Anda di halaman 1dari 25

TUGAS KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH III

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN FRAKTUR

KMB III

DISUSUN OLEH :
GATI RETNANING TYAS SUYOTO (20200910170071)
GYTA PERMATA (20200910170018)
I GEDE YOGI JUNIANTARA (20200910170072)
IKA PUSPITA (202009101700 )
INDAH PERTIWI (202009101700 )
INDRIA DWI ARIESTA (202009101700 )
INDRA IRAWATI (20200910170020)
IVAN BAGUS KURNIAWAN (202009101700 )
KETUT SAGITA SARASWATI (202009101700 )
KHOEROH FIRMANSYAH (202009101700 )
KHOIRIN NIDA (202009101700 )
MARIANAH (202009101700 )

KELAS TRANSFER B

PROGRAM SARJANA KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan rahm
at serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini dengan
tepat waktu, dengan judul “ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN FRAK
TUR ”.

Makalah ini di tulis dari hasil penyusunan data-data yang kami peroleh dari buku panduan ya
ng berkaitan dengan Keperawatan Medikal Bedah. Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kep
ada pengajar mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah atas bimbingan dan arahan dalam pen
ulisan makalah ini dan juga rekan-rekan mahasiswa yang telah mendukung sehingga dapat di
selesaikannnya makalah ini.

Kami harap, dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua, dalam ha
l ini dapat menambah wawasan kita mengenai ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
DENGAN FRAKTUR, khususnya bagi penulis. Memang makalah ini masih jauh dari kesem
purnaan, maka kami mengharapkann kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan menuju
arah yang lebih baik.

23 Oktober 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1       Latar Belakang


Tulang mempunyai banyak fungsi yaitu sebagai penunjang jaringan tubuh, pelindung
organ tubuh, memungkinkan gerakan dan berfungsi sebagai tempat penyimpanan gara
m mineral. Namun fungsi tersebut bisa saja hilang akibat terjatuh, benturan atau kecel
akaan. Kecelakaan lalu lintas merupakan salah satu prioritas penanggulangan penyakit
tidak menular berdasarkan Kepmenkes 116/Menkes/SK/VIII/2003. Kecelakaan lalu li
ntas menempati urutan ke 9 pada DALY (Disability Adjusted Life Year) dan diperkira
kan akan menjadi peringkat ke-3 di tahun 2020, sedangkan di negara berkembang me
nempati urutan ke-2.

Badan kesehatan dunia (WHO) mencatat ditahun 2011 terdapat lebih dari 5,6 juta ora
ng meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar 1,3 juta orang mengalami k
ecacatan fisik salah satu insiden kecelakaan yang memiliki prevalensi cukup tinggi ya
itu insiden fraktur ekstremitas bawah sekitar 40% dari insiden kecelakaan yang terjadi.
Fraktur merupakan suatu keadaan dimana terjadi integritas pada tulang. Penyebab ter
banyak adalah insiden kecelakaan, tetapi faktor lain seperti proses degeneratif dan ost
eoporosis juga dapat berpengaruh terhadap terjadinya fraktur. (Depkes RI, 2011).

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) oleh Badan Penelitian


Depkes RI tahun 2011 di Indonesia , didapatkan sekitar 2700 orang mengalami
fraktur, 56% penderita mengalami kecelakaan fisik, 24% mengalami kematian, 15%
mengalami kesembuhan dan 5% mengalami gangguan psikologis atau depresi
terhadap adanya kejadian fraktur. Menurut data dari Sistem Informasi Rumah Sakit
(SIRS) 2010, kasus patah tulang mengalami peningkatan setiap tahun sejak 2007,
pada tahun 2007 ada 22.815 insiden patah tulang, pada 2008 insiden patah tulang
36.947 menjadi 42.280 dan pada tahun 2010 ada 43.003 kasus.

