Anda di halaman 1dari 19

Upaya Menyatukan Keragaman dan Menemukan

Makna Kesetaraan Derajat Kemanusiaan dalam


Masyarakat Majemuk

Disusun Oleh Kelompok 4 :


Ilham Setya W (201510330311001)
Fauziah Awaliyanti (201510330311004)
Hafmi Ersya S. H (201510330311030)
Cendra Mulya (201510330311055)
Nurmalia Marina A. N. (201510330311070)
Azkia F (201510330311082)
Paradipa Githa Saphira (201510330311109)
Moch. Yusuf Bahtiar (201510330311120)
Sarah Beauty Nabila (201510330311129)
Zhenna (20151033031156)
Naafi Sabah (201510330311179)

Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran


Universitas Muhammadiyah Malang
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesempatan,


kemampuan, dan kreativitas kepada kami untuk menyusun makalah ini. Sebuah
makna ketulusan yang ingin kami pertahankan, sehingga tidak pantas rasanya
kami mengatasnamakan tugas kuliah untuk menyelesaikan makalah kami. Sebuah
panggilan hati bagi kami untuk mengaji kembali topik-topik masyarakat majemuk
yang ada di Indonesia.

Kami hanya ingin menyuarakan kembali arti dari sebuah perdamaian


ketika hidup berdampingan dengan segala perbedaan. Melalui sebuah upaya
sederhana menyatukan keragaman dan menemukan sebuah makna kesetaraan
derajat kemanusiaan adalah hal penting yang harus pertamakali kita kenali untuk
mewujudkan harmoni. Tidak perlu terlalu resah menghadapi segala perbedaan ini,
untuk itu harapan besar kami makalah ini menjadi sebuah wacana membuka
paradigma baru untuk hidup selaras dengan semua keragaman yang ada.

Kami sangat memohon bagi Anda yang membaca makalah ini untuk
menyampaikan saran serta kritik apabila dirasa membangun untuk kedepannya.
Sampaikan secara personal atau pun secara berkelompok mengenai saran dan
kritik yang akan Anda berikan. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh
dari sempurna. Namun izinkan kami memberikan sebuah label makalah yang baik
karena makalah ini sudah disusun semaksimal mungkin dengan menyertakan
refrensi-refrensi akurat. Keputusan kami untuk menghindari plagiat merupakan
komitmen yang sangat kami tanamkan. Cukup sekian pengantar dari kami, kurang
dan lebihnya mohon maaf.

Malang, 17 Oktober 2016

Kelompok 4

2
Daftar Isi

Kata Pengantar .............................................................................................................. 2

Daftar Isi........................................................................................................................ 3

Abstrak .......................................................................................................................... 4

Bab I .............................................................................................................................. 5

Pendahuluan .................................................................................................................. 5

1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 5

1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................... 7

1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................................ 7

Bab II............................................................................................................................. 8

Isi ................................................................................................................................... 8

2.1 Masyarakat Majemuk ................................................................................. 8

2.2 Masyarakat Multikultural ......................................................................... 12

2.3 Makna Kesetaraan Derajat Kemanusiaan ................................................. 13

2.4 Upaya Menyatukan Keragaman................................................................ 15

Bab III ......................................................................................................................... 17

Kesimpulan ................................................................................................................. 17

Daftar Pustaka ............................................................................................................. 18

3
Abstrak

Masyarakat majemuk (pluralisme) yang terdiri dari berbagai suku, ras, agama, dan
lain-lain memiliki sebuah keragaman dalam tata cara menjalani kehidupannya.
Hal ini diperngaruhi beberapa faktor seperti keadaan geografis dan kebudayaan
masing-masing agama di Indonesia. Mengenai masyarakat majemuk yang penuh
keragaman ini, perlu sebuah upaya untuk menyatukan agar terhindar dari berbagai
konflik sosial seperti kajian multikulturalisme perlu disampaikan sebagai
penyadaran dan penerimaan akan keragaman yang sedang dijalani oleh
masyarakat. Untuk memerkuat pondasi harmonisasi masyarakat majemuk harus
menanamkan sebuah prinsip kesetaraan derajat agar kecemburuan sosial penyebab
konflik bisa terhindari.Upaya lain yang tak kalah penting untuk menyatukan
keragaman misalnya meningkatkan solidaritas dan lain sebagainya.

Kata kunci : pluralisme, multikulturalisme, kesetaraan derajat, upaya penyatuan.

4
Bab I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Dalam Azzuhri (2012) masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk atau
"plural society", (Nasikun, 1989:31) bahkan ada yang menyebut "dual society".
Kemajemukan masyarakat Indonesia disebabkan oleh keadaan intern tanah air
dan bangsa Indonesia sendiri. Faktor-faktor penyebab pluralitas masyarakat
Indonesia adalah : (1) keadaan geografis, yang merupakan faktor utama
terciptanya pluralitas suku bangsa. Wilayah Indonesia terdiri dari kurang lebih
3000 mil dari Timur ke Barat dan lebih dari 1000 mil dari Utara ke Selatan. (2)
Indonesia terletak antara samuderaIndonesia dan Samudera Pasifik, sangat
mempengaruhi terciptanya pluralitas agama di dalam masyarakat Indonesia.
Pengaruh pertama kali yang menyentuh masyarakat Indonesia berupa pengaruh
kebudayaan Hindu dan Budha dari India sejak 400 tahun sesudah Masehi".
Pengaruh agama Hindu, Budha, Islam dan Kristen mempengaruhi kebudayaan
Indonesia yang pluralistic (Ichtiyanto, 2005: 47-48).

Ciri utama masyarakat majemuk (plural society) menurut Furnivall (1940)


adalah orang yang hidup berdampingan secara fisik, tetapi karena perbedaan
sosial mereka terpisah-pisah dan tidak bergabung dalam sebuah unit politik.
Sebagai seorang sarjana yang untuk pertama kali menemukan istilah ini, Furnivall
menunjuk masyarakat Indonesia di zaman kolonial sebagai contoh yang klasik.
Masyarakat Hindia Belanda waktu itu terpisah-pisah, tidak saja antara kelompok
yang memerintah dan yang diperintah dipisahkan oleh ras yang berbeda, tetapi
secara fungsional masyarakatnya terbelah dalam unitunit ekonomi, antara
pedagang Cina, Arab, dan India (Foreign Asiatic) dengan kelompok petani Bumi
Putera. Menurut Furnivall masyarakat dalam unit-unit ekonomi ini hidup
menyendiri (exclusive) pada lokasi-lokasi pemukiman tertentu dengan sistem
sosialnya masing-masing. (Pelly, 2005).

5
Negara Indonesia juga salah satu negara multikultur terbesar di dunia,
hal ini dapat terlihat dari kondisi sosiokultural maupun geografis Indonesia yang
begitu kompleks, beragam, dan luas. “Indonesia terdiri atas sejumlah besar
kelompok etnis, budaya, agama, dan lain-lain yang masing-masing plural (jamak)
dan sekaligus juga heterogen“aneka ragam” (Kusumohamidjojo, 2000:45 dalam
Lestari,2015)”.

Negara yang memiliki keunikan multientis dan multimental seperti


Indonesia dihadapkan pada dilematisme tersendiri, di satu sisi membawa
Indonesia menjadi bangsa yang besar sebagai multicultural nation-state,
tetapi di sisi lain merupakan suatu ancaman. Maka bukan hal yang berlebihan
bila ada ungkapan bahwa kondisi multikultural diibaratkan seperti bara dalam
sekam yang mudah tersulut dan memanas sewaktu-waktu. Kondisi ini
merupakan suatu kewajaran sejauh perbedaan disadari dan dihayati
keberadaannya sebagai sesuatu yang harus disikapi dengan toleransi. Namun,
ketika perbedaan tersebut mengemuka dan menjadi sebuah ancaman untuk
kerukunan hidup, hal ini dapat menjadi masalah yang harus diselesaikan dengan
sikap yang penuh toleransi. Menyoal tentang rawan terjadi konflik pada
masyarakat multikultur seperti Indonesia, memiliki potensi yang besar
terjadinya konflik antar kelompok, etnis, agama, dan suku bangsa. Salah satu
indikasinya yaitu mulai tumbuh suburnya berbagai organisasi kemasyarakatan,
profesi, agama, dan organisasi atau golongan yang berjuang dan bertindak atas
nama kepentingan kelompok yang mengarah pada konflik SARA (suku, agama,
ras dan antar golongan). (Lestari, 2015).

Potensi menimbulkan konflik SARA perlu sekali adanya upaya penyatuan


keragaman dalam masyarakat majemuk. Pada kondisi masyarakat majemuk,
masyarakat Indonesia memiliki hak kesetaraan derajat kemanusiaan. Seringkali
konflik SARA timbul dari akar ketidak terpenuhinya hak kesetaraan derajat
kemanusiaan. Dalam Syahdan (2007) semua manusia “sama” di mata hukum.
“Kesetaraan” jender perlu diarusutamakan. Setiap warga negara memiliki hak
yang ”sama” untuk mendapat perlakuan yang adil. ”Kesamaan” hak bagi
perempuan harus ditegakkan. Setiap warga negara berhak atas ”kesamaan”
kesempatan kerja.” Dan sebagainya; dan lain-lainnya.

6
Kesetaraan, kesamaan, persamaan atau kata-kata lainsebagai padanan
untuk “equality” adalah konsep yang memesona tetapi juga melenakan.
Makna sejatinya tidak jelas. Secara samar-samar, makna-makna tersebut tentu
serupa, tetapi juga tentunya tidak sama. Sebelum memiliki kesamaan-pandangan
dan pemahaman yang akurat terhadapnya, kita tidak bisa menggunakannya
secara bermakna; bahkan mungkin sebaiknya kita lupakan saja. (Syahdan, 2007).

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana upaya penyatuan keragaman dan menemukan makna kesetaraan
derajat kemanusiaan dalam masyarakat majemuk?

1.3 Tujuan Penulisan


Mengetahui upaya penyatauan keragaman dan menemukan makna kesetaraan
derajat kemanusiaan dalam masyarakat majemuk.

7
Bab II

Isi
2.1 Masyarakat Majemuk
Secara etimologi pluralisme yang bahasa Arab diterjemahkan ta'addud, dalam
bahasa Inggris pluralism. Pluralisme berarti banyak atau lebih dari satu. Dalam
kamus bahasa Inggris mempunyai 3 pengertian. Pertama; pengertian kegerejaan:
1. Sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur
kegerejaan; 2. Memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat
kegerejaan atau tidak kegerejaan. Kedua; pengertian filosofis; berarti sistem
pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasar yang lebih
dari satu. Sedangkan ketiga; pengertian sosiopolitis: adalah suatu sistem yang
mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran,
partai maupun agama dengan menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang
sangat karakteristik diantara kelompok-kelompok tersebut (Anis Malik Toha,
2005: 14, dalam Azzuhri, 2012).

Ketiga pengertian tersebut sebenarnya bisa disederhanakan dalam satu


makna, yaitu koeksistensinya berbagai kelompok atau keyakinan di satu waktu
dengan tetap terpeliharanya perbedaaan dan karakteristiknya masing-masing.
(Azzuhri, 2012).

Sebuah masyarakat yang majemuk di dalamnya akan terkandung berbagai


kelompok masyarakat yang memiliki latar belakang adat istiadat, budaya, agama,
dan kepentingan. Seperti yang disampaikan oleh Furnival, masyarakat majemuk
(plural societies) adalah suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen
yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembaruan satu dengan yang lainnya di
dalam suatu kesatuan politik (Nasikun, 1986 dalam Sudiadi, 2009). Masyarakat
yang majemuk biasanya menghadapi tantangan ketidakharmonisan dan perubahan
yang terus menerus. Sedangkan menurut Pierre L. van Berghe, masyarakat
majemuk memiliki sifat dasar sebagai berikut (Nasikun, 1986 dan Nitibaskara,
2002 dalam Sudiadi, 2009) :

8
1. Terjadi segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang sering kali
memiliki kebudayaan atau lebih tepat sub-kebudayaan yang berbeda satu
sama lain.
2. Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga
yang bersifat non-komplementer.
3. Di antara anggota masyarakat kurang mengembangkan konsesus atas nilai-
nilai sosial dasar.
4. Secara reaktif sering kali terjadi konflik di antara kelompok yang satu
dengan yang lain.
5. Secara reaktif integrasisosial tumbuh di atas paksaan dan salin
ketergantungan di dalam bidang ekonomi.
6. Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atau kelompok lainnya.

Konsep masyarakat majemuk atau masyarakat plural seringkali


dibicarakan bersama-sama dengan konsep masyarakat multicultural, karena
keduanya sama-sama menggambarkan keanekaragaman sosial dan kebudayaan.
Akan tetapi, apabila istilah plural dan multicultural ini ditambahi imbuhan isme
maka pengertian keduanya akan berbeda. Pluralisme berarti pemahaman atau cara
pandang keanekaragaman yang menekankan entitas perbedaan setiap masyarakat
satu sama lain dan kurang memerhatikan interaksinya, sedangkan
multikulturalisme adalah pemahaman dan cara pandang yang menekankan
interaksi dengan memerhatikan keberaan setiap kebudayaan sebagai entitas yang
memiliki hak-hak yang setara. Dari konsep multikulturalisme inilah kemudian
muncul gagasan normatif mengenai kerukunan, toleransi, saling menghargai
perbedaan dan hak-hak masing-masing kebudayaan penyusun suatu bangsa.
(Syaifuddin, 2006).

Sejarah pluralisme sendiri muncul pada masa yang disebut masa


pencerahan (Enlightenment) Eropa, tepatnya pada abad 18 Masehi. Masa yang
disebut sebagai titik permulaan bangkitnya gerakan pemikiran modern. Yaitu
masa yang diwarnai dengan dengan wacana-wacana baru pergolakan pemikiran
manusia yang berorientasi pada superitoritas akal (rasional)(Ahmad Zaki Nuhaiz,
2005, dalam Azzuhri, 2012).

9
Dalam masyarakat yang majemuk, seperti Indonesia, yang terdiri dari
berbagai suku bangsa, ras, agama, kelompok, dan golongan, masalah
pengintegrasian kelompok-kelompok tersebut merupakan masalah yang pelik.
Oleh karena itu diperlukan kemampuan untuk mengatur konflik tersebut, supaya
dapat menghasilkan perubahan sosial kea rah yang lebih baik dan tidak
dekstruktif. (Sudiadi, 2009).

Kemajemukan masyarakat Indonesia dewasa ini, seperti juga pada


masyarakat di belahan bumi lainnya tampak terutama di kotakota besar sebagai
wujud daripada proses urbanisasi yang tidak dapat dibendung. Dalam lima tahun
terakhir ini penduduk kota di Indonesia, menurut hasil Sensus Nasional (1990)
bertambah 20%. Kota-kota besar di Indonesia merupakan contoh masyarakat
majemuk yang utama, sedang kota-kota kecil yang mekar di sekitarnya seperti
Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, untuk Jakarta juga memperlihatkan ciri
kemajemukan yang serupa. (Pelly, 2005).

Apabila faktor-faktor kemajemukan masyarakat kota dapat


diklasifikasikan ke dalam dua kategori, horizontal dan vertikal, maka faktor-faktor
tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut (Pelly, 2005) :

1. Faktor Horizontal

a. Etnis

b. Bahasa daerah

c. Adat-istiadat/perilaku

d. Agama, dan

e. Pakaian/makanan (budaya material)

2. Faktor Vertikal

a. Penghasilan (income)

b. Pendidikan

c. Pemukiman

10
d. Pekerjaan, dan

e. Kedudukan Politis

Faktor kemajemukan horizontal merupakan faktor-faktor yang diterima


seseorang sebagai warisan (ascribed-factors), sedang faktor-faktor kemajemukan
vertikal lebih banyak diperolehnya dari usahanya sendiri (achievement-factors).
(Pelly, 2005).

Kemajemukan akan menjurus ke arah konflik yang sangat potensial


apabila faktor kemajemukan horizontal bersatu dengan faktor kemajemukan
vertikal. Dengan kata lain, apabila suatu kelompok etnis tertentu tidak hanya
dibedakan dengan kelompok etnis lainnya karena faktor-faktor “ascribed” lainnya
seperti bahasa daerah, agama, dan lain-lain, tetapi juga karena perbedaan faktor
“achievement” seperti ekonomi, pemukiman dan kedudukan politis, maka
intensitas konflik akan dapat menjurus kepada suasana permusuhan. Sebaliknya,
apabila kemajemukan faktor-faktor horizontal tidak diperkuat oleh faktor-faktor
vertikal, maka intensitas konflik sangat kecil dan mudah untuk dijuruskan kepada
persesuaian atau harmoni. (Pelly, 2005).

Dalam hal ini terlihat bahwa terdapat beban yang sangat berat bagi
pendidikan kita terutama pendidikan moral atau proses sosialisasi tentang
keberagaman dan makna dari keberagaman tersebut bagi kehidupan. Oleh karena
itu sudah seharusnya kita mulai memikirkan pendidikan multikultur yang
mengembangkan konsep toleransi, saling menghargai, saling menghormati, dan
saling menyadari tentang sebuah perbedaan. Para pendidik harus bekerja keras
untuk melakukan reorientasi pembelajaran agama kepada para peserta didik
dengan tetap mensosialisasikan nilai-nilai dan norma agama dari masing-masing
agama yang diajarkan tetapi dengan mengembangkan konsep pendidikan
multikulturalisme. Karena dengan begitu mekanisme manajemen konflik akan
bisa dilaksanakan. Tentunya dengan didukung kebijakan pemerintah tentang
pendidikan moral, agama, dan sosial. (Sudiadi, 2009).

11
2.2 Masyarakat Multikultural
Berbeda dari konsep pluralisme yang menekankan keanekaragaman suku bangsa
dan kebudayaan, sehingga setiap kebudayaan dipandang sebagai entitas yang
distinktif, maka multikulturalisme lebih menekankan relasi antar-kebudayaan
dengan pengertian bahwa keberadaan suatu kebudayaan harus memertimbangkan
keberadaan kebudayaan lainnya. Dari sini lahir gagasan kesetaraan, toleransi,
saling menghargai, dan sebagainya.(Syaifuddin, 2006).

Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan


pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia,ataupun kebijakan
kebudayaan yangmenekankan tentang penerimaan terhadap realitas keragaman,
dan berbagai macam budaya (multikultural) yang ada dalam kehidupan
masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang
mereka anut (M. Atho Mudzhar, 2005: 174 dalam Azzuhri, 2012).

Sejarah multikulturalisme adalah sejarah masyarakat majemuk. Amerika,


Kanada, dan Australia adalah dari sekian negara yang sangat serius
mengembangkan konsep dan teori-teori multikulturalisme dan juga pendidikan
multikultur. Ini dikarenakan mereka adalah masyarakat imigran dan tidak bisa
menutup peluang bagi imigran lain untuk masuk dan bergabung di dalamnya.
Akan tetapi, negara-negara tersebut merupakan contoh negara yang berhasil
mengembangkan masyarakat multikultur dan mereka dapat membangun identitas
kebangsaannya, dengan atau tanpa menghilangkan identitas kultur mereka
sebelumnya, atau kultur nenek moyangnya. (Azzuhri, 2012)

Dalam konsep multikulturalisme Indonesia, terdapat kaitan yang erat bagi


pembentukan masyarakat yang berlandaskan Bhinneka Tunggal Ikaserta
mewujudkan suatu kebudayaan nasional yang menjadi pemersatu bagi bangsa
Indonesia. (Azzuhri, 2012). Dalam Lestari (2015) Bhinneka Tunggal Ika sebagai
kunci dan pemersatu keragaman bangsa Indonesia merupakan ciri persatuan
bangsa Indonesiasebagai negara multikultur. Sujanto (2009:28) memaparkan
bahwa “lahirnya Sesanti BhinekaTunggal Ika, berangkat dari kesadaran
adanya kemajemukan tersebut. Bahkan kesadaran perluadanya persatuan dari
keragaman itu terkristalisasike dalam ‘Soempah Pemoeda’ tahun 1928

12
dengankeIndonesiaannya yang sangat kokoh”. Untuk memahami konsep
Bhinneka Tunggal Ika yang tercetus pada Kongres Sumpah Pemuda,
pentingkiranya penulis memaparkan konsep Bhinneka Tunggal Ika terlebih
dahulu. Sujanto (2009: 9) memaparkan bahwa Sesanti Bhineka TunggalIka,
Sesanti artinya kelimat bijak (wise-word) yang dipelihara dan digunakan sebagai
pedoman atau sumber kajian di masyarakat. Bhinneka Tunggal Ikaadalah
kalimat (sesanti) yang tertulis dipita lambang negara Garuda Pancasila, yang
berarti berbagai keragaman etnis, agama, adat istiadat, bahasa daerah, budaya
dan lainya yangmewujud menjadi satu kesatuan tanah air, satu bangsa dan satu
bahasa Indonesia.

Memaknai Binneka Tunggal Ika sebagai pemersatu multikultural di negara


kita memberikan sebuah pandangan bahwa dalam Syaifuddin (2006) membangun
masyarakat multikulturalisme Indonesia berarti membangun suatu ideologi yang
menempatkan kesetaraan dalam perbedaan pada posisi sentral. Intinya mengacu
pada memberikan hak kesetaraan derajat kemanusiaan ditengah multikulturalisme
yang sedang terjadi di Indonesia merupakan hal penting agar konflik
kemajemukan bisa terhindari.

2.3 Makna Kesetaraan Derajat Kemanusiaan

Kesetaraan warga dan hak budaya komuniti adalah unsur-unsur mendasar yang
ada dalamprinsip demokrasi, yang menekankan pentingnya hak individu dan
kesetaraan individu atauwarga, dan toleransi terhadap perbedaan dan
keanekaragaman. Pada hakekatnya, masyarakat majemuk yang secara sukubangsa
beraneka ragam mempunyai potensi menjadi sebuah masyarakat otoriter-
militeristis dengan corak paternalistis dan etnosentris yang primordial.
Primordialitas kesukubangsaan dan keyakinan keagamaan dapat berpotensi
menjadi pemecah belah bangsa pada saat primordialitas tersebut diaktifkan
sebagai kekuatan politik. Potensi kekuatan primordialitas untuk pemecah belah
bangsa disebabkan oleh hakekat keberadaan masyarakat majemuk. Masyarakat
majemuk itu dihasilkan dari upaya sistem nasional untuk mempersatukan
kelompok-kelompok sukubangsa menjadi sebuah bangsa. Pemersatuan kelompok-

13
kelompok sukubangsa itu dilakukan secara paksa, baik secara langsung maupun
tidak langsung. (Suparlan, 2001).

Kesetaraan menunjukkan adanya tingkatan yang sama, kedudukan yang


sama, tidak lebih tinggi, atau tidak lebih rendah antara satu sama lain. Kesetaraan
manusia bermakna bahwa manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha
Esa memiliki tingkat atau kedudukan yang sama. Tindakan atau kedudukan
tersebut bersumber dari adanya pandangan bahwa semua manusia diciptakan
dengan kedudukan yang sama yaitu sebagai makhluk mulia dan tinggi derajatnya
dibanding makhluk lain. (Suparmin dan Subitantoro, 2014).

Dalam tatanan sosial kesetaraan adalah tata politik sosial di mana semua
orang yang berada dalam suatu masyarakat atau kelompok tertentu memiliki
status yang sama. Kesetaraan mencakup hak yang sama di bawah hukum,
merasakan keamanan, memeroleh hak suara, memiliki kebebasan dalam berbicara,
dan hak lainnya yang bersifat personal. (Suparmin dan Subitantoro, 2014).

Dua benda dikatakan memiliki kesamaan jika keduanya identik dalam


satu hal atau lebih. Kalau A dan B tingginya 1,5 meter, maka keduanya setara
dalam tinggi badan.Jika C dan D bergaji tiga juta rupiah per bulan, keduanya
memiliki kesamaan pendapatan. Jika E dan F memiliki kesempatan yang
sama dalam kuis TV, maka keduanya berkesempatan sama untuk menang.
Yang pasti, tidak ada dua obyek fisik yang benar-benar sama dalam semua
hal. Bahkan dua benda buatan manusia yang kita anggap identik tetap berbeda
susunan dan posisi atomnya. (Syahdan, 2007).

Apalagi manusia. Sebelum kita membahas ini lebih lanjut lanjutkan,


perlu ditegaskan di sini bahwa tulisan ini menyarikan pandangan
Rothbardian dari artikel J.B. Wolftein. Wolftein membahas tiga macam
kesamaan, yaitu: 1) Kesetaraan secara politik—artinya hak terhadap kehidupan,
kebebasan dan kepemilikan, tanpa gangguan dari pihak eksternal terhadap hal-hal
tersebut; 2) Kesetaraan secara ekonomi, yang esensinya adalah kesamaan
pendapatan atau kekayaan; 3) Kesetaraan secara sosial—yang dapat berupa (a)
kesamaan status sosial, (b) kesetaraan dalam kesempatan, atau (c) kesamaan

14
perlakuan, atau (d) kesamaan pencapaian. kesetaraan, kebebasan dan keadilan
dengan cepat dapat diperlihatkan bahwa persamaan secara ekonomi dan sosial
hanya dapat diraih dengan mengorbankan kesetaraan politis, sebab manusia
berbeda dalam hal kemampuan, intelejensia, dan atribut-atribut lainnya.
Dalam alam kebebasan, pencapaian, status, penghasilan dan kekayaan orang
akan berbeda-beda. Seorang penyanyi berbakat akan mampu menarik
penghasilan yang lebih besar dari seorang penggali kubur. Dan lain
sebagainya. (Syahdan, 2007).

Menurut ILO (2003) dalam Kementrian Tenaga Kerja dan Tranmigrasi RI


(2012) Penghapusan diskriminasi melalui promosi kesetaraan perlakuan dan
kesempatan bukanlah mengenai penghilangan semua perbedaan dalam bursa
kerja. Tujuan dari kebijakan semacam ini adalah untuk memastikan bahwa
perbedaan-perbedaan yang ada dalam bursa kerja mencerminkan pilihan bebas
dalam seleksi pekerjaan, tiadanya bias dalam cara penentuan dan penghargaan
prestasi, dan kesempatan yang sama dalam memperoleh dan mempertahankan
kecakapan yang relevan dengan bursa kerja.

Setelah memahami makna kesetaraan di tengah keragaman masyarakat


Indonesia, perlu sekali sebuah upaya merangkul keberagaman dengan landasan
kesetaraan derajat kemanusiaan. Dari hal ini sudah bisa terlihat bahwa
keberagaman dan sikap kesetaraan derajat manusia sangat berkaitan erat untuk
membangun sebuah harmoni dalam masyarakat. Harmoni dalam masyarakat ini
ditujukan untuk mencegah berbagai konflik sosial yang akan terjadi akibat
keragaman dengan tindak ketidak adilan perlakuan hak kesetaraan derajat
kemanusiaan.

2.4 Upaya Menyatukan Keragaman

Dalam Suparmin dan Subitantoro (2014) perbedaan memang wajar dalam


kehidupan sosial di masyarakat. Perbedaan tersebut menjadikan karateristik
masyarakat menjadi beragam. Manusia dengan segala perbedaan tersebut berfikir
bahwa harus membentengi dan menghindarinya. Adanya perbedaan tersebut harus
kita sikapi dengan baik dan sudah seharusnya menjadikan hal tersebut menjadi

15
perubahan yang lebih baik. Sebagai anggota masyarakat, kamu wajib
menjagakeharmonisan dalam lingkungan masyarakat. Beberapa sikap yang dapat
dilakukan untuk menjaga keharmonnisan dalam masyarakat antara lain:

1. Adanya kesadaran mengenai perbedaan sikap, watak, dan sifat.


2. Menghargai berbagai macam karateristik masyarakat.
3. Bersikap ramah dengan orang lain.
4. Selalu berfikir positif.

Adapun upaya menyatukan keragaman sebagai berikut :(KOMPAS, 20

Desember 2002 dalam Alrasyid, 2005)

1. Terus menerus menumbuhkan “solidaritas emosional” dalam bingkai


kebangsaan, sehingga interaksi antar etnis dapat menumbuhkan rasa
kebersamaan. Pengelolaan negara pun harus diarahkan sedemikian rupa
sehinggaberbagai kebijakan yang dijalankan tidak menimbulkan perasaan
termarginalisasi bagi suatu kelompoketnis tertentu.
2. Nation buildingharus terus menerus ditumbuhkembangkan sedemikian
rupasehingga mampu mewujudkan“solidaritas fungsional”, yaitu soli
daritas yang didasarkan pada ikatansaling ketergantungan satu sama
laindalam bidang ekonomi, politik dan sosial budaya.

16
Bab III

Kesimpulan

Keragaman dalam masyarakat majemuk merupakan sesuatu yang alami yang


harus dipandang sebagai suatu fitrah. Hal tersebut dapat dianalogikan seperti
halnya jari tangan manusia yang terdiri atas lima jari yang berbeda, akan
tetapi kesemuanya memiliki fungsi dan maksud tersendiri, sehingga jika
semuanya disatukan akan mampu mengerjakan tugas seberat apapun. Untuk
menyadari hal tersebut, Bhinneka Tunggal Ika memiliki peran yang sangat
penting. (Lestari, 2015).

Disamping menyadari keragaman merupakan hal yang alami, setiap


individu dan pemerintah bisa mengupayakan merangkul keragaman untuk hidup
berdampingan secara harmonis. Tidak luput untuk memberikan hak keseteraan
derajat kemanusiaan walaupun hidup di tengah keragaman merupakan kebutuhan
primordial sebagai pondasi kehidupan harmonis suatu bangsa.

17
Daftar Pustaka

Alrasyid, M. Harun. 2005. Manajemen Bencana Sosial dan Akar Konflik Sosial.
Dalam (online) Jurnal Madani Edisi 2. www.download.portalgaruda.org,
diakses pada 15 Oktober 2016.

Azzuhri, Muhandis. 2012. Konsep Multikulturalisme dan Pluralisme dalam


Pendidikan Agama. Dalam (online) Jurnal Forum Tarbiyah, vol.10, no.1.
www.e-journal.stain-pekalongan.ac.id, diakses pada 15 Oktober 2016.

Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI. 2012. Panduan Kesetaraan dan
Non-Diskriminasi di Tempat Kerja di Indonesia. www.ilo.org, diakses
pada 12 Oktober 2016.

Lestari, Gina. 2015. Bhinneka Tunggal Ika: Khasanah Multikultural Indonesia di


Tengah Kehidupan SARA. Dalam (online) Jurnal Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan, th.28, no.1. www.journal.um.ac.id, diakses pada 15
Oktober 2016.

Pelly, Usman. 2005. Pengukuran Intensitas Konflik dalam Masyarakat Majemuk.


Dalam (online) Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI, vol.1, no.2.
www.repository.usu.ac.id, diakses pada 15 Oktober 2016.

Sudiadi, Dadang. 2009. Menuju Kehidupan Harmonis dalam Masyarakat yang


Majemuk. Dalam (online) Jurnal Kriminologi Indonesia, vol.5, no.1.
www.journal.ui.ac.id, diakses pada 16 Oktober 2016.

Suparlan, Parsudi. 2001. Kesetaraan Warga dan Hak Budaya Komuniti dalam
Masyarakat Majemuk Indonesia. Dalam (online) Antropologi Indonesia 66
Universitas Indonesia. www.academia.edu, diakses pada 16 Oktober 2016.

Suparmin, Lia Candra dan Subitantoro, Slamet. 2014. Sosiologi Peminatan Ilmu-
Ilmu Sosial untuk SMA/MA Kelas XI. Surakarta: Mediatama.
www.fahdisjro.com, diakses pada 16 Oktober 2016.

18
Syahdan, Sukasah. 2007. Tentang Kesetaraan. Dalam (online) vol.1, no.5.
www.akaldankehendak.com, diakses pada 12 Oktober 2016.

Syaifuddin, Achmad Fedyani. 2006. Membumikan Multikulturalisme di


Indonesia. Dalam (online) Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI,
vol.2, no.1. www.repository.usu.ac.id, diakses pada 12 Oktober 2016.

19

Anda mungkin juga menyukai