Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDUHULAN KEPERAWATAN PADA NY.

H
DIRUANG ICU RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
(CHOLELITIASIS)

Disusun untuk memenuhi tugas Program Profesi Ners


Stase Keperawatan Gadar dan Kritis

Oleh:
LAELA HARYATI
14B019005

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEPERWATAN
PURWOKERTO
2019
BAB 1 PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Penyakit batu empedu (cholelithiasis) sudah merupakan masalah


kesehatan yang penting di negara barat sedangkan di Indonesia baru
mendapatkan perhatian di klinis, sementara publikasi penelitian batu empedu
masih terbatas (Sudoyo 2007). Dalam “Third National Health and Nutrition
Examination Survey” (NHANES III), prevalensi cholelithiasis di Amerika
Serikat pada usia pasien 30-69 tahun adalah 7,9% pria dan 16,6% wanita,
dengan peningkatan yang progresif setelah 20 tahun. Sedangkan Asia
merupakan benua dengan angka kejadian cholelithiasis rendah, yaitu antara
3% hingga 15% , dan sangat rendah pada benua Afrika, yaitu kurang dari 5%
(Greenberger 2009).

Insidensi cholelithiasis di negara barat adalah 20% dan banyak


menyerang dewasa dan usia lanjut. Sebagian besar cholelithiasis tidak
bertanda dan bergejala. Sedangkan di Indonesia angka kejadian cholelithiasis
tidak jauh berbeda dengan angka kejadian di negara lain di Asia Tenggara, dan
sejak tahun 1980 cholelithiasis identik dengan pemeriksaan ultrasonografi (De
Jong, Syamsuhidajat, 2005 dalam Rahmadani 2012). Di negara barat 10-15%
pasien dengan batu vesica fellea juga disertai batu saluran empedu. Pada
beberapa keadaan, batu saluran empedu dapat terbentuk primer di dalam
saluran empedu intra atau ekstra hepatik tanpa melibatkan vesica fellea. Batu
saluran empedu primer banyak ditemukan pada pasien di wilayah Asia
dibandingkan dengan pasien di negara barat (Sudoyo 2007).

B. TUJUAN

1. Mampu menjelaskan pengertian kolelitiasis.


2. Mampu menjelaskan etiologi kolelitiasis.
3. Mampu menjelaskan patofisiologi kolelitiasis.
4. Mampu menjelaskan pemeriksaan penunjang kolelitiasis.
5. Mampu menjelaskan penatalaksanaan kolelitiasis.
6. Mampu menjelaskan pathway kolelitiasis.
7. Mampu melakukan pengkajian pada klien dengan kolelitiasis
8. Mampu menegakkan diagnosis keperawatan pada pasien dengan
kolelitiasis.
9. Mampu menentukan rencana keperawatan pada klien dengan kolelitiasis
BAB II LANDASAN TEORI

A. DEFINISI
Kolelitiasis adalah inflamasi akut atau kronis dari kandung empedu,
biasanya berhubungan dengan batu empedu yang tersangut pada duktus
kistik, menyebabkan distensi kandung empedu (Doenges & Marilynn 1999)
Kolelitiasis adalah (kalkulus atau kalkuli, batu empedu) biasanya terbentuk
dalam kandung empedu dari unsur-unsur padat yang membentuk cairan
empedu. Batu empedu memiliki ukuran, bentuk dan komposisi yang sangat
berfariasi (Smelzer & Bare 2001). Jenis-jenis batu empedu antara lain:

1. Batu Colesterol: pembentukan batu dipengaruhi oleh faktor makanan


2. Batu pigmen hitam: terbentuk karena gangguan keseimbangan metabolik
karena anemia hemolitik maupun sirosis hati
3. Batu kalsium: berbentuk kecil-kecil, tidak teratur berjumlah banyak
berwarna kecokletan, kemerahan atau hitam

B. ETIOLOGI

Etiologi batu empedu masih belum diketahui sepenuhnya. Namum


kemungkinan faktor predisposisi terpenting adalah gangguan metabolisme
yang menyebabkan terjadinya perubahan komposisi empedu, stasis empedu
dan infeksi kandung empedu (Price & Wilson 2005).