Peran perawat dalam hal ini adalah pemberi asuhan keperawatan yang memperhatikan
keadaan maupun kebutuhan dasar pasien melalui pemberian pelayanan keperawatan
dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan, dari yang sederhana sampai
yang kompleks. perawat yang juga termasuk dalam pemberi asuhan pelayanan
kesehatan harus mampu memberikan asuhan keperawatan pada pasien yang
mengalami fraktur serta memberikan pendidikan kesehatan untuk mencegah
komplikasi.

Berdasarkan paparan diatas maka dalam makalah ini akan membahas asuhan
keperawatan yang diberikan kepada pasien dengan gangguan sistem muskuloskeletal
akibat Fraktur.

1.2       Tujuan Penulisan


                  1. Tujuan Umum
Mampu memahami dan memberikan asuhan keperawatan yang tepat pada pasien
dengan Fraktur Femur.
                   2. Tujuan Khusus
a) Mampu memahami pengertian dari FrakturFemur.
b) Mampu memahami penyebab dari Fraktur Femur.
c) Mampu memahami patofisiologi Fraktur Femur.
d) Mampu memahami manifestasi klinis dari Fraktur Femur.
e) Mampu memahami klasifikasi Fraktur Femur.
f) Mampu memahami pemeriksaan diagnostik dari Fraktur Femur.
g) Mampu memahami penatalaksanaan medis dari Fraktur Femur.
h) Mampu memahami komplikasi dari Fraktur Femur.
i) Mampu memberikan asuhan keperawatan yang tepat pada pasien Fraktur
Femur.

BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1  Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. (s
meltzer, 2002)

Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh, yang biasanya disebabkan
oleh trauma atau ruda paksa atau tenaga fisik yang ditentukan jenius dan luas trauma. ( R
eves, 2001)

Fraktur adalah terputusnya kontunuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang disebabka
n oleh ruda paksa. (sjamsuhidayati, 2005)

Patah Tulang Tertutup adalah patah tulang dimana tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar (Soedarman,2010)

2.2  Etiologi
a) Kekerasan Langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan.
Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau
miring.
b) Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat
terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam
jalur hantaran vektor kekerasan.
c) Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa
pemuntiran, penekukan, penekanan, penarikan dan kombinasi ketiga nya.
d) Fraktur fatologis terjadi pada tulang karena adanya kelainan atau penyakit yang
menyebabkan kelemahan pada tulang (infeksi, tumor, kelainan bawaan) dan dapat
terjadi secara sepontan atau akibat trauma ringan.
e) Osteophorosis
2.3  Klasifikasi Fraktur
Menurut Mansjoer (2002) ada tidaknya hubungan antara patahan tulang dengan dunia
luar di bagi menjadi 2 antara lain:
a. Fraktur tertutup (closed)

Dikatakan tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia
luar, disebut dengan fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi. Pada
fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak
sekitar trauma, yaitu:
1) Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak
sekitarnya.
2) Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.
3) Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam
dan pembengkakan.
4) Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan
ancaman sindroma kompartement.

b. Fraktur terbuka (open/compound fraktur)


Dikatakan terbuka bila tulang yang patah menembus otot dan kulit yang
memungkinkan / potensial untuk terjadi infeksi dimana kuman dari luar dapat masuk
ke dalam luka sampai ke tulang yang patah. Derajat patah tulang terbuka :
1) Derajat I : Laserasi < 2 cm, fraktur sederhana, dislokasi fragmen minimal.
2) Derajat II : Laserasi > 2 cm, kontusio otot dan sekitarnya, dislokasi fragmen
jelas.
3) Derajat III : Luka lebar, rusak hebat, atau hilang jaringan sekitar.

Menurut Mansjoer (2002) derajat kerusakan tulang dibagi menjadi 2 yaitu:


a. Patah tulang lengkap (Complete fraktur)
Dikatakan lengkap bila patahan tulang terpisah satu dengan yang lainya, atau garis
fraktur melibatkan seluruh potongan menyilang dari tulang dan fragmen tulang
biasanya berubak tempat.
b. Patah tulang tidak lengkap ( Incomplete fraktur )
Bila antara oatahan tulang masih ada hubungan sebagian. Salah satu sisi patah
yang lainya biasanya hanya bengkok yang sering disebut green stick. Menurut
Price dan Wilson ( 2005) kekuatan dan sudut dari tenaga fisik,keadaan tulang, dan
jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu
lengkap atau tidak lengkap.

