Fakultas Kedokteran
Universitas Tadulako
OSTEOSARCOMA
DISUSUN OLEH:
ANNISA MUWAFFAQ
N 111 21 110
PEMBIMBING:
Dr. dr. Muh. Ardi Munir Sp.OT., M.Kes., FICS., FAACT., M.H
Dr. dr. Muh. Ardi Munir Sp.OT., M.Kes., FICS., ANNISA MUWAFFAQ
FAACT., M.H
BAB I
PENDAHULUAN
A. TULANG
1. Definisi Tulang
Tulang adalah jaringan hidup yang strukturnya dapat berubah
sebagai akibat tekanan yang mengenai tulang. Tulang bersifat keras
dan kaku dikarenakan klasifikasi matriks ekstraselnya 70% terdiri dari
rangkaian organik yaitu garam-garam phospat dan calcium, dan
mempunyai derajat elastisitas tertentu dikarenakan sekitar 30% terdiri
dari jaringan ikat dan sel-sel4.
Tulang memiliki fungsi diantaranya :
Menegakkan atau meneguhkan badan
Memberi bentuk badan
Melindungi organ-organ dalam atau organ yang penting
Sebagai alat gerak pasif -> tempat melekatnya otot
Membentuk sel-sel darah -> sebagai organ hematopoesis
Tempat penimbunan dari calcium dan fosfat
Berperan sebagai pengungkit (sendi pergerakan)
Apabila tulang di potong melintang, tulang akan terdiri dari :
1) Substansi compacta : bagian luar, tampak sebagai massa padat
2) Spongiosa / kanselosa : bagian dalam, berlubang-lubang seperti
bunga karang, terdiri dari cabang-cabang jalinan trabekula
sehingga dapat menahan dari tekanan dan tarikan yang
mengenai tulang.
3) Cavum medullare : bagian berongga di dalam substansi
spongiosa, di dalamnya diisi oleh medulla ossium
4) Medulla ossium flava : sumsum tulang kuning yang berisi sel-
sel lemak, pada usia 7 tahun sumsum kuning mulai tampak
pada tulang-tulang distal ekstremitas
5) Medulla ossium rubra : sumsum tulang merah yang akan
memproduksi granular leukosit. Aktivitas pembentukan darah
lambat laun akan berkurang seiring dengan bertambahnya usia.
6) Periosteum : pembungkus terluar tulang yang bersifat seperti
jaringan pengikat. Melapisi seluruh lapisan compacta kecuali
pada bagian yang berkatilago 5.
Periosteum terdiri dari 2 lapisan :
a. Stratum fibrosum (lapisan luar)
Terbentuk oleh jaringan pengikat yang mengandung
pembuluh darah, limfe, dan serabut-serabut saraf
b. Stratum germinativum (lapisan dalam)
Terdiri dari serabut halus dan sel-sel yang dapat membuat
sel-sel tulang baru
7) Serabut sharpey : berkas serabut-serabut kolagen yang berjalan
dari periosteum ke tulang di bawahnya.
2. Klasifikasi Tulang
1) Berdasarkan osteogenesisnya5 :
a. Tulang-tulang chondral
Proses penulangannya terjadi melalui stadium tulang rawan
kemudian menjadi tulang massa membran
b. Tulang-tulang membran
Massa membran langsung mengalami penulangan, tanpa
menjadi tulang rawan terlebih dahulu
2) Berdasarkan bentuk :
a. Tulang Panjang (Long bones/ Os. Logum)
Biasanya berfungsi sebagai pengungkit/pengangkat beban.
Terdapat pada tulang anggota gerak atas atau bawah.
Contoh : Humerus, Tibia, Femur, Ulna, Metacarpal
b. Tulang Pendek (Short bones/ Os. Braves)
Berbentuk kuboidal (kubus).
Contoh : tulang pada pegelangan tangan (carpalis0 dan kaki
(tarsalis)
c. Tulang Pipih (Flat bones/ Os. Planum)
Permukaannya luas, biasanya berfungsi untuk melindungi
organ dan tempat melekatnya otot.
