Disusun Oleh :
NIM : 180106014
Mengetahui
(....................................) (...................................)
2. Etiologi
Hidrokel yang terjadi pada bayi baru lahir dapat disebabkan karena
belum sempurnanya penutupan prosesus vaginalis sehingga terjadi aliran
cairan peritoneum ke prosesus vaginalis atau belum sempurnanya sistem
limfatik di daerah skrotum dalam melakukan reabsorbsi cairan hidrokel.
Pada orang dewasa, hidrokel dapat terjadi secara idiopatik (primer) dan
sekunder. Penyebab sekunder dapat terjadi karena didapatkan kelainan pada
testis atau epididimis yang menyebabkan terganggunya sistem sekresi atau
reabsorbsi cairan di kantong hidrokel. Kelainan pada testis itu mungkin suatu
tumor, infeksi, atau trauma pada testis/epididimis. Kemudian hal ini dapat
menyebabkan produksi cairan yang berlebihan oleh testis, maupun obstruksi
aliran limfe atau vena di dalam funikulus spermatikus.
3. Manifestasi Klinis
a. Pasien mengeluh adanya benjolan di kantong skrotum yang tidak nyeri.
b. Pada hidrokel testis dan hidrokel funikulus besarnya benjolan
dikantong skrotum tidak berubah sepanjang hari, sedangkan pada
hidrokel komunikan besarnya dapat berubah-ubah yaitu bertambah
besar pada saat anak menangis.
c. Pada pemeriksaan fisik menunjukkan adanya transiluminasi
d. Gambaran klinis hidrokel kongenital tergantung pada jumlah cairan
yang tertimbun. Bila timbunan cairan sedikit, maka testis terlihat
seakan-akan sedikit membesar dan teraba lunak. Bila timbunan cairan
banyak terlihat skrotum membesar dan agak tegang.
4. Klasifikasi
Hidrokel dapat diklasifikasi menjadi dua jenis berdasarkan kapan
terjadinya yaitu:
a. Hidrokel_primer
Hidrokel primer terlihat pada anak akibat kegagalan penutupan
prosesus vaginalis. Prosesus vaginalis adalah suatu divertikulum
peritoneum embrionik yang melintasi kanalis inguinalis dan
membentuk tunika vaginalis. Hidrokel jenis ini tidak diperlukan terapi
karena dengan sendirinya rongga ini akan menutup dan cairan dalam
tunika akan diabsorpsi.
b. Hidrokel_sekunder
Pada orang dewasa, hidrokel sekunder cenderung berkembang
lambat dalam suatu masa dan dianggap sekunder terhadap obstruksi
aliran keluar limfe. Dapat disebabkan oleh kelainan testis atau
epididimis. Keadaan ini dapat karena radang atau karena suatu proses
neoplastik. Radang lapisan mesotel dan tunika vaginalis menyebabkan
terjadinya produksi cairan berlebihan yang tidak dapat dibuang keluar
dalam jumlah yang cukup oleh saluran limfe dalam lapisan luar tunika.
Berdasarkan kejadian:
a. Hidrokel akut
Biasanya berlangsung dengan cepat dan dapat menyebabkan
nyeri. Cairan berrwarna kemerahan mengandung protein, fibrin,
eritrosit dan sel polimorf.
b. Hidrokel kronis
Hidrokel jenis ini hanya menyebabkan peregangan tunika
secara perlahan dan walaupun akan menjadi besar dan memberikan
rasa berat, jarang menyebabkan nyeri.
Menurut letak kantong hidrokel terhadap testis, secara klinis dibedakan
beberapa macam hidrokel, yaitu
a. Hidrokel testis.
Kantong hidrokel seolah-olah mengelilingi testis sehingga testis
tak dapat diraba. Pada anamnesis, besarnya kantong hidrokel tidak
berubah sepanjang hari.
b. Hidrokel funikulus.
Kantong hidrokel berada di funikulus yaitu terletak di sebelah
kranial dari testis, sehingga pada palpasi, testis dapat diraba dan berada
di luar kantong hidrokel. Pada anamnesis kantong hidrokel besarnya
tetap sepanjang hari.
c. Hidrokel Komunikan
Terdapat hubungan antara prosesus vaginalis dengan rongga
peritoneum sehingga prosesus vaginalis dapat terisi cairan peritoneum.
