Anda di halaman 1dari 40

Bagian Ilmu Bedah REFERAT

Fakultas Kedokteran
Universitas Tadulako

OSTEOSARCOMA

DISUSUN OLEH:

ANNISA MUWAFFAQ
N 111 21 110

PEMBIMBING:
Dr. dr. Muh. Ardi Munir Sp.OT., M.Kes., FICS., FAACT., M.H

DIBUAT DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU BEDAH
RSUD UNDATA PALU
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : ANNISA MUWAFFAQ


No. Stambuk : N 111 21 110
Fakultas : Kedokteran
Program Studi : Pendidikan Kedokteran
Judul Referat : Osteosarcoma
Bagian : Ilmu Bedah

Bagian Ilmu Bedah


RSUD Undata Palu
Fakultas Kedokteran
Universitas Tadulako

Palu, Maret 2023

Pembimbing Klinik Dokter Muda

Dr. dr. Muh. Ardi Munir Sp.OT., M.Kes., FICS., ANNISA MUWAFFAQ
FAACT., M.H
BAB I
PENDAHULUAN

Kanker merupakan suatu kelainan pada tingkat biomolekular yang


menyebabkan sel dapat tumbuh tidak terkendali sehingga dapat menyerang
jaringan lain di sekitarnya dan tidak menutup kemungkinan untuk dapat
bermigrasi menuju jaringan tubuh lainnya. Terdapat banyak jenis tumor pada
tulang, jenis tumor tersebut dapat diklasifikasikan menjadi, tumor jinak, tumor
ganas atau yang bisa disebut kanker, dan ada pula tumor ganas sekunder yang
disebabkan oleh penyebaran dari salah satu organ atau disebut metastasis1.
Osteosarkoma merupakan neoplasma tulang yang didiagnosa berdasarkan
pemeriksaan histologi terhadap produksi osteoid berhubungan dengan malignant
mesenchymal cells. Osetosarkoma umumnya adalah tumor yang agresif dan
cenderung bermetastasis secara dini. Di Indonesia, berdasarkan Riset Dasar
Kesehatan 2013 didapatkan prevalensi penyakit kanker sebesar 1,4 per mil (‰).
Odds ratio tumor tulang adalah 4.62 sedangkan insiden tumor tulang ganas di
Indonesia didapatkan sebesar 1,6% dari seluruh jenis tumor ganas pada manusia,
dengan kecenderungan meningkatnya insiden tumor tulang setiap tahunnya2.
Osteosarkoma paling sering menyerang kelompok usia anak-anak
dibandingkan kelompok usia dewasa. Insiden osteosarkoma dapat meningkat
kembali pada usia diatas 60 tahun, sehingga penyakit ini memiliki distribusi yang
bersifat bimodal. World Health Organization (WHO) menyebutkan insiden
osteosarkoma sekitar 4-5 per 1.000.000 penduduk per tahun pada usia 15-19
tahun. Kejadian osteosarkoma pada laki-laki lebih sering dibandingkan pada
perempuan dengan rasio 3:2. Hal ini bisa disebabkan oleh masa pertumbuhan
tulang pria lebih lama dibandingkan perempuan.3 Sekitar 80% osteosarkoma
bersifat metastasis atau mikro-metastasis saat didiagnosis pertama kali3.
Penyebab dari Osteosarkoma ini masih belum jelas dan hanya beberapa
faktor risiko yang diketahui, seperti faktor lingkungan dan faktor genetik. Untuk
sementara ini beberapa faktor diduga memiliki peranan penting dalam terjadinya 3
Osteosarkoma, seperti terjadinya ekspresi gen Met dan Fos secara berlebihan,
mutasi gen TP53, dan beberapa penyakit bawaan sejak lahir yang dicurigai dapat
menimbulkan terjadinya Osteosarkoma seperti Retinoblastoma Herediter. Paparan
lingkungan juga memiliki peranan penting dalam terjadinya Osteosarkoma, seperti
paparan radiasi yang dapat menimbulkan terjadinya mutasi gen sehingga
membentuk suatu keganasan3.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. TULANG
1. Definisi Tulang
Tulang adalah jaringan hidup yang strukturnya dapat berubah
sebagai akibat tekanan yang mengenai tulang. Tulang bersifat keras
dan kaku dikarenakan klasifikasi matriks ekstraselnya 70% terdiri dari
rangkaian organik yaitu garam-garam phospat dan calcium, dan
mempunyai derajat elastisitas tertentu dikarenakan sekitar 30% terdiri
dari jaringan ikat dan sel-sel4.
Tulang memiliki fungsi diantaranya :
 Menegakkan atau meneguhkan badan
 Memberi bentuk badan
 Melindungi organ-organ dalam atau organ yang penting
 Sebagai alat gerak pasif -> tempat melekatnya otot
 Membentuk sel-sel darah -> sebagai organ hematopoesis
 Tempat penimbunan dari calcium dan fosfat
 Berperan sebagai pengungkit (sendi pergerakan)
Apabila tulang di potong melintang, tulang akan terdiri dari :
1) Substansi compacta : bagian luar, tampak sebagai massa padat
2) Spongiosa / kanselosa : bagian dalam, berlubang-lubang seperti
bunga karang, terdiri dari cabang-cabang jalinan trabekula
sehingga dapat menahan dari tekanan dan tarikan yang
mengenai tulang.
3) Cavum medullare : bagian berongga di dalam substansi
spongiosa, di dalamnya diisi oleh medulla ossium
4) Medulla ossium flava : sumsum tulang kuning yang berisi sel-
sel lemak, pada usia 7 tahun sumsum kuning mulai tampak
pada tulang-tulang distal ekstremitas
5) Medulla ossium rubra : sumsum tulang merah yang akan
memproduksi granular leukosit. Aktivitas pembentukan darah
lambat laun akan berkurang seiring dengan bertambahnya usia.
6) Periosteum : pembungkus terluar tulang yang bersifat seperti
jaringan pengikat. Melapisi seluruh lapisan compacta kecuali
pada bagian yang berkatilago 5.
Periosteum terdiri dari 2 lapisan :
a. Stratum fibrosum (lapisan luar)
Terbentuk oleh jaringan pengikat yang mengandung
pembuluh darah, limfe, dan serabut-serabut saraf
b. Stratum germinativum (lapisan dalam)
Terdiri dari serabut halus dan sel-sel yang dapat membuat
sel-sel tulang baru
7) Serabut sharpey : berkas serabut-serabut kolagen yang berjalan
dari periosteum ke tulang di bawahnya.
2. Klasifikasi Tulang
1) Berdasarkan osteogenesisnya5 :
a. Tulang-tulang chondral
Proses penulangannya terjadi melalui stadium tulang rawan
kemudian menjadi tulang massa membran
b. Tulang-tulang membran
Massa membran langsung mengalami penulangan, tanpa
menjadi tulang rawan terlebih dahulu
2) Berdasarkan bentuk :
a. Tulang Panjang (Long bones/ Os. Logum)
Biasanya berfungsi sebagai pengungkit/pengangkat beban.
Terdapat pada tulang anggota gerak atas atau bawah.
Contoh : Humerus, Tibia, Femur, Ulna, Metacarpal
b. Tulang Pendek (Short bones/ Os. Braves)
Berbentuk kuboidal (kubus).
Contoh : tulang pada pegelangan tangan (carpalis0 dan kaki
(tarsalis)
c. Tulang Pipih (Flat bones/ Os. Planum)
Permukaannya luas, biasanya berfungsi untuk melindungi
organ dan tempat melekatnya otot.
Contoh : tulang cranial (frontal, parietal, occipital, temporal),
tulang iga (costa), & tulang bahu (scapula)
d. Tulang tidak beraturan (Irregular bones/ Os. Irregular)
Bentuk, ukuran dan permukaannya bervariasi.
Contoh : Tulang belakang (vertebra), saccrum, coccyx,
temporal, sphenoid, nasal, zygomatic, maxilla, mandibula
e. Tulang berongga (Os. Pneumaticum)
Pada tengkorak terddapat tulang yang berongga.
Contoh : tulang ethmoidalis, frontalis, mastoid, maxillaris5
3. Komposisi Tulang
a. Jaringan tulang :
- Jaringan ikat (connective tissue)
- Tersusun oleh 4 jenis sel, matriks, dan membrane tulang.
b. Sel Tulang
1) Osteoprogenitors
Jenis selnya belum berdifferensiasi, mampu bermitosis
membentuk osteoblasts. Pada permukaan & rongga tulang yang
mengandung pembuluh darah & sum-sum tulang (bone
marrow)
2) Osteoblasts
Sel pembentuk sel tulang & matriks tulang. Pada permukaan &
rongga tulang yang mengandung pembuluh darah & bone
marrow
3) Osteocytes
Menyusun sebagian besar struktur tulang. Selnya hasil
diferensiasi dari osteoblast. Terdapat disekitar matriks tulang &
berfungsi mempertahankan matriks tulang.
4) Osteoclasts
Terdapat pada permukaan dan rongga tulang yang mengandung
pembuluh darah dan bone marrow. Berfungsi meresorpsi
(menghancurkan) matriks tulang. Fungsi ini terkait dengan
pertumbuhan dan perbaikan tulang.
c. Matriks tulang : terdiri dari 20% air, 20% protein dan 60% mineral
1) Senyawa inorganik : terutama kalsium dan fosfor, juga Mg,
sulfat dan flouride. Memberikan sifat keras dan kekuatan
tulang.
2) Senyawa organik (osteoid) : proteoglycans, glycoproteins dan
collagen fiber yang membentuk fleksibilitas tulang.
d. Membran Tulang
- Permukaan eksternal dan internal tulang dilindungi oleh
membran periosteum dan membran endosteum
- Kedua membran tersebut mengandung osteoblasts dan
osteoclasts yang berperan dalam pertumbuhan, perbaikan dan
mempertahankan fungsi tulang.
 PERIOSTEUM : terletak pada bagian luar tulang yang
tidak memiliki kartilago dan dilalui oleh pembuluh
darah, limfa, dan syaraf yang berpentrasi kedalam
tulang.
 ENDOSTEUM : membran osteogenik seperti halnya
periosteum yang mengandung osteocytes dan
osteoclasts
 Endosteum melapisi bagian dalam tulang yang
mengandung sum-sum atau pembuluh darah (marrow
and/or blood vessels)
e. Jaringan tulang
1) Jaringan tulang padat (compact/dense bone)
2) Jaringan tulang berongga (spongy bone) 5
B. OSTEOSARKOMA
1. Definisi
Osteosarkoma atau disebut juga osteogenik sarkoma merupakan
salah satu bentuk neoplasma ganas primer pada tulang tersering kedua
setelah mieloma multipel. Osteosarkoma berasal dari sel primitif
(poorly differentiated cells) pada bagian metafisis tulang panjang atau
perkembangannya berasal dari osteoblastik sel mesenkim primitif yang
merupakan sel yang memproduksi tulang atau matriks osteoid 3.
Osteosarkoma merupakan tumor ganas primer pada tulang yang
paling sering muncul (0,2% dari semua jenis tumor ganas pada tulang),
dengan angka insiden 3 kasus per satu juta populasi per tahun. Kasus
Osteosarkoma biasanya terjadi pada usia muda dengan puncak insiden
pada dekade kedua, tetapi ada juga yang terjadi pada usia tua. Angka
kejadian Osteosarkoma pada anak-anak dan remaja terlihat relatif
hampir sama di seluruh dunia. Telah diketahui Osteosarkoma lebih
umum terjadi pada pria daripada wanita baik untuk usia muda, maupun
usia tua1.

2. Faktor resiko
Menurut Fuchs dan Pritchad osteosarkoma dapat disebabkan oleh
beberapa faktor, diantaranya:
1) Senyawa kimia, yaitu senyawa antrasiklin dan senyawa
pengalkilasi, beryllium dan methylcholanthrene yang dapat
menyebabkan perubahan genetik.
2) Virus, diantaranya Rous sarcoma virus yang mengandung gen V-
Src yang merupakan protoonkogen dan virus FBJ yang
mengandung protoonkogen c- Fos yang dapat menyebabkan
kurang responsif terhadap kemoterapi.
3) Radiasi, yang dihubungkan dengan sarkoma sekunder pada orang
yang pernah mendapatkan radiasi untuk terapi kanker.
4) Faktor risiko lainnya, seperti:
a. Penyakit lain seperti Paget’s disease, osteomielitis kronis,
osteochondroma, poliostotik displasia fibrosis, dan eksostosis
herediter multiple.
b. Genetik, pada Sindroma Li-Fraumeni, Retinoblastoma,
Sindrom Werner, Routhmund Thomson, dan Bloom.
c. Lokasi implan logam3

3. Patofisiologi
Osteosarkoma disebabkan oleh beberapa faktor predisposisi, yaitu
dapat disebabkan oleh mutasi genetik dan faktor lingkungan. Terjadi
invaktivasi pada jalur P53 dan RB yang berperan dalam pertumbuhan
osteosarkoma. Osteoblast memiliki fungsi membentuk struktur tulang.
Pada osteosarkoma terjadi mutasi gen yang mengatur osteoblast yaitu
onkogen dan tumor suppressor genes. Mutasi tersebut mengakibatkan
terjadi proliferasi osteoblast secara berlebih yang mengarah keganasan.
Sehingga menyebabkan pembentukan jaringan osteoid ganas pada
tulang yang berakibat terjadi penekanan pada sumsum tulang. Hal
tersebut menyebabkan terjadinya penurunan produksi sel darah merah
yang dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh dan tubuh menjadi
rentan terhadap infeksi. Selain penekanan pada sumsum tulang, terjadi
juga metastasis sel kanker dan peningkatan tekanan pada tulang yang
menyebabkan nyeri, bengkak, dan fraktur pada tulang tersebut 3

4. Klasifikasi
Osteosarkoma diklasifikasikan oleh WHO, yaitu sebagai berikut:
1) Conventional Ostoesarcoma yang terdiri dari Osteoblastic
Osteosarcoma, Chondroblastic Osteosarcoma, dan Fibroblastic
Osteosarcoma;
2) Telangietatic Osteosarcoma;
3) Small Cell Osteosarcoma;
4) Low Grade Central Osteosarcoma;
5) Secondary Osteosarcoma yang terdiri dari Paget Osteosarcoma,
Post-radiation Osteosarcoma, dan Osteosarcoma pada berbagai
penyakit tulang;
6) Parosteal Osteosarcoma;
7) Periosteal Osteosarcoma;
8) High Grade Surface Osteosarcoma1.
5. Klasifikasi Histologi & Stadium Osteosarkoma
Terdapat tiga jenis sub tipe secara histologi :
1. Intramedullary
a. High-grade intramedullary osteosarcoma
b. Low-grade intramedullary osteosarcoma
2. Surface
a. Parosteal osteosarcomas
b. Periosteal osteosarcomas
c. High-grade surface osteosarcoma
3. Ekstraskeletal
Selain dapat menentukan klasifikasi berdasarkan histologi, terdapat
2 jenis klasifikasi stadium, yaitu berdasarkan Musculoskeletal
Tumor Society (MSTS) untuk stratifikasi tumor berdasarkan
derajat dan ekstensi lokal serta stadium berdasarkan American
Joint Committee on Cancer (AJCC) edisi 7.
Sistem Klasifikasi Stadium MSTS (Enneking)
- IA: derajat keganasan rendah, lokasi intrakompartemen, tanpa
metastasis
- IB: derajat keganasan rendah, lokasi ekstrakompartemen, tanpa
metastasis
- IIA: derajat keganasan tinggi, lokasi intrakompartemen, tanpa
metastasis
- IIB: derajat keganasan tinggi, lokasi ekstrakompartemen, tanpa
metastasis
- III: ditemukan adanya metastasis
Sistem Klasifikasi AJCC edisi ke 7
- IA: derajat keganasan rendah, ukuran ≤ 8
- IB: derajat keganasan rendah, ukuran > 8 atau adanya
diskontinuitas
- IIA: derajat keganasan tinggi, ukuran ≤ 8
- IIB: derajat keganasan tinggi, ukuran > 8
- III: derajat keganasan tinggi, adanya diskontinuitas
- IVA: metastasis paru
- IVB: metastasis lain
6. Manifestasi
Umumnya gejala klinik terjadi beberapa minggu sampai bulan
setelah timbulnya penyakit ini. Gejala awal relatif tidak spesifik seperti
nyeri dengan atau tanpa teraba massa. Nyeri biasanya dilukiskan
sebagai nyeri yang dalam dan hebat, yang dapat dikelirukan sebagai
peradangan. Pemeriksaan fisik mungkin terbatas pada massa nyeri,
keras, pergerakan terganggu, fungsi normal menurun, edema, panas
setempat, teleangiektasi, kulit diatas tumor hiperemi, hangat, edema,
dan pelebaran vena. Pembesaran tumor secara tiba-tiba umumnya
akibat sekunder dari perdarahan dalam lesi. Fraktur patologik terjadi
pada 5-10% kasus. Tumor ini dapat tumbuh pada tulang manapun,
tetapi umumnya pada tulang panjang terutama distal femur, diikuti
proksimal tibia dan proksimal humerus dimana growth plate paling
proliferatif. Pada tulang panjang sering pada bagian metafisis (90%)
kemudian diafisis (9%), dan jarang pada epifisis 4

7. Diagnosis
Ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, dapat ditemukan tanda dan
gejala, antara lain :
- Nyeri lokal yang semakin progresif (yang awalnya ringan dan
intermiten namun lama-kelamaan menjadi semakin hebat dan
menetap)
- Massa (pada ekstremitas yang membesar dengan cepat, nyeri
pada penekanan dan venektasi)
- Edema jaringan lunak
- Fraktur patologis dapat terjadi pada 5-10% pasien
osteosarcoma
- Keterbatasan gerak (range of motion)
- Penurunan berat badan
- Anemia
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pasien dengan gejala dan tanda osteosarkoma perlu
menjalani berbagai pemeriksaan klinis, laboratorium,
radiologis dan pemeriksaan jaringan. Setelah lengkap,
diagnosis dan rencana tata laksana pasien diputuskan melalui
forum rutin clinico-pathological conference yang melibatkan
spesialisorthopaedi onkologi, radiologi muskuloskeletal,
patologi anatomi muskuloskeletal, hematologi onkologi dewasa
dan anak, serta radioterapi5.
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mengetahui
keadaan umum pasien osteosarkoma sebagai dasar diagnosis
walaupun tidak spesifik. Dilakukan pemeriksaan darah rutin
(hemoglobin, lekosit, trombosit, gambaran darah tepi), dan
pemeriksaan C-reactive protein (CRP), fosfatase alkali (ALP),
laktat dehidrogenase (LDH), serta laju endap darah (LED)
untuk evaluasi perjalanan osteosarkoma5.
CRP adalah protein fase akut yang diproduksi oleh
hepatosit; kadarnya dalam serum berkorelasi dengan inflamasi
sistemik. Walaupun sensitif, peningkatan CRP adalah penanda
inflamasi tidak spesifik terhadap osteosarkoma. Ekspresi CRP
diinduksi oleh interleukin-6 (IL-6) dan ditingkatkan oleh IL-1
dan tumor necrosis factor (TNF). Nilai CRP (0,1-0,5 mg/mL)
pada keadaan normal dapat meningkat hingga 100 kali lipat
selama peradangan sistemik. CRP sebelum operasi adalah
prediktor independen terhadap kesintasan pasien osteosarkoma.
Nilai CRP yang tinggi adalah prediktor independen terhadap
kesintasan yang buruk dan tingginya kemungkinan rekurensi.
CRP dapat digunakan sebagai salah satu indikator/ faktor
prognosis osteosarkoma5.
ALP serum adalah anggota kelompok enzim metaloprotein
yang berfungsi memisahkan fosfatase dari grup ester fosfat
organik. Peningkatan aktivitas ALP diikuti peningkatan
aktivitas osteoblas tulang. ALP ditemukan di hati dan sejumlah
kecil diproduksi oleh sel-sel yang melapisi usus, plasenta, dan
ginjal. Untuk membedakannya diperlukan pemeriksaan spesifik
yaitu ALP tulang (isoenzim ALP-2), ALP hati (isoenzim ALP-
1), atau ALP usus (isoenzim ALP-3).
Nilai ALP serum merupakan total enzim fosfatase, bukan
nilai spesifik isoenzim fosfatase tulang. Nilai ALP pada orang
dewasa lebih rendah dibandingkan anak-anak. ALP sering
digunakan sebagai penanda tumor tulang, baik tumor primer
maupun sekunder (metastasis) 5.
ALP merupakan indikator penting yang memengaruhi
prognosis pasien osteosarkoma. Banyak peneliti yang
menjadikan ALP (tulang) sebagai indikator prognostik pasien
dengan tumor tulang dan untuk mengevaluasi respons terhadap
kemoterapi. ALP juga digunakan sebagai salah satu penanda
metastasis karsinoma ke tulang5.
Nilai ALP normal sebelum terapi osteosarkoma
berhubungan dengan angka kesintasan 5 tahun yang lebih baik
(67% vs 54%). Nilai ALP (tulang) lebih tinggi pada pasien
osteosarkoma dibandingkan tumor tulang jinak. Penurunan
ALP tulang selama kemoterapi adalah indikator menurunnya
aktivitas osteoblas dan mineralisasi tulang.16 Pada pasien
osteosarkoma anak yang ditata laksana kemoterapi dan
pembedahan terjadi penurunan ALP tulang dan prognosisnya
baik. Sebaliknya pada pasien osteosarkoma yang tidak
memberikan respons terhadap kemoterapi dan pembedahan,
nilai ALP tulang tidak menurun5.
Nilai sensitivitas dan spesifisitas ALP di tumor tulang
primer 53,2% dan 90,1% tetapi sangat spesifik pada diagnosis
osteosarkoma. Pada pasien tumor solid tanpa gejala klinis dan
nilai ALP total normal, bone scan tidak diperlukan. Bone scan
dapat dilakukan pada pasien tumor solid tanpa gejala klinis
dengan nilai ALP total atau ALP tulang abnormal yang
menunjukkan ALP total dan ALP tulang dapat untuk skrining
metastasis tulang sehingga bone scan dapat dikurangi.
Peningkatan ALP tulang sering diikuti kenaikan progresifitas
penyakit namun penurunan ALP tulang merupakan respons
positif terhadap terapi5.
Sel normal memenuhi kebutuhan energi melalui proses
oksidasi aerobik sedangkan sel kanker memenuhi kebutuhan
energinya yang sedemikian besar melalui proses glikolisis.
Glukosa diubah menjadi piruvat dan teroksidasi menjadi
nikotinamid adenin dinukleotida (NAD+ ). Selanjutnya, NAD+
dikonversi menjadi bentuk tereduksi nikotinamid adenin
dinukleotid (NADH). Laktat dehidrogenase mengkatalisis
reaksi reversibel piruvat menjadi laktat disertai produksi NAD+
dan mempertahankan produksi ATP serta keberlangsungan
glikolisis5.
Tingginya nilai LDH mencerminkan aktivitas kanker dan
agresivitas tumor misalnya pada sarkoma ewing dan limfoma.
Peningkatan nilai LDH menggambarkan prognosis buruk pada
osteosarkoma. Nilai LDH yang tinggi berhubungan dengan
rendahnya event free survival, namun penelitian lain
melaporkan LDH bukan indikator prognostik osteosarkoma.
LDH juga tidak dapat dijadikan sebagai indikator respons
tidaknya kemoterapi neoajuvan pada osteosarkoma 5.
LED adalah indikator proses inflamasi dan kerusakan
jaringan yang sensitif tetapi tidak spesifik. LED digunakan
sebagai faktor prognostik osteosarkoma dan sarkoma ewing
namun tidak dapat dijadikan indikator prognostik atau
mengevaluasi luaran pada pasien osteosarkoma5.
b. Pemeriksaan Radiologi
Pendekatan diagnosis dan tatalaksana osteosarkoma
dilakukan secara multidisiplin untuk mengurangi morbiditas,
serta memperoleh luaran fungsional dan kesintasan yang lebih
baik. Diagnosis akurat dan penentuan stadium osteosarkoma
sangat perlu dalam merencanakan tata laksana yang sesuai serta
memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga5.
Selesai pemeriksaan klinis dan laboratorium, dilakukan
pemeriksaan radiologi dan jaringan. Pada pemeriksaan foto
polos, gambaran osteosarkoma dapat berupa lesi osteoblastik
(sklerotik) karena pembentukan osteoid ganas (osteosarkoma
subtipe osteoblastik) lebih dominan atau lesi osteolitik karena
proses destruksi tulang lebih dominan (osteosarkoma subtipe
fibroblastik) atau kombinasi keduanya, bergantung mineralisasi
matriks osteoid yang dihasilkan5.

Osteosarkoma konvensional menunjukkan lesi di daerah


metafisis tulang panjang dengan batas yang tidak tegas dan
sering disertai pertumbuhan massa jaringan lunak (80-90%
pasien). Proses pertumbuhan tumor yang cepat mengakibatkan
terangkatnya periosteum dan deposisi tulang reaktif di bawah
periosteum yang membentuk gambaran segitiga codman.
Sunburst appearance terjadi akibat kombinasi tulang reaktif dan
tulang neoplastik sepanjang pembuluh darah yang berjalan
radier terhadap korteks tulang. Kedua reaksi periosteum
segitiga codman dan sunburst appearance bukan merupakan
tanda spesifik osteosarkoma5.
Reaksi periosteal dikategorikan uninterrupted dan
interrupted. Uninterrupted biasanya solid sedangkan interrupted
berupa sun-burst pattern, lammelated (onion skin) pattern, atau
codman triangle. Uninterrupted biasanya pada proses non
neoplastik, sedangkan reaksi interrupted terjadi pada proses
malignansi atau proses non malignansi yang agressif.

Bone scan menggunakan isotop technetium (Tc99) dan


positron emission tomography (PET) scan, dapat mendeteksi
skip lesion, lesi osteosarkoma multisentrik, dan lesi metastasis
ke tulang lain. Bone scan sangat sensitif dalam mendeteksi
aktivitas osteoblas yang menghasilkan pembentukan tulang
baru, tetapi tidak spesifik untuk diagnosis osteosarkoma. PET
scan dapat mendeteksi metastasis ke jaringan lunak, paru dan
organ intra-abdomenserta mendeteksi aktivitas sel dengan
metabolisme lebih tinggi, mengevaluasi respons histologi
terhadap kemoterapi atau memprediksi progression-free
survival5.
Untuk melihat metastasis ke paru digunakan foto polos
toraks dan CT scan. Saat ini CT scan toraks adalah modalitas
diagnostik non-invasif yang paling sensitif dalam memastikan
gambaran nodul metastasis ke paru yang berukuran ≤5mm
(tidak terdeteksi dengan foto polos). CT scan juga berguna
untuk memandu tindakan core biopsy di area pelvis dan tulang
belakang5.
Magnetic resonance imaging (MRI) digunakan untuk
mengetahui perluasan osteosarkoma ke intramedular yang
ditandai dengan bone marrow replacement dan jaringan lunak,
perluasan ke dalam sendi, evaluasi keterlibatan struktur
neurovaskular utama, serta mendeteksi skip lesion. MRI
merupakan standar untuk menilai stadium keganasan,
merencanakan biopsi dan menentukan prosedur LSS atau
amputasi. MRI digunakan untuk menentukan diagnosis dan
stadium osteosarkoma sebelum kemoterapi neoajuvan. Setelah
kemoterapi MRI bermanfaat untuk memperkirakan respons
kemoterapi menentukan jenis pembedahan dan level
osteotomi5.
Gambar MRI osteosarcoma pada os femur distal

c. Pemeriksaan Patologi Anatomi


Pasien dengan gambaran klinis dan radiologis tumor ganas
muskuloskeletal perlu dibiopsi untuk memastikan diagnosis
dan derajat keganasan. Perlu diperhatikan lokasi biopsi yang
tepat, letak, dan orientasi insisi serta hemostasis yang baik.
Sampel jaringan dapat diambil dengan jarum halus (fine needle
aspiration biopsy/FNAB), core needle biopsy atau biopsi
terbuka5.
FNAB untuk mengevaluasi gambaran sel tumor, sedangkan
core biopsy dan biopsi terbuka mengevaluasi histopatologi
jaringan. FNAB lebih mudah, murah dan komplikasinya lebih
rendah. Ketepatan diagnosis FNAB 70-90% dalam
membedakan tumor jinak atau ganas dan di RSUPNCM,
FNAB memiliki akurasi 93%.Core biopsy dengan atau tanpa
panduan CT scan/ USG adalah prosedur terpilih untuk
memastikan diagnosis tumor muskuloskeletal5.
Core biopsy dipilih karena kurang invasif, lebih tidak nyeri,
lebih murah, dan tidak banyak mengontaminasi jaringan
sekitarnya. Saat melakukan biopsi, perlu diperhatikan tusukan
jarum harus di lokasi insisi ketika mengerjakan pembedahan
definitif. Untuk memperoleh sampel jaringan yang
representatif, jaringan diambil ke berbagai arah melalui insisi
yang sama. Core biopsy sangat berguna terutama untuk pasien
gemuk atau lokasi tumor sulit dicapai atau jaringan tumor dekat
struktur neurovaskular. Kekurangan core biopsy adalah
jaringan yang diperoleh volumenya minimal sehingga
memengaruhi interpretasi diagnosis5.
Bagi spesialis bedah umum atau spesialis orthopaedi yang
tidak menjalani fellowship training onkologi orthopaedik, maka
ketika mendapat konsultasi atau rujukan pasien dengan
gambaran klinis radiologis sesuai osteosarkoma, harus segera
merujuk ke RS rujukan Bila terpaksa melakukan biopsi, pilih
FNAB atau core biopsy setelah dikomunikasikan dengan
dokter spesialis yang akan melakukan prosedur definitif. Saat
merujuk pasien yang dilakukan FNAB atau biopsi lainnya,
perlu disertakan sediaan blok parafin untuk penilaian lebih
lanjut di RS rujukan. Biopsi terbuka adalah baku emas
pengambilan jaringan tumor muskuloskeletal dan hanya
dilakukan bila jaringan dari core biopsy tidak adekuat atau
ketika membutuhkan jaringan yang lebih besar untuk kepastian
diagnosis, pemeriksaan imunohistokimia, sitogenetik, genetik
molekular, dan flow cytometry5.
Biopsi terbuka merupakan prosedur diagnostik terakhir dan
harus dilakukan dengan benar untuk mengurangi komplikasi
yang memerlukan amputasi. Selain itu biopsi terbuka harus
dilakukan oleh dokter spesialis yang akan melakukan
pembedahan definitif dan kemoterapi neoajuvan dilakukan 3-4
minggu setelah diagnosis ditegakkan. Biopsi terbuka tidak
boleh dilakukan oleh spesialis bedah umum atau orthopaedi
yang belum menjalani fellowship training onkologi orthopaedik
mengingat beratnya komplikasinya5.
Pada pemeriksaan histopatologi didapatkan gambaran:
- Tumor anaplastik tingkat tinggi
- Hiperseluler, tumor sel gelendong dengan pleomorfisme
yang luas (sel memiliki ukuran dan bentuk yang
berbeda)
- Inti besar dan sitoplasma kecil (rasio inti terhadap
sitoplasma tinggi)
- Banyak angka mitosis dan mitosis abnormal
- Sel-sel yang tampak aneh dengan inti hiperkromatik
- Produksi osteoid
- Osteoid sering diletakkan dalam pola seperti renda di
antara sel-sel ganas
- Noda osteoid berwarna merah muda hingga merah
dengan noda H&E
- Tidak ada bingkai osteoblastik (sel-sel tidak berbaris di
permukaan trabekula osteoid seperti pada
osteoblastoma atau osteoid osteoma)
- Osteoid mungkin termineralisasi atau tidak; tingkat
mineralisasi menentukan seberapa terlihat pada x-ray
- Mungkin memiliki elemen lain seperti tulang rawan,
jaringan fibrosa, sel biru bulat kecil, sel raksasa dan
perubahan telangiektasis
- Subtipe fibrosarcoma dari osteosarcoma konvensional
dapat menunjukkan sel gelendong yang mengatur diri
mereka sendiri dalam pola "tulang herring"
- Subtipe histiocytoma berserat ganas (MFH) dari
osteosarkoma konvensional sering menunjukkan
susunan sel "storiform". Ada sel-sel gelendong
pleomorfik bercampur dengan sel-sel besar yang aneh.-
- Osteosarkoma konvensional kaya sel raksasa mungkin
memiliki lembaran besar sel raksasa reaktif yang dapat
mengaburkan sarkoma yang mendasarinya. Produksi
osteoid mungkin jarang.
- Kemoterapi pra operasi mengubah tampilan
mikroskopis osteosarkoma konvensional. Fokus
osteoblastik nekrotik muncul sebagai matriks osteoid
aselular. Sel-sel dibunuh oleh kemoterapi, tetapi osteoid
tetap ada. Area fibrosarcomatous digantikan oleh
kolagen dan jaringan parut, jaringan granulasi dan sel
inflamasi. Fokus Chondroblastic akan memiliki "sel
hantu" di lakuna (jaringan chondroid aselular)

Gambar Osteosarcoma (maligna)


d. Penentuan Stadium Osteosarkoma
Penentuan stadium sangat penting untuk mendeteksi
metastasis, menentukan kemoterapi dan pembedahan serta
memperkirakan prognosis. MRI digunakan untuk menilai
perluasan tumor, bone scan untuk mengetahui skip metastasis
atau lesi multipel, PET scan untuk mengetahui penyebaran ke
jaringan lunak/organ di rongga toraks dan abdomen, radiografi
toraks, dan atau CT scan paru untuk menentukan
metastasis.Sebanyak 20% kasus metastasis paru dapat
diidentifikasi dengan CT scan, sayangnya 60% metastasis
masih berupa mikrometastasis yang belum terdeteksi pada
pemeriksaan radiologi5.
Stadium osteosarkoma paling banyak ditentukan dengan
sistem klasifikasi Musculoskeletal Tumor Society (MSTS) dari
Enneking dengan kombinasi tiga faktor yaitu grading dan
ekstensi tumor, ada tidaknya metastasis serta AJCC untuk
penentuan stadium kanker lainnya5.
Hingga saat ini, belum ada staging system yang dapat
menentukan faktor risiko rekurensi pada pasien keganasan
tulang yang telah menjalani terapi definitif. Faktor risiko
rekurensi lokal adalah batas reseksi tidak adekuat dan respons
histologis yang buruk terhadap kemoterapi neoajuvan.
Rekurensi lokal memiliki risiko tinggi untuk menjadi
metastasis. Tiga prediktor kuat metastasis adalah high grade
histologis, besar tumor dan kedalaman lokasi tumor 5.
e. Gambaran klasifikasi osteosarcoma
1) Conventional Ostoesarcoma yang terdiri dari Osteoblastic
Osteosarcoma, Chondroblastic Osteosarcoma, dan
Fibroblastic Osteosarcoma;
2) Telangietatic Osteosarcoma;
3) Small Cell Osteosarcoma;

4) Low Grade Central Osteosarcoma;


5) Parosteal Osteosarcoma;

6) Periosteal Osteosarcoma;
7) High Grade Surface Osteosarcoma.

8. Tatalaksana
Tatalaksana osteosarkoma pada ekstremitas terdiri atas kemoterapi
neoajuvan, diikuti reevaluasi stadium osteosarkoma, pembedahan dan
kemoterapi ajuvan. Sebelum pembedahan, harus dinilai respons
kemoterapi melalui gambaran klinis, laboratoris, dan radiologis.
Kemoterapi neoajuvan (kemoterapi sebelum pembedahan) menjadi
baku emas tatalaksana osteosarkoma yang direncanakan LSS.
Kemoterapi neoajuvan biasanya berlangsung 6-8 minggu.
Kemoterapi neoajuvan dapat menghambat/ menghilangkan
mikrometastasis dan pertumbuhan lokal osteosarkoma, mengecilkan
ukuran tumor serta menyebabkan kematian lesi satelit pada
pseudokapsul/zona reaktif. Manfaat penting lainnya adalah
memungkinan LSS, memudahkan reseksi tumor secara en bloc, serta
mengevaluasi respons kemoterapi dengan menilai persentase sel tumor
osteosarkoma yang nekrosis.
Di Indonesia, walaupun pasien diberikan kemoterapi neoajuvan,
prosedur pembedahan dapat berupa LSS atau amputasi. Penyebab
amputasi adalah ukuran tumor sangat besar akibat pemijatan,
kontaminasi biopsi terbuka, terlambat ke rumah sakit, respons terhadap
kemoterapi kurang baik pada osteosarkoma sub-tipe kondroblastik, dan
pemberian kemoterapi tidak sesuai jadwal. Pasien menghadapi
masalah saat akan menjalani bone scan dan MRI setelah kemoterapi
neoajuvan. Pembedahan seharusnya dilakukan 3-4 minggu setelah
kemoterapi siklus ke-3, namun karena panjangnya antrian, pelaksanaan
menjadi setelah siklus ke-4, ke-5, bahkan ke-6. Akibatnya, tumor
semakin besar sehingga tidak ideal lagi untuk LSS.
LSS atau amputasi harus diputuskan berdasarkan pertimbangan
matang dengan memerhatikan fungsi ekstremitas pascapembedahan,
komplikasi, emosi pasien, dan perbedaan luaran dari setiap tumor
ganas. Pada LSS perlu dipertimbangkan hal-hal berikut:
1. Reseksi tumor dapat dilakukan secara en bloc.
2. Potensi rekurensi dan kesintasan pasien osteosarkoma tidak
lebih buruk dari amputasi.
3. Prosedur LSS tidak boleh menunda kemoterapi adjuvan.
Keberhasilan kemoterapi pada osteosarkoma ditentukan oleh
waktu pemberian dan dosis kemoterapi yang tepat.
4. Fungsi ekstremitas pasca LSS diharapkan lebih baik daripada
pasca-amputasi. Fungsi ekstremitas pascarekonstruksi harus
mencapai luaran fungsional yang baik, mengurangi morbiditas
jangka panjang dan mengurangi/ meminimalkan pembedahan
tambahan.
5. Rekonstruksi pasca LSS tidak boleh menimbulkan komplikasi
yang membutuhkan pembedahan berikutnya atau perawatan RS
berulang.
Apabila syarat di atas tidak terpenuhi, maka prosedur yang dipilih
adalah amputasi. Dengan kata lain, bila prosthesis memiliki fungsi
lebih baik dari LSS, dapat dipertimbangkan amputasi.
Amputasi diindikasikan pada osteosarkoma yang melibatkan
struktur neurovaskular utama, osteosarkoma dengan ekstensi ke
jaringan lunak yang sangat luas, ulserasi dan infeksi tumor serta
perdarahan masif. Indikasi amputasi lainnya adalah kontaminasi
osteosarkoma ke jaringan lunak pada fraktur patologis atau setelah
biopsi terbuka yang buruk dengan komplikasi pertumbuhan tumor
yang luas lebih dari 1 kompartemen. Amputasi juga diindikasikan pada
kegagalan LSS dan atau pada rekurensi lokal persisten.31 LSS disertai
kemoterapi neoajuvan dan ajuvan memiliki angka rekurensi lokal yang
tidak berbeda bermakna dibandingkan amputasi.
Kemoterapi
Kemoterapi merupakan pengobatan yang sangat vital pada
osteosarkoma, terbukti dalam 30 tahun belakangan ini dengan
kemoterapi dapat mempermudah melakuan prosedur operasi
penyelamatan ekstremitas (limb salvage procedure) dan meningkatkan
survival rate dari penderita. Kemoterapi juga mengurangi metastase ke
paru-paru dan sekalipun ada, mempermudah melakukan eksisi pada
metastase tersebut.
Regimen standar kemoterapi yang dipergunakan dalam pengobatan
osteosarkoma adalah kemoterapi preoperatif (preoperative
chemotherapy) yang disebut juga dengan induction chemotherapy atau
neoadjuvant chemotherapy dan kemoterapi postoperatif (postoperative
chemotherapy) yang disebut juga dengan adjuvant chemotherapy.
Kemoterapi preoperatif merangsang terjadinya nekrosis pada tumor
primernya, sehingga tumor akan mengecil. Selain itu akan memberikan
pengobatan secara dini terhadap terjadinya mikro-metastase. Keadaan
ini akan membantu mempermudah melakukan operasi reseksi secara
luas dari tumor dan sekaligus masih dapat mempertahankan
ekstremitasnya. Pemberian kemoterapi postoperatif paling baik
dilakukan secepat mungkin sebelum 3 minggu setelah operasi.

Obat-obat kemoterapi yang mempunyai hasil cukup efektif untuk


osteosarkoma adalah: doxorubicin (Adriamycin ® ), cisplatin (Platinol
® ), ifosfamide (Ifex ® ), mesna (Mesnex ®), dan methotrexate dosis
tinggi (Rheumatrex ® ). Protokol standar yang digunakan adalah
doxorubicin dan cisplatin dengan atau tanpa methotrexate dosis tinggi,
baik sebagai terapi induksi (neoadjuvant) atau terapi adjuvant. Kadang-
kadang dapat ditambah dengan ifosfamide. Dengan menggunakan
pengobatan multi-agent ini, dengan dosis yang intensif, terbukti
memberikan perbaikan terhadap survival rate sampai 60 – 80%8.
Limb Salvage Surgery
LSS adalah prosedur menghilangkan tumor di ekstremitas dan
pelvis untuk menyelamatkan ekstremitas; paling sering dilakukan pada
tumor tulang dan sarkoma jaringan lunak yang mengenai ekstremitas
dan pelvis. Pada osteosarkoma, LSS sangat kompleks dan jauh lebih
sulit dibandingkan amputasi. Prosedur LSS terdiri atas pengangkatan
tumor tulang atau sarkoma jaringan lunak secara en bloc dan
rekonstruksi defek tulang atau sendi dengan megaprostesis
(endoprostesis), biological reconstruction (massive bone graft baik
auto maupun allograft) atau kombinasi megaprostesis dan biological
reconstruction (bone graft). LSS disebut juga limb sparing surgery
untuk menghindari amputasi dengan mempertahankan fungsi
ekstremitas secara optimal dan merupakan standar pembedahan
keganasan tulang7.
Pasien osteosarkoma yang datang ke RSUPNCM pada tahun 1995-
2008, sebagian besar menolak pembedahan atau datang untuk
menjalani amputasi sebagai pilihan utama. Dari 219 pasien
osteosarkoma, pasien yang menjalani LSS adalah 33 (15,1%) orang,
amputasi 79 (36,1%) orang, dan menolak pembedahan107 (48,8%)
orang.
Banyak faktor yang menyebabkan pasien osteosarkoma terlambat
mencari pertolongan ke RSUPNCM khususnya dan RS rujukan pada
umumnya, sehingga tidak ada pilihan selain melakukan amputasi atau
terapi paliatif saja karena pasien sudah pada stadium akhir. Keadaan
tersebut masih dijumpai sampai sekarang, walaupun dengan jumlah
pasien lebih sedikit.
Hampir semua pasien osteosarkoma dan keluarganya berkeberatan
untuk menjalani amputasi, terutama pasien anak, remaja dan
perempuan. Hal tersebut mudah dipahami, karena amputasi akan
menimbulkan morbiditas serta masalah psikis yang sangat besar bagi
pasien dan keluarga. Walaupun pada stadium yang lanjut, dengan atau
komplikasi perdarahan lokal atau ulserasi, pasien, dan keluarganya
sangat berharap ekstremitasnya dapat diselamatkan.
Limb Salvage Surgery dengan Megaprostesis
Megaprostesis adalah implan terbuat dari logam yang didesain
sebagai pengganti segmen tulang dan atau sendi pada defek tulang
setelah reseksi en bloc. LSS dengan megaprostesis merupakan metode
rekonstruksi pilihan di negara maju. Terdapat dua jenis megaprostesis
yaitu modular dan customized. Dengan desain modular, spesialis
bedah menyusun megaprostesis sesuai defek saat operasi berlangsung
sedangkan customized megaprosthesis didesain sebelum operasi dan
disesuaikan dengan defek dan ukuran tulang saat pasien menjalani
kemoterapi neoajuvan7.
Keuntungan rekonstruksi dengan megaprostesis adalah pasien lebih
cepat latihan berjalan dengan pembebanan berat badan dan menjalani
rehabilitasi untuk mencapai fungsi ekstremitas optimal. Dalam 1-2
minggu pasca LSS dengan megaprostesis, dapat dilakukan latihan
isometrik dan berjalan dengan pembebanan sebagian berat badan
menggunakan kruk. Dalam waktu 4-6 minggu pasien sudah berjalan
dengan pembebanan penuh berat badan sesuai toleransi pasien.
Prosedur LSS dengan megaprostesis memiliki kesintasan 5 tahun
dan disease-free survival rate masing-masing 81% dan 73% untuk
highgrade sarcoma. 36,41 Di RSUPNCM prosedur LSS untuk
osteosarkoma khususnya dan tumor tulang pada umumnya terus
dikembangkan. Pada awal tahun 2012 dilakukan pembedahan tumor
pelvis, tahun 2013 rekonstruksi bone defect dengan free vascularised
fibular graft dan free flap secara bedah mikro, tahun 2016 modified
rotational plasty, 42 rekonstruksi bone defect dengan modified
arthrodesis with metallic implant and bone cement dan tahun 2018
dilakukan rekonstruksi bone defect dengan bone on poly. Selain itu,
secara multidisiplin telah berhasil isolasi dan kultur cancer stem cell
osteosarkoma secara in vitro untuk pertimbangan tata laksana
osteosarkoma pada masa mendatang.
Evaluasi luaran fungsional pada pasien sarkoma ekstremitas,
lazimnya menggunakan skor musculoskeletal tumor society (MSTS).
Skor MSTS meliputi penilaian nyeri, fungsi ekstremitas, emotional
acceptance, penggunaan alat bantu, kemampuan berjalan, dan gait pada
ekstremitas bawah, posisi tangan, dexterityI, dan kemampuan
mengangkat beban pada ekstremitas atas; setiap butir memiliki skala 0-
5. Semakin besar skala MSTS, semakin baik fungsi ekstremitas dengan
skor maksimal 30. Skor MSTS dengan kategori buruk <50%, kurang
5-%-59%, cukup 60%-69%, baik 60%-74%, dan sangat baik bila
≥75% dari skor maksimal.
Prosedur LSS memberikan skor fungsional MSTS dengan skala
cukup sampai baik sekali pada pasien osteosarkoma. Untuk
ekstremitas bawah, prosedur rekonstruksi dengan megaprostesis
merupakan metode LSS yang memberikan skor fungsional terbaik.
LSS dengan megaprostesis mempunyai keterbatasan dan risiko
komplikasi yaitu aseptic loosening, potensi infeksi, kaku sendi karena
kurangnya rehabilitasi fisik pasca LSS, kegagalan mekanik dan
periprosthetic fracture, limb length discrepancy pada anak-anak yang
sedang pertumbuhan, serta harganya yang sangat mahal.
Penalaksanaan LSS pada pasien osteosarkoma di RSUPNCM era
JKN tidak selalu berjalan mulus. Mulai tahun 2017, LSS menghadapi
masalah yaitu keterbatasan pembiayaan JKN serta perlunya melakukan
kendali mutu dan kendali biaya yang mengakibatkan LSS dengan
megaprostesis sebagai pilihan ideal mulai menurun. Meskipun
demikian, pada situasi itu, RSUPNCM tetap menyetujui pelaksanaan
LSS dengan megaprostesis sesuai indikasi.
AMPUTASI
Amputasi pada osteosarkoma diindikasikan bila persyaratan LSS di
atas tidak terpenuhi. Pada kasus osteosarkoma yang tidak
memungkinkan pemberian kemoterapi neoadjuvan (seperti pada
osteosarkoma yang disertai ulkus, perdarahan, atau ukuran yang sangat
besar), pembedahan amputasi (disartikulasi) dilakukan terlebih dahulu
dan dilanjutkan dengan pemberian kemoterapi adjuvant 3 siklus

9. Prognosis
Prognosis penyakit ini dipengaruhi oleh ukuran tumor, derajat
nekrosis, penyebaran ke korteks dan penetrasi jaringan lunak serta
penurunan berat badan > 10 pon. Dengan pemakaian kemoterapi baru
dan operasi, 5 dan 10 year survival year meningkat. Penurunan
osteoklastogenesis dan aktivasi presentasi antigen lebih banyak
ditemukan pada kasus kemoresisten. Penelitian Shipley JA dkk dari 30
kasus osteosarkoma yang diterapi, setelah 30 bulan 1/3 penderita bebas
penyakit, 6 penderita dengan metastasis rata-rata hidup 16 bulan dan ½
penderita meninggal. Adanya metastasis pada waktu diagnosis dan
ukuran tumor > 10 cm dikaitkan dengan prognosis jelek. Perlu
diingatkan bila penderita usia belasan dengan massa nyeri disekitar
lutut perlu pemeriksaan lanjut 4.
BAB III
KESIMPULAN

1. Osteosarkoma merupakan suatu neoplasma dimana jaringan osteoid disintesis


oleh sel ganas. Penyebabnya belum jelas diketahui, namun berbagai agen dan
status penyakit dihubungkan dengan perkembangan penyakit ini.
2. Gejala awal tidak spesifik seperti nyeri dengan atau tanpa teraba massa.
Umumnya tumor tumbuh pada distal femur, pada bagian metafisis.
Penyebaran hematogen sering terjadi pada awal penyakit dan biasanya ke
paru dan tulang.
3. Pemeriksaan radiologik berperan penting dalam evaluasi awal osteosarkoma.
Gambaran mikroskopik bervariasi dan sel osteoblas maligna yang
memroduksi matriks osteoid merupakan gambaran diagnostik.
4. Prognosis penyakit ini dipengaruhi oleh ukuran tumor, derajat nekrosis,
penyebaran ke korteks dan jaringan lunak, dan adanya metastasis.
DAFTAR PUSTAKA

1. PUTRA, Putu Agus Aryanda; SUSRAINI, Anak Agung Ngurah;


SUMADI, I. Wayan Juli. Karakteristik klinikopatologi osteosarkoma
berdasarkan usia, jenis kelamin, lokasi, dan tipe histopatologi di
Laboratorium Patologi Anatomi RSUP Sanglah Denpasar tahun 2012-
2016. Intisari Sains Medis, 2020, 11.2: 923-927.

2. FERDIANSYAH MAHYUDIN, N. I. D. N., et al. Osteosarcoma has not


become attention to society profile of osteosarcoma patients at dr.
Soetomo General Hospital Surabaya “A retrospective study”. Journal
Orthopaedi and Traumatology Surabaya, 2018, 7.1: 20-30.

3. REFANDY, Tomy Dwi. Osteosarkoma dengan Metastasis pada Sistem


Digestif. Jurnal Kedokteran, 2022, 11.3: 1112-1116.

4. Reksoprodjo, soelarto. Kumpulan kuliah ilmu bedah. 2008. Edisi 2.


Binarupa aksara : Tangerang

5. Rasjad Chairuddin. Pengantar ilmu bedah ortopedi. 2009. Jakarta : PT.


Yarsif watampone

6. LOHO, Lily L. Osteosarkoma. Jurnal Biomedik: JBM, 2014, 6.3.

7. KAMAL, Achmad Fauzi. Limb Salvage Surgery untuk Meningkatkan


Fungsi Ekstremitas dan Psikologis Pasien Osteosarkoma pada Era Jaminan
Kesehatan Nasional. eJournal Kedokteran Indonesia, 2020

8. KAWIYANA, Siki. Osteosarkoma: Diagnosis dan Penanganannya. Sub


Bagian/SMF Orthopedi dan Traumatologi. Bagian Bedah FK Unud.
RSUP Sanglah Denpasar, 2009.

Anda mungkin juga menyukai