Anda di halaman 1dari 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Osteoporosis adalah penyakit tulang metabolik yang ditandai dengan
rendahnya massa tulang dan kerusakan mikroarsitektur jaringan tulang, yang
menyebabkan berkurangnya kekuatan tulang dan peningkatan risiko patah
tulang akibat energi rendah atau patah tulang karena kerapuhan. Menurut
National Institutes of Health Consensus Development Panel on Osteoporosis,
osteoporosis didefinisikan sebagai “kelainan tulang yang ditandai dengan
melemahnya kekuatan tulang yang menyebabkan peningkatan risiko patah
tulang.” Selain itu, menurut kriteria Organisasi Kesehatan Dunia (WHO),
osteoporosis didefinisikan sebagai kepadatan mineral tulang (BMD) yang
terletak 2,5 standar deviasi (SD) atau lebih di bawah nilai rata-rata wanita
muda yang sehat (T-score < 2,5 SD) (Akkawi dan Zmerly, 2017).

B. ANATOMI TULANG
Tulang dalam garis besarnya dibagi menjadi:
1. Tulang Panjang
Yang termasuk tulang panjang misalnya seperti femur, tibia, fibula, ulna
dan humerus. Dimana daerah batasnya disebut diafisis dan daerah yang
berdekatan dengan garis epifisis disebut metafisis. Derah ini merupakan
suatu daerah yang sangat sering ditemukan adanya kelainan atau penyakit,
oleh karena daerah ini merupakan daerah metabolik yang aktif dan
banyak mengandung pembuluh darah. Kerusakan atau kelainan
perkembangan daerah lempeng epifisis akan menyebabkan kelainan
pertumbuhan tulang.
2. Tulang Pendek
Contoh dari tulang pendek adalah antara lain tulang vertebra dan tulang-
tulang karpal.
3. Tulang Pipih
Yang termasuk tulang pipih antara lain tulang costae, tulang scapula, dan
tulang pelvis.
Secara makroskopis, komponen tulang dapat dilihat secara jelas pada
tulang panjang, seperti tulang femur dan humerus. Tulang panjang antara lain
terdiri atas:
1. Diafisis : bagian badan atau tubuh dari tulang. Diafisis merupakan bagian
utama tulang.
2. Epifisis : terletak di bagian proksimal dan distal tulang.
3. Metafisis : daerah diantara diafisis dan epifisis. Metafisis merupakan
tempat pertumbuhan tulang karena terdiri atas cakram epifiseal
(pertumbuhan) yang mengandung kartilago hialin, sehingga diafisis
tulang dapat memanjang.
4. Kartilago artikular : merupakan lapisan tipis dari kartilago hialin yang
menutupi bagian epifisis, di mana tulang membentuk artikulasi (sendi)
dengan tulang yang lain.
5. Periosteum : mengelilingi permukaan terluar tulang di mana bagian
tersebut tidak ditutupi oleh kartilago artikular. Tersusun atas lapisan
fibrosa luar yang tersusun atas jaringan ikat iregular dan lapisan
osteogenik dalam yang terdiri atas sel. Periosteum memberikan proteksi
terhadap tulang yaitu membantu penyembuhan fraktur, memberikan
nutrisi jaringan tulang, dan memberikan perlekatan untuk ligamen dan
tendon.
6. Cavitas medullar (Ruang medulla) : atau marrow cavity (ruang sumsum),
merupakan ruang silindris diantara diafisis yang mengandung sumsum
tulang lemak kuning pada orang dewasa.
7. Endosteum : membran tipis yang membatasi lapisan internal tulang pada
ruang medulla. Terdiri atas selapis sel dan sejumlah kecil jaringan ikat.
(Tortora dan Derrickson, 2014).
Gambar 2.1. Bagian Tulang Panjang (Tortora dan Derrickson, 2014).
Dilihat secara mikroskopis, tulang seperti jaringan ikat yang lain yang
terdiri atas matriks sekitar sel yang mengelilingi sel-sel terpisah. Terdapat
empat tipe sel pada jaringan tulang, yaitu : sel osteogenik, osteoblas, osteosit,
dan osteoklas.
1. Sel osteogenik : sel batang yang tidak terspesialisasi yang berasal dari
mesenkim. Sel osteogenik merupakan asal dari semua jaringan ikat tulang.
Sel ini dapat ditemukan pada bagian dalam periosteum, di dalam
endosteum serta di dalam kanal, diantara tulang yang mengandung
pembuluh darah.
2. Osteoblas : merupakan sel pembentuk tulang. Sel ini mensintesis dan
mensekresi serat kolagen dan komponen organik yang dibutuhkan untuk
membentuk matriks sekitar sel dari jaringan tulang dan menginisiasi
kalsifikasi. Osteoblas diperlukan untuk mineralisasi yaitu proses deposisi
hydroxyapatite dengan meregulasi konsentrasi kalsum dan fosfat.
3. Osteosit : osteoblas yang terpendam di matriks termineralisasi dalam
lakuna dinamakan osteosit. Sel tulang yang sudah matang, merupakan
jaringan tulang yang paling utama dan memelihara metabolisme, seperti
pertukaran nutrisi dan membuangnya ke darah.
4. Osteoklas : sel besar yang berasal dari penggabungan 50 monosit dan
terdapat pada endosteum. Sel ini dapat mengeluarkn enzim lisosomal dan
asam yang mencerna komponen protein dan mineral dari matriks tulang.
Proses ini dinamakan resorpsi, yang merupakan bagian dari pembentukan,
pemeliharaan dan penggantian tulang. Osteoklas juga membantu dalam
meregulasi kalsium darah.
(Tortora dan Derrickson, 2014).

Gambar 2.2. Sel-sel Tulang (Tortora dan Derrickson, 2014).


Matriks sekitar sel terdiri atas 25% air, 25% serat kolagen dan 50% garam
kristal mineral. 80% dari matriks yang tidak termineralisaasi merupakan serat
kolagen tipe 1 yang berasal dari molekul tropokolagen yang dihasilkan oleh
osteoblas. Terdapat pula protein non-kolagen dalam jumlah sedikit pada
matriks yang termineralisasi yang diperkirakan terlibat dalam regulasi sel
tulang dan matriks termineralisasi, protein tersebut antara lain: sialoprotein
(osteopontin), osteonectin, osteocalsin dan alkaline phosphatase. Garam
mineral yang terbanyak adalah kalsium fosfat [Ca 3(PO4)2] yang akan
membentuk kristal hydroxyapatite [Ca10(PO4)6 (OH)2] bersama dengan garam
mineral yang lain seperti kalsium karbonat (CaCO3) dan ion seperti
magnesium, fluoride, kalium dan sulfat (Solomon et al., 2010).

C. FISIOLOGI TULANG
1. Pembentukan dan Pertumbuhan Tulang
Proses pembentukan tulang disebut dengan proses osifikasi.Terdapat
dua cara dalam pembentukan tulang, dimana kedua proses tersebut
meliputi penggantian jaringan ikat yang ada dengan tulang tetapi berbeda
dengan proses pekembangan tulang. Proses osifikasi ini meliputi osifikasi
intramembran dan osifikasi endokondral.
a. Osifikasi intramembrane
Osifikasi intramembran merupakan proses pembentukan tulang
yang sederhana. Proses ini terjadi pada tulang datar seperti tengkorak
dan mandibula. Pada bagian di mana tulang akan terbentuk, suatu
pesan kimia spesifik akan menyebabkan sel mesenkim berkumpul dan
berdiferensiasi, pertama menjadi sel osteogenik dan kemudian
menjadi osteoblas pada pusat osifikasi. Osteoblas mensekresikan
matriks organik sekitar sel dari tulang hingga akhirnya ia sendiri
dikelilingi oleh matriks tersebut.
Sekresi matriks sekitar sel akan berhenti dan sel tulang yang
terperangkap didalamnya dinamakan dengan osteosit yang berada
pada lakuna. Lakuna memiliki sitoplasma yang memanjang menuju
kanalikuli dan memancar ke segala arah. Dalam beberapa hari,
kalsium dan garam mineral akan disimpan dan matriks sekitar sel akan
mengeras atau mengalami kalsifikasi. Dengan terbentuknya matriks
sekitar tulang, akan terbentuk trabekula yang menyatu satu dengan
yang lain untuk membentuk tulang spons. Pembuluh darah akan
tumbuh di antara trabekula dan mesenkim akan berkondensasi pada
bagian perifer tulang dan membentuk periosteum.

Gambar 2.3. Osifikasi Intramembran (Tortora dan Derrickson, 2014)


b. Osifikasi endokondral
Proses ini terjadi pada pembentukan tulang panjang seperti tulang
femur, dimana tulang akan menggantikan kartilago. Pada saat janin,
terjadi proses pembetukan kartilago, kondorosit-kondrosit yang
terbentuk pada akhirnya akan mati karena nutrisi tidak dapat berdifusi
secara cepat melalui matriks sekitar sel. Ketika kondrosit mati, akan
terbentuk lakuna dan suatu rongga, sehingga proses osifikasi primer
dimulai.
Terdapat arteri yang dapat berpenetrasi ke perikondrium dan
kartilago yang mengalami kalsifikasi melalui foramen nutrisi dibagian
tengah kartilago, hal ini menyebabkan perikondrium berdiferensiasi
menjadi osteoblas. Osteoblas akan terdeposit pada sisa matriks sekitar
sel kartilago untuk membentuk tulang trabekula. Proses ini dimulai
pada bagian periosteum dan akan berlanjut hingga ujung tulang.
Osifikasi primer ini akan meninggalkan lubang di bagian tengah, yaitu
rongga medulla (medullary cavity) pada bagian diafisis.
Ketika cabang arteri epifiisis memasuki epifisis, maka akan
dimulai pusat osifikasi sekunder, yaitu pada saat bayi akan lahir.
Proses ini terjadi seperti osifikasi primer, hanya saja tulang spons
tersisa pada bagian inferior epifisis dan tidak terbentuk rongga
medulla.Kartilago hialin yang menutupi epifisis akan menjadi
kartilago artikular, sedangkan kartilago yang tersisa di antara diafisis
dan epifisis akan menjadi lempeng pertumbuhan, yang akan
bertanggung jawab pada proses pemanjangan tulang.
(Solomon et al., 2010; Tortora dan Derrickson, 2014).

Gambar 2.4. Osifikasi Endokondral (Tortora dan Derrickson, 2014)


2. Resorbsi Tulang
Resorpsi tulang dilakukan oleh osteoklas dibawah pengaruh sel
stroma (osteoblas) dan kedua pengaktif lokal dan sistemik. Terdapat pula
pengaruh hormon PTH (parathormon) secara tidak langsung yang
memiliki efek pada metabolit vitamin D, 1,25-dihydroxycholecalciferol
[1,25(OH)D31 dan osteoblas.
Proliferasi sel progenitor osteoklas membutuhkan faktor
diferensiasi osteoklas yang dihasilkan oleh osteoblas stromal setelah
stimulasi dari PTH, glukokortikoid atau sitokin pro inflamasi. Diketahui
bahwa receptor activator of nuclear factor-ligand (RANKL) akan
berikatan dengan dengan reseptor RANK pada prekursor osteoklas
dengan adanya macrophage colony-stimulating factor (M-CSF) sebelum
dewasa penuh dan resorpsi osteoklas dimulai.
Diperkirakan bahwa osteoblas mulanya menyiapkan daerah
resorpsi dengan memindahkan osteoid dari permukaan tulang sementara
matriks yang lain bertindak sebagai pembangkit osteoklas. Selama
resorpsi, setiap osteoklas membentuk tanda perlekatan pada permukaan
tulang dimana membran sel melipat ke pinggiran diantara asam
hidroklorik dan enzim proteolitik disekresikan. Pada pH mineral yang
rendah ini, matriks akan larut dan komponen organik akan rusak oleh
enzim lisosom. Ion kalsium dan fosfat akan diabsorpsi ke dalam vesikel
osteoklas dan akan dikeluarkan ke cairan sekitar sel dan kemudian
mengalir ke darah (Solomon et al., 2010; Tortora dan Derrickson, 2014).

D. EPIDEMIOLOGI
Osteoporosis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang berkembang
di Asia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya. Sekitar tiga perempat
dari populasi dunia tinggal di Asia. Selain itu persentase orang tua berusia 65
tahun ke atas di Asia adalah sekitar 5,3% dari total penduduk pada tahun
1995, dan diproyeksikan meningkat menjadi 9,3% pada tahun 2025
(International Osteoporosis Foundation 2009). Jumlah pertambahan populasi
lanjut usia di Asia semakin pesat. Lanjut usia merupakan faktor risiko utama
terjadinya osteoporosis dan fraktur (Andarini et al., 2020).
Osteoporosis di Amerika Serikat menyerang 20-25 juta penduduk, satu di
antara 2-3 perempuan pascamenopause dan lebih dari 50% penduduk di atas
umur 75-80 tahun. Data dari WHO menunjukkan di seluruh dunia ada sekitar
200 juta orang yang menderita osteoporosis. Tahun 2050 diperkirakan angka
fraktur tulang pinggul akan meningkat 2x lipat pada perempuan dan 3x lipat
pada laki-laki. Densitas tulang masyarakat Eropa dan Asia lebih rendah bila
dibanding masyarakat Afrika, sehingga mudah mengalami osteoporosis
(Kementerian Kesehatan RI 2015). Hasil penelitian white paper yang
dilaksanakan bersama Perhimpunan Osteoporosis Indonesia tahun 2007,
melaporkan proporsi penderita osteoporosis penduduk di atas 50 tahun adalah
32,3% pada perempuan dan 28,8% pada laki-laki (Perkumpulan Osteoporosis
Indonesia, 2009). Data dari Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) tahun 2010
menunjukkan angka kejadian fraktur tulang paha atas akibat osteoporosis
adalah sekitar 200 dari 100.000 kasus pada usia 40 tahun (Kementerian
Kesehatan RI 2015).

E. PATOMEKANISME
Massa tulang pada dewasa tua sama dengan puncak massa tulang yang
didapat pada usia 18-25 tahun dikurangi dengan jumlah tulang yang hilang
setelahnya. Puncak massa tulang ditentukan oleh faktor genetik dan
kontribusi dari nutrisi, status hormon, aktivitas fisik dan kesehatan ketika
petumbuhan. Selama pertumbuhan, terjadi 90% deposisi massa tulang, diikuti
oleh periode konsolidasi dan terus berlanjut hingga usia 15-30 tahun.
Normalnya, proses pembentukan tulang dan proses resorpsi tulang berjalan
berpasangan. Pada dewasa muda tulang yang diresorpsi digantikan oleh
jumlah yang sama dengan jaringan tulang baru. Massa tulang rangka akan
tetap konstan setelah massa puncak tulang sudah tercapai. Setelah usia 30 - 45
tahun, proses resorpsi dan pembentukan tulang menjadi tidak seimbang, dan
proses resorpsi melebih proses pembentukannya. Ketidakseimbangan ini
dapat dimulai pada usia yang berbeda dan bervariasi pada lokasi tulang
rangka yang berbeda. Hilangnya jaringan tulang menyebabkan kerusakan
arsitektur tulang dan peningkatan risiko fraktur. Pada wanita, ketika
mengalami perimenopause, terjadi defisiensi estrogen secara signifkan,
kehilangan massa tulang menjadi sangat cepat. Penurunan kadar estrogen
menyebabkan berbagai sitokin seperti interleukin-1, interleukin-6, dan tumor
necrosis factor alfa (TNF a) kadarnya menjadi meningkat dan akan
meningkatkan resorpsi tulang melalui perektrutan, diferensiasi dan aktivasi
osteoklas (Kasper et al., 2015; Barnsley et al., 2021).

F. FAKTOR RISIKO
1. Usia
Sejak lahir hingga remaja, jaringan tulang lebih banyak diproduksi
dibandingkan hilangnya jaringan tersebut akibat proses remodeling. Pada
dewasa muda, kecepatan deposisi tulang akan sama dengan kecepatan
resorpsi. Dengan penurunan hormon seks pada usia pertengahan, terutama
pada wanita, penurunan massa tulang terjadi akibat resorpsi tulang oleh
osteoklas melebihi deposisi tulang oleh osteoblas.Usia berhubungan
dengan hilangnya massa tulang pada dekade keempat atau kelima
kehidupan.
Pada lansia, daya serap kalsium akan menurun seiring bertambahnya
usia. Prinsip hubungan usia terhadap jaringan tulang yaitu kehilangan
massa tulang dan tulang menjadi lebih rapuh. Kehilangan massa tulang
merupakan hasil dari proses demineralisasi, kehilangan kalsium dan
mineral lainnya dari matriks sekitar tulang. Proses ini dimulai setelah usia
30 tahun pada wanita, dan menjadi lebih cepat pada usia 45 tahun seiring
dengan penurunan estrogen, serta terus berlanjut hingga terjadi kehilangan
kalsium tulang sebanyak 30% pada usia 70 tahun. Ketika kehilangan
jaringan tulang telah dimulai pada wanita, sekitar 8% dari massa tulang
akan menghilang setiap 10 tahun.
Pada laki-laki, kehilangan kalsium pada umumnya tidak akan terjadi
sampai usia lebih dari 60 tahun, dan 3% massa tulang akan hilang setiap
10 tahun. Prinsip hubungan yang kedua yaitu kerapuhan tulang, yang
merupakan hasil dari penurunan kecepatan sintesis protein. Pada usia tua,
kecepatan sintesis serat kolagen akan melambat akibat berkurangnya
produksi hormon pertumbuhan, sedangkan serat kolagen merupakan
bagian organik dari matriks sekitar sel tulang yang memberikan kekuatan
pada tulang. Kehilangan kekuatan tulang menyebabkan tulang akan
menjadi rapuh dan mudah terjadi fraktur pada usia tua (Tortora dan
Derrickson, 2014).
2. Jenis Kelamin
Berdasarkan teori yang dinyatakan dalam buku Principles of Anatomy
and Physiology, osteoporosis terutama mengenai usia pertengahan dan
usia tua. Sekitar 80% mengenai wanita dengan alasan (1) tulang wanita
lebih kecil jika dibandingkan dengan tulang pria, (2) produksi estrogen
pada wanita menurun secara drastis ketika memasuki fase menopause,
sedangkan produksi androgen utama yaitu testosteron berkurang sedikit
dan secara bertahap pada pria yang lebih tua (Tortora dan Derrickson,
2014)
Wanita lebih rentan terkena osteoporosis karena terjadi penurunan
hormon esterogen terutama saat menopause. Penurunan hormon seks pada
pria juga dapat menyebabkan osteoporosis. Proses remodeling tulang ini
sebagian besar dimonitor oleh faktor-faktor endokrin yang berasal dari
luar tulang seperti vitamin D, hormon paratiroid, calcitonin, hormon
pertumbuhan (HGH), testosterone dan estrogen. Pada pria dengan
hypogonadismakan terjadi penurunan esterogen yang menyebabkan
kehilangan massa tulang (Andarini et al., 2020)
Di Indonesia, berdasarkan studi Risiko Osteoporosis pada tahun 2005
yang dilakukan oleh Puslitbang Gizi Depkes RI dan sebuah perusahaan
nutrisi di 16 wilayah di Indonesia, pasien osteopenia dan osteoporosis
usia <55 tahun pada pria cenderung lebih tinggi dibandingkan wanita,
sedangkan usia > 55 tahun peningkatan osteopenia pada wanita enam kali
lebih besar dari pria dan peningkatan osteoporosis pada wanita dua kali
lebih besar dari pria.
3. Indeks Massa Tubuh
Studi National Osteoporosis Foundation (NOF) menyarankan untuk
memasukkan indeks massa tubuh yang rendah ke dalam penilaian risiko
untuk evaluasi osteoporosis dan risiko fraktur osteoporosis.[3] Hubungan
antara indeks massa tubuh, berat badan, dan tinggi badan dengan
kepadatan tulang telah banyak dikemukakan. Berat badan atau indeks
massa tubuh dilaporkan berbanding terbalik dengan risiko fraktur
osteoporosis.
Penelitian yang pernah dilakukan oleh Elsa Adlina Limbong (2015)
mengenai rasio risiko osteoporosis menurut IMT, diperoleh hasil bahwa
wanita yang memiliki IMT < 18,5 kg/m2 berisiko 2,99 kali lebih besar
untuk terkena osteoporosis dibandingkan dengan wanita yang memiliki
IMT ≥ 18,5 kg/m2. Artinya, semakin rendah nilai IMT maka semakin
tinggi risiko seorang wanita untuk terkena osteoporosis. Hasil serupa juga
diperoleh dalam penelitian yang dilakukan oleh Farzaneh Montazerifar
(2014) yang menyatakan bahwa subyek dengan osteopenia atau
osteoporosis memiliki IMT yang lebih rendah dibandingkan subyek tanpa
osteopenia atau osteoporosis.
Nilai IMT yang tinggi menggambarkan massa lemak yang tinggi pula.
Semakin tinggi massa lemak, maka semakin banyak hormon estrogen
yang diproduksi (Muda et al., 2013; Montazerifar et al., 2014; Limbong,
2015) Efek estrogen berpengaruh terhadap BMD (Bone Mineral Density)
karena ikatan estrogen dengan reseptornya yaitu ERα dan ERβ pada
sitosol osteoblas akan menurunkan sekresi sitokin-sitokin yang bekerja
dalam proses penyerapan tulang, seperti IL-1, IL-6, dan TNFα. Sehingga,
rendahnya kadar estrogen dalam tubuh menyebabkan peningkatan sekresi
sitokin-sitokin tersebut yang selanjutnya akan menstimulasi aktivitas
osteoklas dan berakibat pada penurunan nilai BMD (Setyawati et al.,
2014).
Massa lemak yang tinggi juga menyebabkan tingginya sekresi hormon
dan sitokin yang berperan dalam remodeling tulang seperti leptin dan
adiponektin. Leptin merupakan suatu hormon yang diproduksi oleh
jaringan adiposa yang berperan dalam pertumbuhan sel osteoblastik dan
menghambat osteoklastogenesis. Sedangkan adiponektin merupakan
adipositokin yang menyebabkan terjadinya resistensi insulin sehingga
terjadi gangguan regulasi hormon-hormon seks, diantaranya produksi
estrogen yang berlebih (Taie dan Rasheed, 2014).
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa nilai IMT yang tinggi akan
menimbulkan efek protektif terhadap tulang.1,3 Meskipun demikian, IMT
di atas normal hingga mencapai obesitas tetap harus dihindari karena
berkaitan dengan risiko terjadinya beberapa penyakit metabolik seperti
DM dan penyakit jantung (Hadaita et al., 2019).
4. Tingkat Pendidikan
Banyak studi yang telah menunjukan bahwa status sosio-ekonomi
maupun tingkat pendidikan memiliki hubungan dengan berbagai penyakit
kronik, tapi masih sedikit sekali penelitian yang menguhubungkan antara
tingkat pendidikan dengan kesehatan tulang. Pendidikan merupakan cara
yang umum untuk menilai status sosio-ekonomi seseorang. Status sosio-
ekonomi dan pendapatan seseorang menjadi faktor yang menentukan
pajanan sosial dan lingkungan. Gaya hidup, tingkah laku, pola makan dan
nutrisi berhubungan erat dengan tingkat pendidikan dan status sosio-
ekonomi, meskipun pengaruhnya berbeda di setiap populasi. Individu
dengan pendidikan yang baik cenderung memiliki pengetahuan kesehatan
dan tingkah laku yang lebih baik.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Suzanne C (2005) pada populasi
perempuan china yang sudah mengalami postmenopause, tingkat
pendidikan formal yang tinggi berhubungan dengan kepadatan tulang
yang lebih baik serta angka kejadian osteoporosis yang lebih rendah.
Banyak faktor risiko yang berhubungan dengan osteoporosis termasuk
faktor hormonal, penggunaan berbagai obat, konsumsi rokok, aktivitas
fisik dan diet rendah kalsium serta vitamin D yang kaitannya sangat erat
dengan tingkat pendidikan.
Tingkat pendidikan secara langsung dapat mempengaruhi kesehatan
tulang dengan efek positif melalui pengetahuan yang lebih baik mengenai
kesehatan pada gaya hidup dan tingkah laku seseorang. Seseorang dengan
tingkat pendidikan yang lebih tinggi memiliki sikap positif terhadap
penggunaan obat-obatan serta dapat mengadopsi kebiasan-kebiasan yang
baik atau positif seperti kebiasan makan sehat yang meliputi asupan
kalsium, buah-buahan dan mengurangi konsumsi alkohol.

G. DIAGNOSIS
Osteoporosis dikenal sebagai "the silent epidemic disease" karena
penurunan massa tulang dapat terjadi tapa disertai gejala. 171 Kecuali
seseorang mendapatkan fraktur, osteoporosis biasanya tidak menimbulkan
gejala sama sekali. Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, terjadi
perubahan sudut pandang terhadap osteoporosis, sehingga osteoporosis tidak
lagi hanya terdiagnosis ketika terjadi fraktur. Evaluasi pasien yang diduga
mengalami osteoporosis meliputi riwayat klinis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan laboratorium.
1. Riwayat klinis dan pemeriksaan fisik
Bagian ini berfokus pada faktor risiko utama untuk fraktur
osteoporosis seperti usia dan riwayat fraktur osteoporosis sebelumnya.
Faktor risiko lain yang harus diperhatikan meliputi berat badan yang
rendah, riwayat keluarga dengan fraktur pinggul, merokok, konsumsi
alkohol yang berlebihan, terapi glukokortikoid dalam jangka waktu yang
lama, dan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan osteoporosis
sekunder.
2. Pemeriksaan labortorium
Termasuk didalamnya pemeriksaan darah lengkap dan profil serum
biokimia yang meliputi kalsium, fosfor, alkalin fosfatase, tirotropin, fungsi
ginjal dan hati, 25-hydroxyvitamin D, dan kalsium urin.
3. Radiologi
Gambaran radiologi pada osteoporosis memiliki tujuan untuk
mengukur berkurangnya kepadatan tulang dan untuk diagnosis. Untuk
menentukan tingkatan dan diagnosis dapat dilakukan menggunakan
gambaran radiologi sederhana. Gambaran radiologi yang khas pada
osteoporosis adalah adanya penipisan korteks dan daerah trabekular yang
lebih lusen. Indeks Jhamaria menggunakan pola trabekular pada tulang
calcaneus sebagai index osteoporosis.

Gambar 2.5. Radiologi Interpretasi Osteoporosis Indeks Jhamaria (Jhamaria,


1983)
Penilaian kepadatan tulang atau massa tulang secara umum dilakukan
dengan menggunakan Dual Energy X-ray Absorptiometry (DXA). DXA
menilai kepadatan tulang pada bagian tulang yang spesifik dan
bersangkutan. WHO menggolongkan osteoporosis dan osteopenia
berdasarkan T-skor dari DXA, yang dibandingkan dengan nilai rata-rata
kepadatan tulang untuk dewasa muda dan perbedaan dinyatakan sebagai
standard deviation (SD). DXA merupakan metode yang sudah disahkan
untuk penggunaan umum sebagai kriteria inklusi untuk percobaan klinis
dan memonitor efek terapi farmasi untuk osteoporosis. Standard
pengukuran tulang vertebra dengan DXA dilakukan pada proyeksi
posteroanterior. Tempat tersering dilakukan pengukuran adalah vertebra
dan tulang femur bagian proksimal. Keuntungan melakukan DXA antara
lain, pemeriksaan ini tidak invasif dan mempelajarinya cepat serta pajanan
radiasi yang rendah.

Gambar 2.6. Klasifikasi DXA T-Score Osteoporosis

H. TATALAKSANA
Ada berbagai pilihan farmakologis untuk pengobatan osteoporosis yang
bertujuan untuk mengurangi risiko patah tulang. Ini termasuk:
1. Kalsium dan vitamin D
Kekurangan vitamin D pada orang tua adalah umum, tidak hanya
akibat perubahan fisiologis pada kemampuan kulit untuk mensintesis
vitamin D tetapi terutama pada mereka yang kurang gizi, memiliki
penyakit ginjal kronis, dilembagakan atau tinggal di rumah. Pedoman
nasional merekomendasikan 1000 mg kalsium dalam kombinasi dengan
400 Unit Internasional (IU) vitamin D per hari. Orang tua yang tinggal di
rumah atau mereka yang tinggal di panti jompo disarankan untuk
mengonsumsi 800 IU vitamin D per hari. Sebuah meta-analisis
menemukan bahwa suplementasi kalsium dan vitamin D mengurangi
risiko patah tulang pinggul sebesar 30% dan risiko patah tulang total
sebesar 15%. Hal ini didukung oleh penelitian yang menemukan
pengurangan 12% pada semua patah tulang dan penurunan tingkat
kehilangan BMD di pinggul dan tulang belakang pada pasien yang
memakai dosis minimal 1200 mg kalsium dan 800 IU vitamin D (Weaver
et al., 2016).
Bukti yang menentang penggunaan suplemen kalsium menunjukkan
peningkatan risiko penyakit kardiovaskular, termasuk infark miokard
(Harvey et al., 2017). Namun, penelitian lain tidak menemukan hubungan
antara suplementasi kalsium dan risiko penyakit kardiovaskular. Secara
keseluruhan, tidak ada bukti yang cukup untuk melebihi manfaat dari
suplementasi dan pedoman saat ini merekomendasikan suplementasi
harus diberikan kepada mereka dengan peningkatan risiko insufisiensi dan
individu yang menerima pengobatan untuk osteoporosis. Suplementasi
kalsium dan vitamin D juga terbukti memiliki efek menguntungkan pada
kesehatan otot dan pengurangan risiko jatuh (Chung et al., 2016).

2. Terapi antiresorptif—Bisfosfonat, Denosumab.


a. Bifosfat (Alendronat, risedronate, ibandronate dan asam zolendronic)
Bifosfonat berikatan kuat dengan hidroksiapatit, menghambat
resorpsi tulang yang dimediasi osteoklas dan meningkatkan kepadatan
mineral tulang. Mereka dikaitkan dengan efek menguntungkan dalam
menurunkan risiko patah tulang di antara rentang usia pasien yang
luas; bahkan mereka yang hidup dengan kelemahan. Bukti
menunjukkan 10 mg alendronate setiap hari selama 10 tahun
meningkatkan kepadatan mineral tulang sebesar 13,7% pada tulang
belakang lumbal, 10,3% pada trokanter, 5,4% pada leher femoralis,
dan 6,7% pada femur proksimal total. Yang penting, terapi bifosfonat
oral dan intravena telah terbukti mengurangi risiko kematian ketika
dimulai sebagai tindakan pencegahan sekunder setelah patah tulang.
Panduan UK NICE (2020) merekomendasikan Alendronate 10 mg
sekali sehari atau 70 mg sekali seminggu; atau Risedronate 5 mg
sekali sehari atau 35 mg sekali seminggu, untuk wanita
pascamenopause dan pria berusia di atas 50 tahun, yang telah
memastikan osteoporosis pada DXA. Evaluasi BMD biasanya terjadi
antara 3 dan 5 tahun. Setelah itu, pengobatan dilanjutkan jika pasien
terus mengalami risiko patah tulang atau telah memulai terapi
kortikosteroid. Jika T-score > −2.5, drug holiday dapat
direkomendasikan sambil menunggu evaluasi lebih lanjut dari BMD
dan risiko patah tulang. Namun, penghentian bifosfonat pada wanita
pascamenopause saat ini dapat dikaitkan dengan risiko fraktur klinis
baru hingga 40% lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang
melanjutkan bifosfonat. Ibandronik asam tidak dianjurkan lini
pertama.
Efek samping bifosfonat oral meliputi gejala gastrointestinal, nyeri
tulang/sendi, ulserasi esofagus, dan osteonekrosis rahang yang jarang
(risiko tertinggi adalah pada pasien kanker). Fraktur femoralis atipikal
dapat terjadi terutama setelah 5 tahun penggunaan bifosfonat dengan
laju 1:1000/tahun. Bifosfonat oral harus diminum saat perut kosong,
dalam posisi tegak, dengan segelas air [99]. Kepatuhan terhadap
bifosfonat mungkin menantang pada orang tua karena rezim dosis
yang kompleks ini dan dapat diperparah dengan adanya polifarmasi,
gangguan kognisi dan kebutuhan perawatan fisik. Selain itu,
bifosfonat tidak stabil untuk disimpan dalam alat bantu kepatuhan.
Pada orang tua dengan refluks gastro-esofagus parah, disfagia atau
gangguan kognitif, persiapan alternatif, yaitu asam Zoledronat
intravena (IV) tahunan atau alternatif untuk bifosfonat dapat
digunakan. Bifosfonat diekskresikan melalui ginjal dan harus
dihindari pada gangguan ginjal.
Estimasi laju filtrasi glomerulus (eGFR) memberikan ambang
batas untuk mendasari keputusan pengobatan. Sebagai contoh,
alendronate dan risedronate harus dihindari ketika klirens kreatinin
masing-masing di bawah 35 mL/min/1,73 m2 dan 30 mL/min/1,73
m2. Namun, eGFR mungkin tidak akurat pada orang tua, terutama
mereka yang hidup dengan kelemahan dan sarkopenia. Estimasi
Cockcroft dan Gault dari GFR, oleh karena itu, tepat untuk digunakan
dalam situasi ini; terutama ketika IV Zoledronic sedang
dipertimbangkan (Zullo et al., 2019).
b. Denosumab
Denosumab adalah antibodi monoklonal manusiawi yang
menghambat RANKL dan karenanya aktivitas osteoklastik. Ini
diberikan melalui injeksi subkutan (60 mg) setiap 6 bulan bersamaan
dengan suplementasi kalsium dan vitamin D pada individu dengan
GFR > 30 ml/menit/1,73 m2. FREEDOM (Fracture Reduction
Evaluation of Denosumab), uji coba kontrol plasebo multisenter besar
menunjukkan penurunan kejadian patah tulang sebesar 68% untuk
patah tulang belakang, 40% untuk patah tulang pinggul, dan 20%
untuk patah tulang non-tulang belakang, dalam 3 tahun pertama, pada
wanita pascamenopause yang menggunakan Denosumab. Tindak
lanjut 10 tahun menunjukkan insiden fraktur yang terus menurun dan
peningkatan BMD tanpa dataran tinggi. Denosumab sering digunakan
sebagai alternatif ketika bifosfonat oral tidak dapat ditoleransi,
dikontraindikasikan atau masalah sosial dan psikologis lainnya
menghalangi terapi bifosfonat. Pengobatan biasanya selama 5-10
tahun. Efek anti-resorptif Denosumab dengan cepat berkurang setelah
penghentian pengobatan dan akibatnya meningkatkan risiko patah
tulang kembali ke tingkat pra-perawatan dalam waktu 12 bulan setelah
penghentian dan oleh karena itu, memerlukan pengingat yang
dipimpin oleh pasien dan dokter setiap 6 bulan. Ini berbeda dengan
bifosfonat di mana BMD dipertahankan setidaknya selama 2 tahun
setelah penghentian pengobatan. Efek samping termasuk hipokalsemia
terutama pada individu dengan gangguan fungsi ginjal, ruam kulit,
peningkatan risiko infeksi bakteri, osteonekrosis rahang dan jarang,
patah tulang femoralis atipikal.
Saat memulai Denosumab atau terapi anti-resorptif lainnya,
penting untuk memastikan bahwa pasien memiliki kadar kalsium
serum yang normal dan kaya akan vitamin D. Hal ini menurunkan
risiko hipokalsemia berat selama pengobatan. Beberapa rezim
pemuatan ada untuk mereka yang kekurangan vitamin D. Dalam
praktik klinis penulis, 100.000 IU colecalciferol untuk individu yang
hidup dengan kelemahan dan di mana pemuatan cepat diperlukan
tampaknya dapat ditoleransi dengan baik. Alternatifnya termasuk
20.000 IU tiga kali seminggu diikuti dengan 800 IU—1000 IU/hari
untuk mempertahankan kadar vitamin D serum di atas 50 nmol/L.
Kelebihan vitamin D dikaitkan dengan hiperkalsemia, hiperkalsiuria,
dan endapan mineral di jaringan lunak. Namun, dosis 800 IU sampai
1000 IU/hari untuk pencegahan defisiensi Vitamin D dianggap aman
(Rizzoli, 2021).

3. Pengobatan hormonal—Reseptor estrogen selektif modulator,


Testosteron, analog PTH.
a. Modulator reseptor estrogen selektif (Raloxifene dan Lasoxifene)
Modulator reseptor estrogen selektif (SERMs) seperti Raloxifene
dan Lasoxifene bertujuan untuk mencegah resorpsi tulang akibat
defisiensi estrogen. Mereka diindikasikan terutama untuk pengobatan
dan pencegahan osteoporosis pada wanita pasca-menopause dan
diindikasikan setelah terapi lini pertama dipertimbangkan. Sebagai
contoh kemanjuran, Lasoxifene 0,5 mg menunjukkan 42%
pengurangan risiko patah tulang belakang dan 24% pengurangan
tingkat bahaya patah tulang nonvertebral, pada 3 tahun pada wanita
berusia 59-80 tahun [86, 87]. Efek samping yang paling umum
dilaporkan termasuk hot flushes dan kram tungkai bawah.
Peningkatan risiko tromboemboli vena adalah efek samping yang
paling parah, meski untungnya jarang
b. Testosteron
Testosteron Endocrine Society merekomendasikan testosteron
untuk pria berisiko tinggi patah tulang dengan kadar testosteron di
bawah 200 ng/dl (6,9 nmol/l). Hal ini harus dipertimbangkan bahkan
untuk pasien yang tidak memiliki indikasi standar untuk terapi
testosteron tetapi memiliki kontraindikasi terhadap terapi osteoporosis
lainnya. Efek samping potensial termasuk efek kardiovaskular dan
metabolik dan peningkatan antigen spesifik prostat (Grech et al.,
2014)
c. Analog PTH (Teriparatide, Abaloparatide)
Teriparatide, hormon paratiroid sintetik, bersifat anabolik dalam
tulang daripada anti-resorptif. Ini dapat digunakan pada pria dan
wanita yang tidak toleran atau yang menderita efek samping parah
dari terapi lini pertama yang dijelaskan. Teriparatide harus diberikan
secara subkutan, 20mcg setiap hari selama maksimal 24 bulan.
Teriparatide dikontraindikasikan pada pasien dengan penyakit tulang
metabolik seperti penyakit Paget, metastasis otot rangka atau terapi
radiasi tulang sebelumnya. Efek samping termasuk mual, nyeri pada
tungkai, sakit kepala dan pusing.
Abaloparatide, analog PTH yang lebih baru menunjukkan risiko
patah tulang belakang baru yang lebih rendah jika dibandingkan
dengan plasebo dan teriparatid serta risiko patah tulang nonvertebral
yang lebih rendah dibandingkan dengan plasebo dan peningkatan
BMD yang signifikan di antara 2463 wanita pascamenopause berusia
49-86 tahun di studi The ACTIVE (Miller et al., 2016).

4. Terapi baru—Romosozumab, Dickkopf-1 (Dkk1) inhibitor.


a. Romozumab
Romosozumab adalah antibodi monoklonal yang mengikat
sclerostin menyebabkan peningkatan pembentukan tulang dan
penurunan resorpsi tulang. Ini diberikan sebagai injeksi subkutan
bulanan, dengan dosis 210 mg. Studi FRAME adalah percobaan
internasional, acak, tersamar ganda, terkontrol plasebo yang
membandingkan Romosozumab dengan plasebo pada wanita
pascamenopause berusia 55-90 tahun dengan osteoporosis. Kedua
kelompok juga menerima denosumab 6 bulanan. Kelompok
pengobatan Romosozumab menunjukkan risiko patah tulang belakang
baru 75% lebih rendah, pada 24 bulan; dengan tidak ada perbedaan
yang signifikan dalam efek samping (Cosman et al., 2016).
Studi ARCH, bagaimanapun, membandingkan kelompok wanita
pascamenopause yang menerima alendronate selama 24 bulan dan
kelompok yang menerima Romosozumab selama 12 bulan diikuti
dengan alendronate selama 12 bulan. Menariknya, pasien pada
kelompok Romosozumab-to-alendronate memiliki risiko patah tulang
belakang baru 48% lebih rendah (p <0,001) dan risiko patah tulang
klinis 27% lebih rendah (p <0,001). Risiko patah tulang nonvertebra
lebih rendah sebesar 19% (p = 0,04) dan risiko patah tulang pinggul
lebih rendah sebesar 38% (p = 0,02). Meskipun demikian, penting
untuk dicatat ketidakseimbangan dalam efek samping kardiovaskular
yang serius antara 2 kelompok-16 pasien (0,8%) pada kelompok
Romosozumab vs 6 (0,3%) pada kelompok alendronate melaporkan
kejadian iskemik jantung (rasio odds 2,65; 95% CI 1.03–6.77); dan 16
pasien (0,8%) pada kelompok Romosozumab vs 7 (0,3%) pada
kelompok alendronate melaporkan kejadian serebrovaskular (rasio
odds 2,27; 95% CI 0,93-5,22). Studi lebih lanjut diperlukan untuk
mengklarifikasi ketidakseimbangan ini (Saag et al., 2017).
b. Penghambatan ganda Dickkopf-1 (Dkk1) dan sclerotin
Dkk1 adalah salah satu antagonis dalam jalur pensinyalan Wnt
yang merupakan kaskade penting yang terlibat dalam pembentukan
tulang. Ditemukan bahwa penghambatan sklerotin dapat
menyebabkan peningkatan ekspresi Dkk1. Berdasarkan hal ini, sebuah
penelitian menunjukkan penggunaan antibodi bio-spesifik yang
direkayasa terhadap sclerostin dan Dkk1 secara bersamaan
menghasilkan efek yang lebih besar pada pembentukan tulang
dibandingkan dengan monoterapi pada hewan pengerat dan primata.
Perbaikan dalam penyembuhan dan kapasitas perbaikan tulang yang
patah juga terlihat ketika inhibisi ganda digunakan (Florio et al.,
2016). Hasil dari uji klinis saat ini sedang ditunggu.
(Barnsley et al.2021).
DAFTAR PUSTAKA

Lewis JR, Radavelli-Bagatini S, Rejnmark L et al (2015) The effects of calcium


supplementation on verified coronary heart disease hospitalization and death
in postmenopausal women: a collaborative meta-analysis of randomized
controlled trials. J Bone Miner Res 30:165–175.
Akawwi, I., Zmerly, H. 2018. Osteoporosis: Current Concepts. Joints. Vol. 6(2):
122-127.
Andarini, S., Suryana, B.P.P., Praja, D.W. 2020. Hubungan antara Usia, Body
Mass Index dan Jenis Kelamin dengan Osteoporosis. Majalah Kesehatan.
Vol 7(1): 34-40.
Barnsley, J., Buckland, G., Chan, P.E., Ong, A., Ramos, A.S., Baxter, M., Laskou,
F., Dennison, E.M., Cooper, C., Harnish, P.P. 2021. Pathophysiology and
Treatment of Osteoporosis: Challenges for Clinical Practice in Older
People. Aging Clinical and Experimental Research. Vol. 33: 759-773.
Chung M, Tang AM, Fu Z et al (2016) Calcium intake and cardiovascular disease
risk: an updated systematic review and metaanalysis. Ann Intern Med
165:856–866
Cosman F, Crittenden DB, Adachi JD et al (2016) Romosozumab treatment in
postmenopausal women with osteoporosis. N Engl J Med 375:1532–1543.
Florio M, Gunasekaran K, Stolina M et al (2016) A bispecific antibody targeting
sclerostin and DKK-1 promotes bone mass accrual and fracture repair. Nat
Commun 7:11505
Grech A, Breck J, Heidelbaugh J (2014) Adverse effects of testosterone
replacement therapy: an update on the evidence and controversy. Ther Adv
Drug Saf 5:190–200
Hadaita, N.T., Johan, A., Batubara, L. 2019. Hubungan antara IMT, Kadar SGOT
dan SGPT Plasma dengan Bone Mineral Density pada Lansia. Jurnal
Kedokteran Diponegoro. Vol. 8 (1): 343-356.
Harvey NC, Biver E, Kaufman JM et al (2017) The role of calcium
supplementation in healthy musculoskeletal ageing : an expert consensus
meeting of the european society for clinical and economic aspects of
osteoporosis, osteoarthritis and musculoskeletal diseases (ESCEO) and the
international foundation for osteoporosis (IOF). Osteoporos Int 28:447–462.
Jhamaria, NL., Udawat M, Baneri P, Kabra SG. 1983. The Trabecular Pattern of
the Calcaneum as an Index of Osteoporosis. Journal Bone Joint Surgery.
Vol. 65: 196-198.
Kasper, D.L, Fauci, A.S., Longo, D.L., Braunwald, E., Hauser, S.L., Jameson, J.L.
Harrison’s Principles of Internal Medicine. USA: Mc Graw Hill.
Limbong, E., Syahrul, F. 2015. Rasio Risiko Osteoporosis Menurut Indeks Massa
Tubuh, Paritas, dan Konsumsi Kafein. J Berk Epidemiol. Vol. 3:194–204.
Miller PD, Hattersley G, Riis BJ et al (2016) Effect of abaloparatide vs placebo on
new vertebral fractures in postmenopausal women with osteoporosis: a
randomized clinical trial. JAMA 316:722–733.
Montazerifar, F., Karajibani, M., Alamian, S., Sandoughi, M., Zakeri, Z.,
Dashipour, A.R. 2014. Age, Weight and Body Mass Index Effect on Bone
Mineral Density in Postmenopausal Women. Heal Scope. Vol. 3(2):1–5.
Rizzoli R (2021) Vitamin D supplementation: upper limit forsafety revisited?
Aging Clin Exp Res 33:19–24.
Saag KG, Petersen J, Brandi ML et al (2017) Romosozumab or alendronate for
fracture prevention in women with osteoporosis. N Engl J Med 377:1417–
1427.
Setyawati, B., Muda, D., Kota, D.I., Julianti, E.D., Adha, D. 2013. Faktor yang
Berhubungan dengan Densitas Mineral Tulang Perempuan Dewasa Muda di
Kota Bogor. Vol. 36(2):149–56.
Solomon, L., Marwick, D., Nagayam, S. 2010. Apley’s System of Orthopaedics
and Fractures 9th ed. Great Britain: Hodder Arnold.
Taie, W.A.M., Al Rasheed AM. 2014. The Correlation of Body Mass Index, Age,
Gender with Bone Mineral Density in Osteopenia and Osteoporosis : A
Study in the United Arab Emirates. Clin Med Diagnostics. Vol. 4(3):42–54.
Tang BM, Eslick GD, Nowson C (2007) Use of calcium or calcium in
combination with vitamin D supplementation to prevent fractures and bone
loss in people aged 50 years and older: a meta-analysis. Lancet 370:657–
666.
Tortora, G.J., Derrickson, B. 2014. Principles of Anatomy and Physiology 12th ed.
USA: John Wiley&Sons Inc.
Weaver CM, Alexander DD, Boushey CJ et al (2016) Calcium plus vitamin D
supplementation and risk of fractures: an updated meta-analysis from the
National Osteoporosis Foundation. Osteoporos Int 27:367–376.
Zullo AR, Zhang T, Lee Y et al (2019) Effect of bisphosphonates on fracture
outcomes among frail older adults. J Am Geriatr Soc. 67:768–776.

Anda mungkin juga menyukai