenterik
1.6.12 Batu empedu sekunder (Pada 2-6% penderita, saluran menciut kembali
dan batu empedu muncul lagi)
1.6.13 Ileus batu empedu (gallstone ileus)
1.7 Penatalaksanaan
1.7.1 Penatalaksanaan Nonbedah
a) Penatalaksanaan pendukung dan diet
Kurang lebih 80% dari pasien-pasien inflamasi akut kandung empedu
sembuh dengan istirahat, cairan infus, penghisapan nasogastrik,
analgesik dan antibiotik. Intervensi bedah harus ditunda sampai gejala
akut mereda dan evalusi yang lengkap dapat dilaksanakan, kecuali jika
kondisi pasien memburuk (Smeltzer, SC dan Bare, BG 2002).
Manajemen terapi :
A. Diet rendah lemak, tinggi kalori, tinggi protein
B. Pemasangan pipa lambung bila terjadi distensi perut.
C. Observasi keadaan umum dan pemeriksaan vital sign
D. Dipasang infus program cairan elektrolit dan glukosa untuk
mengatasi syok.
E. Pemberian antibiotik sistemik dan vitamin K (anti koagulopati)
b) Disolusi medis
Oral Dissolution Therapy adalah cara penghancuran batu dengan
pemberian obat-obatan oral. Ursodeoxycholic acidlebih dipilih dalam
pengobatan daripada chenodeoxycholic karena efek samping yang
lebih banyak pada penggunaan chenodeoxycholicseperti terjadinya
diare, peningkatan aminotransfrasedan hiperkolesterolemia sedang
c) Disolusi kontak
Terapi contact dissolutionadalah suatu cara untuk menghancurkan batu
kolesterol dengan memasukan suatu cairan pelarut ke dalam kandung
empedu melalui kateter perkutaneus melalui hepar atau alternatif lain
melalui kateter nasobilier. Larutan yang dipakai adalah methyl terbutyl
eter. Larutan ini dimasukkan dengan suatu alat khusus ke dalam
kandung empedu dan biasanya mampu menghancurkan batu kandung
empedu dalam 24 jam.
Kelemahan teknik ini hanya mampu digunakan untuk kasus dengan
batu yang kolesterol yang radiolusen. Larutan yang digunakan dapat
menyebabkan iritasi mukosa, sedasi ringan dan adanya kekambuhan
terbentuknya kembali batu kandung empedu.
d) Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)
Prosedur non invasive ini menggunakan gelombang kejut berulang
(Repeated Shock Wave) yang diarahkan pada batu empedu didalam
kandung empedu atau duktus koledokus dengan maksud memecah
batu tersebut menjadi beberapa sejumlah fragmen. (Smeltzer & Bare,
2002).
ESWL sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu. Analisis
biaya-manfaat pada saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya
terbatas pada pasien yang telah benar-benar dipertimbangkan untuk
menjalani terapi ini.
e) Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)
Pada ERCP, suatu endoskop dimasukkan melalui mulut,
kerongkongan, lambung dan ke dalam usus halus. Zat kontras
radioopak masuk ke dalam saluran empedu melalui sebuah selang di
dalam sfingter oddi. Pada sfingterotomi, otot sfingter dibuka agak
lebar sehingga batu empedu yang menyumbat saluran akan berpindah
ke usus halus. ERCP dan sfingterotomi telah berhasil dilakukan pada
90% kasus. Kurang dari 4 dari setiap 1.000 penderita yang meninggal
dan 3-7% mengalami komplikasi, sehingga prosedur ini lebih aman
dibandingkan pembedahan perut. ERCP saja biasanya efektif
dilakukan pada penderita batu saluran empedu yang lebih tua, yang
kandung empedunya telah diangkat
1.7.2 Penatalaksanaan Bedah
a) Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien denga
kolelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat
terjadi adalah cedera duktus biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien.
Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur ini kurang dari
0,5%. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik
biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.
b) Kolesistektomi laparaskopi
Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan
sekarang ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopi.
80-90% batu empedu di Inggris dibuang dengan cara ini karena
memperkecil resiko kematian dibanding operasi normal (0,1-0,5%
untuk operasi normal) dengan mengurangi komplikasi pada jantung
dan paru. Kandung empedu diangkat melalui selang yang dimasukkan
lewat sayatan kecil di dinding perut.
Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa
adanya kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman,
banyak ahli bedah mulai melakukan prosedur ini pada pasien dengan
kolesistitis akut dan pasien dengan batu duktus koledokus. Secara
teoritis keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur konvensional
adalah dapat mengurangi perawatan di rumah sakit dan biaya yang
dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali bekerja, nyeri menurun dan
perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah
keamanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi
seperti cedera duktus biliaris yang mungkin dapat terjadi lebih sering
selama kolesistektomi laparoskopi.

