Anda di halaman 1dari 16

A.

Defenisi
Menurut Doenges, Marilyn, E (1999) kolelitiasis adalah inflamasi akut atau kronis
dari kandung empedu, biasanya berhubungan dengan batu empedu yang tersangkut pada
duktus kistik, menyebabkan distensi kandung empedu. Kolelitiasis atau koledokolitiasis
merupakan adanya batu dikandung empedu atau pada saluran kandung empedu yang
umumnya komposisi utamanya adalah kolesterol (wiliams, 2005).
Cholelitiasis merupakan adanya batu dikandung empedu, atau pada saluran kandung
empedu yang pada umumnya komposisi utamanya adalah kolesterol (Williams,2003).
Cholelitiasis merupakan adanya atau pembentukan batu empedu, batu ini mungkin
terdapat dalam kandung empedu (cholecystolithiasis) atau dalam ductus choledochus
(choledocholithiasis).Cholelitiasis (kalkuli/kalkulus, batu empedu) merupakan suatu
keadaan dimana terdapatnya batu empedu di dalam kandung empedu (vesica fellea) yang
memiliki ukuran,bentuk dan komposisi yang bervariasi.
Cholelitiasis lebih sering dijumpai pada individu berusia diatas 40 tahun terutama
pada wanita dikarenakan memiliki faktor resiko,yaitu: obesitas, usia lanjut, diet tinggi
lemak dan genetik. Sinonimnya adalah batu empedu,gallstones, biliary calculus. Istilah
kolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu. Batu
kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk suatu material
mirip batu yang terbentuk di dalam kandung empedu.
B. ETIOLOGI

Faktor predisposisi terpenting yaitu gangguan metabolisme yang menyebabkan terjadinya


perubahan komposisi batu empedu, statis empedu, dan infeksi kandung empedu. Selain itu,
ada beberapa faktor resiko antara lain:
1. Genetik
Batu empedu memperlihatkan variasi genetik. Di negara Barat penyakit ini
sering dijumpai, di USA 10-20 % laki-laki dewasa menderita batu kandung empedu.
Batu empedu lebih sering ditemukaan pada orang kulit putih dibandingkan kulit
hitam. Batu empedu juga sering ditemukan di negara lain selain USA, Chili dan
Swedia.

2. Umur
Usia rata-rata tersering terjadinya batu empedu adalah 40-50 tahun. Sangat
sedikit penderita batu empedu yang dijumpai pada usia remaja, setelah itu dengan
semakin bertambahnya usia semakin besar kemungkinan untuk mendapatkan batu
empedu, sehingga pada usia 90 tahun kemungkinannya adalah satu dari tiga orang.
3. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan
pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan
eskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang menigkatkan kadar
esterogen juga meningkatkan resiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi
dan terapi hormon (esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu
dan penurunan aktivitas pengosongan kandung empedu.
4. Berat Badan (BMI)
Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi
untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol
dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam empedu serta
mengurangi kontraksi/ pengosongan kandung empedu.
5. Makanan
Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat(seperti setelah
operasi gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia empedu dan
dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.
6. Aktifitas Fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya
kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi.
7. Riwayat Keluarga
Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar
dibandingn dengan tanpa riwayat keluarga.
8. Nutrisi intravena jangka lama
Nutrisi IV dalam janggka lama mengakibatkan kandung empedu tidak
terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/nutrisi yang melewati
intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam
kandung empedu.
C. Manifestasi Klinis (Baughman, 2000)
1. Menunjukkan gejala-gejala gastrointestinal ringan
Penderita penyakit kandung empedu akibat batu empedu dapat mengalami dua
jenis gejala,yaitu gejala yang disebabkan oleh penyakit pada kandung empedu itu
sendiri dan gejala yang terjadi akibat obstruksi pada lintasan empedu oleh batu
empedu. Pasien merasakan sakit atau nyeri pada perut bagian kuadran kanan atas,
serta warna feses pasien menjadi pucat.
2. Mungkin akut dan kronis dengan distress epigastrik (begah, distensi abdomen, nyeri
tak jelas pada kuadran kanan atas) setelah majan makanan banyak mengandung
lemak.
Gangguan epigastrium, seperti rasa penuh, distensi abdomen dan nyeri yang
samar pada kuadran kanan atas abdomen dapat terjadi. Gangguan ini dapat terjadi
setelah individu mengkonsumsi makanan yang mengandung lemak.
3. Jika saluran empedu tersumbat, maka kandung empedu mengalami distensi dan
akhirnya terinfeksi akan terjadi demam dan teraba massa pada abdomen.
Kolik bilier dengan nyeri abdomen kanan atas, manjalar ke punggung atau
bahu kanan, mual dan muntah beberapa jam setelah makan banyak. kolik bilier
semacam ini disebabkan oleh kontraksi kandung empedu yang tidak dapat
mengalirkan empedu keluar akibat tersumbatnya saluran oleh batu. Dalam keadaan
distensi, bagian fundus kandung empedu akan menyentuh dinding abdomen pada
daerah kartilago kosta sembilan dan sepuluh kanan. Sentuhan ini menimbulkan nyeri
tekan yang mencolok pada kuadran kanan atas ketika pasien melakukan inspirasi
dalam dan menghambat pengembangan rongga dada.
4. Ikterik terjadi dengan tersumbatnya duktus komunis empedu.
Obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam duodenum akan menimbulkan
gejala yang khas, yaitu : getah empedu yang tidak lagi dibaawa ke dalam duodenum
akan diserap oleh darah dan penyerapan empedu ini membuat kulit dan membrane
mukosa berwarna kuning. Keadaan ini sering disertai dengan gejala gatal-gatal yang
mencolok pada kulit.

