BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Sindrom mielodiplastik (MDS; myelodyplastic syndrome) merupakan kelompok
kelainan sel tunas klonal yang ditandai oleh hematopoiesis yang tidak efektif dan
peningkatan resiko transformasi menjadi AML(Acute Myeloid Leukimia). Sebagian atau
seluruh sumsum tulang digantikan oleh progeni klonal sebuah sel tunas multipoten yang
mutan tetapi masih mempertahankan kemampuannya untuk berdiferensiasi menjadi sel darah
darah merah, granulosit dan trombosit kendati dengan cara yang tidak efektif dan
menyimpang. Biasanya sumsum tulang tersebut tampak hiperseluler atau normoseluler tetapi
darah tepinyamemperlihatkan pansitopenia.
Sindrom myelodiplastik (myelodyplastic syndrome) adalah kelainan darah langka dan
berpotensi fatal yang terjadi karena produksi abnormal sel-sel darah di sumsum tulang. Sel
darah yang dihasilkan menjadi mati dan abnormal begitu mereka memasuki aliran darah,
sehingga tidak dapat menjalankan fungsi normal dan penting seperti mengangkut oksigen
melalui tubuh (eritrosit) dan melawan infeksi (leukosit). Pada tahap awal pemyakit, hanya
ada sedikit gejala. Seiring waktu, perdarahan yang tidak biasa, bintik-bintik kulit merah dan
anemia dapat terjadi. Individu dengan sindrom myelodiplastik cenderung memiliki infeksi
berulang (kamuskesehatan.com).
B. Etiologi
MDS timbul dalam dua keadaan yang berbeda:
1. MDS idiopatik atau primer terutama terjadi pada pasien yang berusia lebih dari 50 tahun
dan sindrom ini sering berkembang secara perlahan.
2. MDS yang berkaitan dengan terapi merupakan komplikasi terapi dengan obat yang
bersifat mielosupresif atau radioterapi dan biasanya sindrom ini baru muncul dalam
waktu 2 hingga 8 tahun sesudah terapi.
Semua bentuk MDS dapat bertransformasi menjadi AML; transformasi terjadi paling
cepat dan dengan frekuensi paling tinggi pada pasien MDS yang terkait terpai. Perubahan
morfologi yang khas terlihat dalam sumsum tulang dan darah tepi; analisis sitogenik dapat
membantu menegakkan diagnosis. Meskipun patogenesisnya sebagian besar masih belum
diketahui, namun MDS secara khas muncul dengan latar belakang kerusakan sel tunas. Baik
MDS primer maupun MDS yang terkait terapi memiliki korelasi dengan kelainan kroosom
klonal yang sama, termasuk monosomi 5 dan monosomi 7, delesi 5q dan 7q, trisomi 8 dan
delesi 20q.
C. Klasifikasi
Penggolongan MDS menurut kriteria FAB adalah:
1. Refractory Anemia (RA)
2. Refractory Anemia with Ringed Sideroblast (RARS)
3. Refractory Anemia with Excessive Blast (RAEB)
4. RAEB in Transformation to Leukemia (RAEBt)
5. Chronic Myelo-Monocytic Leukemia (CMML).
eritroblas
total
Klasifikasi menurut WHO (2008) didasarkan pada penemuan genetik meskipun asal sel dari
darah tepi, aspirasi sumsum dan biopsi sumsum
Sindrom 5q-
D. Patofisiologi
MDS disebabkan paparan lingkungan seperti radiasi dan benzene yang merupakan
faktor resikonya. MDS sekunder terjadi pada toksisitas lama akibat pengobatan kanker
biasanya dengan kombinasi radiasi dan radiomimetik alkylating agent seperti bisulfan,
nitrosourea atau procarbazine (dengan masa laten 5-7 tahun) atau DNA topoisomerase
inhibitor (2 tahun). Baik anemia aplastik yang didapat yang diikuti dengan pengobatan
imunosupresif maupun anemia Fanconis dapat berubah menjadi MDS.
MDS diperkirakan berasal dari mutasi pada sel sumsum tulang yang multipoten tetapi
defek spesifiknya belum diketahui. Diferensiasi dari sel prekursor darah tidak seimbang dan
ada peningkatan aktivitas apoptosis sel di sumsum tulang. Ekspansi klonal dari sel abnormal
mengakibatkan sel yang telah kehilangan kemampuan untuk berdiferensiasi. Jika keseluruhan
persentasi dari blas sumsum berkembang melebii batas (20-30%) maka ia akan
bertransformasi menjadi AML. Pasien MDS akan menderita sitopenia pada umumnya seperti
anemia parah. Tetapi dalam beberapa tahun pasien akan menderita kelebihan besi.
Komplikasi yang berbahaya bagi mereka adalah pendarahan karena kurangnya trombosit atau
infeksi karena kurangnya leukosit.
Beberapa penlitian menyebutkan bahwa hilangnya fungsi mitokondria mengakibatkan
akumulasi dari mutasi DNA pada sel sitem hematopoietik dan meningkatkan insiden MDS
pada pasien yang lebih tua. Dan adanya akumulasi dari besi mitokondria yang berupa cincin
sideroblas merupakan bukti dari disfungsi mitokondria pada MDS.
E. Manifestasi klinik
MDS sering ditemukan pada pasien usia lanjut antara umur 60-75 tahun, dan pada
sebagian kasus pada umur < 50 tahun; laki-laki sedikit lebih sering daripada perempuan.
Keluhan dan gejala secara umum:
1. Cepat lelah, lesu yang disebabkan anemia.
2. Perdarahan dan mudah memar karena trombositopenia
3. Infeksi atau demam yang dikaitkan dengan leukopenia/neutropeni.
4. Pada sebagian kecil dan sangat jarang dari pasien terjadi splenomegali atau
hepatomegali.
Pada beberapa pasien, anemia yang tergantung transfusi mendominasi perjalanan
penyakit sedangkan pada pasien lainnya infeksi rekuren atau memar dan pendarahan spontan
merupakan masalah klinis utama. Neutrofil, monosit, dan trombosit seringkali terganggu
secara fungsional sehingga dapat terjadi infeksi spontan pada beberapa kasus atau
memar/pendarahan yang tidak sebanding dengan beratnya sitopenia. Limpa biasanya tidak
membesar kecuali pada CMML pada keadaan ini juga dapat terjadi hipertrofi gusi dan
limfadenopati.
F. Pemeriksaan Diagnostik
1. Penurunan kadar Hb, jumlah leukosit, dan jumlah trombosit.
2. Hasil pemeriksaan yang paling khas adalah kelainan diferensiasi (displasia) yang
mengenai ketiga garis-turunan sel darah (eritroid, mieloid dan megakariosit).
a. Garis turunan eritroid:
Sideroblas bercincin, eritroblas dengan mitokondria yang penuh zat besi dan terlihat
sebagai granul perinuklear pada pewarnaan Prussian blue.
Maturasi megaloblastoid yang menyerupai gambaran yang terlihat pada defisiensi
vitamin B12 atau folat.
Kelainan pembentukan tunas nukleus yang memproduksi nukleus salah bentuk dan
sering dengan garis polipoid.
b. Garis turunan granulositik:
Sel-sel neutrofil dengan berkurangnya jumlah granul sekunder, granulasi toksik atau
Dohle bodies (badan Dohle).
Sel-sel pseudo-Pelger-Huet (sel-sel neutrofil dengan dua lobus nukleus saja).
Mieloblas mungkin meningkat tetapi berdasarkan definisi terdiri kurang dari 20%
keseluruhan selularitas sumsum tulang.
c. Garis turunan megakariositik: megakariositik dengan lobus nukleus yang tunggal atau
nukleus multiple yang terpisah (megakariosit pawn ball).
d. Darah perifer: darah perifer sering mengandung sel-sel pseudo-Pelger-Huet, trombosit
raksasa, makrosit, poikilosit dan monositosis relatif atau absolut. Biasanya mieloblas
membentuk kurang dari 10% leukosit perifer.
G. Penatalaksanaan medis
Beberapa regimen terapi telah digunakan pada pasien MDS, tetapi sebagian besar
tidak efektif di dalam merubah perjalanan penyakitnya. Karena itu pengobatan pasien MDS
tergantung dari usia, berat ringannya penyakit dan progresivitas penyakitnya. Pasien dengan
klasifikasi RA dan RAEB pada umumnya bersifat indolent sehingga tidak perlu pengobatan
spesifik, cuma suportif saja.
2. Kemoterapi
Pada fase awal dari MDS tidak dianjurkan untuk diberikan kemoterapi, umumnya
diberikan pada tipe RAEB, RAEB-T, CMML. Sejak tahun 1968 pengobatan ARA-C
dosis rendah yang diberikan pada pasien MDS dapat memberikan response rate antara 50
75 % dan respons ini tetap bertahan 2 14 bulan setelah pengobatan. Dosis ARA-C
yang direkomendasikan adalah 20 mg/m2/hari secara drip atau 10 mg/m2/hari secara
subkutan setiap 12 jam selama 21 hari.
Pada pasien MDS yang mengalami pansitopeni dapat diberikan GM-CSF atau G-
CSF untuk merangsang diferensiasi darihematopoetic progenitor cells. GM-CSF
diberikan dengan dosis 30 500 mcg/m2/hari atau G-CSF 50 1600 mcg/m2/hari (0,1
0,3 mcg/kgBB/hari/subkutan) selama 7 14 hari.
Piridoksin, androgen, danazol, asam retinoat dapat digunakan untuk pengobatan
pasien MDS. Piridoksin dosis 200 mg/hari selama 2 bulan kadang-kadang dapat
memberikan respon pada tipe RAEB walaupun sangat kecil. Danazol 600 mg/hari/oral
dapat memberikan response rate 21 33 % setelah 3 minggu pengobatan. Tujuan
pengobatan adalah mengontrol gejala, meningkatkan kualitas hidup (Qol), meningkatkan
survival, dan mengurangi transformasi menjadi AML.
a. Pada sindrom mielodisplastik resiko rendah
Pasien yang memiliki jumlah sel blas kurang dari 5% dalam sumsum tulang
didefinisikan sebagai penderita sindrom mielodisplastik resiko rendah. Sehingga
ditangani dengan konservatif dengan transfusi eritrosit, trombosit, atau pemberian
antibiotik sesuai keperluan. Upaya memperbaiki fungsi sumsum dengan faktor
pertumbuhan hemopoietik sedang dilakukan. Eriotropoietin dosis tinggi dapat
meningkatkan konsentrasi Hb sehingga transfusi tidak perlu dilakukan. Siklosporin atau
globulin antilimfosit (GAL) kadang membuat pasien lebih baik terutama pasien dengan
sumsum hiposelular. Untuk jangka panjang penimbunan besi transfusi berulang harus
diatasi dengan chelasi besi setelah mendapat transfusi 30-50unit. Pada pasien usia muda
kadang transplantasi alogenik dapat memberikan kesembuhan permanen.
Perlu diperhatikan pada pasien yang memerlukan banyak transfusi RBC adalah
level serum ferritin yang dapat berakibat disfungsi organ dan harus dikontrol <1000
mcg/L. Dan ada 2 macam chelasi besi seperti deferoxamine IV dan deferasirox per oral.
Pada kasus yang jarang, deferasirox dapat menyebabkan gagal ginjal dan hati yang
berakhir pada kematian.
b. Pada sindrom mielodisplastik resiko tinggi
Pada pasien yang memiliki jumlah sel blas lebih dari 5% dalam sumsum dapat
diberi beberapa terapi:
1. Perawatan suportif umum sesuai diberikan untuk pasien usia tua dengan masalah
medis mayor. Transfusi eritrosit dan trombosit, terapi antibiotik dan obat anti jamur
diberikan sesuai kebutuhan.
2. Kemoterapi agen tunggal hidroksiurea, etopasid, merkaptopurin, azasitidin, atau
sitosin arabinosida dosis rendah dapat diberikan dengan sedikit manfaat pada pasien
CMML atau anemia refrakter dengan kelebihan sel blas (RAEB) atau RAEB dalam
transformasi dengan jumlah leukosit dalam darah yang tinggi.
3. Kemoterapi intensif seperti pada AML. Kombinasi fludarabin dengan sitosin
arabinosida (ara-C) dosis tinggi dengan faktor pembentuk koloni granulosit (G-
CSF)(FLAG) dapat sangat bermanfaat untuk mencapai remisi pada MDS.
Topetecan, ara-C, dan G-CSF(TAG) juga dapat membantu. Remisi lengkap lebih
jarang dibandingkan pada AML de novo dan resiko pembeerian kemoterapi intensif
seperti untuk AML lebih besar karena dapat terjadi pansitopenia berkepajangan pada
beberapa kasus tanpa regenerasi hemopoietik yang normal, diperkirakan karena tidak
terdapat sel induk yang normal.
4. Transplantasi sel induk. Pada pasien berusia lebih muda (kurang dari 50-55 tahun)
dengan saudara laki-laki atau perempuan yang HLA nya sesuai atau donor yang
tidak berkerabat tetapi sesuai HLAnya. SCT memberikan prospek kesembuhan yang
lengkap dan biasanya dilakukan pada MDS tanpa mencapai remisi lengkap dengan
kemoterapi sebelumnya, walaupun pada kasus resiko tinggi dapat dicoba kemoterapi
awal untuk mengurangi proporsi sel blas dan resiko kambuhnya MDS. SCT hanya
dapat dilaksanakan paa sebagian kecil pasien karena umumnya pasien MDS berusia
tua.
1. Pengkajian
2. Diagnosa
1) Perfusi jaringan tidak efektif berhubungan dengan penurunan konsentrasi Hb dan
darah, suplai oksigen berkurang
2) Hypertermi berhubungan dengan proses infeksi, peningkatan metabolism
3) Pola Nafas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi, kelelahan otot pernafasan
4) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan Intake
yang berlebihan terhadap kebutuhan metabolisme tubuh
5) Intoleransi aktivitas b/d fatigue atau kelemahan fisik
6) Resiko infeksi b/d sistem imun menurun
7) Resiko Injury b/d kecenderungan perdarahan sekunder
3. Intervensi
Diagnosa
No Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Keperawatan
intake makanan
pada menjelang
malam
5 Intoleransi NOC : NIC :
aktivitas b/d o Energy conservation Energy Management
fatigue o Self Care : ADLs o Observasi adanya
Definisi : Kriteria Hasil : pembatasan klien dalam
Ketidakcukupan melakukan aktivitas
Berpartisipasi dalam
energu secara aktivitas fisik tanpa disertai o Dorong anal untuk
fisiologis maupun peningkatan tekanan darah, mengungkapkan perasaan
psikologis untuk nadi dan RR terhadap keterbatasan
meneruskan atau Mampu melakukan aktivitas o Kaji adanya factor yang
menyelesaikan sehari hari (ADLs) secara menyebabkan kelelahan
aktifitas yang mandiri o Monitor nutrisi dan sumber
diminta atau energi tangadekuat
aktifitas sehari o Monitor pasien akan adanya
hari. kelelahan fisik dan emosi
Batasan secara berlebihan
karakteristik : o Monitor respon
melaporkan kardivaskuler terhadap
secara verbal aktivitas
adanya kelelahan o Monitor pola tidur dan
atau kelemahan. lamanya tidur/istirahat
Respon abnormal pasien
dari tekanan Activity Therapy
darah atau nadi o Kolaborasikan dengan
terhadap aktifitas Tenaga Rehabilitasi
Perubahan EKG Medik
yang dalammerencanakan
menunjukkan progran terapi yang tepat.
aritmia atau o Bantu klien untuk
iskemia mengidentifikasi aktivitas
Adanya dyspneu yang mampu dilakukan
atau o Bantu untuk memilih
ketidaknyamanan aktivitas konsisten
saat beraktivitas. yangsesuai dengan
Faktor factor kemampuan fisik,
yang psikologi dan social
berhubungan : o Bantu untuk
Tirah Baring atau mengidentifikasi dan
imobilisasi mendapatkan sumber yang
Kelemahan diperlukan untuk aktivitas
menyeluruh yang diinginkan
Ketidakseimbang o Bantu untuk mendpatkan
an antara suplei alat bantuan aktivitas
oksigen dengan seperti kursi roda, krek
kebutuhan o Bantu untu
Richard N. Mitchel. 2008. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit Robbins &
Cotran. Jakarta:EGC.
NANDA. (2005). Nursing Diagnoses: Definitions & Classification 2005-2006.
Philadelphia: NANDA International.
McCloskey, Joanne C., Bullechek, Gloria M. (1996). Nursing Interventions
Classification (NIC). St. Loui: Mosby.
http://kamuskesehatan.com/arti/sindrom-myelodisplastik/
Wicaksono, Emirza Nur. 6 April 2014. Myelodisplasia Sindrom (Myelodysplastic
Syndrome. http://emirzanurwicaksono.blog.unissula.ac.id/2014/04/06/myelodisplasia-
sindrom/