 Perubahanan komposisi empedu

Perubahan komposisi empedu kemungkinan merupakan faktor terpenting


dalam pembentukan batu empedu. Hati penderita batu empedu
menyekresikan empedu yang sangat jenuh dengan kolestrol. Kolestrol
yang berlebihan, mengendap dalam kandung empedu dan membentuk
batu empedu.

 Infeksi kandung empedu

Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapt berperan dalam


pembentukkan batu. Mukus meningkatkan viskositas empedu dan unsur
sel atau bakteri dapat berperan sebagai pusat presipitasi. Akan tetapi,
infeksi lebih sering timbul sebagai akibat dari terbentuknya batu empedu,
dibandingkan sebagai penyebab terbentuknya batu empedu

 Statis empedu

Stasis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan


supersaturasi progesif, perubahan komposisi kimia dan pengendapan
unsur kimia. Statis empedu disebabkan oleh gangguan kontraksi kandung
empedu atau spasme sfingter Oddi atau keduanya. Selain itu, faktor
hormonal (terutama saat hamil) dapat menyebabkan perlambatan
pengosongan kandung empedu.

Sedangkan faktor risiko terjadinya cholelithiasis yaitu usia (semakin


tinggi usia, semakin berisiko), jenis kelamin (wanita lebih berisiko), wanita
hamil, wanita yang meminum obat kontrasepsi oral, multiparitas, konsumsi
makanan tinggi kalori atau tinggi lemak, obesitas, diabetes, sirosis hati,
pankreatitis, kanker kandung empedu, penyakit atau reseksi ileum (Price &
Wilson 2005).

C. PATOFISIOLOGI

Pembentukan batu empedu dibagi menjadi tiga tahap: (1) pembentukan


empedu yang supersaturasi, (2) nukleasi atau pembentukan inti batu, dan (3)
berkembang karena bertambahnya pengendapan. Kelarutan kolesterol
merupakan masalah yang terpenting dalam pembentukan semua batu, kecuali
batu pigmen. Supersaturasi empedu dengan kolesterol terjadi bila
perbandingan asam empedu dan fosfolipid (terutama lesitin) dengan
kolesterol turun di bawah harga tertentu. Secara normal kolesterol tidak larut
dalam media yang mengandung air. Empedu dipertahankan dalam bentuk cair
oleh pembentukan koloid yang mempunyai inti sentral kolesterol, dikelilingi
oleh mantel yang hidrofilik dari garam empedu dan lesitin. Jadi sekresi
kolesterol yang berlebihan, atau kadar asam empedu rendah, atau terjadi
sekresi lesitin, merupakan keadaan yang litogenik (Garden 2007).
Pembentukan batu dimulai hanya bila terdapat suatu nidus atau inti
pengendapan kolesterol. Pada tingkat supersaturasi kolesterol, kristal
kolesterol keluar dari larutan membentuk suatu nidus, dan membentuk suatu
pengendapan. Pada tingkat saturasi yang lebih rendah, mungkin bakteri,
fragmen parasit, epitel sel yang lepas, atau partikel debris yang lain diperlukan
untuk dipakai sebagai benih pengkristalan (Hunter 2007 & Garden 2007)

D. TANDA DAN GEJALA

Pasien dengan cholelithiasis kebanyakan tidak menunjukkan gejala


(75%). gejala timbul apabila batu menyumbat saluran empedu, yang
seringkali terjadi karena batu melawati duktus choledochus / biliaris.
Penderita cholelithiasis sering memiliki gejala cholecystisis akut atau kronis.
Bentuk akut ditandai dengan nyeri hebat mendadak pada epigastrium atau
abdomen kuadran kanan atas. Nyeri dapat menyebar ke punggung dan bahu
kanan. Nyeri dapat berlangsung selama berjam-jam atau dapat hilang timbul.
Selain nyeri penderita cholelithiasis dapat muncul gejala berkeringat, berjalan
mondar-mandir, berguling di tempat tidur, dan mual muntah. Sedangkan
gejala cholecystisis kronis mirip dengan cholelithiasis, namun beratnya nyeri
dan tanda-tanda fisik kurang nyata. Pasien sering memiliki riwayat dispepsia,
intoleransi lemak, nyeri ulu hati atau flatulen (perut kembung) yang
berlangsung lama (Price & Wilson 2005).
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. USG

Cholelithiasis dapat didiagnosis dengan pemeriksaan ultasonografi (USG)


abdomen yang menunjukkan adanya batu atau malfungsi kandung empedu
(Price & Wilson 2005).

