KMB III
DISUSUN OLEH :
GATI RETNANING TYAS SUYOTO (20200910170071)
GYTA PERMATA (20200910170018)
I GEDE YOGI JUNIANTARA (20200910170072)
IKA PUSPITA (202009101700 )
INDAH PERTIWI (202009101700 )
INDRIA DWI ARIESTA (202009101700 )
INDRA IRAWATI (20200910170020)
IVAN BAGUS KURNIAWAN (202009101700 )
KETUT SAGITA SARASWATI (202009101700 )
KHOEROH FIRMANSYAH (202009101700 )
KHOIRIN NIDA (202009101700 )
MARIANAH (202009101700 )
KELAS TRANSFER B
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan rahm
at serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini dengan
tepat waktu, dengan judul “ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN FRAK
TUR ”.
Makalah ini di tulis dari hasil penyusunan data-data yang kami peroleh dari buku panduan ya
ng berkaitan dengan Keperawatan Medikal Bedah. Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kep
ada pengajar mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah atas bimbingan dan arahan dalam pen
ulisan makalah ini dan juga rekan-rekan mahasiswa yang telah mendukung sehingga dapat di
selesaikannnya makalah ini.
Kami harap, dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua, dalam ha
l ini dapat menambah wawasan kita mengenai ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
DENGAN FRAKTUR, khususnya bagi penulis. Memang makalah ini masih jauh dari kesem
purnaan, maka kami mengharapkann kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan menuju
arah yang lebih baik.
23 Oktober 2019
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Badan kesehatan dunia (WHO) mencatat ditahun 2011 terdapat lebih dari 5,6 juta ora
ng meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar 1,3 juta orang mengalami k
ecacatan fisik salah satu insiden kecelakaan yang memiliki prevalensi cukup tinggi ya
itu insiden fraktur ekstremitas bawah sekitar 40% dari insiden kecelakaan yang terjadi.
Fraktur merupakan suatu keadaan dimana terjadi integritas pada tulang. Penyebab ter
banyak adalah insiden kecelakaan, tetapi faktor lain seperti proses degeneratif dan ost
eoporosis juga dapat berpengaruh terhadap terjadinya fraktur. (Depkes RI, 2011).
Peran perawat dalam hal ini adalah pemberi asuhan keperawatan yang memperhatikan
keadaan maupun kebutuhan dasar pasien melalui pemberian pelayanan keperawatan
dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan, dari yang sederhana sampai
yang kompleks. perawat yang juga termasuk dalam pemberi asuhan pelayanan
kesehatan harus mampu memberikan asuhan keperawatan pada pasien yang
mengalami fraktur serta memberikan pendidikan kesehatan untuk mencegah
komplikasi.
Berdasarkan paparan diatas maka dalam makalah ini akan membahas asuhan
keperawatan yang diberikan kepada pasien dengan gangguan sistem muskuloskeletal
akibat Fraktur.
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. (s
meltzer, 2002)
Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh, yang biasanya disebabkan
oleh trauma atau ruda paksa atau tenaga fisik yang ditentukan jenius dan luas trauma. ( R
eves, 2001)
Fraktur adalah terputusnya kontunuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang disebabka
n oleh ruda paksa. (sjamsuhidayati, 2005)
Patah Tulang Tertutup adalah patah tulang dimana tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar (Soedarman,2010)
2.2 Etiologi
a) Kekerasan Langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan.
Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau
miring.
b) Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat
terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam
jalur hantaran vektor kekerasan.
c) Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa
pemuntiran, penekukan, penekanan, penarikan dan kombinasi ketiga nya.
d) Fraktur fatologis terjadi pada tulang karena adanya kelainan atau penyakit yang
menyebabkan kelemahan pada tulang (infeksi, tumor, kelainan bawaan) dan dapat
terjadi secara sepontan atau akibat trauma ringan.
e) Osteophorosis
2.3 Klasifikasi Fraktur
Menurut Mansjoer (2002) ada tidaknya hubungan antara patahan tulang dengan dunia
luar di bagi menjadi 2 antara lain:
a. Fraktur tertutup (closed)
Dikatakan tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia
luar, disebut dengan fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi. Pada
fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak
sekitar trauma, yaitu:
1) Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak
sekitarnya.
2) Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.
3) Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam
dan pembengkakan.
4) Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan
ancaman sindroma kompartement.
Menurut Mansjoer (2002) bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme
trauma ada 5 yaitu:
a.Fraktur Transversal : fraktur yang arahnya malintang pada tulang dan merupakan
akibat trauma angulasi atau langsung.
b.Fraktur Oblik : fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap
sumbu tulang dan merupakan akibat dari trauma angulasi juga.
c.Fraktur Spiral : fraktur yang arah garis patahnya sepiral yang di sebabkan oleh
trauma rotasi.
d.Fraktur Kompresi : fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang kea rah permukaan lain.
e. Fraktur Afulsi : fraktur yang di akibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot
pada insersinya pada tulang
Menurut Smeltzer dan Bare (2001) jumlah garis patahan ada 3 antara lain:
a. Fraktur Komunitif : fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
b. Fraktur Segmental : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.
c. Fraktur Multiple : fraktur diman garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang
yang sama.
2.4 Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk
menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang diserap
tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau
terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah
serta saraf dalam korteks, marrow dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak.
Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga
medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan
yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai
dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih.
Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya.
Kerusakan jaringan tulang memicu respons inflamasi intensif yang menyebabkan
sel-sel dari jaringan lunak disekitarnya serta akan menginvasi daerah fraktur dan aliran
darah keseluruh tulang akan mengalami peningkatan. Sel-sel osteoblast didalam
periosteum, dan endosteum akan memproduksi osteoid (tulang muda dari jaringan
kolagen yang belum mengalami klasifikasi, yang juga disebut kalus). Osteoid ini akan
mengeras disepanjang permukaan luar korpus tulang dan pada kedua ujung patahan
tulang. Sel-sel osteoklast mereabsorpsi material dari tulang yang terbentuk sebelumnya
dan sel-sel osteoblast membangun kembali tulang tersebut. Kemudian osteoblast
mengadakan transformasi menjadi osteosit (sel-sel tulang yang matur). (Kowalak,P
Jennifer,2012)
b) Fraktur Tertutup
Penatalaksanaan fraktur tertutup yaitu dengan pembedahan, perlu diperhatikan karena
memerlukan asuhan keperawatan yang komprehensif perioperatif yaitu reduksi
tertutup dengan memberikan traksi secara lanjut dan counter traksi yaitu
memanipulasi serta imobilisasi eksternal dengan menggunakan gips. Reduksi tertutup
yaitu dengan memberikan fiksasi eksternal atau fiksasi perkuatan dengan K-wire.
c) Seluruh Fraktur
Menurut Mansjoer (2000) dan Muttaqin (2008) konsep dasar yang harus
dipertimbangkan pada waktu menangani fraktur yaitu : rekognisi, reduksi, retensi, dan
rehabilitasi.
1) Rekognisi ( Pengenalan )
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan di
agnosa dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur tungkai akan teras
a nyeri sekali dan bengkak. Kelainan bentuk yang nyata dapat menentukan disko
ntinuitas integritas rangka.
2) Reduksi (manipulasi/ reposisi)
Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen fragme
n tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi seperti letak asalnya. Upaya u
ntuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara opti
mal. Reduksi tertutup, traksi dan reduksi terbuka dapat dilakukan untuk
mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur, namun
prinsip yang mendasarinya tetap sama. Biasanya dokter melakukan reduksi
fraktur sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilangan
elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan
kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami
penyembuhan. Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus
dipersiapkan untuk menjalani prosedur; harus diperoleh izin untuk melakukan
prosedur dan analgetika diberikan sesuai ketentuan. Mungkin perlu dilakukan
anastesia. Ekstremitas yang akan dimanipulasi harus ditangani dengan lembut
untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.
Reduksi Tertutup
Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan
fragmen tulang keposisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan
manipulasi dan traksi manual. Ekstremitas dipertahankan dalam posisi yang
diinginkan. Sementara gips, bidai dan alat lain dipasang oleh dokter. Alat
immobilisasi akan menjaga reduksi dan menstabilkan ekstremitas untuk
penyembuhan tulang. Sinar-x harus dilakukan untuk mengetahui apakah
fragmen tulang telah dalam kesejajaran yang benar.
Traksi
Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi.
Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Sinar-x
digunakan untuk memantau reduksi fraktur dan aproksimasi fragmen tulang.
Ketika tulang sembuh, akan terlihat pembentukan kalus pada sinar-x. Ketika
kalus telah kuat dapat dipasang gips atau bidai untuk melanjutkan
imobilisasi.
Reduksi terbuka
Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan pendekatan
bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin,
kawat, sekrup, plat paku atau batangan logam digunakan untuk
mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan
tulang yang solid terjadi. Alat ini dapat diletakkan disisi tulang atau
langsung ke rongga sumsum tulang, alat tersebut menjaga aproksimasi dan
fiksasi yang kuat bagi fragmen tulang.
3) Retensi (Immobilisasi)
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus di
imobilisasi, atau di pertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terj
adi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna.
Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin, da
n teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat di gunakan untuk fiksa
si intrerna yang brperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur. Fik
sasi eksterna adalah alat yang diletakkan diluar kulit untuk menstabilisasikan fra
gmen tulang dengan memasukkan dua atau tiga pin metal perkutaneus menembu
s tulang pada bagian proksimal dan distal dari tempat fraktur dan pin tersebut di
hubungkan satu sama lain dengan menggunakan eksternal bars. Teknik ini teruta
ma atau kebanyakan digunakan untuk fraktur pada tulang tibia, tetapi juga dapat
dilakukan pada tulang femur, humerus dan pelvis (Mansjoer, 2000).
4) Rehabilitasi
Mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin untuk menghi
ndari atropi atau kontraktur dengan fisioterapi. Bila keadaan mmeungkinkan, har
us segera dimulai melakukan latihan-latihan untuk mempertahankan kekuatan a
nggota tubuh dan mobilisasi (Mansjoer, 2000).
Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan. Latihan
isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan
meningkatkan peredaran darah. Pastisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari
diusahakan untuk memperbaiki kemandirian fungsi.
2.8 Komplikasi
a. Trauma syaraf
b. Trauma pembuluh darah
c. Indikasi ischemia post trauma: pain, pulseless, parasthesia, pale, paralise menjadi
kompartemen syndrome : kumpulan gejala yang terjadi karena kerusakan akibat
trauma dalam jangka waktu 6 jam pertama, jika tidak dibersihkan maka sampai terjadi
nekrose yang menyebabkan terjadinya amputasi.
d. Komplikasi tulang :
a) Delayed union : penyatuan tulang lambat
b) Non union (tidak bisa nyambung)
c) Mal union (salah sambung)
d) Kekakuan sendi
e) Nekrosis avaskuler
f) Osteoarthritis
g) Reflek simpatik distrofi
e. Stres pasca traumatik
f. Dapat timbul emboli lemak setelah patah tulang, terutama tulang panjang
b) PemeriksaanFisik
1) Feel (palpasi)
a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit. Capillary
refill time Normal 3 – 5 “
b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutam
a disekitar persendian.
c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal, teng
ah, atau distal).Otot: tonus pada waktu relaksasi atau kontraksi, benjolan ya
ng terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiks
a status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dide
skripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau
permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan pada klien dengan fraktur menurut SDKI (Standar Diagnosis
Keperawatan Indonesia) 2017 , antara lalin :
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik
b. Resiko disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan fraktur dan
immobilisasi
c. Resiko Gangguan Integritas kulit/Jaringan berhubungan dengan penekanan pada
tonjolan tulang
d. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas struktur tulang
e. Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan primer
(kerusakan integritas kulit, prosedur invasif/traksi tulang
3. Perencanaan dan Intervensi Keperawatan
Perencanaan dan Intervensi Keperawatan klien dengan Fraktur menurut SLKI
(Standar Luaran Keperawatan Indonesia) 2017 dan SIKI (Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia) 2017, antara lain :
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien mengatakan
nyeri menurun, tidak meringis kesakitan, tanda tanda vital dalam batas normal,
tidak gelisah,
Intervensi:
1) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan intensitas nyeri
2) Identifikasi skala nyeri
3) Identifikasi respon nyeri non verbal
4) Berikan tekhnik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (misal terapi
musik, hipnosis, aromaterapi).
5) Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri ( misal kebisingan)
6) Jelaskan strategi meredakan nyeri
7) Kolaborasi pemberian analgetik
4 Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
perawat dalam membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi
menuju kesehatan yang lebih baik yang sesuai dengan intervensi atau rencana
keperawatan yang telah dibuat sebelumnya ( Potter,2015)
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah perbandingan sistemik dan terperinci mengenai kesehatan klien
dengan tujuan yang ditetapkan, evaluasi dilakukan berkesinambungan yang
melibatkan klien dan tenaga medis lainnya. Evaluasi dalam keperawatan yaitu
kegiatab untuk menilai tindakan keperawatan yang telah dipilih untuk memenuhi
kebutuhan klien secara optimal dan mengukur dari proses keperawatan
(Potter,2015)
TINJAUAN KASUS
Fraktur Femur
Seorang laki-laki berusia 47 tahun dirawat di ruang orthopaedi karena patah tulang akibat
KLL. Hasil pengkajian: mengeluh nyeri yang semakin meningkat jika bergerak, ekimosis dan
edema di femur dextra, TD 140/98 mmHg, frekuensi nadi95 x/mnt teraba kuat, pernapasan21
x/mnt, suhu 37°C. Pada pemeriksaan fisik di regio femur dextra didapatkan ekternal rotation
(eksorotasi), swelling (+); nyeri tekan (+); status neurovaskuler distal (NVD) baik, arteri
dorsalis pedis (+), akral hangat, pucat (-), sensasi (+). Gerakan pasien terbatas. Hasil rongent
didapatkan closed fracture shaft femur dextra. Direncanakan akan dilakukan operasi ORIF
dua hari mendatang, dengan menggunakan plate (broad plate 14 hole) and screw (6 screw).
