Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI Tn.K DENGAN HIDROCEL


PROGRAM HIDROCELECTOMY DENGAN REGIONAL ANESTESI TEKNIK
SPINAL ANESTESI

DI IBS RSI FATIMAH CILACAP

Disusun Oleh :

Nama : Azzah azaria wulandari

NIM : 180106014

Mengetahui

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

(....................................) (...................................)

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI PROGRAM SARJANA TERAPAN


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS HARAPAN BANGSA
2022
A. Konsep Teori Penyakit
1. Definisi
Hidrokel adalah pengumpulan cairan, umumnya pada tunika vaginalis
testis, meskipun dapat juga terkumpul di dalam korda spermatikus.
(Brunner&Suddart,2002). Hydrocele adalah suatu penyakit dimana penderita
mengalami kondisi berupa penumpukan cairan pada selaput yang melindungi
testis. Hydrocele adalah penumpukan cairan yang berlebihan antara lapisan
parietalis dan visceralis tunika vaginalis testis. (Pramono, 2008). Hidrokel
adalah sesuatu yang tidak nyeri bila ditekan, massa berisi cairan yang
dihasilkan dari gangguan drainase limfatik dari skrotum dan pembengkakan
tunika vaginalis yang mengelilingi testis (Lewis, 2014).
Hidrokel adalah penyebab umum dari pembengkakan skrotum dan
disebabkan oleh ruang paten di tunika vaginalis. Hidrokel terjadi ketika ada
akumulasi abnormal cairan serosa antara lapisan parietal dan visceral dari
tunika vaginalis yang mengelilingi testis (Parks & Leung, 2013). Hidrokel
adalah pelebaran kantong buah zakar karena terkumpulnya cairan limfe di
dalam tunica vaginalis testis. Hidrokel dapat terjadi pada satu atau dua
kantung buah zakar (Kemenkes RI, 2013). Hidrokel adalah penimbunan cairan
dalam selaput yang membungkus testis, yang menyebabkan pembengkakan
lunak pada salah satu testis. Penyebabnya karena gangguan dalam
pembentukan alat genitalia eksternal, yaitu kegagalan penutupan saluran
tempat turunnya testis dari rongga perut ke dalam skrotum. Cairan peritoneum
mengalir melalui saluran yang terbuka tersebut dan terperangkap di dalam
skrotum sehingga skrotum membengkak.

2. Etiologi
Hidrokel yang terjadi pada bayi baru lahir dapat disebabkan karena
belum sempurnanya penutupan prosesus vaginalis sehingga terjadi aliran
cairan peritoneum ke prosesus vaginalis atau belum sempurnanya sistem
limfatik di daerah skrotum dalam melakukan reabsorbsi cairan hidrokel.
Pada orang dewasa, hidrokel dapat terjadi secara idiopatik (primer) dan
sekunder. Penyebab sekunder dapat terjadi karena didapatkan kelainan pada
testis atau epididimis yang menyebabkan terganggunya sistem sekresi atau
reabsorbsi cairan di kantong hidrokel. Kelainan pada testis itu mungkin suatu
tumor, infeksi, atau trauma pada testis/epididimis. Kemudian hal ini dapat
menyebabkan produksi cairan yang berlebihan oleh testis, maupun obstruksi
aliran limfe atau vena di dalam funikulus spermatikus.

3. Manifestasi Klinis
a. Pasien mengeluh adanya benjolan di kantong skrotum yang tidak nyeri.
b. Pada hidrokel testis dan hidrokel funikulus besarnya benjolan
dikantong skrotum tidak berubah sepanjang hari, sedangkan pada
hidrokel komunikan besarnya dapat berubah-ubah yaitu bertambah
besar pada saat anak menangis.
c. Pada pemeriksaan fisik menunjukkan adanya transiluminasi
d. Gambaran klinis hidrokel kongenital tergantung pada jumlah cairan
yang tertimbun. Bila timbunan cairan sedikit, maka testis terlihat
seakan-akan sedikit membesar dan teraba lunak. Bila timbunan cairan
banyak terlihat skrotum membesar dan agak tegang.

4. Klasifikasi
Hidrokel dapat diklasifikasi menjadi dua jenis berdasarkan kapan
terjadinya yaitu:
a. Hidrokel_primer
Hidrokel primer terlihat pada anak akibat kegagalan penutupan
prosesus vaginalis. Prosesus vaginalis adalah suatu divertikulum
peritoneum embrionik yang melintasi kanalis inguinalis dan
membentuk tunika vaginalis. Hidrokel jenis ini tidak diperlukan terapi
karena dengan sendirinya rongga ini akan menutup dan cairan dalam
tunika akan diabsorpsi.
b. Hidrokel_sekunder
Pada orang dewasa, hidrokel sekunder cenderung berkembang
lambat dalam suatu masa dan dianggap sekunder terhadap obstruksi
aliran keluar limfe. Dapat disebabkan oleh kelainan testis atau
epididimis. Keadaan ini dapat karena radang atau karena suatu proses
neoplastik. Radang lapisan mesotel dan tunika vaginalis menyebabkan
terjadinya produksi cairan berlebihan yang tidak dapat dibuang keluar
dalam jumlah yang cukup oleh saluran limfe dalam lapisan luar tunika.
Berdasarkan kejadian:
a. Hidrokel akut
Biasanya berlangsung dengan cepat dan dapat menyebabkan
nyeri. Cairan berrwarna kemerahan mengandung protein, fibrin,
eritrosit dan sel polimorf.
b. Hidrokel kronis
Hidrokel jenis ini hanya menyebabkan peregangan tunika
secara perlahan dan walaupun akan menjadi besar dan memberikan
rasa berat, jarang menyebabkan nyeri.
Menurut letak kantong hidrokel terhadap testis, secara klinis dibedakan
beberapa macam hidrokel, yaitu
a. Hidrokel testis.
Kantong hidrokel seolah-olah mengelilingi testis sehingga testis
tak dapat diraba. Pada anamnesis, besarnya kantong hidrokel tidak
berubah sepanjang hari.
b. Hidrokel funikulus.
Kantong hidrokel berada di funikulus yaitu terletak di sebelah
kranial dari testis, sehingga pada palpasi, testis dapat diraba dan berada
di luar kantong hidrokel. Pada anamnesis kantong hidrokel besarnya
tetap sepanjang hari.
c. Hidrokel Komunikan 
Terdapat hubungan antara prosesus vaginalis dengan rongga
peritoneum sehingga prosesus vaginalis dapat terisi cairan peritoneum.
Pada anamnesis kantong hidrokel besarnya dapat berubah-ubah yaitu
bertambah pada saat anak menangis. Pada palpasi kantong hidrokel
terpisah dari testis dan dapat dimasukkan kedalam rongga abdomen 

5. Patofisiologi
Hidrokel adalah pengumpulan cairan pada sebagian prosesus vaginalis
yang masih terbuka. Kantong hidrokel dapat berhubungan melalui saluran
mikroskopis dengan rongga peritoneum dan berbentuk katup sehingga cairan
dari rongga peritoneum dapat masuk ke dalam kantong hidrokel dan sukar
kembali ke rongga peritoneum (Mantu, 1993). Pada kehidupan fetal, prosesus
vaginalis dapat berbentuk kantong yang mencapai scrotum. Hidrokel
disebabkan oleh kelainan kongenital (bawaan sejak lahir) ataupun
ketidaksempurnaan dari prosesus vaginalis tersebut sehingga menyebabkan
tidak menutupnya rongga peritoneum dengan prosessus vaginalis sehingga
terbentuklah rongga antara tunika vaginalis dengan cavum peritoneal dan
menyebabkan terakumulasinya cairan yang berasal dari sistem limfatik
disekitarnya. Cairan seharusnya seimbang antara produksi dan reabsorbsi oleh
sistem limfatik di sekitarnya, tetapi pada penyakit ini terjadi gangguan sistem
sekresi atau reabsorbsi cairan limfa sehingga terjadi penimbunan pada tunika
vaginalis. Akibat dari tekanan yang terus-menerus, terjadi obstruksi aliran
limfe atau vena di dalam funikulus spermatikus dan terjadi atrofi testis yang
dikarenakan akibat dari tekanan pembuluh darah yang ada di daerah sekitar
testis tersebut.
Hidrokel dapat ditemukan dimana saja sepanjang funikulus
spermatikus dan juga dapat ditemukan di sekitar testis yang terdapat dalam
rongga perut pada undensensus testis. Hidrokel infantilis biasanya akan
menghilang dalam tahun pertama, umumnya tidak memerlukan pengobatan
jika secara klinis tidak disertai hernia inguinalis. Hidrokel testis dapat meluas
ke atas atau berupa beberapa kantong yang saling berhubungan sepanjang
processus vaginalis peritonei. Hidrokel akan tampak lebih besar dan kencang
pada sore hari karena banyak cairan yang masuk dalam kantong sewaktu anak
dalam posisi tegak, tapi kemudian akan mengecil pada esok paginya setelah
anak tidur semalaman.
Pada orang dewasa, hidrokel dapat terjadi secara idiopatik (primer) dan
sekunder. Penyebab sekunder terjadi karena didapatkan kelainan pada testis
atau epididimis yang menyebabkan terganggunya sistem sekresi atau
reabsorpsi cairan di kantong hidrokel. Kelainan tersebut mungkin merupakan
suatu tumor, infeksi atau trauma pada testis atau epididimis. Dalam keadaan
normal cairan yang berada di dalam rongga tunika vaginalis berada dalam
keseimbangan antara produksi dan reabsorpsi dalam sistem limfatik
(Purnomo, 2003)

6. Komplikasi
Jika dibiarkan, hidrokel yang cukup besar mudah mengalami trauma
dan hidrokel permagna bisa menekan pembuluh darah yang menuju ke testis
sehingga menimbulkan atrofi testis (Purnomo,2010). Komplikasi yang dapat
terjadi pada pasien dengan hidrokel yaitu:
a. Perdarahan yang disebabkan karena trauma dan aspirasi
b. Mengganggu kesuburan dan fungsi seksual pasien
c. Jika dibiarkan, hidrokel yang cukup besar mudah mengalami trauma
dan hidrokel permagna bias menekan pembuluh darah yang menuju ke
testis sehingga menimbulkan atrofi testis.
d. Infeksi testis
e. Kompresi pada peredaran darah testis
f. Hematom pada jaringan skrotum yang kendor.

7. Pemeriksaan Diagnostik/Pemeriksaan Penunjang Terkait


a. Diagnostis ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan fisik, biasanya
dengan memakai teknik pencintraan yang diperkuat termasuk
ultrasonografi. Pada inspeksi skrotum akan tampak lebih besar dari
yang lain. Palpasi pada skrotum yang hidrokel terasa ada fluktuasi, dan
relatif kenyal atau lunak tergantung pada tegangan di dalam hidrokel,
permukaan biasanya halus. Palpasi hidrokel seperti balon yang berisi
air. Bila jumlah cairan minimum, testis relatif mudah diraba.
Sedangkan bila cairan minimum, testis relatif mudah diraba. Juga
penting dilakukan palpasi korda spermatikus di atas insersi tunika
vaginalis. Pembengkakan kistik karena hernia atau hidrokel serta padat
karena tumor. Normalnya korda spermatikus tidak terdapat penonjolan,
yang membedakannya dengan hernia skrotalis yang kadang-kadang
transiluminasinya juga positif. Pada Auskultasi dilakukan untuk
mengetahui adanya bising usus untuk menyingkirkan adanya hernia.
b. Inspeksi visual menggunakan cahaya yang disorotkan pada testis dapat
mengidentifikasi cairan.
c. Transiluminasi. Langkah diagnostik yang paling penting adalah
transiluminasi massa hidrokel dengan cahaya di dalam ruang gelap.
Sumber cahaya diletakkan pada sisi pembesaran skrotum. Struktur
vaskuler, tumor, darah, hernia, penebalan tunika vaginalis dan testis
normal tidak dapat ditembusi sinar. Trasmisi cahaya sebagai bayangan
merah menunjukkan rongga yang mengandung cairan serosa, seperti
hidrokel. Hidrokel berisi cairan jernih, strawcolored dan
mentransiluminasi (meneruskan) berkas cahaya.
d. Ultrasonografi dapat mengirimkan gelombang suara melewati skrotum
dan membantu melihat adanya hernia, kumpulan cairan (hidrokel atau
spermatokel), vena abnormal (varikokel), dan kemungkinan adanya
tumor.
e. Pemeriksaan Urin. Kadang-kadang terdapat nanah dalam urin dan
kemungkinan juga terdapat bakteri. Juga perlu diperiksa cairan prostat
untuk mengetahui adanya penjalaran ke prostat.

8. Penatalaksanaan Medis
Tindakan untuk mengatasi cairan hidrokel menurut Mursalim (2012)
adalah :
a. Aspirasi
Aspirasi cairan hidrokel tidak dianjurkan karena selain angka
kekambuhannya tinggi, kadang kala dapat menimbulkan penyulit
berupa infeksi. Beberapa indikasi untuk melakukan operasi pada
hidrokel adalah sebagai berikut :
1) Hidrokel yang besar sehingga dapat menekan pembuluh darah
2) Indikasi kosmetik
3) Hidrokel permagna yang dirasakan terlalu berat dan
mengganggu pasien dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari.
b. Hidrokelektomi
Pada hidrokel kongenital dilakukan pendekatan inguinal karena
seringkali hidrokel ini disertai dengan hernia inguinalis sehingga pada
saat operasi hidrokel, sekaligus melakukan herniografi. Pada hidrokel
testis dewasa dilakukan pendekatan scrotal dengan melakukan eksisi
dan marsupialisasi kantong hidrokel sesuai cara Winkelman atau
aplikasi kantong hidrokel sesuai cara Lord. Pada hidrokel funikulus
dilakukan ekstirpasi hidrokel secara in toto. Pada hidrokel tidak ada
terapi khusus yang diperlukan karena cairan lambat laun akan diserap,
biasanya menghilang sebelum umur 2 tahun. Indikasi operasi
perbaikan hidrokel menurut Noviana (2011) adalah sebagai berikut :
1) Gagal untuk hilang pada umur 2 tahun
2) Rasa tidak nyaman terus-menerus akibat hidrokel permagna
3) Pembesaran volume cairan hidrokel sehingga dapat menekan
pembuluh darah
4) Adanya infeksi sekunder (sangat jarang)

B. Pertimbangan Anestesi
1. Definisi Anestesi
Anestesi berasal dari bahasaYunani a : tanpa,aesthesis : rasa, sensasi
(Anestesiologi FKUI 1989). Anestesi adalah suatu keadaan narkosis,
analgesia, relaksasi dan hilangnya reflek (Keperawatan medical bedah,
Brunner dan Sudarthedisi.
Definisi anestesiologi yang ditegakkan oleh The American Board of
Anesthesiology pada tahun 1089 ialah mencakup semua kegiatan profesi atau
praktek yang meliputi :
1) Menilai, merancang, menyiapkan pasien untuk anestesi.
2) Membantu pasien menghilangkan nyeri pada saat pembedahan,
persalinan atau pada saat dilakukan tindakan diagnostic terapeutik.
3) Memantau dan memperbaiki homeostasis pasien perioperatif dan
pada pasien dalam keadaan kritis.
4) Mendiagnosis dan mengobati sindroma nyeri.
5) Mengelola dan mengajarkan resusitasi jantung paru (RJP).
6) Membuat evaluasi fungsi pernafasan dan mengobati gangguan
pernafasan.
7) Mengajarkan, member supervise dan mengadakan evaluasi tentang
penampilan personil paramedic dalam bidang anestesi, perawatan
pernafasan dan perawatan pasien dalam keadaan kritis.
8) Mengadakan penelitian tentang ilmu dasar dan ilmu klinik untuk
menjelaskan dan memperbaiki perawatan pasien terutama tentang
fungsi fisiologi dan respon terhadap obat.
9) Melibatkan diri dalam administrasi rumah sakit. Pendidikan
kedokteran dan fasilitas rawat jalan yang diperlukan untuk
implementasi pertanggung jawaban.  
Anestesi dan reanimasi adalah cabang ilmu kedokteran yang
mempelajari tatalaksana untuk mematikan rasa. Rasa nyeri, rasa tidak nyaman
pasien, dan rasa lain yang tidak diharapkan. Anestesiologi adalah ilmu yang
mempelajari tatalaksana untuk menjaga atau mempertahankan hidup pasien
selama mengalami “kematian” akibat obat anestesia (Mangku, 2010).

Anestesi berarti “hilangnya rasa atau sensasi”. Istilah yang digunakan


para ahli saraf dengan maksud untuk menyatakan bahwa terjadi kehilangan
rasa secara patologis pada bagian tubuh tertentu, atau bagian tubuh yang
dikehendaki (Boulton, 2012).

Anestesi atau pembiusan adalah pengurangan atau penghilangan


sensasi untuk sementara, sehingga operasi atau prosedur lain yang
menyakitkan dapat dilakukan.

2. Jenis Anestesi
Anestesi regional atau "blok saraf" adalah bentuk anestesi yang hanya
sebagian dari tubuh dibius (dibuat mati rasa). Hilangnya sensasi di daerah
tubuh yang dihasilkan oleh pengaruh obat anestesi untuk semua saraf yang
dilewati persarafannya (seperti ketika obat bius epidural diberikan ke daerah
panggul selama persalinan). Jika pasien akan dilakukan operasi pada
ekstremitas atas (misalnya bahu, siku atau tangan), pasien akan menerima
tindakan anestesi dengan suntikan (blok saraf tepi ) di atas atau di bawah
tulang selangka (tulang leher), yang kemudian membius hanya lengan yang
dioperasi. Operasi pada ekstremitas bawah (misalnya pinggul, lutut, kaki) akan
dapat dilakukan dengan teknik anastesi epidural, spinal atau blok saraf tepi
yang akan membius bagian bawah tubuh pasien, atau seperti pada blok
ekstremitas atas, yaitu hanya memblokir persarafan pada daerah perifer.
Jenis Anestesi Regional menurut Pramono (2017) digolongkan sebagai
anestesi spinal, anestesi epidural, dan anestesi kaudal. Anestesi spinal yaitu
penyuntikan anestesi lokal ke dalam ruang subaraknoid disegmen lumbal 3-4
atau lumbal 4-5. Untuk mencapai ruang subaraknoid, jarum spinal menembus
kulit subkutan lalu menembus ligamentum supraspinosum, ligamen
interspinosum, ligamentum flavum, ruang epidural, durameter, dan ruang
subaraknoid. Tanda dicapainya ruang subaraknoid adalah dengan keluarnya
liquor cerebrospinalis (LCS).

3. Teknik Anestesi
Menurut Latief (2010) anestesi spinal menjadi pilihan untuk operasi
abdomen bawah dan ekstermitas bawah. Teknik anestesi ini popular karena
sederhana, efektif, aman terhadap sistem saraf, konsentrasi obat dalam plasma
yang tidak berbahaya serta mempunyai analgesi yang kuat namun pasien
masih tetap sadar, relaksasi otot cukup, perdarahan luka operasi lebih sedikit,
aspirasi dengan lambung penuh lebih kecil, pemulihan saluran cerna lebih
cepat.
Indikasi Spinal Anestesi Menurut Latief (2010) indikasi dari tindakan
spinal anestesi sebagai berikut:
a. Pembedahan pada ektermitas bawah
b. Pembedahan pada daerah panggul
c. Tindakan sekitar rektum-perineum
d. Pembedahan perut bagian bawah
e. Pembedahan obstetri-ginekologi
f. Pembedahan urologi
g. Pada bedah abdomen bagian atas dan bedah pediatrik, dikombinasikan
dengan anestesi umum ringan

Kontraindikasi Spinal Anestesi Menurut Morgan (2013) kontraindikasi


spinal anestesi digolongkan sebagai berikut :

a. Kontraindikasi absolut
1) Pasien menolak
2) Infeksi pada tempat daerah penyuntikan
3) Hipovolemia berat, syok
4) Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan
5) Tekanan intrakranial meninggi
6) Fasilitas resusitasi minim
7) Kurang pengalaman / tanpa didampingi konsultan
anestesia
b. Kontraindikasi relatif
1) Infeksi sistemik (sepsis, bakteremi)
2) Infeksi sekitar tempat suntikan
3) Kelainan neurologis
4) Kelainan psikis
5) Penyakit jantung
6) Hipovolemia ringan
7) Nyeri punggung kronis
8) Pasien tidak kooperatif
c. Kontraindikasi kontroversial
1) Tempat penyuntikan yang sama pada operasi sebelumnya
2) Ketidakmampuan komunikasi dengan pasien
3) Komplikasi operasi
4) Operasi yang lama
5) Kehilangan darah yang banyak
6) Manuver pada kompromi pernapasan

Persiapan :

a. Siap pasien, yang sudah dilakukan seperti prosedur umum tindakan


pasien yang akan dilakukan tindakan subarachnoid blok atau spinal
Anestesi
1) Prosedur Evaluasi Pasien pra anestesi untuk menentukan
kelayakan.
2) Perencanaan teknik.
3) Informed consent meliputi: penjelasan, teknik, risiko dan
komplikasi.
4) Instruksi puasa (elektif), premedikasi bila diperlukan.
b. Siap Alat, melengkapi peralatan, monitor pasien, obat-obat lokal
Anestesi, obat-obat antidote lokal Anestesi, obat emergency, sarana
peralatan Anestesi regional, sarana doek steril set regional Anestesi,
serta mesin Anestesi.
Prosedur Tindakan :
1) Dilakukan prosedur premedikasi
2) Memasang monitor
3) Memasang infus line dan lancar.
4) Posisikan pasien duduk atau tidur miring.
5) Indentifikasi tempat insersi jarum spinal dan diberikan
penanda.
6) Desinfeksi daerah insersi jarum spinal, serta
memasangkan doek steril dengan prosedur aseptik dan
steril
7) Insersi jarum spinal ditempat yang telah ditandai.
8) Pastikan LCS keluar.
9) Barbotage cairan LCS yang keluar.
10) Injeksikan lokal anestesi intratekal sesuai target dan
dosis yang diinginkan.
11) Check level ketinggian block.
12) Maintenance dengan oksigen
13) Melakukan segera penanganan komplikasi anestesi
regional.

Pasca Prosedur Tindakan:

1) Observasi tanda vital di kamar pemulihan


2) Melakukan penanganan tindakan monitor ketinggian
blok sesuai skala bromage atau alderretscore
3) Atasi segera komplikasi yang terjadi (Menteri
Kesehatan Republik Indonesia, 2015).
4. Rumatan Anestesi
Periode Maintenance (Periode Pemeliharaan) ini dihitung sejak
mulainya induksi dan selama pelaksanaan pembedahan.
a. Menggunakan oksigen dan obat anestesi inhalasi dengan maupun tanpa
pelumpuh otot atau rumatan dengan obat intravena kontinyu,
menggunakan dosis sesuai umur dan berat badan.
b. Titrasi dan pemantauan efek obat dan dijaga kadar anestesi aman
selama prosedur tindakan.
c. Pernafasan kontrol atau asissted selama perjalanan operasi.
d. Suplemen analgetik opioid sesuai kebutuhan.
e. Dapat dikombinasi dengan anestesi regional sesuai kebutuhan, setelah
dilakukan anestesi umum.
f. Monitoring fungsi vital dan suara nafas dengan precordial,
memperhatikan posisi endotrakheal tube selama operasi berlangsung
secara berkala.
g. Evaluasi pemberian cairan dan kebutuhan untuk mengganti kehilangan
cairan pada saat prosedur tindakan.
h. Pastikan tidak ada sumber perdarahan yang belum teratasi.
i. Menjaga suhu tubuh pasien tetap hangat selama prosedur tindakan

5. Resiko Penyulit
a. Status ASA
b. Mallampati score
c. Grade tonsil
d. Waktu puasa
C. Web Of Caution (WOC)

Hidrocel

Hidrocelectomy

Pre anestesi Intra anestesi Post anestesi

Agen cedera Induksi anestesi Pajanan suhu dingin


Prosedur invasif Efek obat anstesi
biologis spinal ruang operasi

Gangguan Penurunan curah Resiko Gangguan


Ansietas jantung ketidakseimbangan mobilitas fisik
Rasa Nyaman
suhu tubuh
D. Tinjauan Teori Askan
1. Pengkajian
Anamnesis dilakukan dengan pasien sendiri atau kalau pasien tidak
bisa diajak komunikasi, wawancara heteroanamnesis yaitu keluarga pasien
atau kerabat dekat pasien, meliputi :
a. Tanyakan identitas pasien atau biodata.
b. Anamnesis khusus yang berkaitan dengan penyakit bedah
yang mungkin menimbulkan gangguan fungsi organ atau
gangguan psikis pada pasien.
c. Anamnesis umum, meliputi :
1) Riwayat penyakit sistemik yang pernah diderita atau
yang sedang menderita penyakit sistemik selain
penyakit bedah yang diderita, yang bisa mempengaruhi
anesthesia atau dipengaruhi oleh anesthesia.
2) Riwayat pemakaian obat atau alergi obat, tanyakan
pada pasien apakah ada obat yang sebelumnya
diminum dan tanyakan pada pasien apakah pasien ada
alergi obat.
3) Riwayat operasi/ anesthesia terdahulu.
4) Tanyakan kepada pasien apakah pasien
merokok, meminum minuman alcohol, minum
kopi dan mengkonsumsi obat-obatan terlarang.
5) Memberitahu pasien sebelum oprasi pasien harus
puasa 8 jam sebelum oprasi dimulai.
d. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan yang dilakukan adalah :
1) Pemeriksaan atau pengukuran status presen pasien,
meluputi: kesadaran pasien, nafas pasien, tekanan darah
atau tensi pasien, nadi, suhu tubuh, berat badan dan
tinggi badan pasien untuk menilai status gizi pasien
atau BMI pasien.
2) Pemeriksaan fisik umum, meliputi pemeriksaan status :
a) Psikis pasien : gelisah, takut atau kesakitan.
b) Respirasi
c) Hemodinamik
d) Penyakit darah
e) Hepato-bilier.
f) Urogenital dan saluran kencing.
g) Metabolic dan endokrin.
h) Cek kekuatan pasien (otot dan saraf)
i) Pemeriksaan laboratorium, radiologi dan yang
lainnya
3) Pemeriksaan rutin
Ditujukan pada pasien yang dipersiapkan untuk
oiprasi kecil dan sedang. Hal-hal yang akan
dipersiapkan:

a) Test darah pasien : Hb, Ht, Eritrosit, Leukosit,


masa perdarahan dan masa pembekuan.
b) Urin : pemeriksaan fisik, kimiawi dan sedimen
urin
c) Pemeriksaan radiologi : CT Scan, X-ray.
d) Menentukan prognosis pasien perioperatif

Berdasarkan hasil evaluasi pra operatif tersebut diatas


maka dapat disimpulkan status fisik pasien pra anesthesia.

American Society of Anesthesiologist (ASA) membuat


klasifikasi status fisik praanastesia menjadi 5 kelas, yaitu:
ASA 1 : Pasien penyakit bedah tanpa memiliki penyakit
sistemik.
ASA 2 : Pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit
sistemik ringan sampai sedang.
ASA 3 : Pasien penyakir bedah disertai dengan penyakit
sistemik berat yang disebabkan karena berbagai penyebab
tetapi tidak mengancam nyawa.
ASA 4 : Pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit
sistemik berat yang secara langsung mengancam
kehidupannya.
ASA 5 : Pasien penyakit bedah yang disertai dengan penyakit
sistemik berat yang sudah tidak mungkin ditolong lagi,
dioperasi ataupun tidak dalam 24 jam pasien akan meninggal.
ASA 6 : Pasien sudah mati batang otak, siap donorkan organ
yang masih berfungsi baik.
E : Pasien emergency yang harus di
operasi.
2. Masalah Kesehatan Anestesi
a. Pre Anestesi
1) Ansietas b.d prosedur invasif
2) Gangguan rasa nyaman b.d agen cidera
biologis
b. Intra Anestesi
1) Penurunan curah jantung b.d induksi
anestesi spinal
2) Resiko ketidakseimbangan suhu tubuh
b.d pajanan suhu dingin ruang operasi
c. Post Anestesi
1) Gangguan mobilitas fisik b.d efek obat
anestesi
3. Rencana Intervensi
a. Pre Anestesi
No Diagnosa Tujuan Intervensi
1 Ansietas b.d prosedur invasif Setelah dilakukan tindakan selama a. Membina hubungan saling
pre anestesi masalah teratasi dengan percaya
kriteria hasil : b. Mengkaji tanda ansietas verbal
a. Pasien nampak tenang dan nonvervbal.
b. Pasien mengatakan rasa takutnya c. Menjelaskan tentang prosedur
berkurang anestesi dan pembedahan dengan
c. Pasien menyatakan siap untuk bahasa yang mudah dipahami.
dilakukan operasi d. Kolaborasi pemberian Pre
Medikasi
2 Gangguan Rasa Nyaman b.d agen Setelah dilakukan tindakan selama a. Indentifikasi kebutuhan
cedera biologis pre anestesi masalah teratasi dengan keamanan dan kenyamanan
kriteria hasil : pasien, berdasarkan tingkat
a. Pasien lebih nyaman dengan fungsi kognitif dan fisik
posisi yang tepat b. Ciptakan lingkungan yang aman
b. Pasien lebih tenang bagi klien
c. Hindari lingkungan yang
berbahaya bagi klien
d. Fasilitasi linen dan pakaian yang
nyaman
e. Tempatkan tempat tidur yang
dapat di atur posisinya

b. Intra Anestesi
No Diagnosa Tujuan Intervensi
1 Penurunan curah jantung b.d Setelah dilakukan tindakan asuhan  Observasi tanda-tanda vital
induksi anestesi spinal
keperawatan anestesi diharapkan  Kolaborasi pemberian cairan
tekanan darah pasien meningkat  Kolaborasi pemberian obat
dalam rentang sistole 100-120 mmHg vasopresor
dan distole 70-80 mmHg
2 Resiko ketidakseimbangan Setelah dilakukan tindakan selama  Pantau tanda-tanda vital klien
suhu tubuh b.d pajanan suhu intra anestesi masalah teratasi dengan  Atur suhu ruangan
dingin ruang operasi kriteria hasil suhu tubuh klien terjaga  Berikan selimut penghangat
 Kaji akral pasien

c. Post Anestesi
No Diagnosa Tujuan Intervensi
1 Gangguan mobilitas fisik b.d efek Setelah dilakukan tindakan  Observasi TTV pasien
obat anestesi kepenataan anestesi masalah teratasi  Berikan posisi yang nyaman
dengan kriteria hasil : klien mampu  Intruksikan pasien terkait dengan
bergerak secara perlahan dengan tipe aktivitas fisik yang sesuai
mandiri dengan derajat kesehatannya,
kolaborasikan dengan dokter dan
atau ahli terapi fisik
 Ajarkan klien maupun keluarga
klien untuk melakukan latihan
mobilitas fisik
4. Evaluasi
Pasien yang telah menerima tindakan anestesi tidak diperkenankan
untuk meninggalkan ruangan operasi sebelum dipastikan berada dalam
kondisi jalan napas yang paten, ventilasi yang adekuat, memiliki
hemodinamik yang stabil, serta pasien dalam kondisi responsif saat dilakukan
pemeriksaan kesadaran. Pasien kemudian dipindahkan menuju ruang
pemulihan. Selama berada di ruang pemulihan dilakukan pemantauan
respirasi dan sirkulasi melalui monitor yang dilengkapi dengan pulse
oximeter, EKG, automated noninvasive blood pressure (NIBP) setiap 5-15
menit tergantung dari berat-ringannya operasi dan kondisi pasien, diberikan
suplemental oksigen melalui nasal canule maupun sungkup muka pada
pasien dengan resiko hipoksemia.
Pasien yang tidak stabil harus dipindahkan ke ruang pemulihan dengan
kondisi tetap diintubasi, pemasangan monitor, serta dilengkapi dengan obat-
obat emergensi. Parameter hemodinamik pasien yang perlu diperhatikan
adalah tekanan darah dan denyut jantung. Pasien pasca bedah dapat
mengalami hipertensi sebagai akibat dari nyeri, hipoksia, hiperkarbia,
kelebihan cairan, penggunaan obat vasopresor maupun hipertensi yang telah
diderita pasien sebelum bedah. Sebaliknya, hipotensi juga dapat terjadi pasca
bedah akibat pendarahan, defisit cairan, depresi otot jantung, dan dilatasi
pembuluh darah yang berlebihan. Pasca bedah pasien dapat mengalami
takikardi akibat hipoksia, hipovolemia, obat simpatomimetik, demam dan
nyeri. Pasien dengan bradikardia umunya diberikan sulfas atropine.
Pada monitor EKG dapat diketahui ritme jantung pasien. Disritmia
paling sering disebabkan karena hipoksia. Berikan ventilasi dan oksigenasi,
bila perlu berikan obat anti disritmia seperti lidokain. Perhatikan produksi
urin, terutama pasien yang dicurigai memiliki resiko tinggi gagal ginjal akut
pasca bedah dan anestesia. Bila terjadi oligouri atau anuri segera dicari
sumber penyebabnya. Regurgitasi atau muntah pasca bedah dan anestesi
kemungkinan terjadi sehingga senantiasa harus diantisipasi. Pasien dengan
resiko muntah diposisikan dalam posisi lateral untuk mencegah obstruksi
jalan napas dan memfasilitasi keluarnya sekret dari mulut. Dalam menilai
pemulihan aktivitas motorik, selain kemampuan otot pernapasan dapat pula
dinilai dengan petunjuk yang sangat sederhana yaitu melihat kemampuan
pasien membuka mata serta kemampuan pasien dalam menggerakkan
anggota gerak.
Hipotermi pasca bedah terjadi terutama pada bayi dan anak-anak
akibat suhu kamar operasi yang dingin, penggunaan desinfektan, cairan infus
dan transfusi darah. Segera letakkan bayi ke dalam inkubator, pasang selimut
penghangat, dan berikan penyinaran dengan lampu. Pasien dengan hipertermi
pasca bedah kemungkinan ditimbulkan oleh septikemia terutama pada pasien
yang menderita infeksi pra bedah. Berikan oksigenasi yang adekuat, berikan
cairan infus dingin, berikan antibiotika bila dicurigai sepsis.
Nyeri pasca operasi sudah pasti akan menimbulkan rasa tidak nyaman.
Diagnosis nyeri ditegakkan melalui pemeriksaan klinis, amati perubahan
ekspresi wajah pasien, psikologis, perubahan fisik seperti pola napas, denyut
nadi yang meningkat, tekanan darah meningkat, serta pemeriksaan
laboratorium yaitu kadar gula darah. Intensitas nyeri dapat dinilai dengan
Visual Analog Scale (VAS) atau Numeric Rating Scale (NRS) dengan
rentang nilai 1-10. Bila pasien memilih rentang nilai 1-3, ini termasuk dalam
kategori nyeri ringan. Skala 4-7 untuk nyeri sedang, dan skala 8-10 untuk
skala nyeri berat. Sebelum keluar dari ruang pemulihan, dilakukan
pemantauan pasca anestesia dan kriteria pengeluaran menggunakan Aldrete
skor, Bromage skor, atau Steward skor.
DAFTAR PUSTAKA

CL. Belville, William & Stanley Swierzewski. 2011. Hydrocele Prognosis, Prevention.
http://www.healthcommunities.com/hydrocele/prognosis-prevention. shtml

Ali Jahidin. (2015). REFERAT ILMU BEDAH HIDROKEL.

Latief, Said A., Suryadi, Kartini A., Dachlan, M. R. (2010). Petunjuk Praktis Anestesiologi.
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI.

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA. (2015). KMK No.HK.02.02 MENKES


251-2015 tentang PNPK Anestesiologi dan Terapi Intensif. 3, 2015.
http://weekly.cnbnews.com/news/article.html?no=124000

Morgan. (2013). Clinical Anesthesiology (Fifth Edit).

Anda mungkin juga menyukai