2. ERCP

ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography) dapat


digunakan untuk mendeteksi adanya batu dalam duktus. ERCP merupakan
kombinasi dari 2 tes yaitu endoscopy dan X-Ray (Modric).
3. Oral cholesistogram

Kolesistografi oral (oral cholesistogram) yaitu pemeriksaan rontgen


kandung empedu. Oral mengacu pada obat oral yang diminum sebelum
tes. Obat ini adalah agen kontras berbasis yodium yang membuat kantung
empedulebih jelas terlihat pada X-ray. Prosedur ini sekarang jarang
dilakukan karena metode lini pertama untuk pencitraan kantung empedu
adalah USG perut atau CT scan biasanya diikuti oleh pemindaian
hepatobilier atau ERCP karena cenderung lebih akurat ketika datang ke
diagnosis kondisi kantung empedu (Sampson 2018).

4. Tes Darah

Pemeriksaan lainnya yaitu tes darah. Hasil yang didapatkan dapat berupa
(Modric):
 Bilirubin dan enzim hati alkaline phosphatase (AP) sering meningkat

 Aspartate aminotransferase (AST) dan alanin aminotransferase (ALT)


sering meningkat

 Sel darah putih biasanya meningkat

 Penanda tumor CA 19-9 dapat meningkat secara signifikan di


kandung empedu atau kanker saluran empedu, yang jarang terjadi
sebelum usia 60 tahun

Namun, batu empedu dalam kantong empedu yang tidak meradang dan
karsinoma dini dari kantong empedu atau saluran empedu dapat hadir
tanpa perubahan yang terdeteksi dalam darah.

F. PENATALAKSANAAN

A. Penatalaksanaan
1. Tindakan Operatif
a. Kolesistektomi
Terapi terbanyak pada penderita batu kandung empedu adalah dengan
operasi. Kolesistektomi dengan atau tanpa eksplorasi duktus komunis
tetap merupakan tindakan pengobatan untuk penderita dengan batu
empedu simptomatik.