Contoh : tulang cranial (frontal, parietal, occipital, temporal),
tulang iga (costa), & tulang bahu (scapula)
d. Tulang tidak beraturan (Irregular bones/ Os. Irregular)
Bentuk, ukuran dan permukaannya bervariasi.
Contoh : Tulang belakang (vertebra), saccrum, coccyx,
temporal, sphenoid, nasal, zygomatic, maxilla, mandibula
e. Tulang berongga (Os. Pneumaticum)
Pada tengkorak terddapat tulang yang berongga.
Contoh : tulang ethmoidalis, frontalis, mastoid, maxillaris5
3. Komposisi Tulang
a. Jaringan tulang :
- Jaringan ikat (connective tissue)
- Tersusun oleh 4 jenis sel, matriks, dan membrane tulang.
b. Sel Tulang
1) Osteoprogenitors
Jenis selnya belum berdifferensiasi, mampu bermitosis
membentuk osteoblasts. Pada permukaan & rongga tulang yang
mengandung pembuluh darah & sum-sum tulang (bone
marrow)
2) Osteoblasts
Sel pembentuk sel tulang & matriks tulang. Pada permukaan &
rongga tulang yang mengandung pembuluh darah & bone
marrow
3) Osteocytes
Menyusun sebagian besar struktur tulang. Selnya hasil
diferensiasi dari osteoblast. Terdapat disekitar matriks tulang &
berfungsi mempertahankan matriks tulang.
4) Osteoclasts
Terdapat pada permukaan dan rongga tulang yang mengandung
pembuluh darah dan bone marrow. Berfungsi meresorpsi
(menghancurkan) matriks tulang. Fungsi ini terkait dengan
pertumbuhan dan perbaikan tulang.
c. Matriks tulang : terdiri dari 20% air, 20% protein dan 60% mineral
1) Senyawa inorganik : terutama kalsium dan fosfor, juga Mg,
sulfat dan flouride. Memberikan sifat keras dan kekuatan
tulang.
2) Senyawa organik (osteoid) : proteoglycans, glycoproteins dan
collagen fiber yang membentuk fleksibilitas tulang.
d. Membran Tulang
- Permukaan eksternal dan internal tulang dilindungi oleh
membran periosteum dan membran endosteum
- Kedua membran tersebut mengandung osteoblasts dan
osteoclasts yang berperan dalam pertumbuhan, perbaikan dan
mempertahankan fungsi tulang.
PERIOSTEUM : terletak pada bagian luar tulang yang
tidak memiliki kartilago dan dilalui oleh pembuluh
darah, limfa, dan syaraf yang berpentrasi kedalam
tulang.
ENDOSTEUM : membran osteogenik seperti halnya
periosteum yang mengandung osteocytes dan
osteoclasts
Endosteum melapisi bagian dalam tulang yang
mengandung sum-sum atau pembuluh darah (marrow
and/or blood vessels)
e. Jaringan tulang
1) Jaringan tulang padat (compact/dense bone)
2) Jaringan tulang berongga (spongy bone) 5
B. OSTEOSARKOMA
1. Definisi
Osteosarkoma atau disebut juga osteogenik sarkoma merupakan
salah satu bentuk neoplasma ganas primer pada tulang tersering kedua
setelah mieloma multipel. Osteosarkoma berasal dari sel primitif
(poorly differentiated cells) pada bagian metafisis tulang panjang atau
perkembangannya berasal dari osteoblastik sel mesenkim primitif yang
merupakan sel yang memproduksi tulang atau matriks osteoid 3.
Osteosarkoma merupakan tumor ganas primer pada tulang yang
paling sering muncul (0,2% dari semua jenis tumor ganas pada tulang),
dengan angka insiden 3 kasus per satu juta populasi per tahun. Kasus
Osteosarkoma biasanya terjadi pada usia muda dengan puncak insiden
pada dekade kedua, tetapi ada juga yang terjadi pada usia tua. Angka
kejadian Osteosarkoma pada anak-anak dan remaja terlihat relatif
hampir sama di seluruh dunia. Telah diketahui Osteosarkoma lebih
umum terjadi pada pria daripada wanita baik untuk usia muda, maupun
usia tua1.
2. Faktor resiko
Menurut Fuchs dan Pritchad osteosarkoma dapat disebabkan oleh
beberapa faktor, diantaranya:
1) Senyawa kimia, yaitu senyawa antrasiklin dan senyawa
pengalkilasi, beryllium dan methylcholanthrene yang dapat
menyebabkan perubahan genetik.
2) Virus, diantaranya Rous sarcoma virus yang mengandung gen V-
Src yang merupakan protoonkogen dan virus FBJ yang
mengandung protoonkogen c- Fos yang dapat menyebabkan
kurang responsif terhadap kemoterapi.
3) Radiasi, yang dihubungkan dengan sarkoma sekunder pada orang
yang pernah mendapatkan radiasi untuk terapi kanker.
4) Faktor risiko lainnya, seperti:
a. Penyakit lain seperti Paget’s disease, osteomielitis kronis,
osteochondroma, poliostotik displasia fibrosis, dan eksostosis
herediter multiple.
b. Genetik, pada Sindroma Li-Fraumeni, Retinoblastoma,
Sindrom Werner, Routhmund Thomson, dan Bloom.
c. Lokasi implan logam3
3. Patofisiologi
Osteosarkoma disebabkan oleh beberapa faktor predisposisi, yaitu
dapat disebabkan oleh mutasi genetik dan faktor lingkungan. Terjadi
invaktivasi pada jalur P53 dan RB yang berperan dalam pertumbuhan
osteosarkoma. Osteoblast memiliki fungsi membentuk struktur tulang.
Pada osteosarkoma terjadi mutasi gen yang mengatur osteoblast yaitu
onkogen dan tumor suppressor genes. Mutasi tersebut mengakibatkan
terjadi proliferasi osteoblast secara berlebih yang mengarah keganasan.
Sehingga menyebabkan pembentukan jaringan osteoid ganas pada
tulang yang berakibat terjadi penekanan pada sumsum tulang. Hal
tersebut menyebabkan terjadinya penurunan produksi sel darah merah
yang dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh dan tubuh menjadi
rentan terhadap infeksi. Selain penekanan pada sumsum tulang, terjadi
juga metastasis sel kanker dan peningkatan tekanan pada tulang yang
menyebabkan nyeri, bengkak, dan fraktur pada tulang tersebut 3
4. Klasifikasi
Osteosarkoma diklasifikasikan oleh WHO, yaitu sebagai berikut:
1) Conventional Ostoesarcoma yang terdiri dari Osteoblastic
Osteosarcoma, Chondroblastic Osteosarcoma, dan Fibroblastic
Osteosarcoma;
2) Telangietatic Osteosarcoma;
3) Small Cell Osteosarcoma;
4) Low Grade Central Osteosarcoma;
5) Secondary Osteosarcoma yang terdiri dari Paget Osteosarcoma,
Post-radiation Osteosarcoma, dan Osteosarcoma pada berbagai
penyakit tulang;
6) Parosteal Osteosarcoma;
7) Periosteal Osteosarcoma;
8) High Grade Surface Osteosarcoma1.
5. Klasifikasi Histologi & Stadium Osteosarkoma
Terdapat tiga jenis sub tipe secara histologi :
1. Intramedullary
a. High-grade intramedullary osteosarcoma
b. Low-grade intramedullary osteosarcoma
2. Surface
a. Parosteal osteosarcomas
b. Periosteal osteosarcomas
c. High-grade surface osteosarcoma
3. Ekstraskeletal
Selain dapat menentukan klasifikasi berdasarkan histologi, terdapat
2 jenis klasifikasi stadium, yaitu berdasarkan Musculoskeletal
Tumor Society (MSTS) untuk stratifikasi tumor berdasarkan
derajat dan ekstensi lokal serta stadium berdasarkan American
Joint Committee on Cancer (AJCC) edisi 7.
Sistem Klasifikasi Stadium MSTS (Enneking)
- IA: derajat keganasan rendah, lokasi intrakompartemen, tanpa
metastasis
- IB: derajat keganasan rendah, lokasi ekstrakompartemen, tanpa
metastasis
- IIA: derajat keganasan tinggi, lokasi intrakompartemen, tanpa
metastasis
- IIB: derajat keganasan tinggi, lokasi ekstrakompartemen, tanpa
metastasis
- III: ditemukan adanya metastasis
Sistem Klasifikasi AJCC edisi ke 7
- IA: derajat keganasan rendah, ukuran ≤ 8
- IB: derajat keganasan rendah, ukuran > 8 atau adanya
diskontinuitas
- IIA: derajat keganasan tinggi, ukuran ≤ 8
- IIB: derajat keganasan tinggi, ukuran > 8
- III: derajat keganasan tinggi, adanya diskontinuitas
- IVA: metastasis paru
- IVB: metastasis lain
6. Manifestasi
Umumnya gejala klinik terjadi beberapa minggu sampai bulan
setelah timbulnya penyakit ini. Gejala awal relatif tidak spesifik seperti
nyeri dengan atau tanpa teraba massa. Nyeri biasanya dilukiskan
sebagai nyeri yang dalam dan hebat, yang dapat dikelirukan sebagai
peradangan. Pemeriksaan fisik mungkin terbatas pada massa nyeri,
keras, pergerakan terganggu, fungsi normal menurun, edema, panas
setempat, teleangiektasi, kulit diatas tumor hiperemi, hangat, edema,
dan pelebaran vena. Pembesaran tumor secara tiba-tiba umumnya
akibat sekunder dari perdarahan dalam lesi. Fraktur patologik terjadi
pada 5-10% kasus. Tumor ini dapat tumbuh pada tulang manapun,
tetapi umumnya pada tulang panjang terutama distal femur, diikuti
proksimal tibia dan proksimal humerus dimana growth plate paling
proliferatif. Pada tulang panjang sering pada bagian metafisis (90%)
kemudian diafisis (9%), dan jarang pada epifisis 4
7. Diagnosis
Ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, dapat ditemukan tanda dan
gejala, antara lain :
- Nyeri lokal yang semakin progresif (yang awalnya ringan dan
intermiten namun lama-kelamaan menjadi semakin hebat dan
menetap)
- Massa (pada ekstremitas yang membesar dengan cepat, nyeri
pada penekanan dan venektasi)
- Edema jaringan lunak
- Fraktur patologis dapat terjadi pada 5-10% pasien
osteosarcoma
- Keterbatasan gerak (range of motion)
- Penurunan berat badan
- Anemia
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pasien dengan gejala dan tanda osteosarkoma perlu
menjalani berbagai pemeriksaan klinis, laboratorium,
radiologis dan pemeriksaan jaringan. Setelah lengkap,
diagnosis dan rencana tata laksana pasien diputuskan melalui
forum rutin clinico-pathological conference yang melibatkan
spesialisorthopaedi onkologi, radiologi muskuloskeletal,
patologi anatomi muskuloskeletal, hematologi onkologi dewasa
dan anak, serta radioterapi5.
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mengetahui
keadaan umum pasien osteosarkoma sebagai dasar diagnosis
walaupun tidak spesifik. Dilakukan pemeriksaan darah rutin
(hemoglobin, lekosit, trombosit, gambaran darah tepi), dan
pemeriksaan C-reactive protein (CRP), fosfatase alkali (ALP),
laktat dehidrogenase (LDH), serta laju endap darah (LED)
untuk evaluasi perjalanan osteosarkoma5.
CRP adalah protein fase akut yang diproduksi oleh
hepatosit; kadarnya dalam serum berkorelasi dengan inflamasi
sistemik. Walaupun sensitif, peningkatan CRP adalah penanda
inflamasi tidak spesifik terhadap osteosarkoma. Ekspresi CRP
diinduksi oleh interleukin-6 (IL-6) dan ditingkatkan oleh IL-1
dan tumor necrosis factor (TNF). Nilai CRP (0,1-0,5 mg/mL)
pada keadaan normal dapat meningkat hingga 100 kali lipat
selama peradangan sistemik. CRP sebelum operasi adalah
prediktor independen terhadap kesintasan pasien osteosarkoma.
Nilai CRP yang tinggi adalah prediktor independen terhadap
kesintasan yang buruk dan tingginya kemungkinan rekurensi.
CRP dapat digunakan sebagai salah satu indikator/ faktor
prognosis osteosarkoma5.
ALP serum adalah anggota kelompok enzim metaloprotein
yang berfungsi memisahkan fosfatase dari grup ester fosfat
organik. Peningkatan aktivitas ALP diikuti peningkatan
aktivitas osteoblas tulang. ALP ditemukan di hati dan sejumlah
kecil diproduksi oleh sel-sel yang melapisi usus, plasenta, dan
ginjal. Untuk membedakannya diperlukan pemeriksaan spesifik
yaitu ALP tulang (isoenzim ALP-2), ALP hati (isoenzim ALP-
1), atau ALP usus (isoenzim ALP-3).
Nilai ALP serum merupakan total enzim fosfatase, bukan
nilai spesifik isoenzim fosfatase tulang. Nilai ALP pada orang
dewasa lebih rendah dibandingkan anak-anak. ALP sering
digunakan sebagai penanda tumor tulang, baik tumor primer
maupun sekunder (metastasis) 5.
ALP merupakan indikator penting yang memengaruhi
prognosis pasien osteosarkoma. Banyak peneliti yang
menjadikan ALP (tulang) sebagai indikator prognostik pasien
dengan tumor tulang dan untuk mengevaluasi respons terhadap
kemoterapi. ALP juga digunakan sebagai salah satu penanda
metastasis karsinoma ke tulang5.
Nilai ALP normal sebelum terapi osteosarkoma
berhubungan dengan angka kesintasan 5 tahun yang lebih baik
(67% vs 54%). Nilai ALP (tulang) lebih tinggi pada pasien
osteosarkoma dibandingkan tumor tulang jinak. Penurunan
ALP tulang selama kemoterapi adalah indikator menurunnya
aktivitas osteoblas dan mineralisasi tulang.16 Pada pasien
osteosarkoma anak yang ditata laksana kemoterapi dan
pembedahan terjadi penurunan ALP tulang dan prognosisnya
baik. Sebaliknya pada pasien osteosarkoma yang tidak
memberikan respons terhadap kemoterapi dan pembedahan,
nilai ALP tulang tidak menurun5.
Nilai sensitivitas dan spesifisitas ALP di tumor tulang
primer 53,2% dan 90,1% tetapi sangat spesifik pada diagnosis
osteosarkoma. Pada pasien tumor solid tanpa gejala klinis dan
nilai ALP total normal, bone scan tidak diperlukan. Bone scan
dapat dilakukan pada pasien tumor solid tanpa gejala klinis
dengan nilai ALP total atau ALP tulang abnormal yang
menunjukkan ALP total dan ALP tulang dapat untuk skrining
metastasis tulang sehingga bone scan dapat dikurangi.
Peningkatan ALP tulang sering diikuti kenaikan progresifitas
penyakit namun penurunan ALP tulang merupakan respons
positif terhadap terapi5.
Sel normal memenuhi kebutuhan energi melalui proses
oksidasi aerobik sedangkan sel kanker memenuhi kebutuhan
energinya yang sedemikian besar melalui proses glikolisis.
Glukosa diubah menjadi piruvat dan teroksidasi menjadi
nikotinamid adenin dinukleotida (NAD+ ). Selanjutnya, NAD+
dikonversi menjadi bentuk tereduksi nikotinamid adenin
dinukleotid (NADH). Laktat dehidrogenase mengkatalisis
reaksi reversibel piruvat menjadi laktat disertai produksi NAD+
dan mempertahankan produksi ATP serta keberlangsungan
glikolisis5.
Tingginya nilai LDH mencerminkan aktivitas kanker dan
agresivitas tumor misalnya pada sarkoma ewing dan limfoma.
Peningkatan nilai LDH menggambarkan prognosis buruk pada
osteosarkoma. Nilai LDH yang tinggi berhubungan dengan
rendahnya event free survival, namun penelitian lain
melaporkan LDH bukan indikator prognostik osteosarkoma.
LDH juga tidak dapat dijadikan sebagai indikator respons
tidaknya kemoterapi neoajuvan pada osteosarkoma 5.
LED adalah indikator proses inflamasi dan kerusakan
jaringan yang sensitif tetapi tidak spesifik. LED digunakan
sebagai faktor prognostik osteosarkoma dan sarkoma ewing
namun tidak dapat dijadikan indikator prognostik atau
mengevaluasi luaran pada pasien osteosarkoma5.
b. Pemeriksaan Radiologi
Pendekatan diagnosis dan tatalaksana osteosarkoma
dilakukan secara multidisiplin untuk mengurangi morbiditas,
serta memperoleh luaran fungsional dan kesintasan yang lebih
baik. Diagnosis akurat dan penentuan stadium osteosarkoma
sangat perlu dalam merencanakan tata laksana yang sesuai serta
memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga5.
Selesai pemeriksaan klinis dan laboratorium, dilakukan
pemeriksaan radiologi dan jaringan. Pada pemeriksaan foto
polos, gambaran osteosarkoma dapat berupa lesi osteoblastik
(sklerotik) karena pembentukan osteoid ganas (osteosarkoma
subtipe osteoblastik) lebih dominan atau lesi osteolitik karena
proses destruksi tulang lebih dominan (osteosarkoma subtipe
fibroblastik) atau kombinasi keduanya, bergantung mineralisasi
matriks osteoid yang dihasilkan5.
6) Periosteal Osteosarcoma;
7) High Grade Surface Osteosarcoma.
8. Tatalaksana
Tatalaksana osteosarkoma pada ekstremitas terdiri atas kemoterapi
neoajuvan, diikuti reevaluasi stadium osteosarkoma, pembedahan dan
kemoterapi ajuvan. Sebelum pembedahan, harus dinilai respons
kemoterapi melalui gambaran klinis, laboratoris, dan radiologis.
Kemoterapi neoajuvan (kemoterapi sebelum pembedahan) menjadi
baku emas tatalaksana osteosarkoma yang direncanakan LSS.
Kemoterapi neoajuvan biasanya berlangsung 6-8 minggu.
Kemoterapi neoajuvan dapat menghambat/ menghilangkan
mikrometastasis dan pertumbuhan lokal osteosarkoma, mengecilkan
ukuran tumor serta menyebabkan kematian lesi satelit pada
pseudokapsul/zona reaktif. Manfaat penting lainnya adalah
memungkinan LSS, memudahkan reseksi tumor secara en bloc, serta
mengevaluasi respons kemoterapi dengan menilai persentase sel tumor
osteosarkoma yang nekrosis.
Di Indonesia, walaupun pasien diberikan kemoterapi neoajuvan,
prosedur pembedahan dapat berupa LSS atau amputasi. Penyebab
amputasi adalah ukuran tumor sangat besar akibat pemijatan,
kontaminasi biopsi terbuka, terlambat ke rumah sakit, respons terhadap
kemoterapi kurang baik pada osteosarkoma sub-tipe kondroblastik, dan
pemberian kemoterapi tidak sesuai jadwal. Pasien menghadapi
masalah saat akan menjalani bone scan dan MRI setelah kemoterapi
neoajuvan. Pembedahan seharusnya dilakukan 3-4 minggu setelah
kemoterapi siklus ke-3, namun karena panjangnya antrian, pelaksanaan
menjadi setelah siklus ke-4, ke-5, bahkan ke-6. Akibatnya, tumor
semakin besar sehingga tidak ideal lagi untuk LSS.
LSS atau amputasi harus diputuskan berdasarkan pertimbangan
matang dengan memerhatikan fungsi ekstremitas pascapembedahan,
komplikasi, emosi pasien, dan perbedaan luaran dari setiap tumor
ganas. Pada LSS perlu dipertimbangkan hal-hal berikut:
1. Reseksi tumor dapat dilakukan secara en bloc.
2. Potensi rekurensi dan kesintasan pasien osteosarkoma tidak
lebih buruk dari amputasi.
