Anda di halaman 1dari 35

REFERAT RADIOLOGI

BONE TUMORS

Oleh:
HAFMI ERSYA SYAHTERA HAMDI
201920401011144

PEMBIMBING
dr. Dina H. Susanti, Sp.Rad
dr. Farid Wadjdi Hafidz, Sp.Rad
dr. Qonita, Sp.Rad

SMF RADIOLOGI
RSUD KABUPATEN JOMBANG
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas


rahmat dan hidayah-Nya, penulisan Referat Bone Tumors ini dapat
diselesaikan dengan baik. Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan
kepada Rasulullah SAW, keluarga, para sahabat dan pengikut beliau
hingga akhir zaman.
Dengan terselesaikannya laporan kasus ini kami ucapkan terima
kasih yang sebesar besarnya kepada dr. Dina H. Susanti, Sp.Rad, dr. Farid
Wadjdi Khafidz, Sp.Rad, dan dr. Qonita, Sp.Rad selaku pembimbing
kami, yang telah membimbing dan menuntun kami dalam pembuatan
referat ini.
Kami menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu kami tetap membuka diri untuk kritik dan saran yang
membangun. Akhirnya, semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat.

Jombang, 18 Februari 2020

Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tumor adalah pertumbuhan massa abnormal pada suatu jairngan dan

merupakan salah satu tanda dari inflamasi yang dapat bersifat jinak atau ganas.

Tumor tulang berkembang ketika sel dalam tulang membelah tak terkendali,

membentuk benjolan atau massa jaringan abnormal (AAOS, 2015).

Tumor tulang primer dapat jinak atau ganas, tumor yang jinak lebih sering

terjadi, tetapi tumor yang ganas seringkali berakibat fatal. Tumor ganas

cenderung tumbuh cepat, menyebar dan menginvasi secara tidak beraturan.

Tumor semacam ini paling sering terlihat pada remaja dan dewasa muda

(AAOS, 2015)

Insiden terjadinya dari seluruh tumor tulang primer : 65,8% bersifat jinak

dan 34,2% bersifat ganas, ini berarti dari setiap tiga tumor tulang terdapat satu

yang bersifat ganas. Tumor ganas tulang menempati urutan kesebelas dari

seluruh tumor ganas yang ada dan hanya 1,5% dari seluruh tumor ganas organ.

Perbandingan insiden tumor tulang pada pria dan wanita adalah sama

(Soekanto, 2007).

Menurut Errol Hutagalung, dalam kurun waktu 10 tahun (1995-2004)

tercatat 455 kasus tumor tulang yang terdiri dari 327 kasus tumor tulang ganas

(72%) dan 128 kasus tumor tulang jinak (28%). Di RSCM jenis tumor tulang

osteosarkoma merupakan tumor ganas yang sering dijumpai yakni 22% dari

seluruh jenis tumor tulang dan 31% dari seluruh tumor tulang ganas. Dari

jumlah seluruh kasus tumor tulang 90% kasus datang dalam stadium lanjut.

Angka harapan hidup penderita kanker tulang mencapai 60% jika belum terjadi

penyebaran ke paru-paru. Sekitar 75% penderita bertahan hidup sampai 5 tahun


setelah penyakitnya terdiagnosis. Sayangnya penderita kenker tulang kerap

datang dalam keadaan sudah lanjut sehingga penanganannnya menjadi lebih

sulit dan dapat menyebabkan kematian.

Meskipun relatif tidak umum, tumor tulang primer adalah masalah klinis

yang signifikan, dengan tingkat morbiditas pasien yang tinggi dan potensi

degenerasi suatu keganasan. Deteksi dini menjadi sangat penting dalam

menentukan perjalanan akhir dan prognosis. Karena banyak tumor yang bersifat

asimptomatik hingga tampak memiliki gejala sisa yang serius (yaitu, fraktur

patologis), sehingga penting untuk dapat menemukan dan mengelompokkan

lesi tulang pada tahap awal perkembangannya (Muir, 2001).

1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui tentang anatomi dan

proses pembentukan tulang, tumor primer jaringan tulang (osteogenik), yang

meliputi: definisi, etiologi, klasifikasi, manifestasi klinis, diagnosis, gambaran

radiologi konvensional, penatalaksanaan, dan prognosis penyakit, serta cara

membedakan tumor tulang jinak atau ganas.

1.3 Metode Penulisan

Penulisan referat ini berdasarkan tinjauan kepustakaan yang merujuk pada

lieratur-literatur yang berkaitan dengan definisi, anatomi, etiologi,

patofisiologi, manifestasi klinik, diagnosis, pemeriksaan penunjang, serta

tatalaksana tumor tulang.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
Susunan tulang atau skelat (kerangka) merupakan salah satu unsur sistem
penegak dan penggerak. Tulang manusia dihubungkan dengan yang lain
melalui sambungan tulang atau persendian sehingga terbentuk kerangka yang
merupakan sistem lokomotif pasif, yang akan diatur oleh alat-alat lokomotif
aktif dari otot.
2.1.1 Klasifikasi Tulang

Gambar 2.1 Klasifikasi Tulang Berdasarkan Bentuk


(Sumber : Marieb, E.N., Hoehn, K., 2007. Human Anatomy & Physiology 7th
ed.)
a. Tulang Panjang (Long bones)
Biasanya berfungsi sebagai pengungkit/pengangkat beban. Terdapat
pada tulang anggota gerak atas atau bawah. Contoh : humerus, tibia,
femur, ulna, metacarpals.
b. Tulang Pendek (Short bones)
Berbentuk kuboidal (kubus). Contoh : tulang pada pergelangan tangan
(carpals) dan kaki (tarsals).
c. Tulang Pipih (Flat bones)
Permukaannya luas, biasanya berfungsi untuk melindungi organ dan
tempat melekatnya otot. Contoh : tulang cranial: frontal, parietal,
occipital, temporal, tulang iga (costa), dan tulang bahu (scapula).
d. Tulang tidak beraturan (Irregular bones)
Bentuk, ukuran dan permukaannya bervariasi. Contoh : tulang belakang
(vertebrae), saccrum, coccyx, temporal, sphenoid, nasal, zygomatic,
maxilla, dan mandibula.
2.1.2 Komposisi Tulang
Tulang adalah jaringan ikat khusus yang tersusun oleh matrix tulang, 4
jenis sel tulang dan membran tulang.
a. Matrix Tulang
Terdiri dari 20% air, 20% protein dan 60% mineral. Senyawa inorganik
terutama kalsium dan fosfor, juga Mg, sulfat dan fluoride. Memberikan
sifat keras dan kekuatan tulang. Senyawa organik (osteoid) :
proteoglycans, glycoproteins, and collagen fiber yang membentuk
fleksibilitas tulang
b. Sel Tulang
1. Osteoprogenitors (Osteo = bone; pro=
precusor; genitor = produce)
Jenis selnya belum berdifferensiasi,
mampu bermitosis membentuk osteoblasts.
Terdapat di permukaan dan rongga tulang yang
mengandung pembuluh darah dan sumsum
tulang (bone marrow)
2. Osteoblasts (Osteo = bone; blast = germ)
Differensiasi sel osteoprogenitor. Gambar 2.2 Sel Tulang
Sumber :www.zoology.ubc.ca
Osteoblasts adalah sel pembentuk sel
tulang dan matriks tulang. Terdapat di permukaan dan rongga
tulang yang mengandung pembuluh darah dan bone marrow
3. Osteocyte (Osteo = bone; cyte = cell)
Menyusun sebagian besar struktur tulang. Selnya hanya
berdiferensiasi dari osteoblast. Terdapat di sekitar matriks tulang
dan berfungsi mempertahankan matriks tulang.
4. Osteoclasts (Osteo = bone; clast = destroy)
Terdapat pada permukaan dan rongga tulang yang mengandung
pembuluh darah dan bone marrow. Berfungsi meresorpsi
(menghancurkan) matriks tulang. Fungsi ini terkait dengan
pertumbuhan dan perbaikan tulang.
c. Membran Tulang
Permukaan eksternal dan internal tulang dilindungi oleh membrane
periosteum dan endosteum. Kedua membran tersebut mengandung
osteoblasts and osteoclasts yang berperan dalam pertumbuhan,
perbaikan dan mempertahankan fungsi tulang. Periosteum terletak
pada bagian luar tulang yang tidak memiliki cartilage dan dilalui
oleh pembuluh darah, limfa dan syaraf yang berpentrasi ke dalam
tulang. Endosteum membran osteogenik seperti halnya periosteum
yang mengandung osteocytes and osteoclasts. Endosteum melapisi
bagian dalam tulang yang mengandung sumsum atau pembuluh
darah (marrow / blood vessels).
2.1.3 Struktur Tulang – Jaringan Tulang
a. Jaringan tulang padat (compact/ dense bone)
Bersifat padat, keras, dan memiliki fungsi untuk melindungi bagian
dalam tulang. Tersusun atas osteon : unit berstruktur silindris. Sub
unit osteon osteocyte terletak dalam rongga yang disebut lacunae.
Lapisan matrix tulang disebut Lamellae.
b. Jaringan tulang berongga (spongy bone)
Terdapat pada bagian dalam tulang padat sangat porous (struktur
berpori). Tidak memiliki osteon, tapi memiliki matrix tulang
(Lamellae). Tersusun atas struktur yang tidak beraturan yaitu
trabeculae, rongganya terisi dengan sumsum tulang (red marrow) &
pembuluh darah
. Gambar 2.3 Komposisi Tulang
Sumber :www.boundless.com > textbooks

2.2 Definisi
Tumor adalah pertumbuhan sel baru, abnormal, progresif dimana sel-
selnya tidak pernah menjadi dewasa. Tumor tulang primer merupakan tumor
tulang dimana sel tumornya berasal dari unsur-unsur tulang sendiri, sedangkan
tumor tulang sekunder adalah tumor yang berasal dari metastasis (infiltrasi)
tumor-tumor ganas organ lain ke dalam tulang.
2.3 Epidemiologi
Dari seluruh tumor tulang primer 65,8% bersifat jinak dan 34,2% bersifat
ganas. Ini berarti dari setiap tiga tumor tulang terdapat satu yang bersifat ganas.
Tumor ganas tulang menempati urutan ke-11 dari seluruh tumor ganas yang
ada. Perbandingan insidens tumor tulang pada pria dan wanita adalah sama.
Insidens tumor tulang jinak dan ganas sangat erat hubungannya dengan usia
penderita (Rasjad, 2007).
Tumor jinak yang paling sering terjadi diantaranya adalah
Osteochondroma, Giant Cell Tumor, Osteoblastoma, dan Osteoid Osteoma
Tumor ganas yang paling umum terjadi adalah Multiple Myeloma,
Osteosarcoma, Ewing’s Sarcoma, dan Chondrosarcoma (AAOS, 2015).
2.4 Etiologi dan Faktor Resiko
Tumor tulang sampai saat ini belum diketahui secara pasti apa
penyebabnya. Peneliti tengah meneliti beberapa faktor yang dapat
meningkatkan insidensi terjadinya tumor ini. Faktor-faktor yang dianggap
sebagai faktor resiko terjadinya kasus tumor tulang ini adalah sering terpapar
dengan terapi radiasi atau pengobatan anti kanker, karena faktor keturunan,
riwayat pemasangan besi pada tulang (National Cancer Institute, 2008). Tetapi
tidak semua faktor resiko yang di sebutkan meningkatkan angka resiko
terjadinya tumor tulang. Berikut beberapa faktor yang dianggap sebagai faktor
resiko dari tumor tulang.
a. Usia
Pada kasus tumor tulang memang sedikit berbeda dengan kasus kanker pada
organ lainnya, insidensi tumor tulang lebih sering di jumpai pada remaja.
Seperti osteosarkoma yang secara umum dijumpai pada remaja dan dewasa
muda. Sangat jarang dijumpai pada saat sebelum usia remaja dan kelihatannya
berhubungan dengan pertumbuhan tulang pada saat remaja (Cancer Research
UK, 2014)
b. Riwayat kanker sebelumnya
Riwayat kanker sebelumnya dapat menjadi faktor resiko yang pasti terjadinya
kanker tulang karena dikhawatirkan sudah terjadi metastase ke tulang. Dan
apabila ini didapati tumor tulang dengan riwayat kanker maka disebut sebagai
tumor tulang yang sekunder (National Cancer Institute, 2008).
c. Riwayat pengobatan kanker
Terpapar radiasi dapat menyebabkan tumor pada tulang. Di sebutkan bahwa
apabila didapati riwayat radioterapi pada area tubuh yang terdapat tulang, maka
ini meningkatkan resiko untuk terjadinya osteosarcoma pada area tersebut.
Resiko ini kecil kemungkinan pada kebanyakan orang, tetapi beresiko tinggi
pada remaja yang terpapar radioterapi dengan dosis tinggi. Hanya 1 dari 100
orang yang diobati dengan radioterapi akan menjadi tumor tulang. (Cancer
Research UK, 2014).
d. Genetik
Sebuah sindrom yang disebut sebagai Li-Fraumeni syndrome yang mana
terjadi karena kesalahan gen yang turunkan dari orang tua, meningkatkan
resiko terjadinya beberapa kanker, termasuk kanker tulang (Cancer Research
UK, 2014).
2.5 Klasifikasi
Tumor tulang dapat dikelompokkan sebagai tumor tulang primer dan tumor
tulang sekunder. Tumor tulang primer ini lebih sering dijumpai daripada tumor
sekunder.
Tumor tulang primer dapat jinak atau ganas. Tumor tulang yang yang jinak
lebih sering terjadi daripada tumor primer yang ganas, dan tumor-tumor ganas
seringkali berakibat fatal. Tumor ganas cenderung tumbuh cepat, menyebar
dan menginvasi secara tidak beraturan. Tumor-tumor semacam ini paling
sering terlihat pada remaja dan dewasa muda.
Tumor tulang sekunder merupakan tumor pada tulang akibat dari metaplasia
yang beasal dari jaringan lain, dapat menyebar melalui aliran darah. Tumor
yang sering bermetaplasia ke tulang antara lain prostat, payudara, paru, tiroid,
ginjal, dan kandung kemih. Dan tulang yang paling sering adalah vertebrae,
femur proksimal, pelvis, sternum, humerus proksimal, dan iga. Sama halnya
dengan tumor lainnya, tumor tulang juga ada yang jinak dan ada yang ganas.
2.6 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan neurologis, dan pemeriksaan radiologis.
2.7 Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologik merupakan pemeriksaan yang penting dalam usaha
menegakkan diagnosis tumor tulang. Diagnosis pasti didasarkan pada hasil
pemeriksaan PA. Pada beberapa tumor, diagnosis pasti dapat juga ditegakkan
dengan pemeriksaan radiologik, misalnya osteokondroma.
Pada pemeriksaan tulang harus diperhatikan :
• Besar, bentuk, kontur, dan densitas tulang
• Korteks, utuh atau tidak utuh (menipis/destruksi)
• Spongiosa, adakah bayangan radiolusen
• Ada/tidaknya reaksi periosteal
• Jaringan lunak sekitar tulang apakah ada pembengkakan, pengapuran,
penulangan.
Dalam menilai tumor tulang perlu diperhatikan hal berikut :
• Umur penderita
• Apakah lesi soliter atau multipel
Kebanyakan tumor tulang primer soliter, bila multipel kemungkinan
metastasis.
• Bagian tulang mana yang terkena
Osteosarkoma biasanya di daerah metafisis, sarkoma Ewing kebanyakan
pada diafisis, dan sebagainya.
• Kelainan apa yang terlihat apakah berupa destruksi, reaksi periosteal,
pembentukan tulang baru, dan bagaimana jaringan lunak sekitarnya.
• Batas-batas lesi, umumnya tumor jinak berbatas tegas, korteks menipis, dan
tidak ada reaksi periosteal. Sedangkan tumor ganas batasnya tidak tegas,
korteks mengalami destruksi dan ada reaki periosteal.
Pemeriksaan radiologi pada tumor tulang selalu diawali dengan foto
konvensional yang sampai saat ini masih merupakan cara pemerikaan terbaik
untuk diagnostik tumor tulang. Untuk menentukan luasnya tumor atau
keterlibatan jaringan sekitar dapat dilakukan pemeriksaan CT scan atau MRI.
2.8 Penatalaksanaan
Prinsip-prinsip pengelolaan
1. Tumor jinak
- Tumor jinak berukuran kecil biasanya tidak diperlukan tindakan khusus
- Biopsi dilakukan bila jenis tumor diragukan
2. Curiga tumor ganas
- Melakukan pemeriksaan lengkap termasuk pemeriksaan darah, foto paru,
pemeriksaan radiologik terhadap tumor, dan biopsy.
2.9 Tumor Jinak Tulang
2.9.1 Osteochondroma
a. Definisi

Osteokondroma didefinisikan sebagai penonjolan tulang (eksostosis)

dengan penutup kartilago yang berasal dari permukaan eksternal

tulang. Tumor tulang jinak yang mengenai tulang panjang, terutama

sekitar lutut.

b. Insiden

Osteokondroma berkontribusi terhadap lebih dari 30% kasus tumor

jinak pada tulang dan 10-15% keseluruhan kasus tumor pada tulang.

Secara epidemiologis, osteokondroma umumnya mengenai remaja


dan anak-anak, sangat jarang mengenai bayi atau neonatus.

c. Gambaran Klinis

Osteokondroma biasanya jarang menimbulkan keluhan spesifik pada

pasien. Gejala yang paling umum adalah tumbuhnya benjolan tanpa

disertai nyeri pada tulang yang terkena. Gejala yang lebih spesifik

biasanya menandakan timbulnya komplikasi seperi nyeri pada fraktur

basis osteokondroma, deformitas tulang, atau masalah persendian.

Nyeri pada osteokondroma juga dapat ditimbulkan oleh inflamasi atau

pembengkakan bursa atau tendon yang berada di dekat lesi.

Osteokondroma yang tumbuh di dekat serabut saraf atau pembuluh

darah (paling sering nervus dan arteri popliteal) dapat menimbulkan

gejala yang lebih spesifik seperi rasa kebas (numbness), kelemahan

motorik, hilangnya pulsasi periferal, serta perubahan warna pada

tungkai yang terkena. Kompresi vaskular, trombosis arteri, aneurisma,

pseudoaneurisma, dan trombosis vena merupakan komplikasi yang

umum dan dapat menimbulkan manifestasi klaudikasio, nyeri,

iskemia akut, serta tanda-tanda flebitis. Kompresi serabut saraf terjadi

pada kira-kira 20% kasus osteokondroma soliter. Osteokondroma

yang berlokasi di bawah tendon dapat menimbulkan nyeri selama

pergerakan dan keterbatasan ruang gerak sendi (range of motion).

Transformasi ganas memberikan gejala seperti nyeri, pembengkakan,

dan penambahan ukuran tumor.

d. Lokasi

Metafisis tulang panjang seperti femur, tibia, humerus, ulna, dan

radius merupakan predileksi anatomis paling umum pada

osteokondroma soliter. Osteokondroma biasanya tidak menimbulkan

gejala dan didiagnosis secara insidental pada foto rontgen.


e. Patofisiologi

Osteokondroma dapat disebut sebagai lesi perkembangan tulang

(developmental lesion) yang terbentuk sebagai akibat terjadinya

pemisahan fragmen cakram pertumbuhan (epiphyseal growth plate)

yang mengalami herniasi melalui lapisan periosteal yang normalnya

mengelilingi cakram pertumbuhan (encoche of Ranvier).

Mekanisme terpisahnya sebagian fragmen cakram pertumbuhan

masih belum dipahami sampai saat ini. cakram pertumbuhan yang

terpisah ini juga mengalami osifikasi enkondral sehingga

membentuk penonjolan osseus subperiosteal dengan penutup

kartilago (cartilage cap) yang mengalami proyeksi dari permukaan

korteks tulang didasarnya. Pada true osteochondroma, tangkai

(stalk) dari penonjolan tulang merupakan persambungan langsung

dari korteks dan kanalis medularis tulang didasarnya.

Osteokondroma akan terus tumbuh dari penutup kartilago, identik

dengan cakram pertumbuhan yang normal. Pertumbuhan akan

terhenti ketika cakram pertumbuhan telah menutup.

f. Tatalaksana

pembedahan merupakan pilihan terapi utama pada osteokondroma.

Tumor harus dieksisi jika menimbulkan komplikasi seperti nyeri,

deformitas, kompresi saraf tepi atau pembuluh darah. Reseksi

profilaktik disarankan pada kasus-kasus dimana lesi berlokasi di

dekat pembuluh darah. Osteokondroma harus dieksisi secara

lengkap, tanpa terjadinya kebocoran jaringan miksomatus

(myxomatous tissue) atau bagian dari penutup kartilago, khususnya

jika dicurigai adanya degenerasi sarkomatus pada lesi. Sebagai

tambahan terhadap reseksi, teknik rekonstruksi juga diperlukan


untuk memperbaiki deformitas yang ada. Kemoterapi dan

radioterapi merupakan pilihan terapi pada kasus di mana tumor

mengalami dediferensiasi atau transformasi ganas. Eksisi biasanya

bersifat kuratif. Kekambuhan dapat dijumpai jika eksisi tidak

lengkap mengeliminasi lesi. Rekurensi pada lesi yang sebelumnya

telah dieksisi total dapat mengarahkan kecurigaan ke arah timbulnya

keganasan.

g. Gambaran Radiologi

Pada foto polos tulang tampak penonjolan tulang dengan korteks

dan spongiosa yang normal. Komponen tulang rawan seringkali

tidak terlihat karena berada di luar tulang (dapat dilihat dengan ct

scan). Dengan bertambahnya umur pasien, terlihat kalsifikasi pada

tulang rawan yang makin lama makin banyak.

The long bones of the lower limbs (knee region) are


most commonly affected. (A) Simple lateral radiograph.
(B) Computed tomography with 3D reconstruction.
Note lesion (arrows) in the proximal region of the tibia.
In the clinical examination (A), painless slowly growing
bulging of hardened consistency is sometimes observed.
(B) Radiograph of the proximal region of the right
humerus of the same patient.

(Sumber : de Souza AMG, Bispo Júnior RZ. Osteocondroma:


ignorar ou investigar?. Rev Bras Ortop. 2014;49:555–564.)

2.9.2 Osteoid Osteoma

a. Definisi

Merupakan tumor osteoblastik jinak terdiri dari inti osteoid dengan

vaskularisasi tinggi dan merupakan tumor jinak tulang dengan

potensi pertumbuhan yang terbatas.

b. Insidens

Osteoid osteoma adalah tumor jinak, jarang ditemukan (1,8%),

terutama pada umur 10 – 25 tahun. Tumor ini lebih sering pada laki

laki daripada wanita dengan perbandingan 2:1.

c. Gambaran
Gambar Klinisosteoid. Insiden usia yang paling sering ditemukan serta
2.10 Osteoma
osteo yang sering terkena ditunjukkan oleh panah hitam solid.

(Sumber : Manaster, B.J, MD, PhD, FACR. 2016. Diagnostic Imaging Musculoskeletal
Non-Traumatic Disease Second Edition. Philadelphia : Elsevier, page 158)
 Nyeri bersifat menetap/ hilang timbul yang tidak hilang saat
istirahat
 Nyeri biasanya di malam hari
 Nyeri dapat bersifat ringan atau hebat
 Nyeri dapat berkurang dengan pemberian aspirin dosis rendah
 Terkadang otot disekitar tumor akan mengecil (atrofi) dan keadaan
ini akan membaik setelah tumor diangkat
d. Lokasi

Lokasi osteoid osteoma pada femur (25%), tibia (25%), dan sisanya

pada daerah daerah lain, seperti pada tulang belakang.

Gambar 2.11 Lokasi tulang dan pola distribusi frekuensi usia osteoid osteoma.
A, distribusi tulang dari osteoid osteoma. B, Umur distribusi frekuensi osteoid
osteoma.

(Sumber : Manaster, B.J, MD, PhD, FACR. 2016. Diagnostic Imaging Musculoskeletal
Non-Traumatic Disease Second Edition. Philadelphia : Elsevier, page 158)

e. Pemeriksaan Radiologi Konvensional

Pada foto rontgen tampak sebagai daerah nidus radiolusen yang

dikelilingi oleh pinggir sklerotik. Lesi terletak dibagian tengah dari

garis tulang ukuran lesi tidak lebih dari 1-2 cm. ditemukan adanya

daerah yang bersifat radiolusen yang disebut nidus didaerah diafisis

di kelilingi oleh suatu daerah skerosis yang padat, serta penebalan

kortikal yang merupakan reaksi pebentukan tulang, nidus dapat


berlokasi pada korteks celah intramedular atau periosteum tulang pada

bagian metafisis atau diafisis dari tulang panjang (epifisis sangat

jarang). Kadang pemeriksaan tomogram diperlukan untuk membantu

menegakkan diagnosa.

Gambar 2.12 Intracortical osteoid osteoma


tulang panjang. A, Seorang anak 15 tahun yang
sakit lebih buruk di malam hari dan hilang
dengan aspirin ditemukan memiliki lesi
intracortical litik dalam poros femoralis
proksimal. penebalan Fusiform sekitar, dan
meluas beberapa sentimeter di atas dan di bawah,
nidus.

(Sumber : Manaster, B.J, MD, PhD, FACR. 2016.


Diagnostic Imaging Musculoskeletal Non-Traumatic
Disease Second Edition. Philadelphia : Elsevier, page
148)

Gambar 2.13 radiografi lateral femur distal


seseorang usia 41 tahun yang memiliki gejala
khas dari osteoid osteoma selama 3 bulan.
penebalan kortikal dan sclerosis tulang gagal
menunjukkan nidus ; inset, tomogram dihitung
dari pasien yang menampilkan nidus korteks
posterior yang menebal.

(Sumber : Manaster, B.J, MD, PhD, FACR. 2016.


Diagnostic Imaging Musculoskeletal Non-Traumatic
Disease Second Edition. Philadelphia : Elsevier, page
148)
Gambar 2.17 Osteoid osteoma dengan pertumbuhan lebih menonjol dan deformitas tulang. A,
osteoma osteoid humerus proksimal dengan sclerosis difus menonjol dan reaksi periosteal
deformasi kontur tulang. B, anteroposterior radiografi menunjukkan diffuse sclerosis dan
ketidakcocokan panjang dari tulang paha kiri. C, radiografi dari anak 1 tahun dengan
pembengkakan yang menyakitkan kaki kiri. Catatan sclerosing lesi dari diaphysis tibialis kiri dan
perbedaan panjang jelas. Biopsi menunjukkan pembentukan tulang reaktif. Lesi didiagnosis
sebagai osteomyelitis dan diobati dengan antibiotik. D dan E, Lima tahun kemudian, pasien yang
sama mengalami nyeri berulang. Catatan diucapkan deformitas membungkuk tibia kiri dan
menyebar kortikal sclerosis. Biopsi didokumentasi nidus osteoma osteoid

(Sumber : Manaster, B.J, MD, PhD, FACR. 2016. Diagnostic Imaging Musculoskeletal Non-Traumatic
Disease Second Edition. Philadelphia : Elsevier, page 162)

Gambar 2.18 Osteoid osteoma tulang tubular berubah sebagai osteomyelitis kronis. A,
radiografi dari nidus sklerotik di falang proksimal jari panjang (panah) dari seorang
wanita berusia 26 tahun yang merasa sakit dan bengkak selama 2 tahun sebelum
diagnosis didirikan. telah diikuti dan dirawat karena diduga osteomielitis selama periode
ini. B, foto Klinis kasus A menunjukkan edema jaringan lunak dan deformitas jari yang
panjang. C, radiografi menunjukkan nidus berkilau dengan sklerosis pada tulang yang
berdekatan di falang proksimal jari kelima. D, radiografi seorang pria 22 tahun dengan
nyeri, pembengkakan jaringan lunak, dan diperluas nidus radiolusen di falang proksimal
jari telunjuk (panah). Diagnosis osteomielitis kronis mengakibatkan pengobatan jangka
panjang dengan antibiotik.

(Sumber : Manaster, B.J, MD, PhD, FACR. 2016. Diagnostic Imaging Musculoskeletal Non-
Traumatic Disease Second Edition. Philadelphia : Elsevier, page 164)
Gambar 2.19 Juxtaarticular osteoid
osteoma dari sendi siku. A, radiografi dari
sendi siku dengan difus, buruk wilayah
batas-batasnya dari sclerosis dari proksimal
ulnar metafisis (panah). Tidak ada jaringan
nidus dapat diidentifikasi. Radiografi siku
menunjukkan tidak jelas sclerosis dan
reaksi periosteal menonjol yang melibatkan
ujung distal humerus.

(Sumber : Manaster, B.J, MD, PhD, FACR.


2016. Diagnostic Imaging Musculoskeletal Non-
Traumatic Disease Second Edition. Philadelphia
: Elsevier, page 165)

f. Patologifisiologi

Kelainan terdiri atas jaringan seluler dengan tingkat vaskularisasi

yang tinggi dan jaringan tulang yang belum matang serta jaringan

osteoid.

2.9.3 Osteoblastoma

a. Definisi

Osteoblastoma adalah osteoid jinak dan tumor pembentuk tulang

dengan banyak osteoblas yang melapisi trabekula tulang imatur dan

sel-sel raksasa multinukleasi tipe osteoklastik yang bertebaran dan

stroma fibrovaskular yang longgar, dan tidak memiliki sklerosis

tulang perifer (Olvi, et al, 2015).

b. Insiden

Insidensinya lebih besar pada pria daripada wanita (2: 1). Dua
dekade pertama kehidupan menyumbang lebih dari 70% kasus

(Olvi, et al, 2015).

c. Gambaran Klinis

Osteoblastoma umumnya tumbuh lambat dengan simptomatologi

minimal, tetapi lesi yang agresif dapat menyebabkan gejala yang

parah seperti edema jaringan lunak, kekakuan sendi, dan kontraktur.

Nyeri adalah gejala yang paling sering muncul, dan diagnosis dapat

ditunda hingga dua tahun sejak timbulnya gejala. Osteoblastoma

tulang belakang memiliki gejala yang mirip dengan osteoma

osteoid; yaitu nyeri punggung, skoliosis, dan kompresi akar saraf.

Osteoblastoma toksik adalah varian osteoblastoma yang sangat

jarang dikaitkan dengan gejala sistemik, termasuk demam,

anoreksia, dan penurunan berat badan (Limaiaem, 2019).

d. Lokasi

Sepertiga tulang belakang, di mana pada tulang belakang,

osteoblastoma cenderung melibatkan elemen posterior, dan

sepertiga pada tulang tubular dengan kecenderungan untuk tulang

paha proksimal dan distal dan tibia proksimal dan humerus

proksimal dan humerus proksimal (Limaiaem, 2019).

e. Patofisiologi

Lesi tersusun oleh anastomosis osteoid imatur dan trabekula tulang

yang tertanam dalam stroma fibrovaskular yang longgar (Olvi, et al,

2015).

f. Gambaran radiologi

Pada radiografi polos, osteoblastoma muncul sebagai lesi ekspansil

dengan lesi sklerosis yang bervariasi, biasanya pada lengkung saraf

(Limaiaem, 2019). Banyak tumor menunjukkan osifikasi


intratumoral, termasuk beberapa dengan nidus sentral tulang

sklerotik yang dikelilingi oleh halo radiolusen yang mirip dengan

osteoid osteoma (Lucas, 2010).

g. Tatalaksana

Perawatan pasien dengan osteoblastoma adalah pembedahan. Lesi

dapat dihilangkan dengan kuretase intralesi atau reseksi luas,

tergantung pada situasi klinis, lokasi di dalam tulang, dan

kecurigaan keganasan. Tingkat kekambuhan bervariasi dengan

pendekatan bedah, dan reseksi luas berkorelasi dengan tingkat

kekambuhan yang lebih rendah (Limaiaem, 2019).

2.9.4 Giant Cell Tumor

a. Definisi

Tumor giant cell (TGC) tulang merupakan sebuah lesi yang bersifat

jinak tetapi secara lokal dapat bersifat agresif dan destruktif yang

ditandai dengan adanya vaskularisasi yang banyak pada jaringan

penyambung termasuk proliferasi sel-sel mononuklear pada stroma

dan banyaknya sel datia yang tersebar serupa osteoklas (David &

Arifin, 2006).

b. Insiden
GCT mencakup 4-5% dari insidensi tumor tulang primer dan 18,2%

dari insidensi tumor tulang jinak (Putra, 2019). Tumor ini umumnya

jinak, walaupun demikian 5–10% pasien dapat berubah menjadi

ganas (David & Arifin, 2006).

c. Gambaran Klinis

Pada umumnya non-spesifik dan tergantung dari beratnya penyakit.

Yang sering dikeluhkan adalah rasa nyeri yang biasanya berkurang

bila pasien beristirahat, bengkak lokal, dan gerakan yang terbatas

pada sendinya. Bila lesi tumor terletak di tulang-tulang vertebra

dapat timbul gejala nerologis. Nyeri tekan pada pemeriksaan palpasi

juga didapatkan pada pasien. Pada pemeriksaan fisik dapat

ditemukan atrofi otot dan menurunnya pergerakan sendi. TGC pada

sakrum sering menimbulkan gejala low back pain yang meluas di

kedua ekstremitas bagian bawah dan dapat disertai gejala

neurologis, gangguan berkemih atau buang air besar. Fraktur

patologis ditemukan sekitar 11–37% pasien (David & Arifin, 2006).

d. Lokasi

Sekitar 60% GCT terjadi pada tulang panjang dan hampir semua

terjadi pada ujung distal tulang, terutama di femur, humerus, dan

radius. Pada radius distal merupakan area tersering ke-3 terjadinya

GCT (10- 15% kasus) setelah femur distal dan tibia proksimal

(Putra, 2019)

e. Patofisiologi

Giant Cell Tumor terbentuk dari sel-sel osteoklas yang berkembang

menjadi sel dengan inti nuclei yang banyak (>50 nuklei), dan

bersifat destruktif.
f. Gambaran radiologi

Giant cell tumor. Foto polos pasien wanita 19 tahun memperlihatkan lesi
geographic yang radiolusen dengan batas sklerotik (panah) pada metafise
dan epifise tibia proksimal (David&Arifin, 2006)

Dengan foto polos TGC sudah dapat diketahui karena mempunyai

gambaran yang sangat khas. Magnetic resonance imaging (MRI)

digunakan untuk mendeteksi adanya perubahan pada jaringan lunak,

perluasan ke intra-artikular, dan adanya perubahan sumsum tulang

(David & Arifin, 2006).

Foto polos sangat penting untuk menemukan lokasi lesi, keadaan

matriks tulang, tepi lesi, reaksi periosteal, dan keadaan jaringan

lunak. Gambaran radiologis dari TGC tulang pada foto polos

menurut Campanacci mempunyai gambaran yang sangat khas,

yaitu: (i) stadium I: lesi osteolitik berbatas tegas tanpa deformasi

korteks tulang dan dapat disertai reaksi s klerotik di sekitar lesi; (ii)

stadium II: lesi osteolitik berbatas tegas disertai gambaran

septa/trabekulasi di dalam tumor yang terlihat membagi lesi tumor

dalam beberapa kompartemen disertai deformitas korteks tulang

berupa bulging/ ekspansif dan penipisan/erosi korteks serta terlihat

perluasan lesi tumor ke subartikular dan ke metafisis; (iii) stadium


III: telah didapatkan adanya erosi dan destruksi korteks tulang

disertai perluasan tumor ke metafisis, subartikular dan keluar dari

tulang masuk ke jaringan lunak secara cepat yang terlihat sebagai

soft tissue mass (massa jaringan lunak). Dapat terlihat reaksi

periosteal berupa segitiga Codman bila terdapat fraktur patologis.

Terlihat gambaran TGC yang khas pada tulang radius

g. Tatalaksana

Intervensi pembedahan adalah terapi primer dari TGC, tindakan

pembedahan tergantung dari stadium (berdasarkan Eneking) dan

lokasi lesi tumor.

2.10 Tumor Ganas Tulang

2.9.3 Osteosarcoma

a. Definisi

Osteosarkoma adalah tumor ganas tulang primer yang berasal dari

sel mesenkimal primitif yang memproduksi tulang dan matriks

osteoid. Osteosarkoma merupakan tumor ganas tulang primer non

hemopoetik yang paling sering ditemukan.

b. Insiden

Insiden osteosarkoma pada semua populasi menurut WHO sekitar

4-5 per 1.000.000 penduduk. Perkiraan insiden osteosarkoma

meningkat menjadi 8-11 per 1.000.000 penduduk per tahun pada


usia 15-19 tahun. Di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo terdapat

219 kasus (16.8 kasus/tahun) dalam kurun waktu 13 tahun (1995-

2007) yang merupakan jumlah terbanyak dari seluruh keganasan

tulang (70,59%) dengan distribusi terbanyak pada dekade ke-2.

Tumor ini paling sering diderita oleh anak-anak usia dekade ke-2

kehidupan, lebih dari 60% pada pasien kurang dari 25 tahun. Insiden

osteosarkoma dapat meningkat kembali pada usia di atas 60 tahun,

sehingga penyakit ini disebut juga memiliki distribusi yang bersifat

bimodal serta lebih sering terjadi pada laki-laki daripada wanita

dengan perbandingan 2:1.

c. Gambaran Klinis

Nyeri adalah gejala yang paling umum dari kanker tulang. Namun,

gejala dapat bervariasi, tergantung pada lokasi dan ukuran kanker.

Tumor yang terjadi di atau dekat sendi dapat menyebabkan

pembengkakan atau nyeri di daerah yang terkena.

Clinical Sign Percentage present at


first consultation (%)
Local tenderness 92
Palpable mass 39
Painful joint movement 39
Limp 30
Limited range of movement 23
Atrophy of muscle 5
Fever 3
d. Lokasi

Predileksi tersering pada: daerah lutut yaitu distal femur, proksimal

tibia, proksimal humerus, osteosarkoma muncul terutama pada

daerah metafisis tulang panjang dengan rasio pertumbuhan yang

cepat meskipun tidak menutup kemungkinan dapat terjadi pada

semua tulang.
e. Patofisiologi

Osteosarkoma konvensional menunjukkan lesi litik moth eaten atau

permeatif, lesi blastik, destruksi korteks, reaksi periosteal tipe

agresif (segi tiga Codman, sunburst, hair on end), massa jaringan

lunak, dan formasi matriks (osteoid maupun campuran osteoid dan

khondroid).

Terdapat 2 jenis klasifikasi stadium, yaitu berdasarkan

Musculoskeletal Tumor Society (MSTS) untuk stratifikasi tumor

berdasarkan derajat dan ekstensi lokal serta stadium berdasarkan

American Joint Committee on Cancer (AJCC) edisi ke 7.

Sistem Klasifikasi Stadium MSTS (Enneking)


 IA : derajat keganasan rendah, lokasi intrakompartemen,
tanpa metastasis
 IB : derajat keganasan rendah, lokasi ekstrakompartemen,
tanpa metastasis
 IIA : derajat keganasan tinggi, lokasi intrakompartemen,
tanpa metastasis
 IIB : derajat keganasan tinggi, lokasi ekstrakompartemen,
tanpa metastasis
 III : ditemukan adanya metastasis
Sistem Klasifikasi AJCC edisi ke 7
 IA : derajat keganasan rendah, ukuran ≤ 8
 IB : derajat keganasan rendah, ukuran > 8 atau adanya
diskontinuitas
 IIA : derajat keganasan tinggi, ukuran ≤ 8
 IIB : derajat keganasan tinggi, ukuran > 8
 III : derajat keganasan tinggi, adanya diskontinuitas
 IVA : metastasis paru
 IVB : metastasis lain
f. Gambaran radiologi

 meduler medullary and cortical bone destruction

 zona transisi luas, permeatif atau moth-eaten

 reaksi periosteal agresif (jenis sunburst, segitiga Codman ,

lamellated-onion skin)

 massa jaringan lunak


 tumor matriks pengerasan / pengapuran

 variabel: mencerminkan kombinasi dari jumlah produksi tumor

tulang, matriks kalsifikasi, dan osteoid

 tidak jelas "berbulu" atau "awan-seperti" lih untuk cincin dan

busur lesi chondroid

Radiografi AP menunjukkan OS, sangat


agresif dan membentuk tumor tulang di
humerus proksimal. Reaksi periosteal
terlihat, juga sebagai massa jaringan
lunak. Perhatikan juga matriks samar
pada massa di ketiak.

(Sumber : Manaster, B.J, MD, PhD, FACR.


2016. Diagnostic Imaging Musculoskeletal
Non-Traumatic Disease Second Edition.
Philadelphia : Elsevier, page 217)

Radiografi lateral Osteosarkoma


(OS) pada gadis remaja
menunjukkan proses permeative litik
matriks berawan tak berbentuk.
Disertai massa besar padat pada
jaringan lunak.

(Sumber : Manaster, B.J, MD, PhD, FACR.


2016. Diagnostic Imaging Musculoskeletal
Non-Traumatic Disease Second Edition.
Philadelphia : Elsevier, page 217)

g. Tatalaksana

Penatalaksanaan osteosarkoma meliputi terapi pembedahan (limb

salvage surgery (LSS) atau amputasi), kemoterapi dengan atau

tanpa radioterapi yang diberikan konkuren ataupun sekuensial

sesuai indikasi. Pemberian kemoterapi berguna untuk mengontrol

mikrometastasis, memungkinkan penilaian histopatologi untuk

melihat respons kemoterapi (Huvos), memungkinkan perencanaan

limb salvage surgery (LSS) serta memudahkan tindakan reseksi


tumor pada saat tindakan LSS.

Pembedahan merupakan terapi utama osteosarkoma melalui prinsip

reseksi secara en bloc dengan mempertahankan fungsi semaksimal

mungkin. Protokol penatalaksanaan osteosarkoma meliputi

pemberian kemoterapi 3 siklus neoadjuvan terlebih dahulu. Jika

setelah neoadjuvan ukuran tumor mengecil tanpa disertai

keterlibatan struktur neuro-vaskular utama (sesuai indikasi LSS),

yang ditunjang oleh pemeriksaan radiologi (restaging), dilanjutkan

dengan pembedahan LSS. Sebaliknya, bila terjadi pertumbuhan

tumor yang progresif disertai keterlibatan struktur neuro-vaskuler

utama atau ekstensi jaringan yang sangat luas, amputasi menjadi

pilihan utama pembedahan. Pasca pembedahan, pasien dipersiapkan

untuk pemberian 17 kemoterapi adjuvant 3 siklus dengan regimen

yang sama (bila hasil Huvos minimal 3); Bila hasil Huvos kurang

dari 2, regimen kemoterapinya harus diganti dengan obat anti kanker

lainnya (second line).

h. Prognosis

 Tumor related: Lokasi tumor, ukuran tumor, histopatologi (high

grade, low grade), luasnya (infiltrasi, kelenjar regional,

penyebaran/metastasis lokal,/jauh), respon terhadap pengobatan-

respon histologi terhadap kemoterapi (Huvos), tipe dan margin

operasi, ALP dan LDH level : menggambarkan luasnya lesi, D-

dimer (hiperkoagulasi)

 Patient related:Usia, status gizi (BMI), performonce status,

komorbiditas (mis. TB, Hepatitis, gagal ginjal, gagal jantung)

 Management related: Delay diagnosis dan terapi, pengalaman


tenaga medis (operasi, kemoterapi, radiasi dan suportif terapi),

fasilitas kurang (tenaga dan alat)

2.9.4 Ewing’s Sarcoma

a. Definisi

Ewing’s sarcoma adalah suatu tumor ganas yang jarang terjadi

dimana sel kanker dapat ditemukan pada tulang maupun jaringan

lunak.

b. Insiden

Penderita paling sering usia antara 5 – 15 tahun.

c. Gambaran Klinis

Pada umumnya ES berkembang sangat cepat. Lesi pada skeletal

cenderung akan berkembang menjadi tumor berukuran besar dan

menyatu dengan jaringan lunak dalam beberapa minggu. Gejala

awal yang seringkali ditemukan adalah nyeri ringan yang hilang

timbul namun akan berkembang sangat cepat menjadi nyeri hebat

dan memerlukan analgetik. Nyeri pada tumor tulang belakang dan

pelvis biasanya disertai parestesia. Pertumbuhan tumor akan

menimbulkan edema dan inflamasi pada lokasi lesi

(Gozal&Djakaria, 2017).

d. Lokasi

Tumor ganas primer ini paling sering mengenai tulang panjangm

kebanyakan pada diafisis. Tulang yang juga sering terkena adalah

pelvis dan tulang iga.

e. Patofisiologi

Perubahan sel kromoson pada DNA yang akhirnya menyebabkan

timbulnya penyakit ini. Ewing’s sarcoma termasuk penyakit dengan

kelainan genetik akibat kesalahan rekombinasi kromosom yang


dapat menyebabkan sel normal berubah menjadi sel ganas. Ewing’s

sarcoma terjadi akibat translokasi kromosom 11 dan 22, dimana gen

EWS pada kromoson 22 berpindah ke gen FLI1 pada kromoson 11

dan menyatu.1,3 Perpindahan ini dinamakan translokasi 11; 22

[t(11; 22)]. Translokasi ini menghasilkan potongan baru pada DNA.

f. Gambaran radiologi

Tampak lesi destruktif yang bersifat infiltratif yang berawal di

medula; pada foto terlihat sebagai daerah radiolusen. Tumor cepat

merusak korteks dan tampak reaksi periosteal. Terkadang reaksi

periostealnya tampak sebagai garis-garis yang berlapis-lapis

menyerupai kulit bawang dan dikenal sebagai onion peel

appearanvce.

g. Tatalaksana

Saat ini tatalaksana ES berupa terapi multimodalitas melingkupi

terapi lokal dan sistemik. Secara umum terapi yang diberikan untuk

pasien ES yang resektabel adalah dengan kemoterapi neo-adjuvan

diikuti dengan limb-salvage procedure atau radiasi yang kemudian

dapat diikuti lagi dengan kemoterapi adjuvan post operatif

(Gozal&Djakaria, 2017).
2.9.5 Chondrosarcoma

a. Definisi

Kondrosarkoma merupakan tumor tulang ganas yang terdiri atas

kondrosit anaplastik yang dapat tumbuh sebagai tumor tulang

perifer atau sentral. Kondrosarkoma berasal dari kartilago primitif

yang membentuk mesenkim, memproduksi kartilago hialin dan

menghasilkan pertumbuhan yang abnormal dari tulang atau

kartilago.

b. Insiden

Kejadian kondrosakoma 20% - 27% dari semua neoplasma primer

ganas pada tulang dan 3,5 % dari semua tumor primer pada tulang

yang perlu biopsy. Kondrosarkoma ini biasa terjadi pada dewasa

dekade 3-6 dengan laki-laki lebih banyak daripada perempuan.

c. Gambaran Klinis

Pada kebanyakan kasus, gejalanya ringan dengan waktu yang lama,

berkisar dari beberapa bulan sampai tahun, dan biasanya nyeri

tumpul dengan teraba adanya masa. Pada derajat yang tinggi tumor

dapat tumbuh cepat dengan nyeri yang menyiksa.

d. Lokasi

Kebanyakan lokasi skeletal yang sering terjadi kondrosarkoma

adalah tulang panjang tubuler, kira-kira 45%. Femur merupakan

tempat yang paling sering diikuti oleh tibia dan humerus. Tulang

aksial juga merupakan tempat yang sering terjadi kondrosarkoma,

dengan tempat yang paling sering adalah tulang inominata (os ilium,

os ischium dan os pubis) kira-kira 25 %. Pernah dilaporkan juga

kejadian kondrosarkoma di tulang iga, tulang vertebra, tulang

scapula dan sternum.


e. Patofisiologi

Patogenesis kondrosarkoma primer maupun sekunder adalah

terbentuknya kartilago oleh sel-sel tumor tanpa disertai

osteogenesis. Sel tumor hanya memproduksi kartilago hialin yang

mengakibatkan abnormalitas pertumbuhan tulang dan kartilago.

f. Gambaran radiologi

Diagnosis kondrosarkoma sering kali ditegakkan berdasarkan

temuan pada foto polos adanya lesi dengan tipikal matriks kondroit

ring and arc pattern dengan ciri pertumbuhan yang agresif.

Tambahan modal pencitraan lainnya meliputi CT, MR, dan bone

scintigraphy diperlukan untuk evaluasi, staging dan sebagai guiding

reseksi bedah.

g. Tatalaksana

Sebagian besar kondrosarkoma tumbuh lambat dan jarang

bermetastasis. Kondrosarkoma memiliki prognosis baik setelah

operasi yang adekuat. Eksisi bedah secara luas tetap merupakan

terapi terbaik pada tumor derajat sedang sampai tinggi. Namun,

sebagian kecil pasien mengalami kekambuhan dengan metastasis

sampai 13% kasus. Kasus yang sering mengalami kekambuhan

adalah kondrosarkoma tipe high grade dan tipe primer.


BAB 3
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

 Tumor tulang merupakan kelainan pada sistem muskuloskeletal yang


bersifat neoplastik. Tumor dalam arti yang sempit berarti benjolan,
sedangkan setiap pertumbuhan yang baru dan abnormal disebut
neoplasma.
 Tumor tulang yang perkembangan jaringan abnormalnya berasal dari
tulang disebut tumor tulang primer, sedangkan tumor yang
bermetastase ke tulang yang berasal dari bagian tubuh atau jaringan lain
disebut tumor tulang sekunder atau metastatic cancer.
 Tumor dapat bersifat jinak atau ganas. Tumor tulang yang bersifat
ganas dapat merusak jaringan tulang. Tumor tulang jinak angka
kejadiannya lebih sering jika dibandingkan dengan tumor tulang
ganas.tumor tulang jinak tidak bermetastasis, tidak menghancurkan
jaringan tulang dan jarang mengancam nyawa.
Daftar Pustaka
Daffner RH, Hartman MS. Clinical radiology. 4th ed. Wolters kluwer: New York;
2007.

de Souza AMG, Bispo Júnior RZ. Osteocondroma: ignorar ou investigar?. Rev Bras
Ortop. 2014;49:555–564.
Gaillard, A.Prof Frank, et al. 2011. Parosteal Osteosarcoma. Accesed on January
25 2017 < https://radiopaedia.org/articles/parosteal-osteosarcoma-1>
Kemenkes. 2016. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran : Osteosarkoma.
Jakarta : Komite Penanggulangan Kanker Nasional.
Kumar, Abbas AK. Robbins pathologic basic of disease. Elsevier Saunders:
Washington; 2005.

Limaiem F, Singh R, 2019, Osteoblastoma, SourceStatPearls [Internet]. Treasure


Island (FL): StatPearls.

Lucas, DR, 2010, Osteoblastoma, Arch Pathol Lab Med, Vol 134, pp.1460-1466.

Manaster, B.J, MD, PhD, FACR. 2016. Diagnostic Imaging Musculoskeletal Non-
Traumatic Disease Second Edition. Philadelphia : Elsevier

Muir, M Jeffrey. 2001. Common Primary Tumors of Bone. The Canadian Journal
of Diagnosis. Pp 121-132.

Olvi L.G., Lembo G.M., Velan O., Santini-Araujo E. (2015) Osteoblastoma. In:
Santini-Araujo E., Kalil R., Bertoni F., Park YK. (eds) Tumors and Tumor-
Like Lesions of Bone. Springer, London

Putra, 2019, Penatalaksanaan Giant Cell Tumor pada Distal Radius. Jurnal Bedah
Nasional, Vol 3, pp.6-10.

Rasjad, Chairuddin. Pengantar ilmu bedah ortopedi. Edisi 3. Penerbit Yarsif


Watampone: Makassar; 2007.

Salter RB. Textbook of disorders and injuries of the musculoskeletal system. 3rd ed.
Williams and Wilkins: USA; 2008.
Sisu AM, Stana LG, Patrescu CI. On the bones tumor. Intech: USA; 2012.
Sjamsuhidajat R, Jong W de. Buku ajar ilmu bedah. Edisi 3. EGC: Jakarta; 2005.

Soekanto, Ayly. 2007. Tumor Jinak Muskuloskeletal. Jurnal Fakultas Kedokteran


Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. Viewed 22 Januari 2017
Spuy, Dr. DJ van der, MBChB. 2009. Review Article, Osteosarcoma : Pathology,
Staging and Management. In SA Orthopaedic Journal Spring 2009
Wheeless, Clifford R., III, MD. 2016. Parosteal Osteosarkom. Wheeless' Textbook
of Orthopaedics, accesed on January 25 2017

Anda mungkin juga menyukai