Gambar 5. Proses Kolisistektomi


Pembedahan untuk batu empedu tanpa gejala masih diperdebatkan,
banyak ahli menganjurkan terapi konservatif. Sebagian ahli lainnya
berpendapat lain mengingat “silent stone” akhirnya akan menimbulkan
gejala-gejala bahkan komplikasi, maka mereka sepakat bahwa
pembedahan adalah pengobatan yang paling tepat yaitu kolesistektomi
efektif dan berlaku pada setiap kasus batu kandung empedu kalau
keadaan umum penderita baik. Indikasi kolesistektomi sebagai berikut:
1) Adanya keluhan bilier apabila mengganggu atau semakin sering
atau berat.
2) Adanya komplikasi atau pernah ada komplikasi batu kandung
empedu.
3) Adanya penyakit lain yang mempermudah timbulnya komplikasi
misalnya Diabetes Mellitus, kandung empedu yang tidak
tampak pada foto kontras dan sebagainya.
b. Kolesistostomi
Beberapa ahli bedah menganjurkan kolesistostomi dan dekompresi
cabang-cabang saluran empedu sebagai tindakan awal pilihan pada
penderita kolesistitis dengan resiko tinggi yang mungkin tidak dapat
diatasi kolesistektomi dini. Indikasi dari kolesistostomi adalah
1) Keadaan umum sangat buruk misalnya karena sepsis, dan
2) Penderita yang berumur lanjut, karena ada penyakit lain yang
berat yang menyertai, kesulitan teknik operasi dan
3) Tersangka adanya pankreatitis.
4) Kerugian dari kolesistostomi mungkin terselipnya batu sehingga
sukar dikeluarkan dan kemungkinan besar terjadinya batu lagi
kalau tidak diikuti dengan kolesistektomi.
2. Tindakan Non Operatif
a. Terapi Disolusi
Penggunaan garam empedu yaitu asam Chenodeodeoxycholat (CDCA)
yang mampu melarutkan batu kolesterol invitro, secara invivo telah
dimulai sejak 1973 di klinik Mayo, Amerika Serikat juga dapat
berhasil, hanya tidak dijelaskan terjadinya kekambuhan (Sherlock dan
Dooley, 1993).
Pengobatan dengan asam empedu ini dengan sukses melarutkan
sempurna batu pada sekitar 60 % penderita yang diobati dengan CDCA
oral dalam dosis 10 – 15 mg/kg berat badan per hari selama 6 sampai 24
bulan. Penghentian pengobatan CDCA setelah batu larut sering timbul
rekurensi kolelitiasis. Pemberian CDCA dibutuhkan syarat tertentu
yaitu :
1) Wanita hamil
2) Penyakit hati yang kronis
3) Kolik empedu berat atau berulang-ulang
4) Kandung empedu yang tidak berfungsi. 1
Efek samping pengobatan CDCA yang terlalu lama menimbulkan
kerusakan jaringan hati, terjadi peningkatan transaminase serum,
nausea dan diare. Asam Ursodioxycholat (UDCA) merupakan
alternatif lain yang dapat diterima dan tidak mengakibatkan diare atau
gangguan fungsi hati namun harganya lebih mahal. Pada saat ini
pemakaiannya adalah kombinasi antara CDCA dan UDCA,
masing-masing dengan dosis 7,5 mg/kg berat badan/hari. Dianjurkan
dosis terbesar pada sore hari karena kejenuhan cairan empedu akan
kolesterol mencapai puncaknya pada malam hari (Devid dan Sabiston,
1994).
Mekanisme kerja dari CDCA adalah menghambat kerja dari enzim
HMG Ko-a reduktase sehingga mengurangi sintesis dan ekskresi
kolesterol ke dalam empedu. Kekurangan lain dari terapi disolusi ini
selain harganya mahal juga memerlukan waktu yang lama serta tidak
selalu berhasil (Devid dan Sabiston, 1994).
b. Extracorporeal Shock Wave Lithotripsi (ESWL)
ESWL merupakan litotripsi untuk batu empedu dimana dasar terapinya
adalah disintegrasi batu dengan gelombang kejut sehingga menjadi
partikel yang lebih kecil. Pemecahan batu menjadi partikel kecil
bertujuan agar kelarutannya dalam asam empedu menjadi meningkat
serta pengeluarannya melalui duktus sistikus dengan kontraksi
kandung empedu juga menjadi lebih mudah (Devid dan Sabiston,
1994).
Setelah terapi ESWL kemudian dilanjutkan dengan terapi disolusi
untuk membantu melarutkan batu kolesterol. Kombinasi dari terapi ini
agar berhasil baik harus memenuhi beberapa kriteria mengingat faktor
efektifitas dan keamanannya.
1) Kriteria Munich :
a) Terdapat riwayat akibat batu tersebut (simptomatik).
b) Penderita tidak sedang hamil.
c) Batu radiolusen
d) Tidak ada obstruksi dari saluran empedu
e) Tidak terdapat jaringan paru pada jalur transmisi gelombang
kejut ke arah batu.
2) Kriteria Dublin :
a) Riwayat keluhan batu empedu
b) Batu radiolusen
c) Batu radioopak dengan diameter kurang dari 3 cm untuk batu
tunggal atau bila multiple diameter total kurang dari 3 cm
dengan jumlah maksimal 3.
d) Fungsi konsentrasi dan kontraksi kandung empedu baik.
Terapi ESWL sangatlah menguntungkan bila dipandang dari sudut
penderita karena dapat dilakukan secara rawat jalan, sehingga tidak
mengganggu aktifitas penderita. Demikian juga halnya dengan
pembiusan dan tindakan pembedahan yang umumnya ditakutkan
penderita dapat dihindarkan. Namun tidak semua penderita dapat
dilakukan terapi ini karena hanya dilakukan pada kasus selektif. Di
samping itu penderita harus menjalankan diet ketat, waktu pengobatan
lama dan memerlukan biaya yang tidak sedikit, serta dapat timbul
rekurensi setelah pengobatan dihentikan. Faal hati yang baik juga
merupakan salah satu syarat bentuk terapi gabungan ini , karena
gangguan faal hati akan diperberat dengan pemberian asam empedu
dalam jangka panjang.
ESWL dapat dikatakan sangat aman serta selektif dan tidak infasif
namun dalam kenyataannya masih terdapat beberapa komplikasi yang
dapat terjadi misalnya rasa sakit di hipokondrium kanan, kolik bilier,
pankreatitis, ikterus, pendarahan subkapsuler hati, penebalan dinding
dan atropi kandung empedu.
3. Dietetik
Prinsip perawatan dietetic pada penderita batu kandung empedu adalah
memberi istirahat pada kandung empedu dan mengurangi rasa sakit, juga
untuk memperkecil kemungkinan batu memasuki duktus sistikus. Di
samping itu untuk memberi makanan secukupnya untuk memelihara berat
badan dan keseimbangan cairan tubuh (Devid dan Sabiston, 1994).
Pembatasan kalori juga perlu dilakukan karena pada umumnya batu
kandung empedu tergolong juga ke dalam penderita obesitas. Bahan
makanan yang dapat menyebabkan gangguan pencernaan makanan juga
harus dihindarkan (Lesmana, 1995).
Kadang-kadang penderita batu kandung empedu sering menderita
konstipasi, maka diet dengan menggunakan buah-buahan dan sayuran yang
tidak mengeluarkan gas akan sangat membantu. Syarat-syarat diet pada
penyakit kandung empedu yaitu :
1. Rendah lemak dan lemak diberikan dalam bentuk yang mudah dicerna.
2. Cukup kalori, protein dan hidrat arang. Bila terlalu gemuk jumlah
kalori dikurangi.
3. Cukup mineral dan vitamin, terutama vitamin yang larut dalam lemak.
4. Tinggi cairan untuk mencegah dehidrasi.
5. Makanan yang tidak merangsang.
G. PATHWAY
H. PENGKAJIAN

1. Aktivitas dan istirahat:

 Subyektif : kelemahan

 Obyektif : kelelahan

2. Sirkulasi :

 Obyektif : Takikardia, Diaphoresis

3. Eliminasi :

 Subektif : Perubahan pada warna urine dan feces

 Obyektif : Distensi abdomen, teraba massa di abdomen atas/quadran


kanan atas, urine pekat .

4. Makan / minum (cairan)

 Subyektif : Anoreksia, nausea/vomit. tidak ada toleransi makanan


lunak dan mengandung gas, regurgitasi ulang, eruption, flatunasi, rasa
seperti terbakar pada epigastrik (heart burn), ada peristaltik, kembung
dan dyspepsia.

 Obyektif : kegemukan dan kehilangan berat badan (kurus).

5. Nyeri/ Kenyamanan :

 Subyektif : Nyeri abdomen menjalar ke punggung sampai ke bahu,


nyeri apigastrium setelah makan dan nyeri tiba-tiba dan mencapai
puncak setelah 30 menit.

 Obyektif : Cenderung teraba lembut pada klelitiasis, teraba otot


meregang /kaku hal ini dilakukan pada pemeriksaan RUQ dan
menunjukan tanda marfin (+).
6. Respirasi :

 Obyektif : Pernafasan panjang, pernafasan pendek, nafas dangkal, rasa


tak nyaman.

7. Keamanan :

 Obyektif : demam menggigil, Jundice, kulit kering dan pruritus ,


cenderung perdarahan ( defisiensi Vit K ).

8. Belajar mengajar :

 Obyektif : Pada keluarga juga pada kehamilan cenderung mengalami


batu kandung empedu. Juga pada riwayat DM dan gangguan /
peradangan pada saluran cerna bagian bawah.

I. DIAGNOSA KEPERAWATAN

 Gangguan rasa nyaman nyeri b.d adanya proses peradangan, agen cidera
biologis proses inflamasi kandung empedu, obstruksi/spasme duktus,
iskemia jaringan (nekrosis).
 Hypertermi b.d respon sistemik dari inflamasi gastrointestinal.
 Aktual/resiko tinggi ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh b.d peningkatan asam lambung.
 Gangguan rasa nyaman cemas b.d kurangnya pengetahuan
 Gangguan pemenuhan ADL b.d atropi oto, kelemahan fisik
 Resiko tinggi ketidak seimbangan cairan dan elektrolit b.d muntah
berlebihan
 Gangguan integritas kulit b.d prosedur invasif, faktor mekanik.

J. FOKUS INTERVENSI

 Gangguan rasa nyaman nyeri b.d adanya proses peradangan


NOC:
 Rasa nyaman nyeri terpenuhi dengan kriteria hasil :
 TTV dalam batas normal
 Pasien tidak tampak kesakitan
 Skala nyeri menurun
 Nyeri berkurang atau hilang
NIC
 Observasi tanda-tanda vital
Rasional: Untuk menentukan keadaan umum klien
 Observasi dan catat lokasi (beratnya skala 0-10) dan karakteristik
nyeri (menetap, hilang timbul, kolik).
Rasional: Membantu membedakan penyebab nyeri dan memberikan
informasi tentang kemajuan/perbaikan penyakit, terjadinya
komplikasi dan keefektifan intervensi.
 Tingkatkan tirah baring, biarkan pasien melakukan posisi yang
nyaman
Rasional: Meningkatkan istirahat tirah baring pada posisi fowler
rendah dapat menurunkan tekanan intra abdomen, namun pasien
akan melakukan posisi yang menhilangkan nyeri secara alamiah.
 Ajarkan tehnik non farmakologi misalnya relaksasi, distraksi dll.
Rasional: Dapat menurunkan nyeri yang dirasakan
 Kolaborasi dalam pemberian analgetik
Rasional: Analgetik dapat mengatasi nyeri yang dirasakan

 Aktual/resiko tinggi ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan


NOC:
 Nafsu makan meningkat
 Tidak terjadi gangguan nutrisi
 Porsi makan habis
 Bb kembali normal
NIC:
 Kaji status nutrisi klien, turgor kulit, BB, integritas mukosa, riwayat
mual/muntah.
Rasional: Memvalidasi dan menetapkan derajat masalah untuk
menetapkan pilihan intervensi yang tepat
 Pertahankan kebersihan mulut
Rasional: Akumulasi partikel makanan dimulut dapat menambah
bau dan rasa tak sedap yang menurunkan nafsu makan.
 Berikan makanan dalam porsi sedikit tapi sering
Rasional: Memudahkan proses pencernaan dan toleransi pasien
terhadap nutrisi
 Berikan makanan selagi hangat.
Rasional: Dapat mempengaruhi nafsu makan dan membangkitkan
nafsu makan
 Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian diit (diet cair rendah
lemak, rendah lemak tinggi serat)
Rasional: Merencanakan diet dengan nutrisi yang adekuat untuk
memenuhi peningkatan kebutuhan energi dan kalori sehubungan
dengan perubahan metabolik pasien

 Hypertermi b.d respon sistemik dari inflamasi gastrointestinal


NOC:
 Suhu tubuh menurun/normal
 Keringat yang keluar berkurang
 Bibir lembab
NIC:
 Observasi tanda-tanda vital, terutama suhu.
Rasional: Dapat mendeteksi dini tanda-tanda peningkatan suhu
tubuh
 Anjurkan pasien memakai pakaian yang tipis
Rasional: membantu mempermudah penguapan panas
 Beri kompres hangat di beberapa bagian tubuh, seperti ketiak,
lipatan paha, leher bagian belakang
Rasional: dapat mempercepat penurunan suhu tubuh
 Anjurkan pasien banyak minum ± 2 liter/hari
Rasional: untuk menjaga keseimbangan cairan didalam tubuh
 Kolaborasi dalam pemberian obat anti piretik
Rasional: dapat membantu menurunkan panas

 Gangguan integritas kulit b.d prosedur invasif, faktor mekanik, ikterus


NOC:
 menunjukkan perilaku untuk meningkatkan penyembuhan /
mencegah kerusakan kulit
NIC:
 Observasi kulit, sclera dan perubahan warna urin.
Rasional: Terjadinya icterik mengindikasikan adanya obstruksi
aliran empedu
 Berikan masase pada daerah kulit yang mengalami gangguan
Rasional: Bermanfaat dalam menurukan iritasi kulit
 Pertahankan kelembaban (+/- 60%), gunakan alat pelembab.
Rasional: Kelembaban yang rendah, kulit akan kehilangan air
 Pertahankan lingkungan dingin.
Rasional: Kesejukan mengurangi gatal
 Mengoleskan lotion dan krim kulit segera setelah mandi.
Rasional: Hidrasi yang cukup pada stratum korneum mencegah
gangguan lapisan barier kulit
 Menjaga agar kuku selalu terpangkas (pendek)
Rasional: Mengurangi kerusakan kulit akibat garukan

 Resiko tinggi ketidak seimbangan cairan dan elektrolit b.d muntah


berlebihan
NOC:
 Tanda vital stabil
 membran mukosa lembab
 turgor kulit baik
 pengisian kapiler baik
 individu mengeluarkan urine cukup
 tidak ada muntah
NIC:
 Pertahankan masukan dan haluaran akurat, perhatikan haluaran
kurang dari masukan, peningkatan berat jenis urine. Kaji membrane
mukosa/kulit, nadi perifer, dan pengisian kapiler.
Rasional: Memberikan informasi tentang status cairan/volume
sirkulasi dan kebutuhan penggantian
 Awasi tanda / gejala peningkatan/ berlanjutnya mual/muntah, kram
abdomen, kelemahan, kejang, kejang ringan, kecepatan jantung tak
teratur, parestesia, hipoaktif atau tak adanya bising usus, depresi
pernapasan.
Rasional: Muntah bekepanjangan, aspirasi gaster dan pembatasan
pemasiukan oral dapat menimbulkan defisit natrium, kalium dan
klorida
 Hindarkan dari lingkungan yang berbau
Rasional: Menurunkan rangsangan pada pusat muntah
 Kaji perdarahan yang tidak biasa, contoh: perdarahan terus-menerus
pada sisi injeksi, mimisan, perdarahan gusi, ekimosis, petekie,
hematemesis/ melena.
Rasional: Protrombin darah menurun dan waktu koagulasi
memanjang bila aliran empedu terhambat, meningkatkan resiko
perdarahan/hemoragi.
 Kolaborasi : Berikan antimetik.
Rasional: Menurunkan mual dan mencegah muntah
 Kolaborasi : Berikan cairan IV, elektrolit, dan vitamin K
Rasional: Mempertahankan volume sirkulasi dan memperbaiki
ketidakseimbangan
DAFTAR PUSTAKA

Garden, J., 2007, ‘Gallstone.In: Garden, J. editor. Principle and Practice of


Surgery’, Elseiver.p. 23-28, China.
Greenberger, Norton J, 2009, ‘Current Diagnosis & Treatment
Gastroenterology, Hepatology, & Endoscopy’, McGraw-Hill. pp.
537-46, USA.
Hunter, J.G., 2007, ‘Gallstones Diseases. Gallbladder and the Extrahepatic
Biliary System. In : Brunicardi, F.C., editor. Schwart’s Principles
of Surgery’. Edisi 8, pp.578-598, McGraw-Hill, New York.
Price S.A. & Wilson, L.M., 2005, ‘Patofisoilogi konsep klinis proses-proses
penyakit’, Edisi 6, EGC, Jakarta.
Rahmadani, A., 2012, ’Prevalensi Cholelithiasis Pada Pasien Pria dan
Wanita Usia Diatas 40 Tahun dengan Pemeriksaan Ultrasonografi
Di RSUD Dr Moewardi Surakarta’, Skripsi thesis, Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Sampson, S. 31 Juli 2018. Oral Cholecystogram. Dikutip dari:
https://www.healthline.com/health/oral-cholecystogram
Smeltzer, S.C. & Bare, B.G., 2001, ‘Keperawatan medikal bedah Brunner &
Suddarth’, Edisi 8, EGC, Jakarta.
Sudoyo, A. W., 2007, ‘Buku ajar ilmu penyakit dalam’, vo. 1, FKUI,
Jakarta.
Modric, J. ‘Gallbladder Tests: Ultrasound, CT, HIDA Scan, ERCP’, Dikutip
dari:
https://www.healthhype.com/gallbladder-tests-ultrasound-ct-hida
-scan-ercp.html

Anda mungkin juga menyukai