A DENGAN
SISTEM MUSKULOSKLETAL : FRAKTUR PATELLA DEXTRA
DIRUANGAN TULIP RUMAH SAKIT UMUM IMELDA PEKERJA
INDONESIA MEDAN TAHUN 2023
DISUSUN OLEH:
KELOMPOK III
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan kasuhan keperawatan
medikal bedah ii pada tn. a dengan sistem muskuloskletal : fraktur patella dextra
diruangan tulip rumah sakit umum imelda pekerja indonesia medan tahun 2023.
Dalam penyusunan Makalah ini penulis mengucapkan Terima kasih kepada
Bapak/Ibu:
1. dr. H. Raja Imron Ritonga., M.Sc., selaku Ketua Yayasan Imelda Medan.
2. Dr. dr. Imelda L. Ritonga S.Kp., M.pd., MN., selaku Rektor
Universitas Imelda Medan.
3. dr. Hedy Tan, MARs., MOG., Sp. OG selaku Direktur Rumah Sakit Umum
Imelda Pekerja Indonesia Medan.
4. Edisyah Putra Ritonga, S.Kep., Ns., M.Kep., selaku Ketua Prodi
Ners Universitas Imelda Medan.
5. Hamonangan Damanik, S.Kep., Ns., M.Kep., selaku Sekretaris Prodi
Ners Universitas Imelda Medan.
6. Nataria Yanti Silaban S.Kep., Ns., M.Kep., selaku Dosen Pembimbing
Akademik
7. Yuni Shanti, S.Kep., Ns., M.Kep selaku Dosen Pembimbing Klinik Rumah
Sakit Umum Imelda Pekerja Indonesia( IPI) Medan
Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam menyelesaikan makalah ini dan semoga bermanfaat.
(Kelompok III)
DAFTAR ISI
BABI
PENDAHULUAN
Menurut World Health of Organisation (WHO) 2016 lebih dari 5 juta orang
meninggal setiap tahunnya di seluruh dunia karena fraktur, hal ini menyebabkan
fraktur menjadi 9% penyebab kematian didunia dan merupakan ancaman bagi
kesehatan di setiap negara di dunia. Setiap tahun kehidupan sekitar 1,35 juta
orang hilang karena kecelakaan lalu lintas. Antara 20 dan 50 juta lebih banyak
orang menderita cedera non-fatal, dan banyak orang menderita fraktur akibat
cedera. Tingkat kematian lalu lintas jalan raya negara-negara berkembang
memiliki tingkat kematian lalu lintas jalan yang lebih tinggi per 100.000
penduduk (masing-masing 24,1 % dan 18,4 % ) setiap tahunnya.
Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, di Indonesia fraktur terjadi
diakibatkan oleh cidera seperti terjatuh, kecelakaan lalu lintas dan trauma benda
tajam/tumpul.Riset Kesehatan Dasar 2018 menemukan ada sebanyak 45.987
peristiwa terjatuh yang mengalami fraktur sebanyak 1.775 orang (3,8%).Kasus
kecelakaan lalu lintas sebanyak 20.829 kasus, dan yang mengalami fraktur
sebanyak 1.770 orang (8,5%), dari 14.127 trauma benda tajam/tumpul sebanyak
236 orang (1,7%) (Kemenkes RI, 2018). Proporsi jenis cedera berupa fraktur
(patah tulang) di Indonesia 5,5%.Sedangkan proporsi jenis cedera fracture (patah
tulang) menurut provinsi di Indonesia pada tahun 2018 di provinsi Kalimantan
Timur proporsi jenis cedera fracture adalah 3.5% (Kemenkes RI, 2018).
Terjadinya suatu fraktur ditentukan oleh kekuatan, sudut dan tenaga, keadaan
tulang, serta jaringan lunak di sekitar tulang. Tipe fraktur berdasarkan atas
hubungan tulang dengan jaringan di sekitarnya dibagi menjadi fracture terbuka
dan fracture tertutup.Fracture terbuka adalah fraktur yang merusak jaringan kulit
sehingga terdapat hubungan fragmen tulang dengan dunia luar,sedangkan fraktur
tertutup merupakan fraktur tanpa hubungan antara fragmen tulang dan dunia
luar.Masalah yang sering muncul pada klien fraktur yang berada di rumah sakit
yaitu edema atau bengkak, nyeri, kurangnya defisit perawatan diri,penurunan
kekuatan otot (Nurarif Huda, 2015).