Pada anamnesis kantong hidrokel besarnya dapat berubah-ubah yaitu
bertambah pada saat anak menangis. Pada palpasi kantong hidrokel
terpisah dari testis dan dapat dimasukkan kedalam rongga abdomen
5. Patofisiologi
Hidrokel adalah pengumpulan cairan pada sebagian prosesus vaginalis
yang masih terbuka. Kantong hidrokel dapat berhubungan melalui saluran
mikroskopis dengan rongga peritoneum dan berbentuk katup sehingga cairan
dari rongga peritoneum dapat masuk ke dalam kantong hidrokel dan sukar
kembali ke rongga peritoneum (Mantu, 1993). Pada kehidupan fetal, prosesus
vaginalis dapat berbentuk kantong yang mencapai scrotum. Hidrokel
disebabkan oleh kelainan kongenital (bawaan sejak lahir) ataupun
ketidaksempurnaan dari prosesus vaginalis tersebut sehingga menyebabkan
tidak menutupnya rongga peritoneum dengan prosessus vaginalis sehingga
terbentuklah rongga antara tunika vaginalis dengan cavum peritoneal dan
menyebabkan terakumulasinya cairan yang berasal dari sistem limfatik
disekitarnya. Cairan seharusnya seimbang antara produksi dan reabsorbsi oleh
sistem limfatik di sekitarnya, tetapi pada penyakit ini terjadi gangguan sistem
sekresi atau reabsorbsi cairan limfa sehingga terjadi penimbunan pada tunika
vaginalis. Akibat dari tekanan yang terus-menerus, terjadi obstruksi aliran
limfe atau vena di dalam funikulus spermatikus dan terjadi atrofi testis yang
dikarenakan akibat dari tekanan pembuluh darah yang ada di daerah sekitar
testis tersebut.
Hidrokel dapat ditemukan dimana saja sepanjang funikulus
spermatikus dan juga dapat ditemukan di sekitar testis yang terdapat dalam
rongga perut pada undensensus testis. Hidrokel infantilis biasanya akan
menghilang dalam tahun pertama, umumnya tidak memerlukan pengobatan
jika secara klinis tidak disertai hernia inguinalis. Hidrokel testis dapat meluas
ke atas atau berupa beberapa kantong yang saling berhubungan sepanjang
processus vaginalis peritonei. Hidrokel akan tampak lebih besar dan kencang
pada sore hari karena banyak cairan yang masuk dalam kantong sewaktu anak
dalam posisi tegak, tapi kemudian akan mengecil pada esok paginya setelah
anak tidur semalaman.
Pada orang dewasa, hidrokel dapat terjadi secara idiopatik (primer) dan
sekunder. Penyebab sekunder terjadi karena didapatkan kelainan pada testis
atau epididimis yang menyebabkan terganggunya sistem sekresi atau
reabsorpsi cairan di kantong hidrokel. Kelainan tersebut mungkin merupakan
suatu tumor, infeksi atau trauma pada testis atau epididimis. Dalam keadaan
normal cairan yang berada di dalam rongga tunika vaginalis berada dalam
keseimbangan antara produksi dan reabsorpsi dalam sistem limfatik
(Purnomo, 2003)
6. Komplikasi
Jika dibiarkan, hidrokel yang cukup besar mudah mengalami trauma
dan hidrokel permagna bisa menekan pembuluh darah yang menuju ke testis
sehingga menimbulkan atrofi testis (Purnomo,2010). Komplikasi yang dapat
terjadi pada pasien dengan hidrokel yaitu:
a. Perdarahan yang disebabkan karena trauma dan aspirasi
b. Mengganggu kesuburan dan fungsi seksual pasien
c. Jika dibiarkan, hidrokel yang cukup besar mudah mengalami trauma
dan hidrokel permagna bias menekan pembuluh darah yang menuju ke
testis sehingga menimbulkan atrofi testis.
d. Infeksi testis
e. Kompresi pada peredaran darah testis
f. Hematom pada jaringan skrotum yang kendor.
8. Penatalaksanaan Medis
Tindakan untuk mengatasi cairan hidrokel menurut Mursalim (2012)
adalah :
a. Aspirasi
Aspirasi cairan hidrokel tidak dianjurkan karena selain angka
kekambuhannya tinggi, kadang kala dapat menimbulkan penyulit
berupa infeksi. Beberapa indikasi untuk melakukan operasi pada
hidrokel adalah sebagai berikut :
1) Hidrokel yang besar sehingga dapat menekan pembuluh darah
2) Indikasi kosmetik
3) Hidrokel permagna yang dirasakan terlalu berat dan
mengganggu pasien dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari.
