Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN PENDAHULUAN DAN KONSEP DASAR

ASUHAN KEPERAWATAN FRAKTUR

OLEH:
NI LUH PUTU PUSPITA PRAYATIRTA, S.Kep
C2220053

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

STIKES BINA USADA BALI

2020
HALAMAN PENGESAHAN
LAPORAN PENDAHULUAN DAN KONSEP DASAR
ASUHAN KEPERAWATAN FRAKTUR

Diajukan Oleh

NI LUH PUTU PUSPITA PRAYATIRTA, S.Kep


NIM : C2220053

Telah Disahkan Sebagai Laporan Praktik


Stase Keperawatan Medikal Bedah

Perseptor Akademik

Ns. DESAK PUTU RISNA DEWI,S.Kep.,M.Kes


NIK : 18.08.0137

Mengetahui
STIKES Bina Usada Bali
Ka Prodi
Profesi Ners

Ns. I PUTU
LAPORAN ARTHA WIJAYA,
PENDAHULUAN S.Kep., M.Kep
DIABETES MELITUS
NIK : 11.01.0045
TANGGAL 6 S/D 19 APRIL 2020
LAPORAN PENDAHULUAN
FRAKTUR

I. LAPORAN PENDAHULUAN (TINJAUAN TEORI)


A. DEFINISI
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kantinuitas tulang dan
ditentukan sesuai jenis dan luasnya ( Brunner & Suddarth, 2005 dalam
Wijaya dan putri, 2013).
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau
tenaga fisik kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang itu
sendiri dan jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur
yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap (Price dan Wilson, 2006).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya
disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer et al, 2010).
Berdasarkan atas beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan fraktur
adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang
datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang.

B. ANATOMI FISIOLOGI

Gambar 1: Anatomi tulang (Soedarman, 2010)


Tulang terdiri dari sel-sel yang berada pada ba intraseluler. Tulang berasal
dari embrionic hyaline cartilage yang mana melalui proses “Osteogenesis”
menjadi tulang. Proses ini dilakukan oleh sel-sel yang disebut “Osteoblast”.
Proses mengerasnya tulang akibat penimbunan garam kalsium.
Ada 206 tulang dalam tubuh manusia, Tulang dapat diklasifikasikan
dalam lima kelompok berdasarkan bentuknya :
1. Tulang panjang (Femur, Humerus) terdiri dari batang tebal panjang yang
disebut diafisis dan dua ujung yang disebut epifisis. Di sebelah proksimal
dari epifisis terdapat metafisis. Di antara epifisis dan metafisis terdapat
daerah tulang rawan yang tumbuh, yang disebut lempeng epifisis atau
lempeng pertumbuhan. Tulang panjang tumbuh karena akumulasi tulang
rawan di lempeng epifisis. Tulang rawan digantikan oleh sel-sel tulang
yang dihasilkan oleh osteoblas, dan tulang memanjang. Batang dibentuk
oleh jaringan tulang yang padat. Epifisis dibentuk dari spongi bone
(cancellous atau trabecular). Pada akhir tahun-tahun remaja tulang rawan
habis, lempeng epifisis berfusi, dan tulang berhenti tumbuh. Hormon
pertumbuhan, estrogen, dan testosteron merangsang pertumbuhan tulang
panjang. Estrogen, bersama dengan testosteron, merangsang fusi lempeng
epifisis. Batang suatu tulang panjang memiliki rongga yang disebut kanalis
medularis. Kanalis medularis berisi sumsum tulang.
2. Tulang pendek (carpals) bentuknya tidak teratur dan inti dari cancellous
(spongy) dengan suatu lapisan luar dari tulang yang padat.
3. Tulang pendek datar (tengkorak) terdiri atas dua lapisan tulang padat
dengan lapisan luar adalah tulang concellous.
4. Tulang yang tidak beraturan (vertebrata) sama seperti dengan tulang
pendek.
5. Tulang sesamoid merupakan tulang kecil, yang terletak di sekitar tulang
yang berdekatan dengan persediaan dan didukung oleh tendon dan jaringan
fasial, misalnya patella (kap lutut).
Tulang tersusun atas sel, matriks protein dan deposit mineral. Sel-selnya
terdiri atas tiga jenis dasar-osteoblas, osteosit dan osteoklas. Osteoblas
berfungsi dalam pembentukan tulang dengan mensekresikan matriks tulang.
Matriks tersusun atas 98% kolagen dan 2% subtansi dasar
(glukosaminoglikan, asam polisakarida) dan proteoglikan). Matriks
merupakan kerangka dimana garam-garam mineral anorganik ditimbun.
Osteosit adalah sel dewasa yang terlibat dalam pemeliharaan fungsi tulang
dan terletak dalam osteon (unit matriks tulang ). Osteoklas adalah sel
multinuclear ( berinti banyak) yang berperan dalam penghancuran, resorpsi
dan remosdeling tulang.
Osteon merupakan unik fungsional mikroskopis tulang dewasa. Ditengah
osteon terdapat kapiler. Dikelilingi kapiler tersebut merupakan matriks tulang
yang dinamakan lamella. Didalam lamella terdapat osteosit, yang
memperoleh nutrisi melalui prosesus yang berlanjut kedalam kanalikuli yang
halus (kanal yang menghubungkan dengan pembuluh darah yang terletak
sejauh kurang dari 0,1 mm).
Tulang diselimuti dibagian oleh membran fibrous padat dinamakan
periosteum. Periosteum memberi nutrisi ke tulang dan memungkinkannya
tumbuh, selain sebagai tempat perlekatan tendon dan ligamen. Periosteum
mengandung saraf, pembuluh darah, dan limfatik. Lapisan yang paling dekat
dengan tulang mengandung osteoblast, yang merupakan sel pembentuk
tulang.
Endosteum adalah membran vaskuler tipis yang menutupi rongga sumsum
tulang panjang dan rongga-rongga dalam tulang kanselus. Osteoklast , yang
melarutkan tulang untuk memelihara rongga sumsum, terletak dekat
endosteum dan dalam lacuna Howship (cekungan pada permukaan tulang).
Anatomi tulang panjang Struktur tulang dewasa terdiri dari 30 % bahan
organik (hidup) dan 70 % endapan garam.Bahan organik disebut matriks, dan
terdiri dari lebih dari 90 % serat kolagen dan kurang dari 10 % proteoglikan
(protein plus sakarida). Deposit garam terutama adalah kalsium dan fosfat,
dengan sedikit natrium, kalium karbonat, dan ion magnesium. Garam-garam
menutupi matriks dan berikatan dengan serat kolagen melalui proteoglikan.
Adanya bahan organik menyebabkan tulang memiliki kekuatan tensif
(resistensi terhadap tarikan yang meregangkan). Sedangkan garam-garam
menyebabkan tulang memiliki kekuatan kompresi (kemampuan menahan
tekanan).
Pembentukan tulang berlangsung secara terus menerus dan dapat berupa
pemanjangan dan penebalan tulang. Kecepatan pembentukan tulang berubah
selama hidup. Pembentukan tulang ditentukan oleh rangsangn hormon, faktor
makanan, dan jumlah stres yang dibebankan pada suatu tulang, dan terjadi
akibat aktivitas sel-sel pembentuk tulang yaitu osteoblas.
Osteoblas dijumpai dipermukaan luar dan dalam tulang. Osteoblas
berespon terhadap berbagai sinyal kimiawi untuk menghasilkan matriks
tulang. Sewaktu pertama kali dibentuk, matriks tulang disebut osteoid. Dalam
beberapa hari garamgaram kalsium mulai mengendap pada osteoid dan
mengeras selama beberapa minggu atau bulan berikutnya. Sebagian
osteoblast tetap menjadi bagian dari osteoid, dan disebut osteosit atau sel
tulang sejati. Seiring dengan terbentuknya tulang, osteosit dimatriks
membentuk tonjolan-tonjolan yang menghubungkan osteosit satu dengan
osteosit lainnya membentuk suatu sistem saluran mikroskopik di tulang.
Kalsium adalah salah satu komponen yang berperan terhadap tulang,
sebagian ion kalsium di tulang tidak mengalarni kristalisasi. Garam nonkristal
ini dianggap sebagai kalsium yang dapat dipertukarkan, yaitu dapat
dipindahkan dengan cepat antara tulang, cairan interstisium, dan darah.
Sedangkan penguraian tulang disebut absorpsi, terjadi secara bersamaan
dengan pembentukan tulang. Penyerapan tulang terjadi karena aktivitas sel-
sel yang disebut osteoklas. Osteoklas adalah sel fagositik multinukleus besar
yang berasal dari sel-sel mirip-monosit yang terdapat di tulang. Osteoklas
tampaknya mengeluarkan berbagai asam dan enzim yang mencerna tulang
dan memudahkan fagositosis. Osteoklas biasanya terdapat pada hanya
sebagian kecil dari potongan tulang, dan memfagosit tulang sedikit demi
sedikit. Setelah selesai di suatu daerah, osteoklas menghilang dan muncul
osteoblas. 0steoblas mulai mengisi daerah yang kosong tersebut dengan
tulang baru. Proses ini memungkinkan tulang tua yang telah melemah diganti
dengan tulang baru yang lebih kuat.
Keseimbangan antara aktivitas osteoblas dan osteoklas menyebabkan
tulang terus menerus diperbarui atau mengalami remodeling. Pada anak dan
remaja, aktivitas osteoblas melebihi aktivitas osteoklas, sehingga kerangka
menjadi lebih panjang dan menebal. Aktivitas osteoblas juga melebihi
aktivitas osteoklas pada tulang yang pulih dari fraktur. Pada orang dewasa
muda, aktivitas osteoblas dan osteoklas biasanya setara, sehingga jumlah total
massa tulang konstan. Pada usia pertengahan, aktivitas osteoklas melebihi
aktivitas osteoblas dan kepadatan tulang mulai berkurang. Aktivitas osteoklas
juga meningkat pada tulang-tulang yang mengalami imobilisasi.
Faktor-faktor yang mengontrol Aktivitas osteoblas dirangsang oleh olah
raga dan stres beban akibat arus listrik yang terbentuk sewaktu stres mengenai
tulang. Fraktur tulang secara drastis merangsang aktivitas osteoblas, tetapi
mekanisme pastinya belum jelas. Estrogen, testosteron, dan hormon
perturnbuhan adalah promotor kuat bagi aktivitas osteoblas dan pertumbuhan
tulang. Pertumbuhan tulang dipercepat semasa pubertas akibat melonjaknya
kadar hormon-hormon tersebut. Estrogen dan testosteron akhirnya
menyebabkan tulang-tulang panjang berhenti tumbuh dengan merangsang
penutupan lempeng epifisis (ujung pertumbuhan tulang). Sewaktu kadar
estrogen turun pada masa menopaus, aktivitas osteoblas berkurang. Defisiensi
hormon pertumbuhan juga mengganggu pertumbuhan tulang.
Vitamin D dalam jumlah kecil merangsang kalsifikasi tulang secara
langsung dengan bekerja pada osteoblas dan secara tidak langsung dengan
merangsang penyerapan kalsium di usus. Hal ini meningkatkan konsentrasi
kalsium darah, yang mendorong kalsifikasi tulang. Namun, vitamin D dalam
jumlah besar meningkatkan kadar kalsium serum dengan meningkatkan
penguraian tulang. Dengan demikian, vitamin D dalam jumlah besar tanpa
diimbangi kalsium yang adekuat dalam makanan akan menyebabkan absorpsi
tulang.
Adapun faktor-faktor yang mengontrol aktivitas osteoklas terutama
dikontrol oleh hormon paratiroid. Hormon paratiroid dilepaskan oleh kelenjar
paratiroid yang terletak tepat di belakang kelenjar tiroid. Pelepasan hormon
paratiroid meningkat sebagai respons terhadap penurunan kadar kalsium
serum. Hormon paratiroid meningkatkan aktivitas osteoklas dan merangsang
pemecahan tulang untuk membebaskan kalsium ke dalam darah.
Efek lain Hormon paratiroid adalah meningkatkan kalsium serum dengan
menurunkan sekresi kalsium oleh ginjal. Hormon paratiroid meningkatkan
ekskresi ion fosfat oleh ginjal sehingga menurunkan kadar fosfat darah.
Pengaktifan vitamin D di ginjal bergantung pada hormon paratiroid.
Sedangkan kalsitonin adalah suatu hormon yang dikeluarkan oleh kelenjar
tiroid sebagai respons terhadap peningkatan kadar kalsium serum.
C. ETIOLOGI/PREDISPOSISI
1. Cedera traumatik
a. Cedera langsung
Cedera langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka
dengan garis patah melintang atau miring.
b. Cedera tidak langsung
Cedera tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh
dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian
yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
c. Cedera akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.Kekuatan dapat
berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi
dari ketiganya, dan penarikan.
2. Fraktur patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses peyakit, dimana jika terjadi
trauma minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada
keadaan :
a. Tumor tulang (jinak atau ganas)
b. Infeksi seperti osteomyelitis
c. Rakhitis,suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh devisiensi
vitamin D yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain.
3. Secara spontan, disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus
misalnya pada penyakit polio dan orang yang bertugas dikemiliteran
(Mansjoer et al, 2010).

D. KLASIFIKASI
Jenis-jenis fraktur ada beberapa macam yaitu:
1. Jenis-jenis fraktur berdasarkan garis fraktur:
b. Fraktur Komplit, adalah patah pada seluruh garis tengah tulang dan
biasanya mengalami pergeseran (bergeser dari posisi normal).
c. Fraktur Tidak Komplit, patah hanya terjadi pada sebagian dari garis
tengah tulang
2. Jenis jenis fraktur berdasarkan hub. Fragmen dg dunia luar:
a. Fraktur tertutup (simple / closed fracture).
Suatu fraktur yang tidak mempunyai hubungan dengan dunia luar
(menyebabkan robeknya kulit.)
b. Fraktur terbuka (compound / open fracture).
Fraktur yang mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui luka
pada kulit dan jaringan lunak, dapat berbentuk from within (dari
dalam) atau from without (dari luar).
Fraktur terbuka dapat dibagi atas tiga derajat (menurut R. Gustillo),
yaitu :
1) Derajat I
a) luka < 1 cm
b) kerusakan jaringan lunak sedikit, tak ada tanda luka remuk
c) fraktur sederhana, transversal, oblik, atau koinutif ringan
d) kontaminasi minimal
2) Derajat II
a) laserasi > 1 cm
b) kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/avulse
c) fraktur kominutif sedang
d) kontaminasi sedang
3) Derajat III
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit,
otot, dan neurovascular serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur
derajat III terbagi atas:
a) IIIA: Fragmen tulang masih dibungkus jaringan lunak
b) IIIB: Fragmen tulang tak dibungkus jaringan lunak terdapat
pelepasan lapisan periosteum, fraktur kontinuitif
c) IIIC: Trauma pada arteri yang membutuhkan perbaikan agar
bagian distal dapat diperthankan, terjadi kerusakan jaringan
lunak hebat.
3. Klasifikasi Etiologis
a. Fraktur traumatik: terjadi karena trauma yang tiba-tiba.
b. Fraktur patologis: terjadi karena kelemahan tulang sebelumnya akibat
kelainan patologis di dalam tulang.
c. Fraktur stress: terjadi karena adanya trauma yang terus menerus pada
suatu tempat tertentu.
4. Klasifikasi komplit / tidak komplit
a. Fraktur komplit adalah patah pada seluruh garis tengah tulang dan
biasanya mengalami pergeseran (bergeser dari posisi normal)
b. Fraktur tidak komplit adalah patah hanya terjadi pada sebagian dari
garis tengah tulang

5. Klasifikasi menurut garis khusus fraktur


a. Greenstic, fraktur dimana salah satu sisi tulang patah sedang sisi
lainnya membengkok.
b. Transfersal,fraktur sepanjang garis tengah tulang.
c. Oblik, fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang (lebih
tidak stabil disbanding transfersal).
d. Spiral, fraktur memuntir seputar batang tulang.
e. Kominutif, fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen.
f. Depresi, fraktur dengan fragmen patahan terdorong ke dalam (sering
terjadi pada tulang tengkorak dan tulang wajah).
g. Kompresi, fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada
tulang belakang).
h. Avulsi, tertariknya fragmen tulang oleh ligament atau tendon pada
perlekatannya.
i. Epifiseal, fraktur melalui epifisis.
j. Impaksi, fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke fragmen tulang
lainnya. (Smeltzer& Bare, 2010: 2358)
6. Berdasarkan jumlah garis
a. Fraktur kominutif: garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan
b. Fraktur segmental: garis patah lebih dari satu tetapi tidak
berhubungan. Bila dua garis patah disebut pula fraktur bifocal
c. Fraktur multiple: garis patah lebih dari satu tetapi pada tulang yang
berlainan tempatnya, misalnya fraktur femur, fraktur kruris, dan
fraktur tulang belakang
Gambar 2: Klasifikasi fraktur (Handerson, M. A, 2011).

E. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,
pemendekan ektremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna
yang dijelaskan secara rinci sebagai berikut:
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen
tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan cenderung
bergerak secara alamiah (gerakan luar biasa). Pergeseran fragmen pada
fraktur lengan dan tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun
teraba) ektremitas yang bisa diketahui dengan membandingkannya dengan
ektremitas normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena
fungsi normal otot tergantung pada integritasnya tulang tempat melekatnya
otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen
sering saling melengkapi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai
2 inci).
4. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan
lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih
berat.
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai
akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasa
terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera (Mansjoer et al,
2010).

F. PATOFISIOLOGI
Fraktur merupakan gangguan pada tulang biasanya disebabkan oleh trauma
gangguan adanya gaya dalam tubuh yaitu stress, gangguan fisik, gangguan
metabolik, patologik. Kemampuan otot mendukung tulang turun, baik yang
terbuka ataupun tertutup. Kerusakan pembuluh darah akan mengakibatkan
pendarahan, maka volume darah menurun. COP menurun maka terjadi
perubahan perfusi jaringan. Hematoma akan mengeksudasi plasma dan
poliferasi menjadi edem lokal maka penumpukan di dalam tubuh. Fraktur
terbuka atau tertutup akan mengenai serabut saraf yang dapat menimbulkan
gangguan rasa nyaman nyeri. Selain itu dapat mengenai tulang dan dapat
terjadi neurovaskuler yang menimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas fisik
terganggu. Disamping itu fraktur terbuka dapat mengenai jaringan lunak yang
kemungkinan dapat terjadi infeksi terkontaminasi dengan udara luar dan
kerusakan jaringan lunak akan mengakibatkan kerusakan integritas kulit.
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma gangguan
metabolic, patologik yang terjadi itu terbuka atau tertutup. Pada umumnya pada
pasien fraktur terbuka maupun tertutup akan dilakukan imobilitas yang
bertujuan untuk mempertahanakan fragmen yang telah dihubungkan, tetap pada
tempatnya sampai sembuh. (Sylvia, 2006 :1183).

Jejas yang ditimbulkan karena adanya fraktur menyebabkan rupturnya


pembuluh darah sekitar yang dapat menyebabkan terjadinya pendarahan.
Respon dini terhadap kehilangan darah adalah kompensasi tubuh, sebagai
contoh vasokontriksi progresif dari kulit, otot dan sirkulasi visceral. Karena ada
cedera, respon terhadap berkurangnya volume darah yang akut adalah
peningkatan detah jantung sebagai usaha untuk menjaga output jantung,
pelepasan katekolamin-katekolamin endogen meningkatkan tahanan pembuluh
perifer. Hal ini akan meningkatkan tekanan darah diastolik dan mengurangi
tekanan nadi (pulse pressure), tetapi hanya sedikit membantu peningkatan
perfusi organ. Hormon-hormon lain yang bersifat vasoaktif juga dilepaskan ke
dalam sirkulasi sewaktu terjadinya syok, termasuk histamin, bradikinin beta-
endorpin dan sejumlah besar prostanoid dan sitokin-sitokin lain. Substansi ini
berdampak besar pada mikro-sirkulasi dan permeabilitas pembuluh darah. Pada
syok perdarahan yang masih dini, mekanisme kompensasi sedikit mengatur
pengembalian darah (venous return) dengan cara kontraksi volume darah
didalam system vena sistemik. Cara yng paling efektif untuk memulihkan
krdiak pada tingkat seluler, sel dengan perfusi dan oksigenasi tidak adekuat
tidak mendapat substrat esensial yang sangat diperlukan untuk metabolisme
aerobik normal dan produksi energi. Pada keadaan awal terjadi kompensasi
dengan berpindah ke metabolisme anaerobik, mengakibatkan pembentukan
asam laknat dan berkembangnya asidosis metabolik. Bila syoknya
berkepanjangan dan penyampaian substrat untuk pembentukan ATP (adenosine
triphosphat) tidak memadai, maka membrane sel tidak dapat lagi
mempertahankan integritasnya dan gradientnya elektrik normal hilang.
Pembengkakan reticulum endoplasmic merupakan tanda ultra struktural
pertama dari hipoksia seluler setelah itu tidak lama lagi akan cedera
mitokondrial. Lisosom pecah dan melepaskan enzim yang mencernakan
struktur intra-seluler. Bila proses ini berjalan terus, terjadilah pembengkakan
sel . juga terjadi penumpukan kalsium intra-seluler. Bila proses ini berjalan
terus, terjadilah cedera seluler yang progresif, penambahan edema jaringan dan
kematian sel. Proses ini memperberat dampak kehilangan darah dan
hipoperfusi.

Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi disekitar tempat patah


dan kedalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut. Jaringan lunak juga
biasanya mengalami kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul hebat
setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel mast berakumulasi sehingga
menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut. Fagositosis dan
pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai. Ditempat patah terbentuk fibrin
(hematoma fraktur) dan berfungsi sebagai jala-jala untuk melakukan aktivitas
astoeblast terangsang dan terbentuk tulang baru imatur yang disebut callus.
Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru mengalami remodeling
untuk membentuk tulang sejati.

Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang berkaitan


dengan pembengkakan yang tidak ditangani dapat menurunkan asupan darah
ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila tidak terkontrol
pembengkakan dapat mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi
darah total dapat berakibat anoreksia jaringan yang mengakibatkan rusaknya
serabut saraf meupun jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan sindrom
kompartemen (Brunner & Suddarth, 2005).

Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan ketidak


seimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan fraktur tertutup.
Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan lunak seperti tendon, otot,
ligament dan pembuluh darah ( Smeltzer dan Bare, 2001). Pasien yang harus
imobilisasi setelah patah tulang akan menderita komplikasi antara lain : nyeri,
iritasi kulit karena penekanan, hilangnya kekuatan otot. Kurang perawatan diri
dapat terjadi bila sebagian tubuh di imobilisasi, mengakibatkan berkurangnyan
kemampuan prawatan diri (Carpenito, 2007). Reduksi terbuka dan fiksasi
interna (ORIF) fragmen- fragmen tulang di pertahankan dengan pen, sekrup,
plat, paku. Namun pembedahan meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi.
Pembedahan itu sendiri merupakan trauma pada jaringan lunak dan struktur
yang seluruhnya tidak mengalami cedera mungkin akan terpotong atau
mengalami kerusakan selama tindakan operasi (Price dan Wilson, 2006).

Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas
untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari
yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang
mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi
fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan
jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena
kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang.
Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang
mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai
dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah
putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang
nantinya.

Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur:


1. Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung
terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.

2. Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan
untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas,
kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang.(Smeltzer& Bare, 2010).
G. PATHWAY

Trauma langsung Trauma tidak langsung Kondisi patologis

Fraktur

Diskontinuitas tulang Pergeseran frakmen tulang Nyeri Akut

Perubahan jaringan sekitar Kerusakan frakmen tulang

Tekanan sumsum tulang


Pergeseran fragmen tulang Spasme otot lebih tinggi dari kapiler

Deformitas Peningkatan tekanan kapiler


Melepaskan katekolamin

Gangguan fungsi Pelepasan histamin Metabolisme asam lemak


ekstremitas

Protein plasma hilang Bergabung dengan


Hambatan mobilitas Fisik trombosit
Edema
Emboli
Penekanan pembuluh darah
Menyumbat pembuluh
darah

Ketidakefektifan perfusi
Putus vena / arteri Kerusakan integritas kulit jaringan perifer

Perdarahan Resiko infeksi

Kehilangan volume cairan

Resiko syok (hipovolemik)


H. PEMERIKSAAN PENUNJANG/DIAGNOSTIK
1. Pemerikssaan fisik
a. Look : Pembengkakan, memar dan deformitas (penonjolan yang
abnormal, angulasi, rotasi, pemendekan) mungkin terlihat jelas, tetapi
hal yang penting adalah apakah kulit itu utuh; kalau kulit robek dan
luka memiliki hubungan dengan fraktur, cedera terbuka
b. Feel : Terdapat nyeri tekan setempat, tetapi perlu juga memeriksa
bagian distal dari fraktur untuk merasakan nadi dan untuk menguji
sensasi. Cedera pembuluh darah adalah keadaan darurat yang
memerlukan pembedahan
c. Movement :Krepitus dan gerakan abnormal dapat ditemukan, tetapi
lebih penting untuk menanyakan apakah pasien dapat menggerakan
sendi – sendi dibagian distal cedera.
2. Pemeriksaan diagnostic
a. Pemeriksaan dengan sinar x harus dilakukan dengan 2 proyeksi yaitu
anterior posterior dan lateral, kekuatan yang hebat sering
menyebabkan cedera pada lebih dari satu tingkat karena itu bila ada
fraktur pada kalkaneus atau femur perlu juga diambil foto sinar – x
pada pelvis dan tulang belakang
b. Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang
lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan
kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur
saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
c. Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan
pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan
akibat trauma.
d. Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara
transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang
rusak.
e. Bone scans atau MRI Scans
f. Arteriogram : dilakukan bila ada kerusakan vaskuler.
g. CCT kalau banyak kerusakan otot.
3. Pemeriksaan laboratorium
a. Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
b. Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan
kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
c. Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5),
Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada
tahap penyembuhan tulang(Smeltzer& Bare, 2010).

I. PENATALAKSANAAN
1. Fraktur Terbuka
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh bakteri
dan disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6- 8 jam (golden period).
Kuman belum terlalu jauh meresap dilakukan:
a. Pembersihan luka
b. Exici
c. Hecting situasi
d. Antibiotik
2. Seluruh Fraktur
a. Rekognisis/Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan tindakan
selanjutnya.
b. Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimun. Dapat juga diartikan Reduksi fraktur
(setting tulang) adalah mengembalikan fragmen tulang pada
kesejajarannya dan rotasfanatomis (Brunner, 2011).
Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka dapat dilakukan
untuk mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih bergantung
sifat fraktur, namun prinsip yang mendasarinya tetap, sama. Biasanya
dokter melakukan reduksi fraktur sesegera mungkin untuk mencegah
jaringan lunak kehilaugan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema
dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, roduksi fraktur menjadi
semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan.
Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus dipersiapkan
untuk menjalani prosedur; harus diperoleh izin untuk melakukan
prosedur, dan analgetika diberikan sesuai ketentuan. Mungkin perlu
dilakukan anastesia. Ekstremitas yang akan dimanipulasi harus
ditangani dengan lembut untuk mencegah kerusakan lebih lanjut
Reduksi tertutup, pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup
dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang keposisinya (ujung-
ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual.
Ekstremitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan, sementara
gips, biadi dan alat lain dipasang oleh dokter. Alat immobilisasi akan
menjaga reduksi dan menstabilkan ekstremitas untuk penyembuhan
tulang. Sinar-x harus dilakukan untuk mengetahui apakah fragmen
tulang telah dalam kesejajaran yang benar.
Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan
imoblisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang
terjadi. Sinar-x digunakan untuk memantau reduksi fraktur dan
aproksimasi fragmen tulang. Ketika tulang sembuh, akan terlihat
pembentukan kalus pada sinar-x. Ketika kalus telah kuat dapat
dipasang gips atau bidai untuk melanjutkan imobilisasi.
Reduksi terbukapada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka.
Dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi
interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat paku, atau batangan
logam digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam
posisnya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi. Alat ini
dapat diletakkan di sisi tulang atau langsung ke rongga sumsum
tulang, alat tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi yang kuat bagi
fragmen tulang.
c. Retensi/Immobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga
kembali seperti semula secara optimun.
d. Imobilisasi fraktur.
Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau
dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi
penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau
interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai,
traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan
logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai
bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.
e. Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi. Segala upaya
diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan
imobilisasi harus dipertahankansesuai kebutuhan. Status
neurovaskuler (mis. pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan,
gerakan) dipantau, dan ahli bedah ortopedi diberitahu segera bila ada
tanda gangguan neurovaskuler. Kegelisahan, ansietas dan
ketidaknyamanan dikontrol dengan berbagai pendekatan (mis.
meyakinkan, perubahan posisi, strategi peredaan nyeri, termasuk
analgetika). Latihan isometrik dan setting otot diusahakan untuk
meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan peredaran darah.
Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari diusahakan untuk
memperbaiki kemandirian fungsi dan harga-diri. Pengembalian
bertahap pada aktivitas semula diusahakan sesuai batasan terapeutika.
Biasanya, fiksasi interna memungkinkan mobilisasi lebih awal. Ahli
bedah yang memperkirakan stabilitas fiksasi fraktur, menentukan
luasnya gerakan dan stres pada ekstrermitas yang diperbolehkan, dan
menentukan tingkat aktivitas dan beban berat badan (Handerson, M.A,
2011).
II. ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR
A. PENGKAJIAN
1. Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai,
status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no.
register, tanggal MRS, diagnosa medis.
2. Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri
tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
a. Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi
faktor presipitasi nyeri.
b. Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan
klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
c. Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
d. Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien,
bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa
sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
e. Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk
pada malam hari atau siang hari.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur,
yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien.
Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya
bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena.
Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa
diketahui luka kecelakaan yang lain.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.
Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang
menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung.
Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya
osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses
penyembuhan tulang
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan
salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes,
osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker
tulang yang cenderung diturunkan secara genetic.
6. Pola-Pola Fungsi Kesehatan
a. Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan
pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk
membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga
meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang
dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol
yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan
olahraga atau tidak.
b. Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan
sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya
untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola
nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah
muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak
adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang
kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal
terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat
degenerasi dan mobilitas klien.
c. Pola Eliminasi Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada
pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi,
konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan
pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan
jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. Pola
Tidur dan Istirahat Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan
gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur
klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur,
suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta
penggunaan obat tidur.
d. Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk
kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak
dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk
aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk
pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang
lain.
e. Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat.
Karena klien harus menjalani rawat inap.
f. Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan
kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya
yang salah (gangguan body image).
g. Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal
fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu
juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga,
timbul rasa nyeri akibat fraktur.
h. Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan
seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta
rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status
perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya.
i. Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya.
Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
j. Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah
dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan
karena nyeri dan keterbatasan gerak klien.
7. Pemeriksaan fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini
perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan
dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi
lebih mendalam.
a. Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda,
seperti:
2) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis
tergantung pada keadaan klien.
3) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan
pada kasus fraktur biasanya akut.
4) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi
maupun bentuk.

b. Secara sistemik dari kepala sampai kelamin

1) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak,
oedema, nyeri tekan.
2) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
3) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek
menelan ada.
4) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi
maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
5) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak
terjadi perdarahan)
6) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi
atau nyeri tekan.
7) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
8) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa
mulut tidak pucat.
9) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
10) Paru
 Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada
riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
 Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
 Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.

 Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan
lainnya seperti stridor dan ronchi.
11) Jantung
 Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
 Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
 Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
12) Abdomen
 Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
 Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
 Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
 Auskultasi
 Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
13) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan
BAB.
c. Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama
mengenai status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler 5 P yaitu
Pain, Palor, Parestesia, Pulse, Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem
muskuloskeletal adalah:
1) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
a) Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti
bekas operasi)
b) Cape au lait spot (birth mark).
c) Fistulae.
d) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
e) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak
biasa (abnormal).
f) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
g) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
2) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki
mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan
pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa
maupun klien. Yang perlu dicatat adalah:
a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit.
Capillary refill time Normal 3 – 5 “
b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema
terutama disekitar persendian.
c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3
proksimal, tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang
terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga
diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat
benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya,
pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan
ukurannya.
2) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan
menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri
pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat
mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat
dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0
(posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan
apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang
dilihat adalah gerakan aktif dan pasif(NANDA, 2015-2017).

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL


Pre operatif
1) Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot dan kerusakan sekunder
pada fraktur
2) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan cedera jaringan
sekitar/fraktur
3) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan fraktur terbuka dan
kerusakan jaringan lunak
4) Ansietas berhubungan dengan prosedur pengobatan atau pembedahan
Intra operatif
1) Resiko syok hipovolemik berhubungan dengan perdarahan akibat
pembedahan
Post operatif
1) Nyeri berhubungan dengan proses pembedahan
2) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma jaringan post
pembedahan
3) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan luka operasi
4) Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
penurunan suplai darah ke jaringan
C. INTERVENSI KEPERAWATAN DAN RASIONAL
1) Pre operatif
No. Diagnosa keperawatan Tujuan dan kriteria hasil Intervensi Rasional
1. Nyeri akut berhubungan NOC NIC 1. Mengetahui karakteristik
dengan spasme otot dan 1. Tingkat nyeri Manajemen nyeri nyeri secara menyeluruh
kerusakan sekunder pada 2.  Kontrol nyeri 1. Lakukan pengkajian nyeri secara untuk menentukan
fraktur 3. Tingkat kenyamanan komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, intervensi selanjutnya
Kriteria Hasil : durasi, frekuensi, kualitas dan faktor 2. Mengetahui
1. Mampu mengontrol nyeri presipitasi perkembangan respon
(tahu penyebab nyeri, 2. Observasi reaksi nonverbal dari nyeri
mampu menggunakan ketidaknyamanan 3. Mengurangi peningkatan
tehnik nonfarmakologi 3. Kurangi faktor presipitasi nyeri nyeri
untuk mengurangi nyeri, 4. Ajarkan tentang teknik non farmakologi 4. Meniminalkan nyeri yang
mencari bantuan) 5. Evaluasi keefektifan kontrol nyeri dirasakan
2. Melaporkan bahwa nyeri 6. Kolaborasikan dengan dokter jika ada 5. Mengetahui keefektifan
berkurang dengan keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil intervensi
menggunakan manajemen 6. Pengobatan medis untuk
nyeri mengurangi nyeri
3. Mampu mengenali nyeri
(skala, intensitas, frekuensi
dan tanda nyeri)
4. Menyatakan rasa nyaman
setelah nyeri berkurang
5. Tanda vital dalam rentang
normal
2. Hambatan mobilitas fisik NOC NIC 1. Pasien dapat termotivasi
berhubungan dengan 1. Gerakan: aktif Latihan Kekuatan untuk melakukan
cedera jaringan 2. Tingkat mobilitas 1. Ajarkan dan berikan dorongan pada klien program latihan
sekitar/fraktur 3. Perawatan diri: ADL untuk melakukan program latihan secara 2. Mencegah resiko cedera
Kriteria Hasil : rutin 3. Memudahkan pasien
1. Klien meningkat dalam Latihan untuk ambulasi untuk melakukan
aktivitas fisik 1. Ajarkan teknik ambulasi & perpindahan mobilisasi
2. Mengerti tujuan dari yang aman kepada klien dan keluarga. 4. Pasien terus termotivasi
peningkatan mobilitas 2. Sediakan alat bantu untuk klien seperti kruk, untuk tetap melakukan
3. Memverbalisasikan perasaan kursi roda, dan walker ambulasi
dalam meningkatkan 3. Beri penguatan positif untuk berlatih 5. Klien dan keluarga
kekuatan dan kemampuan mandiri dalam batasan yang aman. memahami mobilisasi
berpindah Latihan mobilisasi dengan kursi roda dengan benar
4. Memperagakan penggunaan 1. Ajarkan pada klien & keluarga tentang cara 6. Klien termotivasi untuk
alat Bantu untuk mobilisasi pemakaian kursi roda & cara berpindah dari memperkuat anggota
(walker) kursi roda ke tempat tidur atau sebaliknya. tubuh
2. Dorong klien melakukan latihan untuk 7. Klien tidak akan
memperkuat anggota tubuh mengalami kekakuan
3. Ajarkan pada klien/ keluarga tentang cara sendi dan keluarga dapat
penggunaan kursi roda membantu klien untuk
mobilisasi
3. Resiko tinggi infeksi NOC : NIC : 1. Untuk mencegah infeksi
berhubungan dengan 1. Status imun Kontrol infeksi yang ditularkan oleh
fraktur terbuka dan 2. Kontrol resiko 1. Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien pasien lain
kerusakan jaringan lunak Kriteria Hasil : lain 2. Memotong rantai infeksi
1. Klien bebas dari tanda dan 2. Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci 3. Memotong rantai infeksi
gejala infeksi tangan 4. Tenaga kesehatan dapat
2. Menunjukkan kemampuan 3. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah mencegah infeksi
untuk mencegah timbulnya tindakan keperawatan nosokomial
infeksi 4. Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat 5. Resiko infeksi tidak
3. Jumlah leukosit dalam batas pelindung terjadi
normal 5. Pertahankan lingkungan aseptik selama 6. Diet makanan tinggi
4. Menunjukkan perilaku hidup pemasangan alat protein untuk
sehat 6. Tingktkan intake nutrisi mempercepat
7. Berikan terapi antibiotik bila perlu penyembuhan luka
7. Untuk mencegah atau
mengobati infeksi
4. Ansietas berhubungan NOC NIC 1. Kecemasan tidak
dengan prosedur Kontrol ansietas Penurunan kecemasan meningkat
pengobatan atau Kriteria hasil: 1. Tenangkan klien 2. Pasien dapat memahami
pembedahan 1. Monitor intensitas kecemasan 2. Berikan informasi tentang diagnosa terkait keadaannya
2. Menyikirkan tanda prognosis dan tindakan 3. Mengetahui tingkat
kecemasan 3. Kaji tingkat kecemasan dan reaksi fisik kecemasan untuk
3. Mencari informasi untuk pada tingkat kecemasan menentukan intervensi
menurunkan kecemasan 4. Gunakan pendekatan dan sentuhan selanjutnya
4. Merencanakan strategi 5. Temani pasien untuk mendukung keamanan 4. Empati petugas kesehatan
koping dan penurunan rasa takut dapat dirasakan pasien
5. Menggunakan teknik 6. Sediakan aktifitas untuk menurunkan 5. Kecemasan tidak
relaksasi untuk menurunkan ketegangan meningkat
kecemasan 7. Intruksikan kemampuan klien untuk 6. Pengalihan terhadap
6. Melaporkan penurunan menggunakan teknik relaksasi kecemasan yang
durasi dan episode cemas dirasakan pasien
7. Melaporkan tidak adanya 7. Mengurangi kecemasan
manifestasi fisik dan pasien
kecemasan
8. Tidak adaa manifestasi
perilaku kecemasan
2) Intra operatif
No. Diagnosa keperawatan Tujuan dan kriteria hasil Intervensi Rasional
1. Resiko syok hipovolomik NOC NIC 1. Mengetahui
berhubungan dengan Deteksi resiko Manajemen syok :volume perkembangan
perdarahan akibat Kriteria hasil: 1. Monitor tanda dan gejala perdarahan pasien
pembedahan 1. Kenali tanda dan gejala yang perdarahan yang konsisten 2. Resiko syok hipovolemik
mengindikasikan risiko 2. Cegah kehilangan darah (ex : melakukan tidak terjadi
2. Cari validasi dari risiko yg penekanan pada tempat terjadi perdarahan) 3. Memenuhi kebutuhan
dirasakan 3. Berikan cairan IV cairan pasien
3. Pertahankan info terbaru 4. Catat Hb/Ht sebelum dan sesudah kehilangan 4. Mengetahui perubahan
tentang riwayat keluarga darah sesuai indikasi komponen darah
4. Pertahankan info terbaru 5. Berikan tambahan darah (ex : platelet, 5. Keseimbangan kebutuhan
tentang riwayat pribadi plasma) yang sesuai darah
5. Gunakan sumber informasi
tentang risiko potensial

3) Post operatif

No. Diagnosa keperawatan Tujuan dan kriteria hasil Intervensi Rasional


1. Nyeri berhubungan dengan NOC NIC 1. Mengetahui
proses pembedahan 1. Tingkat nyeri Manajemen nyeri karakteristik nyeri
2. Kontrol nyeri 1. Lakukan pengkajian nyeri secara secara menyeluruh
3. Tingkat kenyamanan komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, untuk menentukan
Kriteria Hasil : durasi, frekuensi, kualitas dan faktor intervensi selanjutnya
1. Mampu mengontrol nyeri presipitasi 2. Mengetahui
(tahu penyebab nyeri, mampu 2. Observasi reaksi nonverbal dari perkembangan respon
menggunakan tehnik ketidaknyamanan nyeri
nonfarmakologi untuk 3. Kurangi faktor presipitasi nyeri 3. Mengurangi
mengurangi nyeri, mencari 4. Ajarkan tentang teknik non farmakologi peningkatan nyeri
bantuan) 5. Evaluasi keefektifan kontrol nyeri 4. Meniminalkan nyeri
2. Melaporkan bahwa nyeri 6. Kolaborasikan dengan dokter jika ada yang dirasakan
berkurang dengan keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil 5. Mengetahui keefektifan
menggunakan manajemen intervensi
nyeri 6. Pengobatan medis untuk
3. Mampu mengenali nyeri mengurangi nyeri
(skala, intensitas, frekuensi
dan tanda nyeri)
4. Menyatakan rasa nyaman
setelah nyeri berkurang
5. Tanda vital dalam rentang
normal
2. Kerusakan integritas kulit NOC : NIC 1. Tidak ada tekanan pada
berhubungan dengan Intergritas jaringan: kulit and Manajemen tekanan luka
trauma jaringan post membran mukus 2. Mencegah terbentuknya
1. Anjurkan pasien untuk menggunakan
pembedahan luka yang baru
Kriteria Hasil : pakaian yang longgar 3. Terhindar dari infeksi
1. Integritas kulit yang baik bisa 2. Hindari kerutan pada tempat tidur 4. Mencegah terjadinya
dipertahankan 3. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan dekubitus
2. Melaporkan adanya kering 5. Mengetahui
gangguan sensasi atau nyeri 4. Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap perkembangan mobilisasi
pada daerah kulit yang dua jam sekali pasien
6. Mengetahui nutrisi yang
mengalami gangguan 5. Monitor kulit akan adanya kemerahan
dikonsumsi pasien
3. Menunjukkan pemahaman 6. Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien 7. Pasien tetap terjaga
dalam proses perbaikan kulit 7. Monitor status nutrisi pasien perawatan dirinya
dan mencegah terjadinya 8. Memandikan pasien dengan sabun dan air
sedera berulang hangat
4. Mampumelindungi kulit dan
mempertahankan
kelembaban kulit dan
perawatan alami
3. Resiko tinggi infeksi NOC : NIC : 1. Untuk mencegah infeksi
berhubungan dengan luka 1. Status imun Kontrol infeksi yang ditularkan oleh
operasi 2. Kontrol resiko 1. Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien pasien lain
Kriteria Hasil : lain
1. Klien bebas dari tanda dan 2. Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci 2. Memotong rantai infeksi
gejala infeksi tangan
2. Menunjukkan kemampuan 3. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah 3. Memotong rantai infeksi
untuk mencegah timbulnya tindakan keperawatan
infeksi 4. Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat 4. Tenaga kesehatan dapat
3. Jumlah leukosit dalam batas pelindung mencegah infeksi
normal nosokomial
4. Menunjukkan perilaku hidup 5. Pertahankan lingkungan aseptik selama 5. Resiko infeksi tidak
sehat pemasangan alat terjadi
6. Tingktkan intake nutrisi 6. Diet makanan tinggi
protein untuk
mempercepat
penyembuhan luka
7. Berikan terapi antibiotik bila perlu 7. Untuk mencegah atau
mengobati infeksi

4 Ketidakefektifan perfusi NOC : NIC : 1. Sirkulasi perifer dapat


jaringan perifer b.d 1. Circulation Status Manajemen Sensasi Perifer menunjukan tingkat
penurunan suplai darah ke 2. Tissue perfusion: perifer 1. Kaji secara komprehensif sirkulasi keparahan penyakit.
jaringan Kriteria hasil : perifer
1. Tekanan systole dan 2. Untuk meningkatkan
diastole dalam rentang 2. Evaluasi nadi perifer dan edema venous return
yang diharapkan 3. Mencegah komplikasi
2. Warna kulit normal 3. Elevasi anggota badan 200 ataulebih decubitus
3. Suhu kulit hangat 4. Menggerakkan otot dan
4. Kekuatan fungsi otot 4. Ubah posisi pasien setiap 2 jam sendi agar tidak kaku
5. Nilai laboratorium dalam 5. Menjaga kelenturan otot
batas normal 5. Dorong latihan ROM sebelum bedrest 6. Nilai laboratorium dapat
6. Tidak ada tanda tanda 6. Monitor laboratorium (Hb, hmt) menunjukkan
peningkatan tekanan kompossisi darah
intracranial (tidak lebih 7. Meminimalkan adanya
dari 15 mmHg) 7. Kolaborasi pemberian anti platelet atau bekuan dalam darah
anti perdarahan 8. Mengetahui status
8. Kaji TTV kardiorespirasi pasien
D. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Sesuai intervensi yang dilakukan

E. EVALUASI
Menurut Nursalam (2011) evaluasi keperawatan terdiri dari dua jenis, yaitu:
1. Evaluasi formatif
Evaluasi ini disebut juga evaluasi berjalan, dimana evaluasi dilakukan
sampai dengan tujuan tercapai
2. Evaluasi sumatif
Merupakan evaluasi akhir, dimana dalam metode evaluasi ini
menggunakan SOAP.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner, Suddarth. 2011. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol.3.


EGC. Jakarta

Carpenito, LJ. 2011. Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 . Jakarta: EGC

Dochterman, J. M., & Bulechek, G. M. (2016).Nursing Interventions


Classsification (NIC) (5thed.). America: Mosby Elseiver.

Doengoes, M.E., 2010, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta.

Ircham Machfoedz, 2010. Pertolongan Pertama di Rumah, di Tempat Kerja,


atau di Perjalanan. Yogyakarta: Fitramaya

Johnson, M., et all. 2010. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second


Edition. New Jersey: Upper Saddle River

Lukman, N & Ningsih, N. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien


Dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta: Penerbit
Salemba Medika.
Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta:
Medica Aesculpalus.
Mansjoer, A dkk. 2010. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta:
Media Aesculapius.

Moffat, D & Faiz, O. 2002. At a GlanceSeries Anatomi. Jakarta: PT.


Glora Aksara Pratama.
Moorhead, S., Jhonson, M., Maas, M., & Swanson, L. (2016).Nursing
Outcomes Classsification (NOC) (5thed). United States of America:
Mosby Elseiver.

Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan


Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta:EGC.
Muttaqin, A. 2011. Buku Saku Gangguan Mulskuloskeletal Aplikasi
pada Praktik Klinik Keperawatan. Jakarta:EGC.  
NANDA Internasional. 2017. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan klasifikasi
2015-2017. Edisi 10. Jakarta: EGC.

Nurarif.A.M dan Kusuma. H. 2015. Aplikasi asuhan keperawatan


berdasarkan diagnosa medis & Nanda NIC-NOC. Jogjakarta :
Mediaction
Rasjad, C. 2007. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta:
PT.YarsifWatampone.
Smeltzer, S.C., 2010, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta.

Wijaya.A.S dan Putri.Y.M. 2013. KMB 2 Keperawatan Medical Bedah


(Keperawatan Dewasa). Bengkulu : Numed

Anda mungkin juga menyukai