LAPORAN PENDAHULUAN
OLEH:
Nilam Ganung Permata Mahardita, S. Kep
NIM 182311101025
Tempat : Ruang 17
Mahasiswa
BERITA ACARA
Pada hari ini, Jum’at tanggal 26 Oktober 2018 jam 09.00 s/d 09.30 WIB
bertempat di Ruang 17 RSUD Dr. Saiful Anwar Malang Propinsi Jawa Timur
telah dilaksanakan Kegiatan Pendidikan Kesehatan tentang Manajemen Nyeri
oleh Mahasiswa Program Studi Pendidikan Profesi Ners Universitas Jember.
Kegiatan ini diikuti oleh 3 orang (daftar hadir terlampir).
Mahasiswa
Penyuluh
Nilam Ganung Permata Mahardita, S.Kep.
NIM 182311101025
Pembimbing Klinik Ruang 17
RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
3. Epidemiologi
Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) mencatat
pada tahun 2011-2012 terdapat 5,6 juta orang meninggal dunia dan 1,3
juta orang menderita fraktur akibat kecelakaan lalu lintas (WHO, 2011).
Romeo (2018) menjelaskan bahwa insiden fraktur femur berkisar antara
9,5 hingga 18,9 per 100.000 populasi dunia per tahun. Insiden fraktur
femur di Amerika Serikat adalah sebanyak 250.000 kasus, dan
diperkirakan akan meningkat dua kali lipat pada tahun 2050. Menurut
Depkes RI (2011), dari sekian banyak kasus fraktur di Indonesia, fraktur
pada ekstremitas bawah akibat kecelakaan memiliki prevalensi yang
paling tinggi diantara fraktur lainnya yaitu sekitar 46,2%. Dari 45.987
orang dengan kasus fraktur ekstremitas bawah akibat kecelakaan, 19.629
orang mengalami fraktur pada tulang femur. Pada orang dewasa yang
lebih tua, jatuh adalah penyebab paling umum sekitar 65 persen dari
patah tulang (Obaidurahman, 2013). Di Indonesia sendiri, distribusi data
dari fraktur femur belum tersedia. Bila situasi ini terus terjadi, maka akan
mengakibatkan lemahnya pencegahan patah tulang paha di masyarakat.
Sedangkan tulang paha sendiri merupakan bagian yang penting dalam
sistem anggota gerak dari manusia.
4. Etiologi
Fraktur femur dapat disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan
yang berlebihan pada tulang (Reksoprodjo, 2010). Trauma ada 2 jenis,
sebagai berikut.
1. Trauma langsung, yaitu terjadi benturan pada tulang dan
mengakibatkan fraktur di tempat benturan. Trauma langsung
menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan terjadi fraktur pada
daerah tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat kominutif dan
jaringan lunak ikut mengalami kerusakan.
2. Trauma tidak langsung, yaitu terjadi benturan pada tulang dan titik
tumpu benturan dengan terjadinya fraktur berjauhan. Trauma tidak
langsung terjadi apabila trauma dihantarkan ke daerah yang lebih jauh
dari daerah fraktur. Tekanan pada tulang dapat berupa:
a) tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat oblik atau
spiral;
b) tekanan membengkok yang menyebabkan fraktur transversal;
c) tekanan sepanjang aksis tulang yang dapat menyebabkan fraktur
impaksi atau dislokasi;
d) kompresi vertikal yang dapat menyebabkan fraktur kominutif atau
memecah;
e) trauma oleh karena remuk;
f) trauma karena tarikan pada ligamen atau tendon akan menarik
sebagian tulang.
3. Trauma patologis
Trauma patologis adalah suatu kondisi rapuhnya tulang karena proses
patologis.
a) Osteoporosis terjadi karena kecepatan reabsorbsi tulang melebihi
kecepatan pembentukan tulang, sehingga akibatnya tulang menjadi
6 keropos secara cepat dan rapuh sehingga mengalami patah tulang,
karena trauma minimal.
b) Osteomilitis merupakan infeksi tulang dan sum sum tulang yang
disebabkan oleh bakteri piogen dimana mikroorganisme berasal
dari focus ditempat lain dan beredar melalui sirkulasi darah.
c) Ostheoartritis itu disebabkan oleh rusak/ menipisnya bantalan sendi
dan tulang rawan (Muttaqin, 2008).
3. Fraktur beban
Fraktur baban atau fraktur kelelahan terjadi pada orang- orang yang
baru saja menambah tingkat aktivitas mereka, seperti baru di terima
dalam angkatan bersenjata atau orang- orang yang baru mulai latihan
lari.
4. Spontan
Terjadi tarikan otot yang sangat kuat seperti olah raga.
5. Klasifikasi
a. Berdasarkan tempat (Fraktur humerus, tibia, clavicula, ulna, radius, hip
dan cruris dst).
b. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur.
6. Patofisiologi/Patologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya
pegas untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih
besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang
yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah
terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks,
marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan
terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga
medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang
patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya
respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan
leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan
dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya. Faktor-faktor yang
mempengaruhi fraktur:
a. Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung
terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan
fraktur.
b. Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan
untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan,
elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang.
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup.
Tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia
luar. Sedangkan fraktur terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar oleh karena perlukaan di kulit (Smelter & Bare,
2002). Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat
patah ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga
biasanya mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat
setelah fraktur. Sel- sel darah putih dan sel anast berakumulasi
menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut aktivitas
osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut
callus. Bekuan fibrin direabsorbsidan sel- sel tulang baru mengalami
remodeling untuk membentuk tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah
atau penekanan serabut syaraf yang berkaitan dengan pembengkakan yang
tidak di tangani dapat menurunkan asupan darah ke ekstrimitas dan
mengakibatkan kerusakan syaraf perifer. Bila tidak terkontrol
pembengkakan akan mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi
darah total dan berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya serabut syaraf
maupun jaringan otot. Komplikasi ini di namakan sindrom compartment
(Smeltzer & Bare, 2002).
Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan
ketidak seimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan
fraktur tertutup. Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan lunak
seperti tendon, otot, ligament dan pembuluh darah (Smeltzer & Bare,
2002). Pasien yang harus imobilisasi setelah patah tulang akan menderita
komplikasi antara lain: nyeri, iritasi kulit karena penekanan, hilangnya
kekuatan otot. Kurang perawatan diri dapat terjadi bila sebagian tubuh di
imobilisasi, mengakibatkan berkurangnyan kemampuan prawatan diri
(Carpenito, 2012). Reduksi terbuka dan fiksasi interna (ORIF) fragmen-
fragmen tulang di pertahankan dengan pen, sekrup, plat, paku. Namun
pembedahan meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi. Pembedahan
itu sendiri merupakan trauma pada jaringan lunak dan struktur yang
seluruhnya tidak mengalami cedera mungkin akan terpotong atau
mengalami kerusakan selama tindakan operasi.
7. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi,
deformitas, pemendekan ektremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan
perubahan warna yang dijelaskan secara rinci sebagai berikut:
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk
bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar
fragmen tulang.
b. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan
cenderung bergerak secara alamiah (gerakan luar biasa). Pergeseran
fragmen pada fraktur lengan dan tungkai menyebabkan deformitas
(terlihat maupun teraba) ektremitas yang bisa diketahui dengan
membandingkannya dengan ektremitas normal. Ekstremitas tidak dapat
berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot tergantung pada
integritasnya tulang tempat melekatnya otot.
c. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur.
Fragmen sering saling melengkapi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5
cm (1 sampai 2 inci).
d. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan
lunak yang lebih berat.
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai
akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasa
terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.
Tidak semua tanda dan gejala tersebut terdapat pada setiap fraktur.
Kebanyakan justru tidak ada pada fraktur linear atau fisur atau fraktur
impaksi (permukaan patahan saling terdesak satu sama lain). Diagnosis
fraktur bergantung pada gejala, tanda fisik, dan pemeriksaan sinar-x
pasien. Biasanya pasien mengeluhkan mengalami cedera pada daerah
tersebut.
8. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada kasus fraktur adalah sebagai
berikut (Reksoprodjo, 2009):
a. Malunion adalah tulang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak
seharusnya.
b. Delayed union adalah kegagalan fraktur berkonsolidasi (bergabung)
sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung.
c. Non union adalah kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi
sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan.
d. Kekakuan sendi bahu (ankilosis). Lesi pada nervus sirkumfleksi
aksilaris menyebabkan paralisis muskulus deltoid
e. Syok hipovolemik. Kondisi ini terjadi akibat adanya perdarahan
berlebih yang sering ditemukan pada pasien trauma akibat fraktur pada
tulang pelvis, femur, atau fraktur lain dengan jenis fraktur terbuka.
f. Fat embolism syndrome, Kondisi ini terjadi akibat fraktur pada tulang
panjang, atau fraktur lain yang menyebabkan jaringan sekitar hancur,
sehingga emboli lemak dapat terjadi.
g. Compartment syndrom merupakan komplikasi yang terjadi karena
terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan
parut. Ini disebabkan oleh udema atau perdarahan yang menekan otot,
saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekan dari luar seperti gips
dan pembebatan yang terlalu kuat. Tanda-tanda sindrom kompartemen
dikenal dengan 5P yaitu Pain (nyeri lokal), Pallor (pucat bagian distal),
Pulsessness (tidak ada denyut nadi, perubahan nadi, perfusi yang tidak
baik dan CRT > 3 detik pada bagian distal kaki), Paraestesia (tidak ada
sensasi), Paralysis (kelumpuhan tungkai).
h. Cedera vaskuler, jika ada tanda dengan insufisiensi vaskuler pada
ekstremitas, kerusakan arteri brakhialis harus disingkirkan. Angiografi
akan memperlihatkan tingkat cedera. Cedera vaskuler merupakan
kegawatdaruratan yang membutuhkan eksplorasi dan perbaikan
langsung atau cangkok (grafting) vaskuler.
i. Cedera Saraf, radial nerve palsy dapat terjadi pada fraktur shaft femoral
terutama pada fraktur oblik sepertiga tengah dan distal femur.
Pergelangan tangan dan telapak tangan harus secara teratur digerakkan
dari pergerakan pasif putaran penuh hingga mempertahankan
pergerakan sendi sampai saraf kembali pulih.
j. Infeksi, Infeksi terjadi karena sistem pertahanan tubuh yang rusak
akibat adanya trauma pada jaringan. Pada trauma osthopedic infeksi
dimulai pada kulit (superfisial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya
terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan
bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat. Infeksi paska trauma
sering menyebabkan osteitis kronik. Osteitis tidak mencegah fraktur
mengalami union, namun union akan berjalan lambat dan kejadian
fraktur berulang akan meningkat. Kondisi tulang yang mengalami
fraktur merupakan salah satu faktor resiko terjadinya osteomyelitis.
Penyakit ini merupakan infeksi pada tulang yang penatalaksanaannya
melalui terapi medikasi dengan antibiotik, serta pembedahan ketika
infeksi bersifat persisten.
9. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengetahui
keadaan tulang yang mengalami fraktur yaitu:
a. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan untuk mengetahui kadar Hb
dan hematokrit, kerana perdarahan yang terjadi akibat fraktur akan
menyebabkan kadar Hb dan hematokrit dalam tubuh menjadi rendah.
Selain itu, Laju Endap Darah (LED) akan meningkat apabila kerusakan
yang terjadi pada jaringan lunak sangat luas. Selain itu pemeriksaan
golongan darah juga penting untuk dilakukan apabila tindakan operasi
dilakukan, dan pemeriksaan kadar kratinin juga harus dilakukan, karena
trauma otot dapat meningkatkan beban kreatinin untuk haluaran ginjal.
Jika hasil pemeriksaan hitung darah lengkap menunjukkan bahwa
hematokrit mengalami peningkatan atau penurunan (hemokonsentrasi)
menunjukkan adanya perdarahan pada lokasi fraktur atau organ di
sekitar lokasi trauma. Hasil pemeriksaan hitung darah lengkap yang
menunjukkan peningkatan sel darah putih (WBC) merupakan tanda
respon stres normal setelah trauma atau terjadinya fraktur.
b. X-ray
Pemeriksaan Xray merupakan pemeriksaan yang digunakan untuk
melihat gambaran fraktur, deformitas (pergeseran fragmen pada fraktur)
dan metalikment. Pemeriksaan Xray merupakan salah satu metode
dengan menggunakan prosedur non invasif. Gambar diambil pada dua
proyeksi, yaitu PA (posteroanterior) atau AP (anteroposterior) dan
lateral (LAT). Keuntungan pemeriksaan Xray yaitu tidak ada residu
radiasi di dalam tubuh, tidak ada efek samping, dan cepat, dapat
digunakan pada situasi darurat.
c. CT-scan
CT-scan merupakan alat yang bekerja dengan cara memproduksi
gambaran organ tubuh dengan menggunakan gelombang suara yang
terkan pada komputer(Bastiansyah, 2008). CT-scan dapat menghasilkan
gambaran dari organ tubuh termasuk keadaan tulang. Secara umum
pemeriksaan CT-scan dapat memberikan gambaran secara rinci
mengenai struktur tulang, jaringan dan cairah tubuh. Pada fraktur cruris
CT-scan dapat digunakan untuk mendeteksi struktur fraktur yang terjadi
secara kompleks.
d. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
MRI merupakan alat diagnostik yang dapat menghasilkan potongan
organ tubuh menusia dengan menggunakan medan magnet tanpa
menggunakan sinar-X. MRI bertujuan untuk memfisualisasi fraktur,
perdarahan, kerusakan jaringan, dan membedakan antara fraktur akibat
trauma dengan neoplasma tulang.
e. Rontgen
Pemeriksaan rontgen merupakan salah satu prosedur yang efektif bila
digunakan untuk mendeteksi terjadinya fraktur. Rontgen digunakan
untuk memotret tubuh bagian dalam, sehingga organ yang ada dalam
tubuh dapat terlihat dengan jelas, terutama pada bagian tulang yang
mengalami fraktur. Foto rontgen menggunakan media sinar X sebagai
hasil untuk mengetahui seberapa tingkat keparahan pada fraktur yang
terjadi.
10. Penatalaksanaan
Menurut Muttaqin (2008) konsep dasar yang harus dipertimbangkan
pada waktu menangani fraktur yaitu : rekognisi, reduksi, retensi, dan
rehabilitasi.
a. Rekognisi (Pengenalan)
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan
diagnosa dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur
tungkai akan terasa nyeri sekali dan bengkak. Kelainan bentuk yang
nyata dapat menentukan diskontinuitas integritas rangka.
b. Reduksi (Manipulasi/ Reposisi)
Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen
fragmen tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi seperti letak
asalnya. Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimal. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan
reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka. Reduksi fraktur dilakukan
sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilangan
elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada
kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera
sudah mulai mengalami penyembuhan (Muttaqin, 2008). Dalam
penatalaksanaan fraktur dengan reduksi dapat dibagi menjadi 2 yaitu:
1) Reduksi Tertutup/ORIF (Open Reduction Internal Fixation)
Reduksi fraktur (setting tulang) berarti mengembalikan fragment
tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Reduksi tertutup,
traksi, dapat dilakukan untuk mereduksi fraktur. Metode tertentu
yang dipilih bergantung sifat fraktur, namun prinsip yang
mendasarinya tetap sama.Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur,
pasien harus disiapkan untuk menjalani prosedur dan harus diperoleh
izin untuk melakukan prosedur, dan analgetika diberikan sesuai
ketentuan. Mungkin perlu dilakukan anesthesia. Ekstremitas yang
akan dimanipulasi harus ditangani dengan lembut untuk mencegah
kerusakan lebih lanjut. Reduksi tertutup pada banyak kasus, reduksi
tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragment tulang ke
posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi
dan traksi manual.
2) Reduksi Terbuka/OREF (Open Reduction Eksternal Fixation)
Pada Fraktur tertentu dapat dilakukan dengan reduksi eksternal atau
yang biasa dikenal dengan OREF, biasanya dilakukan pada fraktur
yang terjadi pada tulang panjang dan fraktur fragmented. Eksternal
dengan fiksasi, pin dimasukkan melalui kulit ke dalam tulang dan
dihubungkan dengan fiksasi yang ada dibagian luar. Indikasi yang
biasa dilakukan penatalaksanaan dengan eksternal fiksasi adalah
fraktur terbuka pada tulang kering yang memerlukan perawatan
untuk dressings. Tetapi dapat juga dilakukan pada fraktur tertutup
radius ulna. Eksternal fiksasi yang paling sering berhasil adalah pada
tulang dangkal tulang misalnya tibial batang.
c. Retensi (Immobilisasi)
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga
kembali seperti semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi,
fragmen tulang harus diimobilisasi, atau di pertahankan dalam posisi
kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat
dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna
meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin, dan teknik gips,
atau fiksator eksterna. Implan logam dapat di gunakan untuk fiksasi
intrerna yang brperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi
fraktur. Fiksasi eksterna adalah alat yang diletakkan diluar kulit untuk
menstabilisasikan fragmen tulang dengan memasukkan dua atau tiga
pin metal perkutaneus menembus tulang pada bagian proksimal dan
distal dari tempat fraktur dan pin tersebut dihubungkan satu sama lain
dengan menggunakan eksternal bars. Teknik ini terutama atau
kebanyakan digunakan untuk fraktur pada tulang tibia, tetapi juga dapat
dilakukan pada tulang femur, humerus dan pelvis (Mansjoer, 2000).
Prinsip dasar dari teknik ini adalah dengan menggunakan pin yang
diletakkan pada bagian proksimal dan distal terhadap daerah atau zona
trauma, kemudian pin-pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan
rangka luar atau eksternal frame atau rigid bars yang berfungsi untuk
menstabilisasikan fraktur. Alat ini dapat digunakan sebagai temporary
treatment untuk trauma muskuloskeletal atau sebagai definitive
treatment berdasarkan lokasi dan tipe trauma yang terjadi pada tulang
dan jaringan lunak (Muttaqin, 2008). Alat traksi diberikan dengan
kekuatan tarikan pada anggota yang fraktur untuk meluruskan bentuk
tulang. Ada 2 macam yaitu:
a) Skin Traksi
Skin traksi adalah menarik bagian tulang yang fraktur dengan
menempelkan plester langsung pada kulit untuk mempertahankan
bentuk, membantu menimbulkan spasme otot pada bagian yang
cedera, dan biasanya digunakan untuk jangka pendek (48-72 jam).
b) Skeletal traksi
Adalah traksi yang digunakan untuk meluruskan tulang yang cedera
pada sendi panjang untuk mempertahankan bentuk dengan
memasukkan pins / kawat ke dalam tulang.
d. Rehabilitasi
Rehabilitasi dilakukan untuk aktifitas fungsional semaksimal mungkin
dalam menghindari atropi atau kontraktur. Bila keadaan
mmeungkinkan, harus segera dimulai melakukan latihan-latihan untuk
mempertahankan kekuatan anggota tubuh dan mobilisasi (Mansjoer,
2000).
Tahap penyembuhan tulang dibagi menjadi 5 proses yaitu sebagai berikut:
Gambar 6. Proses Penyembuhan tulang (Pearce, 2009)
Fraktur
Diskontinuitas Pergeseran
tulang fragmen tulang
Deformitas Peningkatan
Port de entry Putus vena/ Kerusakan
tekanan kapiler
kuman integritas
arteri kulit
Gangguan Pelepasan
Fungsi histamin Risiko Perdarahan
muskuloskeletal infeksi Kerusakan
integritas
Protein plasma jaringan
Hambatan hilang Kehilangan
mobilitas fisik cairan
edema
Syok
hipovolemik
Penekanan
pembuluh
darah
Penurunan
perfusi jaringan
Ketidakefektifan perfusi
jaringan
C. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a) Identitas Pasien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan,
alamat, status perkawinan, suku bangsa, nomor rekam medis, tanggal
masuk rumah sakit dan diagnosa medis.
b) Keluhan Utama
Identifikasi adanya nyeri pada lokasi fraktur atau tidak
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Kaji kronologi terjadinya trauma yang menyebabkan patah tulang femur,
bagaimana mekanisme terjadinya, pertolongan apa yang sudah di
dapatkan, apakah sudah berobat ke dukun patah tulang.
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada beberapa keadaan, klien yang pernah berobat ke dukun patah tulang
sebelumnya sering mengalami mal-union. Penyakit tertentu seperti kanker
tulang atau menyebabkan fraktur patologis sehingga tulang sulit
menyambung. Selain itu, klien diabetes dengan luka di kaki sangat
beresiko mengalami osteomielitis akut dan kronik serta penyakit diabetes
menghambat penyembuhan tulang.
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan patah tulang femur adalah
salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti osteoporosis yang
sering terjadi pada beberapa keturunan dan kanker tulang yang cenderung
diturunkan secara genetik.
f) Pola Kebiasaan
1) Pola Nutrisi
Umumnya pola nutrisi pasien tidak mengalami perubahan, namun ada
beberapa kondisi dapat menyebabkan pola nutrisi berubah, seperti
nyeri yang hebat, dampak hospitalisasi terutama bagi pasien yang
merupakn pengalaman pertama masuk rumah sakit.
2) Pola Eliminasi
Pasien dapat cenderung mengalami gangguan eliminasi BAB seperti
konstipasi dan gangguan eliminasi urine akibat adanya program
eliminasi dilakukan ditempat tidur.
3) Pola Istirahat
Umumnya kebutuhan istirahat atau tidur pasien tidak mengalami
perubahan yang berarti, namun ada beberapa kondisi dapat
menyebabkan pola istirahat terganggu atau berubah seperti timbulnya
rasa nyeri yang hebat dan dampak hospitalisasi.
4) Pola Aktivitas
Umumnya pasien tidak dapat melakukan aktivitas (rutinitas)
sebagaimana biasanya, yang hampir seluruh aktivitas dilakukan
ditempat tidur. Hal ini dilakukan karena ada perubahan fungsi anggota
gerak serta program immobilisasi, untuk melakukan aktivitasnya
pasien harus dibantu oleh orang lain, namun untuk aktivitas yang
sifatnya ringan pasien masih dapat melakukannya sendiri.
5) Personal Hygiene
Pasien masih mampu melakukan personal hygienenya, namun harus
ada bantuan dari orang lain, aktivitas ini sering dilakukan pasien
ditempat tidur.
6) Riwayat Psikologis
Biasanya dapat timbul rasa takut dan cemas terhadap fraktur, selain itu
dapat juga terjadi ganggguan konsep diri body image, jika terjadi
atropi otot kulit pucat, kering dan besisik. Dampak psikologis ini
dapat muncul pada pasien yang masih dalam perawatan dirumah sakit.
Hal ini dapat terjadi karena adanya program immobilisasi serta proses
penyembuhan yang cukup lama.
7) Riwayat Spiritual
Pada pasien post operasi fraktur femur riwayat spiritualnya tidak
mengalami gangguan yang berarti, pasien masih tetap bisa
bertoleransi terhadap agama yang dianut, masih bisa mengartikan
makna dan tujuan serta harapan pasien terhadap penyakitnya.
8) Riwayat Sosial
Dampak sosial adalah adanya ketergantungan pada orang lain dan
sebaliknya pasien dapat juga menarik diri dari lingkungannya karena
merasa dirinya tidak berguna (terutama kalau ada program amputasi).
g) Pemeriksaan Fisik
1) B1 (Breathing)
Pre operasi: pada pemeriksaan sistem pernafasan tidak mengalami
gangguan.
Post operasi: biasanya terjadi reflek batu tidak efektif sehingga terjadi
penurunan akumulasi sekret. Bisa terjadi apneu, lidah ke belakang
akibat general anastesi, RR meningkat karena nyeri.
2) B2 (Blood)
Pre operasi: dapat terjadi peningkatan tekanan darah, peningkatan nadi
dan respirasi karena nyeri, peningkatan suhu tubuh karena terjadi
infeksi terutama pada fraktur terbuka.
Post operasi: dapat terjadi peningkatan tekanan darah, peningkatan
nadi dan respirasi karena nyeri, peningkatan suhu tubuh karena terjadi
infeksi terutama pada proses pembedahan.
3) B3 (Brain)
Pre operasi: tingkat kesadaran biasanya compos mentis.
Post operasi: dapat terjadi penurunan kesadaran akibat tindakan
anastesi, nyeri akibat pembedahan.
4) B4 (Bladder)
Pre operasi: biasanya klien fraktur tidak mengalami kelainan pada
sistem ini.
Post operasi: terjadi retensi urin akibat general anastesi.
5) B5 (Bowel)
Pre operasi: pemenuhan nutrisi dan bising usus biasanya normal, pola
defekasi tidak ada kelainan.
Post operasi: penurunan gerakan peristaltic akibat general anastesi.
6) B6 (Bone)
Pre operasi: adanya deformitas, nyeri tekan pada daerah trauma. Post
operasi: gangguan mobilitas fisik akibat pembedahan.
2. Diagnosa Keperawatan
a) Pre Operasi
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (trauma)
2) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan
muskuloskeletal
3) Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan cedera
4) Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
5) Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
imobilitas
6) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan imobilitas
7) Resiko syok berhubungan dengan perdarahan
b) Post operasi
1) Nyeri berhubungan dengan proses pembedahan
2) Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan tindakan
pembedahan
3) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan fungsi
muskuloskletal, nyeri/ketidaknyamanan, gangguan fungsi
muskuloskeletal, imobilisasi
4) Resiko sindrom disuse berhubungan dengan imobilisasi, paralisis,
perubahan tingkat kesadaran
5) Perlambatan pemulihan pasca bedah berhubungan dengan malnutrisi,
obesitas, hambatan mobilitas, gangguan psikologis, diabetes mellitus
6) Resiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan
primer, kerusakan kulit, trauma jaringan
7) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penatalaksanaan medis
(pemasangan fiksasi eksternal)
8) Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurangnya paparan
informasi yang ada.
9) Defisit perawatan diri berhubungan dengan gangguan fungsi
actoricletal.
No. Masalah Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
Post Operatif
1. Nyeri akut (00132) NOC NIC
Kontrol nyeri (1605) Manajemen nyeri (1400)
Tingkat nyeri (2102) 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
Kepuasan klien: manajemen nyeri (lokasi, karakteristik, durasi, dan intensitas
(3016) nyeri)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2. Observasi adanya petunjuk nonverbal nyeri
selama 3x24 jam nyeri akut pada pasien 3. Pastikan analgesik dipantau dengan ketat
dapat berkurang, dengan kriteria hasil: 4. Jelaskan pada pasien terkait nyeri yang
1. Mampu mengontrol nyeri (tahu dirasakan
penyebab nyeri, mampu Terapi relaksasi (6040)
menggunakan tehnik 5. Gambarkan rasional dan manfaat relaksasi
nonfarmakologi untuk mengurangi seperti nafas dalam dan musik
nyeri, mencari bantuan) 6. Dorong pasien mengambil posisi nyaman
2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang Pemberian analgesik (2210)
dengan menggunakan manajemen 7. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan
nyeri keparahan nyeri sebelum mengobati pasien
3. Mampu mengenali nyeri (skala, 8. Cek adanya riwayat alergi obat
intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) 9. Cek perintah pengobatan meliputi obat, dosis,
4. Menyatakan rasa nyaman setelah dan frekuensi obat analgesik yang diresepkan
nyeri berkurang
2. Kerusakan integritas NOC NIC
kulit (00046) Intregitas jaringan: kulit dan membran Perawatan Luka Tekan (3520)
mukosa (1101) 1. Ajarkan pasien dan keluarga akan adanya
Setelah dilakukan tindakan tanda kulit pecah-pecah
keperawatan selama 3x24 jam 2. Hindari kerutan pada tempat tidur
diharapkan integritas kulit tetap 3. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan
terjaga dengan kriteria hasil: kering
1. Integritas kulit yang baik bisa 4. Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien)
dipertahankan (sensasi, elastisitas, setiap dua jam sekali
temperatur, hidrasi, pigmentasi) 5. Monitor kulit akan adanya kemerahan
2. Tidak ada luka/lesi pada kulit 6. Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada
3. Perfusi jaringan baik daerah yang tertekan
4. Menunjukkan pemahaman dalam 7. Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien
proses perbaikan kulit dan 8. Monitor status nutrisi pasien
mencegah terjadinya cedera 9. Memandikan pasien dengan sabun dan air
berulang hangat
Pengecekan kulit (3590)
10. Periksa kulit dan selaput lendir terkait dengan
adanya kemerahan
11. Amati warna, bengkak, pulsasi, tekstur,
edema, dan ulserasi pada ekstremitas
12. Monitor warna dan suhu kulit
13. Monitor kulit untuk adanya ruam dan lecet
14. Monitor infeksi terutama daerah edema
15. Ajrkan anggota keluarga/pemberi asuhan
mengenai tanda-tanda kerusakan kulit, dengan
tepat
3. Hambatan mobilitas fisik NOC NIC
(00085) Koordinasi pergerakan (0212) Peningkatan Mekanika Tubuh (0140)
setelah dilakukan perwatan selama 3x24 1. Bantu pasien latihan fleksi untuk
jam mobilitas fisik pasien membanik memfasilitasi mobilisasi sesuai indikasi
dengan kriteria hasil: 2. Berikan informasi tentang kemungkinan posisi
1. Dapat mengontrol kontraksi penyebab nyeri otot atau sendi
pergerakkan 3. Kolaborasi dengan fisioterapis dalam
2. Dapat melakukan kemantapan mengembangkan peningkatan mekanika tubuh
pergerakkan sesuai indiksi
3. Dapat menahan keseimbangan Peningkatan Latihan: Latihan Kekuatan (0201)
pergerakkan 4. Sediakan informasi mengenai fungi otot, latihan
fisiologis, dan konsekuensi dari
penyalahgunaannya
5. Bantu mendapatkan sumber yang diperlukan
untuk terlibat dalam latihan otot progresif
6. Spesifikkan tingkat resistensi, jumlah
pengulangan, jumlah set, dan frekuensi dari
sesi latihan menurut lefel kebugaran 27actor27
atau tidaknya faktor resiko
7. Instruksikan untuk beristirahat sejenak setiap
selesai satu set jika dipelukan
8. Bantu klien untuk menyampaikan atau
mempraktekan pola gerakan yan dianjurkan
tanpa beban terlebih dahulu sampai gerakan
yang benar sudah di pelajari
Terapi Latihan : Mobilitas Sendi (0224)
9. Tentukan batas pergerakan sendi dan efeknya
terhadap fungsi sendi
10. Kolaborasikan dengan ahli terapi fisik dalam
mengembangkan dan menerapan sebuah
program latihan
11. Dukung latihan ROM aktif, sesuai jadwal yang
teraktur dan terencana
12. Instruksikan pasien atau keluarga cara
melakukan latihan ROM pasif, dan aktif
13. Bantu pasien ntuk membuat jadwal ROM
14. Sediakan petujuk tertulis untuk melakukan
latihan
4. Resiko infeksi (00004) NOC NIC
Keparahan infeksi (0703) Kontrol infeksi (6540)
Kontrol resiko (1902) 1. Bersihkan lingkungan dengan baik setelah
Setelah dilakukan tindakan keperawatan dipakai setiap pasien
selama 3x24 jam, tidak terjadi infeksi 2. Ganti perawatan peralatan setiap pasien sesuai
pada pasien dengan kriteria hasil: SOP rumah sakit
1. Luka tidak berbau busuk 3. Batasi jumlah pengunjung
2. Pasien tidak demam (suhu stabil) 4. Ajarkan cara mencuci tangan
3. Tidak terdapat nanah pada luka Perlindungan infeksi (6550)
4. Pasien dapat mengidentifikasi 5. Monitor adanya tanda dan gejala infeksi
28actor resiko 6. Berikan perawatan kulit yang tepat
5. Mengenali 28actor resiko individu Manajemen nutrisi (1100)
7. Tentukan status gizi pasien
8. Identifikasi adanya alergi
Identifikasi resiko (6610)
9. Kaji ulang riwayat kesehatan masa lalu
10. Identifikasi strategi koping yang digunakan
5. Gangguan citra tubuh NOC NIC
(00118) Citra tubuh (1200) Peningkatan citra tubuh (5220)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Diskusikan mengenai perubahan-perubahan
selama 3x24 jam, citra tubuh tidak tubuh yang disebabkan perubahan kesehatan
terganggu dengan kriteria hasil: 2. Bantu pasien untuk mendiskusikan terkait
1. Kesesuaian antara realitas dan ideal stresor yang mempengaruhi citra diri
diri 3. Monitor frekuensi dari pernyataan mengkritik
2. Kepuasan dengan penampilan tubuh diri
3. Kepuasan dengan fungsi tubuh Peningkatan harga diri (5400)
4. Dapat menyesesuaikan dengan 4. Monitor pernyataan pasien mengenai harga diri
bentuk penampilan tubuh 5. Tentukan kepercayaan diri pasien dalam hal
5. Penyesuaian terhadap perubahan penilaian diri
status kesehatan 6. Dukung pasien untuk mengidentifikasi
kekuatan
7. Dukung pasien untuk memberikan afirmasi
positif
8. Jangan mengkritisi pasien secara negatif
9. Bantu pasien untuk mengidentifikasi respon
positif dari orang lain
6. Defisiensi pengetahuan NOC NIC
(00126) Pengetahuan : Prosedur penanganan Pengajaran: Perioperatif (5610)
(1814) 1. informasikan kepada pasien dan keluarga
Setelah dilakukan tindakan keperawatan untuk jadwal tanggal, waktu dan lokasi
selama 1x24 jam, defisiensi operasi.
pengetahuan pada pasien dapat teratasi, 2. Informasikan kepada pasien dan keluarga
dengan kriteria hasil: perkiraan lama operasi
1. Pasien memahami prosedur 3. Kaji riwayat operasi sebelumnya, latar
penanganan, tujuan prosedur, belakang, budaya dan tingkat pengetahuan
langkah-langkah prosedur terkait operasi
2. Klien mengetahui efek samping 4. Fasilitasi kecemasan pasien dan keluarga
penanganan terkait kecemasannya
3. Klien mengetahui kontraindikasi 5. Berikan kesemapatan untuk pasien bertanya
penanganan 6. Jelaskan prosedur persiapan pre-operasi
(misalnya jenis anestesi, diit yang sesuai,
pengosongan saluran cerna, pemeriksaan lab
yang dibutuhkan, perisapan area operasi, terapi
intravena, pakaian operasi, ruang tunggu
keluarga, transportasi menuju ruang operasi
dan lain-lain.
7. Berikan umpan balik terhadap kepercayaan
pasien kepada semua pihak yang terlibat dalam
proses operasi
8. Diskusikan kemungkinan nyeri yang dirasakan
9. Intruksikan pasien mengenai teknik mobilisasi,
batuk dan nafas dalam
Evaluasi kemampuan pasien dan dokumentasi
7. Risiko sindrom disuse NOC NIC
(00040) Koordinasi pergerakan (0212) Terapi latihan: mobilitas sendi (0224)
Pergerakan sendi (0206) 1. Gunakan pakaian yang tidak ketat pada pasien
Setelah diberikan asuhan keperawatan 2. Dampingin pasien untuk mengoptimalkan
selama 1x24 jam, klien dapat posisi tubuh untuk latihan pergerakan sendi
melakukan aktivitas secara bertahap baik aktif maupun pasif
sesuai dengan batas kemampuannya. 3. Tunjukkan cara melakukan ROM aktif maupun
1. Terjadi peningkatan kontraksi otot pasif
pada klien 4. Dampingi pasien untuk membuat jadwal latihan
2. Klien mampu melakukan pergerakan ROM aktif
halus Nilai kemajuan yang dicapai
3. Klien mampu menggerakkan
persendiannya
Apley, A. Graham. 1995. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley. Jakarta:
Widya Medika.
Avruskin, Andra. 2013. Femur Fracture.
https://www.moveforwardpt.com/SymptomsConditionsDetail.aspx?
cid=f85bbe8f-685c-43bf-bb51-9bc43dd8fb01 [Diakses pada 23 Oktober
2018].
Black, J.M, et al. 1995. Luckman and Sorensen’s Medikal Nursing : A Nursing
ProcessApproach, 4 th Edition. New York: W.B. Saunder Company.
Bulechek, G. M., H. K. Butcher, J. M. Dochteman, C. M. Wagner. 2015. Nursing
Interventions Classification (NIC). Edisi 6. Jakarta: EGC.
Bulechek, G. M., H. K. Butcher, J. M. Dochteman, C. M. Wagner. 2015. Nursing
Outcomes Classification (NOC). Edisi 6. Jakarta: EGC.
Carpenito, L.J. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisis 13. Jakarta:
EGC.
De Jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Egol, K.A., Koval, K.J., Zuckerman, J.D. 2010. Handbook of Fractures.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Herdman, T.H. dan S. Kamitsuru. (Ed). 2018. NANDA Internasional Diagnosis
Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2018-2020, Ed. 11. Terjemahan
oleh Budi Anna Keliat et al. Jakarta: EGC.
Hoppenfield, Stanley. 2011. Treatment and Rehabilitation of Fractures. Jakarta:
EGC.
Mansjoer, Arif, et al. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid II. Jakarta: Medika
Aesculapius FK UI.
Moorhead., Johnson., Maas., & Swanson. 2013. Nursing Outcomes Classification
(NOC). Fifth Edition. USA: Mosby.
Morrison, M.J. 2003. Manajemen Luka alih bahasa Tyasmono A. F. Jakarta: EGC.
Mukhopadhyay, S., Mukhopadhyay J., Sengupta S., dan Ghosh B. 2016.
Approach to Pathological Fracture-Physician’s Perspective. Austin
Internal Medicine. 1(3): 1-9.
Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan.
Sistem Pernafasan. Jakarta : Salemba Medika.
Nurafif, A. H. dan H. Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Bersarkan
Diagnosa Medis & NANDA NIC NOC. Edisi MediAction. Yogyakarta.
Obaidurrahman, Adnan R.M., Khan R., et al. 2013. Pattern of Femoral Fractures.
Journal of Rawalpindi Medical College. 17-42.
Pearce, Evelyn C. 2015. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Rasjad, C. 2007. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: Yarsif Watampone.
Reksoprodjo, S. 2009. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara
Publisher.
Romeo, M. Nicholas. 2018. Femur Injuries and Fracture.
https://emedicine.medscape.com/article/90779-overview#a7 [Diakses pada
23 Oktober 2018].
Roockwood, C. A. dkk. 1991. Fractures in Adults. J. B Lipincott Company
Smeltzer, S. C., dan Bare, B. G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah
Brunner & Suddarth.Edisi 8 Volume 2. Jakarta: EGC.
Torbert, J.T. & R.D. Lackman. 2011. Fractures in the Elderly: A Guide to
Practical Management. Humana Press.
World Health Organization. Global Health Observatory Data Repository. 2011.
http://apps.who.int/gho/data/?theme=main. [diakses pada tanggal 23
Oktober 2018].