Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

“ Potensi Konflik Antar Kelompok Etnik Dengan Contoh Kasus Mengenai


Konflik Antara Etnik Bali dan Etnik Lampung “
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Multikultural dan Integrasi
Nasional.

Dosen Pengampu : Dr. Budiaman, M.Si

Disusun Oleh:

 Mella Sintia Dewi (4915150145)


 Lyana Ferusnanda Putri (4915151021)
 Anjani Siwi Utami (4915151322)
 Urman Maulana (4915151699)
 Fardani Ghina (4915144085)

Kelas : P.IPS A 2015

PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

2015
KATA PENGANTAR

‫ـــــم‬
ِ ‫ــــــــــــــم هللاِ ال َّر ْح َم ِن ال َّر ِح ْي‬
ِ ‫س‬
ْ ِ‫ب‬

Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan kepada Allah, karena atas


rahmat, taufik, dan hidayah-Nylah sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
makalah mengenai “ Potensi Konflik Antar Kelompok Etnik Dengan Contoh
Kasus Mengenai Konflik Antara Etnik Bali dan Etnik Lampung ”  sebagai salah
satu syarat untuk lulus mata kuliah Multikultural dan Integrasi Nasional.
Pada kesempatan kali ini, kami mengucapkan terima kasih kepada pihak
yang telah meluangkan waktunya untuk membantu kami dalam menyelesaikan
makalah ini. Serta terima kasih kepada teman-teman atas kerja samanya dalam
penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan Makalah ini, tentu masih
terdapat beberapa kesalahan dan amsih jauh dari yang diharapkan. Maka dari itu,
kami membutuhkan kritik dan saran yang bersifa membangun, agar kedepannya
dapat mencapai kesempurnaan.
Akhir kata, semoga Makalah ini dapat digunakan dan dimanfaatkan bagi
kita semua. Amin.

Jakarta,      Oktober 2016
          

Penulis

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar…………………………………………………………………….2

Daftar Isi………………………………………………………………………….3

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang………………………………………………………..4


1.2 Rumusan Masalah………………………………………………….….5
1.3 Tujuan Penulisan……………………………………………………...5
1.4 Metode Penulisan………………………………………………….….5

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Konflik, Kelompok Etnik dan Konflik Etnik……………6


2.2 Potensi Konflik Antar Kelompok Etnik……………………………...8
2.3 Cara Mengurangi dan Mengatasi Konflik Antar Kelompok Etnik….11
2.4 Kasus Konflik Antara Etnik Bali dan Etnik Lampung………………16

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan…………………………………………………………..25

3.2 Saran…………………………………………………………………27

Daftar Pustaka……………………………….…………………………………..28

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia adalah bangsa yang majemuk yang syarat dengan
keberagaman, baik dalam ranah etnik, budaya, agama, maupun suku.
Keberagaman ini telah menjadi landasan dalam berkehidupan dan
berkebangsaan yang membuat bangsa ini menjadi bangsa yang besar. Namun,
keberagaman yang merupakan kekayaan bangsa jika tidak dikelola dengan
baik dalam kehidupan dapat menjadi investasi konflik. Maka keberagaman ini
harus di kelola dengan edukatif, sistematis, dan kreatif, agar menjadi asset
bangsa yang tak ternilai.
Karenanya, sebagaimana bangsa multietnik lainnya, persoalan-
persoalan mengenai pengintegrasian berbagai etnik kedalam kerangka
persatuan nasional selalu menjadi tema penting. Ironisnya, setelah sekian
puluh tahun kemerdekaan, pertikaian antar etnik tetap saja terjadi. Sementara
pembauran antar etnik berlangsung terutama di daerah-daerah urban, konflik
antar etnik terus terjadi. Di satu sisi di galakkan upaya untuk meningkatkan
nasionalisme guna mengurangi etnosentrisme, di sisi lain tumbuh subur
pemujaan etnik.
Memiliki ratusan etnik dengan budaya berlainan, yang bahkan beberapa
di antaranya sangat kontras, potensi kearah konflik sangatlah besar. Ketika
Koentjaraningrat mendefinisikan nilai budaya sebagai suatu rangkaian konsep
yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai
apa yang di anggap penting dan remeh dalam hidup, sehingga berfungsi
sebagai pedoman dan pendorong perilaku, yang tidak lain mengenai sikap dan
cara berfikir tertentu pada warga masyarakat, sekaligus ia menyatakan inilah
masalah terbesar dalam persatuan antar etnik. Nilai budaya inilah yang
berperan dalam mengendalikan kehidupan kelompok etnik tertentu, memberi
ciri khas pada kebudayaan etnik, dan dijadikan patokan dalam menentukan
sikap dan perilaku setiap anggota kelompok etnik. Nilai budaya-nilai budaya

4
yang berbeda pada tiap etnik akan menimbulkan sikap dan cara berfikir yang
berbeda pula.
Demikian juga dalam perilaku yang di ambil meskipun dalam masalah
yang sama. Perbedaan ini potensial menimbulkan konflik terutama pada
masalah-masalah yang datang dengan adanya interaksi antar etnik. Oleh
karena itulah, dalam makalah ini kami akan memaparkan penjelasan
mengenai potensi konflik antar kelompok etnik.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian diatas, rumusan masalah yang dibahas dalam
makalah ini adalah :
1. Apa yang di maksud dengan konflik, kelompok etnis dan konflik etnik ?
2. Apa saja yang menjadi potensi konflik antar kelompok etnik?
3. Bagaimana cara mengurangi dan mengatasi konflik antar kelompok
etnik?
4. Apa contoh kasus potensi konflik antar kelompok etnik?

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan dari penulisan makalah ini adalah agar kita dapat mengetahui dan
memahami pengetahuan tentang multikultural dan integritas nasional
khususnya memahami potensi konflik yang akan terjadi di dalam
kemajemukan etnis di Indonesia.

1.4 Metode Penulisan


Metode penulisan dari makalah ini merupakan sumber-sumber yang
berasal dari data di sumber tak terbatas yaitu internet dan buku-buku yang di
baca sebagai sumber rujukan makalah ini.

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Konflik, Kelompok Etnik dan Konflik Etnik


Konflik didefinisikan sebagai interaksi antara dua atau lebih pihak yang
satu sama lain saling bergantung namun terpisahkan oleh perbedaan tujuan
dimana setidaknya salah satu dari pihak-pihak tersebut menyadari perbedaan
tersebut dan melakukan tindakan terhadap tindakan tersebut. 1
Menurut Indrio Gito Sudarmo dan I Nyoman Sudita, banyak Tokoh yang
membahas mengenai “Teori Konflik” seperti Karl Marx, Durkheim, Simmel,
dan lain-lain yang dilatarbelakangi oleh permasalahan ekonomi dan sosial.
Karl Marx melihat masyarakat manusia sebagai sebuah proses perkembangan
yang akan menyudahi konflik melalui konflik. Ia mengantisipasi bahwa
kedamaian dan harmoni akan menjadi hasil akhir sejarah perang dan revolusi
kekerasan. Namun bentrokan kepentingan kepentingan ekonomi ini akan
berakhir di dalam sebuah masyarakat yang tanpa kelas, tanpa konflik dan
kreatifitas yang disebut komunisme. 2
Kalau konflik ini terus terusan dibiarkan, akan membuat ketidakstabilan
di masyarakat. Masyarakat akan merasa terancam dan tidak kenang dalam
hidupnya.  Durkheim menekankan proses sosial yang meningkatkan integritas
sosial dan kekompakan. Meskipun dia mengakui bahwa konflik terjadi dalam
kehidupan sosial, dia cenderung untuk memperlakukan konflik yang berlebih-
lebihan sebagai sesuatu yang tidak normal dalam integrasi masyarakat.
Hubungan saling ketergantungan antara konflik dan kekompakan dinyatakan
juga dalam dinamika di dalam hubungan kelompok dalam (in-group) dan
kelompok luar. 3

Secara umum konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang


dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut
1
Winardi, Manajemen Konflik; Konflik Perubahan dan Pengembangan (Bandung: Mandar Maju,
1994), h. 22
2
Alo Liliweri, Sosiologi Organisasi (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), h. 112.
3
Doyle Paul, Teori Sosial; Klasik dan Modern (Jakarta: PT. Gramedia, 1986), h. 231.

6
diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat
istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri
individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam
setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah
mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat
lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat
itu sendiri.
Sedangkan Kelompok etnik atau suku bangsa adalah suatu golongan
manusia yang anggota-anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan
sesamanya, biasanya berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama.
Identitas suku pun ditandai oleh pengakuan dari orang lain akan ciri khas
kelompok tersebut dan oleh kesamaan budaya, bahasa, agama, perilaku atau
ciri-ciri biologis.
Kelompok etnik menurut Barth (1998) dalam Habib (2004), bahwa
kelompok etnik adalah suatu populasi yang secara biologis mampu
berkembang biak dan bertahan, mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan
sadar akan kebersamaan dalam suatu bentuk budaya, membentuk jaringan
komunikasi dan intraksi sendiri, menentukan sendiri kelompok lain dan dapat
dibedakan dari kelompok populasi lain.
Konflik etnik adalah konflik yang terkait dengan
permasalahanpermasalahan mendesak mengenai politik, ekonomi, sosial,
budaya, dan teritorial di antara dua kelompoketnis atau lebih.4
Konflik etnis seringkali bernuansa kekerasan, tetapi bisa juga tidak.
Namun biasanya konflik etnis bernuansa dengan kekerasan dan jatuh korban.
Etnik atau suku bangsa, biasanya memiliki berbagai kebudayan yang berbeda
satu dengan lainnya. Sesuatu yang dianggap baik atau sakral dari suku
tertentu mungkin tidak demikian halnya bagi suku lain. Perbedaan etnis
tersebut dapat menimbulkan terjadinya konflik antar etnis.
Jadi, konflik antar etnis berarti dua pihak atau lebih dari kelompok etnik
yang bertentangan. Dalam konflik itu sendiri bisa saja pelakunya

4
Abdul Haris Sukamdi dan Patrick Browslee, Migrasi Buruh di Indonesia, Politik dan Praktis
(Yogyakarta: Population Studies Centre Gadjah Mada University, 2000), h. 125.

7
mengatasnamakan etnis dan bisa saja hanya prasangka orang lain yang
melihatnya.

2.2 Potensi Konflik Antar Kelompok Etnik

Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu


dalam suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah
menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan
lain sebagainya. Dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang
tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok
masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya
masyarakat itu sendiri dan konflik itu bertentangan dengan integrasi.

Dalam masyarakat Indonesia yang mejemuk, terjadinya konflik dalam


hubungan atau interaksi karena segmentasi dalam bentuk terjadinya kesatuan-
kesatuan sosial yang terkait kedalam ikatan-ikatan primordial dengan
subkebudayaan yang berbeda satu sama lain sehingga mudah sekali
menimbulkan konflik di antara kesatuan-kesatuan sosial tersebut.

Untuk mengatasi konflik, menurut Ralf Dahendorf, perlu


pengorganisasian terhadap kelompok-kelompok sosial secara baik karena
dengan berbagai pengorganisasian secara baik terhadap kelompok-kelompok
sosial yang ada akan membangun sebuah mekanisme kontrol terhadap
kecendrungan kelompok-kelompok sosial tersebut. Sebaliknya, jika
pengorganisasian kelompok-kelompok sosial tersebut tidak berjalan dengan
baik, maka akan terbuka kemungkinan untuk melakukan gerakan sosial yang
tidak bisa dikontrol.5

Membangun kembali masyarakat dari reruntuhan konflik memang sulit


sama dengan pembentukan masyarakat pada awalnya berdiri sebuah negara
atau bangsa. Hubungan antara pimpinan dan komunikasi di antara kelompok-
kelompok sosial menjadi sangat penting dalam mengatasi konflik antara
5
Ranjabar, Jacobus. 2006. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia

8
kelompok sosial dan etnik. Oleh karena itu penyelesaian konflik pun harus
didasarkan pengelolaan kelompok yang ada.

Ada pun faktor – penyebab terjadinya konflik antar kelompok sosial


antara lain sebagai berikut : 6

1. Adanya perbedaan antar kelompok sosial, baik secara fisik maupun


mental, atau perbedaan kemampuan, pendirian, dan perasaan sehingga
menimbulkan pertikaian atau bentrokan di antara mereka.
2. Perbedaan pola kebudayaan seperti prbedaan adat istiadat, suku bangsa,
agama, paham politik, pandangan hidup, dan budaya darah sehingga
mendorong timbulnya persaingan dan pertentangan, bahkan bentrokan di
antara anggota kelompok sosial tersebut.
3. Perbedaan mayoritas dan minoritas yang dapat menimbulkan
kesenjangan sosian di antara kelompok sosial tersebut. Misalnya antara
etnis Cina (minoritas) dan etnis pribumi (mayoritas).
4. Perbedaan kepentingan antar kelompok sosial, seperti perbedaan
kepentingan politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, dan sejenisnya
merupakan faktor penyebab timbulnya konflik.
5. Perbedaan individu. Perbedaan kepribadian antar individu bisa menjadi
faktor penyebab terjadinya konflik, biasanya perbedaan individu yang
menjadi sumber konflik adalah perbedaan pendirian dan perasaan. Setiap
manusia adalah individu yang unik, artinya setiap orang memiliki
pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya.
Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang
nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam
menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan
kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan
pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbedabeda. Ada yang
merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
6. Perbedaan latar belakang kebudayaan. Perbedaan latar belakang
kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
6
https://pendidikanlayanankhusus.wordpress.com/2008/10/04/pengertian-kelompok-etnik
minoritas di akses pada tanggal 15 Okt. 2016

9
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran
dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu
pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat
menghasilkan konflik.
7. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok Manusia memiliki
perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan.
8. Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam
masyarakat. Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi,
tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak,
perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya,
pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang
mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada
masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat
berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri.
Sumber konflik antar etnik konflik bisa disebabkan oleh suatu sebab
tunggal. Akan tetapi jauh lebih sering konflik terjadi karena berbagai sebab
sekaligus. Kadangkala antara sebab yang satu dengan yang lain tumpang
tindih sehingga sulit menentukan mana sebenarnya penyebab konflik yang
utama.
Sementara itu, Sukamdi (2002) menyebutkan bahwa konflik antar etnik
di Indonesia terdiri dari tiga sebab utama yaitu:
a. Konflik muncul karena ada benturan budaya.
b. Karena masalah ekonomi-politik.
c. Karena kesenjangan ekonomi sehingga timbul kesenjangan sosial.

Benturan budaya antar etnik terjadi karena adanya kategori atau identitas
sosial yang berbeda. Perbedaan identitas sosial, dalam hal ini etnik dan
budaya khasnya, seringkali menimbulkan etnosentrisme yang kaku, dimana
seseorang tidak mampu keluar dari perspektif yang dimiliki atau hanya bisa
memahami sesuatu berdasarkan perspektif yang dimiliki dan tidak mampu
memahami perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya. Sikap

10
etnosentrik yang kaku ini sangat berperan dalam menciptakan konflik karena
ketidakmampuan orang-orang untuk memahami perbedaan. Sebagai
tambahan, pengidentifikasian kuat seseorang terhadap kelompok cenderung
akan menyebabkan seseorang lebih berprasangka, halmana juga merupakan
sumber konflik yang potensial.

2.3 Cara Mengurangi dan Mengatasi Konflik Antar Kelompok Etnik

1) Mencegah atau Mengurangi Konflik Etnik/Antarsuku


Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa. Itu adalah
fakta yang tak bisa ditutupi atau dihindari. Di mana pun di dunia ini,
keberagaman suku itu pasti ada. Keberagaman itu memang memperlihatkan
betapa banyaknya perbedaan yang harus dipahami. Dari segi bahasa, satu kata
bisa berarti begitu indahnya bagi satu suku, tetapi sebaliknya kata yang
mempunyai arti indah itu mempunyai arti yang begitu jelek dan jorok bagi
suku yang lain. Akibatnya, konflik yang berujung kekerasan antar sesama tak
dapat dihindari lagi.
Konflik dan kekerasan hampir selalu menjadi isu yang berkaitan.
Kekerasan dapat terjadi sebagai bagian dari konflik, namun juga dapat terjadi
sebagai satu tahapan dalam rangka mengakhiri konflik. Konflik sendiri tidak
selalu buruk karena ia dapat menjadi suatu fase untuk mencapai tahapan yang
lebih baik. Yang kurang baik adalah penggunaan kekerasan untuk
menyelesaikan konflik.
Terdapat dua jenis cara untuk mencegah konflik.7 Pertama, disebut
sebagai light prevention dan yang kedua deep prevention. Light prevention ini
berupaya untuk mencegah situasi kekerasan mengarah pada konflik
bersenjata sehingga ia tidak berusaha untuk menyelidik lebih dalam pada
sumber dan akar konflik. Contohnya adalah usaha-usaha mediasi dan
intervensi diplomatic. Sedangkan deep prevention berupaya untuk
menemukan akar konflik dengan menekankan hubungan dan kepentingan atas
7
Indira Agustin. Pencegahan dan Penyelesaian Kekerasan Konflik.”http://indira-
afisip10.web.unair.ac.id/artikel_detail59901Resolusi%20Konflik%20GlobalPencegahan%20dan
%20Penyelesaian%20Kekerasan%20Konflik.html (15 Oktober 2016)

11
konflik tersebut dalam tatanan kapasitas domestik, regional, dan internasional
untk mengelola konflik, yang melibatkan seluruh elemen konflik dan
bertujuan untuk mengurangi kemungkinan timbulnya konflik. Untuk
mencegah konflik atau perang sebelumnya harus diidentifikasi terlebih
dahulu tipe konflik dan lokasi potensi-potensi konflik. Dan pencegahan
bersifat relatif, bergantung pada aktornya baik konflik interstate wars maupun
non-interstate war. Interstate war menitikberatkan pada perang yang
dilakukan antara negara-negara dengan kapasitas power yang besar. Misalnya
adalah LBB dan Perjanjian Versailles bertindak sebagai alat preventif perang
yang terjadi pada Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Sementara non-
interstate war mengarah pada konflik-konflik yang meliputi konflik etnis
karena adanya stratifikasi sosial, polarisasi masyarakat, inappropriate
systemic, regional diasporas, dan sebagainya.
Berhasil atau tidaknya pencegahan konflik dapat dinilai dari beberapa
tolak ukur, seperti implementasi kebijakan yang berlangsung segera dan
cepat, adanya koordinasi antar aktor-aktor yang terlibat dalam pencegahan
konflik; pendekatan yang cenderung bebas dari pemerintah atau negara-
negara yang peduli; adanya pendekatan jangka panjang; dan keikutsertaan
kepentingan nasional dari salah satu negara yang turut campur tangan.
Pencegahan konflik dapat dikatakan gagal apabila terjadi konflik senjata
(light measures) dan ketika situasi yang ada mengarah pada konflik yang
lebih besar (deep measures). Akan tetapi pencegahan konflik dapat dikatakan
berhasil apabila konflik bersenjata dapat beralih ke arah perdamaian.
Salah satu contoh kasus resolusi konflik yang berhasil adalah Resolusi
Dewan Keamanan PBB terkait dengan konflik etnis antara etnis Albania dan
etnis Serbia yang terjadi di Kosovo setelah lengsernya pemerintahan
Milosevic. DK PBB kemudian membentuk apa yang disebut UNMIK (United
Nations Interim Administration for Kosovo) yang dibentuk pada 10 Juni 1999
dengan mengeluarkan Resolusi No. 1244 yang bertujuan untuk memulihkan
kondisi di Kosovo pasca perang. UNMIK sendiri bertugas untuk melakukan
pembangunan kembali sarana dan prasarana yang ada di Kosovo antara lain
pendidikan, kesehatan, perbankan, telekomunikasi, hukum, ketertiban

12
masyarakat, dan lain sebagainya. Dari sini terlihat bahwa peran resolusi tidak
hanya sebatas menyelesaikan konflik namun juga merekonsiliasikan dan
berusaha mengembalikan kondisi dan situasi yang damai seperti sebelum
masa perang.
Sebetulnya, konflik antar suku di Indonesia tidak perlu terjadi jika kita
memiliki sikap-sikap berikut ini:
- Mengenal
Dengan mengenal pihak yang berbeda suku, terutama yang hidup
berdampingan, akan memperkecil bahkan mencegah timbulnya konflik antar
suku di Indonesia. Mengenal tidak hanya tahu namanya, tetapi mengetahui
suku bangsanya serta adat atau kebiasaan yang bersangkutan. Dengan
demikian, ketika suatu saat ada hal-hal yang berbeda dengan adat atau
kebiasaan suku kita, dapat kita pahami dan bisa kita terima dengan besar hati.
- Tidak Ekspresif
Bertindak ekspresif ketika ada sesuatu yang berbeda dengan kita, kadang,
menimbulkan terjadinya konflik antarsuku di Indonesia. Sebetulnya, jika kita
sudah mengenal, hal ini tdak akan terjadi. Oleh karena itu, ketika mereka
bertindak atau bertingkah laku tidak sama dengan kita, bahkan jauh berbeda,
kita tidak kaget lagi. Dengan begitu, tidak akan ada saling mencemooh atau
pihak lain yang tersinggung karena tindakan kita yang ekspresif tersebut,
biasanya berujung pada saling serang yang pada akhirnya hanya merusak
persatuan dan kesatuan bangsa.
- Toleransi
Adanya sikap menghargai perbedaan membuat kedua belah pihak bisa
hidup berdampingan walaupun keduanya memiliki adat dan budaya atau
kebiasaan berbeda. Semua pihak bisa melakukan adat dan budaya atau
kebiasaan masing-masing dengan bebas, tanpa merasa terganggu dan
diganggu oleh pihak lain, sehingga budaya yang ada dalam suku tersebut
tidak punah.
- Empati
Dengan memposisikan diri sebagai orang lain, kita akan mengetahui
bagaimana rasanya ada di posisi pihak lain sehingga kita tidak akan mengusik

13
ketika pihak lain melakukan ritual atau kebiasaan tertentu sukunya.
Begitupun pihak lain, tidak akan mengusik ritual atau kebiasan suku kita.
- Bangga
Bangga yang harus kita miliki adalah kebanggaan sebagai negara
kesatuan Indonesia, bukan bangga sebagai individu dari suku tertentu. Merasa
bangga karena keragaman suku yang ada di Indonesia. Keragamaan yang
merupakan aset negara ini sehingga konflik antarsuku di Indonesia tidak akan
terjadi.

2) Mengatasi Konflik Antar Kelompok etnis


Dalam mengatasi dan menyelesaikan suatu konflik bukanlah suatu yang
sederhana. Cepat tidaknya suatu konflik dapat diatasi tergantung pada
kesediaan dan keterbukaan pihak-pihak yang bersengketa untuk
menyelesaikan konflik, berat ringannya bobot atau tingkat konflik tersebut
serta kemampuan campur tangan (intervensi) pihak ketiga yang turut
berusaha mengatasi konflik yang muncul. Penyelesaian persoalan dengan
pemaksaan sepihak oleh pihak yang merasa lebih kuat, apalagi apabila di sini
digunakan tindakan kekerasan fisik, bukanlah cara yang demokratik dan
beradab. Inilah yang dinamakan “main hakim sendiri”, yang hanya
menyebabkan terjadinya bentrokan yang destruktif. Cara yang lebih
demokratik demi tercegahnya perpecahan, dan penindasan atas yang lemah
oleh yang lebih kuat, adalah cara yang didasari itikat baik untuk
berkompromi.
Musyawarah untuk mupakat, yang ditempuh dan dicapai lewat negosiasi
atau mediasi, atau lewat proses yudisial dengan merujuk ke kaidah
perundang-undangan yang telah disepakati pada tingkat nasional, adalah cara
yang baik pula untuk mentoleransi terjadinya konflik, namun konflik yang
tetap dapat dikontrol dan diatasi lewat mekanisme yang akan mencegah
terjadinya akibat yang merugikan kelestarian kehidupan yang tenteram.
Menyelesaikan konflik pada dasarnya dapat melalui 2 (dua) cara lain, yaitu:
- Mengeliminasi konflik ( conflict elimination )
- Mengelola konflik ( conflict management )

14
Pada cara yang pertama, konflik diselesaikan dengan cara mengeliminasi
konflik berupa pemisahan orang-orang yang konflik pada wilayah yang
berbeda. Pada cara yang kedua, mereka yang konflik tetap berada di suatu
wilayah yang sama. Tetapi mereka mulai berdialog, membuat kesepakatan
dan menghormati perbedaan. Mereka menyadari kemajemukan tidak harus
disertai konflik tetapi harus saling toleransi sehingga terwujud kehidupan
yang penuh kedamaian.
Cara ini pulalah yang diupayakan di Indonesia. Keberagaman etnis, suku
bangsa dan agama diupayakan dapat hidup bersama dalam kerukunan dan
perdamaian. Kunci dari cara yang kedua ini adalah masing-masing pihak
yang bertikai memiliki kesadaran akan pentingnya wawasan kebangsaan
sebagai bangsa yang satu dan bertanah air satu. Meskipun beraneka ragam
tetapi tetap bersatu.
Setiap warganegara harus menyadari bahwa konflik yang disertai
kekerasan karena perbedaan yg bersumber dari kemajemukan dapat
melemahkan persatuan bangsa dan menghambat pembangunan nasional.
Konflik terjadi karena memudarnya nilai-nilai dasar bermasyarakat seperti
religiusitas, musyawarah mufakat, tenggang rasa, menghargai perbedaan dan
lain-lain. Konflik dapat mengarah kepada disintegrasi nasional, separatisme
dan mengancam keutuhan NKRI.
2.4 Contoh Kasus Konflik Antara Etnik Bali dan Etnik Lampung
Masyarakat Indonesia memiliki keanekaragaman. Kehidupan berbangsa
dan bernegara di Indonesia yang dikenal dengan nusantara dihuni oleh
ratusan kelompok suku yang tumbuh dan berkembang dalam suasana penuh
konflik sosial berdarah sejak Indonesia merdeka.Indonesia juga merupakan
Negara yang memiliki banyak pulau besar dan kecil, yang tersebar di seluruh
Nusantara diantara pulau-pulau besar yang ada di Indonesia Provinsi
Lampung merupakan salah satu Provinsi yang berada di Pulau Sumatra secara
letak geografis Provinsi Lampung merupakan pintu gerbang pulau Sumatra
yang menjadi lalu lintas antara pulau Jawa Sumatra masyarakat Lampung
juga dikenal sebagai masyarakat yang heterogen.

15
Kemajemukan masyarakat di Provinsi Lampung merupakan kekayaan
budaya bangsa namun di sisi lain juga memiliki potensi untuk menjadi sebuah
konflik. 8Permasalahan yang timbul akibat kemajemukan itu Pertama adalah
kemajemukan masyarakat Provinsi Lampung yang diakibatkan Program
Transmigrasi pada era Orde Baru membuat Provinsi Lampung rentan akan
konflik sosial. Program Transmigrasi yang merupakan Program
Pembangunan pada era Orde Baru menjadi salah satu proses penyebaran etnik
suku dari suatu daerah ke daerah tertentu. Beberapa Provinsi menjadi tujuan
dari Program Transmigrasi tersebut. Program Transmigrasi yang sekarang
tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2009
merupakan Program Nasional yang dibuat oleh pemerintah ada saat itu untuk
mengatasi masalah kependudukan yang ada di Indonesia. Program
Transmigrasi dibuat secara komprehensif dari tahap perencanaan sampai
pembinaan sesuai dengan tujuan-tujuan Transmigrasi yang akan dicapai yaitu
terwujudnya kesejahtraaan masyarakat Indonesia secara adil dan menyeluruh,
tidak hanya meningkatkan kesejahtraan para transmigran.
Program Transmigrasi juga bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
hidup masyarakat transmigrasi atau penduduk asli, dan salah satu daerah
tujuan dari Program Transmigrasi adalah Provinsi Lampung, dengan
banyaknya masyarakat yang melakukan transmigrasi membuat Provinsi
Lampung memiliki banyak suku yang memiliki kebudayaan masing-masing
karena setiap suku yang memiliki sebuah kebudayaan atau adat istiadat yang
berbeda. Menurut sensus BPS Provinsi Lampung 2012, berdasarkan kriteria
etnik suku diperoleh data statistik yaitu:

Tabel 1.1

Kriteria Etnik Suku/Budaya Bangsa Provinsi Lampung

NO Etnik Suku/Budaya bangsa Jumlah Persen (%)


(jiwa)

8
Winardi. 1994. Manajemen Konflik; Konflik Perubahan dan Pengembangan. Bandung: Mandar
Maju.

16
1 Lampung 792.312 11,92%
2
Jawa 4.113.731 61,88%
3 Sunda Banten 749.566 11,27%
4 Palembang Semendo 36.292 3,55%

5 Lain-Lain - 11,38%

(SumberKe(Sumber : Data diolah tahun 2014)

Dapat dilihat dari data tabel 1.1diatas bahwa masyarakat asli Lampung
bukanlah masyarakat yang paling dominan diantara masyarakat yang lain,
ini juga menjadi salah satu penyebab terjadinya konflik, serupa dengan yang
diungkapkan oleh Bapak Ismed Alwi Kepala Bidang Politik dan
Kewaspadaan Nasional di Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan
mengungkapkan bahwa konflik yang terjadi di Kabupaten Lampung Selatan
sebelum tahun 2012 tidak sampai mengakibatkan korban jiwa.
Masyarakat yang begitu beragam haruslah menjadi salah satu kelebihan
pada suatu daerah dimana bisa dimanfaatkan untuk berbagai aspek
diantaranya dengan memanfaatkan potensi pariwisata yang dapat
menyumbang pendapatan asli daerah tersebut.
Permasalahan yang Kedua adalah konflik yang terjadi di Provinsi
Lampung bukan hanya karena faktor perbedaan suku atau budaya namun
juga karena faktor ekonomi dan sentiment agama. Provinsi Lampung juga
tidak hanya memiliki keberagaman etnik suku/budaya bangsa namun juga
merupakan daerah dengan keragaman agama, pola-pola adat, kondisi
goegrafis, rasa, dan bahasa. Jumlah pemeluk agama penduduk Provinsi
Lampung terbanyak adalah agama Islam menurut sensus penduduk tahun
2010 yaitu sebesar 6.779.928 jiwa.

Tabel 1.2
Data Pemeluk Agama di Provinsi Lampung

No Agama/kepercayaan Jumlah (Jiwa)

17
1 Islam 6.779.928
2 Kristen 141.899

3 Katolik 131.585

4 Hindu 205.200

5 Budha 122.248

(Sumber: Data Diolah, 2014)

Melihat kondisi masyarakat yang begitu beragam memicu terjadinya


perbedaan antar kelompok suku, sebagian besar konflik antar golongan yang
telah terjadi diakibatkan oleh kultur subjektif yang berbeda-beda. Terkait
dengan hal tersebut pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis yang dibuat sesuai
dengan Undang- Undang Dasar 1945 pasal 20, pasal 21, pasal 27 ayat (1),
pasal 28 B ayat 2 dan pasal 28 I ayat 1 dan ayat 2, bertujuan untuk
mewujudkan kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan, perdamaian,
keserasian, keamanan, dan kehidupan bermata pencaharian di antara warga
negara yang pada dasarnya selalu hidup berdampingan. Namun konflik
kepandudukan yang terjadi di Provinsi Lampung merupakan konflik yang
terjadi sudah lama, selain dipicu oleh perbedaan identitas suku, budaya, dan
sentiment agama konflik di Lampung juga sering dipicu oleh faktor ekonomi
berupa sengketa lahan seperti pada kasus Mesuji.

Konflik ini berawal dari pengumpulan sertifikat tanah warga di Desa


Sritanjung, Nipah Kuning, dan Kagungan oleh perusahaan PT. Barat Selatan
Makmur Investindo (BSMI) dan PT. Silva Inhutani pada tahun 1993
kemudian petani dijanjikan menjadi petani plasma, belakangan perusahaan
mengklaim jika tanah itu milik mereka. Warga tidak bisa lagi bercocok
tanam di tanahnya, padahal ratusan warga ketiga desa tersebut sudah turun
temurun mendiami kaawasan itu, mereka mengandalkan perkebunan yang
menghasilkan buah-buahan seperti durian, duku, dan tanaman tahunan
lainnya. Setelah lahan beralih kepemilikan, sebagaian besar penduduk desa
terjerat kemiskinan dan tidak lagi memiliki sumber penghasilan tetap.
Pelanggaran-pelanggaran tersebut kemudian memicu protes bertahun-

18
tahun sehingga menyebabkan bentrok antara warga dengan pihak
perusahaan dan aparat, yang ujungnya menimbulkan korban jiwa.

Permasalahan yang Ketiga adalah konflik yang sudah terjadi berkali-


kali di Kabupaten Lampung Selatan kurang ditindak tegas oleh aparat
keamanan dan Pemerintah Daerah sehingga menimbulkan konflik yang lebih
besar. Masyarakat di Provinsi Lampung mengalami krisis yang amat
memilukan menjelang pergantian abad ke 21, adapun beberapa konflik yang
terjadi dalam skala kecil maupun yang lebih besar.

Tabel 1.3
Beberapa Kasus Yang Terjadi di Kabupaten Lampung Selatan
Bulan/Tahun Kejadian/Peristiwa
September 2010 Pembakaran Pasar Probolinggo Lampung Timur oleh
Suku Bali
Desember 2010 Perang Suku Jawa dan Bali dengan suku Lampung karena
Pencurian Ayam
September 2011 Suku Jawa vs Suku Lampung dipicu oleh sengketa lahan

Januari 2012 Ricuh Sidomulyo Lampung Selatan Bali vs Penduduk


Asli Lampung
Oktober 2012 Perang Desa Agom dengan Desa Balinuraga

(Sumber: data diolah, 2014)

19
Permasalahan yang ada di Lampung Selatan umumnya bersumber
dari masalah yang tergolong relative kecil namun pada kenyataannya bisa
berubah menjadi perkelahian yang menjurus kearah peperangan yang
mengakibatkan korban jiwa. Menurut Bapak Ismed Alwi Kepala Bidang
Politik dan Kewaspadaan Nasional di Badan Kesbangpol Kabupaten
Lampung Selatan menjelaskan jika terjadi ricuh di masyarakat
penyelesaiannya menggunakan musyawarah mufakat dengan dibantu
pihak ketiga yaitu aparat keamanan supaya permasalahannya dapat
dengan cepat diselesaikan mengingat sifat dan watak yang berbeda di
masyarakat Kabupaten Lampung Selatan (wawancara peneliti pada hari
Selasa tanggal 2 Desember 2014.
Adapun uraian beberapa konflik yang tercatat di Kesbangpol
Lampung Selatan terjadi konflik pada Bulan Oktober 2012 lalu yang juga
berangkat dari permasalahan-permasalahan yang sudah terjadi bertahun-
tahun sebelumnya yaitu:
Tabel 1.4
Peristiwa Konflik Antara Suku Bali Dan Lampung Di Lampung Selatan
Bulan/Tahun Peristiwa
Terjadi perselisihan pemuda Desa
Tahun 1982 Sandaran dan Balinuraga, warga
Balinuraga menyerang dengan membakar
2 unit rumah di Desa Sandaran

Masyarakat Bali Agung Kecamatan Palas


Tahun 2005 membakar beberapa rumah penduduk di
Desa Palas Pasmah

Tahun 2009 Masyarakat Bali di Kecamatan Ketapang


menyerang (melempari) Masjid di Desa
Ruguk Kecamatan Ketapang
Masyarakat Bali Agung menyerang Desa
Palas Pasmah dengan melakukan
Tahun 2010 pembakaran beberapa rumah penduduk
juga dengan koban meninggal 1 (satu)
orang warga Palas Pasmah

Masyarakat Bali dari Kecamatan Ketapang


menyerang Desa Tetaan Kecamatan
Tahun 2010 Penengahan dan menghancurkan gardu

20
ronda dan pangkalan ojek di perempatan
Gayam Kecamatan Penengahan

Masyarakat Bali menyerang Desa


Desember Tahun 2011 Marga Catur dengan melakukan
pembakaran rumah suku Lampung saat
melakukan penyerangan masyarakat Bali
menggunakan simbol-simbol khusus
adat istiadat Bali.
Masyarakat Bali melakukan tindakan
premanisme terhadap
pemuda dari Desa Kotadalam
Kecamatan Sidomulyo yang
menyebabkan beberapa orang warga
Januari Tahun 2012
Kotadalam mengalami luka-luka, dan
beberapa rumah warga Lampung dirusak
yang mengakibatkan dibakarnya dusun
Napal Desa Sidowaluyo Kecamatan
Sidomulyo oleh suku Lampung.
Pada saat malam takbiran Idul Fitri tahun
2012, para pemuda desa Balinuraga
Tahun 2012 melakukan kerusuhan di depan Masjid
Sidoharjo Kecamatan Way Panji saat
umat islam sedang melakukan takbiran
di masjid.

(Sumber: Kesbangpol Tahun 2012)

Permasalahan yang Keempat adalah kurang tanggapnya Pemerintah


daerah dalam penyelesaian konflik kependudukan yang terjadi sehingga
menyebabkan korban jiwa. Konflik-konflik tersebut timbul diantara para
suku-suku tersebut sehingga jika terjadi insiden kecil bisa langsung
berubah menjadi sebuah konflik besar, pengelompokkan suku di wilayah
Lampung Selatan sudah terjadi sejak lama, bahkan hal tersebut sudah
terjadi sejak mereka remaja, di beberapa sekolah yang ada di wilayah
Lampung Selatan anak-anak suku Bali tidak mau bermain atau
bersosialisasi dengan anak-anak suku lainnya begitu juga dengan anak-
anak dari suku Jawa maupun Lampung (wawancara peneliti pada hari
minggu tanggal 30 November 2014 dengan bapak Nyoman Astawe).
Menurut salah satu warga Bali di Desa Tridarmayoga bapak Nyoman

21
Astawe mengungkapkan permasalahan antara masyarakat bali dengan
masyarakat suku lain yang ada di Lampung Selatan tidak hanya soal
kericuhan, namun juga masalah diskriminasi sebelum dan sesudah
terjadinya konflik pada tahun 2012, masyarakat suku lain menghormati
masyarakat bali jika ada sesuatu kepentingan dengan masyarakat bali
yang termasuk orang kaya, seperti jika ingin meminjam uang maka
masyarakat suku lain akan bersikap baik namun berbeda jika tidak
memiliki kepentingan sikapnya akan acuh tak acuh terhadap masyarakat
bali (wawancara peneliti pada hari minggu tanggal 30 November 2014).
Mereka biasanya berkelompok berdasarkan suku mereka sehingga
jika diantara kelompok tersebut terjadi perselisihan tertentu akibatnya
melibatkan suku mereka, konflik kekerasan besar yang ditimbulkan
karena perbedaan suku adalah konflik yang terjadi pada wilayah
Kabupaten Lampung Selatan tepatnya di Desa Agom Kecamatan
Kalianda dan Desa Balinuraga Kecamatan Way Panji yang puncaknya
terjadi pada tanggal 27 Oktober 2012 sampai 30 Oktober 2012 yang
melibatkan suku asli Lampung (suku pribumi mayoritas beragama islam)
dan suku pendatang Bali (pendatang mayoritas beragama Hindu), konflik
tersebut menjadi konflik berdarah yang awalnya dipicu karena
permasalahan kecelakaan lalu lintas. Peristiwa kecelakaan tersebut
memicu konflik berdarah yang tidak hanya melibatkan dua desa saja
namun melibatkan banyak desa dari kedua suku yang ada disekitar
wilayah mereka. Peristiwa penyerbuan dan bentrokan berdarah tersebut
mengakibatkan jatuhnya korban jiwa sebanyak 12 orang tewas, puluhan
orang luka-luka, 438 unit rumah warga Desa Balinuraga dan Sedoreno
dibakar, dan 27 unit rumah mengalami rusak berat, 11 unit sepeda motor
dibakar, dan 2 gedung sekolah juga ikut dibakar massa. Selain itu juga
ribuan orang Desa Balinuraga dan Desa Agom harus di evakuasi
(wawancara dengan Kasat Binmas Polres Lampung Selatan pada hari
selasa 4 November 2014).
Upaya perdamaian yang dipimpin langsung oleh Kapolda Lampung
tidak berpengaruh terhadap konflik yang terjadi di wilayah itu. Aksi

22
serang terjadi kembali, pihak Kepolisian dan TNI mengerahkan 1.000
aparat dengan dibantu pihak Brimob Polda Banten dan Sumatra Selatan,
namun pada peristiwa ini jumlah warga yang melakukan bentrok semakin
bertambah dan tidak dapat ditahan lagi hingga akhirnya warga berhasil
memasuki Desa Balinuraga. Dalam aksi penyerangan ini 7 orang tewas,
kebanyakan korban tewas tergeletak di area perkebunan dan persewahan
dengan kondisi tubuh rusak akibat dicabik-cabik (wawancara dengan
Kasat Binmas Polres Lampung Selatan pada hari selasa 4 November
2014).
Konflik yang terjadi di Lampung Selatan pada tanggal 27 Oktober
hingga 30 Oktober 2012 ini menimbulkan dampak kerugian paling besar
dan menyita perhatian berskala Nasional dari berbagai konflik-konflik
sosial yang terjadi di Provinsi Lampung selama tiga tahun terakhir.
Bahkan Lembaga Survey Indonesia (LSI) menetapkan konflik antar suku
bali dan suku Lampung di Way Panji Lampung Selatan ke dalam lima
besar bentrok antar suku terparah dari 2.398 kekerasan di Indonesia pasca
reformasi. Penelitian ini didasari oleh lima variabel penelitian, yaitu:
Pertama jumlah korban, Kedua lama konflik, Ketiga luas konflik,
Keempat kerugian material, Kelima frekuansi pemberitaan.
Permasalah yang Kelima adalah penanganan konflik (Resolusi
Konflik) yang dilakukan pemerintah tidak merangkul seluruh masyarakat.
Penanganan konflik (Resolusi konflik) yang tertuang dalam Undang-
Undang Nomor 7 tahun 2012 tentang Penangan Konflik Sosial, yang
melibatkan aparat pemerintah dan serta tokoh-tokoh yang ada di Lampung
Selatan dirasa belum maksimal. Hal ini dapat dilihat dari gagalnya proses
mediasi yang dilakukan sehingga mengakibatkan konflik makin meluas.
Cara yang dipergunakan pemerintah untuk mengurangi konflik adalah
dengan melakukan perjanjian yang melibatkan pihak ketiga, agar
kelompok yang sebelumnya tidak mau diajak perundingan kamudian
mempertimbangkan pihak ketiga sebagai instrument yang bisa
menyelasaikan masalah bersama. Pada saat pasca konflik kemudian
dilakukan musyawarah dan menghasilkan apa yang disebut “Piagam

23
Perdamaian” yang dimana di dalam isi piagam tersebut memuat 10 pion
penting perjanjian. Namun pada kenyataan setelah dilakukan sosialisasi
kepada masyarakat Lampung dan masyarakat Bali piagam perdamaian
tersebut menimbulkan pro dan kontra di kedua belah pihak, piagam
perjanjian pertama tidak mampu menyelesaikan masalah begitu saja
sehingga menghasilkan piagam perdamaian kedua pada akhir tahun 2012.
Akhirnya pada awal tahun 2013 Pemerintah setempat bersama aparat
keamanan menggulirkan program Rembug Pekon. Program tersebut
ditandatangani oleh Gubernur Lampung dengan Kapolda Lampung
Selatan dalam Nota Kesepahaman (MOU). Belum adanya Peraturan
Daerah (Perda) yang membuat penenganan konflik (Resolusi Konflik)
tidak berjalan dengan baik, Rembuk Pekon merupakan pelembagaan
negosiasi yang bersifat kekeluargaan, program ini melibatkan seluruh
aspek baik dari elemen pemerintahan maupun masyarakat seperti, tokoh
adat, tokoh agama, pemuda dan yang lainnya, tujuannya agar konflik yang
terjadi di wilayah khususnya Lampung Selatan tidak terulang lagi.
Intinya adalah upaya yang dilakukan selama ini, mestinya memang
harus melandaskan pada semboyan Bhineka Tunggal Ika dalam Pancasila
sebagai landasan ideologi dalam setiap aspek kehidupan bangsa dan
negara ini, guna meretas segala bentuk dikotomi yang ada, yang mana
merupakan sebuah keniscayaan di negeri ini. Namun yang terpenting dari
seluruh paparan tersebut, penulis hanya ingin mengingatkan diri sendiri
dan para pembaca bahwa bangsa ini didirikan dan bisa eksis sampai hari
ini disebabkan oleh adanya semangat persatuan dan kesatuan yang
dilandasi oleh nilai dari semangat gotong royong guna mencapai sebuah
masyarakat yang adil dan sentosa dalam setiap aspek kehidupan yang
menopang bangsa dan negara ini.
Persatuan Indonesia dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
adalah harga mati yang harus digali lagi secara mendalam atas segala
bentuk ketimpangan yang ada di negeri ini, yang tentunya juga tidak
mengenyampingkan sila-sila lain dalam pancasila itu sendiri sebagai
sebuah kesatuan untuk menuju masyarakat yang plural namun adil dan

24
makmur.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Konflik antara budaya dan etnis terjadi karena adanya perbedaan ciri-ciri
yang dibawa individu dalam suatu integrasi. Perbedaan tersebut menyangkut
agama, ras, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat masing-masing kelompok.
Dengan dibawa sertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik
merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu
masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau
dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan
dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.

Mewujudkan masyarakat Indonesia yang Bhineka sebagai suatu sistem


sosial (suatu kesatuan) memang bukan hal yang mudah. Dengan demikian,
implementasi nilai-niali pancasila ke dalam sistem sosial budaya Indonesia
bukan tanpa memerlukan waktu. Nilai-nilai nasionalisme pancasila
yang secara dinamis dengan pengendalian konflik dapat menjadi landasan
masyarakat, maka struktur masyarakat Indonesia yang majemuk itu telah
menjadi landasan mengapa masyarakat Indonesia tetap dapat lestari dari masa
ke masa.

Konflik kekerasan yang terjadi pada tanggal 27 oktober – 29 oktober


2012 antara etnis Bali Desa Balinuraga dan etnis Lampung Desa Agom
merupakan puncak dari rangkaian konflik-konflik sebelumnya yang terjadi
antar etnis Bali dan etnis Lampung yang ada di Kabupaten Lampung Selatan.
Penyebab konflik-konflik yang terjadi antar kedua etnis tersebut adalah
sebagai berikut.

1. Bermula ketika tidak adanya upaya-upaya maupun sarana komunikasi


yang diciptakan kedua belah pihak sejak transmigran asal Pulau Bali
pertama kali datang di Kabupaten Lampung Selatan yaitu pada tahun 1963

25
pada saat Gunung Agung di Bali meletus. Pemerintah pada saat itu tidak
menempatkan transmigran asal Bali ke daerah transmigrasi yang dihuni
oleh penduduk-penduduk asli. Sehingga tidak ada sarana komunikasi
secara langsung yang baik antar masyarakat pendatang dan penduduk asli.
2. Adanya keberagaman karakteristik sistem sosial
3. Masing-masing memiliki sifat sombong, selalu menaruh perasaan curiga
terhadap orang lain, berfikir negatif kepada orang lain, dan susah
mengendalikan emosinya. Tidak adanya kedekatan secara pribadi antar
kedua etnis tersebut menimbulkan prasangka atau prejudice antar etnis
Bali dan etnis Lampung. Masing-masing memliki perasaan perasaan
negatif yang menunjukkan sikap bermusuhan atau perilaku diskriminatif
satu sama lain. Hal tersebut memicu konflik-konflik kecil antar kedua etnis
yang bisa dikatakan akibat masalah-masalah kecil.
4. Kebutuhan masing-masing salah satu warga yang tidak terpenuhi
kemudian membawa-bawa nama suku masing-masing seperti itulah yang
membuat konflik timbul antar etnis Bali di Desa Balinuraga dan etnis
Lampung di Desa Agom.
5. Konflik terjadi dikarenakan emosi yang telah memuncak akumulasi dari
konflik-konflik kecil yang pernah terjadi sebelumnya.
6. Dari semua faktor-faktor penyebab konflik diatas, faktor yang paling
dominan pada penyebab konflik antar etnis di Kabupaten Lampung
Selatan adalah kurangnya ruang interaksi antar masyrakat yang berbeda
etnis. Faktor historis ketika masyrakat etnis Bali pertama kali melakukan
transmigrasi ke Kabupaten Lampung Selatan dan ditempatkan pada suatu
daerah yang tidak berpenghuni dan tidak ada penduduk asli membuat
pemukiman penduduk etnis Bali menjadi terkesan eksklusif dan tidak
berbaur dengan penduduk asli maupun etnis lainnya yang ada di
Kabupaten Lampung Selatan. Padahal kesan ekslusif tersebut terbentuk
oleh karna kesenjangan sosial yang sangat jelas terlihat diantara kedua
desa. Masyarakat etnis Bali mempunyai kelebihan yaitu sifat yang tekun
dan ulet dalam bekerja dibanding etnis pribumi sehingga kondisi ekonomi
masyarakat etnis Bali terbilang sangat baik.

26
Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Selatan dalam hal ini telah
berupaya dengan baik untuk menyelesaikan konflik tersebut dengan bertindak
sebagai mediator antar etnis Bali dan etnis Lampung. Upaya-upaya
penyelesaian konflik yang dilakukan adalah sebagai berikut.
1. Kedua desa berusaha melakukan proses kompromi dengan
mempertemukan perwakilan dari masing-masing etnis untuk
menyelesaikan pemicu konflik secara kekeluargaan, tetapi proses tersebut
tidak berhasil dan malah menimbulkan konflik yang lebih besar.
2. Pemerintah daerah Kabupaten Lampung Selatan menyelesaikan konflik
kekerasan antar etnis Bali dan etnis Lampung dengan bertindak sebagai
mediator dari kedua etnis tersebut dan berhasil mendamaikan kedua belah
pihak dengan tahapan-tahapan dari mediasi.
Pemerintah berhasil mendamaikan kedua etnis tersebut dibuktikan
dengan kondisi kehidupan sehari-hari antar desa yang sudah normal dan
menunjukkan adanya perubahan-perubahan sikap baik etnis Bali maupun
etnis Lampung. Cara yang dipergunakan pemerintah untuk mengurangi
konflik adalah dengan melakukan perjanjian yang melibatkan pihak ketiga,
agar kelompok yang sebelumnya tidak mau diajak perundingan kamudian
mempertimbangkan pihak ketiga sebagai instrument yang bisa menyelasaikan
masalah bersama. Pada saat pasca konflik kemudian dilakukan musyawarah
dan menghasilkan apa yang disebut “Piagam Perdamaian” yang dimana di
dalam isi piagam tersebut memuat 10 pion penting perjanjian. Namun pada
kenyataan setelah dilakukan sosialisasi kepada masyarakat Lampung dan
masyarakat Bali piagam perdamaian tersebut menimbulkan pro dan kontra di
kedua belah pihak, piagam perjanjian pertama tidak mampu menyelesaikan
masalah begitu saja sehingga menghasilkan piagam perdamaian.

3.2 Saran

Menurut kami, alangkah baiknya jika masing-masing dari individu


ataupun kelompok antar etnis berupaya untuk saling menjaga hubungan baik
yaitu tidak saling berprasangka buruk karena itu akan menyebabkan konflik,

27
dan jika masing-masing individu atau kelompok dapat saling menghargai dan
menghormati. Maka, suasana tentram, aman dan nyaman pun akan tercipta.

DAFTAR PUSTAKA

Winardi, Manajemen Konflik; Konflik Perubahan dan Pengembangan (Bandung:


Mandar Maju, 1994), h. 22

Alo Liliweri, Sosiologi Organisasi (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), h. 112.

Doyle Paul, Teori Sosial; Klasik dan Modern (Jakarta: PT. Gramedia, 1986), h.
231.

Abdul Haris Sukamdi dan Patrick Browslee, Migrasi Buruh di Indonesia, Politik
dan Praktis (Yogyakarta: Population Studies Centre Gadjah Mada University,
2000), h. 125.

Ranjabar, Jacobus. 2006. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Bogor: Ghalia


Indonesia

https://pendidikanlayanankhusus.wordpress.com/2008/10/04/pengertian-
kelompok-etnik minoritas di akses pada tanggal 15 Okt. 2016
Indira Agustin. Pencegahan dan Penyelesaian Kekerasan Konflik.”http://indira-
afisip10.web.unair.ac.id/artikel_detail59901Resolusi%20Konflik
%20GlobalPencegahan%20dan%20Penyelesaian%20Kekerasan%20Konflik.html
(15 Oktober 2016)

Winardi. 1994. Manajemen Konflik; Konflik Perubahan dan Pengembangan.


Bandung: Mandar Maju

28

Anda mungkin juga menyukai