1.8 pathway
II. Rencana asuhan
2.1 Pengkajian
2.1.1 Riwayat
1.Umur : Sering terjadi usia 18 - 30 tahun.
2.Alergi terhadap obat, makanan tertentu.
3.Pengobatan terakhir.
4.Pengalaman pembedahan.
5.Riwayat penyakit dahulu.
6.Riwayat penyakit sekarang.
7.Dan Keluhan.
2.1.2 Pemeriksaan fisik
1. Aktivitas dan istirahat:
Subyektif : kelemahan
Obyektif : kelelahan
2. Sirkulasi :
Obyektif : Takikardia, Diaphoresis
3. Eliminasi :
Subyektif : Perubahan pada warna urine dan feces
Obyektif : Distensi abdomen, teraba massa di abdomen atas/quadran
kanan atas, urine pekat .
4. Makan / minum (cairan)
Subyektif : Anoreksia, Nausea/vomit, Tidak ada toleransi makanan lunak
dan mengandung gas, Regurgitasi ulang, eruption, flatunasi, Rasa seperti
terbakar pada epigastrik (heart burn), Ada peristaltik, kembung dan
dyspepsia.
Obyektif :Kegemukan, Kehilangan berat badan (kurus).
5. Nyeri/ Kenyamanan :
Subyektif :Nyeri abdomen menjalar ke punggung sampai ke bahu, Nyeri
apigastrium setelah makan, Nyeri tiba-tiba dan mencapai puncak setelah
30 menit.
Obyektif :Cenderung teraba lembut pada klelitiasis, teraba otot
meregang /kaku hal ini dilakukan pada pemeriksaan RUQ dan
menunjukan tanda marfin (+).
6. Respirasi :
Obyektif : Pernafasan panjang, pernafasan pendek, nafas dangkal, rasa
tak nyaman.
7. Keamanan :
Obyektif : demam menggigil, Jundice, kulit kering dan pruritus ,
cenderung perdarahan ( defisiensi Vit K ).
8. Belajar mengajar :
Obyektif : Pada keluarga juga pada kehamilan cenderung mengalami batu
kandung empedu. Juga pada riwayat DM dan gangguan / peradangan
pada saluran cerna bagian bawah
2.1.3 Pemeriksaan Penunjang
a.Darah lengkap : leukositosis sedang (akut)
b.Bilirubin dan Amilase serum : meningkat
c.Enzim hati serum-AST (SGOT): ALT (SGPT): LDH: agak meningkat:
alkalin fosfat dan 5-nukletidase: ditandai dengan peningkatan obstruksi
bilier
d.Kadar protombin: menurun bila obstruksi cairan empedu dalam usus
menurunkan absorbs Vitamin K
e.Ultrasound: menyatakan kalkul, dan distensi kandung empedu atau duktus
empedu (sering merupakan prosedur dianostik awal)
f.Kalangiopankreatografi retrograde endoskopik: Memperlihatkan
percabangan bilier dengan kanulasi duktus koledukus melalui duodenum
g.Kalangiografi transhepatik perkutanues : pembedaan gambar dengan
fluoroskopi antara penyakit kandung empedu dan kangker pangkreas bila
ikterik ada
h.Kolesistogram ( untuk kolesistiti s kronis) Menyatakan batu empedu pada
system empedu. Catatan : kontra indikasi pada kolesistitis karena pasien
terlalu lemah untuk menelan saat lewat mulut.
i. CT scan : Dapat menyatakan kista kandung empedu, dilatasi duktus
empedu, dan membedakan antara ikterik obstruksi / non-obstruksi
j. Skan hati: menunjukan obstruksi percabangan bilier
k.Foto abdomen : (multi posisi) menyatakan gambanaran radiologi
(klasifikasi) bat empedu, klasifikasi dinding atau pembesaran kandung
empedu
l. Foto dada : Menunjukan pernapasan yang menyebabkan penyebaran nyeri.

2.2 Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul


Diagnosa I : Nyeri akut berhubungan dengan proses biologis yang ditandai dengan
obstruksi kandung empedu
2.2.1 Definisi:
Rasa yang tidak menyenangkan dan pengalaman emosional yang timbul
secara nyata atau potensi kerusakan jaringan atau yang digambarkan
sebagai kerusakan
2.2.2 Batasan karakteristik
 Perubahan ketegangan otot
 Perubahan nafsu makan
 Perubahan denyut jantung
 Gangguan perilaku
 Tingkah laku yang ekspresif
 Kedok wajah
 Perilaku berhati-hati
 Focus yang terbatas
 Observasi kejadian nyeri
 Keadaan untuk menghindari nyeri
 Isyarat perlindungan
2.2.3 Faktor yang berhubungan
Penyebab luka (biolog,kimia,fisika, psikologi)
Diagnosa II: Kekurangan volume cairan (resiko tinggi terhadap) berhubungan
dengan muntah, distensi dan hipermotilitas gaster, gangguan
proses pembekuan.
2.2.4 Definisi:
Suatu keadaan dimana individu yang tidak mengalami puasa atau yang
berisiko mengalami penurunan berat badan yang berhubungan dengan
masukan yang tidak adekuat atau metabolisme nutrien yang tidak adekuat
untuk kebutuhan metabolik.
2.2.5 Batasan Karakteristik
 Asupan makanan kurang dari kebutuhan metabolic, baik kalori
total maupun zat gizi tertentu
 Kehilangan berat baan dengan asupan makanan yang adekuat
 Melaporkan asupan makanan yang tidak adekuat kurang dari RDA
Subjektif:
 Kram abdomen
 Nyeri abdomen
 Menolak makan
 Persepsi ketidakmampuan untuk mencerna makan
 Melaporkan perubahan sensasi rasa
 Melaporkan kurangnya makanan
 Merasa cepat kenyang setelah mengkonsumsi makanan

Objektif:
 Pembuluh kapiler rapuh
 Diare atau steatore
 Bukti kekurangan makanan
 Kehilangan rambut yang berlebihan
 Bising usus hiperaktif
 Kurang informasi/informasi yang salah
 Kurangnya minat terhadap makanan
 Rongga mulut terluka
 Kelemahan otot yang berfungsi untuk menelan atau mnengunyah
2.2.6 Faktor yang berhubungan
 Ketidak mampuan untuk menelan atau mencerna makanan atau
menyerap nutrient akibat factor biologis, psikologis atau ekonomi
termasuk beberapa contoh non nanda berikut:
 Ketergantungan zat kimia
 Penyakit kronis
 Kesulitan mengunyah atau menelan
 Factor ekonomi
 Intoleransi makanan
 Kebutuhan metabolic tinggi
 Reflek mengisap pada bayi tidak efektif
 Kurang pengetahuan dasar tentang nutrisi
 Akses terhadap makanan terbatas
 Hilang nafsu makan
 Mual dan muntah
 Pengabaian oleh orang tua
 Gangguan psikologis
2.3 Perencanaan
Diagnosa 1: Nyeri akut berhubungan dengan proses biologis yang ditandai dengan
obstruksi kandung empedu
2.3.1 Tujuan dan kriteria hasil
TV normal :(TD :110/70 – 120/ 90 mmHg, RR : 16- 20 x/mnt, N : 60-
100x/mnt, S : 36,5- 37,50.C ).
-          Pasien mengungkapkan rasa nyeri berkurang.
-          Pasien mampu mengendalikan nyeri dengan teknik relaksasi dan
distraksi.
-          Skala nyeri 0-3
-          Wajah pasien rileks
2.3.2 Intervensi keperawatan dan rasional

INTERVENSI RASIONAL
1. Observasi dan catat lokasi, beratnya (skala 1. Membantu membedakan penyebab
0- 10) dan karakter nyeri (menetap hilang, nyeri dan memberikan informasi
timbul, kolik) tentang kemajuan/perbaikan penyakit,
2. Tingkatkan tirah baring, biarkan pasien terjadinya komplikasi. Dan keefektifan
melakukan posisi yang nyaman intervensi.
3. Dorong menggunakan teknik relaksasi 2. tirah bring pada posisi Fowler dapat
contoh bimbingan imajinasi, visualisasi, menurunkan tekanan intra abdomen:
latiahan napas dalam. Berikan aktivitas namun pasien akan melakukan posisi
senggang yang menghilangkan nyeri secara
Kolaborasi dengan tim kesehatan lain alamiah.
4.Berikan obat sesuai indikasi: 3. meningkatkan istirahat, memusatkan
A. Atropine, propantelin kembali perhatia, dapat meningkatkan
B. Fenobarbital koping.
5.Intervensi bedah 4. KOLABORASI
Defisit pengetahuan berhubungan dengan A. menghilangkan reflek spasme /
Salah interpretasi informasi kontraksi otot halus dan membantu
Tujuan : Terpenuhinya pengetahuan klien dalam managemen nyeri
dan keluarga tentang perawatan B. meningkatkan istirahat dan
Intervensi merilekskan otot halus,
A. Berikan penjelasan / alasan tes dan menghilangkan nyeri
persiapannya.
B. Diskusikan program penurunan berat 5. TINDAKAN BEDAH
badan bila diindikasikan. kolesistektomi dapat diindikasi
C. Anjurkan istirahat pada posisi semi- sehubungan dengan ukuran batu d an
fowler setelaj makan derajat kerusakan jaringan / adanya
D. Anjurkan pasien membatasi nekrosis.
mengunyah permen karet, menghisap A.Informasi menurunkan cemas, dan
permen keras, atau merokok rangsangan simpatis
B.kegemukan adalah factor resiko yang
dihubungkan dengan kolesistitis, dan
penurunan berat badan menguntungkan
dalam managemen medic terhadap
kondisi kronis.
C.meningkatkan aliran empedu dan
relaksasi umu mselama proses
pencernakan awal.
D.meningkatkan pembentukan gas, yang
dapat meningkatkan distensi /
ketidaknyamanan gaster.
Diagnosa 2: Kekurangan volume cairan (resiko tinggi terhadap) berhubungan
dengan muntah, distensi dan hipermotilitas gaster, gangguan proses pembekuan
2.3.3 Tujuan dan kriteria hasil
Nafsu makan pasien meningkat
-   Porsi makan habis
-   Pasien mampu mengungkapkan bagaimana cara mengatasi malas makan
-   Pasien tidak lemas
-   BB naik
2.3.4 Intervensi keperawatan dan rasional

INTERVENSI RASIONAL
1. Awasi pemasukan diet / jumlah kalori.
1. Makan banyak sulit untuk mengatur
Berikan makan sedikit dalam frekuensi bila pasien anoreksi. Anoreksi juga

sering dan tawarkan makan pagi paling paling buruk selama siang hari, membuat
masukan makanan yang sulit pada sore
besar
hari
2. Berikan perawatan mulut sebelum 2. Menghilangkan rasa tak enak dapat

makan meningkatkan nafsu makan


3. Menurunkan rasa penuh pada
3. Anjurkan makan pada posisi duduk
abdomen dan dapat meningkatkan nafsu
tegak makan
4. Dorong pemasukan sari jeruk, minuman 4. Bahan ini merupakan ekstra kalori
dan dapat lebih mudah dicerna / toleran
karbonat dan permen berat sepanjang
bila makanan lain ini
hari
5. Berguna dalam membuat program
5. Konsul pada ahli gizi, dukung tim nutrisi diet untuk memenuhi kebutuhan individu.

untuk memberikan diet sesuai kebutuhan Metabolisme lemak bervariasi tergantung


pada produksi dan pengeluaran empedu
pasien, dengan masukan lemak dan
dan perlunya masukan normal atau lebih
protein sesuai toleransi protein akan membantu regenerasi hati
6. Berikan obat sesuai indikasi : 6. Diberikan ½ jam sebelum makan,
dapat menurunkan mual dan
Antiematik, contoh metalopramide
meningkatkan toleransi pada makanan.
(Reglan) ; trimetobenzamid (Tigan)

Daftar Pustaka

 Doenges, Marilynn E. (1999) Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Pasien, alih bahasa: I Made Kariasa, Ni Made
Sumarwati, edisi 3, Jakarta: EGC
 Smeltzer, Suzanne C. (2001) Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth, alih bahasa: Agung Waluyo (et. al.), vol. 1, edisi 8, Jakarta: EGC
 Price Sylvia Anderson (1997) Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, alih
bahasa: Peter Anugerah, Buku Kedua, edisi 4, Jakarta: EGC
 Mansjoer,Arif M . 2001 . Kapita Selekta Kedokteran . Jakarta : Media Aesculapius
 Carpenito, Lynda Juall (1997) Buku Saku Diagnosa Keperawatan, alih bahasa: Yasmin
Asih, edisi 6, Jakarta: EGC
 Walkinson, Judith M. (2012). Buku Saku Diagnosis Keperawatan: diagnosis NANDA,
intervensi NIC, kriteria hasil NOC. Ed.9. Jakarta:EGC
Banjarmasin, 13 Desember 2016
Preseptor akademik, Preseptor klinik,

(........................................................) (.........................................................)

Anda mungkin juga menyukai