Disusun Oleh:
2015
KATA PENGANTAR
ـــــم
ِ ــــــــــــــم هللاِ ال َّر ْح َم ِن ال َّر ِح ْي
ِ س
ْ ِب
Jakarta, Oktober 2016
Penulis
2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar…………………………………………………………………….2
Daftar Isi………………………………………………………………………….3
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
3.1 Kesimpulan…………………………………………………………..25
3.2 Saran…………………………………………………………………27
Daftar Pustaka……………………………….…………………………………..28
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
yang berbeda pada tiap etnik akan menimbulkan sikap dan cara berfikir yang
berbeda pula.
Demikian juga dalam perilaku yang di ambil meskipun dalam masalah
yang sama. Perbedaan ini potensial menimbulkan konflik terutama pada
masalah-masalah yang datang dengan adanya interaksi antar etnik. Oleh
karena itulah, dalam makalah ini kami akan memaparkan penjelasan
mengenai potensi konflik antar kelompok etnik.
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat
istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri
individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam
setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah
mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat
lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat
itu sendiri.
Sedangkan Kelompok etnik atau suku bangsa adalah suatu golongan
manusia yang anggota-anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan
sesamanya, biasanya berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama.
Identitas suku pun ditandai oleh pengakuan dari orang lain akan ciri khas
kelompok tersebut dan oleh kesamaan budaya, bahasa, agama, perilaku atau
ciri-ciri biologis.
Kelompok etnik menurut Barth (1998) dalam Habib (2004), bahwa
kelompok etnik adalah suatu populasi yang secara biologis mampu
berkembang biak dan bertahan, mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan
sadar akan kebersamaan dalam suatu bentuk budaya, membentuk jaringan
komunikasi dan intraksi sendiri, menentukan sendiri kelompok lain dan dapat
dibedakan dari kelompok populasi lain.
Konflik etnik adalah konflik yang terkait dengan
permasalahanpermasalahan mendesak mengenai politik, ekonomi, sosial,
budaya, dan teritorial di antara dua kelompoketnis atau lebih.4
Konflik etnis seringkali bernuansa kekerasan, tetapi bisa juga tidak.
Namun biasanya konflik etnis bernuansa dengan kekerasan dan jatuh korban.
Etnik atau suku bangsa, biasanya memiliki berbagai kebudayan yang berbeda
satu dengan lainnya. Sesuatu yang dianggap baik atau sakral dari suku
tertentu mungkin tidak demikian halnya bagi suku lain. Perbedaan etnis
tersebut dapat menimbulkan terjadinya konflik antar etnis.
Jadi, konflik antar etnis berarti dua pihak atau lebih dari kelompok etnik
yang bertentangan. Dalam konflik itu sendiri bisa saja pelakunya
4
Abdul Haris Sukamdi dan Patrick Browslee, Migrasi Buruh di Indonesia, Politik dan Praktis
(Yogyakarta: Population Studies Centre Gadjah Mada University, 2000), h. 125.
7
mengatasnamakan etnis dan bisa saja hanya prasangka orang lain yang
melihatnya.
8
kelompok sosial dan etnik. Oleh karena itu penyelesaian konflik pun harus
didasarkan pengelolaan kelompok yang ada.
9
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran
dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu
pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat
menghasilkan konflik.
7. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok Manusia memiliki
perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan.
8. Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam
masyarakat. Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi,
tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak,
perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya,
pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang
mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada
masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat
berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri.
Sumber konflik antar etnik konflik bisa disebabkan oleh suatu sebab
tunggal. Akan tetapi jauh lebih sering konflik terjadi karena berbagai sebab
sekaligus. Kadangkala antara sebab yang satu dengan yang lain tumpang
tindih sehingga sulit menentukan mana sebenarnya penyebab konflik yang
utama.
Sementara itu, Sukamdi (2002) menyebutkan bahwa konflik antar etnik
di Indonesia terdiri dari tiga sebab utama yaitu:
a. Konflik muncul karena ada benturan budaya.
b. Karena masalah ekonomi-politik.
c. Karena kesenjangan ekonomi sehingga timbul kesenjangan sosial.
Benturan budaya antar etnik terjadi karena adanya kategori atau identitas
sosial yang berbeda. Perbedaan identitas sosial, dalam hal ini etnik dan
budaya khasnya, seringkali menimbulkan etnosentrisme yang kaku, dimana
seseorang tidak mampu keluar dari perspektif yang dimiliki atau hanya bisa
memahami sesuatu berdasarkan perspektif yang dimiliki dan tidak mampu
memahami perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya. Sikap
10
etnosentrik yang kaku ini sangat berperan dalam menciptakan konflik karena
ketidakmampuan orang-orang untuk memahami perbedaan. Sebagai
tambahan, pengidentifikasian kuat seseorang terhadap kelompok cenderung
akan menyebabkan seseorang lebih berprasangka, halmana juga merupakan
sumber konflik yang potensial.
11
konflik tersebut dalam tatanan kapasitas domestik, regional, dan internasional
untk mengelola konflik, yang melibatkan seluruh elemen konflik dan
bertujuan untuk mengurangi kemungkinan timbulnya konflik. Untuk
mencegah konflik atau perang sebelumnya harus diidentifikasi terlebih
dahulu tipe konflik dan lokasi potensi-potensi konflik. Dan pencegahan
bersifat relatif, bergantung pada aktornya baik konflik interstate wars maupun
non-interstate war. Interstate war menitikberatkan pada perang yang
dilakukan antara negara-negara dengan kapasitas power yang besar. Misalnya
adalah LBB dan Perjanjian Versailles bertindak sebagai alat preventif perang
yang terjadi pada Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Sementara non-
interstate war mengarah pada konflik-konflik yang meliputi konflik etnis
karena adanya stratifikasi sosial, polarisasi masyarakat, inappropriate
systemic, regional diasporas, dan sebagainya.
Berhasil atau tidaknya pencegahan konflik dapat dinilai dari beberapa
tolak ukur, seperti implementasi kebijakan yang berlangsung segera dan
cepat, adanya koordinasi antar aktor-aktor yang terlibat dalam pencegahan
konflik; pendekatan yang cenderung bebas dari pemerintah atau negara-
negara yang peduli; adanya pendekatan jangka panjang; dan keikutsertaan
kepentingan nasional dari salah satu negara yang turut campur tangan.
Pencegahan konflik dapat dikatakan gagal apabila terjadi konflik senjata
(light measures) dan ketika situasi yang ada mengarah pada konflik yang
lebih besar (deep measures). Akan tetapi pencegahan konflik dapat dikatakan
berhasil apabila konflik bersenjata dapat beralih ke arah perdamaian.
Salah satu contoh kasus resolusi konflik yang berhasil adalah Resolusi
Dewan Keamanan PBB terkait dengan konflik etnis antara etnis Albania dan
etnis Serbia yang terjadi di Kosovo setelah lengsernya pemerintahan
Milosevic. DK PBB kemudian membentuk apa yang disebut UNMIK (United
Nations Interim Administration for Kosovo) yang dibentuk pada 10 Juni 1999
dengan mengeluarkan Resolusi No. 1244 yang bertujuan untuk memulihkan
kondisi di Kosovo pasca perang. UNMIK sendiri bertugas untuk melakukan
pembangunan kembali sarana dan prasarana yang ada di Kosovo antara lain
pendidikan, kesehatan, perbankan, telekomunikasi, hukum, ketertiban
12
masyarakat, dan lain sebagainya. Dari sini terlihat bahwa peran resolusi tidak
hanya sebatas menyelesaikan konflik namun juga merekonsiliasikan dan
berusaha mengembalikan kondisi dan situasi yang damai seperti sebelum
masa perang.
Sebetulnya, konflik antar suku di Indonesia tidak perlu terjadi jika kita
memiliki sikap-sikap berikut ini:
- Mengenal
Dengan mengenal pihak yang berbeda suku, terutama yang hidup
berdampingan, akan memperkecil bahkan mencegah timbulnya konflik antar
suku di Indonesia. Mengenal tidak hanya tahu namanya, tetapi mengetahui
suku bangsanya serta adat atau kebiasaan yang bersangkutan. Dengan
demikian, ketika suatu saat ada hal-hal yang berbeda dengan adat atau
kebiasaan suku kita, dapat kita pahami dan bisa kita terima dengan besar hati.
- Tidak Ekspresif
Bertindak ekspresif ketika ada sesuatu yang berbeda dengan kita, kadang,
menimbulkan terjadinya konflik antarsuku di Indonesia. Sebetulnya, jika kita
sudah mengenal, hal ini tdak akan terjadi. Oleh karena itu, ketika mereka
bertindak atau bertingkah laku tidak sama dengan kita, bahkan jauh berbeda,
kita tidak kaget lagi. Dengan begitu, tidak akan ada saling mencemooh atau
pihak lain yang tersinggung karena tindakan kita yang ekspresif tersebut,
biasanya berujung pada saling serang yang pada akhirnya hanya merusak
persatuan dan kesatuan bangsa.
- Toleransi
Adanya sikap menghargai perbedaan membuat kedua belah pihak bisa
hidup berdampingan walaupun keduanya memiliki adat dan budaya atau
kebiasaan berbeda. Semua pihak bisa melakukan adat dan budaya atau
kebiasaan masing-masing dengan bebas, tanpa merasa terganggu dan
diganggu oleh pihak lain, sehingga budaya yang ada dalam suku tersebut
tidak punah.
- Empati
Dengan memposisikan diri sebagai orang lain, kita akan mengetahui
bagaimana rasanya ada di posisi pihak lain sehingga kita tidak akan mengusik
13
ketika pihak lain melakukan ritual atau kebiasaan tertentu sukunya.
Begitupun pihak lain, tidak akan mengusik ritual atau kebiasan suku kita.
- Bangga
Bangga yang harus kita miliki adalah kebanggaan sebagai negara
kesatuan Indonesia, bukan bangga sebagai individu dari suku tertentu. Merasa
bangga karena keragaman suku yang ada di Indonesia. Keragamaan yang
merupakan aset negara ini sehingga konflik antarsuku di Indonesia tidak akan
terjadi.
14
Pada cara yang pertama, konflik diselesaikan dengan cara mengeliminasi
konflik berupa pemisahan orang-orang yang konflik pada wilayah yang
berbeda. Pada cara yang kedua, mereka yang konflik tetap berada di suatu
wilayah yang sama. Tetapi mereka mulai berdialog, membuat kesepakatan
dan menghormati perbedaan. Mereka menyadari kemajemukan tidak harus
disertai konflik tetapi harus saling toleransi sehingga terwujud kehidupan
yang penuh kedamaian.
Cara ini pulalah yang diupayakan di Indonesia. Keberagaman etnis, suku
bangsa dan agama diupayakan dapat hidup bersama dalam kerukunan dan
perdamaian. Kunci dari cara yang kedua ini adalah masing-masing pihak
yang bertikai memiliki kesadaran akan pentingnya wawasan kebangsaan
sebagai bangsa yang satu dan bertanah air satu. Meskipun beraneka ragam
tetapi tetap bersatu.
Setiap warganegara harus menyadari bahwa konflik yang disertai
kekerasan karena perbedaan yg bersumber dari kemajemukan dapat
melemahkan persatuan bangsa dan menghambat pembangunan nasional.
Konflik terjadi karena memudarnya nilai-nilai dasar bermasyarakat seperti
religiusitas, musyawarah mufakat, tenggang rasa, menghargai perbedaan dan
lain-lain. Konflik dapat mengarah kepada disintegrasi nasional, separatisme
dan mengancam keutuhan NKRI.
2.4 Contoh Kasus Konflik Antara Etnik Bali dan Etnik Lampung
Masyarakat Indonesia memiliki keanekaragaman. Kehidupan berbangsa
dan bernegara di Indonesia yang dikenal dengan nusantara dihuni oleh
ratusan kelompok suku yang tumbuh dan berkembang dalam suasana penuh
konflik sosial berdarah sejak Indonesia merdeka.Indonesia juga merupakan
Negara yang memiliki banyak pulau besar dan kecil, yang tersebar di seluruh
Nusantara diantara pulau-pulau besar yang ada di Indonesia Provinsi
Lampung merupakan salah satu Provinsi yang berada di Pulau Sumatra secara
letak geografis Provinsi Lampung merupakan pintu gerbang pulau Sumatra
yang menjadi lalu lintas antara pulau Jawa Sumatra masyarakat Lampung
juga dikenal sebagai masyarakat yang heterogen.
15
Kemajemukan masyarakat di Provinsi Lampung merupakan kekayaan
budaya bangsa namun di sisi lain juga memiliki potensi untuk menjadi sebuah
konflik. 8Permasalahan yang timbul akibat kemajemukan itu Pertama adalah
kemajemukan masyarakat Provinsi Lampung yang diakibatkan Program
Transmigrasi pada era Orde Baru membuat Provinsi Lampung rentan akan
konflik sosial. Program Transmigrasi yang merupakan Program
Pembangunan pada era Orde Baru menjadi salah satu proses penyebaran etnik
suku dari suatu daerah ke daerah tertentu. Beberapa Provinsi menjadi tujuan
dari Program Transmigrasi tersebut. Program Transmigrasi yang sekarang
tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2009
merupakan Program Nasional yang dibuat oleh pemerintah ada saat itu untuk
mengatasi masalah kependudukan yang ada di Indonesia. Program
Transmigrasi dibuat secara komprehensif dari tahap perencanaan sampai
pembinaan sesuai dengan tujuan-tujuan Transmigrasi yang akan dicapai yaitu
terwujudnya kesejahtraaan masyarakat Indonesia secara adil dan menyeluruh,
tidak hanya meningkatkan kesejahtraan para transmigran.
Program Transmigrasi juga bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
hidup masyarakat transmigrasi atau penduduk asli, dan salah satu daerah
tujuan dari Program Transmigrasi adalah Provinsi Lampung, dengan
banyaknya masyarakat yang melakukan transmigrasi membuat Provinsi
Lampung memiliki banyak suku yang memiliki kebudayaan masing-masing
karena setiap suku yang memiliki sebuah kebudayaan atau adat istiadat yang
berbeda. Menurut sensus BPS Provinsi Lampung 2012, berdasarkan kriteria
etnik suku diperoleh data statistik yaitu:
Tabel 1.1
8
Winardi. 1994. Manajemen Konflik; Konflik Perubahan dan Pengembangan. Bandung: Mandar
Maju.
16
1 Lampung 792.312 11,92%
2
Jawa 4.113.731 61,88%
3 Sunda Banten 749.566 11,27%
4 Palembang Semendo 36.292 3,55%
5 Lain-Lain - 11,38%
Dapat dilihat dari data tabel 1.1diatas bahwa masyarakat asli Lampung
bukanlah masyarakat yang paling dominan diantara masyarakat yang lain,
ini juga menjadi salah satu penyebab terjadinya konflik, serupa dengan yang
diungkapkan oleh Bapak Ismed Alwi Kepala Bidang Politik dan
Kewaspadaan Nasional di Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan
mengungkapkan bahwa konflik yang terjadi di Kabupaten Lampung Selatan
sebelum tahun 2012 tidak sampai mengakibatkan korban jiwa.
Masyarakat yang begitu beragam haruslah menjadi salah satu kelebihan
pada suatu daerah dimana bisa dimanfaatkan untuk berbagai aspek
diantaranya dengan memanfaatkan potensi pariwisata yang dapat
menyumbang pendapatan asli daerah tersebut.
Permasalahan yang Kedua adalah konflik yang terjadi di Provinsi
Lampung bukan hanya karena faktor perbedaan suku atau budaya namun
juga karena faktor ekonomi dan sentiment agama. Provinsi Lampung juga
tidak hanya memiliki keberagaman etnik suku/budaya bangsa namun juga
merupakan daerah dengan keragaman agama, pola-pola adat, kondisi
goegrafis, rasa, dan bahasa. Jumlah pemeluk agama penduduk Provinsi
Lampung terbanyak adalah agama Islam menurut sensus penduduk tahun
2010 yaitu sebesar 6.779.928 jiwa.
Tabel 1.2
Data Pemeluk Agama di Provinsi Lampung
17
1 Islam 6.779.928
2 Kristen 141.899
3 Katolik 131.585
4 Hindu 205.200
5 Budha 122.248
18
tahun sehingga menyebabkan bentrok antara warga dengan pihak
perusahaan dan aparat, yang ujungnya menimbulkan korban jiwa.
Tabel 1.3
Beberapa Kasus Yang Terjadi di Kabupaten Lampung Selatan
Bulan/Tahun Kejadian/Peristiwa
September 2010 Pembakaran Pasar Probolinggo Lampung Timur oleh
Suku Bali
Desember 2010 Perang Suku Jawa dan Bali dengan suku Lampung karena
Pencurian Ayam
September 2011 Suku Jawa vs Suku Lampung dipicu oleh sengketa lahan
19
Permasalahan yang ada di Lampung Selatan umumnya bersumber
dari masalah yang tergolong relative kecil namun pada kenyataannya bisa
berubah menjadi perkelahian yang menjurus kearah peperangan yang
mengakibatkan korban jiwa. Menurut Bapak Ismed Alwi Kepala Bidang
Politik dan Kewaspadaan Nasional di Badan Kesbangpol Kabupaten
Lampung Selatan menjelaskan jika terjadi ricuh di masyarakat
penyelesaiannya menggunakan musyawarah mufakat dengan dibantu
pihak ketiga yaitu aparat keamanan supaya permasalahannya dapat
dengan cepat diselesaikan mengingat sifat dan watak yang berbeda di
masyarakat Kabupaten Lampung Selatan (wawancara peneliti pada hari
Selasa tanggal 2 Desember 2014.
Adapun uraian beberapa konflik yang tercatat di Kesbangpol
Lampung Selatan terjadi konflik pada Bulan Oktober 2012 lalu yang juga
berangkat dari permasalahan-permasalahan yang sudah terjadi bertahun-
tahun sebelumnya yaitu:
Tabel 1.4
Peristiwa Konflik Antara Suku Bali Dan Lampung Di Lampung Selatan
Bulan/Tahun Peristiwa
Terjadi perselisihan pemuda Desa
Tahun 1982 Sandaran dan Balinuraga, warga
Balinuraga menyerang dengan membakar
2 unit rumah di Desa Sandaran
20
ronda dan pangkalan ojek di perempatan
Gayam Kecamatan Penengahan
21
Astawe mengungkapkan permasalahan antara masyarakat bali dengan
masyarakat suku lain yang ada di Lampung Selatan tidak hanya soal
kericuhan, namun juga masalah diskriminasi sebelum dan sesudah
terjadinya konflik pada tahun 2012, masyarakat suku lain menghormati
masyarakat bali jika ada sesuatu kepentingan dengan masyarakat bali
yang termasuk orang kaya, seperti jika ingin meminjam uang maka
masyarakat suku lain akan bersikap baik namun berbeda jika tidak
memiliki kepentingan sikapnya akan acuh tak acuh terhadap masyarakat
bali (wawancara peneliti pada hari minggu tanggal 30 November 2014).
Mereka biasanya berkelompok berdasarkan suku mereka sehingga
jika diantara kelompok tersebut terjadi perselisihan tertentu akibatnya
melibatkan suku mereka, konflik kekerasan besar yang ditimbulkan
karena perbedaan suku adalah konflik yang terjadi pada wilayah
Kabupaten Lampung Selatan tepatnya di Desa Agom Kecamatan
Kalianda dan Desa Balinuraga Kecamatan Way Panji yang puncaknya
terjadi pada tanggal 27 Oktober 2012 sampai 30 Oktober 2012 yang
melibatkan suku asli Lampung (suku pribumi mayoritas beragama islam)
dan suku pendatang Bali (pendatang mayoritas beragama Hindu), konflik
tersebut menjadi konflik berdarah yang awalnya dipicu karena
permasalahan kecelakaan lalu lintas. Peristiwa kecelakaan tersebut
memicu konflik berdarah yang tidak hanya melibatkan dua desa saja
namun melibatkan banyak desa dari kedua suku yang ada disekitar
wilayah mereka. Peristiwa penyerbuan dan bentrokan berdarah tersebut
mengakibatkan jatuhnya korban jiwa sebanyak 12 orang tewas, puluhan
orang luka-luka, 438 unit rumah warga Desa Balinuraga dan Sedoreno
dibakar, dan 27 unit rumah mengalami rusak berat, 11 unit sepeda motor
dibakar, dan 2 gedung sekolah juga ikut dibakar massa. Selain itu juga
ribuan orang Desa Balinuraga dan Desa Agom harus di evakuasi
(wawancara dengan Kasat Binmas Polres Lampung Selatan pada hari
selasa 4 November 2014).
Upaya perdamaian yang dipimpin langsung oleh Kapolda Lampung
tidak berpengaruh terhadap konflik yang terjadi di wilayah itu. Aksi
22
serang terjadi kembali, pihak Kepolisian dan TNI mengerahkan 1.000
aparat dengan dibantu pihak Brimob Polda Banten dan Sumatra Selatan,
namun pada peristiwa ini jumlah warga yang melakukan bentrok semakin
bertambah dan tidak dapat ditahan lagi hingga akhirnya warga berhasil
memasuki Desa Balinuraga. Dalam aksi penyerangan ini 7 orang tewas,
kebanyakan korban tewas tergeletak di area perkebunan dan persewahan
dengan kondisi tubuh rusak akibat dicabik-cabik (wawancara dengan
Kasat Binmas Polres Lampung Selatan pada hari selasa 4 November
2014).
Konflik yang terjadi di Lampung Selatan pada tanggal 27 Oktober
hingga 30 Oktober 2012 ini menimbulkan dampak kerugian paling besar
dan menyita perhatian berskala Nasional dari berbagai konflik-konflik
sosial yang terjadi di Provinsi Lampung selama tiga tahun terakhir.
Bahkan Lembaga Survey Indonesia (LSI) menetapkan konflik antar suku
bali dan suku Lampung di Way Panji Lampung Selatan ke dalam lima
besar bentrok antar suku terparah dari 2.398 kekerasan di Indonesia pasca
reformasi. Penelitian ini didasari oleh lima variabel penelitian, yaitu:
Pertama jumlah korban, Kedua lama konflik, Ketiga luas konflik,
Keempat kerugian material, Kelima frekuansi pemberitaan.
Permasalah yang Kelima adalah penanganan konflik (Resolusi
Konflik) yang dilakukan pemerintah tidak merangkul seluruh masyarakat.
Penanganan konflik (Resolusi konflik) yang tertuang dalam Undang-
Undang Nomor 7 tahun 2012 tentang Penangan Konflik Sosial, yang
melibatkan aparat pemerintah dan serta tokoh-tokoh yang ada di Lampung
Selatan dirasa belum maksimal. Hal ini dapat dilihat dari gagalnya proses
mediasi yang dilakukan sehingga mengakibatkan konflik makin meluas.
Cara yang dipergunakan pemerintah untuk mengurangi konflik adalah
dengan melakukan perjanjian yang melibatkan pihak ketiga, agar
kelompok yang sebelumnya tidak mau diajak perundingan kamudian
mempertimbangkan pihak ketiga sebagai instrument yang bisa
menyelasaikan masalah bersama. Pada saat pasca konflik kemudian
dilakukan musyawarah dan menghasilkan apa yang disebut “Piagam
23
Perdamaian” yang dimana di dalam isi piagam tersebut memuat 10 pion
penting perjanjian. Namun pada kenyataan setelah dilakukan sosialisasi
kepada masyarakat Lampung dan masyarakat Bali piagam perdamaian
tersebut menimbulkan pro dan kontra di kedua belah pihak, piagam
perjanjian pertama tidak mampu menyelesaikan masalah begitu saja
sehingga menghasilkan piagam perdamaian kedua pada akhir tahun 2012.
Akhirnya pada awal tahun 2013 Pemerintah setempat bersama aparat
keamanan menggulirkan program Rembug Pekon. Program tersebut
ditandatangani oleh Gubernur Lampung dengan Kapolda Lampung
Selatan dalam Nota Kesepahaman (MOU). Belum adanya Peraturan
Daerah (Perda) yang membuat penenganan konflik (Resolusi Konflik)
tidak berjalan dengan baik, Rembuk Pekon merupakan pelembagaan
negosiasi yang bersifat kekeluargaan, program ini melibatkan seluruh
aspek baik dari elemen pemerintahan maupun masyarakat seperti, tokoh
adat, tokoh agama, pemuda dan yang lainnya, tujuannya agar konflik yang
terjadi di wilayah khususnya Lampung Selatan tidak terulang lagi.
Intinya adalah upaya yang dilakukan selama ini, mestinya memang
harus melandaskan pada semboyan Bhineka Tunggal Ika dalam Pancasila
sebagai landasan ideologi dalam setiap aspek kehidupan bangsa dan
negara ini, guna meretas segala bentuk dikotomi yang ada, yang mana
merupakan sebuah keniscayaan di negeri ini. Namun yang terpenting dari
seluruh paparan tersebut, penulis hanya ingin mengingatkan diri sendiri
dan para pembaca bahwa bangsa ini didirikan dan bisa eksis sampai hari
ini disebabkan oleh adanya semangat persatuan dan kesatuan yang
dilandasi oleh nilai dari semangat gotong royong guna mencapai sebuah
masyarakat yang adil dan sentosa dalam setiap aspek kehidupan yang
menopang bangsa dan negara ini.
Persatuan Indonesia dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
adalah harga mati yang harus digali lagi secara mendalam atas segala
bentuk ketimpangan yang ada di negeri ini, yang tentunya juga tidak
mengenyampingkan sila-sila lain dalam pancasila itu sendiri sebagai
sebuah kesatuan untuk menuju masyarakat yang plural namun adil dan
24
makmur.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Konflik antara budaya dan etnis terjadi karena adanya perbedaan ciri-ciri
yang dibawa individu dalam suatu integrasi. Perbedaan tersebut menyangkut
agama, ras, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat masing-masing kelompok.
Dengan dibawa sertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik
merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu
masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau
dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan
dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
25
pada saat Gunung Agung di Bali meletus. Pemerintah pada saat itu tidak
menempatkan transmigran asal Bali ke daerah transmigrasi yang dihuni
oleh penduduk-penduduk asli. Sehingga tidak ada sarana komunikasi
secara langsung yang baik antar masyarakat pendatang dan penduduk asli.
2. Adanya keberagaman karakteristik sistem sosial
3. Masing-masing memiliki sifat sombong, selalu menaruh perasaan curiga
terhadap orang lain, berfikir negatif kepada orang lain, dan susah
mengendalikan emosinya. Tidak adanya kedekatan secara pribadi antar
kedua etnis tersebut menimbulkan prasangka atau prejudice antar etnis
Bali dan etnis Lampung. Masing-masing memliki perasaan perasaan
negatif yang menunjukkan sikap bermusuhan atau perilaku diskriminatif
satu sama lain. Hal tersebut memicu konflik-konflik kecil antar kedua etnis
yang bisa dikatakan akibat masalah-masalah kecil.
4. Kebutuhan masing-masing salah satu warga yang tidak terpenuhi
kemudian membawa-bawa nama suku masing-masing seperti itulah yang
membuat konflik timbul antar etnis Bali di Desa Balinuraga dan etnis
Lampung di Desa Agom.
5. Konflik terjadi dikarenakan emosi yang telah memuncak akumulasi dari
konflik-konflik kecil yang pernah terjadi sebelumnya.
6. Dari semua faktor-faktor penyebab konflik diatas, faktor yang paling
dominan pada penyebab konflik antar etnis di Kabupaten Lampung
Selatan adalah kurangnya ruang interaksi antar masyrakat yang berbeda
etnis. Faktor historis ketika masyrakat etnis Bali pertama kali melakukan
transmigrasi ke Kabupaten Lampung Selatan dan ditempatkan pada suatu
daerah yang tidak berpenghuni dan tidak ada penduduk asli membuat
pemukiman penduduk etnis Bali menjadi terkesan eksklusif dan tidak
berbaur dengan penduduk asli maupun etnis lainnya yang ada di
Kabupaten Lampung Selatan. Padahal kesan ekslusif tersebut terbentuk
oleh karna kesenjangan sosial yang sangat jelas terlihat diantara kedua
desa. Masyarakat etnis Bali mempunyai kelebihan yaitu sifat yang tekun
dan ulet dalam bekerja dibanding etnis pribumi sehingga kondisi ekonomi
masyarakat etnis Bali terbilang sangat baik.
26
Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Selatan dalam hal ini telah
berupaya dengan baik untuk menyelesaikan konflik tersebut dengan bertindak
sebagai mediator antar etnis Bali dan etnis Lampung. Upaya-upaya
penyelesaian konflik yang dilakukan adalah sebagai berikut.
1. Kedua desa berusaha melakukan proses kompromi dengan
mempertemukan perwakilan dari masing-masing etnis untuk
menyelesaikan pemicu konflik secara kekeluargaan, tetapi proses tersebut
tidak berhasil dan malah menimbulkan konflik yang lebih besar.
2. Pemerintah daerah Kabupaten Lampung Selatan menyelesaikan konflik
kekerasan antar etnis Bali dan etnis Lampung dengan bertindak sebagai
mediator dari kedua etnis tersebut dan berhasil mendamaikan kedua belah
pihak dengan tahapan-tahapan dari mediasi.
Pemerintah berhasil mendamaikan kedua etnis tersebut dibuktikan
dengan kondisi kehidupan sehari-hari antar desa yang sudah normal dan
menunjukkan adanya perubahan-perubahan sikap baik etnis Bali maupun
etnis Lampung. Cara yang dipergunakan pemerintah untuk mengurangi
konflik adalah dengan melakukan perjanjian yang melibatkan pihak ketiga,
agar kelompok yang sebelumnya tidak mau diajak perundingan kamudian
mempertimbangkan pihak ketiga sebagai instrument yang bisa menyelasaikan
masalah bersama. Pada saat pasca konflik kemudian dilakukan musyawarah
dan menghasilkan apa yang disebut “Piagam Perdamaian” yang dimana di
dalam isi piagam tersebut memuat 10 pion penting perjanjian. Namun pada
kenyataan setelah dilakukan sosialisasi kepada masyarakat Lampung dan
masyarakat Bali piagam perdamaian tersebut menimbulkan pro dan kontra di
kedua belah pihak, piagam perjanjian pertama tidak mampu menyelesaikan
masalah begitu saja sehingga menghasilkan piagam perdamaian.
3.2 Saran
27
dan jika masing-masing individu atau kelompok dapat saling menghargai dan
menghormati. Maka, suasana tentram, aman dan nyaman pun akan tercipta.
DAFTAR PUSTAKA
Alo Liliweri, Sosiologi Organisasi (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), h. 112.
Doyle Paul, Teori Sosial; Klasik dan Modern (Jakarta: PT. Gramedia, 1986), h.
231.
Abdul Haris Sukamdi dan Patrick Browslee, Migrasi Buruh di Indonesia, Politik
dan Praktis (Yogyakarta: Population Studies Centre Gadjah Mada University,
2000), h. 125.
https://pendidikanlayanankhusus.wordpress.com/2008/10/04/pengertian-
kelompok-etnik minoritas di akses pada tanggal 15 Okt. 2016
Indira Agustin. Pencegahan dan Penyelesaian Kekerasan Konflik.”http://indira-
afisip10.web.unair.ac.id/artikel_detail59901Resolusi%20Konflik
%20GlobalPencegahan%20dan%20Penyelesaian%20Kekerasan%20Konflik.html
(15 Oktober 2016)
28