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah, maka rumusan masalah ini
adalah asuhan keperawatan medikal bedah ii pada tn. a dengan sistem
muskuloskletal : fraktur patella dextra diruangan tulip rumah sakit umum imelda
pekerja indonesia medan tahun 2023
1.3. Tujuan
1.4. Manfaat
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1. Pengertian
Fraktur merupakan rusaknya kontinuitas struktur tulang yang
menyebabkan pergeseran fragmen tulang hingga deformitas. Pada luka fraktur
dan luka insisi dapat terjadi edema dan nyeri yang mengakibatkan keterbatasan
lingkup gerak sendi, dan keterbatasan klien dalam menumpu berat badannya
sehingga sering kali klien mengalami gangguan mobilitas fisik (Celik et al.,
2018).
Ada beberapa macam fraktur berdasarkan hubungan tulang dengan
jaringan di sekitarnya dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. fraktur
terbuka merupakan fraktur yang merusak jaringan kulit sehingga terdapat
hubungan fragmen tulang dengan dunia luar, sedangkan fraktur tertutup
merupakan fraktur tanpa hubungan antara fragmen tulang dan dunia luar. fraktur
yang disebabkan oleh peristiwa trauma (traumatic fracture) dapat terjadi pada
kecelakaan lalu lintas maupun non lalu lintas (Ramadhani et al., 2019).
2.1.2. Klasifikasi
a. Berdasarkan perluasan
1) Fraktur komplit : terjadi apabila seluruh tubuh tulang patah/ kontinuitas
jaringan luas sehingga tulang terbagi dua bagian dan garis patahnya
menyeberang dari satu sisi ke sisi yang lain sehingga mengenai seluruh
korteks.
2) Fraktur tidak komplet/inkomplit : diskontinuitas jaringan tulang dengan garis
patahan tidak menyeberang sehingga masih ada korteks yang utuh.
b. Berdasarkan bentuk garis patahan
1) Fraktur linier/transversal : fraktur yang garis patahnya tegak lurus terhadap
sumbu panjang.
2) Fraktur oblique :fraktur yang garis patahnya membentuk sudut terhadap
tulang.
3) Fraktur spinal : fraktur yang hanya menimbulkan sedikit kerusakan jaringan
lunak.
4) Fraktur greenstick : fraktur yang tidak sempurna, sering terjadi pada anak-
anak karena korteks tulang dan periosteum belum tumbuh sempurna.
5) Fraktur bentuk T, Y : fraktur yang garis patahnya menyerupai huruf T atau
Y.
6) Fraktur compresive : fraktur yang terjadi ketika dua tulang menumbuk
tulang ketiga yang berada diantaranya.
c. Berdasarkan fragmen tulang
1) Fraktur simpel : terdiri dari dua fragmen.
2) Fraktur segmental : terdiri dari lebih dari dua fragmen.
3) Fraktur multiple : remuk.
d. Berdasarkan hubungan fragmen tulang dan jaringan sekitar
1) Fraktur tertutup : fraktur yang fragmen tulangnya tidak mempunyai
hubungan dengan dunia luar.
2) Fraktur terbuka : fraktur yang fragmen tulangnya pernah berhubungan
dengan dunia luar.
3) Fraktur komplikata : fraktur yang disertai kerusakan jaringan saraf,
pembuluh darah/organ yang ikut terkena.
4) Fraktur patologis : fraktur yang disebabkan oleh adanya penyakit lokal pada
tulang sehingga kekerasan dapat menyebabkan fraktur.