Menurut Mansjoer (2002) bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme
trauma ada 5 yaitu:
a.Fraktur Transversal : fraktur yang arahnya malintang pada tulang dan merupakan
akibat trauma angulasi atau langsung.
b.Fraktur Oblik : fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap
sumbu tulang dan merupakan akibat dari trauma angulasi juga.
c.Fraktur Spiral : fraktur yang arah garis patahnya sepiral yang di sebabkan oleh
trauma rotasi.
d.Fraktur Kompresi : fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang kea rah permukaan lain.
e. Fraktur Afulsi : fraktur yang di akibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot
pada insersinya pada tulang

Menurut Smeltzer dan Bare (2001) jumlah garis patahan ada 3 antara lain:
a. Fraktur Komunitif : fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
b. Fraktur Segmental : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.
c. Fraktur Multiple : fraktur diman garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang
yang sama.

2.4  Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk
menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang diserap
tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau
terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah
serta saraf dalam korteks, marrow dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak.
Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga
medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan
yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai
dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih.
Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya.
Kerusakan jaringan tulang memicu respons inflamasi intensif yang menyebabkan
sel-sel dari jaringan lunak disekitarnya serta akan menginvasi daerah fraktur dan aliran
darah keseluruh tulang akan mengalami peningkatan. Sel-sel osteoblast didalam
periosteum, dan endosteum akan memproduksi osteoid (tulang muda dari jaringan
kolagen yang belum mengalami klasifikasi, yang juga disebut kalus). Osteoid ini akan
mengeras disepanjang permukaan luar korpus tulang dan pada kedua ujung patahan
tulang. Sel-sel osteoklast mereabsorpsi material dari tulang yang terbentuk sebelumnya
dan sel-sel osteoblast membangun kembali tulang tersebut. Kemudian osteoblast
mengadakan transformasi menjadi osteosit (sel-sel tulang yang matur). (Kowalak,P
Jennifer,2012)

2.5  Manisfestasi Klinis


Tanda dan gejala menurut Jutowiyono.Sugeng.2010:
a. Tidak dapat menggunakan anggota gerak
b. Nyeri
c. Echimosis (memar)
d. Deformitas
e. Pergerakkan abnormal
f. Krepitasi
g. Odema/Bengkak : muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi darah dalam
jaringan yang berdekatan dengan fraktur.
h. Kurang/Kehilangan sensasi (mati rasa mungkin terjadi dari rusaknya saraf atau
perdarahan)
i. Rontgen abnormal

2.6  Pemeriksaan Diagnostik


Menurut Rendy,M Clevo.2012:
a.Pemeriksaan Rontgen.
Untuk mendeteksi adanya kelainan pada tulang, lokasi dan luasnya trauma
b. Scan tulang, CT Scan / MRI. Untuk memperlihatkan fraktur juga dapat
digunakan untuk mengidenti
c.Arteriogram. Dilakukan bila dicurigai ada kerusakan vaskuler
d. Hitung darah lengkap HB mungkin meningkat atau menurun dan Hematokrit
mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan)
e.Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk ginjal

2.7  Penatalaksanaan Medis


a) Fraktur Terbuka
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh bakteri dan disertai
perdarahan hebat dalam waktu 6-8 jam (golden periode). Kuman belum terlalu jauh
meresap dilakukan :
 Pembersihan luka
 Exici
 Hecting situasi
 Pemberian antibiotik

b) Fraktur Tertutup
Penatalaksanaan fraktur tertutup yaitu dengan pembedahan, perlu diperhatikan karena
memerlukan asuhan keperawatan yang komprehensif perioperatif yaitu reduksi
tertutup dengan memberikan traksi secara lanjut dan counter traksi yaitu
memanipulasi serta imobilisasi eksternal dengan menggunakan gips. Reduksi tertutup
yaitu dengan memberikan fiksasi eksternal atau fiksasi perkuatan dengan K-wire.

c) Seluruh Fraktur
Menurut Mansjoer (2000) dan Muttaqin (2008) konsep dasar yang harus
dipertimbangkan pada waktu menangani fraktur yaitu : rekognisi, reduksi, retensi, dan
rehabilitasi.
1) Rekognisi ( Pengenalan )
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan di
agnosa dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur tungkai akan teras
a nyeri sekali dan bengkak. Kelainan bentuk yang nyata dapat menentukan disko
ntinuitas integritas rangka.
2) Reduksi (manipulasi/ reposisi)
Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen fragme
n tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi seperti letak asalnya. Upaya u
ntuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara opti
mal. Reduksi tertutup, traksi dan reduksi terbuka dapat dilakukan untuk
mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur, namun
prinsip yang mendasarinya tetap sama. Biasanya dokter melakukan reduksi
fraktur sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilangan
elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan
kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami
penyembuhan. Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus
dipersiapkan untuk menjalani prosedur; harus diperoleh izin untuk melakukan
prosedur dan analgetika diberikan sesuai ketentuan. Mungkin perlu dilakukan
anastesia. Ekstremitas yang akan dimanipulasi harus ditangani dengan lembut
untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.
 Reduksi Tertutup
Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan
fragmen tulang keposisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan
manipulasi dan traksi manual. Ekstremitas dipertahankan dalam posisi yang
diinginkan. Sementara gips, bidai dan alat lain dipasang oleh dokter. Alat
immobilisasi akan menjaga reduksi dan menstabilkan ekstremitas untuk
penyembuhan tulang. Sinar-x harus dilakukan untuk mengetahui apakah
fragmen tulang telah dalam kesejajaran yang benar.
 Traksi
Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi.
Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Sinar-x
digunakan untuk memantau reduksi fraktur dan aproksimasi fragmen tulang.
Ketika tulang sembuh, akan terlihat pembentukan kalus pada sinar-x. Ketika
kalus telah kuat dapat dipasang gips atau bidai untuk melanjutkan
imobilisasi.
 Reduksi terbuka
Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan pendekatan
bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin,
kawat, sekrup, plat paku atau batangan logam digunakan untuk
mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan
tulang yang solid terjadi. Alat ini dapat diletakkan disisi tulang atau
langsung ke rongga sumsum tulang, alat tersebut menjaga aproksimasi dan
fiksasi yang kuat bagi fragmen tulang.
3) Retensi (Immobilisasi)
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus di
imobilisasi, atau di pertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terj
adi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna.
Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin, da
n teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat di gunakan untuk fiksa
si intrerna yang brperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur. Fik
sasi eksterna adalah alat yang diletakkan diluar kulit untuk menstabilisasikan fra
gmen tulang dengan memasukkan dua atau tiga pin metal perkutaneus menembu
s tulang pada bagian proksimal dan distal dari tempat fraktur dan pin tersebut di
hubungkan satu sama lain dengan menggunakan eksternal bars. Teknik ini teruta
ma atau kebanyakan digunakan untuk fraktur pada tulang tibia, tetapi juga dapat
dilakukan pada tulang femur, humerus dan pelvis (Mansjoer, 2000).

4) Rehabilitasi
Mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin untuk menghi
ndari atropi atau kontraktur dengan fisioterapi. Bila keadaan mmeungkinkan, har
us segera dimulai melakukan latihan-latihan untuk mempertahankan kekuatan a
nggota tubuh dan mobilisasi (Mansjoer, 2000).
Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan. Latihan
isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan
meningkatkan peredaran darah. Pastisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari
diusahakan untuk memperbaiki kemandirian fungsi.

2.8 Komplikasi
a. Trauma syaraf
b. Trauma pembuluh darah
c. Indikasi ischemia post trauma: pain, pulseless, parasthesia, pale, paralise menjadi
kompartemen syndrome : kumpulan gejala yang terjadi karena kerusakan akibat
trauma dalam jangka waktu 6 jam pertama, jika tidak dibersihkan maka sampai terjadi
nekrose yang menyebabkan terjadinya amputasi.
d. Komplikasi tulang :
a) Delayed union : penyatuan tulang lambat
b) Non union (tidak bisa nyambung)
c) Mal union (salah sambung)
d) Kekakuan sendi
e) Nekrosis avaskuler
f) Osteoarthritis
g) Reflek simpatik distrofi
e. Stres pasca traumatik
f. Dapat timbul emboli lemak setelah patah tulang, terutama tulang panjang

2.9 Konsep Asuhan Keperawatan


Didalam memberikan asuhan keperawatan digunakan system atau metode proses
keperawatan yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi 5 tahap, yaitu pengkajian
keperawatan, diagnosa keperawatan, perencanaan keperawatan, pelaksanaan, dan evaluasi
keperawatan.
1. Pengkajian Keperawatan
a) Anamnesa
1) Identitas klien
Meliputi nama, jenis kelamin, nomor register, umur, alamat, agama, bahasa
yangs dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan.
2) Keluhan utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri terseb
ut bias akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. pengkajian berupa:
Provoking Incident, Quality of Pain, Region, Severity (Scale) of Pain, Time
(PQRST).
 Provoking Incident : apakah ada peristiwa yang menjadi faktor prsipitasi
nyeri.
 Quality of Pain : seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan
klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut atau menusuk.
 Region : radiation, relief; apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar dan dimana rasa sakit terjadi.
 Severity (Scale) of Pain : seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa
berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
memperngaruhi kemampuan fungsinya.
 Time : berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada
malam hari atau siang hari.

3) Riwayat penyakit sekarang


Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang n
antinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa ber
upa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bias ditentukan ke
kuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan men
getahui mekanisme terjadinya kecelakaan bias diketahui luka kecelakaan yang la
in (Ignatavicius, Donna D, 1995).
4) Riwayat penyakit dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi pet
unjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit
tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur
patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes
dengan luka di kaki sangat beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun
kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang
5) Riwayat penyakit keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah
satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang
sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung
diturunkan secara genetik.
6) Riwayatpsikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran
klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat.
7) Pola-pola fungsi kesehatan
(a) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat.
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada
dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu
penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan
hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu
metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu
keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.(IDonna
D,1995).

(b) Pola Nutrisi dan Metabolisme


Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-
harinya seperti kalsium, zat besi, protein vit C dan lainnya untuk membantu
proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa
membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan
mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium
atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor
predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu
obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
(c) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi w
alaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces
pada pola eliminasi. Sedangkan pada pola eliminasi urin dikaji frekuensi,
kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada k
esulitan atau tidak. 
(d) Pola Tidur dan Istirahat 
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini
dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga,
pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan
tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur (Doengos. Marilynn E,
2002).
(e) Pola aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan kli
en menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang l
ain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerja
an klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fr
aktur dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(f) Pola hubungan dan peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena
klien harus menjalani rawat inap  (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(g) Pola persepsi dan konsep diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecac
atan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan a
ktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (ganggua
n body image) (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(h) Polasensoridankognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal
fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga
pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa
nyeri akibat fraktur (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(i) Polareproduksiseksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seks
ual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyer
i yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya terma
suk jumlah anak, lama perkawinannya (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(j) Pola penanggulangan stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketakuta
n timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang
ditempuh klien bisa tidak efektif.
(k) Pola tata nilai dan keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan
baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena
nyeri dan keterbatasan gerak klien

b) PemeriksaanFisik
1) Feel (palpasi)
a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit. Capillary
refill time  Normal 3 – 5 “
b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutam
a disekitar persendian.
c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal, teng
ah, atau distal).Otot: tonus pada waktu relaksasi atau kontraksi, benjolan ya
ng terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiks
a status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dide
skripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau  
permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.

2) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)


Setelah melakukan pemeriksaan feel ,kemudian diteruskan dengan menggerakan
ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatat
an lingkup gerakin perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesuda
hnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mu
lai dari titik 0 (posisinetral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini
menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang
dilihat adalah gerakan aktif dan pasif(Soelarto, 1995).

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan pada klien dengan fraktur menurut SDKI (Standar Diagnosis
Keperawatan Indonesia) 2017 , antara lalin :
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik
b. Resiko disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan fraktur dan
immobilisasi
c. Resiko Gangguan Integritas kulit/Jaringan berhubungan dengan penekanan pada
tonjolan tulang
d. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas struktur tulang
e. Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan primer
(kerusakan integritas kulit, prosedur invasif/traksi tulang
3. Perencanaan dan Intervensi Keperawatan
Perencanaan dan Intervensi Keperawatan klien dengan Fraktur menurut SLKI
(Standar Luaran Keperawatan Indonesia) 2017 dan SIKI (Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia) 2017, antara lain :
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien mengatakan
nyeri menurun, tidak meringis kesakitan, tanda tanda vital dalam batas normal,
tidak gelisah,
Intervensi:
1) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan intensitas nyeri
2) Identifikasi skala nyeri
3) Identifikasi respon nyeri non verbal
4) Berikan tekhnik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (misal terapi
musik, hipnosis, aromaterapi).
5) Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri ( misal kebisingan)
6) Jelaskan strategi meredakan nyeri
7) Kolaborasi pemberian analgetik

b. Resiko disfungsi nerurovaskuler perifer berhubungan dengan fraktur dan


immobilisasi
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan tanda-tanda vital
dalam batas normal, Klien mengatakan nyeri berkurang, perdarahan menurun,
pergerakkan sendi meningkat, pergerakkan ekstremitas meningkat.
Intervensi:
1) Identifikasi penyebab perubahan sensasi
2) Periksa perbedaan sensasi tajam dan tumpul
3) Monitor perubahan kulit
4) Anjurkan memakai sepatu lembut dan bertumit rendah
5) Kolaborasi pemberian analgesik dan kortikosteroid jika perlu

c. Resiko gangguan integritas kulit / jaringan berhubungan dengan penekanan pada


tonjolan tulang
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkam elastisitas
meningkat, perfusi jaringan meningkat, kerusakan jaringan dan lapisan kulit
menurun, nyeri berkurang, perdarahan menurun.
Intervensi :
1) Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah baring
2) Anjurkan menggunakan pelembab
3) Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit (misal: penurunan mobilitas)
4) Hindari produk berbahan dasar alkohol pada kulit kering

d. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas struktur tulang


Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pergerakkan
ekstremitas meningkat, kekuatan otot meningkat, ROM meningkat, nyeri
berkurang, kecemasan menurun, dan kelemahan fisik menurun.
Intervensi :
1) Identifikasi adanya nyeri/keluhan fisik lainnya
2) Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
3) Observasi tanda-tanda vital sebelum memulai mobilisasi
4) Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu ( misal pagar tempat tidur)
5) Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan (misal : duduk ditempat
tidur atau pindah dari tempat tidur ke kursi)
6) Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan pergerakkan

e. Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan primer


(kerusakan integritas kulit, prosedur invasif/traksi tulang)
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan tidak demam,
kemerahan/bengkak dan nyeri berkurang, kebersihan tangan meningkat.
Intervensi :
1) Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik
2) Cuci tangan sebelum dan setelah kontak dengan pasien dan lingkungan pasien
3) Batasi jumlah pengunjung
4) Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
5) Pertahankan tekhnik aseptik pada pasien beresiko tinggi
6) Anjurkan meningkatkan asupan cairan dan nutrisi

4 Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
perawat dalam membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi
menuju kesehatan yang lebih baik yang sesuai dengan intervensi atau rencana
keperawatan yang telah dibuat sebelumnya ( Potter,2015)

5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah perbandingan sistemik dan terperinci mengenai kesehatan klien
dengan tujuan yang ditetapkan, evaluasi dilakukan berkesinambungan yang
melibatkan klien dan tenaga medis lainnya. Evaluasi dalam keperawatan yaitu
kegiatab untuk menilai tindakan keperawatan yang telah dipilih untuk memenuhi
kebutuhan klien secara optimal dan mengukur dari proses keperawatan
(Potter,2015)

TINJAUAN KASUS

Fraktur Femur
Seorang laki-laki berusia 47 tahun dirawat di ruang orthopaedi karena patah tulang akibat
KLL. Hasil pengkajian: mengeluh nyeri yang semakin meningkat jika bergerak, ekimosis dan
edema di femur dextra, TD 140/98 mmHg, frekuensi nadi95 x/mnt teraba kuat, pernapasan21
x/mnt, suhu 37°C. Pada pemeriksaan fisik di regio femur dextra didapatkan ekternal rotation
(eksorotasi), swelling (+); nyeri tekan (+); status neurovaskuler distal (NVD) baik, arteri
dorsalis pedis (+), akral hangat, pucat (-), sensasi (+). Gerakan pasien terbatas. Hasil rongent
didapatkan closed fracture shaft femur dextra. Direncanakan akan dilakukan operasi ORIF
dua hari mendatang, dengan menggunakan plate (broad plate 14 hole) and screw (6 screw).
Jawab :

A. Pengkajian
Data Subjektif :
 Klien mengeluh nyeri yang semakin meningkat jika bergerak

Data Objektif :
 Ekimosis dan edema di femur dextra
 TD 140/98 mmHg, frekuensi nadi95 x/mnt teraba kuat, pernapasan21 x/mnt, suhu 37°
C
 Skala nyeri 6
 Pada pemeriksaan fisik di regio femur dextra didapatkan ekternal rotation
(eksorotasi), swelling (+); nyeri tekan (+); status neurovaskuler distal (NVD) baik,
arteri dorsalis pedis (+), akral hangat, pucat (-), sensasi (+).
 Hasil rongent didapatkan closed fracture shaft femur dextra.
 Gerakan pasien terbatas
 Direncanakan akan dilakukan operasi ORIF dua hari mendatang, dengan
menggunakan plate (broad plate 14 hole) and screw (6 screw).

Analisa Data
Data Etiologi Masalah
S: NyeriAkut
 Klienmengeluhnyeri Trauma langsung (KLL)

yang
semakinmeningkatjika DiskontinuitasTulang
bergerak
O:
 Ekimosis dan edema di Pergeseranfragementu
langdanterjadi proses i
femur dextra
nflamasi
 TD 140/98 mmHg,
frekuensi nadi95 x/mnt
Pergeseranfragementu
teraba kuat,
langdanterjadi proses i
pernapasan21 x/mnt, nflamasi
suhu 37°C
 Pada pemeriksaan fisik
Menekanujungsarafbe
di regio femur dextra bas
didapatkan ekternal
Noniseptor
rotation (eksorotasi),
swelling (+); nyeri
Menekanujungsarafbe
tekan (+); status bas
neurovaskuler distal
Merangsang medulla s
(NVD) baik, arteri
pinalis
dorsalis pedis (+), akral
hangat, pucat (-), Pesandisampaiakankek
sensasi (+). orteksserebri

 Hasil rongent
Nyeri
didapatkan closed
fracture shaft femur
dextra.

S: Diskontuinitastulang Gangguan mobilitas


 Klienmengatakannyeri ↓ fisik
yang Perubahan jaringan sekitar
semakinberatsaatberger ↓
ak Kerusakanfragmentulang

 O : Ekimosis dan Deformitastulang
edema di femur dextra ↓
 TD 140/98 mmHg, Gangguanfungsi ekstremitas
frekuensi nadi95 x/mnt ↓
teraba kuat, Terapidenganpemasangan pen
pernapasan22 x/mnt, ↓
suhu 37.6°C Gangguan mobilitas
 Pada pemeriksaan fisik
di regio femur dextra
didapatkan ekternal
rotation (eksorotasi),
swelling (+); nyeri
tekan (+); status
neurovaskuler distal
(NVD) baik, arteri
dorsalis pedis (+), akral
hangat, pucat (-),
sensasi (+).

S: Kurangterpaparinformasi DefisitPengetahuanTen
 Seorang laki-laki tangProsedurOperasi
berusia 47 tahun (ORIF)
dirawat di ruang
orthopaedi karena
patah tulang akibat
KLL.

O:
 Hasil rongent
didapatkan closed
fracture shaft femur
dextra.
 Direncanakan akan
dilakukan operasi
ORIF dua hari
mendatang, dengan
menggunakan plate
(broad plate 14 hole)
and screw (6 screw).

B. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri Akut berhubungan dengan agen pencedera fisik trauma
b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas struktur tulang
c. Defisit Pengetahuan Tentang Prosedur Operasi (ORIF)

C. Intervensi Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik truma

Kriteria hasil : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan pasien
mampu mengontrol nyeri dan melaporkan bahwa nyeri berkurang.

Intervensi :

 lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi,


frekuensi, kulaitas dan faktor presipitasi
 observasi reaksi non verbal dari ketidak nyamanan
 gunakan komunikasi terapetik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien
 ajarkan tehnik relaksasi kepada pasien
 kolaborasi pemberian anagletik untuk mengurangi nyeri

2. Gangguan mobilitas fisik berhungan dengan kerusakan integritas struktur tulang

Kriteria hasil : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan pasien
meningkat dalam aktivitas fisik, pasien mengatakan nyeri berkurang,.
Intervensi :

 Monitoring vital sign sebelum / sesudah latihan dan lihat respon pasien saat latihan
 kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
 dampingi dan bantu pasien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan.
 ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan seperti duduk ditempat tidur

3. Defisit pengetahuan tentang prosedur operasi (orif )

Kriteria hasil : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan
pengetahuan tentang persiapan operasi meningkat

Intervensi :

 identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi


 Kaji tingkat pengetahuan pasien mengenai operasinya dan kemampuan pasien
untuk belajar
 Berikan penjelasan yang lengkap dan jelas
 Beri kesempatan pasien untuk bertanya

DAFTAR PUSTAKA
Adam. (2009). Fisiologi dan Anatomi Modern untuk Perawat ( Edisi 4 ). Jakarta: EGC

Black, Joice M, dkk. (2014). Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis untuk Hasil ya
ng Diharapkan. Edisi. 8, Vol. 3. (dr. Joko Mulyanto, M.Sc, penerjemah). Jakarta: Salemb
a Medika

Dochterman, J.M., & Bulechek,G.M.(2004). Nursing Interventions Classification (NIC)(5 th e


d.). USA: Mosby Elsevier

Lukman, Nurna Ningsih.(2009). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Pada
Sistem Muskuloskeletal. Jakarta : Salemba Medika

Moorhead,S.,Jhonson,M.,Maas, M., & Swanson,L(2008). Nursing Outcomes Classification


(NOC)(5th ed.). USA : Mosby Elsevier

Nanda International.(2015). Diagnosa Keperawatan: definisi dan klasifikasi 2015-2017(10th


ed.).Jakarta:EGC.

Panggabean M. Maulana. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. (Edisi 6). Jakarta: Interna
Publishing.
Perry, A.G & Potter,P. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan. (Monica Ester, penerje
mah). Jakarta: EGC

Price, Sylvia Anderson. (2006). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi.
6, Vol. 2 (Brahm U. Pendit, penerjemah). Jakarta: EGC

SDKI,DPP& PPNI.(2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: definisi dan


indicator diagnostic.(Edisi 1). Jakarta:DPPPPNI

Suratun.(2008). Klien Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai