Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN

OPEN FRAKTUR

“Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Dalam Menyelesaikan Program


Studi Pendidikan Profesi Ners Stase Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis”

Oleh :
MUHAMMAD ARFIANSYAH, S. Kep
NIM : 22.300.0336

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS CAHAYA BANGSA
TAHUN AKADEMIK 2022/2023
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN

OPEN FRAKTUR

Oleh :
MUHAMMAD ARFIANSYAH, S. Kep
NIM : 22.300.0336

Palangka Raya, Maret 2023


Mengetahui,

Preseptor Akademik/CT Preseptor Klinik/CI

(Ria Anggara Hamba, S. Kep, Ns., M.MKes) (Katharina, S. Kep., Ns)


LAPORAN PENDAHULUAN
OPEN FRAKTUR

A. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya
disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, Arif, et al, 2014). Fraktur disebabkan
terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya.
Fraktur terjadi jika tulang dikenai stres yang lebih besar dari yang dapat
diabsorpsinya. Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya
meremuk, gerakan puntir mendadak dan bahkan kontraksi otot ekstrim.
Fraktur terbuka merupakan diskontinuitas jaringan tulang yang
terdapat hubungan fragmen fraktur dengan dunia luar, baik ujung fragmen
fraktur tersebut yang menembus dari dalam hingga ke permukaan kulit atau
kulit dipermukaan yang mengalami penetrasi suatu objek yang tajam dari luar
hingga kedalam (Thomas & Jason, 2012).

B. Anatomi Fisiologis
Menurut Price, Evelyn C,2008 anatomi fsiologis tulang manusia sebagai
berikut :
1. Tulang
Tulang adalah organ vital yang berfungsi untuk alat gerak pasif, proteksi
alat-alat di dalam tubuh, pembentuk tubuh metabolisme kalsium, mineral
dan organ hemopoetik. Komponen-komponen utama dari jaringan tulang
adalah mineral-mineral dan jaringan organik (kolagen dan proteoglikan).
Kalsium dan fosfat membentuk suatu kristal garam (hidroksiapatit), yang
tertimbun pada matriks kolagen dan proteoglikan. Matriks organik tulang
disebut juga sebagai osteoid. Sekitar 70% dari osteoid adalah kolagen
tipe I yang kaku dan memberikan ketegangan tinggi pada tulang. Materi
organik lain yang juga menyusun tulang berupa proteoglikan seperti
asam hialuronat.
a. Struktur tulang
Tulang sangat bermacam-macam baik dalam bentuk ataupun
ukuran, tapi mereka masih punya struktur yang sama. Lapisan yang
paling luar disebut Periosteum dimana terdapat pembuluh darah dan
saraf. Lapisan dibawah periosteum mengikat tulang dengan benang
kolagen disebut benang sharpey, yang masuk ke tulang disebut
korteks. Karena itu korteks sifatnya keras dan tebal sehingga disebut
tulang kompak. Korteks tersusun solid dan sangat kuat yang disusun
dalam unit struktural yang disebut Sistem Haversian.
Tiap sistem terdiri atas kanal utama yang disebut Kanal
Haversian. Lapisan melingkar dari matriks tulang disebut Lamellae,
ruangan sempit antara lamellae disebut Lakunae (didalamnya terdapat
osteosit) dan Kanalikuli. Tiap sistem kelihatan seperti lingkaran yang
menyatu. Kanal Haversian terdapat sepanjang tulang panjang dan di
dalamnya terdapat pembuluh darah dan saraf yang masuk ke tulang
melalui Kanal Volkman. Pembuluh darah inilah yang mengangkut
nutrisi untuk tulang dan membuang sisa metabolisme keluar tulang.
Lapisan tengah tulang merupakan akhir dari sistem Haversian,
yang didalamnya terdapat Trabekulae (batang) dari tulang.Trabekulae
ini terlihat seperti spon tapi kuat sehingga disebut Tulang Spon yang
didalam nya terdapat bone marrow yang membentuk sel-sel darah
merah. Bone Marrow ini terdiri atas dua macam yaitu bone marrow
merah yang memproduksi sel darah merah melalui proses
hematopoiesis dan bone marrow kuning yang terdiri atas sel-sel lemak
dimana jika dalam proses fraktur bisa menyebabkan Fat Embolism
Syndrom (FES).
b. Tulang panjang
Tulang panjang adalah tulang yang panjang berbentuk silinder
dimana ujungnya bundar dan sering menahan beban berat Tulang
panjang terdiriatas epifisis, tulang rawan, diafisis, periosteum, dan
medula tulang.
1) Diafisis (Batang) merupakanbagian tengah tulang yang berbentuk
silinder, bagian ini tersusun dari tulang kortikal yang memiliki
kekuatan yang besar.
2) Metafisis adalah bagian tulang yang melebar di dekat ujung akhir
batang. Daerah ini terutama disusun oleh tulang trabekula atau
spongiosa yang mengandung, sumsum merah.metafisis juga
menopang sendi dan menyediakan daerah yang cukup luas untuk
perlekatan tendon pada epifisis.
3) Epifisis yaitu lempeng epifisis adalah pertumbuhan longitudinal
pada anak-anak. Bagian ini akan menghilang pada tulang dewasa.
Bagian epifisis yang letaknya dekat dengan sendi tulang panjang
bersatu dengan metafisis sehingga pertumbuhan memanjang tulang
terhenti. Seluruh tulang diliputi oleh lapisan fibrosa yang disebut
periosteum, yaitu: yang mengandung sel-sel yang berproliferasi dan
berperan dalam proses pertumbuhan transversal tulang panjang.

Gambar struktur anatomis tulang panjang


Sumber : Price, Evelyn C,2008
2. Sel-sel tulang
a. Osteoblast
Sel tulang yang bertanggung jawab terhadap proses formasi
tulang, yaitu; berfungsi dalam sintesis matrik tulang yang disebut
osteoid, suatu komponen protein dalam jaringan tulang. Selain itu
osteoblas juga berperan memulai proses resorpsi tulang dengan cara
memebersihkan permukaan osteoid yang akan diresorpsi melalui
berbagai proteinase netral yang dihasilkan. Pada permukaan
osteoblas, terdapat berbagai reseptor permukaan untuk berbagai
mediator metabolisme tulang, termasuk resorpsi tulang, sehingga
osteoblas merupakan sel yang sangat penting pada bone turnoven.
b. Osteosit
Sel tulang yang terbenam didalam matriks tulang. Sel ini
berasal dari osteoblas, memilliki juluran sitoplasma yang
menghubungkan antara satu osteosit dengan osteosit lainnya dan
juga dengan bone lining cell di permukaan tulang. Fungsi osteosit
belum sepenuhnya diketahui, tetapi diduga berperan pada trasmisi
signal dan stimuli dari satu sel ke sel lainnya. Baik osteoblas maupun
osteosit berasal dari sel mesenkimal yang terdapat di dalam sumsum
tulang, periosteum dan mungkin endotel pembuluh darah. Sekali
osteoblas mensintesis osteosid, maka osteoblas akan berubah
menjadi osteosit dan terbenam di dalam osteoid yang disintesisnya.
c. Osteoklas
Sel tulang yang bertanggung jawab terhadap proses resorpsi
tulang. Pada tulang trabekular osteoklas akan membentuk cekungan
pada permukaan tulang yang aktif yang disebut: lakuna howship.
Sedangkan pada tulang kortikal, osteoklas akan membentuk kerucut
sedangkan hasil resorpsinya disebut: cutting cone, dan osteoklas
berada di apex kerucut tersebut. Osteoklas merupakan sel raksasa
yang berinti banyak, tetapi berasal dari sel hemopoetik mononuklear.
3. Metabolisme hormon pada tulang
a. Hormon paratiroid
Mempunyai efek langsung dan segera pada mineral tulang,
menyebabkan kalsium dan fosfat diabsorpsi dan bergerak memasuki
serum. Disamping itu, peningkatan kadar hormon paratiroid secara
perlahan-lahan menyebabkan peningkatan jumlah dan akttivitas
osteoklas, sehingga terjadi demineralisasi.
b. Hormon pertumbuhan
GH tidak mempunyai efek langsung terhadap remodeling
tulang, tetapi melalui perangsangan IGF 1. Efek langsung GH pada
formasi tulang sangat kecil, karena sel-sel tulang hanya
mengekpresiksn reseptor GH dalam jumlah kecil.
c. Kalsitonin
Kalsitonin menyebabkan kontraksi sitoplasma osteoklas dan
pemecahan osteoklas menjadi sel mononuklear dan menghambat
pembentukan osteoklas.
d. Estrogen dan androgen
Mempunyai peranan penting dalam maturasi tulang yang
sedang tumbuh dan mencegah kehilangan masa tulang. Reseptor
estrogen pada sel-sel tulang sangat sedikit diekspresikan sehingga
sulit diperlihatkan efek estrogen terhadap resorpsi dan formasi
tulang. Eatrogen dapat menurunkan resorpsi tulang secara tidak
langsung melalui penurunan sintesis berbagai sitokin,
e. Hormon tiroid
Berperan merangsang resorpsi tulang, hal ini akan
menyebabkan pasien hipertiroidisme akan disertai hiperkalsemia dan
pasien pasca menopouse yang mendapat supresi tiroid jangka
panjang akan mengalami osteopenia.
C. Nama-nama tulang pada tubuh
Berikut ini nama-nama tulang manusia (Price, Evelyn C,2008)
1. Cranium (tengkorak)
2. Mandibula (tulang rahang)
3. Clavicula (tulang selangka)
4. Scapula (tulang belikat)
5. Sternum (tulang dada)
6. Rib (tulang rusuk)
7. Humerus (tulang pangkal lengan)
8. Vertebra (tulang punggung)
9. Radius (tulang lengan)
10. Ulna (tulang hasta)
11. Carpal (tulang pergelangan tangan)
12. Metacarpal (tulang telapak tangan)
13. halanges (ruas jari tangan dan jari kaki)
14. Pelvis (tulang panggul)
15. Femur (tulang paha)
16. Patella (tulang lutut)
17. Tibia (tulang kering)
18. Fibula (tulang betis)
19. Tarsal (tulang pergelangan kaki)
20. Metatarsal (tulang telapak kaki)

D. Klasifikasi Fraktur
Ada beberapa klasifikasi fraktur yaitu (Price, Evelyn C,2008) :
1. Berdasarkan sifat fraktur
a. Fraktur tertutup (closed), bila terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar.
b. Fraktur terbuka (open, compound), terjadi bila terdapat hubungan
antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan di
kulit. Fraktur terbuka dibagi menjadi tiga derajat (menurut R.
Gustillo), yaitu:
1) Derajat I
a) Luka < 1 cm
b) Kerusakan jaringan lunak sedikit, tak ada tanda luka remuk
c) Kontaminasi minimal
2) Derajat II
a) Laserasi > 1 cm
b) Kerusakan jaringan lunak, tidak luas
c) Fraktur kominutif sedang
d) Kontaminasi sedang
3) Derajat III
a) Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur
kulit, otot, neurovascular serta kontaminasi derajat tinggi.
Fraktur derajat III terbagi atas:
b) Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat,
meskipun terdapat laserasi luas, atau fraktur segmental/sangat
kominutif yang disebabkan oleh trauma berenergi tinggi tanpa
melihat besarnya ukuran luka
c) Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur tulang yang terpapar
atau kontaminasi massif
d) Luka pada pembuluh arteri/saraf perifer yang harus diperbaiki
tanpa melihat kerusakan jaringan lunak
2. Berdasarkan komplit atau ketidak komplotan fraktur
a. Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang
atau melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.
b. Fraktur Inkomplit, patah hanya pada sebagian dari garis tengah
tulang seperti:
1) Hair Line Fraktur (patah retidak rambut)
2) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks
dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
3) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi
korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang.
3. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubbungannya dengan mekanisme
trauma.
a. Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
b. Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
c. Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral
yang disebabkan trauma rotasi.
d. Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi
yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.
e. Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau
traksi otot pada insersinya pada tulang

4. Berdasarkan jumlah garis patah


a. Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan
saling berhubungan.
b. Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak berhubungan.
c. Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
pada tulang yang sama. (rice, Evelyn C,2008)
E. Etiologi
1. Trauma
2. Gaya meremuk
3. Gerakan puntir mendadak
4. Kontraksi otot ekstrem
5. Keadaan patologis: osteoporosis, neoplasma
6. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit (Arief
Mansjoer,dkk.2014)
Lewis berpendapat bahwa tulang bersifat relatif rapuh namun
mempunyai cukup kekuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan. Fraktur
dapat diakibatkan oleh beberapa hal yaitu:
1. Fraktur akibat peristiwa trauma
Sebagian fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba
berlebihan yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, perubahan
pemuntiran atau penarikan. Bila tekanan kekuatan langsung tulang dapat
patah pada tempat yang terkena dan jaringan lunak juga pasti akan ikut
rusak. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur lunak juga pasti akan
ikut rusak. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan
kerusakan pada kulit diatasnya. Penghancuran kemungkinan akan
menyebabkan fraktur komunitif disertai kerusakan jaringan lunak yang
luas.
2. Fraktur akibat peristiwa kelelahan atau tekanan
Retak dapat terjadi pada tulang seperti halnya pada logam dan
benda lain akibat tekanan berulang-ulang. Keadaan ini paling sering
dikemukakan pada tibia, fibula atau matatarsal terutama pada atlet, penari
atau calon tentara yang berjalan baris-berbaris dalam jarak jauh.
3. Fraktur patologik karena kelemahan pada tulang
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang
tersebut lunak (misalnya oleh tumor) atau tulang-tulang tersebut sangat
rapuh.
F. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis umum pada fraktur meliputi (Arief Mansjoer,dkk.2014):
1. Luka pada daerah yang terkena membengkak dan disertai rasa sakit
2. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi, hematoma, dan edema
3. Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah
4. Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang
melekat diatas dan dibawah tempat fraktur
5. Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya
6. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit

G. Patofsiologi
Fraktur terjadi ketika tulang mendapatkan energi kinetik yang lebih
besar dari yang dapat tulang serap. Fraktur itu sendiri dapat muncul sebagai
akibat dari berbagai peristiwa diantaranya pukulan langsung, penekanan yang
sangat kuat, puntiran, kontraksi otot yang keras atau karena berbagai penyakit
lain yang dapat melemahkan otot. Pada dasarnya ada dua tipe dasar yang
dapat menyebabkan terjadinya fraktur, kedua mekanisme tersebut adalah:
Yang pertama mekanisme direct force dimana energi kinetik akan menekan
langsung pada atau daerah dekat fraktur. Dan yang kedua adalah dengan
mekanisme indirect force, dimana energi kinetik akan disalurkan dari tempat
tejadinya tubrukan ke tempat dimana tulang mengalami kelemahan. Fraktur
tersebut akan terjadi pada titik atau tempat yang mengalami kelemahan
(Wijaya, A.S dan Putri, Y.M. 2013).
Pada saat terjadi fraktur periosteum, pembuluh darah, sumsum tulang
dan daerah sekitar jaringan lunak akan mengalami gangguan. Sementara itu
perdarahan akan terjadi pada bagian ujung dari tulang yang patah serta dari
jaringan lunak (otot) terdekat. Hematoma akan terbentuk pada medularry
canal antara ujung fraktur dengan bagian dalam dari periosteum. Jaringan
tulang akan segera berubah menjadi tulang yang mati. Kemudian jaringan
nekrotik ini akan secara intensif menstimulasi terjadinya peradangan yang
dikarakteristikkan dengan terjadinya vasodilatasi, edema, nyeri, hilangnya
fungsi, eksudasi dari plasma dan leukosit serta infiltrasi dari sel darah putih
lainnya. Proses ini akan berlanjut ke proses pemulihan tulang yang fraktur
tersebut (Wijaya, A.S dan Putri, Y.M. 2013).
Pathway

Trauma atau tenaga fisik yang Patologis, osteoporosis


menekan tulang (kompresi, traksi)

Fraktur

Terputusnya Operatif
kontiunitas jaringan
tulang
Ansietas Luka post operasi

Kehilangan Pergeseran Kerusakan integritas


integritas tulang fragmen tulang jaringan

Hambatan mobiltas Nyeri akut


fisik

Sumber : Wijaya, A.S dan Putri, Y.M. 2013

H. Komplikasi
Ada beberapa komplikasi fraktur menurut Rasjad, Chairuddin.2015 yaitu :
1. Komplikasi Awal
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya
nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar,
dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan
emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan
reduksi, dan pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi
karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam
jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang
menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan
dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat.
c. Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering
terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel
lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah
dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai
dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea,
demam.
d. Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk
ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa
juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin
dan plat.
e. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang
rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan
diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya
oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
2. Komplikasi Dalam Waktu Lama
a. Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai
dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini
disebabkan karenn\a penurunan suplai darah ke tulang.
b. Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9
bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih
pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis.
Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
c. Malunion
Malunion, adalah suatu keadaan dimana tulang yang patah telah
sembuh dalam posisi yang tidak pada seharusnya, membentuk sudut
atau miring Malunion dilakukan dengan pembedahan dan
reimobilisasi yang baik.

I. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan foto radiologi dari fraktur: menentukan lokasi, luasnya
fraktur/trauma
2. Scan tulang: menidentifikasi kerusakan jaringan lunak
3. Pemeriksaan jumlah darah lengkap
4. Hematokrit mungkin meningkat (hemokonsentrasi), menurun
(perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh dari trauma
multiple)
5. Peningkatan SDP: respon stres normal setelah trauma
6. Arteriografi: dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai
7. Kreatinin: trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal
8. Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah atau
cedera hati (Rasjad,Chairuddin.2015)
J. Penatalaksanaan medik
Ada empat konsep dasar yang harus diperhatikan/pertimbangkan pada
waktu menangani fraktur (Rasjad,Chairuddin.2015):
1. Rekognisi: menyangkut diagnosa fraktur pada tempat kejadian
kecelakaan dan kemudian di rumah sakit.
a. Riwayat kecelakaan
b. Parah tidaknya luka
c. Diskripsi kejadian oleh pasien
d. Menentukan kemungkinan tulang yang patah
e. Krepitus
2. Reduksi: reposisi fragmen fraktur sedekat mungkin dengan letak
normalnya. Reduksi terbagi menjadi dua yaitu:
a. Reduksi tertutup: untuk mensejajarkan tulang secara manual dengan
traksi atau gips
b. Reduksi terbuka: dengan metode insisi dibuat dan diluruskan melalui
pembedahan, biasanya melalui internal fiksasi dengan alat misalnya;
pin, plat yang langsung kedalam medula tulang.
3. Retensi: menyatakan metode-metode yang dilaksanakan untuk
mempertahankan fragmen-fragmen tersebut selama penyembuhan
(gips/traksi)
4. Rehabilitasi: langsung dimulai segera dan sudah dilaksanakan bersamaan
dengan pengobatan fraktur karena sering kali pengaruh cidera dan
program pengobatan hasilnya kurang sempurna (latihan gerak dengan
kruck).

K. Penatalaksanaan Keperawatan
Prinsip menangani fraktur adalah mengembalikan posisi patahan ke
posisi semula dan mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan
patah tulang. Cara pertama penangan adalah proteksi saja tanpa reposisi atau
imobilisasi, misalnya menggunakan mitela. Biasanya dilakukan pada fraktur
iga dan fraktur klavikula pada anak. Cara kedua adalah imobilisasi luar tanpa
reposisi, biasanya dilakukan pada patah tulang tungkai bawah tanpa dislokasi.
Cara ketiga adalah reposisi dengan cara manipulasi yang diikuti dengan
imobilisasi, biasanya dilakukan pada patah tulang radius distal. Cara keempat
adalah reposisi dengan traksi secara terus-menerus selama masa tertentu.
(Sjamsuhidayat dkk, 2010).
Hal ini dilakukan pada patah tulang yang apabila direposisi akan
terdislokasi di dalam gips. Cara kelima berupa reposisi yang diikuti dengan
imobilisasi dengan fiksasi luar. Cara keenam berupa reposisi secara non-
operatif diikuti dengan pemasangan fiksator tulang secara operatif. Cara
ketujuh berupa reposisi secara operatif diikuti dengan fiksasi interna yang
biasa disebut dengan ORIF (Open Reduction Internal Fixation). Cara yang
terakhir berupa eksisi fragmen patahan tulang dengan prostesis
(Sjamsuhidayat dkk, 2010).

L. Data Fokus
1. Primary Survey
a. Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah
memeriksa responsivitas pasien dengan mengajak pasien berbicara
untuk memastikan ada atau tidaknya sumbatan jalan nafas. Seorang
pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka jalan nafas pasien
terbuka (Thygerson, 2011). Pasien yang tidak sadar mungkin
memerlukan bantuan airway dan ventilasi. Tulang belakang leher
harus dilindungi selama intubasi endotrakeal jika dicurigai terjadi
cedera pada kepala, leher atau dada. Obstruksi jalan nafas paling
sering disebabkan oleh obstruksi lidah pada kondisi pasien tidak
sadar (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada
pasien antara lain :
1) Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara
atau bernafas dengan bebas?
2) Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara
lain:
a) Adanya snoring atau gurgling
b) Stridor atau suara napas tidak normal
c) Agitasi (hipoksia)
d) Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest
movements
e) Sianosis
3) Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian
atas dan potensial penyebab obstruksi :
a) Muntahan
b) Perdarahan
c) Gigi lepas atau hilang
d) Gigi palsu
e) Trauma wajah
4) Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien
terbuka.
5) Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada
pasien yang berisiko untuk mengalami cedera tulang belakang.
6) Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas
pasien sesuai indikasi :
a) Chin lift/jaw thrust
b) Lakukan suction (jika tersedia)
c) Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal
Mask Airway
d) Lakukan intubasi

b. Breathing
Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai
kepatenan jalan nafas dan keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika
pernafasan pada pasien tidak memadai, maka langkah-langkah yang
harus dipertimbangkan adalah: dekompresi dan drainase tension
pneumothorax/haemothorax, closure of open chest injury dan
ventilasi buatan (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada
pasien antara lain :
1) Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan
oksigenasi pasien.
a) Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada
tanda-tanda sebagai berikut : cyanosis, penetrating injury, flail
chest, sucking chest wounds, dan penggunaan otot bantu
pernafasan.
b) Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga,
subcutaneous emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis
haemothorax dan pneumotoraks.
c) Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.
2) Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien
jika perlu.
3) Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih
lanjut mengenai karakter dan kualitas pernafasan pasien.
4) Penilaian kembali status mental pasien.
5) Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
6) Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan /
atau oksigenasi:
a) Pemberian terapi oksigen
b) Bag-Valve Masker
c) Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi
penempatan yang benar), jika diindikasikan
d) Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced airway
procedures
7) Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya
dan berikan terapi sesuai kebutuhan.
c. Circulation
Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ
dan oksigenasi jaringan. Hipovolemia adalah penyebab syok paling
umum pada trauma. Diagnosis shock didasarkan pada temuan klinis:
hipotensi, takikardia, takipnea, hipotermia, pucat, ekstremitas dingin,
penurunan capillary refill, dan penurunan produksi urin. Oleh karena
itu, dengan adanya tanda-tanda hipotensi merupakan salah satu
alasan yang cukup aman untuk mengasumsikan telah terjadi
perdarahan dan langsung mengarahkan tim untuk melakukan upaya
menghentikan pendarahan. Penyebab lain yang mungkin
membutuhkan perhatian segera adalah: tension pneumothorax,
cardiac tamponade, cardiac, spinal shock dan anaphylaxis. Semua
perdarahan eksternal yang nyata harus diidentifikasi melalui paparan
pada pasien secara memadai dan dikelola dengan baik (Wilkinson &
Skinner, 2000).
Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi
pasien, antara lain :
1) Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
2) CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk
digunakan.
3) Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan
pemberian penekanan secara langsung.
4) Palpasi nadi radial jika diperlukan:
a) Menentukan ada atau tidaknya
b) Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
c) Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
d) Regularity
5) Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau
hipoksia (capillary refill).
6) Lakukan treatment terhadap hipoperfusi
d. Disability
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan
skala AVPU :
1) A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya
mematuhi perintah yang diberikan
2) V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara
yang tidak bisa dimengerti
3) P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai
jika ekstremitas awal yang digunakan untuk mengkaji gagal
untuk merespon)
4) U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik
stimulus nyeri maupun stimulus verbal.
e. Exposure
Dilakukan tindakan pembidaian dan tanda-tanda patah tulang
2. Scondary Survey
a. Keluhan utama
Keluhan utamanya adalah rasa nyeri akut atau kronik. Selain itu
klien juga akan kesulitan beraktivitas.
b. Riwayat penyakit sekarang
Pada pengkajian riwayat penyakit sekarang, dijelaskan bagaimana
kondisi pasien saatini.
c. Riwayat penyakit dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.
Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang menyebabkan
fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu,
penyakit diabetes dengan luka sangat beresiko terjadinya
osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat
proses penyembuhan tulang (Padila, 2012).
d. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum : Kesadaran penderita : apatis, sopor, koma,
gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan klien.
a) Tanda-tanda vital : Kaji dan pantau potensial masalah yang
berkaitan dengan pembedahan : tanda vital, derajat kesadaran,
cairan yang keluar dari luka, suara nafas, pernafasan infeksi
kondisi yang kronis atau batuk dan merokok.
b) Pantau keseimbangan cairan
c) Observasi resiko syok hipovolemia akibat kehilangan darah
pada pembedahan mayor (frekuensi nadi meningkat, tekanan
darah turun, konfusi, dan gelisah)
d) Observasi tanda infeksi (infeksi luka terjadi 5-9 hari, flebitis
biasanya timbul selama minggu kedua) dan tanda vital
e) Kaji komplikasi tromboembolik : kaji tungkai untuk tandai
nyeri tekan, panas, kemerahan, dan edema pada betis
f) Kaji komplikasi emboli lemak : perubahan pola panas, tingkah
laku, dan tingkat kesadaran
g) Kaji kemungkinan komplikasi paru dan jantung : observasi
perubahan frekuensi frekuensi nadi, pernafasan, warna kulit,
suhu tubuh, riwayat penyakit paru, dan jantung sebelumnya.
h) Kaji pernafasan : infeksi, kondisi yang kronis atau batuk dan
merokok.

2) Secara sistemik menurut Padila (2012) antara lain:


a) Sistem integument
Terdapat eritema, suhu disekitar daerah trauma meningkat,
bengkak, edema, nyeri tekan.
b) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu normo cephalik simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
c) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan,
reflek menelan ada

d) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, tidak ada perubahan fungsi
maupun bentuk. Tidak ada lesi, simetris, tak edema
e) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis
f) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada
lesi atau nyeri tekan.
g) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
h) Mulut dan faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan,
mukosa mulut tidak pucat.
i) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris
j) Paru
Inspeksi: Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya
tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan
dengan paru
Palpasi : Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama
Perkusi : Suara ketok sonor, tak ada redup atau suara tambahan
lainnya
Auskultasi : Suara nafas normal, tak ada wheezing atau suara
tambahan lainnya seperti stridor dan ronkhi
k) Jantung
Inspeksi : Tidak tampak iktus jantung
Palpasi :Nadi meningkat, iktus tidak teraba
Auskultasi : Suara S1 dan S2 tunggal tak ada mur-mur
l) Abdomen
Inspeksi : Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia
Palpasi : Turgor baik, tidak ada defands muskuler hepar tidak
teraba
Perkusi : Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan
Auskultasi : Kaji bising usus
m)Inguinal-genetalis-anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, ada kesulitan
buang air besar.
n) Sistem musculoskeletal
Tidak dapat digerakkan secara bebas dan terdapat jahitan,
darah merembes atau tidak.
e. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan foto radiologi dari fraktur: menentukan lokasi,
luasnya fraktur/trauma
2) Scan tulang: menidentifikasi kerusakan jaringan lunak
3) Pemeriksaan jumlah darah lengkap
4) Hematokrit mungkin meningkat (hemokonsentrasi), menurun
(perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh dari
trauma multiple)
5) Peningkatan SDP: respon stres normal setelah trauma
6) Arteriografi: dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai
7) Kreatinin: trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk
klirens ginjal
8) Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah
atau cedera hati (Padila, 2012).
M. Analisa Data
No
Data Etiologi Masalah
.
1 DS : intoleransi Hambatan
DO : aktifitas mobilitas fisik
1. Penurunan waktu reaksi
2. Kesulitan membolak balik posisi
3. Dispnea setelah beraktivitas
4. Perubahan cara berjalan
5. Gerakan bergetar
6. Keterbatasan melakukan
keterampilan motorik halus
7. Keterbatasan rentang pergerakan
sendi
8. Tremor akibat pergerakan
9. Pergerakan tidak terkoordinasi
2 DS : proses Ansietas
DO : pembedahan
1. Membran mukosa dan
konjungtiva pucat
2. Kram pada abdomen tonus otot
jelk
3. Kurang berminat terhadap
makanan

3 DS : perubahan Kerusakan
DO : sensasi integritas
1. Kerusakan lapisan jaringan jaringan
2. Gangguan permukaan kulit
4 DS : agen injury fisik Nyeri Akut
DO :
1. Laporan secara verbal dan
nonverbal
2. Fakta dan observasi
3. Posisi menghindari nyeri
4. Gerakan melindungi
5. Gangguan tidur
6. Terfokus pada diri sendiri
7. Tingkah laku ekspresif (gelisah,
merintih, menangis, waspada,
iritabel, nafas panjang, berkeluh
kesah)
8. Perubahan dalam nafsu makan
dan minum
N. Diagnosa Keperawatan
1. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan intoleransi aktifitas
2. Ansietas berhubungan dengan proses pembedahan
3. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan perubahan sensasi
4. Nyeri Akut berhubungan dengan agen injury fisik

O. Nursing Care Planning (NCP)

Dx Nursing planning
No Nursing Outcome (NOC)
Keperawatan Clasificcation (NIC)
1. Hambatan Setelah dilakukan asuhan Terapi Aktifitas
mobilitas fisik keperawatan selama 1x24 jam Ambulasi
berhubungan diharapkan mobilitas fisik dalam 1. Monitoring vital sign
dengan rentang normal dengan criteria sebelum dan sesudah
intoleransi hasil : latihan, lihar respon
aktifitas Indicator IR ER pasien saat latihan
1. Posisi tubuh 3 5 2. Bantu pasien untuk
2. Gerakan otot 3 5 menggunakan tongkat
3. Kemampuan 3 5 saat berjalandan cegah
berpindah terhadap cedera
4. Gerakan sendi 3 5 3. Ajarkan pasien tehnik
ambulasi
4. Kaji kemampuan klien
dalam mobilisasi
5. Latih pasien dalam
Keterangan : pemenuhan kebutuhan
1. Tidak mandiri ADLs secara mandiri
2. Dibantu orang dan alat sesuai kebutuhan
3. Dibantu orang 6. Dampingi dan bantu
4. Dibantu alat pasien saat mobilisasi
5. Mandiri penuh dan bantu penuhi
kebutuhan ADLs
pasien
7. Ajarkan pasien
bagaimana merubah
posisi dan berikan
bantuan jika
diperlukan
2. Ansietas Setelah dilakukan asuhan Penurunan Cemas
berhubungan keperawatan selama 1x 24 jam 1. Gunakan pendekatan
dengan proses diharapkan pasien tidak yang menenangkan
pembedahan mengalami kecemasan dengan 2. Jelaskan semua
Kriteria hasil : prosedur dan apa
Indicator IR ER yang akan dirasakan
1. Menyingkirkan 3 5 selama prosedur
tanda 3. Berikan informasi
kecemasan factual mengenai
2. Mencari 3 5 diagnosis, tindakan
informasi untuk prognosis
menurunkan 4. Dorong keluargaa
cemas untuk imenemani
3. Menggunakan 3 5 pasien
tehnik relaksasi 5. Dengarkan dengan
untuk penuh perhaian
menurunkan 6. Instruksikan klien
kecemasan menggunakan tehnik
relaksasi untuk
Keterangan : menurunkan
1. Tidak pernah menunjukkan kecemasan
2. Jarang menunjukkan
3. Kadang-kadang menunjukkan
4. Sering menunjukkan
5. Selalu menunjukkan coping

3 Kerusakan Setelah dilakukan asuhan Pressure Management


integritas keperawatan selama 1x 24 jam 1. Anjurkan pasien
jaringan diharapkan integritas kulit klien untuk menggunakan
berhubungan utuh dengan Kriteria hasil : pakaian yang longgar
dengan Indicator IR ER 2. Hindari kerutan pada
perubahan 1. Sensasi sesuai 3 5 tempat tidur
sensasi yang 3. Jaga kebersihan kulit
diharapkan agar tetap bersih dan
2. Elastisitas 3 5 kering
sesuai yang 4. Mobilisasi pasien
diharapkan setiap 2 jam sekali
3. Bebas lesi 3 3 5. Monitor aktivitas dan
4. Warna sesuai 3 3 mobilisasi pasien
yang 6. Monitor kulit akan
diharapkan adanya kemerahan.
Keterangan :
1. Keluhan ekstrem
2. Keluhan berat
3. Keluhan sedang
4. Keluhan ringan
5. Tidak ada keluhan
4 Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan PAIN MANAJEMEN
berhubungan keperawatan selama 1 x 24 jam 1. Lakukan pengkajian
dengan agen diharapkan nyeri dapat teratasi. nyeri secara
injury fisik Kriteria hasil : komprehensif
Indikator IR ER 2. Observasi reaksi non
1. Melaporkan 3 5 verbal dari
adanya nyeri ketidaknyamanan
2. Luas bagian 3 5 3. Gunakan teknik
tubuh yang komunikasi terapeutik
terpengaruh untuk mengetahui
3. Frekuensi nyeri 3 5 pengalaman nyeri
4. Panjangnya 3 5 pasien.
episode nyeri 4. Ajarkan tentang
5. Pernyataan nyeri 3 5 tekhnik
6. Ekspresi nyeri 3 5 nonfarmakologi
pada wajah Seperti nafas dalam,
7. Perubahan 3 5 dan distraksi.
tekanan darah 5. Kolaborasi dengan
Keterangan : dokter jika ada
1. Kuat keluhan dan tindakan
2. Berat nyeri tidak berhasil
3. Sedang
4. Ringan
5. Tidak ada
DAFTAR PUSTAKA

Arief Mansjoer., dkk. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3 Jilid 2. Jakarta:

Media Esculapius. Fakulta Kedokteran Indonesia.

Brunnert & Suddarth, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Alih Bahasa :

Waluyo Agung., Yasmin Asih., Juli., Kuncara., I.Made Karyasa. Jakarta: EGC

Brunner & Suddart, 2010, Keperawatan Medical Bedah, Edisi 8, Jakarta: EGC

Ethel, Sloane. 2011. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: EGC

Jitowiyono, Sugeng, Kristiyanasari. 2012. Asuhan Keperawatan Post Operasi. Jakarta :

Nuha Medika.

Price, Evelyn C,2008 Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis, Jakarta: Gramedia

Rasjad, Chairuddin.2015. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: Yarsif

Waatampone

Wijaya, A.S dan Putri, Y.M. 2013. Keperawatan Medikal Bedah 2, Keperawatan

Dewasa Teori dan Contoh Askep. Yogyakarta : Nuha Medika

Wong, B.C. 2009. Perawatan Medikal Bedah. Volume 1. (terjemahan). Yayasan Ikatan

Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran : Bandung

Anda mungkin juga menyukai