b. Hidrokelektomi
Pada hidrokel kongenital dilakukan pendekatan inguinal karena
seringkali hidrokel ini disertai dengan hernia inguinalis sehingga pada
saat operasi hidrokel, sekaligus melakukan herniografi. Pada hidrokel
testis dewasa dilakukan pendekatan scrotal dengan melakukan eksisi
dan marsupialisasi kantong hidrokel sesuai cara Winkelman atau
aplikasi kantong hidrokel sesuai cara Lord. Pada hidrokel funikulus
dilakukan ekstirpasi hidrokel secara in toto. Pada hidrokel tidak ada
terapi khusus yang diperlukan karena cairan lambat laun akan diserap,
biasanya menghilang sebelum umur 2 tahun. Indikasi operasi
perbaikan hidrokel menurut Noviana (2011) adalah sebagai berikut :
1) Gagal untuk hilang pada umur 2 tahun
2) Rasa tidak nyaman terus-menerus akibat hidrokel permagna
3) Pembesaran volume cairan hidrokel sehingga dapat menekan
pembuluh darah
4) Adanya infeksi sekunder (sangat jarang)
B. Pertimbangan Anestesi
1. Definisi Anestesi
Anestesi berasal dari bahasaYunani a : tanpa,aesthesis : rasa, sensasi
(Anestesiologi FKUI 1989). Anestesi adalah suatu keadaan narkosis,
analgesia, relaksasi dan hilangnya reflek (Keperawatan medical bedah,
Brunner dan Sudarthedisi.
Definisi anestesiologi yang ditegakkan oleh The American Board of
Anesthesiology pada tahun 1089 ialah mencakup semua kegiatan profesi atau
praktek yang meliputi :
1) Menilai, merancang, menyiapkan pasien untuk anestesi.
2) Membantu pasien menghilangkan nyeri pada saat pembedahan,
persalinan atau pada saat dilakukan tindakan diagnostic terapeutik.
3) Memantau dan memperbaiki homeostasis pasien perioperatif dan
pada pasien dalam keadaan kritis.
4) Mendiagnosis dan mengobati sindroma nyeri.
5) Mengelola dan mengajarkan resusitasi jantung paru (RJP).
6) Membuat evaluasi fungsi pernafasan dan mengobati gangguan
pernafasan.
7) Mengajarkan, member supervise dan mengadakan evaluasi tentang
penampilan personil paramedic dalam bidang anestesi, perawatan
pernafasan dan perawatan pasien dalam keadaan kritis.
8) Mengadakan penelitian tentang ilmu dasar dan ilmu klinik untuk
menjelaskan dan memperbaiki perawatan pasien terutama tentang
fungsi fisiologi dan respon terhadap obat.
9) Melibatkan diri dalam administrasi rumah sakit. Pendidikan
kedokteran dan fasilitas rawat jalan yang diperlukan untuk
implementasi pertanggung jawaban.
Anestesi dan reanimasi adalah cabang ilmu kedokteran yang
mempelajari tatalaksana untuk mematikan rasa. Rasa nyeri, rasa tidak nyaman
pasien, dan rasa lain yang tidak diharapkan. Anestesiologi adalah ilmu yang
mempelajari tatalaksana untuk menjaga atau mempertahankan hidup pasien
selama mengalami “kematian” akibat obat anestesia (Mangku, 2010).
2. Jenis Anestesi
Anestesi regional atau "blok saraf" adalah bentuk anestesi yang hanya
sebagian dari tubuh dibius (dibuat mati rasa). Hilangnya sensasi di daerah
tubuh yang dihasilkan oleh pengaruh obat anestesi untuk semua saraf yang
dilewati persarafannya (seperti ketika obat bius epidural diberikan ke daerah
panggul selama persalinan). Jika pasien akan dilakukan operasi pada
ekstremitas atas (misalnya bahu, siku atau tangan), pasien akan menerima
tindakan anestesi dengan suntikan (blok saraf tepi ) di atas atau di bawah
tulang selangka (tulang leher), yang kemudian membius hanya lengan yang
dioperasi. Operasi pada ekstremitas bawah (misalnya pinggul, lutut, kaki) akan
dapat dilakukan dengan teknik anastesi epidural, spinal atau blok saraf tepi
yang akan membius bagian bawah tubuh pasien, atau seperti pada blok
ekstremitas atas, yaitu hanya memblokir persarafan pada daerah perifer.
