Anda di halaman 1dari 37

UNIVERSITAS JEMBER

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR


FEMUR DI RUANG 17 RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
Dr. SAIFUL ANWAR MALANG

OLEH:
Nilam Ganung Permata Mahardita, S. Kep
NIM 182311101025

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
Oktober, 2018
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Fraktur


Femur di Ruang 17 RSUD Dr. Syaiful Anwar Malang telah disetujui dan disahkan
pada :

Hari, Tanggal : Jum’at, 26 Oktober 2018

Tempat : Ruang 17

Malang, 26 Oktober 2018

Mahasiswa

Nilam Ganung Permata Mahardita, S.Kep.


NIM 182311101025

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik


Fakultas Keperawatan Ruang 17
Universitas Jember RSUD Dr. Syaiful Anwar Malang

Ns. Siswoyo, M.Kep. Helmi Herawati, S.Kep. Ns.


NIP. 19800412 200604 1 002. NIP. 19730524 199703 2 004
KEMENTRIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JEMBER
FAKULTAS KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS
(PSP2N)
T.A 2018/2019

BERITA ACARA

Pada hari ini, Jum’at tanggal 26 Oktober 2018 jam 09.00 s/d 09.30 WIB
bertempat di Ruang 17 RSUD Dr. Saiful Anwar Malang Propinsi Jawa Timur
telah dilaksanakan Kegiatan Pendidikan Kesehatan tentang Manajemen Nyeri
oleh Mahasiswa Program Studi Pendidikan Profesi Ners Universitas Jember.
Kegiatan ini diikuti oleh 3 orang (daftar hadir terlampir).

NO. NAMA ALAMAT TANDA TANGAN


1. 1.
2. 2.
3. 3.
4. 4.
5. 5.

Malang, 26 Oktober 2018

Mahasiswa

Penyuluh
Nilam Ganung Permata Mahardita, S.Kep.
NIM 182311101025
Pembimbing Klinik Ruang 17
RSUD Dr. Saiful Anwar Malang

Helmi Herawati, S.Kep. Ns.


NIP. 19730524 199703 2 004
Mengetahui
Pembimbing Akademik
Fakultas Keperawatan Universitas Jember

Ns. Siswoyo, M.Kep.


NIP. 19800412 200604 1 002
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Konsep Teori tentang Penyakit


1. Review Anatomi Fisiologi
Sistem rangka adalah bagian tubuh yang terdiri dari tulang,
sendi, dan tulang rawan (kartilago) sebagai tempat menempelnya otot
dan memungkinkan tubuh untuk mempertahankan sikap dan posisi.
Tulang sebagai alat gerak pasif karena hanya mengikuti kendali otot.
Akan tetapi tulang tetap mempunyai peranan penting karena gerak tidak
akan terjadi tanpa tulang. Fungsi dari sistem skeletal/rangka adalah:
1. Penyangga berdirinya tubuh, tempat melekatnya ligamen-ligamen, otot,
jaringan lunak dan organ. Membentuk kerangka yang berfungsi untuk
menyangga tubuh dan otot-otot yang melekat pada tulang.
2. Penyimpanan mineral (kalsium dan fosfat) dan lipid (yellow marrow)
atau hemopoesis.
3. Produksi sel darah merah (red marrow)
4. Pelindung yaitu membentuk rongga melindungi organ yang halus dan
lunak, serta memproteksi organ-organ internal dari trauma mekanis.
5. Penggerak yaitu dapat mengubah arah dan kekuatan otot rangka saat
bergerak karena adanya persendian.
Berdasarkan struktur tulang, tulang terdiri dari sel hidup yang
tersebar diantara material tidak hidup (matriks). Matriks tersusun atas
osteoblas (sel pembentuk tulang). Sedangkan osteoblas membuat dan
mensekresi protein kolagen dan garam mineral. Jika pembentukan
tulang baru dibutuhkan, osteoblas baru akan dibentuk. Jika tulang telah
dibentuk, osteoblas akan berubah menjadi osteosit (sel tulang dewasa).
Sel tulang yang telah mati akan dirusak oleh osteoklas (sel perusakan
tulang).
Gambar 1. Bagian dalam tulang (Wahyuningsih & Kusmiyati, 2017)
Proses pembentukan tulang telah bermula sejak umur
embrio 6-7 minggu dan berlangsung sampai dewasa. Pada rangka
manusia, rangka yang pertama kali terbentuk adalah tulang rawan
(kartilago) yang berasal dari jaringan mesenkim. Kemudian akan
terbentuk osteoblas atau sel-sel pembentuk tulang. Osteoblas ini akan
mengisi rongga-rongga tulang rawan. Sel-sel tulang dibentuk
terutama dari arah dalam keluar, atau proses pembentukannya
konsentris. Setiap satuan-satuan sel tulang mengelilingi suatu
pembuluh darah dan saraf membentuk suatu sistem yang disebut
sistem Havers. Disekeliling sel-sel tulang terbentuk senyawa protein
yang akan menjadi matriks tulang. Kelak di dalam senyawa protein ini
terdapat pula kapur dan fosfor sehingga matriks tulang akan mengeras.
Proses ini disebut osifikasi (Pearce, 2015).
Femur merupakan tulang sejati, tulang yang bersifat keras dan
berfungsi menyusun berbagai sistem rangka . Permukaan luar tulang femur
dilapisi selbuh fibrosa (periosteum). Lapis tipis jaringan ikat (endosteum)
melapisi rongga sumsum dan meluas ke dalam kanalikuli tulang kompak.
Tulang femur terdiri dari beberapa komponen berikut:
1. Sistem Havers (saluran yang berisi serabut saraf, pembuluh darah,
aliran limfe).
2. Lamella (lempeng tulang yang tersusun konsentris).
3. Lacuna (ruangan kecil yang terdapat di antara lempengan-lempengan
yang mengandung sel tulang).
4. Kanalikuli (memancar di antara lacuna dan tempat difusi makanan
sampai ke osteon).

Gambar 2. Bagian dalam tulang (Wahyuningsih & Kusmiyati, 2017)


Tulang ini tersusun atas ”honeycomb” network yang disebut
trabekula. Struktur tersebut menyebabkan tulang dapat menahan tekanan.
Rongga antara trabekula berisi “red bone marrow” yang mengandung
pembuluh darah yang memberi nutrisi pada tulang. Contohnya yaitu tulang
pelvis, rusuk,tulang belakang, tengkorak, dan pada ujung tulang lengan
dan paha. Tulang femur merupakan tulang yang ukuran panjangnya
terbesar (Wahyuningsih & Kusmiyati, 2017).
2. Definisi
Fraktur adalah kerusakan neuromuskular akibat trauma pada
jaringan atau terputusnya jaringan tulang (Noorisa et al, 2017). Fraktur
adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, disertai dengan luka sekitar
jaringan lunak, kerusakan otot, rupture tendon, kerusakan pembuluh darah,
danluka organ-organ tubuh dan dapat ditentukan sesuai jenis dan luasnya,
terjadinya jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang besar darii
yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer, 2001). Fraktur femur yang
digambarkan sesuai lokasi, dapat dikelompokkan menjadi 3, meliputi
proksimal atau ujung atas dekat panggul, shaft/poros tulang, dan distal
atau ujung bawah dekat lutut (Avruskin, 2013; Romeo, 2018)

Gambar 3 Fraktur Femur (rehabmypatient.com, 2017)

3. Epidemiologi
Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) mencatat
pada tahun 2011-2012 terdapat 5,6 juta orang meninggal dunia dan 1,3
juta orang menderita fraktur akibat kecelakaan lalu lintas (WHO, 2011).
Romeo (2018) menjelaskan bahwa insiden fraktur femur berkisar antara
9,5 hingga 18,9 per 100.000 populasi dunia per tahun. Insiden fraktur
femur di Amerika Serikat adalah sebanyak 250.000 kasus, dan
diperkirakan akan meningkat dua kali lipat pada tahun 2050. Menurut
Depkes RI (2011), dari sekian banyak kasus fraktur di Indonesia, fraktur
pada ekstremitas bawah akibat kecelakaan memiliki prevalensi yang
paling tinggi diantara fraktur lainnya yaitu sekitar 46,2%. Dari 45.987
orang dengan kasus fraktur ekstremitas bawah akibat kecelakaan, 19.629
orang mengalami fraktur pada tulang femur. Pada orang dewasa yang
lebih tua, jatuh adalah penyebab paling umum sekitar 65 persen dari
patah tulang (Obaidurahman, 2013). Di Indonesia sendiri, distribusi data
dari fraktur femur belum tersedia. Bila situasi ini terus terjadi, maka akan
mengakibatkan lemahnya pencegahan patah tulang paha di masyarakat.
Sedangkan tulang paha sendiri merupakan bagian yang penting dalam
sistem anggota gerak dari manusia.

4. Etiologi
Fraktur femur dapat disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan
yang berlebihan pada tulang (Reksoprodjo, 2010). Trauma ada 2 jenis,
sebagai berikut.
1. Trauma langsung, yaitu terjadi benturan pada tulang dan
mengakibatkan fraktur di tempat benturan. Trauma langsung
menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan terjadi fraktur pada
daerah tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat kominutif dan
jaringan lunak ikut mengalami kerusakan.
2. Trauma tidak langsung, yaitu terjadi benturan pada tulang dan titik
tumpu benturan dengan terjadinya fraktur berjauhan. Trauma tidak
langsung terjadi apabila trauma dihantarkan ke daerah yang lebih jauh
dari daerah fraktur. Tekanan pada tulang dapat berupa:
a) tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat oblik atau
spiral;
b) tekanan membengkok yang menyebabkan fraktur transversal;
c) tekanan sepanjang aksis tulang yang dapat menyebabkan fraktur
impaksi atau dislokasi;
d) kompresi vertikal yang dapat menyebabkan fraktur kominutif atau
memecah;
e) trauma oleh karena remuk;
f) trauma karena tarikan pada ligamen atau tendon akan menarik
sebagian tulang.
3. Trauma patologis
Trauma patologis adalah suatu kondisi rapuhnya tulang karena proses
patologis.
a) Osteoporosis terjadi karena kecepatan reabsorbsi tulang melebihi
kecepatan pembentukan tulang, sehingga akibatnya tulang menjadi
6 keropos secara cepat dan rapuh sehingga mengalami patah tulang,
karena trauma minimal.
b) Osteomilitis merupakan infeksi tulang dan sum sum tulang yang
disebabkan oleh bakteri piogen dimana mikroorganisme berasal
dari focus ditempat lain dan beredar melalui sirkulasi darah.
c) Ostheoartritis itu disebabkan oleh rusak/ menipisnya bantalan sendi
dan tulang rawan (Muttaqin, 2008).
3. Fraktur beban
Fraktur baban atau fraktur kelelahan terjadi pada orang- orang yang
baru saja menambah tingkat aktivitas mereka, seperti baru di terima
dalam angkatan bersenjata atau orang- orang yang baru mulai latihan
lari.
4. Spontan
Terjadi tarikan otot yang sangat kuat seperti olah raga.

5. Klasifikasi
a. Berdasarkan tempat (Fraktur humerus, tibia, clavicula, ulna, radius, hip
dan cruris dst).
b. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur.

Gambar 4. Klasifikasi Fraktur Femur menurut Kekomplitan dan Sifatnya


(terbuka dan tidak terbuka)
1) Fraktur komplit (garis patah melalui seluruh penampang tulang atau
melalui kedua korteks tulang).
2) Fraktur tidak komplit (bila garis patah tidak melalui seluruh garis
penampang tulang).
c. Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah :
1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan
saling berhubungan.
2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak berhubungan.
3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
pada tulang yang sama.
d.  Berdasarkan posisi fragmen :
1) Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi
kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
2) Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang
juga disebut lokasi fragmen
e. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
1) Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih
(karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada
klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak
sekitar trauma, yaitu:
a) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera
jaringan lunak sekitarnya.
b) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
c) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan
lunak bagian dalam dan pembengkakan.
d) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang
nyata ddan ancaman sindroma kompartement.
2) Fraktur Terbuka (Open/Compound),  bila terdapat hubungan antara
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya
perlukaan kulit.Fraktur terbuka dibedakan menjadi:
a) Grade I : luka bersih, panjangnya kurang dari 1 cm.
b) Grade II : luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang
ekstensif.
c) Grade III : sangat terkontaminasi, dan mengalami kerusakan
jaringan lunak ekstensif.
f.  Berdasarkan bentuk garis fraktur dan hubungan dengan mekanisme
trauma :
1) Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2) Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasi juga.
3) Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral
yang disebabkan trauma rotasi.
4) Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi
yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5) Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau
traksi otot pada insersinya pada tulang.

Gambar 5. Klasifikasi Fraktur berdasarkan Patahannya


g. Berdasarkan kedudukan tulangnya:
1) Tidak adanya dislokasi.
2) Adanya dislokasi
a) At axim : membentuk sudut.
b) At lotus : fragmen tulang berjauhan.
c) At longitudinal : berjauhan memanjang.
d) At lotus cum contractiosnum : berjauhan dan memendek
h.  Berdasarkan posisi fraktur
Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :
1) 1/3 proksimal
2) 1/3 medial
3) 1/3 distal
i. Fraktur Kelelahan 
Fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
j. Fraktur Patologis
Fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.

6. Patofisiologi/Patologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya
pegas untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih
besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang
yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah
terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks,
marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan
terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga
medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang
patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya
respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan
leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan
dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya. Faktor-faktor yang
mempengaruhi fraktur:
a. Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung
terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan
fraktur.
b. Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan
untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan,
elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang.
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup.
Tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia
luar. Sedangkan fraktur terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar oleh karena perlukaan di kulit (Smelter & Bare,
2002). Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat
patah ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga
biasanya mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat
setelah fraktur. Sel- sel darah putih dan sel anast berakumulasi
menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut aktivitas
osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut
callus. Bekuan fibrin direabsorbsidan sel- sel tulang baru mengalami
remodeling untuk membentuk tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah
atau penekanan serabut syaraf yang berkaitan dengan pembengkakan yang
tidak di tangani dapat menurunkan asupan darah ke ekstrimitas dan
mengakibatkan kerusakan syaraf perifer. Bila tidak terkontrol
pembengkakan akan mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi
darah total dan berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya serabut syaraf
maupun jaringan otot. Komplikasi ini di namakan sindrom compartment
(Smeltzer & Bare, 2002).
Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan
ketidak seimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan
fraktur tertutup. Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan lunak
seperti tendon, otot, ligament dan pembuluh darah (Smeltzer & Bare,
2002). Pasien yang harus imobilisasi setelah patah tulang akan menderita
komplikasi antara lain: nyeri, iritasi kulit karena penekanan, hilangnya
kekuatan otot. Kurang perawatan diri dapat terjadi bila sebagian tubuh di
imobilisasi, mengakibatkan berkurangnyan kemampuan prawatan diri
(Carpenito, 2012). Reduksi terbuka dan fiksasi interna (ORIF) fragmen-
fragmen tulang di pertahankan dengan pen, sekrup, plat, paku. Namun
pembedahan meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi. Pembedahan
itu sendiri merupakan trauma pada jaringan lunak dan struktur yang
seluruhnya tidak mengalami cedera mungkin akan terpotong atau
mengalami kerusakan selama tindakan operasi.

7. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi,
deformitas, pemendekan ektremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan
perubahan warna yang dijelaskan secara rinci sebagai berikut:
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk
bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar
fragmen tulang.
b. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan
cenderung bergerak secara alamiah (gerakan luar biasa). Pergeseran
fragmen pada fraktur lengan dan tungkai menyebabkan deformitas
(terlihat maupun teraba) ektremitas yang bisa diketahui dengan
membandingkannya dengan ektremitas normal. Ekstremitas tidak dapat
berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot tergantung pada
integritasnya tulang tempat melekatnya otot.
c. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur.
Fragmen sering saling melengkapi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5
cm (1 sampai 2 inci).
d. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan
lunak yang lebih berat.
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai
akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasa
terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.
Tidak semua tanda dan gejala tersebut terdapat pada setiap fraktur.
Kebanyakan justru tidak ada pada fraktur linear atau fisur atau fraktur
impaksi (permukaan patahan saling terdesak satu sama lain). Diagnosis
fraktur bergantung pada gejala, tanda fisik, dan pemeriksaan sinar-x
pasien. Biasanya pasien mengeluhkan mengalami cedera pada daerah
tersebut.

8. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada kasus fraktur adalah sebagai
berikut (Reksoprodjo, 2009):
a. Malunion adalah tulang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak
seharusnya.
b. Delayed union adalah kegagalan fraktur berkonsolidasi (bergabung)
sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung.
c. Non union adalah kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi
sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan.
d. Kekakuan sendi bahu (ankilosis). Lesi pada nervus sirkumfleksi
aksilaris menyebabkan paralisis muskulus deltoid
e. Syok hipovolemik. Kondisi ini terjadi akibat adanya perdarahan
berlebih yang sering ditemukan pada pasien trauma akibat fraktur pada
tulang pelvis, femur, atau fraktur lain dengan jenis fraktur terbuka.
f. Fat embolism syndrome, Kondisi ini terjadi akibat fraktur pada tulang
panjang, atau fraktur lain yang menyebabkan jaringan sekitar hancur,
sehingga emboli lemak dapat terjadi.
g. Compartment syndrom merupakan komplikasi yang terjadi karena
terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan
parut. Ini disebabkan oleh udema atau perdarahan yang menekan otot,
saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekan dari luar seperti gips
dan pembebatan yang terlalu kuat. Tanda-tanda sindrom kompartemen
dikenal dengan 5P yaitu Pain (nyeri lokal), Pallor (pucat bagian distal),
Pulsessness (tidak ada denyut nadi, perubahan nadi, perfusi yang tidak
baik dan CRT > 3 detik pada bagian distal kaki), Paraestesia (tidak ada
sensasi), Paralysis (kelumpuhan tungkai).
h. Cedera vaskuler, jika ada tanda dengan insufisiensi vaskuler pada
ekstremitas, kerusakan arteri brakhialis harus disingkirkan. Angiografi
akan memperlihatkan tingkat cedera. Cedera vaskuler merupakan
kegawatdaruratan yang membutuhkan eksplorasi dan perbaikan
langsung atau cangkok (grafting) vaskuler.
i. Cedera Saraf, radial nerve palsy dapat terjadi pada fraktur shaft femoral
terutama pada fraktur oblik sepertiga tengah dan distal femur.
Pergelangan tangan dan telapak tangan harus secara teratur digerakkan
dari pergerakan pasif putaran penuh hingga mempertahankan
pergerakan sendi sampai saraf kembali pulih.
j. Infeksi, Infeksi terjadi karena sistem pertahanan tubuh yang rusak
akibat adanya trauma pada jaringan. Pada trauma osthopedic infeksi
dimulai pada kulit (superfisial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya
terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan
bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat. Infeksi paska trauma
sering menyebabkan osteitis kronik. Osteitis tidak mencegah fraktur
mengalami union, namun union akan berjalan lambat dan kejadian
fraktur berulang akan meningkat. Kondisi tulang yang mengalami
fraktur merupakan salah satu faktor resiko terjadinya osteomyelitis.
Penyakit ini merupakan infeksi pada tulang yang penatalaksanaannya
melalui terapi medikasi dengan antibiotik, serta pembedahan ketika
infeksi bersifat persisten.

9. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengetahui
keadaan tulang yang mengalami fraktur yaitu:
a. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan untuk mengetahui kadar Hb
dan hematokrit, kerana perdarahan yang terjadi akibat fraktur akan
menyebabkan kadar Hb dan hematokrit dalam tubuh menjadi rendah.
Selain itu, Laju Endap Darah (LED) akan meningkat apabila kerusakan
yang terjadi pada jaringan lunak sangat luas. Selain itu pemeriksaan
golongan darah juga penting untuk dilakukan apabila tindakan operasi
dilakukan, dan pemeriksaan kadar kratinin juga harus dilakukan, karena
trauma otot dapat meningkatkan beban kreatinin untuk haluaran ginjal.
Jika hasil pemeriksaan hitung darah lengkap menunjukkan bahwa
hematokrit mengalami peningkatan atau penurunan (hemokonsentrasi)
menunjukkan adanya perdarahan pada lokasi fraktur atau organ di
sekitar lokasi trauma. Hasil pemeriksaan hitung darah lengkap yang
menunjukkan peningkatan sel darah putih (WBC) merupakan tanda
respon stres normal setelah trauma atau terjadinya fraktur.
b. X-ray
Pemeriksaan Xray merupakan pemeriksaan yang digunakan untuk
melihat gambaran fraktur, deformitas (pergeseran fragmen pada fraktur)
dan metalikment. Pemeriksaan Xray merupakan salah satu metode
dengan menggunakan prosedur non invasif. Gambar diambil pada dua
proyeksi, yaitu PA (posteroanterior) atau AP (anteroposterior) dan
lateral (LAT). Keuntungan pemeriksaan Xray yaitu tidak ada residu
radiasi di dalam tubuh, tidak ada efek samping, dan cepat, dapat
digunakan pada situasi darurat.
c. CT-scan
CT-scan merupakan alat yang bekerja dengan cara memproduksi
gambaran organ tubuh dengan menggunakan gelombang suara yang
terkan pada komputer(Bastiansyah, 2008). CT-scan dapat menghasilkan
gambaran dari organ tubuh termasuk keadaan tulang. Secara umum
pemeriksaan CT-scan dapat memberikan gambaran secara rinci
mengenai struktur tulang, jaringan dan cairah tubuh. Pada fraktur cruris
CT-scan dapat digunakan untuk mendeteksi struktur fraktur yang terjadi
secara kompleks.
d. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
MRI merupakan alat diagnostik yang dapat menghasilkan potongan
organ tubuh menusia dengan menggunakan medan magnet tanpa
menggunakan sinar-X. MRI bertujuan untuk memfisualisasi fraktur,
perdarahan, kerusakan jaringan, dan membedakan antara fraktur akibat
trauma dengan neoplasma tulang.
e. Rontgen
Pemeriksaan rontgen merupakan salah satu prosedur yang efektif bila
digunakan untuk mendeteksi terjadinya fraktur. Rontgen digunakan
untuk memotret tubuh bagian dalam, sehingga organ yang ada dalam
tubuh dapat terlihat dengan jelas, terutama pada bagian tulang yang
mengalami fraktur. Foto rontgen menggunakan media sinar X sebagai
hasil untuk mengetahui seberapa tingkat keparahan pada fraktur yang
terjadi.

10. Penatalaksanaan
Menurut Muttaqin (2008) konsep dasar yang harus dipertimbangkan
pada waktu menangani fraktur yaitu : rekognisi, reduksi, retensi, dan
rehabilitasi.
a. Rekognisi (Pengenalan)
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan
diagnosa dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur
tungkai akan terasa nyeri sekali dan bengkak. Kelainan bentuk yang
nyata dapat menentukan diskontinuitas integritas rangka.
b. Reduksi (Manipulasi/ Reposisi)
Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen
fragmen tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi seperti letak
asalnya. Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimal. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan
reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka. Reduksi fraktur dilakukan
sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilangan
elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada
kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera
sudah mulai mengalami penyembuhan (Muttaqin, 2008). Dalam
penatalaksanaan fraktur dengan reduksi dapat dibagi menjadi 2 yaitu:
1) Reduksi Tertutup/ORIF (Open Reduction Internal Fixation)
Reduksi fraktur (setting tulang) berarti mengembalikan fragment
tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Reduksi tertutup,
traksi, dapat dilakukan untuk mereduksi fraktur. Metode tertentu
yang dipilih bergantung sifat fraktur, namun prinsip yang
mendasarinya tetap sama.Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur,
pasien harus disiapkan untuk menjalani prosedur dan harus diperoleh
izin untuk melakukan prosedur, dan analgetika diberikan sesuai
ketentuan. Mungkin perlu dilakukan anesthesia. Ekstremitas yang
akan dimanipulasi harus ditangani dengan lembut untuk mencegah
kerusakan lebih lanjut. Reduksi tertutup pada banyak kasus, reduksi
tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragment tulang ke
posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi
dan traksi manual.
2) Reduksi Terbuka/OREF (Open Reduction Eksternal Fixation)
Pada Fraktur tertentu dapat dilakukan dengan reduksi eksternal atau
yang biasa dikenal dengan OREF, biasanya dilakukan pada fraktur
yang terjadi pada tulang panjang dan fraktur fragmented. Eksternal
dengan fiksasi, pin dimasukkan melalui kulit ke dalam tulang dan
dihubungkan dengan fiksasi yang ada dibagian luar. Indikasi yang
biasa dilakukan penatalaksanaan dengan eksternal fiksasi adalah
fraktur terbuka pada tulang kering yang memerlukan perawatan
untuk dressings. Tetapi dapat juga dilakukan pada fraktur tertutup
radius ulna. Eksternal fiksasi yang paling sering berhasil adalah pada
tulang dangkal tulang misalnya tibial batang.
c. Retensi (Immobilisasi)
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga
kembali seperti semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi,
fragmen tulang harus diimobilisasi, atau di pertahankan dalam posisi
kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat
dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna
meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin, dan teknik gips,
atau fiksator eksterna. Implan logam dapat di gunakan untuk fiksasi
intrerna yang brperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi
fraktur. Fiksasi eksterna adalah alat yang diletakkan diluar kulit untuk
menstabilisasikan fragmen tulang dengan memasukkan dua atau tiga
pin metal perkutaneus menembus tulang pada bagian proksimal dan
distal dari tempat fraktur dan pin tersebut dihubungkan satu sama lain
dengan menggunakan eksternal bars. Teknik ini terutama atau
kebanyakan digunakan untuk fraktur pada tulang tibia, tetapi juga dapat
dilakukan pada tulang femur, humerus dan pelvis (Mansjoer, 2000).
Prinsip dasar dari teknik ini adalah dengan menggunakan pin yang
diletakkan pada bagian proksimal dan distal terhadap daerah atau zona
trauma, kemudian pin-pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan
rangka luar atau eksternal frame atau rigid bars yang berfungsi untuk
menstabilisasikan fraktur. Alat ini dapat digunakan sebagai temporary
treatment untuk trauma muskuloskeletal atau sebagai definitive
treatment berdasarkan lokasi dan tipe trauma yang terjadi pada tulang
dan jaringan lunak (Muttaqin, 2008). Alat traksi diberikan dengan
kekuatan tarikan pada anggota yang fraktur untuk meluruskan bentuk
tulang. Ada 2 macam yaitu:
a) Skin Traksi
Skin traksi adalah menarik bagian tulang yang fraktur dengan
menempelkan plester langsung pada kulit untuk mempertahankan
bentuk, membantu menimbulkan spasme otot pada bagian yang
cedera, dan biasanya digunakan untuk jangka pendek (48-72 jam).
b) Skeletal traksi
Adalah traksi yang digunakan untuk meluruskan tulang yang cedera
pada sendi panjang untuk mempertahankan bentuk dengan
memasukkan pins / kawat ke dalam tulang.
d. Rehabilitasi
Rehabilitasi dilakukan untuk aktifitas fungsional semaksimal mungkin
dalam menghindari atropi atau kontraktur. Bila keadaan
mmeungkinkan, harus segera dimulai melakukan latihan-latihan untuk
mempertahankan kekuatan anggota tubuh dan mobilisasi (Mansjoer,
2000).
Tahap penyembuhan tulang dibagi menjadi 5 proses yaitu sebagai berikut:
Gambar 6. Proses Penyembuhan tulang (Pearce, 2009)

a. Tahap pembentukan hematoma


Dalam 24 jam pertama mulai terbentuk bekuan darah dan fibrin yang
masuk ke area fraktur. Suplai darah meningkat dan terbentuk hematom
yang berkembang menjadi jaringan granulasi sampai hari kelima.
b. Tahap proliferasi
Dalam waktu sekitar 5 hari, hematom akan mengalami organisasi.
Terbentuk benang-benang fibrin dalam jendalan dara, membentuk
jaringan untuk revaskularisasi dan invasi fibroblast dan osteoblast yang
akan menghasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai matriks kolagen
pada patahan tulang, lalu akan terbentuk jaringan ikat fibrus dan tulang
rawan.
c. Tahap pembentukan kalus
Pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran tulang rawan tumbuh
mencapai sisi lain sampai celah terhubung. Fragmen patahan tulang
digabungkan dengan jaringan fibrus, tulang rawan, dan tulang serat
imatur. Butuh 3-4 minggu agar fragmen tulang tergabung dalam tulang
rawan atau jaringan fibrus.
d. Osifikasi
Pembentukan kalus mulai mengalami penulangan dalam 2-3 minggu
patah tulan melalui proses penulangan ndokondrial. Mineral terus
menerus ditimbun sampai tulang benar-benar bersatu. Proses ini
memerlukan waktu 3-4 bulan.
e. Konsolidasi (6-8 bulan) dan Remodelling (6-12 bulan)
Tahap akhir dari perbaikan patah tulang adalah dengan aktifitas
osteoblas dan osteoclas. Kalus mengalami pembentukan tulang sesuai
aslinya.
B. Clinical Pathway

Trauma Trauma tidak Kondisi


langsung langsung patologis

Fraktur

Diskontinuitas Pergeseran
tulang fragmen tulang

Perubahan Nyeri akut Ansietas


jaringan sekitar

Pergeseran Spasme otot Laserasi kulit dan jaringan


fragmen tulang

Deformitas Peningkatan
Port de entry Putus vena/ Kerusakan
tekanan kapiler
kuman integritas
arteri kulit
Gangguan Pelepasan
Fungsi histamin Risiko Perdarahan
muskuloskeletal infeksi Kerusakan
integritas
Protein plasma jaringan
Hambatan hilang Kehilangan
mobilitas fisik cairan
edema
Syok
hipovolemik
Penekanan
pembuluh
darah

Penurunan
perfusi jaringan

Ketidakefektifan perfusi
jaringan
C. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a) Identitas Pasien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan,
alamat, status perkawinan, suku bangsa, nomor rekam medis, tanggal
masuk rumah sakit dan diagnosa medis.
b) Keluhan Utama
Identifikasi adanya nyeri pada lokasi fraktur atau tidak
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Kaji kronologi terjadinya trauma yang menyebabkan patah tulang femur,
bagaimana mekanisme terjadinya, pertolongan apa yang sudah di
dapatkan, apakah sudah berobat ke dukun patah tulang.
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada beberapa keadaan, klien yang pernah berobat ke dukun patah tulang
sebelumnya sering mengalami mal-union. Penyakit tertentu seperti kanker
tulang atau menyebabkan fraktur patologis sehingga tulang sulit
menyambung. Selain itu, klien diabetes dengan luka di kaki sangat
beresiko mengalami osteomielitis akut dan kronik serta penyakit diabetes
menghambat penyembuhan tulang.
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan patah tulang femur adalah
salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti osteoporosis yang
sering terjadi pada beberapa keturunan dan kanker tulang yang cenderung
diturunkan secara genetik.
f) Pola Kebiasaan
1) Pola Nutrisi
Umumnya pola nutrisi pasien tidak mengalami perubahan, namun ada
beberapa kondisi dapat menyebabkan pola nutrisi berubah, seperti
nyeri yang hebat, dampak hospitalisasi terutama bagi pasien yang
merupakn pengalaman pertama masuk rumah sakit.
2) Pola Eliminasi
Pasien dapat cenderung mengalami gangguan eliminasi BAB seperti
konstipasi dan gangguan eliminasi urine akibat adanya program
eliminasi dilakukan ditempat tidur.
3) Pola Istirahat
Umumnya kebutuhan istirahat atau tidur pasien tidak mengalami
perubahan yang berarti, namun ada beberapa kondisi dapat
menyebabkan pola istirahat terganggu atau berubah seperti timbulnya
rasa nyeri yang hebat dan dampak hospitalisasi.
4) Pola Aktivitas
Umumnya pasien tidak dapat melakukan aktivitas (rutinitas)
sebagaimana biasanya, yang hampir seluruh aktivitas dilakukan
ditempat tidur. Hal ini dilakukan karena ada perubahan fungsi anggota
gerak serta program immobilisasi, untuk melakukan aktivitasnya
pasien harus dibantu oleh orang lain, namun untuk aktivitas yang
sifatnya ringan pasien masih dapat melakukannya sendiri.      
5) Personal Hygiene
Pasien masih mampu melakukan personal hygienenya, namun harus
ada bantuan dari orang lain, aktivitas ini sering dilakukan pasien
ditempat tidur.
6) Riwayat Psikologis
Biasanya dapat timbul rasa takut dan cemas terhadap fraktur, selain itu
dapat juga terjadi ganggguan konsep diri body image, jika terjadi
atropi otot kulit pucat, kering dan besisik. Dampak psikologis ini
dapat muncul pada pasien yang masih dalam perawatan dirumah sakit.
Hal ini dapat terjadi karena adanya program immobilisasi serta proses
penyembuhan yang cukup lama.
7) Riwayat Spiritual
Pada pasien post operasi fraktur femur riwayat spiritualnya tidak
mengalami gangguan yang berarti, pasien masih tetap bisa
bertoleransi terhadap agama yang dianut, masih bisa mengartikan
makna dan tujuan serta harapan pasien terhadap penyakitnya.
8) Riwayat Sosial
Dampak sosial adalah adanya ketergantungan pada orang lain dan
sebaliknya pasien dapat juga menarik diri dari lingkungannya karena
merasa dirinya tidak berguna (terutama kalau ada program amputasi).
g) Pemeriksaan Fisik
1) B1 (Breathing)
Pre operasi: pada pemeriksaan sistem pernafasan tidak mengalami
gangguan.
Post operasi: biasanya terjadi reflek batu tidak efektif sehingga terjadi
penurunan akumulasi sekret. Bisa terjadi apneu, lidah ke belakang
akibat general anastesi, RR meningkat karena nyeri.
2) B2 (Blood)
Pre operasi: dapat terjadi peningkatan tekanan darah, peningkatan nadi
dan respirasi karena nyeri, peningkatan suhu tubuh karena terjadi
infeksi terutama pada fraktur terbuka.
Post operasi: dapat terjadi peningkatan tekanan darah, peningkatan
nadi dan respirasi karena nyeri, peningkatan suhu tubuh karena terjadi
infeksi terutama pada proses pembedahan.
3) B3 (Brain)
Pre operasi: tingkat kesadaran biasanya compos mentis.
Post operasi: dapat terjadi penurunan kesadaran akibat tindakan
anastesi, nyeri akibat pembedahan.
4) B4 (Bladder)
Pre operasi: biasanya klien fraktur tidak mengalami kelainan pada
sistem ini.
Post operasi: terjadi retensi urin akibat general anastesi.
5) B5 (Bowel)
Pre operasi: pemenuhan nutrisi dan bising usus biasanya normal, pola
defekasi tidak ada kelainan.
Post operasi: penurunan gerakan peristaltic akibat general anastesi.
6) B6 (Bone)
Pre operasi: adanya deformitas, nyeri tekan pada daerah trauma. Post
operasi: gangguan mobilitas fisik akibat pembedahan.

2. Diagnosa Keperawatan
a) Pre Operasi
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (trauma)
2) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan
muskuloskeletal
3) Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan cedera
4) Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
5) Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
imobilitas
6) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan imobilitas
7) Resiko syok berhubungan dengan perdarahan
b) Post operasi
1) Nyeri berhubungan dengan proses pembedahan
2) Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan tindakan
pembedahan
3) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan fungsi
muskuloskletal, nyeri/ketidaknyamanan, gangguan fungsi
muskuloskeletal, imobilisasi
4) Resiko sindrom disuse berhubungan dengan imobilisasi, paralisis,
perubahan tingkat kesadaran
5) Perlambatan pemulihan pasca bedah berhubungan dengan malnutrisi,
obesitas, hambatan mobilitas, gangguan psikologis, diabetes mellitus
6) Resiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan
primer, kerusakan kulit, trauma jaringan
7) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penatalaksanaan medis
(pemasangan fiksasi eksternal)
8) Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurangnya paparan
informasi yang ada.
9) Defisit perawatan diri berhubungan dengan gangguan fungsi
actoricletal.
No. Masalah Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
Post Operatif
1. Nyeri akut (00132) NOC NIC
Kontrol nyeri (1605) Manajemen nyeri (1400)
Tingkat nyeri (2102) 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
Kepuasan klien: manajemen nyeri (lokasi, karakteristik, durasi, dan intensitas
(3016) nyeri)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2. Observasi adanya petunjuk nonverbal nyeri
selama 3x24 jam nyeri akut pada pasien 3. Pastikan analgesik dipantau dengan ketat
dapat berkurang, dengan kriteria hasil: 4. Jelaskan pada pasien terkait nyeri yang
1. Mampu mengontrol nyeri (tahu dirasakan
penyebab nyeri, mampu Terapi relaksasi (6040)
menggunakan tehnik 5. Gambarkan rasional dan manfaat relaksasi
nonfarmakologi untuk mengurangi seperti nafas dalam dan musik
nyeri, mencari bantuan) 6. Dorong pasien mengambil posisi nyaman
2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang Pemberian analgesik (2210)
dengan menggunakan manajemen 7. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan
nyeri keparahan nyeri sebelum mengobati pasien
3. Mampu mengenali nyeri (skala, 8. Cek adanya riwayat alergi obat
intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) 9. Cek perintah pengobatan meliputi obat, dosis,
4. Menyatakan rasa nyaman setelah dan frekuensi obat analgesik yang diresepkan
nyeri berkurang
2. Kerusakan integritas NOC NIC
kulit (00046) Intregitas jaringan: kulit dan membran Perawatan Luka Tekan (3520)
mukosa (1101) 1. Ajarkan pasien dan keluarga akan adanya
Setelah dilakukan tindakan tanda kulit pecah-pecah
keperawatan selama 3x24 jam 2. Hindari kerutan pada tempat tidur
diharapkan integritas kulit tetap 3. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan
terjaga dengan kriteria hasil: kering
1. Integritas kulit yang baik bisa 4. Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien)
dipertahankan (sensasi, elastisitas, setiap dua jam sekali
temperatur, hidrasi, pigmentasi) 5. Monitor kulit akan adanya kemerahan
2. Tidak ada luka/lesi pada kulit 6. Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada
3. Perfusi jaringan baik daerah yang tertekan
4. Menunjukkan pemahaman dalam 7. Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien
proses perbaikan kulit dan 8. Monitor status nutrisi pasien
mencegah terjadinya cedera 9. Memandikan pasien dengan sabun dan air
berulang hangat
Pengecekan kulit (3590)
10. Periksa kulit dan selaput lendir terkait dengan
adanya kemerahan
11. Amati warna, bengkak, pulsasi, tekstur,
edema, dan ulserasi pada ekstremitas
12. Monitor warna dan suhu kulit
13. Monitor kulit untuk adanya ruam dan lecet
14. Monitor infeksi terutama daerah edema
15. Ajrkan anggota keluarga/pemberi asuhan
mengenai tanda-tanda kerusakan kulit, dengan
tepat
3. Hambatan mobilitas fisik NOC NIC
(00085) Koordinasi pergerakan (0212) Peningkatan Mekanika Tubuh (0140)
setelah dilakukan perwatan selama 3x24 1. Bantu pasien latihan fleksi untuk
jam mobilitas fisik pasien membanik memfasilitasi mobilisasi sesuai indikasi
dengan kriteria hasil: 2. Berikan informasi tentang kemungkinan posisi
1. Dapat mengontrol kontraksi penyebab nyeri otot atau sendi
pergerakkan 3. Kolaborasi dengan fisioterapis dalam
2. Dapat melakukan kemantapan mengembangkan peningkatan mekanika tubuh
pergerakkan sesuai indiksi
3. Dapat menahan keseimbangan Peningkatan Latihan: Latihan Kekuatan (0201)
pergerakkan 4. Sediakan informasi mengenai fungi otot, latihan
fisiologis, dan konsekuensi dari
penyalahgunaannya
5. Bantu mendapatkan sumber yang diperlukan
untuk terlibat dalam latihan otot progresif
6. Spesifikkan tingkat resistensi, jumlah
pengulangan, jumlah set, dan frekuensi dari
sesi latihan menurut lefel kebugaran 27actor27
atau tidaknya faktor resiko
7. Instruksikan untuk beristirahat sejenak setiap
selesai satu set jika dipelukan
8. Bantu klien untuk menyampaikan atau
mempraktekan pola gerakan yan dianjurkan
tanpa beban terlebih dahulu sampai gerakan
yang benar sudah di pelajari
Terapi Latihan : Mobilitas Sendi (0224)
9. Tentukan batas pergerakan sendi dan efeknya
terhadap fungsi sendi
10. Kolaborasikan dengan ahli terapi fisik dalam
mengembangkan dan menerapan sebuah
program latihan
11. Dukung latihan ROM aktif, sesuai jadwal yang
teraktur dan terencana
12. Instruksikan pasien atau keluarga cara
melakukan latihan ROM pasif, dan aktif
13. Bantu pasien ntuk membuat jadwal ROM
14. Sediakan petujuk tertulis untuk melakukan
latihan
4. Resiko infeksi (00004) NOC NIC
Keparahan infeksi (0703) Kontrol infeksi (6540)
Kontrol resiko (1902) 1. Bersihkan lingkungan dengan baik setelah
Setelah dilakukan tindakan keperawatan dipakai setiap pasien
selama 3x24 jam, tidak terjadi infeksi 2. Ganti perawatan peralatan setiap pasien sesuai
pada pasien dengan kriteria hasil: SOP rumah sakit
1. Luka tidak berbau busuk 3. Batasi jumlah pengunjung
2. Pasien tidak demam (suhu stabil) 4. Ajarkan cara mencuci tangan
3. Tidak terdapat nanah pada luka Perlindungan infeksi (6550)
4. Pasien dapat mengidentifikasi 5. Monitor adanya tanda dan gejala infeksi
28actor resiko 6. Berikan perawatan kulit yang tepat
5. Mengenali 28actor resiko individu Manajemen nutrisi (1100)
7. Tentukan status gizi pasien
8. Identifikasi adanya alergi
Identifikasi resiko (6610)
9. Kaji ulang riwayat kesehatan masa lalu
10. Identifikasi strategi koping yang digunakan
5. Gangguan citra tubuh NOC NIC
(00118) Citra tubuh (1200) Peningkatan citra tubuh (5220)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Diskusikan mengenai perubahan-perubahan
selama 3x24 jam, citra tubuh tidak tubuh yang disebabkan perubahan kesehatan
terganggu dengan kriteria hasil: 2. Bantu pasien untuk mendiskusikan terkait
1. Kesesuaian antara realitas dan ideal stresor yang mempengaruhi citra diri
diri 3. Monitor frekuensi dari pernyataan mengkritik
2. Kepuasan dengan penampilan tubuh diri
3. Kepuasan dengan fungsi tubuh Peningkatan harga diri (5400)
4. Dapat menyesesuaikan dengan 4. Monitor pernyataan pasien mengenai harga diri
bentuk penampilan tubuh 5. Tentukan kepercayaan diri pasien dalam hal
5. Penyesuaian terhadap perubahan penilaian diri
status kesehatan 6. Dukung pasien untuk mengidentifikasi
kekuatan
7. Dukung pasien untuk memberikan afirmasi
positif
8. Jangan mengkritisi pasien secara negatif
9. Bantu pasien untuk mengidentifikasi respon
positif dari orang lain
6. Defisiensi pengetahuan NOC NIC
(00126) Pengetahuan : Prosedur penanganan Pengajaran: Perioperatif (5610)
(1814) 1. informasikan kepada pasien dan keluarga
Setelah dilakukan tindakan keperawatan untuk jadwal tanggal, waktu dan lokasi
selama 1x24 jam, defisiensi operasi.
pengetahuan pada pasien dapat teratasi, 2. Informasikan kepada pasien dan keluarga
dengan kriteria hasil: perkiraan lama operasi
1. Pasien memahami prosedur 3. Kaji riwayat operasi sebelumnya, latar
penanganan, tujuan prosedur, belakang, budaya dan tingkat pengetahuan
langkah-langkah prosedur terkait operasi
2. Klien mengetahui efek samping 4. Fasilitasi kecemasan pasien dan keluarga
penanganan terkait kecemasannya
3. Klien mengetahui kontraindikasi 5. Berikan kesemapatan untuk pasien bertanya
penanganan 6. Jelaskan prosedur persiapan pre-operasi
(misalnya jenis anestesi, diit yang sesuai,
pengosongan saluran cerna, pemeriksaan lab
yang dibutuhkan, perisapan area operasi, terapi
intravena, pakaian operasi, ruang tunggu
keluarga, transportasi menuju ruang operasi
dan lain-lain.
7. Berikan umpan balik terhadap kepercayaan
pasien kepada semua pihak yang terlibat dalam
proses operasi
8. Diskusikan kemungkinan nyeri yang dirasakan
9. Intruksikan pasien mengenai teknik mobilisasi,
batuk dan nafas dalam
Evaluasi kemampuan pasien dan dokumentasi
7. Risiko sindrom disuse NOC NIC
(00040) Koordinasi pergerakan (0212) Terapi latihan: mobilitas sendi (0224)
Pergerakan sendi (0206) 1. Gunakan pakaian yang tidak ketat pada pasien
Setelah diberikan asuhan keperawatan 2. Dampingin pasien untuk mengoptimalkan
selama 1x24 jam, klien dapat posisi tubuh untuk latihan pergerakan sendi
melakukan aktivitas secara bertahap baik aktif maupun pasif
sesuai dengan batas kemampuannya. 3. Tunjukkan cara melakukan ROM aktif maupun
1. Terjadi peningkatan kontraksi otot pasif
pada klien 4. Dampingi pasien untuk membuat jadwal latihan
2. Klien mampu melakukan pergerakan ROM aktif
halus Nilai kemajuan yang dicapai
3. Klien mampu menggerakkan
persendiannya

8. Defisit perawatan diri NOC NIC


(00108) Perawatan diri: mandi (0305) Bantuan perawatan diri: mandi/kebersihan (1801)
Perawatan diri: kebersihan (0301) 1. Fasilitasi pasien untuk menggosok gigi dengan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan tepat
selama 3x24 jam diharapkan perawatan 2. Fasilitasi pasien untuk seka dengan tepat
diri pasien: mandi tidak mengalami 3. Monitor kebersihan kuku
gangguan dengan kriteria hasil: 4. Monitor integritas kulit
Keluarga mampu melakukan 5. Jaga kebersihan secara berkala
1. Mencuci tangan pasien 6. Dukung keluarga berpartisipasi dalam
2. Membersihkan telinga mempertahankan kebersihan dengan tepat
3. Menjaga kebersihan untuk
kemudahan bernafas
4. Mempertahankan kebersihan mulut
5. Memperhatikan kuku jari tangan
6. Memperhatikan kuku jari kaki
Mempertahankan kebersihan tubuh
Risiko syok (00205) NOC: NIC:
Pencegahan syok Pencegahan syok (4260)
Management syok 1. Monitor status sirkulasi (tekanan darah, warna
kulit, suhu kulit, denyut jantung, ritme, nadi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan perifer, dan CRT)
selama 1x24 jam, risiko syok pada 2. Monitor tanda inadekuat oksigenasi jaringan
pasien dapat teratasi dengan kriteria 3. Monitor input dan output
hasil: 4. Monitor tanda awal syok
1. Irama jantung tidak terganggu 5. Kolaborasi pemberian cairan IV dengan tepat
2. Irama nadi normal
3. Frekuensi pernapasan normal
D. Discharge Planning
Berdasarkan Nurafif dan Kusuma (2015) discharge planning untuk pasien
fraktur sebagai berikut:
1. Meningkatkan masukan cairan
2. Dianjurkan untuk diet lunak terlebih dahulu
3. Dianjurkan untuk istirahat yang adekuat
4. Kontrol sesuai jadwal
5. Mimun obat sesuai dengan yang diresepkan dan segera periksa jika ada
keluhan
6. Menjaga masukan nutrisi yang seimbang
7. Hindari trauma ulang.
8. Menganjurkan untuk melakukan latihan:
a. Assissted active exercise
Assisted active exercise yaitu suatu gerakan aktif dengan bantuan
kekuatan dari luar, sedangkan pasien tetap mengkontraksikan ototnya
secara sadar. Bantuan dari luar dapat berupa tangan terapis, papan,
maupun suspension. Latihan ini dilakukan pada hari pertama sampai
dengan hari ketiga pasca operasi. Pada hari pertama posisi pasien tidur
terlentang, terapis berada di samping pasien pada sisi yang sakit. Terapis
memfiksasi fragmen bagian distal dan menyangga tungkai bawah. Pasien
diminta menekuk dan meluruskan lututnya sesuai kemampuan. Pada hari
kedua dan ketiga pasca operasi latihan ini dilakukan dengan posisi berbeda
yaitu dengan duduk ongkang-ongkang, satu tangan terapis memberi fiksasi
di atas lutut dan satu tangan yang lain menyangga tungkai bawah
kemudian pasien diminta bergerak menekuk dan meluruskan lututnya.
Gerakan ini dilakukan 5-10 kali pengulangan

Gambar 7. Gerakan assisted active untuk sendi lutut fleksi-ekstensi


b. Free active exercise
Free active exercise yaitu suatu gerakan aktif yang dilakukan oleh
adanya kekuatan otot dan anggota tubuh itu sendiri tanpa bantuan, gerakan
yang dihasilkan oleh kontraksi dengan melawan pengaruh gravitasi.
Latihan ini dilakukan pada hari ketiga sampai hari keenam. Posisi pasien
yaitu duduk ongkang-ongkang. Terapis berada di samping pasien dan
memberi fiksasi pada tungkai atas sedekat mungkin dengan lutut
kemudian pasien diminta untuk menekuk lutut (fleksi) dan meluruskan
lutut (ekstensi) dilakukan 8 kali.

Gambar 8. Free Active Movement pada sendi lutut


c. Ressisted active exercise
Resisted active exercise yaitu gerak aktif dengan tahanan dari luar
terhadap gerakan yang dilakukan oleh pasien. Tahanan dapat berasal dari
terapis, pegas maupun dari pasien itu sendiri. Salah satu cara untuk
meningkatkan kekuatan otot adalah dengan meningkatkan tahanan secara
bertahap. Latihan ini dilakukan pada hari keempat sampai hari keenam.
Posisi pasien duduk ongkang-ongkang. Terapis berada di samping pasien,
satu tangan memfiksasi tungkai atas bagian distal sedekat mungkin dengan
lutut dan satu tangan memberi tahanan pada tungkai bawah. Pasien
diminta meluruskan lututnya kemudian terapis memberi tahanan ke arah
fleksi, selanjutnya pasien diminta untuk menekuk lututnya kemudian
terapis memberi tahanan ke arah ekstensi. Gerakan ini dilakukan 5-10 kali
pengulangan .

Gambar 9. Resisted active exercise pada sendi lutut


d. Latihan duduk
1) Latihan duduk Long Sitting
Posisi awal pasien tidur terlentang satu tangan terapis diletakkan di
punggung pasien. Untuk menahan agar tidak jatuh, pasien diminta
bangun dengan kedua siku sebagai tumpuan, kemudian kedua telapak
tangan pasien menumpu setelah badan condong ke belakang/posisi long
sitting, kedua tangan menumpu ke belakang badan.
Gambar 10. Duduk long sitting
2) Latihan duduk menggantung
Posisi awal pasien duduk half lying dengan long sitting, terapis berdiri
disamping pasien, tungkai kanan yang sehat disuruh menekuk. Kedua
tangan sebagai tumpuan dan terapis menyangga tungakai yang cidera.
Dan pelan-pelan pasien disuruh menggeser pantatnya, terapis membawa
tungkai kedua tungkai kesamping bed sampai kedua lutut di tepi bed
kedua tangan pasien menumpu untuk menyangga tubuh, kemudian
kedua tungkai dalam keadaan menggantung.

Gambar 11. Duduk ongkang-ongkang


e. Latihan jalan
Latihan jalan dengan menggunakan kruk atau walker dapat
memperbaiki aktifitas fungsional jalan. Sebelum latihan jalan pasien
diberikan latihan transfer secara bertahap mulai dari posisi tidur terlentang
ke posisi duduk, duduk ke berdiri. Pada saat duduk dan berdiri diberikan
latihan keseimbangan yaitu dengan memberi dorongan ke depan,
belakang, samping kanan dan kiri. Latihan jalan bisa dimulai dari tingkat
yang paling aman yaitu dengan walker yang mempunyai stabilitas lebih
tinggi daripada kruk. Apabila dengan walker kemampuan jalan penderita
mulai meningkat kemudian dapat diganti dengan kruk. Latihan jalan
dilakukan tanpa menumpu berat badan (non weight bearing) yaitu kaki
yang sehat menumpu sedang kaki yang sakit tidak menumpu dan dengan
metode swing yang terdiri dari swing to dan swing trough. Swing to yaitu
kedua kruk maju kemudian diikuti kedua kaki diayunkan ke depan dengan
posisi kaki saat menumpu sejajar dengan kedua kruk. Swing trough yaitu
kedua kruk maju kemudian diikuti kedua kaki diayunkan ke depan dengan
posisi kaki saat menumpu melewati kruk. Latihan jalan pertama kali
diberikan dengan jarak yang dekat seperti di sekitar tempat tidur baru
kemudian ditambah dengan jarak yang lebih jauh bertahap dari hari ke
hari. Pasien diminta untuk tetap berjalan seperti yang diajarkan terapis
yaitu tanpa menumpu berat badan sampai menunggu jadwal kontrol ke
dokter dimana hasil dari kontrol tersebut menjadi pertimbangan apakah
pasien diperbolehkan partial weight bearing (setengah menumpu berat
badan) atau weight bearing sekaligus.
DAFTAR PUSTAKA

Apley, A. Graham. 1995. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley. Jakarta:
Widya Medika.
Avruskin, Andra. 2013. Femur Fracture.
https://www.moveforwardpt.com/SymptomsConditionsDetail.aspx?
cid=f85bbe8f-685c-43bf-bb51-9bc43dd8fb01 [Diakses pada 23 Oktober
2018].
Black, J.M, et al. 1995. Luckman and Sorensen’s Medikal Nursing : A Nursing
ProcessApproach, 4 th Edition. New York: W.B. Saunder Company.
Bulechek, G. M., H. K. Butcher, J. M. Dochteman, C. M. Wagner. 2015. Nursing
Interventions Classification (NIC). Edisi 6. Jakarta: EGC.
Bulechek, G. M., H. K. Butcher, J. M. Dochteman, C. M. Wagner. 2015. Nursing
Outcomes Classification (NOC). Edisi 6. Jakarta: EGC.
Carpenito, L.J. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisis 13. Jakarta:
EGC.
De Jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Egol, K.A., Koval, K.J., Zuckerman, J.D. 2010. Handbook of Fractures.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Herdman, T.H. dan S. Kamitsuru. (Ed). 2018. NANDA Internasional Diagnosis
Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2018-2020, Ed. 11. Terjemahan
oleh Budi Anna Keliat et al. Jakarta: EGC.
Hoppenfield, Stanley. 2011. Treatment and Rehabilitation of Fractures. Jakarta:
EGC.
Mansjoer, Arif, et al. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid II. Jakarta: Medika
Aesculapius FK UI.
Moorhead., Johnson., Maas., & Swanson. 2013. Nursing Outcomes Classification
(NOC). Fifth Edition. USA: Mosby.
Morrison, M.J. 2003. Manajemen Luka alih bahasa Tyasmono A. F. Jakarta: EGC.
Mukhopadhyay, S., Mukhopadhyay J., Sengupta S., dan Ghosh B. 2016.
Approach to Pathological Fracture-Physician’s Perspective. Austin
Internal Medicine. 1(3): 1-9.
Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan.
Sistem Pernafasan. Jakarta : Salemba Medika.
Nurafif, A. H. dan H. Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Bersarkan
Diagnosa Medis & NANDA NIC NOC. Edisi MediAction. Yogyakarta.
Obaidurrahman, Adnan R.M., Khan R., et al. 2013. Pattern of Femoral Fractures.
Journal of Rawalpindi Medical College. 17-42.
Pearce, Evelyn C. 2015. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Rasjad, C. 2007. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: Yarsif Watampone.
Reksoprodjo, S. 2009. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara
Publisher.
Romeo, M. Nicholas. 2018. Femur Injuries and Fracture.
https://emedicine.medscape.com/article/90779-overview#a7 [Diakses pada
23 Oktober 2018].
Roockwood, C. A. dkk. 1991. Fractures in Adults. J. B Lipincott Company
Smeltzer, S. C., dan Bare, B. G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah
Brunner & Suddarth.Edisi 8 Volume 2. Jakarta: EGC.
Torbert, J.T. & R.D. Lackman. 2011. Fractures in the Elderly: A Guide to
Practical Management. Humana Press.
World Health Organization. Global Health Observatory Data Repository. 2011.
http://apps.who.int/gho/data/?theme=main. [diakses pada tanggal 23
Oktober 2018].

Anda mungkin juga menyukai