Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN OSTEOSARKOMA


DI RUANG 17 IRNA II RUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr. SAIFUL
ANWAR MALANG

Oleh
Rega Estu Kusumawati, S.Kep
NIM 192311101133

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan pada Pasien dengan Kasus Osteosarcoma dan Asuhan


Keperawatan pada Pasien dengan kasus Osteosarcoma di Ruang 17 Dr. Saiful
Anwar Malang telah di setujui dan disahkan pada :

Hari :

Tanggal :

Malang, Januari 2020

Mahasiswa

Rega Estu K, S.Kep

NIM 192311101133

Pembimbing Akademik, Pembimbing Klinik,

Stase Keperawatan Bedah Ruang 12 HCU

Fkep Universitas Jember RSUD dr. Saiful Anwar

(Ns. Siswoyo, S.Kep., M.Kep) (Andre Bernedy )


1. Anatomi Tulang

Gambar 1. Struktur Tulang


Tulang terdiri dari sel-sel yang berada pada ba intra seluler. Tulang berasal
dari embryonic hyaline cartilage yang mana melalui proses osteogenesis
menjadi tulang. Proses ini dilakukan oleh sel-sel yang disebut osteoblast.
Proses mengerasnya tulang akibat penimbunan garam kalsium.
Dalam tubuh manusia terdapat 206 tulang yang dapat diklasifikasikan dalam
5 kelompok berdasarkan bentuknya, antara lain :
a. Tulang panjang (femur, humerus) yang terdiri dari batang tebal panjang
yang disebut diafisis dan dua ujung yang disebut epifisis. Disebelah
proksimal dari epifisis terdapat metafisis. Di antara epifisis dan metafisis
terdapat daerah tulang rawan yang tumbuh, yang disebut lempeng epifisis
atau lempeng pertumbuhan. Tulang panjang tumbuh karena akumulasi
tulang rawan di lempeng epifisis. Tulang rawan digantikan oleh sel-sel
tulang yang dihasilkan oleh osteoblast, dan tulang memanjang. Batang
dibentuk oleh jaringan tulang yang padat. Epifisis dibentuk oleh spongy
bone (cancellous atau trabecular). Pada akhir tahun-yahun remaja tulang
rawan habis, lempeng epifisis berfusi, dan tulang berhenti tumbuh. Hormone
pertumbuhan, estrogen, dan testosterone merangsang pertumbuhan tulang
panjang. Estrogen, bersama dengan testosterone, merangsang fusi lempeng
epifisis. Batang suatu tulang panjang memiliki rongga yang disebut kanalis
medularis. Kanalis medularis berisi sum sum tulang.
b. Tulang pendek (carpals) dengan bentuk yang tidak teratur, dan inti dari
cancellous (spongy) dengan suatu lapisan luar dari tulang yang padat.
c. Tulang pendek datar (tengkorak) terdiri atas dua lapisan tulang padat dan
tulang concellous sebagai lapisan luarnya.
d. Tulang yang tidak beraturan (vertebrata) sama seperti dengan tulang
pendek.
e. Tulang sesamoid merupakan tulang kecil, yang terletak disekitar tulang
yang berdekatan dengan persendian dan di dukung oleh tendon dan
jaringan fasial, misalnya patella, (cap lutut).

Tulang tersusun atas sel, matriks protein dan deposit mineral. Sel-selnya
terdiri atas 3 jenis dasar, yaitu : osteoblast, osteosit dan osteoklast. Osteoblast
berfungsi dalam pembentukan tulang dengan mensekresikan matriks tulang.
Adapun matrik tersusun atas 98% kolagen dan 2% subtansi dasar
(glukosaminoglikan, asam polisakardia) dan proteoglikan. Matriks merupakan
kerangka dimana garam-garam mineral anorganik ditimbun.
Selanjutnya, osteofit adalah sel dewasa yang terlibat dalam pemeliharaan
fungsi tulang dan terletak dalam osteon (unit matriks tulang). Sementara
osteoklas adalah sel multinuclear (berinti banyak) yang berperan dalam
penghancuran, resorpsi dan remosdeling tulang.
Osteon merupakan unik fungsional mikrokopis tulang dewasa. Di tengah
osteon terdapat kapiler. Di kelilingi kapiler tersebut merupakan matriks
tulangyang di namakan lamella. Di dalam lamella terdapat osteosit, yang
memperoleh nutrisi melalui prosesus yang berlanjut kedalam kanalikuli yang
halus (menghubungkan pembuluh darah sejauh kurang dari 0,1 mili miter).
Tulang diselimuti oleh membrane fibrous padat yang dinamakan
periosteum. Periosteum member nutrisi ketulang dan memungkinkannya
tumbuh, selain sebagai tempat perlekatan tendon dan ligament. Periosteum
mengandung saraf, pembuluh darah, dan limfatik. Lapisan yang paling dekat
dengan tulang mengandung osteoblast, yang merupakan sel pembentuk tulang.
Endosteum adalah membrane vaskuler tipis yang menutupi rongga sumsum
tulang panjang dan rongga-rongga dalm tulang kanselus. Osteoklast, yang
elarutkan tulang untuk memlihara tulang sumsum, terletak rongga endosteum
dan dalam lacuna hoeship (cekungan pada permukaan tulang).
Struktur tulang dewasa terdiri dari 30% bahan organic (hidup) dan 70%
endapan garam. Bahan organic disebut matriks, dan terdiri dari lebih dari 90%
serat kolagen dan kurang dari 10% proteoglikan (protein plus sakarida).
Deposit garam terutama adalah kalsium dan fosfat, dengan sedikit natrium,
kalium karbonat, dan ion magnesium. Garam-garam menutupi matriks dan
berkaitan dengan serat kolagen melalui proteoglikan. Adanya bahan organic
menyebabkan tulang memiliki kekuatan tensif (resistensi terhadap tarikan yang
meregangkan). Sedangkan garam-garam menyebabkan tulang memiliki
kekuatan kompresi (kemampuan menahan tekanan).
Pembentukan tulang berlangsung secara terus menerus dan dapat berupa
pemanjangan dan penebalan tulang. Kecepatan pembentukan tulang berubah
selama hidup. Pembentukan tulang ditentukan oleh rangsangan hormone,
factor makanan, dan jumlah sters yang dibebankan pada suatu tulang, dan
terjadi akibat aktivitas sel-sel pembentuk tulang yaitu osteoblast.
Osteoblas dijumpai di permukaan luar dan dalam tulang. Osteoblas
berespon terhadap berbagai sinyal kimiawi untuk menghasilkan matriks tulang.
Sewaktu pertama kali dibentuk, matriks tulang disebut osteoid. Dalam
beberapa hari garam-garam kalsium mulai mengendap pada osteoid dan
mengeras selama beberapa minggu atau bulan berikutnya. Sebagian osteoblast
tetap menjadi bagian dari osteoid, dan disebut osteosit atau sel tulang sejati.
Seiring dengan terbentuknya tulang, osteosit di matriks membentuk tonjolan-
tonjolan yang menghubungkan osteosit satu dengan osteosit lainnya
membentuk suatu sistem saluran mikroskopik di tulang.
Kalsium adalah salah satu komponen yang berperan terhadap tulang,
sebagian ion kalsium di tulang tidak mengalami kristalisasi. Garam non Kristal
ini dianggap sebagai kalsium yang dapat di pertukarkan, yaitu dapat di
pindahkan dengan cepat antara tulang, cairan interstisium, dan darah.
Sedangkan penguraian tulang disebut absorpsi, terjadi secara bersamaan
dengan pembentukan tulang. Penyerapan tulang teradi karena aktivitas sel-sel
yang disebut osteoklast. Osteoklast adalah sel fagositik multinukleus besar
yang berasal dari sel-sel mirip monosit yang terdapat di tulang. Osteoklast
tampaknya mengeluarkan berbagai asam dan enzim yang mencerna tulang dan
memudahkan fogositosis. Osteoklas biasanya terdapat pada hanya sebagian
kecil dari potongan tulang, dan memfagosit tulang sedikit demi sedikit. Setelah
selesai disuatu daerah, osteoklas menghilang dan muncul osteoblast. Osteoblast
mulai mengisi daerah yang kosong tersebut dengan tulang baru. Proses ini
memungkinkan tulang tua yang telah melemah diganti dengan tulang baru yang
lebih kuat.
Keseimbangan antara aktivitas osteoblast dan osteoklas menyebabkan
tulang terus menerus diperbarui atau mengalami remodeling. Pada anak dan
remaja, aktivitas osteoblast melebihi osteoklas, sehingga kerangka menjadi
paling panjang dan menebal. Aktivitas osteoklas juga melebihi aktivitas
osteoklas pada tulang yang pulih dari fraktur. Pada orang dewasa muda,
aktivitas osteoblast dan osteoklas biasanya setara, sehingga jumlah total masa
tulang konstan. Pada pertengahan, aktivitas osteoblast melebihi osteoklas dan
kepadatan tulang mulai berkurang. Aktivitas osteoklas juga meningkat pada
tulang-tulang yang mengalami imobilasi. Pada usia decade ketujuh atau ke
delapan, dominasi aktivitas osteoklas dapat menyebabkan tulang menjadi rapuh
sehingga mudah patah. Aktivitas osteoblast dan osteoklas dikontrol oleh
beberapa factor fisik dan hormone.
Factor-faktor yang mengontrol aktivitas osteoblast dirangsang oleh olah
raga dan stress beban akibat arus listrik yang terbnetuk sewaktu stress
mengenai tulang. Fraktur tulang secara drastic merangsang aktivitas osteoblast,
tetapi mekanismenya belum jelas. Estrogen, testosterone, dan hormone
pertumbuhan adalah promoter kuat bagi aktivitas osteoblast dan pertumbuhan
tulang. Pertumbuhan tulang dipercepat semasa pubertas akibat melonjaknya
kadar hormone-hormon tersebut. Estrogen dan testosterone akhirnya
menyebabkan tulang-tulang panjang berhenti tumbuh dengan merangsang
penutupan lempeng efisis (ujung pertumbuhan tulang). Sewaktu kadar estrogen
turun pada masa menapouse, aktivitas osteoblast berkurang. Defisiensi
hormone pertumbuhan juga mengganggu pertumbuhan tulang.
Vitamin D dalam jumlah keci merangsang klasifikasi tulang secara langsung
dengan bekerja pada osteoblast dan secara tidak langsung dengan merangsang
penyerapan kalsium di usus. Hal ini meningkatkan konsentrasi kalsium darah,
yang mendorong klasifikasi tulang. Namun, vitamin D dalam jumlah besar
meningkatkan kadar kalsium serum dengan meningkatkan penguraian tulang.
Maka, vitamin D dalam jumlah besar tanpa diimbangi kalsium yang adekuat
dalam makanan akan menyebabkan absorpsi tulang.

Gambar 2. Distribusi Osteosarkoma


2. Definisi Osteosarkoma
Osteosarkoma adalah tumor ganas tulang primer yang berasal dari sel
mesenkimal primitif yang memproduksi tulang dan matriks osteoid. Osteosarkoma
disebut juga osteogenik sarcoma adalah suatu neoplasma ganas yang berasal dari
sel primitive (poorly differentiated cells) di daerah metafise tulang panjang. Disebut
osteogenik oleh karena perkembangannya berasal dari seri osteoblastik sel
mesenkim primitif. Osteosarkoma merupakan neoplasma primer dari tulang yang
tersering setelah myeloma multiple. Osteosarkoma biasanya terdapat pada metafisis
tulang panjang di mana lempeng pertumbuhannya (epiphyseal growth plate) sangat
aktif, yaitu pada distal femur, proksimal tibia dan fibula, proksimal humerus dan
pelvis (Bielack, 2009). Osteosarkoma adalah suatu lesi ganas pada sel mesenkim
yang mempunyai kemampuan untuk membentuk osteoid atau tulang yang imatur.

3. Etiologi Osteosarkoma
Adapun faktor predisposisi yang dapat menyebabkan osteosarkoma antara
lain:

1. Trauma Osteosarkoma dapat terjadi beberapa bulan atau beberapa tahun


setelah terjadinya trauma. Walaupun demikian trauma ini tidak dapat dianggap
sebagai penyebab utama karena tulang yang fraktur akibat trauma ringan
maupun parah jarang menyebabkan osteosarkoma.

2. Ekstrinsik karsinogenik Penggunaan substansi radioaktif dalam jangka


waktu lama dan melebihi dosis juga diduga merupakan penyebab terjadinya
osteosarkoma ini. Salah satu contoh adalah radium. Radiasi yang diberikan
untuk penyakit tulang seperti kista tulang aneurismal, fibrous displasia, setelah
3-40 tahun dapat mengakibatkan osteosarkoma.

3. Karsinogenik kimia Ada dugaan bahwa penggunaan thorium untuk


penderita tuberkulosis mengakibatkan 14 dari 53 pasien berkembang menjadi
osteosarkoma.

4. Virus Penelitian tentang virus yang dapat menyebabkan osteosarkoma baru


dilakukan pada hewan, sedangkan sejumlah usaha untuk menemukan
onkogenik virus pada osteosarkoma manusia tidak berhasil. Walaupun
beberapa laporan menyatakan adanya partikel seperti virus pada sel
osteosarkoma dalam kultur jaringan.

Penyebab osteosarkoma secara umum tidak diketahui. Osteosarkoma yang


tidak diketahui penyebabnya merupakan osteosarkoma primer, sedangkan
osteosarkoma sebagai akibat keadaan lainnya merupakan osteosarkoma sekunder.
Osteosarkoma sekunder misalnya terjadi pada penderita Paget disease, dysplasia
fibrosa, radiasi ionisasi eksternal atau adanya riwayat makan atau terpapar zat
radioaktif. Dikatakan beberapa virus dapat menimbulkan osteosarkoma pada hewan
percobaan. Radiasi ion dikatakan menjadi 3% penyebab langsung osteosarkoma,
begitu pula alkylatingagent yang digunakan pada kemoterapi (Errol, 2005).

Adanya hubungan kekeluargaan menjadi suatu predisposisi pada kejadian


osteosarkoma, begitu pula adanya hereditary retinoblastoma dan sindroma Li-
Fraumeni. Lokasi tumor dan usia penderita pada saat pertumbuhan pesat dari tulang
memunculkan perkiraan adanya pengaruh usia dan predileksi dalam patogenesis
osteosarkoma (Patterson, 2008).

Belakangan ini dikatakan ada dua tumor suppressor gene yang berperan
secara signifikan terhadap tumor igenesis pada osteosarkoma, yaitu protein p53
(kromosom 17) dan Rb (kromosom 13) (Patterson, 2008).

4. Klasifikasi dan Stadium Osteosarkoma


Berdasarkan atas gradasi, lokasi, jumlah dari lesinya, penyebabnya, maka
osteosarkoma dibagi atas beberapa klasifikasi atau variasi yaitu:

a. Klasifikasi

1. Osteosarkoma klasik, Osteosarkoma klasik merupakan tipe yang paling


sering dijumpai. Tipe ini disebut juga osteosarkoma intrameduler derajat
tinggi (High-Grade Intramedullary Osteosarcoma). Tipe ini sering terdapat
di daerah lutut pada anak-anak dan dewasa muda. Terbanyak pada
distalfemur.Sangat jarang ditemukan pada tulangkecil di kaki maupun di
tangan, begitu juga pada kolumna vertebralis. Apabila terdapat pada kaki
biasanya mengenai tulang besar pada kaki bagian belakang (hindfoot), yaitu
pada tulang talus dan calcaneus dengan prognosis yang lebih jelek (Errol,
2005).
2. Osteosarkoma hemoragi atau telangektasis, Pada plain radiografi kelihatan
gambaran lesi yang radiolusen dengan sedikit kalsifikasi atau pembentukan
tulang.Dengan gambaran seperti ini sering dikelirukan dengan lesi benigna
pada tulang seperti aneurysmal bone cyst. Terjadi pada umur yang sama
dengan klasik osteosarkoma. Tumor ini mempunyai derajat keganasan yang
sangat tinggi dan sangat agresif.
3. Parosteal osteosarkoma, Parosteal osteosarkoma yang tipikal ditandai
dengan lesi pada permukaan tulang, dengan terjadinya diferensiasi derajat
rendah dari fibroblas dan membentuk woven bone atau lamellar bone.
Biasanya terjadi pada umur lebih tua dari osteosarkoma klasik, yaitu pada
umur 20 sampai 40 tahun. Bagian posterior dari distal femur merupakan
daerah predileksi yang paling sering, selain bisa juga mengenai tulang-
tulang panjang lainnya.
4. Periosteal osteosarkoma, Periosteal osteosarkoma merupakan osteosarkoma
derajat sedang (moderate-grade) yang merupakan lesi pada permukaan
tulang bersifat kondroblastik, dan sering terdapat pada daerah proksimal
tibia. Sering juga terdapat pada diafise tulang panjang seperti pada femur
dan bahkan bisa pada tulang pipih seperti mandibula.
5. Osteosarkoma sekunder, Osteosarkoma dapat terjadi dari lesi jinak pada
tulang, yang mengalami mutasi sekunder dan biasanya terjadi pada umur
lebih tua. Dapat berasal dari Paget’s disease, osteoblastoma, fibous
dysplasia, dan benigngiant cell tumor. Contoh klasik dari osteosarkoma
sekunder adalah yang berasal dari Paget’s disease yangdisebut pagetic
osteosarcomas (Bielack, 2009).
6. Osteosarkoma intrameduler derajat rendah, Tipe ini sangat jarang dan
merupakan variasiosseofibrous derajat rendah yang terletak intrameduler.
Secara mikroskopik gambarannya mirip dengan parosteal osteosarkoma.
Lokasinya pada daerah metafise tulang dan terbanyak pada daerah lutut.
Penderita biasanya mempunyai umur yang lebih tua yaitu antara 15 –
65tahun, mengenai laki-laki dan wanita hampir sama. Pada pemeriksaan
radiografi, tampak gambaran sklerotik pada daerah intrameduler metafise
tulang panjang. Seperti pada parosteal osteosarkoma, osteosarkoma tipe ini
mempunyai prognosis yang baik dengan hanya melakukan lokal eksisi saja.
7. Osteosarkoma akibat radiasi, Osteosarkoma bisa terjadi setelah
mendapatkan radiasi melebihi dari 30Gy. Onsetnya biasanya sangat lama
berkisar antara 3 - 35 tahun, dan derajat keganasannya sangat tinggi dengan
prognosis jelekdan angka metastase yang tinggi.
8. Multifokal osteosarkoma, Disebut juga multifokal osteosarkoma. Variasi ini
sangat jarang yaitu terdapatnya lesi tumor yang secara bersamaan pada lebih
dari satu tempat. Hal ini sangat sulit membedakan apakah sarkoma memang
terjadi bersamaan pada lebih dari satu tempat atau lesi tersebut merupakan
suatu metastase. Ada dua tipe yaitu tipeSynchronous dimana terdapatnya
lesi secara bersamaan pada lebih dari satu tulang, sering terdapat padaanak-
anak dan remaja dengan tingkat keganasan yang sangat tinggi dan tipe
Metachronousyang terdapat pada orang dewasa dimana terdapat tumorpada
tulang lain setelah beberapa waktu atau setelah pengobatan tumor pertama.
Pada tipe ini tingkat keganasannya lebih rendah (Errol,2005).

b. Stadium

Sistem stadium tumor tulang yang digunakan adalah sistem yang


dikembangkan oleh Musculoskeletal Tumor Society (Enneking) dan sistem
TNM (AJCC-UICC). Yang dianut saat ini adalah sistem Enneking. Sistem yang
dikembangkan oleh Enneking et al. adalah membagi stadium tumor berdasarkan
tingkat (grade=G), letak tumor (T) dan adanya metastasis (M). Tingkat terdiri
dari jinak (G0), ganas tingkat rendah (G1) dan ganas tingkat tinggi (G2). Letak
tumor menilai terhadap adanya tumor dalam kompartemen atau di luar
kompartemen tulang, yaitu bila tumor hanya berada dalam kompartemen maka
dimasukkan dalam klasifikasi intrakompartemen (T1), sedangkan bila tumor
telah melewati tulang dan meluas ke jaringan lunak sekitarnya diklasifikasikan
sebagai ekstrakompartemen (T2). Metastasis dibagi menjadi dua keadaan yaitu
tanpa metastasis (M0) dan dengan metastasis (M1). Jika tampak adanya
metastasis limfonodi maka staging menjadi metastasis jauh. Sistem Enneking
ini menggabungkan gambaran histologis, radiologis (sistem tingkat Lodwick)
dan temuan klinis.

Gambar 3. Stadium Osteosarkoma

Staging sistem ini sangat berguna dalam perencanaan strategi, perencanaan


pengobatan dan memperkirakan prognosis dari osteosarkoma tersebut
(Enneking, 2003).

5. Manifestasi Klinis Osteosarkoma


Umumnya gejala klinik terjadi beberapa minggu sampai bulan setelah
timbulnya penyakit ini. Gejala awal relatif tidak spesifik seperti nyeri dengan atau
tanpa teraba massa. Nyeri biasanya dilukiskan sebagai nyeri yang dalam dan hebat,
yang dapat dikelirukan sebagai peradangan. Pemeriksaan fisik mungkin terbatas
pada massa nyeri, keras, pergerakan terganggu, fungsi normal menurun, edema,
panas setempat, teleangiektasi, kulit diatas tumor hiperemi, hangat, edema, dan
pelebaran vena. Pembesaran tumor secara tiba-tiba umumnya akibat sekunder dari
perdarahan dalam lesi. Fraktur patologik terjadi pada 5-10% kasus.

6. Pemeriksaan Penunjang Osteosarkoma


1. Radiografi konvensional Merupakan pemeriksaan radiologi pertama pada
kasus-kasus osteosarkoma.
a. Osteosarkoma konvensional menunjukkan lesi litik moth eaten atau
permeatif, lesi blastik, destruksi korteks, reaksi periosteal tipe agresif (segi
tiga Codman, sunburst, hair on end), massa jaringan lunak, dan formasi
matriks (osteoid maupun campuran osteoid dan khondroid).
b. Osteosarkoma parosteal menunjukkan massa eksofitik berlobulasi dengan
kalsifikasi sentral berdensitas tinggi, berlokasi di dekat tulang, kadang
disertai gambaran string sign. Osteosarkoma periosteal memperlihatkan
massa jaringan lunak dengan reaksi periosteal perpendikuler, erosi kortikal,
dan penebalan korteks.
c. High grade surface osteosarcoma menunjukkan ossifikasi berdensitas tinggi,
reaksi periosteal, erosi dan penebalan korteks. Dapat juga ditemukan invasi
intramedular.
d. Osteosarkoma telangiektatik memperlihatkan lesi litik geografik ekspansil
asimetrik, tepi sklerotik minimal dan destruksi korteks yang menunjukkan
pola pertumbuhan agresif. Dapat ditemukan fraktur patologik dan matriks
osteoid minimal.
e. Small cell osteosarcoma memperlihatkan lesi litik permeatif, destruksi
korteks, massa jaringan lunak, reaksi periosteal, serta kalsifikasi matriks
osteoid.
f. Low grade central osteosarcoma memperlihatkan lesi litik destruktif
ekspansil, disrupsi korteks, massa jaringan lunak dan reaksi periosteal.
Pasca kemoterapi, radiografi konvensional dapat digunakan untuk menilai
pengurangan ukuran massa, penambahan ossifikasi, dan pembentukan
peripheral bony shell. Foto x-ray thorax proyeksi AP/PA, untuk melihat
adanya metastasis paru dengan ukuran yang cukup besar,

2. Computed Tomography (CT) Scan Ct-scan dapat berguna untuk memperlihatkan


detil lesi pada tulang kompleks dan mendeteksi matriks ossifikasi minimal. Selain
itu dapat digunakan untuk mendeteksi metastasis paru. Kegunaan lain dari CT scan
adalah tuntunan biopsi tulang (CT guided bone biopsy). CT scan thoraks berguna
untuk mengidentifikasi adanya metastasis mikro pada paru dan organ thoraks.

3. Magnetic Resonance Imaging (MRI) MRI merupakan modalitas terpilih untuk


evaluasi ekstensi lokal tumor dan membantu menentukan manajemen bedah yang
paling sesuai. MRI dapat menilai perluasan massa ke intramedular (ekstensi
longitudinal, keterlibatan epifisis, skip lesion), perluasan massa ke jaringan lunak
sekitarnya dan intraartikular, serta keterlibatan struktur neurovaskular. Pemberian
kontras gadolinium dapat memperlihatkan vaskularisasi lesi, invasi vaskular, dan
area kistik atau nekrotik. Pasca kemoterapi, MRI digunakan untuk menilai ekstensi
massa dan penambahan komponen nekrotikintramassa. Dynamic MRI juga dapat
digunakan untuk menilai respon pasca kemoterapi.

4. Kedokteran Nuklir Bone scintigraphy digunakan untuk menunjukkan suatu skip


metastasis atau suatu osteosarkoma multisentrik dan penyakit sistemik

5. Biopsi Pemeriksaan histopatologi dilakukan dengan menggunakan biopsi jarum


halus (fine needle aspiration biopsy-FNAB) atau dengan core biopsy bila hasil
FNAB inkonklusif. FNAB mempunyai ketepatan diagnosis antara 70-90%.
Penilaian skor Huvos untuk mengevaluasi secara histologis respons kemoterapi
neoadjuvant.

6. Pemeriksaan lainnya

Pemeriksaan lainya sebagai penunjang, adalah fungsi organ-organ sebagai


persiapan operasi, radiasi maupun kemoterapi. Khususnya kemoterapi merupakan
pemberian sitostatika, bersifat sistemik baik khasiat maupun efek samping,
sehingga fungsi organ-organ harus baik. Disamping itu juga diperiksa adanya
komorbiditas yang aktif, sehingga harus diobati, atau dicari jalan keluarnya
sehingga penderita tidak mendapat efek samping yang berat, bahkan dapat
menyebabkan morbidatas, bahkan mungkin mortalitas pada waktu terekspose
kemoterapi (treatment related morbidity/mortality). Pemeriksaan tersebut: fungsi
paru, fungsi jantung (echo), fungsi liver , darah lengkap, termasuk hemostasis, D-
Dimer, fungsi ginjal, elektrolit, dan LDH sebagai cermin adanya kerusakan sel yang
dapat digunakan sebagi prognosis. Pada waktu tindakan, fungsi organ yang relevan
harus dapat toleran terhadap tindakan tersebut.

7. Penatalaksanaan Osteosarkoma
Belakangan ini osteosarkoma mempunyai prognosis yang lebih baik,
disebabkan oleh prosedur penegakan diagnosis dan staging dari tumor yang
lebih baik, begitu juga dengan adanya pengobatan yang lebih canggih.
Dalam penanganan osteosarkoma modalitas pengobatannya dapat dibagi
atas dua bagian yaitu dengan kemoterapi dan dengan operasi.

1. Kemotrapi

Kemoterapi merupakan pengobatan yang sangat vital pada


osteosarkoma, terbukti dalam 30 tahun belakangan ini dengan kemoterapi
prosedur operasi penyelamatan ekstremitas (limb salvage procedure)
menjadi lebih mudah dan meningkatkan urvival rate dari penderita.
Kemoterapi juga mengurangi metastase ke paru-paru dan sekalipun ada,
mempermudah melakukan eksisi pada metastase tersebut. Regimen standar
kemoterapi yang dipergunakan dalam pengobatan osteosarkoma adalah
kemoterapi preoperative yang disebut juga dengan induction chemotherapy
atau neoadjuvant chemotherapy dan kemoterapi postoperatif yang disebut
juga dengan adjuvant chemotherapy(Salter, 1999). Kemoterapi preoperatif
merangsang terjadinya nekrosis pada tumor primernya, sehingga tumor
akan mengecil. Selain itu akan memberikan pengobatan secara dini
terhadap terjadinya mikro-metastase.Keadaan ini akan membantu
mempermudah melakukan operasi reseksi secara luas dari tumor dan
sekaligus masih dapat mempertahankan ekstremitasnya. Pemberian
kemoterapi post operatif paling baik dilakukan secepat mungkin sebelum
mencapai 3 minggu setelah operasi. Obat-obat kemoterapi yang mempunyai
hasil cukup efektif untuk osteosarkoma adalah: doxorubicin (Adriamycin¨),
cisplatin (Platinol¨), ifosfamide (Ifex¨), mesna (Mesnex¨), dan methotrexate
dosis tinggi (Rheumatrex¨) (Ta, 2009).

Protokol standar yang digunakan adalah doxorubicin dan cisplatin


dengan atau tanpa methotrexate dosis tinggi. Ini diberikan sebagai terapi
induksi atau terapi adjuvant. Kadangkadang dapat ditambah dengan
ifosfamide. Dengan menggunakan pengobatan multi-agent dengan dosis
yang intensif, terbukti memberikan perbaikan terhadap survival rate hingga
60 - 80% (Ta, 2009).

2. Operasi

Saat ini prosedur limb salvage merupakan tujuan yang diharapkan dalam
operasi suatu osteosarkoma. Maka dari itu melakukan reseksi tumor dan
melakukan rekonstruksinya kembali dan mendapatkan fungsi yang
memuaskan dari ekstremitas merupakan salah satu keberhasilan dalam
melakukan operasi. Dengan memberikan kemoterapi preoperatif,
melakukan operasi mempertahankan ekstremitas (limb-sparing resection)
dan sekaligus melakukan rekonstruksi akan lebih aman dan mudah sehingga
amputasi tidak perlu dilakukan pada 90 sampai 95% dari penderita
osteosarkoma. Dalam penelitian terbukti tidak terdapat perbedaan survival
rate antara operasi amputasi dengan limb-sparing resection. Amputasi
terpaksa dikerjakan apabila prosedur limb-salvage tidak dapat atau tidak
memungkinkan lagi dikerjakan. Setelah melakukan reseksi tumor, terjadi
kehilangan cukup banyak dari tulang dan jaringan lunaknya, sehingga
memerlukan kecakapan untuk merekonstruksi kembali dari ekstremitas
tersebut (Ta, 2009).
Biasanya untuk rekonstruksi digunakan endo-prostesis dari metal.
Prostesis ini memberikan stabilitas fiksasi yang baik sehingga penderita
dapat menginjak (weight-bearing) dan mobilisasi secara cepat, memberikan
stabilitas sendi yang baik, dan fungsi dari ekstremitas yang baik dan
memuaskan. Endoprostesis metal dapat meminimalisasi komplikasi post
operasi dibanding dengan menggunakan bone graft.

3. Follow-up Post-operasi

Post operasi dilanjutkan pemberian kemoterapiobat multiagent seperti


pada sebelum operasi. Setelahpemberian kemoterapi selesai maka
dilakukanpengawasan terhadap kekambuhan tumor secara lokal maupun
metastase dan komplikasi terhadap proses rekonstruksinya. Komplikasi
yangbiasa terjadi terhadap rekonstruksinya adalah: longgarnya prostesis,
infeksi, serta kegagalan mekanik. Pemeriksaan fisiksecara rutin pada lokasi
operasi maupun secarasistemik terhadap terjadinya kekambuhan tumor
lokal maupun wajib dilakukan adanya metastase (Ta, 2009).

Pembuatan plain-foto dan CT scandari lokal ekstremitasnya maupun


pada paru-paru merupakan hal yang harus dikerjakan. Pemeriksaan
inidilakukan setiap 3 bulan dalam 2 tahun pertama paska operasi dan setiap
6 bulan pada 5 tahun berikutnya.
8. Clinical Pathway

Virus onkogenik Sinar radioaktif trauma Herediter/keturunan

Kerusakan gen

Poliferasi sel tulang secara abnormal

neoplasma

osteosarkoma

Pembengkakan lokal Di dalam tulang Di permukaan tulang Kerusakan struktur tulang

Menekan ujung Tumbuh sampai jaringan lunak di Tulang lebih rapuh


syaraf sekitar tulang epifisis & tulang rawan
sendi Resiko fraktur
nyeri
Neoplasma tumuh ke
dalam sendi Resiko cedera

Jaringan lunak di
invasi oleh sel tumor

Reaksi tulang abnormal Gangguan citra tubuh

Respon osteolitik & Pengangkatan organ


respon osteobastik

Penimbunan
periosteum di sekitar
lesi

Pertumbuhan tulang
Pembedahan
yang abortif/abnormal

Hambatan mobilisasi

Terputusnya jaringan
9. Konsep Asuhan Keperawatan

Pengkajian
1) Data biografi
Kanker tulang (osteosarkoma) lebih sering menyerang kelompok usia 15 – 25 tahun
(pada usia pertumbuhan). (Smeltzer. 2001: 2347). Rata-rata penyakit ini
terdiagnosis pada umur 15 tahun. Angka kejadian pada anak laki-laki sama dengan
anak perempuan.Tetapi pada akhir masa remaja penyakit ini lebih banyak di
temukan pada anak laki-laki. Sampai sekarang penyebab pasti belum diketahui.
(Ekayuda, L:1999).
2) Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
 Nyeri dan atau pembengkakan ekstremitas yang terkena (biasanya menjadi
semakin parah pada malam hari dan meningkat sesuai dengan
progresivitas penyakit).
 Fraktur patologik.
 Pembengkakan pada atau di atas tulang atau persendian serta pergerakan
yang terbatas. ( Gale. 1999: 245 )
 Teraba massa tulang dan peningkatan suhu kulit di atas massa serta adanya
pelebaran vena.
 Gejala-gejala penyakit metastatik meliputi nyeri dada, batuk, demam,
berat badan menurun dan malaise. ( Smeltzer. 2001: 2347 )
b. Riwayat kesehatan dahulu
 Kemungkinan pernah terpapar dengan radiasi sinar radio aktif dosis tinggi.
 Keturunan
 Beberapa kondisi tulang yang ada sebelumnya seperti penyakit paget
(akibat pajanan radiasi). (Smeltzer. 2001: 2347)
c. Riwayat kesehatan keluarga
Kemungkinan ada salah seorang keluarga yang pernah menderita kanker.
3) Pemeriksaan fisik
AKTIFITAS / ISTIRAHAT :
Gejala : Kelemahan dan atau keletiha.
Perubahan pada pola istirahat dan jam kebiasaan tidur pada malam hari;
adanya faktor-faktor yang mempengaruhi tidur misalnya, nyeri, ansietas,
berkeringat malam.
Keterbatasan partisipasi dalam hobi, latihan.
Pekerjaan atau profesi dengan pemajanan karsinogen lingkungan, tingkat
stres tinggi.
SIRKULASI :
Gejala : Palpitasi, nyeri dada pada pengerahan kerja.
Kebiasaan : Perubahan pada TD
INTEGRITAS EGO :
Gejala : Faktor stres ( keuangan, pekerjaa, perubahan peran) dan cara
mengatasi stres ( mis: Merokok, menunda mencari pengobatan, keyakinan
religius).
Masalah tentang perubahan dalam penampilan mis: alopesia, pembedahan.
Menyangkal diagnosis, perasan tidak berdaya, putus asa, tidak mampu,
tidak bermakna, kehilangan kontrol, depresi.
Tanda : Menyangkal, menarik diri, marah.
ELIMINASI :
Gejala : Perubahan pada pola devekasi mis: darah pada feses, nyeri pada
devekasi.
Tanda : Perubahan pada bising usus, distensi abdomen.
MAKANAN / CAIRAN :
Gejala : Kebiasaan diet buruk ( mis: rendah serat, tinggi lemak adiktif)
Anoreksia, mual/muntah, Perubahan pada berat badan, berkurangnya
massa otot
Tanda : perubahan pada turgor kulit/kelembaban; edema.
NEUROSENSORI :
Gejala : pusing; sinkope.
NYERI ATAU KENYAMANAN :
Gejala : Tidak ada nyeri atau derajat bervariasi mis; ketidaknyamanan
ringan sampai nyeri berat.
PERNAFASAN :
Gejala : Merokok ( tembakau, mariyuana, hidup dengan seseorang
yang merokok). Pemajanan abses.
KEAMANAN :
Gejala : Pemajanan pada kimia toksin, karsinogen.
Pemajanan matahari lama/ berlebihan
Tanda : Demam, ruam kulit, ulserasi.
SEKSUALITAS :
Gejala : Masalah seksual misal; dampak pada hubungan, perubahan pada
tingkat kepuasan.
Nuligravida lebih besar dari usia 30 tahun.
Multigravida, pasangan seks multipel, aktivitas seksual dini.
INTERAKSI SOSIAL :
Gejala : Ketidak adekuatan / kelemahan sistem pendukung.
Riwayat perkawinan ( berkenan dengan kepuasan dirumah,
dukungan atau bantuan)
Masalah tentang fungsi / tanggung jawab peran.
PENYULUHAN ATAU PEMBELAJARAN :
Gejala : Riwayat kanker pada keluarga mis; ibu atau bibi dengan kanker.
Sisi primer: Penyakit primer, tangga ditemukan/ didiagnosis.
Riwayat pengobatan : pengobatan sebelumnya untuk tempat kanker
dan pengobatan yang diberikan.
4) Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan radiologis menyatakan adanya segitiga codman dan destruksi
tulang.
2. CT scan dada untuk melihat adanya penyebaran ke paru-paru.
3. Biopsi terbuka menentukan jenis malignansi tumor tulang, meliputi
tindakan insisi, eksisi,biopsi jarum, dan lesi- lesi yang dicurigai.
4. Skening tulang untuk melihat penyebaran tumor.
5. Pemeriksaan darah biasanya menunjukkan adanya peningkatan alkalin
fosfatase.
6. MRI digunakan untuk menentukan distribusi tumor pada tulang dan
penyebaran pada jaringan lunak sekitarnya.
7. Scintigrafi untuk dapat dilakukan mendeteksi adanya “skip lesion”,
5) Data Psikososial
Kaji adanya kecemasan, takut ataupun depresi.

Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubunga degan proses penyakit (kompresi/ destruksi
jaringan saraf, infiltrasi saraf/ suplai vaskulernya, inflamasi).
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka
neuromuskuler; nyeri / ketidaknyamanan; terapi destriktif (imobilisasi
tungkai).
3. Resiko cedera b.d kerusakan struktur tulang
4. Gangguan citra tubuh b/d kecacatan bedah, efeksamping kemoterapi atau
radio terapi.
A. Rencana Asuhan Keperawatan
no Diagnosa Keperawatan Tujuan Kriteria Hasil Intervensi
1 Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan 1. Mampu mengontrol nyeri Paint management
keperawatan selama 1X6 jam (tahu penyebab nyeri, 1. Kaji nyeri secara komprehensif
diharapkan nyeri dapat mampu menggunakan (lokasi, karakteristik, durasi,
berkurang tehnik nonfarmakologi frekuensi, kualitas, dan faktor
untuk mengurangi nyeri, presipitasi)
NOC: mencari bantuan) 2. Beri penjelasan mengenai
1. Pain level 2. Melaporkan bahwa nyeri penyebab nyeri
2. Pain control berkurang dengan 3. Observasi reaksi nonverbal dari
3. Comfort level menggunakan manajemen ketidaknyamanan
nyeri 4. Segera immobilisasi daerah
3. Mampu mengenali nyeri fraktur
(skala, intensitas, 5. Tinggikan dan dukung
frekuensi, dan tanda ekstremitas yang terkena
nyeri) 6. Ajarkan pasien tentang
4. Menyatakan rasa nyaman alternative lain untuk mengatasi
setelah nyeri berkurang dan mengurangi rasa nyeri
7. Ajarkan teknik manajemen stress
misalnya relaksasi nafas dalam
8. Kolaborasi dengan tim kesehatan
lain dalam pemberian obat
analgeik sesuai indikasi
2. Hambatan mobilitas fisik b/d Setelah dilakukan tindakan 1. Pasien meningkat dalam Exercise therapy: ambulation
keperawatan selama 2X24 jam aktivitas fisik 1. Kaji derajat immobilisasi yang
kerusakan rangka diharapkan pasien mampu 2. Mengerti tujuan dari dihasilkan oleh cidera
neuromuskuler, nyeri, terapi melakukan mobilitas fisik peningkatan mobilitas 2. Dorong partisipasi pada aktivitas
3. Memverbalisasikan terapeutik
restriktif (imobilisasi) NOC: perasaan dalam 3. Bantu pasien dalam rentang
1. Joint movement: active meningkatkan kekuatan gerak aktif atau pasif
2. Mobility level dan kemampuan 4. Ubah posisi secara periodik
3. Self care: ADL berpindah 5. Kolaborasi dengan ahli
4. Transfer performance 4. Memperagakan terapi/okupasi/rehabilitasi medis
penggunaan alat bantu
untuk mobilisasi
5.
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, Gloria M. et.al. 2013. Nursing Interventions Classification (NIC). Sixth


Edition. United Stated of Amerika: Elsevier Mosby.

Doengoes, M. E., Moorhouse, M. F., & Geissler, A. C. 2006. Rencana Asuhan


Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian
Perawatan Pasien. Jakarta: EGC

Guyton dan Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi II. Jakarta: EGC .

Herdman, T.H & Kamitsuru, S. (Eds). 2015. Nursing Diagnoses: Definition and
Classification 2015-2017. Oxford: Wiley Blackwell.

Moorhead, Sue. et.al. 2012. Nursing Outcomes Classification (NOC) Measurement


of Health Outcomes.Fifth Edition. United Stated of Amerika: Elsevier
Mosby.

Ngastiyah. 2014. Perawatan Anak Sakit Edisi ke 2. Jakarta : EGC

Nurarif, A.H & Kusuma, H. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Yogyakarta: MediAction
Publishing.

Price, S.A & Wilson, L.M. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit, Edisi 6, Volume 2. Jakarta: EGC.

Smeltzer, S. C. & Bare, B. G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah


Brunner Suddarth. Edisi 8 Volume 2. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai