TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Osteoporosis adalah penyakit tulang metabolik yang ditandai dengan
rendahnya massa tulang dan kerusakan mikroarsitektur jaringan tulang, yang
menyebabkan berkurangnya kekuatan tulang dan peningkatan risiko patah
tulang akibat energi rendah atau patah tulang karena kerapuhan. Menurut
National Institutes of Health Consensus Development Panel on Osteoporosis,
osteoporosis didefinisikan sebagai “kelainan tulang yang ditandai dengan
melemahnya kekuatan tulang yang menyebabkan peningkatan risiko patah
tulang.” Selain itu, menurut kriteria Organisasi Kesehatan Dunia (WHO),
osteoporosis didefinisikan sebagai kepadatan mineral tulang (BMD) yang
terletak 2,5 standar deviasi (SD) atau lebih di bawah nilai rata-rata wanita
muda yang sehat (T-score < 2,5 SD) (Akkawi dan Zmerly, 2017).
B. ANATOMI TULANG
Tulang dalam garis besarnya dibagi menjadi:
1. Tulang Panjang
Yang termasuk tulang panjang misalnya seperti femur, tibia, fibula, ulna
dan humerus. Dimana daerah batasnya disebut diafisis dan daerah yang
berdekatan dengan garis epifisis disebut metafisis. Derah ini merupakan
suatu daerah yang sangat sering ditemukan adanya kelainan atau penyakit,
oleh karena daerah ini merupakan daerah metabolik yang aktif dan
banyak mengandung pembuluh darah. Kerusakan atau kelainan
perkembangan daerah lempeng epifisis akan menyebabkan kelainan
pertumbuhan tulang.
2. Tulang Pendek
Contoh dari tulang pendek adalah antara lain tulang vertebra dan tulang-
tulang karpal.
3. Tulang Pipih
Yang termasuk tulang pipih antara lain tulang costae, tulang scapula, dan
tulang pelvis.
Secara makroskopis, komponen tulang dapat dilihat secara jelas pada
tulang panjang, seperti tulang femur dan humerus. Tulang panjang antara lain
terdiri atas:
1. Diafisis : bagian badan atau tubuh dari tulang. Diafisis merupakan bagian
utama tulang.
2. Epifisis : terletak di bagian proksimal dan distal tulang.
3. Metafisis : daerah diantara diafisis dan epifisis. Metafisis merupakan
tempat pertumbuhan tulang karena terdiri atas cakram epifiseal
(pertumbuhan) yang mengandung kartilago hialin, sehingga diafisis
tulang dapat memanjang.
4. Kartilago artikular : merupakan lapisan tipis dari kartilago hialin yang
menutupi bagian epifisis, di mana tulang membentuk artikulasi (sendi)
dengan tulang yang lain.
5. Periosteum : mengelilingi permukaan terluar tulang di mana bagian
tersebut tidak ditutupi oleh kartilago artikular. Tersusun atas lapisan
fibrosa luar yang tersusun atas jaringan ikat iregular dan lapisan
osteogenik dalam yang terdiri atas sel. Periosteum memberikan proteksi
terhadap tulang yaitu membantu penyembuhan fraktur, memberikan
nutrisi jaringan tulang, dan memberikan perlekatan untuk ligamen dan
tendon.
6. Cavitas medullar (Ruang medulla) : atau marrow cavity (ruang sumsum),
merupakan ruang silindris diantara diafisis yang mengandung sumsum
tulang lemak kuning pada orang dewasa.
7. Endosteum : membran tipis yang membatasi lapisan internal tulang pada
ruang medulla. Terdiri atas selapis sel dan sejumlah kecil jaringan ikat.
(Tortora dan Derrickson, 2014).
Gambar 2.1. Bagian Tulang Panjang (Tortora dan Derrickson, 2014).
Dilihat secara mikroskopis, tulang seperti jaringan ikat yang lain yang
terdiri atas matriks sekitar sel yang mengelilingi sel-sel terpisah. Terdapat
empat tipe sel pada jaringan tulang, yaitu : sel osteogenik, osteoblas, osteosit,
dan osteoklas.
1. Sel osteogenik : sel batang yang tidak terspesialisasi yang berasal dari
mesenkim. Sel osteogenik merupakan asal dari semua jaringan ikat tulang.
Sel ini dapat ditemukan pada bagian dalam periosteum, di dalam
endosteum serta di dalam kanal, diantara tulang yang mengandung
pembuluh darah.
2. Osteoblas : merupakan sel pembentuk tulang. Sel ini mensintesis dan
mensekresi serat kolagen dan komponen organik yang dibutuhkan untuk
membentuk matriks sekitar sel dari jaringan tulang dan menginisiasi
kalsifikasi. Osteoblas diperlukan untuk mineralisasi yaitu proses deposisi
hydroxyapatite dengan meregulasi konsentrasi kalsum dan fosfat.
3. Osteosit : osteoblas yang terpendam di matriks termineralisasi dalam
lakuna dinamakan osteosit. Sel tulang yang sudah matang, merupakan
jaringan tulang yang paling utama dan memelihara metabolisme, seperti
pertukaran nutrisi dan membuangnya ke darah.
4. Osteoklas : sel besar yang berasal dari penggabungan 50 monosit dan
terdapat pada endosteum. Sel ini dapat mengeluarkn enzim lisosomal dan
asam yang mencerna komponen protein dan mineral dari matriks tulang.
Proses ini dinamakan resorpsi, yang merupakan bagian dari pembentukan,
pemeliharaan dan penggantian tulang. Osteoklas juga membantu dalam
meregulasi kalsium darah.
(Tortora dan Derrickson, 2014).
C. FISIOLOGI TULANG
1. Pembentukan dan Pertumbuhan Tulang
Proses pembentukan tulang disebut dengan proses osifikasi.Terdapat
dua cara dalam pembentukan tulang, dimana kedua proses tersebut
meliputi penggantian jaringan ikat yang ada dengan tulang tetapi berbeda
dengan proses pekembangan tulang. Proses osifikasi ini meliputi osifikasi
intramembran dan osifikasi endokondral.
a. Osifikasi intramembrane
Osifikasi intramembran merupakan proses pembentukan tulang
yang sederhana. Proses ini terjadi pada tulang datar seperti tengkorak
dan mandibula. Pada bagian di mana tulang akan terbentuk, suatu
pesan kimia spesifik akan menyebabkan sel mesenkim berkumpul dan
berdiferensiasi, pertama menjadi sel osteogenik dan kemudian
menjadi osteoblas pada pusat osifikasi. Osteoblas mensekresikan
matriks organik sekitar sel dari tulang hingga akhirnya ia sendiri
dikelilingi oleh matriks tersebut.
Sekresi matriks sekitar sel akan berhenti dan sel tulang yang
terperangkap didalamnya dinamakan dengan osteosit yang berada
pada lakuna. Lakuna memiliki sitoplasma yang memanjang menuju
kanalikuli dan memancar ke segala arah. Dalam beberapa hari,
kalsium dan garam mineral akan disimpan dan matriks sekitar sel akan
mengeras atau mengalami kalsifikasi. Dengan terbentuknya matriks
sekitar tulang, akan terbentuk trabekula yang menyatu satu dengan
yang lain untuk membentuk tulang spons. Pembuluh darah akan
tumbuh di antara trabekula dan mesenkim akan berkondensasi pada
bagian perifer tulang dan membentuk periosteum.
D. EPIDEMIOLOGI
Osteoporosis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang berkembang
di Asia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya. Sekitar tiga perempat
dari populasi dunia tinggal di Asia. Selain itu persentase orang tua berusia 65
tahun ke atas di Asia adalah sekitar 5,3% dari total penduduk pada tahun
1995, dan diproyeksikan meningkat menjadi 9,3% pada tahun 2025
(International Osteoporosis Foundation 2009). Jumlah pertambahan populasi
lanjut usia di Asia semakin pesat. Lanjut usia merupakan faktor risiko utama
terjadinya osteoporosis dan fraktur (Andarini et al., 2020).
Osteoporosis di Amerika Serikat menyerang 20-25 juta penduduk, satu di
antara 2-3 perempuan pascamenopause dan lebih dari 50% penduduk di atas
umur 75-80 tahun. Data dari WHO menunjukkan di seluruh dunia ada sekitar
200 juta orang yang menderita osteoporosis. Tahun 2050 diperkirakan angka
fraktur tulang pinggul akan meningkat 2x lipat pada perempuan dan 3x lipat
pada laki-laki. Densitas tulang masyarakat Eropa dan Asia lebih rendah bila
dibanding masyarakat Afrika, sehingga mudah mengalami osteoporosis
(Kementerian Kesehatan RI 2015). Hasil penelitian white paper yang
dilaksanakan bersama Perhimpunan Osteoporosis Indonesia tahun 2007,
melaporkan proporsi penderita osteoporosis penduduk di atas 50 tahun adalah
32,3% pada perempuan dan 28,8% pada laki-laki (Perkumpulan Osteoporosis
Indonesia, 2009). Data dari Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) tahun 2010
menunjukkan angka kejadian fraktur tulang paha atas akibat osteoporosis
adalah sekitar 200 dari 100.000 kasus pada usia 40 tahun (Kementerian
Kesehatan RI 2015).
E. PATOMEKANISME
Massa tulang pada dewasa tua sama dengan puncak massa tulang yang
didapat pada usia 18-25 tahun dikurangi dengan jumlah tulang yang hilang
setelahnya. Puncak massa tulang ditentukan oleh faktor genetik dan
kontribusi dari nutrisi, status hormon, aktivitas fisik dan kesehatan ketika
petumbuhan. Selama pertumbuhan, terjadi 90% deposisi massa tulang, diikuti
oleh periode konsolidasi dan terus berlanjut hingga usia 15-30 tahun.
Normalnya, proses pembentukan tulang dan proses resorpsi tulang berjalan
berpasangan. Pada dewasa muda tulang yang diresorpsi digantikan oleh
jumlah yang sama dengan jaringan tulang baru. Massa tulang rangka akan
tetap konstan setelah massa puncak tulang sudah tercapai. Setelah usia 30 - 45
tahun, proses resorpsi dan pembentukan tulang menjadi tidak seimbang, dan
proses resorpsi melebih proses pembentukannya. Ketidakseimbangan ini
dapat dimulai pada usia yang berbeda dan bervariasi pada lokasi tulang
rangka yang berbeda. Hilangnya jaringan tulang menyebabkan kerusakan
arsitektur tulang dan peningkatan risiko fraktur. Pada wanita, ketika
mengalami perimenopause, terjadi defisiensi estrogen secara signifkan,
kehilangan massa tulang menjadi sangat cepat. Penurunan kadar estrogen
menyebabkan berbagai sitokin seperti interleukin-1, interleukin-6, dan tumor
necrosis factor alfa (TNF a) kadarnya menjadi meningkat dan akan
meningkatkan resorpsi tulang melalui perektrutan, diferensiasi dan aktivasi
osteoklas (Kasper et al., 2015; Barnsley et al., 2021).
F. FAKTOR RISIKO
1. Usia
Sejak lahir hingga remaja, jaringan tulang lebih banyak diproduksi
dibandingkan hilangnya jaringan tersebut akibat proses remodeling. Pada
dewasa muda, kecepatan deposisi tulang akan sama dengan kecepatan
resorpsi. Dengan penurunan hormon seks pada usia pertengahan, terutama
pada wanita, penurunan massa tulang terjadi akibat resorpsi tulang oleh
osteoklas melebihi deposisi tulang oleh osteoblas.Usia berhubungan
dengan hilangnya massa tulang pada dekade keempat atau kelima
kehidupan.
Pada lansia, daya serap kalsium akan menurun seiring bertambahnya
usia. Prinsip hubungan usia terhadap jaringan tulang yaitu kehilangan
massa tulang dan tulang menjadi lebih rapuh. Kehilangan massa tulang
merupakan hasil dari proses demineralisasi, kehilangan kalsium dan
mineral lainnya dari matriks sekitar tulang. Proses ini dimulai setelah usia
30 tahun pada wanita, dan menjadi lebih cepat pada usia 45 tahun seiring
dengan penurunan estrogen, serta terus berlanjut hingga terjadi kehilangan
kalsium tulang sebanyak 30% pada usia 70 tahun. Ketika kehilangan
jaringan tulang telah dimulai pada wanita, sekitar 8% dari massa tulang
akan menghilang setiap 10 tahun.
Pada laki-laki, kehilangan kalsium pada umumnya tidak akan terjadi
sampai usia lebih dari 60 tahun, dan 3% massa tulang akan hilang setiap
10 tahun. Prinsip hubungan yang kedua yaitu kerapuhan tulang, yang
merupakan hasil dari penurunan kecepatan sintesis protein. Pada usia tua,
kecepatan sintesis serat kolagen akan melambat akibat berkurangnya
produksi hormon pertumbuhan, sedangkan serat kolagen merupakan
bagian organik dari matriks sekitar sel tulang yang memberikan kekuatan
pada tulang. Kehilangan kekuatan tulang menyebabkan tulang akan
menjadi rapuh dan mudah terjadi fraktur pada usia tua (Tortora dan
Derrickson, 2014).
2. Jenis Kelamin
Berdasarkan teori yang dinyatakan dalam buku Principles of Anatomy
and Physiology, osteoporosis terutama mengenai usia pertengahan dan
usia tua. Sekitar 80% mengenai wanita dengan alasan (1) tulang wanita
lebih kecil jika dibandingkan dengan tulang pria, (2) produksi estrogen
pada wanita menurun secara drastis ketika memasuki fase menopause,
sedangkan produksi androgen utama yaitu testosteron berkurang sedikit
dan secara bertahap pada pria yang lebih tua (Tortora dan Derrickson,
2014)
Wanita lebih rentan terkena osteoporosis karena terjadi penurunan
hormon esterogen terutama saat menopause. Penurunan hormon seks pada
pria juga dapat menyebabkan osteoporosis. Proses remodeling tulang ini
sebagian besar dimonitor oleh faktor-faktor endokrin yang berasal dari
luar tulang seperti vitamin D, hormon paratiroid, calcitonin, hormon
pertumbuhan (HGH), testosterone dan estrogen. Pada pria dengan
hypogonadismakan terjadi penurunan esterogen yang menyebabkan
kehilangan massa tulang (Andarini et al., 2020)
Di Indonesia, berdasarkan studi Risiko Osteoporosis pada tahun 2005
yang dilakukan oleh Puslitbang Gizi Depkes RI dan sebuah perusahaan
nutrisi di 16 wilayah di Indonesia, pasien osteopenia dan osteoporosis
usia <55 tahun pada pria cenderung lebih tinggi dibandingkan wanita,
sedangkan usia > 55 tahun peningkatan osteopenia pada wanita enam kali
lebih besar dari pria dan peningkatan osteoporosis pada wanita dua kali
lebih besar dari pria.
3. Indeks Massa Tubuh
Studi National Osteoporosis Foundation (NOF) menyarankan untuk
memasukkan indeks massa tubuh yang rendah ke dalam penilaian risiko
untuk evaluasi osteoporosis dan risiko fraktur osteoporosis.[3] Hubungan
antara indeks massa tubuh, berat badan, dan tinggi badan dengan
kepadatan tulang telah banyak dikemukakan. Berat badan atau indeks
massa tubuh dilaporkan berbanding terbalik dengan risiko fraktur
osteoporosis.
Penelitian yang pernah dilakukan oleh Elsa Adlina Limbong (2015)
mengenai rasio risiko osteoporosis menurut IMT, diperoleh hasil bahwa
wanita yang memiliki IMT < 18,5 kg/m2 berisiko 2,99 kali lebih besar
untuk terkena osteoporosis dibandingkan dengan wanita yang memiliki
IMT ≥ 18,5 kg/m2. Artinya, semakin rendah nilai IMT maka semakin
tinggi risiko seorang wanita untuk terkena osteoporosis. Hasil serupa juga
diperoleh dalam penelitian yang dilakukan oleh Farzaneh Montazerifar
(2014) yang menyatakan bahwa subyek dengan osteopenia atau
osteoporosis memiliki IMT yang lebih rendah dibandingkan subyek tanpa
osteopenia atau osteoporosis.
Nilai IMT yang tinggi menggambarkan massa lemak yang tinggi pula.
Semakin tinggi massa lemak, maka semakin banyak hormon estrogen
yang diproduksi (Muda et al., 2013; Montazerifar et al., 2014; Limbong,
2015) Efek estrogen berpengaruh terhadap BMD (Bone Mineral Density)
karena ikatan estrogen dengan reseptornya yaitu ERα dan ERβ pada
sitosol osteoblas akan menurunkan sekresi sitokin-sitokin yang bekerja
dalam proses penyerapan tulang, seperti IL-1, IL-6, dan TNFα. Sehingga,
rendahnya kadar estrogen dalam tubuh menyebabkan peningkatan sekresi
sitokin-sitokin tersebut yang selanjutnya akan menstimulasi aktivitas
osteoklas dan berakibat pada penurunan nilai BMD (Setyawati et al.,
2014).
Massa lemak yang tinggi juga menyebabkan tingginya sekresi hormon
dan sitokin yang berperan dalam remodeling tulang seperti leptin dan
adiponektin. Leptin merupakan suatu hormon yang diproduksi oleh
jaringan adiposa yang berperan dalam pertumbuhan sel osteoblastik dan
menghambat osteoklastogenesis. Sedangkan adiponektin merupakan
adipositokin yang menyebabkan terjadinya resistensi insulin sehingga
terjadi gangguan regulasi hormon-hormon seks, diantaranya produksi
estrogen yang berlebih (Taie dan Rasheed, 2014).
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa nilai IMT yang tinggi akan
menimbulkan efek protektif terhadap tulang.1,3 Meskipun demikian, IMT
di atas normal hingga mencapai obesitas tetap harus dihindari karena
berkaitan dengan risiko terjadinya beberapa penyakit metabolik seperti
DM dan penyakit jantung (Hadaita et al., 2019).
4. Tingkat Pendidikan
Banyak studi yang telah menunjukan bahwa status sosio-ekonomi
maupun tingkat pendidikan memiliki hubungan dengan berbagai penyakit
kronik, tapi masih sedikit sekali penelitian yang menguhubungkan antara
tingkat pendidikan dengan kesehatan tulang. Pendidikan merupakan cara
yang umum untuk menilai status sosio-ekonomi seseorang. Status sosio-
ekonomi dan pendapatan seseorang menjadi faktor yang menentukan
pajanan sosial dan lingkungan. Gaya hidup, tingkah laku, pola makan dan
nutrisi berhubungan erat dengan tingkat pendidikan dan status sosio-
ekonomi, meskipun pengaruhnya berbeda di setiap populasi. Individu
dengan pendidikan yang baik cenderung memiliki pengetahuan kesehatan
dan tingkah laku yang lebih baik.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Suzanne C (2005) pada populasi
perempuan china yang sudah mengalami postmenopause, tingkat
pendidikan formal yang tinggi berhubungan dengan kepadatan tulang
yang lebih baik serta angka kejadian osteoporosis yang lebih rendah.
Banyak faktor risiko yang berhubungan dengan osteoporosis termasuk
faktor hormonal, penggunaan berbagai obat, konsumsi rokok, aktivitas
fisik dan diet rendah kalsium serta vitamin D yang kaitannya sangat erat
dengan tingkat pendidikan.
Tingkat pendidikan secara langsung dapat mempengaruhi kesehatan
tulang dengan efek positif melalui pengetahuan yang lebih baik mengenai
kesehatan pada gaya hidup dan tingkah laku seseorang. Seseorang dengan
tingkat pendidikan yang lebih tinggi memiliki sikap positif terhadap
penggunaan obat-obatan serta dapat mengadopsi kebiasan-kebiasan yang
baik atau positif seperti kebiasan makan sehat yang meliputi asupan
kalsium, buah-buahan dan mengurangi konsumsi alkohol.
G. DIAGNOSIS
Osteoporosis dikenal sebagai "the silent epidemic disease" karena
penurunan massa tulang dapat terjadi tapa disertai gejala. 171 Kecuali
seseorang mendapatkan fraktur, osteoporosis biasanya tidak menimbulkan
gejala sama sekali. Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, terjadi
perubahan sudut pandang terhadap osteoporosis, sehingga osteoporosis tidak
lagi hanya terdiagnosis ketika terjadi fraktur. Evaluasi pasien yang diduga
mengalami osteoporosis meliputi riwayat klinis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan laboratorium.
1. Riwayat klinis dan pemeriksaan fisik
Bagian ini berfokus pada faktor risiko utama untuk fraktur
osteoporosis seperti usia dan riwayat fraktur osteoporosis sebelumnya.
Faktor risiko lain yang harus diperhatikan meliputi berat badan yang
rendah, riwayat keluarga dengan fraktur pinggul, merokok, konsumsi
alkohol yang berlebihan, terapi glukokortikoid dalam jangka waktu yang
lama, dan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan osteoporosis
sekunder.
2. Pemeriksaan labortorium
Termasuk didalamnya pemeriksaan darah lengkap dan profil serum
biokimia yang meliputi kalsium, fosfor, alkalin fosfatase, tirotropin, fungsi
ginjal dan hati, 25-hydroxyvitamin D, dan kalsium urin.
3. Radiologi
Gambaran radiologi pada osteoporosis memiliki tujuan untuk
mengukur berkurangnya kepadatan tulang dan untuk diagnosis. Untuk
menentukan tingkatan dan diagnosis dapat dilakukan menggunakan
gambaran radiologi sederhana. Gambaran radiologi yang khas pada
osteoporosis adalah adanya penipisan korteks dan daerah trabekular yang
lebih lusen. Indeks Jhamaria menggunakan pola trabekular pada tulang
calcaneus sebagai index osteoporosis.
H. TATALAKSANA
Ada berbagai pilihan farmakologis untuk pengobatan osteoporosis yang
bertujuan untuk mengurangi risiko patah tulang. Ini termasuk:
1. Kalsium dan vitamin D
Kekurangan vitamin D pada orang tua adalah umum, tidak hanya
akibat perubahan fisiologis pada kemampuan kulit untuk mensintesis
vitamin D tetapi terutama pada mereka yang kurang gizi, memiliki
penyakit ginjal kronis, dilembagakan atau tinggal di rumah. Pedoman
nasional merekomendasikan 1000 mg kalsium dalam kombinasi dengan
400 Unit Internasional (IU) vitamin D per hari. Orang tua yang tinggal di
rumah atau mereka yang tinggal di panti jompo disarankan untuk
mengonsumsi 800 IU vitamin D per hari. Sebuah meta-analisis
menemukan bahwa suplementasi kalsium dan vitamin D mengurangi
risiko patah tulang pinggul sebesar 30% dan risiko patah tulang total
sebesar 15%. Hal ini didukung oleh penelitian yang menemukan
pengurangan 12% pada semua patah tulang dan penurunan tingkat
kehilangan BMD di pinggul dan tulang belakang pada pasien yang
memakai dosis minimal 1200 mg kalsium dan 800 IU vitamin D (Weaver
et al., 2016).
Bukti yang menentang penggunaan suplemen kalsium menunjukkan
peningkatan risiko penyakit kardiovaskular, termasuk infark miokard
(Harvey et al., 2017). Namun, penelitian lain tidak menemukan hubungan
antara suplementasi kalsium dan risiko penyakit kardiovaskular. Secara
keseluruhan, tidak ada bukti yang cukup untuk melebihi manfaat dari
suplementasi dan pedoman saat ini merekomendasikan suplementasi
harus diberikan kepada mereka dengan peningkatan risiko insufisiensi dan
individu yang menerima pengobatan untuk osteoporosis. Suplementasi
kalsium dan vitamin D juga terbukti memiliki efek menguntungkan pada
kesehatan otot dan pengurangan risiko jatuh (Chung et al., 2016).