Jawab :
A. Pengkajian
Data Subjektif :
Klien mengeluh nyeri yang semakin meningkat jika bergerak
Data Objektif :
Ekimosis dan edema di femur dextra
TD 140/98 mmHg, frekuensi nadi95 x/mnt teraba kuat, pernapasan21 x/mnt, suhu 37°
C
Skala nyeri 6
Pada pemeriksaan fisik di regio femur dextra didapatkan ekternal rotation
(eksorotasi), swelling (+); nyeri tekan (+); status neurovaskuler distal (NVD) baik,
arteri dorsalis pedis (+), akral hangat, pucat (-), sensasi (+).
Hasil rongent didapatkan closed fracture shaft femur dextra.
Gerakan pasien terbatas
Direncanakan akan dilakukan operasi ORIF dua hari mendatang, dengan
menggunakan plate (broad plate 14 hole) and screw (6 screw).
Analisa Data
Data Etiologi Masalah
S: NyeriAkut
Klienmengeluhnyeri Trauma langsung (KLL)
yang
semakinmeningkatjika DiskontinuitasTulang
bergerak
O:
Ekimosis dan edema di Pergeseranfragementu
langdanterjadi proses i
femur dextra
nflamasi
TD 140/98 mmHg,
frekuensi nadi95 x/mnt
Pergeseranfragementu
teraba kuat,
langdanterjadi proses i
pernapasan21 x/mnt, nflamasi
suhu 37°C
Pada pemeriksaan fisik
Menekanujungsarafbe
di regio femur dextra bas
didapatkan ekternal
Noniseptor
rotation (eksorotasi),
swelling (+); nyeri
Menekanujungsarafbe
tekan (+); status bas
neurovaskuler distal
Merangsang medulla s
(NVD) baik, arteri
pinalis
dorsalis pedis (+), akral
hangat, pucat (-), Pesandisampaiakankek
sensasi (+). orteksserebri
Hasil rongent
Nyeri
didapatkan closed
fracture shaft femur
dextra.
S: Kurangterpaparinformasi DefisitPengetahuanTen
Seorang laki-laki tangProsedurOperasi
berusia 47 tahun (ORIF)
dirawat di ruang
orthopaedi karena
patah tulang akibat
KLL.
O:
Hasil rongent
didapatkan closed
fracture shaft femur
dextra.
Direncanakan akan
dilakukan operasi
ORIF dua hari
mendatang, dengan
menggunakan plate
(broad plate 14 hole)
and screw (6 screw).
B. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri Akut berhubungan dengan agen pencedera fisik trauma
b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas struktur tulang
c. Defisit Pengetahuan Tentang Prosedur Operasi (ORIF)
C. Intervensi Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik truma
Kriteria hasil : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan pasien
mampu mengontrol nyeri dan melaporkan bahwa nyeri berkurang.
Intervensi :
Kriteria hasil : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan pasien
meningkat dalam aktivitas fisik, pasien mengatakan nyeri berkurang,.
Intervensi :
Monitoring vital sign sebelum / sesudah latihan dan lihat respon pasien saat latihan
kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
dampingi dan bantu pasien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan.
ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan seperti duduk ditempat tidur
Kriteria hasil : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan
pengetahuan tentang persiapan operasi meningkat
Intervensi :
DAFTAR PUSTAKA
Adam. (2009). Fisiologi dan Anatomi Modern untuk Perawat ( Edisi 4 ). Jakarta: EGC
Black, Joice M, dkk. (2014). Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis untuk Hasil ya
ng Diharapkan. Edisi. 8, Vol. 3. (dr. Joko Mulyanto, M.Sc, penerjemah). Jakarta: Salemb
a Medika
Lukman, Nurna Ningsih.(2009). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Pada
Sistem Muskuloskeletal. Jakarta : Salemba Medika
Panggabean M. Maulana. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. (Edisi 6). Jakarta: Interna
Publishing.
Perry, A.G & Potter,P. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan. (Monica Ester, penerje
mah). Jakarta: EGC
Price, Sylvia Anderson. (2006). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi.
6, Vol. 2 (Brahm U. Pendit, penerjemah). Jakarta: EGC