3. Prosedur LSS tidak boleh menunda kemoterapi adjuvan.
Keberhasilan kemoterapi pada osteosarkoma ditentukan oleh
waktu pemberian dan dosis kemoterapi yang tepat.
4. Fungsi ekstremitas pasca LSS diharapkan lebih baik daripada
pasca-amputasi. Fungsi ekstremitas pascarekonstruksi harus
mencapai luaran fungsional yang baik, mengurangi morbiditas
jangka panjang dan mengurangi/ meminimalkan pembedahan
tambahan.
5. Rekonstruksi pasca LSS tidak boleh menimbulkan komplikasi
yang membutuhkan pembedahan berikutnya atau perawatan RS
berulang.
Apabila syarat di atas tidak terpenuhi, maka prosedur yang dipilih
adalah amputasi. Dengan kata lain, bila prosthesis memiliki fungsi
lebih baik dari LSS, dapat dipertimbangkan amputasi.
Amputasi diindikasikan pada osteosarkoma yang melibatkan
struktur neurovaskular utama, osteosarkoma dengan ekstensi ke
jaringan lunak yang sangat luas, ulserasi dan infeksi tumor serta
perdarahan masif. Indikasi amputasi lainnya adalah kontaminasi
osteosarkoma ke jaringan lunak pada fraktur patologis atau setelah
biopsi terbuka yang buruk dengan komplikasi pertumbuhan tumor
yang luas lebih dari 1 kompartemen. Amputasi juga diindikasikan pada
kegagalan LSS dan atau pada rekurensi lokal persisten.31 LSS disertai
kemoterapi neoajuvan dan ajuvan memiliki angka rekurensi lokal yang
tidak berbeda bermakna dibandingkan amputasi.
Kemoterapi
Kemoterapi merupakan pengobatan yang sangat vital pada
osteosarkoma, terbukti dalam 30 tahun belakangan ini dengan
kemoterapi dapat mempermudah melakuan prosedur operasi
penyelamatan ekstremitas (limb salvage procedure) dan meningkatkan
survival rate dari penderita. Kemoterapi juga mengurangi metastase ke
paru-paru dan sekalipun ada, mempermudah melakukan eksisi pada
metastase tersebut.
Regimen standar kemoterapi yang dipergunakan dalam pengobatan
osteosarkoma adalah kemoterapi preoperatif (preoperative
chemotherapy) yang disebut juga dengan induction chemotherapy atau
neoadjuvant chemotherapy dan kemoterapi postoperatif (postoperative
chemotherapy) yang disebut juga dengan adjuvant chemotherapy.
Kemoterapi preoperatif merangsang terjadinya nekrosis pada tumor
primernya, sehingga tumor akan mengecil. Selain itu akan memberikan
pengobatan secara dini terhadap terjadinya mikro-metastase. Keadaan
ini akan membantu mempermudah melakukan operasi reseksi secara
luas dari tumor dan sekaligus masih dapat mempertahankan
ekstremitasnya. Pemberian kemoterapi postoperatif paling baik
dilakukan secepat mungkin sebelum 3 minggu setelah operasi.
9. Prognosis
Prognosis penyakit ini dipengaruhi oleh ukuran tumor, derajat
nekrosis, penyebaran ke korteks dan penetrasi jaringan lunak serta
penurunan berat badan > 10 pon. Dengan pemakaian kemoterapi baru
dan operasi, 5 dan 10 year survival year meningkat. Penurunan
osteoklastogenesis dan aktivasi presentasi antigen lebih banyak
ditemukan pada kasus kemoresisten. Penelitian Shipley JA dkk dari 30
kasus osteosarkoma yang diterapi, setelah 30 bulan 1/3 penderita bebas
penyakit, 6 penderita dengan metastasis rata-rata hidup 16 bulan dan ½
penderita meninggal. Adanya metastasis pada waktu diagnosis dan
ukuran tumor > 10 cm dikaitkan dengan prognosis jelek. Perlu
diingatkan bila penderita usia belasan dengan massa nyeri disekitar
lutut perlu pemeriksaan lanjut 4.
BAB III
KESIMPULAN