5. Urine berwarna sangat gelap; feses warna pucat.


Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat urin berwarna sangat
gelap. Feses yang tidak lagi diwarnai oleh pigmen empedu akan tampak kelabu, dan
biasanya pekat yang disebut “clay-coloured”.
6. Defisiensi vitamin A, D, E dan K (vitamin yang larut dalam lemak).
Obstruksi aliran empedu juga mengganggu absorbsi vitamin A, D, E dan K
yang larut lemak. Defisiensi vitamin K dapat mengganggu pembekuan darah yang
normal.
7. Abses, nekrotis, an perforasi dengan peritonitis dapat terjadi jika batu empedu terus
menyumbat saluran empedu.
Jika batu empedu terus menyumbat saluran tersebut, penyumbatan ini dapat
menyebabkan abses, nekrosis dan perforasi disertai peritonitis generalisata. Bilamana
batu empedu terlepas dan tidak lagi menyumbat, kandung empedu akan mengalirkan
isinya keluar dan proses inflamasi segera mereda dalam waktu yang relative singkat.

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Sinar-x abdomen, ultrasonografi, pencitraan radionukleida, atau kolesintografi.
Pemeriksaaan sinar-X abdomen dapat dilakukan jika terdapat tanda gejala dari
penyakit kandung empedu. Namun demikian, hanya 15% hingga 20% batu empedu
yang mengalami cukup kalsifikasi untuk dapat tampak melalui pemeriksaan sinar-X.
Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat serta akurat, dan dapat
digunakan pada penderita disfungsi hati dan ikterus, Pemeriksaan USG dapat
mendeteksi kalkuli dalam kandung empedu atau duktus koledokus yang mengalami
dilatasi. Dilaporkan bahwa USG mendeteksi batu empedu dengan akurasi 95%.
Koleskintografi telah berhasil dalam membantu menegakkan diagnosis
kolelisistitis. Dalam prosedur ini, preparat radioaktif disuntikkan melalui intravena.
Preparat ini kemudian diambil oleh hepatosit dan dengan cepat diekskresikan dalam
system bilier. Selanjutnya dilakukan pemindaian saluran empedu untuk mendapatkan
gambar kandung empedu dan percabangan bilier.
2. Endoskopi retrogad kolangiopankreatografi (ERCP).

Pemeriksaan ERCP atau kolangiopankreatografi retrograde endoskopik


memungkinkan visualisasi struktur secara langsung yang hanya dapat dilihat pada saat
melakukan laparotomi. Pemeriksaan ini meliputi insersi endoskop serat-optik yang
fleksibel ke dalam esophagus hingga mencapai duodenum pars desendens. Sebuah
kanula dimasukkan ke dalam duktus koledokus serta duktus pankreatikus, kemudian
bahan kontras disuntikkan ke dalam duktus tersebut untuk memungkinkan visualisasi
serta evaluasi percabangan bilier. ERCP juga memungkinkan visualisasi langsung
struktur ini dan memudahkan akses ke dalam duktus koledokus bagian distal untuk
mengambil batu empedu. ERCP berfungsi untuk membedakan ikterus yang
disebabkan oleh penyakit hati (ikterus hepatoseluler dengan ikterus yang disebabkan
oleh obstuksi bilier dan juga dapat digunakan untuk menyelidiki gejala
gastrointestinal pada pasien-pasien yang kandung empedunya sudah diangkat.ERCP
ini berisiko terjadinya tanda-tanda perforasi/ infeksi

3. Perkutaneus transhepati kolangiografi (PTC).


4. Pemeriksaan kolangiografi ini meliputi penyuntikan bahan kontras langsung ke dalam
percabangan bilier. Karena konsentrasi bahan kontras yang disuntikkan itu terlalu
besar, maka semua komponen dalam system bilier tersebut, yang mencakup duktus
hepatikus dalam hati, keseluruhan panjang duktus koledokus, duktus sistikus dan
kandung empedu, dapat dilihat garis bentuknya dengan jelas.
D. Klasifikasi
Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu di
golongkankan atas 3 (tiga) golongan : (Lesmana, 2000)

1. Batu kolesterol
Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari 70%
kolesterol. Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang mengandung >
50% kolesterol). Untuk terbentuknya batu kolesterol diperlukan 3 faktor utama :

a. Supersaturasi kolesterol
b. Hipomotilitas kandung empedu
c. Nukleasi/ pembentukan nidus cepat.
2. Batu pigmen
Batu pigmen merupakan 10% dari total jenis baru empedu yang mengandung
<20% kolesterol. Jenisnya antara lain:

a. Batu pigmen kalsium bilirubinan (pigmen coklat)


Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan mengandung
kalsium-bilirubinat sebagai komponen utama. Batu pigmen cokelat terbentuk
akibat adanya faktor stasis dan infeksi saluran empedu. Bila terjadi infeksi saluran
empedu, khususnya E. Coli, kadar enzim B-glukoronidase yang berasal dari
bakteri akan dihidrolisasi menjadi bilirubin bebas dan asam glukoronat. Kalsium
mengikat bilirubin menjadi kalsium bilirubinat yang tidak larut. Umumnya batu
pigmen cokelat ini terbentuk di saluran empedu dalam empedu yang terinfeksi.

b. Batu pigmen hitam.


Berwarna hitam atau hitam kecoklatan. Batu pigmen hitam adalah tipe batu
yang banyak ditemukan pada pasien dengan hemolisis kronik atau sirosis hati.
Batu pigmen hitam ini terutama terdiri dari derivat polymerized bilirubin.
Potogenesis terbentuknya batu ini belum jelas. Umumnya batu pigmen hitam
terbentuk dalam kandung empedu dengan empedu yang steril.

3. Batu campuran
Batu campuran antara kolesterol dan pigmen dimana mengandung 20-50%

E. komplikasi
komplikasi yang terjadi pada penyakit kolelitiasis
a) asimtomatik
b) obstruksi duktus sistikus
c) kolik bilier
d) kolestisitis akut
e) perikolestitis
f) peradangan pankreas (pankreatitis)
g) perforasi
h) kolestitis kronis
i) hidrop kandung empedu
j) empiema kandung empedu
k) fistel kolesistoeenterik
l) batu empedu sekunder (pada 2-6 % penderita saluran menciut kembali dan
batu empedu muncul lagi)
m) ileus batu empedu (gailstone ileus)
F. Patofisiologi
Ada dua tipe utama batu empedu, yakni :
1. Batu Pigmen
Batu pigmen terdiri dari garam kalsium dan salah satu dari keempat anion ini :
bilirubinat,karbonat, fosfat, dan asam lemak. Pigmen (bilirubin) pada kondisi
normal akan terkonjugasi dalam empedu. Bilirubin terkonjugasi karena adanya
enzim glukorinil transferase, dan bila bilirubun ini tidak terkonjugasi diakibaatkan
karena kurang nya atau tidak adanya enzim glukorinil transferase tersebut yang
akan mengakibatkan presipitasi/pengendapan dari bilirubin tersebut. Ini
disebabkan karena bilirubin tak terkonjugasi tidak larut dalam air tetapi larut
dalam lemak, sehingga lama kelamaan terjadi pengendapan bilirubin tak
terkonjugasi yang dapat menyebabkan batu empedu. Resiko terbentuknya batu
pigmen ini sangat besar pada pasien sirosis, hemolisi, dan infeksi percabangan
bilier.

Pigmen (bilirubin) tak terkonjugasi dalam empedu

Akibatnya berkurang atau tidak adanya enzim glukorinil transferase

Terjadinya Presipitasi/pengendapan

Terbentuk batu empedu (batu ini tidak dapat dilarutkan tetapi harus dikeluarkan
melalui operasi)

2. Batu Kolestrol
Kolestrol merupakan unsure normal pembentukan empedu dan berpengaruh dalam
pembentukan empedu. Kolestrol ini sebagai pembentuk empedu bersifat tidak
larut dalam air, pasien penderita batu empedu akan terjadi penurunan sintesis
asam empedu dan peningkatan sintesis kolestrol dalam hati, keadaan ini
mengakibatkan supersaturasi getah empedu yang jenuh oleh kolestrol yang
kemudian keluar dari getah empedu dan mengendap serta membentuk batu dan
menjadi iritan yang menyebabkan peradangan dalam kandung empedu (Smeltzer,
Suzanne C, 2000)
Kolestrol

Pembentukan empedu
Mal absorpsi garam empedu penurunan sintesis (pembentukan) asam empedu

Peningkatan sintesis kolestrol

Berperan sebagai penunjang iritan pada kandung empedu supersaturasi


(kejenuhan)getah empedu oleh kolestrol

Peradangan dalam peningkatan sekresi kolestrol kandung empedu

Kolesterol keluar dari getah empedu

Penyakit kandung empedu (kolesistitis)

Pengendapan kolestrol

Batu empedu.

Kolestrol

Pembentukan empedu

Mal absorpsi garam empedu penurunan sintesis (pembentukan) asam empedu

Peningkatan sintesis kolestrol

Berperan sebagai penunjang iritan pada kandung empedu supersaturasi (kejenuhan)getah


empedu oleh kolestrol

Peradangan dalam peningkatan sekresi kolestrol kandung empedu

Kolesterol keluar dari getah empedu

Penyakit kandung empedu (kolesistitis)

Pengendapan kolestrol
Batu empedu

Aliran empedu Obstruksi saluran empedu

Distensi kandung empedu Intervensi bedah Alir balik cairan

empedu Ke hepar
Merangsang ujung-ujung saraf Preoperatif
Proses peradangan di
bradikinin dan serotonin Respon psikologis hepatobilier
pada perawatan dan
Saraf aferen simpatis penatalaksanaan pengobatan Pengeluaran enzim
SGOT+SGPT
Thalamus
Kecemasan Iritasi disaluran cerna
Saraf eferen
Merangsang nervus vagus

Gangguan rasa Menekan


nyaman:nyeri rangsangan

system saraf
parasimpatis

Menurunya peristaltic
usus dilambung

Makanan tertahan dilambung

Peningkatan rasa mual

Pengaktifan pusat muntah

Gangguan Pembentukan Pengaktifan saraf cranial ke wajah,


Bilirubin kerongkongan serta neuron-neuron
motorik spinalis ke otot-otot abdomen
Ikterus
muntah
Seluruh tubuh menguning
Risiko Pemenuhan
Nutrisi:kurang dari
Gangguan Integritas Kulit kebutuhan tubuh
G. Diagnosa
a) Nyeri akut berhubungan dengan respon inflamasi
b) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d anoreksia , muntah dan
gangguan pencernaan.
c) Hipertermi b.d kerusakan kontrol suhu sekunder akibat inflamasi.
d) Resiko Ketidakseimbangan volume cairan b.d muntah / mual.

1. Nyeri akut b.d respon inflamasi


Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam nyeri akut dapat teratasi
dengan kriteria hasil :

a. Secara subyektif pernyataan nyeri berkurang atau teradaptasi


b. Skala nyeri 2
c. TTV dalam batas normal dan pasien terlihat tenang.

Intervensi:

1. Observasi karakteristik nyeri mulai dari penyebab, lokasi, skala dan waktu. (PQRST)
Rasional: Membantu membedakan penyebab nyeri dan memberikan informasi
tentang kemajuan/ perbaikan penyakit, terjadinya komplikasi dan keefiktifan
intervensi

2. Berikan posisi fowler.


Rasional: Posisi fowler menurunkan tekanan intra abdomen.

3. Berikan kompres hangat pada area nyeri.


Rasional: Efek dilatasi dinding empedu memberikan respon spasme otot menurun sehingga
nyeri berkurang.

4. Ajarkan tehnik relaksasi distraksi seperti membaca koran.buku,


Rasional: Pengalihan perhatian akan mengurangi nyeri yang dirasakan
aktivitas sesuai hobi, menonton tv, mendengarkan radio, dll
5. Lakukan kolaborasi pemberian analgesik.
Rasional: Analgesik akan memblok lintasan nyeri sehingga nyeri berkurang.

2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d anoreksia , muntah dan


gangguan pencernaan.
Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan menjadi adekuat
Dengan kriteria hasil:
- Menunjukkan peningkatan nafsu makan dan menunjukkan peningkatan BB, pasien
tidak merasa mual muntah,
- pasien tidak terlihat lemas dan pucat, mengalami peningkatan BB.
Lab :
- Protein : (N : 6,1-8,2 gr), Albumin (N : 3,8-5,0 gr), gula darah PP (100-120 mg/dl)
dalam batas normal.
Intervesi:

1. Observasi status nutrien pasien, turgor kulit, BB, riwayat mual/muntah dan intregitas
mukosa.
Rasional: Memvalidasi dan menetapkan derajat masalah untuk menetapkan pilihan
intervensi yang tepat.

2. Pertahankan kebersihan mulut.


Rasioanal: Akumulasi partikel makanan di mulut dapat menambah bau dan rasa tak sedap
yang akan menurunkan nafsu makan.

3. Berikan makanan selagi hangat.


Rasional: Makanan hangat akan meningkatkan nafsu makan pasien dan dapat meningkatkan
intake nutrisi yang adekuat.

4. Kolaborasi dengan ahli gizi dengan memberikan diet makanan rendah kolesterol
Rasioanal: Diet rendah kolesterol akan mengurangi terbentuknya batu empedu.

3. Hipertermi b.d kerusakan kontrol suhu sekunder akibat inflamasi.

Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2x24 jam hipertemi dapat
teratasi
Dengan kriteria hasil: Suhu badan dalam batas normal (36,6 0-37,50 C),turgor kulit
baik, kulit tidak terlihat kemerahan

Intervensi:

1. Observasi suhu badan pasien.


Rasional: Memantau terjadinya peningkatan suhu yang tidak diinginkan.

2. Berikan kompres mandi hangat, hindari penggunaan alkohol.


Rasional: Dapat membantu mengurangi demam, penggunaan es/alkohol mungkin
menyebabkan kedinginan. Selain itu alkohol dapat mengeringkan kulit.

3.Tingkatkan intake nutrisi pasien.

Rasional: . Adanya peningkatan metabolisme menyebabkan kehilangan banyak energi.


Untuk itu diperlukan peningkatan intake cairan dan nutrisi.

4.Kolaborasi pemberian antipiretik.

Rasional: Antipiretik digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya pada
hipotalamus.

4. Resiko Ketidakseimbangan volume cairan b.d muntah / mual.


Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam resiko
ketidakseimbangan volume cairan dapat teratasi
Dengan kriteria hasil: Tanda vital dalam batas normal (N: 120-60 x/mnt, S; 36,5-37,5 0
c, RR : 16-24 x/mnt ), turgor kulit baik, membran mukosa bibir basah.
Intervensi:
1. Pantau tanda dan gejala kekurangan cairan dan elektrolit.
Rasional: Penurunan sisrkulasi volume cairan menyebabkan kekeringan mukosa dan
pemekatan urin. Deteksi dini memungkinkan terapi pergantian cairan segera untuk
memperbaiki defisit.

2. Pantau intake dan output.


Rasional: Dehidrasi dapat meningkatkan laju filtrasi glomerulus membuat
keluaran tak aadekuat untuk membersihkan sisa metabolisme

3. Timbang berat badan setiap hari.


Rasional: Mendeteksi kehilangan cairan , penurunan 1 kg BB sama dengan kehilangan cairan
1 liter.

4. Anjurkan keluarga untuk memberi minum banyak pada kien, 2-3 lt/hr
Rasional: Mengganti cairan dan elektrolit yang hilang secara oral
DAFTAR PUSTAKA

Baughman, D.C., & JoAnn, C.H. (2000). Keperawatan medikal bedah: buku saku dari
Brunner dan Suddarth.Jakarta: EGC.
Beckingham, I.J., Gallstone disease. (2001). In:ABC of Liver, Pancreas and Gall Bladder.
London: BMJ Books.
Lesmana, L. (2000). Batu empedu. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
LAPORAN PENDAHULUAN
KHOLELITIASIS

Di susun oleh

Nama: samusyah

Nim: 23181006

AKADEMI KEPERAWATAN ANTARIKSA

TAHUN AJARAN 2018/2019

Anda mungkin juga menyukai