2.1.3. Etiologi
Fraktur disebabkan oleh pukulan langsung, gaya remuk, gerakan punter
mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem. Umumnya fraktur disebabkan
oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang. Pada orang
tua, perempuan lebih sering mengalami fraktur daripada laki-laki yang
berhubungan dengan meningkatnya insiden osteoporosis yang terkait dengan
perubahan hormon pada menopause (Kriestana, 2020).
Penyebab fraktur menurut (Andini, 2018) dapat dibedakan menjadi:
1. Cedera traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
1) Cedera langsung adalah pukula langsung terhadap tulang sehingga
tulang patah secara spontan
2) Cedera tidak langsung adalah pukulan langsung berada jauh dari
lokasi benturan
3) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak
2. Fraktur patologik
Kerusakan tulang akibat proses penyakit dengan traumaminor
mengakibatkan:
1) Tumor tulang adalah pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali
2) Infeksi seperti osteomielitis dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut
3) Rakitis
4) Secara spontan disebabkan oleh stres tulang yang terus menerus
Penyebab terbanyak fraktur adalah kecelakaan, baik itu kecelakaan kerja,
kecelakaan lalu lintas dan sebagainya. Tetapi fraktur juga bisa terjadi
akibat faktor lain seperti proses degeneratif dan patologi (Noorisa dkk,
2017).
2.1.4. Patofisiologi
Resiko
infeksi
kelemahan anggota
gerak
gangguan
integriras
kulit /
Resiko cedera jaringan
1. Syok
Syok hipovolemik atau traumatik, akibat perdarahan (baik kehilangan
darah eksterna maupun interna) dan kehilangan cairan ekstra sel ke
jaringan yang rusak (Smeltzer, 2015).
2. Sindrom emboli lemak
Pada saat terjadi fraktur, globula lemak dapat masuk kedalam darah karena
tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karena
katekolamin yang dilepaskan oleh reaksi stress pasien akan memobilisasi
asam lemak dan memudahkan terjadinya globula lemak dalam aliran
darah. Globula lemak akan bergabung dengan trombosit membentuk
emboli, yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil yang memasok
otak, paru, ginjal, dan organ lain. Awitan gejalanya yang sangat cepat
dapat terjadi dari beberapa jam sampai satu minggu setelah cedera, namun
paling sering terjadi dalam 24 sampai 72 jam (Smeltzer, 2015).
3. Sindrom kompartemen
Sindrom kompartemen merupakan masalah yang terjadi saat perfusi
jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan untuk jaringan, bisa
disebabkan karena penurunan kompartemen otot (karena fasia yang
membungkus otot terlalu ketat atau gips atau balutan yang menjerat) atau
peningkatan isi kompartemen otot (karena edema atau perdarahan)
(Smeltzer, 2015).
4. Penyatuan terlambat atau tidak ada penyatuan
Penyatuan terlambat terjadi bila penyembuhan tidak terjadi dengan
kecepatan normal. Penyatuan terlambat mungkin berhubungan dengan
infeksi sistemik dan distraksi (tarikan jauh) fragmen tulang.
5. Nekrosis avaskuler tulang
Nekrosis avaskuler terjadi bila tulang kehilangan asupan darah dan mati.
Tulang yang mati mengalami kolaps atau diabsorpsi dan diganti dengan
tulang baru.
6. Reaksi terhadap alat fiksasi interna Alat fiksasi interna biasanya diambil
setelah penyatuan tulang telah terjadi, namun pada kebanyakan pasien alat
tersebut tidak diangkat sampai menimbulkan gejala. Masalah yang dapat
terjadi meliputi kegagalan mekanis (pemasangan dan stabilisasi yang tidak
memadai), kegagalan material (alat yang cacat atau rusak), berkaratnya
alat, respon alergi terhadap campuran logam yang dipergunakan
(Smeltzer, 2015).
2.1.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan terapi latihan menurut Pramaswary (2016) meliputi :
1. Active exercise
3. Move yaitu gerakan abnormal ketika menggerakkan bagan yang cedera dan
kemampuan Range Of Motion (ROM) mengalami gangguan.
9) Pemeriksaan Persistem
1. Sistem Pernafasan
Dikaji dengan cara inspeksi, palpasi, auskultasi, perkusi. Dalam sistem ini
perlu dikaji mengenai bentuk hidung, kebersihan hidung, adanya sekret,
adanya pernafasan cuping hidung, bentuk dada, pergerakan dada simetris
atau tidak, bunyi nafas, adanya suara nafas tambahan atau tidak, frekuensi
dan irama nafas.
2. Sistem Kardiovaskuler
Dikaji mulai dari warna konjungtiva, warna bibir, tidak terdapat
peningkatan JVP, terdapat peningkatan frekuensi dan irama denyut nadi,
bunyi jantung tidak disertai suara tambahan, penurunan atau peningkatan
tekanan darah.
3. Sistem Pencernaan
Dikaji mulai dari mulut hingga anus, dalam sistem ini yang perlu dikaji
yaitu tidak adanya pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan,
mukosa mulut tidak pucat, bentuk abdomen datar, simetris, tidak ada
hernia, turgor kulit baik, hepar tidak teraba dan suara abdomen terdengar
timpani.
4. Sistem Perkemihan
Dikaji ada tidaknya pembengkakan dan nyeri pada daerah pinggang,
inspeksi dan palpasi pada daerah abdomen untuk mengkaji adanya retensi
urine, atau ada tidaknya nyeri tekan dan benjolan serta pengeluaran urine
apakah ada nyeri pada saat melakukan miksi (proses pengeluaran urine)
atau tidak.
5. Sistem Endokrin
Dalam sistem ini perlu dikaji apakah terdaapt pembesaran kelenjar tiroid
dan kelenjar getah bening.
6. Sistem Persyarafan Pada pasien fraktur terdapat adanya nyeri sehingga
perlu dikaji tingkat skala nyeri (0-10) serta perlu dikaji tingkat GCS dan
pemeriksaan fungsi syaraf kranial untuk mengidentifikasi kelainan atau
komplikasi yang ditimbulkan. Pemeriksaan Neuromuskular pada klien
fraktur meliputi 5 P yaitu : Pain adanya nyeri, Palor tampak pucat,
Parestesia sensasi kulit yang abnormal seperti terbakar atau menusuk-
nusuk yang terjadi tanpa stimulus dari luar, Pulse : denyut nadi yang
cepat / hilang, Pergerakan yang berkurang
7. Sistem Integumen
Perlu dikaji keaadaan kulit dengan inspeksi (turgor, kebersihan,
pigmentasi, tekstur dan lesi) serta perlu dikaji kuku dan keadaan rambut di
sekitar kulit atau ekstremitas untuk mengidentifikasi adanya udema atau
tidak.pada fraktur biasanya Terdapat eritema, suhu disekitar daerah
trauma meningkat, bengkak, dan adanya nyeri tekan.
8. Sistem Muskuloskeletal
Perlu dikaji kekuatan otot ekstremitas atas dan bawah. serta adanya
keterbatasan gerak, refleks pada ekstremitas atas dan bawah. Pada klien
Fraktur didapatkan keterbatasan gerak pada area ekstremitas yang
mengalami trauma dikarenakan adanya nyeri dan luka terbuka akibat
fraktur
9. Sistem Penglihatan
Perlu dikaji mengenai fungsi penglihatan, kesimetrisan mata antara kiri
dan kanan.
2. Risiko Infeksi
Tujuan Intervensi
Setelah diberikan tindakan asuhan 1. Monitor tanda dan gejala infeksi
keperawatan selama diharapkan local dan sistemik
klien 2. Batasi jumlah pengunjung
dapat terhindar dari risiko infeksi, 3. Berikan perawatan kulit pada
dengan area edema
kriteria hasil: 4. Cuci tangan sebelum dan
a. Demam menurun sesudah kontak dengan klien dan
b. Nyeri menurun lingkungan klien
c. Kemerahan menurun 5. Pertahankan tehnik aseptic pada
d. Bengkak menurun klien beresiko tinggi
e. Cairan berbau busuk menuru 6. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
f. Kultur dara meningkat 7. Ajarkan cara mencuci tangan
g. Kadar sel darah putih meningka dengan benar
h. Kebersihan tangan meningkat 8. Anjurkan meningkatkan asupan
nutrisi dan cairan
9. Kolaborasi pemberian obat
Sumber: SIKI (2018).
LAPORAN KASUS
3.1 RESUME
Hematologi Canggih
Darah Lengkap
MCV 92 um3 81 – 99
Basofil 0 % 0–1
Neutrofil 89.6 % 50 – 70
Limfosit 8.0 % 20 – 40
Monosit 1.0 % 2–8
Faal Hati
Faal Ginjal
Ureum/Urea-N 27 Mg/dl 13 – 50
Elektrolit
Elektrolit Lengkap
Hematologi Canggih
Darah Lengkap
MCV 94 um3 81 – 99
Basofil 0 % 0–1
Neutrofil 76.9 % 50 – 70
Limfosit 16.6 % 20 – 40
Elektrolit
Elektrolit Lengkap
Ansietas
Jelaskan penyebab,
metode, dan pemicu
nyeri.
Jelaskan strategi
meredakan nyeri.
Ajarkan teknik non
farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi:
Kolaborasi pemberian
analgetik
Resiko tinggi
Diagnosa Keperawatan
1. Resiko tinggi berhubungan dengan pembiusan ditandai dengan pasien
mengatakan tiba – tiba sulit bernafas, frekuensi nafas dan nadi naik turun,
pasien menggigil dan kedinginan, akral dingin, mual dan muntah.
Jelaskan penyebab,
metode, dan pemicu
nyeri.
Jelaskan strategi
meredakan nyeri.
Ajarkan teknik non
farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi:
Kolaborasi pemberian
analgetik
Kolaborasi pemberian
obat jika perlu
3 Gangguan Setelah dilakukan Observasi:
mobilitas fisik intervensi keperawatan 1. Identifikasi adanya
selama 3x24 jam maka nyeri atau keluhan fisik
mobilitas fisik lainnya
meningkat dengan 2. Identifikasi toleransi
kriteria hasil: fisik melakukan
1 Pergerakan pergerakan
ekstemitas 3. Monitor frekuensi
meningkat jantung dan tekanan
2 Kekuatan otot darah sebelum
meningkat memulai mobilisasi
3 Rentang gerak 4. Monitor kondisi umum
(ROM) selama melakukan
meningkat mobilisasi
4 Kelemahan fisik Terapeutik:
menurun - Fasilitasi aktivitas
mobilisasi dengan alat
bantu (mis. pagar
tempat tidur)- Fasilitasi
melakukan mobilisasi
dini
- Libatkan keluarga
untuk membantu
pasien dalam
meningkatkan
pergerakan
Edukasi:
- Jelaskan tujuan dan
prosedur mobilisasi
- Anjurkan melakukan
mobilisasi dini
- Ajarkan mobilisasi
sederhana yang harus
dilakukan (mis.duduk
di tempat tidur, duduk
di sisi tempat tidur,
pindah dari tempat
tidur ke kursi)
3.3.4. Implementasi dan Evaluasi
No Diagnosa Implementasi Evaluasi I Evaluasi II Evaluasi III
analgetik : A:
- Keterolac 1 amp/8jam A: Masalah teratasi sebagian A:
masalah belum teratasi Masalah teratasi sebagian
P:
P: Intervensi dilanjutkan P:
Intervensi dilanjutkan - kolaborasi dalam Intervensi dilanjutkan
- kolaborasi dalam pemberian - kolaborasi dalam
pemberian analgetik :Keterolac 1 pemberian
analgetik :Keterolac amp/8jam analgetik :Keterolac 1
1 amp/8jam - amp/8jam
4.2. Saran
Dalam pengobatan atau pemulihan diharapkan perawat memberikan
pemahaman pada pasien/keluarga terhadap kesehatan citra tubuh yang
berdasarkan kebutuhan biologis, psikologis, spiritual dan keluarga agar segera
bertindak dalam penyembuhan serta mempertahankan kemandirian.
DAFTAR PUSTAKA