Jenis Anestesi Regional menurut Pramono (2017) digolongkan sebagai
anestesi spinal, anestesi epidural, dan anestesi kaudal. Anestesi spinal yaitu
penyuntikan anestesi lokal ke dalam ruang subaraknoid disegmen lumbal 3-4
atau lumbal 4-5. Untuk mencapai ruang subaraknoid, jarum spinal menembus
kulit subkutan lalu menembus ligamentum supraspinosum, ligamen
interspinosum, ligamentum flavum, ruang epidural, durameter, dan ruang
subaraknoid. Tanda dicapainya ruang subaraknoid adalah dengan keluarnya
liquor cerebrospinalis (LCS).
3. Teknik Anestesi
Menurut Latief (2010) anestesi spinal menjadi pilihan untuk operasi
abdomen bawah dan ekstermitas bawah. Teknik anestesi ini popular karena
sederhana, efektif, aman terhadap sistem saraf, konsentrasi obat dalam plasma
yang tidak berbahaya serta mempunyai analgesi yang kuat namun pasien
masih tetap sadar, relaksasi otot cukup, perdarahan luka operasi lebih sedikit,
aspirasi dengan lambung penuh lebih kecil, pemulihan saluran cerna lebih
cepat.
Indikasi Spinal Anestesi Menurut Latief (2010) indikasi dari tindakan
spinal anestesi sebagai berikut:
a. Pembedahan pada ektermitas bawah
b. Pembedahan pada daerah panggul
c. Tindakan sekitar rektum-perineum
d. Pembedahan perut bagian bawah
e. Pembedahan obstetri-ginekologi
f. Pembedahan urologi
g. Pada bedah abdomen bagian atas dan bedah pediatrik, dikombinasikan
dengan anestesi umum ringan
a. Kontraindikasi absolut
1) Pasien menolak
2) Infeksi pada tempat daerah penyuntikan
3) Hipovolemia berat, syok
4) Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan
5) Tekanan intrakranial meninggi
6) Fasilitas resusitasi minim
7) Kurang pengalaman / tanpa didampingi konsultan
anestesia
b. Kontraindikasi relatif
1) Infeksi sistemik (sepsis, bakteremi)
2) Infeksi sekitar tempat suntikan
3) Kelainan neurologis
4) Kelainan psikis
5) Penyakit jantung
6) Hipovolemia ringan
7) Nyeri punggung kronis
8) Pasien tidak kooperatif
c. Kontraindikasi kontroversial
1) Tempat penyuntikan yang sama pada operasi sebelumnya
2) Ketidakmampuan komunikasi dengan pasien
3) Komplikasi operasi
4) Operasi yang lama
5) Kehilangan darah yang banyak
6) Manuver pada kompromi pernapasan
Persiapan :
5. Resiko Penyulit
a. Status ASA
b. Mallampati score
c. Grade tonsil
d. Waktu puasa
C. Web Of Caution (WOC)
Hidrocel
Hidrocelectomy
b. Intra Anestesi
No Diagnosa Tujuan Intervensi
1 Penurunan curah jantung b.d Setelah dilakukan tindakan asuhan Observasi tanda-tanda vital
induksi anestesi spinal
keperawatan anestesi diharapkan Kolaborasi pemberian cairan
tekanan darah pasien meningkat Kolaborasi pemberian obat
dalam rentang sistole 100-120 mmHg vasopresor
dan distole 70-80 mmHg
2 Resiko ketidakseimbangan Setelah dilakukan tindakan selama Pantau tanda-tanda vital klien
suhu tubuh b.d pajanan suhu intra anestesi masalah teratasi dengan Atur suhu ruangan
dingin ruang operasi kriteria hasil suhu tubuh klien terjaga Berikan selimut penghangat
Kaji akral pasien
c. Post Anestesi
No Diagnosa Tujuan Intervensi
1 Gangguan mobilitas fisik b.d efek Setelah dilakukan tindakan Observasi TTV pasien
obat anestesi kepenataan anestesi masalah teratasi Berikan posisi yang nyaman
dengan kriteria hasil : klien mampu Intruksikan pasien terkait dengan
bergerak secara perlahan dengan tipe aktivitas fisik yang sesuai
mandiri dengan derajat kesehatannya,
kolaborasikan dengan dokter dan
atau ahli terapi fisik
Ajarkan klien maupun keluarga
klien untuk melakukan latihan
mobilitas fisik
4. Evaluasi
Pasien yang telah menerima tindakan anestesi tidak diperkenankan
untuk meninggalkan ruangan operasi sebelum dipastikan berada dalam
kondisi jalan napas yang paten, ventilasi yang adekuat, memiliki
hemodinamik yang stabil, serta pasien dalam kondisi responsif saat dilakukan
pemeriksaan kesadaran. Pasien kemudian dipindahkan menuju ruang
pemulihan. Selama berada di ruang pemulihan dilakukan pemantauan
respirasi dan sirkulasi melalui monitor yang dilengkapi dengan pulse
oximeter, EKG, automated noninvasive blood pressure (NIBP) setiap 5-15
menit tergantung dari berat-ringannya operasi dan kondisi pasien, diberikan
suplemental oksigen melalui nasal canule maupun sungkup muka pada
pasien dengan resiko hipoksemia.
Pasien yang tidak stabil harus dipindahkan ke ruang pemulihan dengan
kondisi tetap diintubasi, pemasangan monitor, serta dilengkapi dengan obat-
obat emergensi. Parameter hemodinamik pasien yang perlu diperhatikan
adalah tekanan darah dan denyut jantung. Pasien pasca bedah dapat
mengalami hipertensi sebagai akibat dari nyeri, hipoksia, hiperkarbia,
kelebihan cairan, penggunaan obat vasopresor maupun hipertensi yang telah
diderita pasien sebelum bedah. Sebaliknya, hipotensi juga dapat terjadi pasca
bedah akibat pendarahan, defisit cairan, depresi otot jantung, dan dilatasi
pembuluh darah yang berlebihan. Pasca bedah pasien dapat mengalami
takikardi akibat hipoksia, hipovolemia, obat simpatomimetik, demam dan
nyeri. Pasien dengan bradikardia umunya diberikan sulfas atropine.
Pada monitor EKG dapat diketahui ritme jantung pasien. Disritmia
paling sering disebabkan karena hipoksia. Berikan ventilasi dan oksigenasi,
bila perlu berikan obat anti disritmia seperti lidokain. Perhatikan produksi
urin, terutama pasien yang dicurigai memiliki resiko tinggi gagal ginjal akut
pasca bedah dan anestesia. Bila terjadi oligouri atau anuri segera dicari
sumber penyebabnya. Regurgitasi atau muntah pasca bedah dan anestesi
kemungkinan terjadi sehingga senantiasa harus diantisipasi. Pasien dengan
resiko muntah diposisikan dalam posisi lateral untuk mencegah obstruksi
jalan napas dan memfasilitasi keluarnya sekret dari mulut. Dalam menilai
pemulihan aktivitas motorik, selain kemampuan otot pernapasan dapat pula
dinilai dengan petunjuk yang sangat sederhana yaitu melihat kemampuan
pasien membuka mata serta kemampuan pasien dalam menggerakkan
anggota gerak.
Hipotermi pasca bedah terjadi terutama pada bayi dan anak-anak
akibat suhu kamar operasi yang dingin, penggunaan desinfektan, cairan infus
dan transfusi darah. Segera letakkan bayi ke dalam inkubator, pasang selimut
penghangat, dan berikan penyinaran dengan lampu. Pasien dengan hipertermi
pasca bedah kemungkinan ditimbulkan oleh septikemia terutama pada pasien
yang menderita infeksi pra bedah. Berikan oksigenasi yang adekuat, berikan
cairan infus dingin, berikan antibiotika bila dicurigai sepsis.
Nyeri pasca operasi sudah pasti akan menimbulkan rasa tidak nyaman.
Diagnosis nyeri ditegakkan melalui pemeriksaan klinis, amati perubahan
ekspresi wajah pasien, psikologis, perubahan fisik seperti pola napas, denyut
nadi yang meningkat, tekanan darah meningkat, serta pemeriksaan
laboratorium yaitu kadar gula darah. Intensitas nyeri dapat dinilai dengan
Visual Analog Scale (VAS) atau Numeric Rating Scale (NRS) dengan
rentang nilai 1-10. Bila pasien memilih rentang nilai 1-3, ini termasuk dalam
kategori nyeri ringan. Skala 4-7 untuk nyeri sedang, dan skala 8-10 untuk
skala nyeri berat. Sebelum keluar dari ruang pemulihan, dilakukan
pemantauan pasca anestesia dan kriteria pengeluaran menggunakan Aldrete
skor, Bromage skor, atau Steward skor.
DAFTAR PUSTAKA
CL. Belville, William & Stanley Swierzewski. 2011. Hydrocele Prognosis, Prevention.
http://www.healthcommunities.com/hydrocele/prognosis-prevention. shtml
Latief, Said A., Suryadi, Kartini A., Dachlan, M. R. (2010). Petunjuk Praktis Anestesiologi.
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI.